Miller
Miller
Pembuangan CO2 diatur oleh ventilasi alveolus, bukan oleh jumlah (menit)
ventilasi.
Ventilasi ruang rugi (dead space) dapat ditingkatkan pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis dan emboli paru sampai lebih dari 80%
menit ventilasi.
Bernafas dengan volum paru yang kecil meningkatkan hambatan udara
to-left shunt).
Hampir semua jenis anestesi mengurangi tonus otot rangka, yang
menurunkan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity
[FRC]) sampai pada nilai yang mendekati volum residu (residual volume
[RV]).
Atelektasis pada saat anestesi disebabkan oleh berkurangnya kapasitas
residu fungsional dan tingginya penggunaan konsentrasi oksigen yang
Fio2).
Reaksi vasokontriksi pulmonal hipoksia dihambat oleh sebagian besar
ADP dikonsumsi dan ATP serta H2O diproduksi. Hasilnya adalah oksidasi glukosa
untuk menghasilkan energi terutama ATP, H2O, dan CO2.
TRANSPORT O2 DALAM DARAH
O2 sampai di sel dengan mengikuti transport darah arteri, dan
pengangkutan total O2 (delivery of O2/DO2) adalah produk darah arteri O2 (CaO2)
dan aliran darah (cardiac output, Q) dengan:
DO2 = CaO2 x Q
Kandungan darah ada dalam 2 bentuk: O2 mengelilingi hemoglobin (bagian
terbesar) dan O2 terlarut dalam plasma, dinyatakan sebagai jumlah komponen
berikut ini:
CaO2 = (SaO2 x Hb x kapasitas kombinasi O2 pada Hb ) + (kelarutan O2 x PaO2)
Di mana CaO2 (kandungan O2) adalah milliliter O2 per 100 mL darah, SaO2 adalah
fraksi hemoglobin (Hb) yang tersaturasi dengan O2, kapasitas kombinasi O2 pada
Hb adalah 1,34 mL O2 per gram Hb, Hb adalah gram Hb per 100 mL darah, PaO2
adalah ketegangan O2 (O2 terlarut), dan kelarutan O2 dalam plasma adalah 0,003
mL O2 per 100 mL plasma untuk tiap 100 mmHg PaO2.
Pengikatan O2 pada hemoglobin merupakan mekanisme yang kompleks.
Penting memahami bagaimana keabnormalan alat transportasi O2 darah (seperti
keracunan karbonmonoksida, methemoglobinemia) mempengaruhi ketegangan
O2, kandungan, dan pengirimannya.
Methemoglobin (MetHb), dibentuk melalui oksidasi Fe3+(ferric), dan
bukan Fe2+ (ferrous) seperti biasa. MetHb kurang berikatan dengan O2, sehingga
mengurangi kandungan O2 serta pengiriman O2 yang berkurang. Pada kasus ini,
PaO2 (bila tidak terdapat penyakit paru) akan normal. Jika kandungan O 2 dihitung
dari PaO2 nilainya akan normal, namun bila diukur nilainya akan rendah.
Sebaliknya, kadar MetHb akan naik. Pada kasus yang parah, asidosis laktat dapat
terjadi karena gangguan pengiriman O2. Selain itu, karena MetHb berwarna biru
kecoklatan, pasien akan tampak biru, bahkan jika kadar MetHb sedang dan
oksimetri khusus dapat mengukur kadar MetHb secara terpisah. Sianosis yang
terlihat tidak responsive pada pemberian O 2 dan terapinya melibatkan perubahan
(pengurangan) MetHb menjadi Hb (menggunakan metilen biru). Penyebab
penting MetHb adalah benzokain, dapson, atau pada pasien yang rentan terhadap
nitrat oksida (NO).
Pada
kasus
keracunan
CO,
CO
berikatan
dengan
Hb dengan
kecendurangan yang jauh lebih besar (lebih dari 200 kali lipat) daripada dengan
O2, membentuk ikatan CO-Hb yang kuat dan menghasilkan dua efek utama.
Pertama, pembentukan CO-Hb mengurangi kandungan O2. Kedua, pembentukan
CO-Hb menyebabkan perubahan pada molekul Hb sehingga kecenderungan
melepaskan O2 berkurang. Efek ini berhubungan dengan pergeseran kurva
disosiasi Hb-O2 ke kiri, dan meskipun ikatan CO tidak mengurangi kandungan O 2
atau pengiriman O2 secara luas, ikatan CO mengurangi pelepasan O2 dan
pengirimannya dalam sel. Karena warna CO-Hb mirip seperti warna O 2-Hb,
warna darah (dan pasien) merah terang, namun seiring dengan MetHb, PaO 2 akan
menjadi normal (tanpa penyakit paru) dengan perhitungan CaO 2. Namun
pengukuran CO2 akan menjadi rendah dan apabila berat, akan terjadi asidosis
laktat. Alat canggih dapat membedakan Hb-O2 dan CO-Hb.
Efek Bohr berhubungan dengan pergeseran disosiasi kurya yang
disebabkan oleh perubahan CO2 atau pH. Pada kapiler sistemik, PCO2 lebih tinggi
daripada dalam darah arteri (pH yang berhubungan lebih rendah) karena produksi
CO2 setempat. Hal ini menyebabkan pergeseran kurva disosiasi ke kanan, yang
meningkatkan pengurangan O2 ke jaringan. Hal sebaliknya terjadi pada kapiler
paru; PaCO2 lebih rendah (pH yang berhubungan lebih tinggi) karena
pembuangan CO2, dan kurva disosiasi bergeser ke kiri untuk memfasilitasi
pengikatan O2 terhadap Hb.
TRANSPORT CO2 DALAM DARAH
VENTILASI
Ventilasi adalah pertukaran udara yang dihirup ke dalam paru dengan
udara yang dikeluarkan dari paru.
VENTILASI ALVEOLUS
Udara segar memasuki paru melalui pernafasan pada laju dan kedalaman
(volum tidal, VT) yang ditentukan oleh kebutuhan metabolisme, biasanya 7-8
L/menit. Saat sebagian besar udara yang diinspirasi mencapai alveoli, sebagian
dari VT ( 100-150 mL) masih berada di saluran nafas dan tidak mengikuti
pertukaran gas. Ruang rugi tersebut (VD) merupakan sepertiga dari tiap VT. VD
anatomis adalah bagian dari VT yang berada di saluran nafas, dan VD fisiologis
adalah bagian dari VD yang tidak mengikuti pertukaran gas.
Gambar 19-1. Ruang rugi dan ventikasi alveolar pada paru yang normal dan pada
penyakit paru. Baik aliran darah yang berhenti maupun ventilasi alveolar yang
berlebihan dapat meningkatkan ruang rugi. Jika VD ditingkatkan, kompensasi
yang meningkat dalam menit ventilasi dibutuhkan dalam menjaga V A. VD/VT,
rasio ruang rugi terhadap volum tidal; VA, ventilasi alveolar; VE, menit ventilasi.
VE = VA + f VD. Panah dobel menunjukkan pertukaran CO2 yang normal. COPD,
Chronic obstructive pulmonary.
Peningkatan
volum
dalam
saluran
nafas
(misal
bronkiektasis)
dalam
jumlah
yang
besar
(30-50
L/menit)
untuk
paru yang berasal dari jaringan paru yang elastis, kontraksi otot saluran nafas, dan
tegangan permukaan alveolus. Gaya keluar berasal dari tulang rusuk, persendian,
dan otot dinding dada. FRC bertambah besar dengan peningkatan tinggi dan umur
(kehilangan jaringan paru yang elastis) dan semakin kecil pada wanita dan
obesitas.
Ada dua alasan mengapa mempertahankan udara di paru-paru pada akhir
ekspirasi sangat penting. Pertama, memompa paru yang sudah terbuka lebih
mudah daripada ketika paru mengempis.Ini karena kolaps paru menyebabkan
permukaan yang hanya berisi cairan berhubungan dengan alveoli (sehingga
tekanan permukaan tinggi) di mana alveoli pada paru yang terpompa sebagian
memiliki permukaan air-udara (tegangan permukaan yang rendah). Kedua,
meskipun perfusi paru fasik, frekuensinya tinggi dan osilasi alirannya rendah
sehingga menghasilkan aliran yang berkelanjutan.Ventilasi adalah hal yang
berbeda: frekuensinya jauh lebih pelan dan ukuran osilasinya lebih besar. Jika
paru mengempis dengan sempurna setelah bernafas, aliran darah dari alveoli yang
tertutup (tanpa O2) akanmemiliki SO2 yang sangat rendah (sama pada darah vena
campuran); ini akan bercampur dengan aliran darah total dari paru dan
menyebabkan desaturasi O2 setelah setiap pernafasan keluar.
RESPIRASI MEKANIK
Penelitian mengenai respirasi mekanik menjelaskan bagaimana udara yang
dihirup disebarkan ke dalam paru dan banyaknya keparahan penyakit
paru.Komponen impedansi total penafasan berasal dari keelastisan, hambatan, dan
inersia.
PEMENUHAN SISTEM RESPIRASI
Paru-paru seperti balon karet yang bisa dikembangkan dengan tekanan
positif di dalam atau tekanan negatif di luar. Pada kondisi yang normal,
pengembangan paru dipertahankan karena meskipun tekanan di dalam (tekanan
P AO 2=PI O2
PAC O2
1R
+ PAC O2 x Fi O2 x
R
R
di mana PIO2 adalah tekanan oksigen inspirasi, PACO2 adalah tegangan CO2 alveolus (dianggap
sama dengan PCO2 arteri), R adalah rasio ekspirasi pernafasan (normalnya 0,8-1,0), dan FiO 2
adalah fraksi oksigen inspirasi. Rumus dalam tanda kurung merupakan kompensasi pengambilan
O2 yang lebih besar daripada pembuangan CO2 pada membran kapiler alveolus.
Persamaan sederhana dapat ditulis tanpa rumus kompensasi:
PA O 2=PI O2
PAC O2
R
Ventilasi Alveolus
Ventilasi alveolus (VA) dapat dirumuskan sebagai:
VA = f x (VT VDS)
di mana f adalah nafas per menit, VT adalah volum tidal, dan VDS adalah ruang rugi fisiologis.
Ventilasi alveolus dapat diturunkan dari:
VCO2 = c x VA x FACO2
di mana VCO2 adalah pembuangan VCO2, c adalah konstanta konversi, dan FACO 2 adalah
konsentrasi CO2 alveolus.
Jika satuan VA adalah L/menit, VCO2 dalam mL/menit, dan FACO2 digantikan oleh PACO2
dalam mmHg, c = 0,863. Dengan penyusunan kembali rumusnya:
V A=
VC O2 x 0,863
PAC O2
Gambar 19.2 A. Ventilasi dan volum paru pada subjek yang sehat dengan paru
normal. B, pasien A dengan penyakit paru restriksi. C, pasien A dengan penyakit
paru obstruksi kronik (PPOK). Pada penyakit restriksi, kapasitas vital (VC)
berkurang dan laju aliran ekspirasi meningkat (lebih curam daripada lereng
normal kurva ekspirasi paksa). Pada PPOK, volum residu (RV) ditingkatkan, VC
berkurang, dan ekspirasi paksa diperlambat. ERV, Expiratory reserve volume;
TLC, total lung capacity.
HAMBATAN SISTEM RESPIRASI
Jalan Nafas
P
F
P
R
P
R2
Oleh karena itu, pada jarak tertentu, lebih banyak tekanan dibutuhkan
untuk mencapai aliran yang sebanding ketika alirannya berputar. Oleh karena itu,
perlu dilakukan usaha yang lebih besar dan bila parah akan terjadi gagal nafas.
Gambar 19-4.
tekanan-volum
sehat dan pada
Pada fibrosis,
Kurva
pada
paru
penyakit paru.
lereng kurva
lebih datar, menunjukkan peningkatan variasi tekanan dan kerja respirasi. Pada
asma atu bronkitis, terdapat pergeseran ke atas pada kurva tekanan-volum,
menunjukkan peningkatan pada volum paru namun tidak terdapat perubahan
dalam pemenuhan respirasi. Pada emfisema, lereng kurva lebih curam,
menunjukkan hilangnya jaringan serta kemungkinan peningkatan pemenuhan.
Namun, pada emfisema, asma, atau bronkitis, hambatan jalan udara ditingkatkan.
Hal ini meningkatkan kerja pernafasan dan mengesampingkan manfaat dari
peningkatan pemenuhan respirasi.
Beberapa faktor dapat mengubah hambatan aliran udara. Pertama,
hambatan berkurang saat volum paru meningkat. Seperti saat peningkatan volum
(tekanan positif atau pernafasan spontan) mengembangkan diameter jalan nafas,
hambatannya menjadi kecil. Hal sebaliknya terjadi saat membuang nafas. Namun,
saat paru mencapai RV-seperti yang terjadi pada saat anestesi- jalan nafas
menyempit sejajar dengan jaringan paru yang tertekan dan hambatan naik secara
bertingkat. Efek ini terlihat dengan ventilasi aktif maupun pasif. Kedua, ventilasi
aktif memiliki efek tambahan. Ekspirasi paksa dapat menekan jalan nafas yang
kecil (misal yang tidak mengandung kartilago). Selain itu, ekspirasi paksa dapat
menyebabkan aliran berputar pada jalan nafas yang kecil pada pasien dengan
PPOK, tekanan turun dengan cepat dalam lumen sehingga menyempitkan
bronkiolus dan menyebabkan pembatasan aliran ekspirasi. Setelah bernafas
berkali-kali, pada akhirnya terjadi hiperinflasi dinamik. Ekspirasi melawan
hambatan (pursed-lips breathing) kadang-kadang digunakan pada pasien PPOK
untuk membuat pernafasan menjadi lebih mudah. Pernafasan ini bekerja dengan
meningkatkan hambatan ekspirasi dan memperlambat ekspirasi. Ekspirasi yang
lambat mengurangi gradient tekanan yang mendorong ekspirasi (tekanan tertinggi
di alveolus, lebih rendah menuju mulut). Oleh karena itu, udara di sepanjang
cabang jalan nafas di mana tekanan di dalam jalan nafas telah berkurang sampai
kurang dari tekanan di luar jalan nafas (sama dengan tekanan pleura) dipindahkan
dari jalan nafas yang mudah kolaps menuju mulut yang tidak mudah kolaps. Hal
ini mencegah kolapsnya jalan nafas yang lebih kecil, yang vital untuk pertukaran
udara.
Gambar 19-5. Gambar skema yang menunjukkan hambatan aliran udara dengan
volum paru pada laju kecepatan yang berbeda. Saat volum paru turun, hambatan
terhadap aliran meningkat; peningkatan ini jauh lebih besar pada volum paru di
bawah kapasitas residu fungsional (FRC). Selain itu, laju aliran udara yang lebih
tinggi dihubungkan dengan hambatan yang lebih besar. Pada volum paru yang
sangat rendah, hambatannya sebanding dengan nilai yang dilihat pada asma
sedang sampai berat (6-8 cm H2O x l-1 x detik). RV, residual volume; TLC, total
lung
capacity.
Gambar 19-6. Gambar skema mengenai konsep equal pressure point (EPP) dan
kompresi dinamis jalan nafas. A, sedikit ekspirasi paksa saat kondisi normal.
sehingga tekanan ekstraluminal dan jalan nafas dapat ditekan. C, usaha untuk
menstabilkan jalan nafas yang disebut pursed-lip breathing. Hambatan yang
inhomogen, namun tidak menyingkirkannya. Oleh karena itu, faktor non gravitasi
(jaringan, jalan nafas) juga berperan.
Meskipun tinggi vertikal paru sama pada posisi pronasi maupun supinasi,
mungkin karena mediastinum menekan paru ketika supinasi maka sisanya
menekan sternum saat pronasi. Distribusi yang lebih merata pada udara yang
diinspirasi-dengan oksigenasi yang lebih baik-pada posisi pronasi diprediksi oleh
Bryan pada tahun 1974, dan telah dikonfirmasi secara eksperimental.
Saat laju aliran rendah (saat istirahat), distribusi ditentukan oleh perbedaan
pemenuhan dan bukan oleh hambatan jalan nafas. Karena pemenuhan paru pada
saat mulainya inflasi kurang pada apeks, ventilasi lebih diarahkan ke basal.
Sebaliknya, pada laju udara yang tinggi, hambatan (bukan pemenuhan) adalah
penentuan kunci distribusi. Karena hambatan lebih rendah pada bagian atas, lebih
banyak bagian paru yang mengembang, meningkatkan laju aliran dan
menyamakan distribusi ventilasi, seperti yang ditunjukkan oleh gas
133
Xe pada
manusia. Hal ini penting pada saat latihan atau stress karena jumlah area
permukaan yang lebih besar akan digunakan.
PENUTUPAN JALAN NAFAS
Ekspirasi menyebabkan jalan nafas menyempit, dan ekspirasi dalam dapat
menutup jalan nafas. Sisa volum di atas RV di mana ekspirasi di bawah FRC
menutup beberapa jalan nafas disebut closing volume (CV). Volum ini
ditambahkan ke RV dan disebut sebagai closing capacity (CC; kapasitas total paru
saat menutup). Penutupan jalan nafas saat ekspirasi berlangsung normal dan
diperkuat oleh meningkatnya PPL, terutama dengan ekspirasi aktif. Ketika PPL
melebihi PAW, jalan nafas-jika mudah kolaps-akan cenderung menutup, dan ini
biasanya mulai pada basal karena PPL basal adalah yang paling besar.
Tiga aplikasi dari prinsip penting ini merupakan relevansi kunci bagi
anestesi. Pertama, penutupan jalan nafas tergantung pada umur: pada orang yang
masih muda, penutupan tidak terjadi sampai ekspirasi sampai pada atau hampir
mendekati nilai RV, di mana pada umur yang lebih tua, penutupan terjadi lebih
awal pada ekspirasi (volum paru yang lebih tinggi). Hal ini terjadi karena P PL ratarata lebih positif (tekanan atmosfer, sama dengan
PAW)
Penutupan dapat terjadi pada atau di atas FRC pada individu berusia 65-70 tahun
sehingga bagian tertentu akan mengalami penutupan saat ekspirasi normal. Hal ini
dapat menjadi alasan utama mengapa oksigenasi berkurang dengan umur. Kedua,
pada posisi supinasi FRC berkurang dibandingksn posisi tegak lurus, namun CC
tidak berubah. Oleh karena itu, pembuangan VT biasa (dari FRC) melanggar batas
CC pada posisi supinasi individu 45 tahun, dan penutupan dapat berlanjut pada
posisi supinasi pada individu 70 tahun. PPOK meningkatkan volum paru saat
terjadi penutupan, dan eksaserbasi disebabkanoleh edema jalan nafas dan
meningkatnya tonus bronkial.
Gambar 19-7. Skema alveolar regional dan volum jalan nafas pada paru bagian
atas (A) dan bawah (B) (panel kiri). Terdapat gradient tekanan pleura vertikal
(PPL) antara daerah yang paling atas dan paling bawah (-6,5 sampai 1 = -7,5 cm
H2O). Tekanan jalan nafas (PAW) sama seperti atmosfer, atau 0 cm H2O. Oleh
karena itu, pada daerah atas PAW > PPL untuk mempertahankan jalan nafas terbuka.
Sebaliknya, pada daerah yang lebih rendah, PL > PAW menyebabkan penutupan
jalan nafas- yang cenderung mengalami eksaserbasi melalui absorpsi udara
Gambar
19-8.
Distribusi
ventilasi pada paru bagian atas
dibanding paru bagian bawah
saat aliran inspirasi diubah. Pada
aliran rendah, aliran udara
menuju bagian yang lebih
rendah. Pada laju aliran yang
lebih tinggi (saat beraktivitas)
distribusinya
lebih
merata,
menyebabkan
penggunaan
membran alveolus-kapiler yang
lebih efisien untuk perpindahan
udara (dengan kondisi bahwa
aliran
darah
pulmonal
menunjukkan pola distribusi
yang serupa).
DIFUSI UDARA
Udara bergerak dalam jalan nafas yang berukuran luas sampai sedang
dengan aliran yang besar (konveksi) menjelaskan bahwa molekul udara berpindah
bersama pada kecepatan rata-rata tertentu berdasar gradient tekanan. Alirannya
melewati beberapa cabang bronki, dan hambatannya turun pada tiap cabang.
Setelah cabang ke-14, jalan nafas menjadi satu dengan alveoli dan ikut dalam
pertukaran udara (bronkiolus respirasi). Daerah potong lintang mengembang
dengan luas (trachea 2,5 cm2; cabang bronkus ke-23 0,8 m 2; permukaan alveolus
140 m2), sehingga menyebabkan penurunan tajam hambatan total. Karena jumlah
molekul gas konstan, kecepatannya turun dengan cepat, di mana saat udara
memasuki alveoli dengan kecepatan 0,001 mm/detik dan bernilai 0 saat mencapai
membran alveolus. Kecepatan gas memasuki alveolus lebih lambat daripada laju
difusi O2 dan CO2, Oleh karena itu difusi diperlukan untuk transportasi di jalan
nafas distal dan alveoli. CO2 terdeteksi di mulut setelah beberapa detik menahan
nafas, karena difusi cepat dan karena oskilasi jantung (pencampuran).
Pencampuran udara lengkap di alveoli paru normal saat pernafasan
normal. Namun, jika alveolus mengembang (seperti pada emfisema), jarak difusi
dapat menjadi terlalu besar untuk dapat mencapai pencampuran lengkap, dan
cenderung meninggalkan lapisan udara kaya CO2 sepanjang membran alveolus
dan udara kaya O2 di alveolus. Ini mencerminkan versi mikro dari distribusi
ventilasi yang inhomogen.
PERFUSI
Sirkulasi paru berbeda dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi paru bekerja pada
5-10 kali lipat tekanan yang lebih rendah, dan pembuluh darahnya lebih pendek
serta lebih lebar. Ada dua konsekuensi penting dari hambatan pembuluh darah
yang rendah. Pertama, aliran darah ke bawah pada kapiler paru berpulsasi,
berkebalikan dengan aliran kapiler sistemik yang lebih konstan. Kedua, dinding
kapiler dan alveolus dilindungi dari tingginya tekanan hidrostatis. Oleh karena itu,
keduanya cukup tipis untuk mengoptimalkan difusi (pertukaran) udara namun
tidak membiarkan kebocoran plasma atau darah ke rongga udara. Saat
peningkatan tiba-tiba tekanan arteri/vena pulmonal dapat menyebabkan rusaknya
kapiler, peningkatan secara perlahan (berbulan sampai bertahun) merangsang
remodeling pembuluh darah. Remodeling ini dapat melindungi dari edema paru
(dan kemungkinan kerusakan paru), namun proses difusi akan terganggu.
Gambar 19.9 Kapasitas residu fungsional saat istirahat (FRC) dan closing
capacity (CC). FRC meningkat dengan umur (karena hilangnya jaringan elastis),
dan menunjukkan ukuran di atas adalah langkah pengurangan pada FRC dengan
posisi supinasi (karena naiknya diafragma oleh abdomen), dan penurunan lebih
jauh dengan anestesi pada proses supinasi. CC juga meningkat seiring dengan
umur, namun jauh lebih tajam, menyebabkan penutupan jalan nafas di atas FRC
pada subjek tegak lurus (> 65 tahun) dan pada subjek supinasi (> 45 tahun).
Hubungan antara CC dan FRC menjelaskan penurunan oksigenasi seiring dengan
umur.
Gambar
19-10.
Distribusi
vertikal aliran
darah
paru. Zona I,
II, III, dan
IV terlihat. Di
zona
I
tidak
ada
perfusi, hanya ventilasi. Di zona II, tekanan arteri paru melebihi tekanan alveolus
yang kemudian melebihi tekanan vena; tekanan laju adalah P PA-PA. Di zona III,
kedua tekanan arteri dan vena melebihi tekanan alveolus, dan di sini tekanan laju
adalah PPA-PLA. Di basal paru, aliran darah dikurangi kemungkinan karena
peningkatan tekanan interstitial yang menekan pembuluh darah ekstra alveolus.
PA, tekanan alveolus; PALV, tekanan intraalveolar positif; PLA, tekanan arteri positif;
PPA, tekanan arteri pulmonal; QT, kardiak output.
DISTRIBUSI ALIRAN DARAH DI PARU: EFEK GRAVITASI
Darah memiliki berat dan oleh karena itu tekanan darah dipengaruhi pleh
gravitasi. Tinggi (basal ke apeks) pada pasien dewasa tepatnya 25 cm; oleh karena
itu ketika seseorang sedang berdiri, tekanan hidrostastis di basal adalah sebesar 25
cm H2O (tepatnya 18 mmHg) lebih tinggi daripada di apeks. Tekanan arteri
pulmonal rata-rata adalah 12 mmHg setinggi jantung, dan tekanan arteri pulmonal
pada apeks paru dapat mencapai 0. Oleh karena itu, aliran darah yang berkurang
akan terjadi pada apeks (dibandingkan basal). Dan pada ventilasi tekanan positif,
alveolus apeks dapat menekan kapiler sekelilingnya dan mencegah aliran darah
lokal.
Berdasarkan distribusi gravitasi pada tekanan arteri pulmonal, seperti efek
perluasan alveolus, West dan koleganya membagi paru ke dalam zona I sampai
III. System ini berdasarkan prinsip bahwa perfusi ke alveolus tergantung pada
tekanan di arteri pulmonalis (PPA), vena pulmonalis (PPV), dan alveolus (PALV). Di
apeks (zona I), penting bahwa tekanan arteri pulmonal kurang dari tekanan
alveolar. Oleh karena itu, tidak terjadi perfusi. Kondisi zona I dapat terjadi saat
ventilasi mekanik dan bisa dieksaserbasi melalui P PA yang rendah. Di manapun
terdapat kondisi zona I, alveolus non perfusi merupakan ruang rugi tambahan
(VD). Di bawah apeks di zona II, P PV kurang dari tekanan alveolus, dan vena
kolaps kecuali pada saat aliran, seperti dalam air terjun vaskular. Meskipun P ALV
selalu lebih besar daripada PPV, perfusi terjadi ketika PPA melebihi PALV (secara
intermiten, saat sistol). Di bawah zona ini adalah zona III, di mana ada 2
perbedaan penting: PPA dan PPV keduanya selalu melebihi PALV. Hasilnya, terdapat
perfusi yang menyeluruh saat sistol dan diastole (serta inspirasi dan ekspirasi).
Gravitasi menghasilkan peningkatan PPA dan PPV yang sama pada basal paru; oleh
karena itu, gravitasi tidak dapat mempengaruhi aliran melalui zona III dengan
meningkatkan PPA sampai gradient tekanan PPV sendiri. Namun, masih ada
kemungkinan bahwa berat darah yang lebih besar yang lebih dekat ke basal
menghasilkan dilatasi pembuluh darah, Oleh karena itu menyebabkan penurunan
hambatan pembuluh darah dan meningkatkan aliran. Berikutnya diketahui bahwa
juga terdapat penurunan perfusi di basal paru, atau zona IV, yang kemungkinan
terjadi karena efek gravitasi yang menekan basal paru-dan pembuluh darah di
sana- dan oleh karena itu meningkatkan hambatan pembuluh darah.
Bukti tambahan mengenai efek gravitasi berasal dari percobaan
sukarelawan di mana gravitasi ditingkatkan dengan mengubah pola penerbangan
pesawat jet. Pada percobaan ini, gravitasi nol mengurangi oskilasi jantung O 2 dan
CO2 saat menahan nafas, menunjukkan perkembangan perfusi yang lebih
homogen. Sebaliknya, lebih banyak percobaan terbaru mengenai analisa gas
ekspirasi melaporkan bahwa heterogenitas perfusi paru berkurang, namun tidak
menghilang, dengan adanya mikrogravitasi menunjukkan bahwa gravitasi
berperan serta dalam heterogenitas distribusi aliran darah namun tidak
menjelaskan secara keseluruhan. Sementara peranan yang tepat mengenai
DISTRIBUSI ALIRAN DARAH DI PARU: PENGARUH DARI FAKTORFAKTOR YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN GRAVITASI
Percobaan penting telah mempertimbangkan mengenai efek gravitasi.
Aliran darah yang diukur di bidang gravitasi yang sama lebih sedikit per satuan
jaringan paru di apeks daripada di basal. Selain itu, penilaian mikro menunjukkan
variabilitas yang signifikan dalam bidang iso-gravitasi, dan tinggi paru terhitung
10% dari distribusi aliran baik pada posisi supinasi maupun pronasi. Selain itu,
inhomogenitas di bidang horizontal dapat melebihi bidang vertikal. Studi lain
melaporkan perfusi yang lebih besar ke jaringan paru pusat (dibandingkan
peripheral), yang bisa dibalik melalui penggunaan positive end-expiratory
pressure (PEEP). Meskipun panjang pembuluh darah yang lebih besar dianggap
menjelaskan perbedaan pusat-periferal ini, teori lain menjelaskan bahwa hal
tersebut tidak signifikan. Sehingga terdapat berbagai perbedaan teori mengenai
hambatan pembuluh darah lokal di bagian paru.
Distribusi pola geometris aliran darah dapat menjadi lebih penting
daripada pengaruh gravitasi. Pola geometris perfusi menunjukkan bahwa di
bagian tertentu, akan ada korelasi spasial (kesamaan ) aliran darah antara bagian
yang berdekatan.
Meskipun metode untuk mempelajari perfusi paru itu kompleks-dan
terdapat bermacam pendapat, data yang dikumpulkan menunjukkan faktor-faktor
selain gravitasi berkontribusi terhadap heterogenitas distribusi perfusi.
Gambar 19-11. Distribusi aliran darah (ventral, dorsal) pada posisi supinasi
dibandingkan pronasi. Distribusi dari ventral ke dorsal serupa, posisi yang tidak
berpengaruh menunjukkan bahwa posisi anatomis (dan tidak hanya gravitasi)
menentukan distribusi aliran. Besar variabilitas baik pada posisi supinasi maupun
pronasi (inhomogenitas non gravitasi) jauh lebih besar daripada perbedaan
distribusi antara posisi supinasi dan pronasi.
berkelanjutan, dapat terjadi pada manusia pada ketinggian atau adanya penyakit
paru hipoksemia kronik.
PENILAIAN KLINIS FUNGSI PARU
SPIROMETRI KAPASITAS TOTAL PARU DAN CABANGNYA
Volum udara dalam paru setelah inspirasi maksimum disebut kapasitas
total paru (total lung capacity, TLC, sebesar 6-8 L). TLC dapat ditingkatkan pada
PPOK dengan perluasan alvelolus atau dengan penghancuran dinding alveolus,
menghasilkan hilangnya jaringan elastis, seperti pada emfisema. Pada kasus yang
ekstrim, TLC dapat ditingkatkan 10-12 L. Pada penyakit paru restriksi, TLC
berkurang, menunjukkan derajat fibrosis, dan menjadi serendah 3-4 L.
Berdasar usaha ekspirasi maksimum, sedikit udara tertinggal dalam paru
dan merupakan RV (sekitar 2 L). Namun, biasanya tidak ada bagian yang kolaps
karena jalan nafas distal (<2 mm) menutup sebelum alveoli kolaps, menjebak
udara, dan mencegah pengosongan alveoli. Selain itu, ada batas seberapa banyak
dinding dada, tulang rusuk, dan diafragma dapat dikompresi. Pentingnya
mencegah jaringan paru kolaps telah dijelaskan lebih awal.
Volum maksimal yang dapat dihirup dan kemudian dikeluarkan disebut
sebagai kapasitas vital (vital capavity,VC, 4-6 L) dan ini adalah perbedaan antara
TLC dan RV. VC berkurang pada penyakit paru restriksi dan obstruksi. Pada
restriksi, pengurangan VC menunjukkan hilangnya volum paru, seperti pada efek
konstriksi fibrosis. Pada penyakit paru obstruksi, penjebakan udara dalam waktu
lama meningkatkan RV dan dapat terjadi dengan melanggar batas (dan
mengurangi) VC atau dengan hubungannya dengan peningkatan FVC.
Volum tidal (VT, biasanya 0,5 L) diinspirasi dari volum paru istirahat yang
dicapai saat akhir ekspirasi (FRC, 2 L). Dengan peningkatan ventilasi, seperti
pada saat aktivitas, VT ditingkatkan dan FRC dapat dikurangi tepatnya 0,5 L.
Namun, pada obstruksi jalan nafas, pembuangan nafas dihalangi sehingga
inspirasi dimulai sebelum volum paru istirahat tercapai; oleh karena itu volum
DIFUSI
(DLCO)--DIFUSI
MELEWATI
MEMBRAN
ALVEOLUS-KAPILER
Uji kapasitas difusi menggabungkan banyak fenomena yang merupakan
pusat
fisiologi
pernafasan.
Uji
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
dapat
berdifusi melewati
membran
pada
waktu
tertentu
kapasitas
difusi,
dan
adalah
laju difusi menjadi lambat dan menjadi nol ketika tekanan diseimbangkan
melewati dinding alveolus-kapiler. Saat istirahat, keseimbangan biasanya dicapai
dalam 25-30% panjang kapiler, dan hampir tidak ada perpindahan udara yang
terjadi pada sisa kapiler. Namun, saat aktivitas atau stress (kardiak ouput tinggi),
aliran darah melalui kapiler lebih cepat, dan jarak kapiler yang lebih panjang
dibutuhkan sebelum keseimbangan tercapai. Membrane alveolus-kapiler yang
menebal akan memperpanjang proses keseimbangan, dan apabila berat dapat
mencegah keseimbangan terjadi serta peningkatan hipoksemi. Jika PO 2 (PmvO2)
vena campuran lebih rendah daripada normal, tekanan laju meningkat dan
sebagian mengkompensasi keseimbangan dengan O2 alveolus. Laju tekanan
digambarkan sebagi:
P = (PaO2 PmvO2) mmHg
Sebagian besar oksigen yang terlarut dalam plasma berdifusi ke dalam sel
darah merah dan berikatan dengan hemoglobin; oleh karena itu 1 L darah (Hb 150
g/L) dengan saturasi 98%-normal dalam darah arteri-membawa 200 mL O 2 yang
berikatan dengan Hb, dibandingkan dengan 3 mL yang terlarut (PaO2 100 mmHg).
Oksigen yang berikatan dengan Hb tidak menciptakan tekanan dalam plasma,hal
ini penting karena membuat oksigen lebih banyak untuk berdifusi melaui
membran sebelum keseimbangan tekanan tercapai. Anemia mengurangi-dan
polisitemia meningkatkan-kapasitas difusi.
Berat Molekul dan Kelarutan
Laju difusi udara berhubungan terbalik dengan akar persegi berat
molekulnya (MW). Semakin besar molekul, semakin lambat difusinya. O2 adalah
udara ringan (MW 32) dan CO2 lebih berat (MW 44). Namun, difusi juga secara
langsung sebanding dengan kelarutan dalam jaringan, dan CO2 hampir 30 kali
lipat lebih larut daripada O2. Kumpulan efeknya adalah CO2 berdifusi sekitar 20
kali lipat lebih cepat daripada O2. Oleh karena itu, tidak ada penyakit paru yang
sebanding dengan kehidupan yang mengukur gangguan difusi CO2.
Gambar 19-12. Skema oksigenasi darah kapiler pulmonal. Pada subjek yang
sehat, terdapat keseimbangan yang cepat (<30% panjang kapiler) pada tegangan
oksigen pada darah kapiler dengan udara alveolus. Namun, saat aktivitas, laju
alirannya lebih besar dan sebagian besar jarak kapiler digunakan sebelum
keseimbangan tercapai. Efek ini dapat diseimbangkan dengan distensi dan
pengumpulan kapiler pulmonal. Jika difusi terganggu, keseimbangan terjadi lebih
lama, dan tidak tercapai dengan aktivitas.
Gambar
19-14.
Computed
tomografi
dengan
potongan
transversal dada ketika subjek sadar
(panel atas) dan mengalami anestesi
(panel bawah). Pada kondisi sadar,
paru mengalami aerasi dengan baik
(radiasi dari kateter arteri pulmonal
terlihat di jantung.). Saat anestesi,
atelektesis terjadi pada daerah
tertentu
(area
ireguler
abuabu/putih). Area abu-abu/putih
yang luas di tengah paru kanan
disebabkan pergeseran cranial
diafragma dan liver di bawahnya.
Gambar 19-16. Atelektasis serta distribusi ventilasi dan aliran darah. Panel kiri
adalah bagian potong lintang gambar computed tomography pada dada pasien
anestesi, menggambarkan atelektasis di region basal (dorsal). Panel kanan
menunjukkan distribusi ventilasi dan perfusi melalui bagian tersebut. Bagian
terbesar ventilasi ada di bagian atas paru (zona A), berkebalikan dengan subjek
yang sadar tanpa atelektasis, dan melebihi tingkat perfusi lokal. Hal ini
mneyebabkan ventilasi yang terbuang (ruang rugi) pada bagian atas. Pada bagian
bawah (zona B), ventilasinya kurang (kemungkinan karena penutupan jalan nafas
intermiten) dan dilebihi perfusi local, menunjukkan bagian dengan VA/Q rendah,
menyebabkan hipoksemi. Pada daerah paling bawah sebelahnya (zona C). terdapat
penghentian sempurna dari ventilasi karena atelektasis, namun sedikit perfusi
masih ada dan menyebabkan shunt. Semakin jauh dari puncak paru, semakin
tinggi perfusi. Namun pada bagian yang paling rendah perfusi berkurang.
mungkin membutuhkan PEEP dan tekanan saluran nafas inspirasi yang lebih
besar. Penerapan PEEP pada level lebih besar dapat memberikan efek yang
kompleks. Pembalikkan hipoksemia tidak berkaitan secara proporsional dengan
penerapan PEEP, dan terdapat ambang batas pada banyak kasus. Selain itu, SaO2
dapat menurun selama penerapan peningkatan PEEP yang disebabkan oleh karena
dua alasan. Pertama, peningkatan PPL oleh karena PEEP dapat mengganggu aliran
balik vena, khususnya bila terdapat hipovolemia, menurunkan output jantung dan
CO2 dan dengan demikian akan mengurangi O2 vena campuran (Cv-O2). Pada
kasus di mana terdapat intrapulmonary shunt, seperti atelektasis, darah vena yang
bercampur yang langsung ke paru akan menyebabkan desaturasi arteri. Kedua,
peningkatan PEEP dapat menyebabkan redistribusi aliran darah jauh dari daerah
aerasi, daerah diperluas (mengembang oleh PEEP) menuju daerah atelektasis
(tidak mengembang oleh PEEP). Dalam konteks ini, ketahanan atelektasis di paru
bergantung pada proporsi yang lebih besar dari total aliran darah pulmonal
dibandingkan bila tanpa PEEP. Pada akhirnya, anestesi yang diinduksi atelektasis
secara cepat akan tampak kembali setelah menghentikan PEEP. Tentu saja,
Hewlett dkk, pada tahun 1974 telah memberikan peringatan terhadap
penggunaan PEEP secara sembarangan pada anestesi rutin.
Gambar 19-17. CT scan dan distribusi VA/ Q pada paru sehat, subjek yang sadar
saat anestesi (zero positive end-expiratory pressure [ZEEP]) dan saat anestesi (10
cm H2O positive end-expiratory pressure [PEEP]). Pada saat sadar, tidak ada
atelektasis dan distribusi VA/Q yang rendah (bagian kiri plot) menunjukkan
penutupan jalan nafas intermiten. Saat anestesi dengan ZEEP, atelektasis terlihat
pada paru basal (dan diafragma telah didorong secara cranial). VA/Q yang rendah
telah diganti oleh atelektasis dan shunt yang besar. Selain itu, VA/Q yang tinggi
(bagian kanan plot) menunjukkan ruang rugi alveolus pada paru atas. Dengan
tambahan PEEP selama anestesi, jarungan paru yang kolaps telah dikumpulkan
dan shunt telah dikurangi. Selain itu, VA/Q yang tinggi telah meningkat,
menunjukkan inflasi tambahan pada paru atas non perfusi.
Manuver Rekrutmen
Sebuah
manuver
disarankan
untuk
membalikkan atelektasis .
Akan tetapi, atelektasis tidak
secara seragam diturunkan
oleh peningkatan VT atau
bernafas pada PAW 20 cm
H2O. Sebaliknya, PAW 30 cm
H20
dibutuhkan
untuk
untuk
lengkap.
pembalikkan
Pada
paru-paru
ulang atelektasis hanya 20% yang muncul kembali yaitu 40 menit setelah
rekrutmen.
Prinsip yang sama juga diterapkan pada praktek preoksigenasi pasien
selama induksi anestesi. Tujuannya adalah untuk mencegah desaturasi O2
(mendapatkan batas aman O2) selama induksi sebelum jalan nafas diamankan
ketika anestesiologis mengatur ventilasi dan oksigenasi. Secara tradisional,
pengaplikasian FiO2 1.0 telah digunakan. Walaupun SaO2 biasanya dipertahankan
dengan baik menggunakan metode ini, terbentuknya atelektesis tidak dapat
dihindari. Penggunaan 30% dibandingkan 100% O2 selama induksi diujicobakan
pada studi klinis untuk mengeliminasi pembentukan atelektasis.Selanjutnya,
dilakukan perbandingan bernafas dengan komposisi 100%, 80%, dan 60% O 2
selama induksi menunjukkan terbentuknya atelektasis di banyak tempat dengan
menggunakan O2 100%, lebih sedikit pada O2 80%, dan lebih sedikit lagi paada O2
60%. Atelektasis semakin kecil berarti semakin kecil pula batas aman sebelum
desaturasi O2 terjadi.
Sebuah metode alternatif yang mungkin adalah menggunakan tekanan
udara positif kontinu (Continuous Positive Airway Pressure [CPAP]). Penggunaan
CPAP 10 cm H2O memungkinkan inspirasi dengan O2 100% tanpa pembentukan
atelektasis secara signifikan. Penggunaan CPAP tersebut dapat menjadi kombinasi
yang ideal dengan risiko minimal terhadap desaturasi O 2 maupun atelektasis,
namun hal ini belum diverifikasi secara ulang.
Gambar 19.18. Gambaran gamma kamera pada aliran darah paru pada subjek
anestesi dalam posisi lateral. Saat ventilasi mekanis dengan zero end-expiratory
pressure (ZEEP), perfusi didominasi (60-70% kardiak output) pada paru bawah.
Pemakaian PEEP (10 cm H2O) pada kedua paru memaksa perfusi lebih banyak
pada paru bawah, tanpa perfusi pada paru utara. Sebaliknya, penggunaan selektif
PEEP pada paru bawah menyebabkan distribusi ulang perfusi ke paru bagian atas.
Tentu, gambar yang disajikan adalah jaringan dengan perfusi.
Gambar 19-19. CT scan saat sadar dan dianestesi dengan perubahan tekanan
jalan nafas (PAW). CT scan pada subjek yang sadar (panel kiri atas) menunjukkan
vaskularisasi normal dan tanpa atelektasis. Saat anestesi (PAW, 0 cm H2O; upper
right panel), atelektasis basal bilateral terlihat, PAW meningkat (20 cm H2O
terlihat), namun atelektasis tidak dibalik sampai PAW 40 cm H2O diaplikasikan
(panel kanan bawah). Oleh karena itu, maneuver kapasitas vital dibutuhkan untuk
membuka paru.
mungkin
akan memberikan
keuntungan.
Ketamin
intravena tidak
mengganggu tonus otot dan hanya merupakan anestesi individu yang tidak
menyebabkan
atelektasis.
Apabila
blokade
neuromuskular
ditambahkan,
Hipoksemia adalah suatu hal yang biasa muncul setelah anestesi dan
operasi. Hal tersebut didukung oleh karena pasien bernafas dengan oksigen
sebelum induksi anestesi dan adanya penyedotan (suctioning) pada saluran nafas
(tekanan negatif) sebelum ekstubasi trakea. Selain itu, splinting dan penghambat
batuk berhubungan dengan nyeri dapat menyebabkan atelektasis pasca operasi.
Beberapa metode telah dilakukan untuk mengatasi atelektasis terkait hipoksemia
pasca operasi. Penggunaan 100% O2 dipasangkan dengan manuver VC ternyata
tidak efektif, hal ini mungkin disebabkan ketika VC manuver merekrut paru-paru,
pembukaan alveolus tidak dipertahankan (faktanya penutupan alveolus didorong
oleh N2-bebas O2). Namun, manuver VC yang diikut oleh konsentrasi O2 yang
lebih rendah (40% O2 dalam N2) dapat mempertahankan pembukaan sampai pada
akhir oksigenasi anestesi. Oksigenasi akan dipertahankan dalam periode yang
lama setelah ventilasi dengan O2 50% di udara (yaitu N2) dibandingkan dengan
penggunaan O2 100% apabila memakai cardiopulmonary bypass. Pada akhirnya,
perawatan pada hipoksemia pascaoperasi, yang dianggap sebagai penyebab
atelektasis, akan memberikan hasil lebih baik jika menggunakan CPAP
dibandingkan dengan penggunaan O2 100%.
Gambar 19-21. Tiga pembagian model ventilasi dan perfusi saat anestesi. Pada
bagian atas, alveoli dan jalan nafas terbuka (panel kiri, A). Di bagian bawah, jalan
nafas tertutup secara intermiten (B), dan atelektasis terjadi pada bagian bawah (C).
Distribusi ventilasi-perfusi (teknik eliminasi gas inersia multiple) digambarkan di
panel kanan. Model A menyebabkan ventilasi dan perfusi yang baik, di mana
model B menunjukkan penutupan jalan nafas intermiten. Selain itu, terdapat shunt
pada daerah atelektasis.
Penutupan saluran nafas
Penutupan saluran nafas sementara mengurangi ventilasi alveolus yang
terlibat. Beberapa daerah paru dapat menjadi daerah dengan VA/Q rendah apabila
perfusi dipertahankan atau tidak dikurangi menjadi setingkat dengan ventilasi.
Kecenderungan penutupan saluran nafas akan meningkat seiring dengan usia,
seperti halnya perfusi yang rendah pada daerah VA/Q. Anestesi mengurangi FRC
sebanyak kira-kira0.5 Lyang akan meningkatkan penutupan saluran nafas selama
ventilasi tidal. Faktanya, pengurangan ventilasi pada paru yang tidak atelektasis
disebabkan oleh penutupan saluran nafas. Selain itu, ventilasi di daerah ini lebih
rendah daripada perfusi (yaitu pada daerah rendah VA/Q) dan memberikan
kontribusi terhadap terganggunya oksigenasi selama anestesi. Bila disimpulkan,
kombinasi antara atelektasis dan penutupan saluran nafas menjelaskan sekitar
75% dari keseluruhan penurunan pada proses oksigenasi. Selain itu, di mana (CVERV) menunjukkan jumlah penutupan saluran nafas yang terjadi di bawah FRC
(ERV [expiratory reserve volume] adalah volume cadangan ekspirasi), nilai ini
akan meningkat dengan induksi anestesi, dan terdapat korelasi yang baik antara
VA/Q rendah dengan sejauh mana penutupan saluran nafas. Kesimpulannya,
model paru tiga kompartemen sederhana (normal VA/Q daerah pencocokan,
daerah penutupan saluran nafas, dan paru dengan atelektasis) menjelaskan dengan
baik komponen-komponen yang berkontribusi dalam terganggunya oksigenasi
selama anestesi.
Distribusi Ventilasi dan Aliran Darah Selama Anestesi
Distribusi Ventilasi
Redistribusi gas yang diinspirasi dari daerah paru dependen ke daerah
nondependen telah didemonstrasikan dengan menggunakan teknik isotop pada
manusia yang dibius dan pada posisi telentang. Radiolabeled aerosol dan SPECT
nonventilated), ventilasi yang buruk dari beberapa bagian, dan bagian yang
berventilasi namun perfusi lebih besar daripada ventilasi (daerah V A/Q rendah).
Kombinasi dari hal tersebut disebut dengan venous admixture. Persamaan dari
shunt (Kotak 19-2) mengasumsikan bahwa semua aliran darah melalui paru-paru
menuju ke salah satu dari dua kompartemen; salah satunya (fraksi non-shunt),
semua darah teroksigenasi, dan satunya lagi (fraksi shunt), semua darah dialirkan.
Persamaan shunt (atau venous admixture) dituliskan sebagai berikut:
Oleh karena darah pada ujung kapiler pulmonal diasumsikan tersaturasi
maksimal (karena itu SCO2 = 1), kuantitas O2 terlarut dapat diabaikan, dan
perbedaan CvO2 dan CvO2 dapat diasumsikan kecil (sehingga dianggap CvO2 =
CvO2) maka :
Dengan demikian, efek intervensi shunt dapat dihitung dengan mudah dari
perubahan SaO2 dan SvO2.
Tingkat venous admixture tergantung pada fraksi oksigen yang diinspirasi
(FiO2). Semakin tinggi fraksi oksigen inspirasi, semakin sedikit daerah V A/Q
rendah. Namun, dengan FiO2 yang tinggi, daerah VA/Q rendah dapat kolaps
disebabkan oleh adsorpsi gas dan kemudian diubah menjadi daerah shunt.
Korelasi yang kuat antara venous admixture dengan jumlah total shunt sejati
dan perfusi daerah VA/Q rendah telah ditunjukkan pada sebuah penelitian yang
melibatkan 45 subjek (Gambar 19-24). Derivat shunt oksigen atau venous
admixture ditunjukkan pada Kotak 19-2.
Pada relawan muda yang sehat, selama dianestesi menggunakan thiopental
dan methoxyflurane, baik ventilasi maupun perfusi didistribusikan ke area yang
lebih luas pada rasio VA/Q yang dapat dinyatakan sebagai peningkatan pada
standar deviasi logaritmik dari distribusi perfusi (log SDQ). Pada kelompok
serupa dari pasien yang diteliti, selama anestesi menggunakan halotan dan saat
kelumpuhan otot, log SDQ hampir dua kali lipat (0.43 saat sadar, 0.80 selama
anestesi). Selain itu, shunt sejati meningkat menjadi rata-rata 8%. Peningkatan
serupa pada shunt yaitu 1% pada saat sadar menjadi rata-rata 9% saat anestesi
telah tercatat pada penelitian dengan subjek pasien bedah usia pertengahan (37-64
tahun) dan juga terdapat perluasan distribusi (log SDQ: 0.47 saat sadar, 1.01 saat
anestesi). Pada pasien usia lebih tua dengan gangguan fungsi paru-paru yang lebih
berat, anestesi halotan dengan dengan paralisis otot, dengan atau tanpa nitrious
oxide, menyebabkan pelebaran yang besar dari distribusi VA/Q (log SDQ 0.87 saat
sadar, 1.73 saat anestesi). Selain itu, shunt meningkat menjadi rata-rata 15%,
dengan variasi yang besar di antara pasien (0% - 30%). Dengan demikian, temuan
yang paling konsisten selama anestesi adalah mismatch VA/Q yang meningkat,
yang dinyatakan sebagai peningkatan log SDQ, dan peningkatan shunt.
Ventilasi secara spontan sering berkurang selama anestesi; oleh karena itu
anestesi inhalasi127 atau barbiturate 128 mengurangi sensitivitas terhadap CO 2.
Respon yang terjadi tergantung pada dosis; ventilasi akan menurun dengan
semaakin dalamnya anestsi. Anestesi juga mengurangi respon terhadap hipoksia,
hal itu mungkin disebabkan oleh efek pada kemoreseptor badan karotid.
Efek anestesi pada fungsi otot pernafasan menjadi lebih dimengerti. Efek
yang ditimbulkan tidak seragam. Penyimpangan (excursion) tulang rusuk
berkurang dengan anestesi yang lebih dalam. Respon ventilasi normal terhadap
CO2 dihasilkan oleh otot-otot interkostal, namun tanpa disertai peningkatan yang
jelas dari pergerakan tulang rusuk dengan rebreathing CO2 selama anestesi
halotan. Dengan demikian, berkurangnya respon ventilasi terhadap CO 2 selama
anestesi disebabkan oleh terhambatnya fungsi otot interkostal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan selama anestesi
Pernafasan Spontan
Kebanyakan penelitian tentang fungsi paru telah dilakukan pada yang
dianestesi, subjek maupun binatang yang ventilasinya secara mekanik. Pernafasan
spontan jarang diteliti. FRC menurun pada tingkat yang sama selama anestesi,
terlepas apakah relaksan otot digunakan dan atelektasis terjadi hampir pada
tingkat yang sama pada subjek yang dianestesi, subjek yang bernafas secara
spontan seperti pada kondisi kelumpuhan otot. Selanjutnya pergeseran bagian
kranial diafragma seperti yang dilaporkan oleh Froese dan Bryan, adalah sama
besarnya baik selama anestesi maupun saat bernafas spontan dan dengan
kelumpuhan otot, meskipun perbedaan pergerakan diafragma dari posisi istirahat
telah diketahui. Dengan demikian, selama pernafasan spontan, yang di bawah,
bergantung pada bagian diafragma yang pergerakannya paling besar, sedangkan
kelumpuhan otot, bagian atas, tidak tergantung pada pada bagian yang
menunjukkan perpindahan paling besar.
Semua temuan ini telah mengangkat sebuah pertanyaan apakah ada
perbedaan daerah ventilasi pada pernafasan spontan dengan ventilasi mekanik,
dan apakah ventilasi mekanik memperburuk VA/Q sebagai konsekuensi dari
ventilasi yang kurang pada perfusi yang baik, bergantung pada area paru. Namun,
tidak banyak literatur yang mendukung bahwa kelumpuhan otot memperburuk
pertukaran udara. Beberapa penelitian distribusi VA/Q yang telah dilakukan juga
tidak mendukung hal tersebut. Dueck dan koleganya menemukan peningkatan
yang sama pada mismatch VA/Q pada domba yang dianestesi selama proses
anestesi berlangsung, terlepas dari apakah mereka bernafas secara spontan atau
dengan ventilasi mekanik. Log SDQ menunjukkan tingkat mismatch meningkat
((0,66[terjaga],0.83 [menghirup anestesi dengan pernapasan spontan], 0,89
[Mekanik ventilasi]). Shunt juga meningkat selama anestesi dari 1% (terjaga)
menjadi 11% (dibius, spontan bernapas) atau 14% (dibius, ventilasi mekanik).
Dalam sebuah penelitian pada subjek manusia yang dianestesi shunt dan log SDQ
meningkat dari 1% dan 0,47 saat terjaga sampai 6% dan 1.03 selama anestesi
dengan pernapasan spontan dan 8% dan 1,01 selama ventilasi mekanik. Oleh
karena itu, sebagian besar efek pertukaran gas anestesi terjadi saat bernafas
spontan dengan sedikit atau tanpa gangguan lebih lanjut, ditambah pada saat
terjadi kelumpuhan otot dan pada saat ventilasi mekanik.
Peningkatan Fraksi Oksigen
Dalam penelitian yang dikutip sejauh ini, fraksi oksigen yang diinspirasi
(FiO2) yangdigunakan adalah sekitar 0.4. Anjou-Lindskog dan koleganya
menginduksi anestesi pada subjek yang bernafas dengan udara bebas (FiO 2, 0.21)
pasien yang diteliti berusia paruh baya sampai dengan yang lebih tua selama
anestesi intravena sebelum operasi paru elektif dan penelitian tersebut hanya
menemukan shunt yang kecil saja yaitu 1% sampai 2%, meskipun log SDQ
meningkat sekitar 0.77-1.13. Ketika FiO2 meningkat menjadi 0.5, shunt juga akan
meninngkat (sebesar 3% sampai 4%). Pada penelitian lain yang melibatkan pasien
lebih tua selama anestesi menggunakan halotan, peningkatan FiO2 dari 0.53
menjadi 0.85 menyebabkan peningkatan shunt dari 7% menjadi 10% pada cardiac
output. Dengan demikian, peningkatan FiO2 akan meningkatkan shunt, hal ini
mungkin karena peredaman (attenuation) HPV terjadi karena peningkatan FiO 2
122 atau pembentukan lebih lanjut daripada atelektasis dan shunt pada paru
dengan rasio VA/Q rendah.
Posisi Tubuh
Kapasitas residual fungsional berkurang secara dramatis oleh efek
gabungan antara posisi telentang dan anestesi (lihat Bab 41). Efek pada FRC,
dalam menginduksi anestesi pada posisi berdiri tegak telah diujicobakan oleh
Heneghan dan asosiasinya dan ternyata tidak terdapat perbedaan pada
semirecumbent dibandingkan dengan posisi telentang. Penurunan cardiac output
dan meningkatnya inhomogenitas distriusi aliran darah dapat lebih besar daripada
efek yang ditimbulkan oleh postur tubuh. Perfusi fraksional dari daerah paru yang
paling dependen-sangat rendah atau bahkan tidak berventilasi- sebenarnya telah
meningkat pada posisi semirecumbent. Pada posisi lateral, terdapat perbedaan
pada mekanika paru-paru, volume paru-paru saat istirahat, dan pembentukan
atelektasis antara daerah dependen dan nondependent pada paru-paru telaah
didemonstrasikan.138 dan terbukti menghasilkan gangguan lebih lanjut pada
pasangan ventilasi-perfusi, disertai kerusakkan berat pada oksigenasi. Namun
demikian terdapat variasi yang besar dan tak terduga. Dengan menggunakan
teknik isotop, peniingkatan mismatch VA/Q juga diperlihatkan pada kondisi
teranestesi, yaitu pasien lumpuh pada posisi lateral dan terlihat adanya
peningkatan pada posisi telungkup.
Selain itu, inhomogenitas vertikal dari distribusi perfusi kurang terlihat
pada posisi telungkup, hal ini mungkin mencerminkan perbedaan bagian pada
konfigurasi vaskular yang meningkatkan perfusi bagian dorsal paru, terlepas itu
adalah pada posisi dependen atau nondependent. Pada akhirnya, distribusi
ventilasi dapat menjadi seragam pada subjek dengan posisi telungkup.
Usia
Oksigenasi kurang efisien pada pasien yang lebih tua. Namun demikian,
pembentukan atelektasis tidak meningkat seiring dengan usia pada orang dewasa,
dan beberapa penelitian CT pada infant selama anestesi menunjukkan derajat
atelektasis yang lebih besar. Selain itu, shunt tidak tergantung pada usia antara 23
dan 69 tahun. Akan tetapi, mismatch VA/Q meningkat seiring dengan usia, disertai
dengan peningkatan perfusi daerah rendah VA/Q pada saat sadar dan pada saat
dianestesi. Penyebab utama dari gangguan pertukaran gas selama anestesi pada
pasien di bawah 50 tahun adalah karena shunt, sedangkan di atas 50 tahun
mismatch VA/Q (yaitu peningkatan log SDQ) menjadi semakin berperan penting.
Karena korelasi antara log SDQ dan usia saat dianestesi hampir sejajar dengan
saat kondisi sadar, dapat dikatakan bahwa anestesi akan memperburuk VA/Q
matching setara penuaan sebanyak 20 tahun.
Obesitas
Obesitas
dapat
memperburuk
oksigenasi
terutama
oleh
karena
Anestesi Regional
Efek ventilasi anestesi regional tergantung pada tipe dan sejauh mana blok
motoriknya . Dengan blok motorik yang luas yang mencakup seluruh segemen
toraks dan lumbal, kapasitas inspirasi akan berkurang sebesar 20% dan volume
cadangan ekspirasi mendekati nol. Fungsi diafragma, bagaimanapun, sering
terhindar, bahkan pada kasus anestesi subdural atau blok sensorik epidural yang
diperluas hingga segmen serviks. Penanganan yang terampil dalam anestesi
regional akan mempengaruhi pertukaran gas paru secara minimal. Oksigenasi
arteri dan eliminasi karbondioksida dipertahankan dengan baik selama anestesi
spinal maupun epidural. Hal ini sejalan dengan temuan tidak berubahnya
hubungan antara CC dan FRC dengan tidak berubahnya distribusi rasio ventilasiperfusi yang dinilai MIGET selama anestesi epidural.
Untuk pertukaran gas yang optimal, ventilasi dan perfusi harus cocok satu
sama lain di seluruh wilayah paru. Pada saat istirahat, baik ventilasi dan perfusi
meningkat semakin menuju ke arah bawah melalui paru-paru. Namun, perfusi
meningkat lebih banyak daripada ventilasi, perbedaan antara bagian paling atas
dan bagian paling bawah, 5-cm segmen, ventilasi meningkat sebanyak tiga kali
lipat dan perfusi meningkat sebanyak sepuluh kali lipat.
perubahan ini
menghasilkan rata-rata rasio VA/Q lebih kurang sebesar 1, di suatu bagian pada
tengah-tengah paru dan terdapat range rasio VA/Q (0.5 di dasar, 5.0 di apex; lihat
Gambar 19-23, panel atas, distribusi perfusi digambarkan secara sedehana pada
Gambar 19-11).
Cara lain untuk menunjukkan pencocokkan (matching) antara ventilasi
dengan aliran darah adalah dengan menggambarkan suatu multikomparmental
mengenai analisis ventilasi dan distribusi aliran darah terhadap rasio V A/Q. Hal ini
dapat dinilai menggunakan MIGET. Singkatnya, MIGET didasarkan pada
konstanta infus intravena dari sejumlah gas inert (biasanya enam) dengan
kelarutan yang berbeda dalam darah. Ketika melaui kapiler paru-paru, gas-gas
yang berbeda dieliminasi melalui alveoli, dan berakhir secara proporsional sesuai
kelarutannya. Gas yang sulit larut akan dengan cepat meninggalkan aliran darah
dan menjadi lebih atau kurang
Jika ventilasi dan perfusi tidak cocok (mismatch), pertukaran gas akan
terpengaruh. Penyebab paling umum dari gangguan oksigenasi adalah karena
ventilasi tidak cukup untuk mengoksidasi darah sepenuhnya, kerusakan yang
ditimbulkan bergantung pada derajat mismatch VA/Q; namun pada kenyataanya,
bahkan pada daerah paru-paru VA/Q normal (0.5-1) tidak bisa menjenuhkan darah
sepenuhnya. Dengan demikian, PaO2 tidak bisa disamakan dengan PO2 alveolar,
dan perbedaan (PaO2-PO2) dari 3 sampai 5 mmHG (0.4-0.7kPa) adalah normal.
Dengan mismatch VA/Q yang lebih besar, perbedaan PaO2-PO2 akan meningkat
lebih jauh. Mismatch VA/Q dapat dihitung pada semua kasus hipoksemia yang
muncul pada pasien dengan obstruksi berat.Shunt (Q, namun bukan VA), yang
sering diklaim ada pada pasien dengan PPOK, sebagian besar tidak terlihat pada
saat dianalisis dengan teknik yang lebih canggih seperti MIGET. Memang, shunt
pada pasien dengan obstruksi mungkin merupakan faktor yang rumit dalam
penyakit tersebut (Gambar 19-26). Pada asma berat, pola bimodal rasio rendah
terlihat ketika menggunakan MIGET 157 (lihat Gambar 19-26). Alasannya
mungkin alveoli di belakang saluran nafas yang terhalangi edema (atau plug
lender atau spasme) masih bisa berventilasi dengan ventilasi tambahan (yaitu
pori-pori alveolar, komunikasi interbronkial); daerah ini seharusnya terdapat shunt
(bukan VA, beberapa Q), sehingga puncak tambahan VA/Q menjelaskan distribusi
bimodal. Ventilasi tambahan seperti itu mungkin menjadi bagian dari alasan
mengapa shunt sejati terlihat tidak normal pada pasien PPOK. Tentu saja, jika
persamaan shunt standar digunakan untuk menjelaskan hipoksemia, tidak ada
kapasitas untuk membedakan antara kontribusi VA/Q rendah dengan shunt untuk
kasus hipoksemia (efek paling bersih disebut dengan venous admixture).
Obstruksi jalan nafas yang tidak merata, menghasilkan rasio VA/Q yang dengan
variasi yang besar. Memang, ventilasi didistribusikan dari daerah dengan
resistensi tinggi kemudian ke daerah lainnya yang kemudian dapat menjadi
overventilasi pada proporsinya untuk perfusi; hal ini menyebabkan tingginya rasio
VA/Q. Di daerah apeks biasanya memiliki rasio VA/Q sampai 5, tetapi rasio 100
atau lebih yang ada pada pasien dengan obstruksi, membuat daerah tersebut
praktis berbeda dari deadspace sebenarnya; inilah yang menyebabkan peningkatan
deadspace fisiologis pada penyakit paru obstruktif. Pengaruh tinggi VA/Q juga
sama terhadap deadspace saluran nafas, yaitu adalah ventilasi yang sepertinya
tidak berperan serta dalam pertukaran gas (ventilasi yang terbuang). Akibatnya,
pasien dengan PPOK yang memiliki VA/Q rendah (menghambat oksigenasi) dan
yang tinggi VA/Q (meniru deadspace, menghambat eliminasi CO2). Namun
MIGET menilai lebih kompleks, penelitian berorientasi pada alat, perhitungan
deadspace untuk tujuan klinis bergantung hanya pada CO 2 yang diekspirasi.
Derivasi deadspace CO2 ditunjukkan pada Kotak 19-3.
Mismatch VA/Q terdapat pada berbagai derajat pada semua pasien dengan
PPOK, dan menjelaskan sepenuhnya sebagian besar hipoksemia yang terdapat
pada mereka. Hipoventilasi juga dapat memberikan kontribusi, sedangkan
gangguan difusi dan shunt jarang memberikan kontribusi untuk timbulnya
hipoksemia. Kapasitas difusi, atau tes transfer dapat berkurang secara nyata pada
pasien PPOK berat, khususnya pada emfisema; dalam hal ini penurunan tersebut
tidak disebabkan penebalan membran kapiler alveolar, melainkan dengan
berkurangnya volume darah kapiler akan mengurangi daerah untuk difusi.
Pembuluh paru dapat dipengaruhi oleh penyakit paru, hal tersebut menyebabkan
mismatch VA/Q dengan cara mengahambat daerah aliran darah. Penyakit sistemik
yang melibatkan pembuluh darah dapat menyebabkan disfungsi paru yang parh
karena mismatch, gangguan difusi, dan shunt. Mismatch VA/Q menyebabkan
sebagian besar hipoksemia fibrosis paru. Selain itu, hipoksemia dapat disebabkan
oleh gangguan difusi (khususnya, selama aktivitas, kalau itu bisa mendominasi)
dan shunt dengan derajat yang bervariasi (akan dibahas selanjutnya).
Emboli pulmonal menyebabkan mismatch VA/Q melalui tiga cara.
Pertama, bantalan vaskular yang tersumbat, menyebabkan VA/Q lokal sangat
tinggi, hal ini bermanifestasi sebagai peningkatan deadspace. Kedua, bantalan
vaskular yang tersumbat mengalihkan aliran darah ke lainnya, daerah yang sudah
memiliki ventilasi, sehingga mengubah ini ke dalam daerah V A/Q rendah.
Akhirnya, jika PPA (tekanan arteri paru) meningkat secara nyata, maka
kecenderungan untuk setiap shunt akan meningkat. Pada pasien dengan emboli
paru akut, tampaknya hipoksemia terutama disebabkan oleh variabilitas V A/Q, dan
hal ini telah dikonfirmasi secara eksperimental.
Pneumonia yang melibatkan daerah yang luas dari konsolidasi, edema,
atau atelektasis paru (yaitu semua area non aerasi) melibatkan shunt yang
signifikan, dan daerah aerasi parsial berkontribusi terhadap mismatch VA/Q (lihat
Gambar 19-26) Dalam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri, HPV tampak
terhambat, yang merupakan mekanisme memburuknya hipoksemia.
Gambar 19-26. Distribusi ventilasi dan perfusi (A) paru normal (B) asma (C)
PPOK (D)pneumonia lobaris
Cacat difusi
Hipoksemia dapat terjadi karena gangguan difusi pada fibrosis atau
vaskular penyakit karena membran alveolar-kapiler sangat menebal.
Difusi
pencampuran darah dari darah ujung kapiler pulmonal normal dengan darah
shunt, yang memiliki PO2 sama dengan darah vena campuran. Apabila shunt
cukup besar dari total fraksi aliran darah paru, O2 tambahan yang secara fisik
dapat memperbaiki dengan cara meningkatkan FiO2 efeknya menjadi sangat kecil
sehingga hampir dikatakan tak terukur; shunt seperti itu dikatakan shunt yang sulit
ditangani.
Fungsi Pernafasan Selama ventilasi Satu Paru
Oksigenasi dapat menjadi sebuah tantangan selama operasi satu paru.
Satu pasru tidak berventilasi namun masih memiliki perfusi, dan pada periode
pasca operasi, integritas restorasi paru dan pencocokkan ventilasi-perfusi dapat
membutuhkan waktu (lihat Bab 66).
Teknik anestesi satu-paru dan ventilasi berarti bahwa hanya satu paru-paru yang
berventilasi dan paru paru tersebut juga memberikan oksigenasi- serta
mengeliminasi karbon dioksida dari darah-. Paerfusi yang bertahan melalui paru
tidak berventilasi menyebabkan shunt dan menurunkan PaO2 (Gambar 19-27.);
Langkah-langkah dapat diambil untuk mengurangi aliran darah ke daerah ini.
Selama anestesi satu-paru, ada dua kontributor utama untuk gangguan oksigenasi:
(1) terus berlangsungnya aliran darah melalui paru-paru nonventilated dan (2)
pengembangan dari atelektasis di paru-paru dependen, sehingga shunt lokal dan
VA/Q rendah 0,139 Manuver rekrutmen dapat mengubah pengaruh atelektasis
dependen167; peningkatan serial dalam tekanan udara puncak dan PEEP
diarahkan untuk daerah dependen, ventilasi paru meningkatkan PaO2 secara
signifikan, hal ini menunjukkan bahwa atelektasis dependen adalah penyebab
penting dari hipoksemia. Dalam situasi ini, pengalihan perfusi dari paru dependen
(ventilasi) ke nondependen (yaitu nonventilated), akan memperburuk oksigenasi
dan bukannya memperbaiki.
Rekrutmen juga dapat mempengaruhi VD. Rekrutmen selama anestesi
satu-paru meningkatkan oksigenasi, tetapi juga menurunkan VD. Kemiringan
kurva CO2 selama eksirasi tidal (fase III) adalah datar, menunjukkan distribusi
NO
dikombinasikan
dengan
almitrine.
Almitrine
sendiri juga meningkatkan oksigenasi dengan dosis yang tidak tidak mengubah
PPA atau cardiac output. Meskipun dihirup, NO meningkatkan perfusi ke daerah
yang sudah berventilasi (meningkat VA /Q), almitrine mempotensiasikan HPV,
menurunkan perfusi untuk daerah nonventilated (yaitu, shunt) (mengurangi shunt)
dan berpotensi mengalihkan aliran darah ke daerah paru berventilasi. Vasodilatasi
paru selektif telah diteliti.
Analisis yang cermat dari obstruksi mekanis yang disebabkan dengan
pengkusutan pembuluh paru dan oleh HPV telah menunjukkan bahwa HPV
merupakan faktor penting dari pengalihan aliran darah dari paru-paru
Gambar 19-27. Skema distribusi shunt padas aat ventilasi dua paru dan satu paru
saat anetesi.
Pneumoperitoneum
Operasi Laparoskopi biasanya dilakukan dengan cara insuflasi CO2 ke
dalam rongga perut. Efek yang ditimbulkan adalah dua kali lipat. Pertama,
konsekuensi dari hiperkapnia asidosis termasuk tertekannya kontraktilitas jantung,
sensitisasi dari miokardium terhadap efek aritmogenik dari katekolamin, dan
vasodilatasi sistemik. Bisa juga terdapat efek pasca operasi yang bertahan lama
pada
kontrol
bernafas.
Selain
itu,
efek
dari
pneumoperitoneum
penting secara fisik. Hal ini termasuk penurunan FRC dan VC, pembentukkan
atelektasis, berkurangnya pernafasan optimal, dan peningkatan tekanan nafas
puncak. Meskipun demikian, shunt berkurang dan oksigenasi arteri sebagian besar
membaik selama CO2 pneumoperitoneum. Paradoks ini -atelektasis bertambah
dan shunt yang berkurang- menunjukkan redistribusi yang efisien aliran darah dari
daerah paru-paru kolaps disebabkan oleh hiperkapnia asidosis CO2. Memang,
sebuah penelitian eksperimental baru-baru ini menunjukkan bahwa jika perut
diinflasi dengan udara, shunt yang lebih besar akan terbentuk dibandingkan jika
menggunakan CO2 untuk inflasi.
Fungsi Paru setelah Operasi Jantung
Operasi jantung menghasilkan atelektasis dengan derajat yang besar pada
periode pasca operasi (lihat Bab 67), mungkin hal ini disebabkan karena kedua
paru-paru sering kolaps. Resolusi spontan dari atelektasis terjadi secara bertahap,
meninggalkan shunt residual sampai 30% di hari pertama atau hari kedua; namun
demikian rekrutmen pada akhir kasus mungkin terjadi. dalam beberapa kasus, 30
cm H2O selama 20 detik sudah cukup, yang difasilitasi oleh paru yang terbuka.
Manuver rekrutmen (Dengan nol PEEP) menyebabkan peningkatan sementara
PaO2 dan EELV, dan dengan PEEP saja EELV meningkat tetapi PaO2 tidak
berubah; Namun, manuver perekrutan yang diikuti oleh PEEP menghasilkan
peningkatan yang besar dan berkelanjutan di kedua PaO2 dan EELV. Pemisahan
efek dimana PEEP sendiri meningkatkan EELV ke tingkat yang lebih besar
daripada meningkatkan oksigenasi menunjukkan pembukaan lebih lanjut paruparu yang sudah terbuka daripada pembukaan paru atelektasis.
Perbandingan head-tohead antara CPAP intermiten dengan ventilasi
bantuan tekanan konstan noninvasif melaporkan adanya temuan menarik.
Terdapat sedikit bukti radiografik yang menunjukkan atelektasis terbentuk
mengikuti pemakaian ventilasi bantuan, tanpa adanya perbedaan oksigenasi di
samping percobaan fungsi pulmonal. Meskipun kesimpulan penulis adalah tidak
ada manfaat klinis dengan ventilasi bantuan tekanan konstan noninvasif perbedaan
bahwa penurunan pada tidur diinduksi di FRD dengan disertai penurunan aerasi
dalam paru-paru dependen. Kerugian tersebut di aerasi ditunjukkan pada pasien
yang dibius ketika mereka FiO2 meningkat sebesar 0,3-1,0; maka atelektasis
berkembang dengan pesat. Ada kemungkinan bahwa selama tidur normal,
bernapas dengan O2 tingkat tinggi juga akan menyebabkan atelektasis.