Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KRITIS PADA NY S DENGAN DIAGNOSA FAKTUR MAXILLA DI


RUANG HCU BEDAH RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Dalam


Program Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:
Hanifa Nur Afifah
J 230 145 053

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR MAKSILA
A. DEFINISI
Fraktur:

adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya

(Smeltzer S.C & Bare B.G, 2006)


setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R,
2006).

Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.
1) Traumatic fracture
Fraktur yangdisebabkan oleh pukulan
pada:
a. perkelahian
b. kecelakaan
c. tembakan
2) Pathologic fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan
sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara,
makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur.
Terjadi karena :
a) Penyakit tulang setempat

Kista

Tumor tulang jinak atau ganas

Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau
tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis

b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah.

Osteomalacia

Osteoporosis

Atrofi tulang secara umum

B. ETIOLOGI
Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh perkelahian, kecelakaan kendaraan
bermotor, dan kecelakaan industry. Penyebab lain yang penting meliputi, trauma
penetrasi (luka pisau atau luka tembak), domestic violence, dan kekerasan pada anak dan
orang tua. Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering
mengalami frakturselama perkelahian.
C. PATOFISIOLOGI
Berikut ini masing masing penyebab fraktur pada maxilla facial trauma :

Fraktur os frontal : Disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian dahi.
Mencangkup Tabula anterior dan tabula posterior sinus frontalis. Apabila tabula
posterior mengalami fraktur, diperkirakan akan menyebabka luka pada dura mater
(meninges). Selain itu sering juga terjadi kerusakan duktus naso frontal

Fraktur dinding bawah / lantai orbita : cidera pada lantai orbita dapat terjadi
sebagai fraktur yang sendiri, namun dapat juga menyebabkan fraktur dinding
medial. Adanya fraktur tersebut menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada
intraorbita yang dapat merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu dinding
medial dan lantai. AKibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke
dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada cidera mata,
namun bulbus oculi jarang sapai rupture.

Fraktur nasal : disebabkan oleh gaya yang ditransmisikan oleh trauma langsung

Fraktur nasoethmoidal : perluasan dari tulang nasal hingg tulang etmoid dan dapat
mnyebabka kerusakan canthus medial mata, apparatus lacrimal ata ductus
nasofronta lis. Dapat juga menyebabkan laserasi pada lamina cribrosa os frontal

Fraktur arcus zygomaticus : disebabkan karena pukulan langsung pada arcus


zygomaticus dapat mnyebabkan fraktur pada sutura zygomaticotemporal

Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma


langsung.

Garis

fraktur

meluas

melalui

sutura

zygomaticotemporal,

zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi dengan ala magna os


sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan lantai
orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi

Fraktur maxilla : Diklasifikasikan menjadi Le Fort I, II atau III

Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi


aspek inferior maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung
gigi maxilla dan palatum durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas
melalui 1/3 bawah septum dan mecangkup sinus maxilla medial dan lateral
meluas ke os alatum dal pterigoid

Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os


nasal dan meluas melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui
sutura zygomaticofacial, berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla,
dibawah zygomaticus dan kedalam pterigoid

Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction


merupakan terpisahnya semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus
simultan zygoma, maxilla, dan os nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral
melaui os etmoid, orbits, dan sutura pterygomaxilla samapi kedalam fossa
sphenopalatina.

D.

PATHWAY
Tekanan/kekerasan
langsung/stress berulang

1.
Pergeseran tulang

Reaksi Inflamasi
Pengeluaran bradikinin
dan berikatan dengan
nociceptor

Kerusakan fragmen
tulang,cedera jar.lunak

deformitas
Pembuluh darah terputus
hambatan
mobilisasi

hambatan
pemenuhan
ADL secara
mandiri

Ekstremitas tdk dpt


berfungsi dgn baik
Kerusakan Mobilitas Fisik

Pengumpulan darah
(Hematoma)

Nyeri
akut

Devitaslisasi (Hb, Ht)

Ganggua
n Citra
Tubuh

Ada port
entry
Resiko
Infeksi

Pembengkakan
(tumor) dan
rubor

Nyeri

Penatalaksanaan medis
Prosedur pemasangan
fiksasi eksternal

Defisit
Perawatan
Diri

Pengeluaran mediator
kimia (histamin)

Perdarahan

Kerusakan
Integritas kulit

Dilatasi pembuluh kapiler


Tek. Kapiler otot naik

Darah banyak
keluar

PK pendarahan

Histamin menstimulasi otot


Hb

PK Anemia

Spasme otot
Perfusi jaringan
Vasokontriksi
pemb.darah
Metabolisme anaerob

ATP

Gang perfusi
jaringan perifer

Penumpukan asam laktat


Kelemahan
Nyeri
Akut

E. KLASIFIKASI FRAKTUR
Fraktur dapat berupa
1.

Single fracture
Fraktur dengan satu garis fraktur

2.

Multiple fracture
Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu sarna lain
Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi
Bilateral = jika 1 garis fraktur pada 1 sisi dan garis fraktur lain pada sisi lain.

3.

Communited fracture
Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen keci 1 atau berkeping-keping,
misalnya symphis mandibularis dan di daerah anterior maxila.

4.

Complicated fracture
Terjadi suatu dislokasi/displacement dari tulang sehingga mengakibatkan kerusakan
tulang-tulang yang berdekatan, gigi, dan jaringan lunak yang berdekatan

5.

Complete fracture
Tulang patah semua secara lengkap menjadi 2 bagian atau lebih.

6.

Incomplete fracture
Tulang tidak patah sarna sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan tulang tidak
terganggu. Dalam keadaan seperti ini lakukan dengan bandage dan rahang
diistirahatkan 1-3 minggu.

7.

Depressed fracture
Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam suatu rongga. Sering pada fraktur maxilla
yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang terdorong masuk ke sinus maxillaris.

8.

Impacted fracture
Dimana fraktur yang 1 didorong masuk ke fragmen tulang lain. Sering pada tulang
zygomaticus.

F. KLASIFIKASI, TANDA DAN GEJALA FRAKTUR MAXILLA


1) Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort I
dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.
7

Gejala klinik
Extra oral :
o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai
perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.
o Bibir bengkak dan edematus
o Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.
o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang
berpindah tempat.
o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya
o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa
2) Le Fort I:
Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar
dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum
durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat
digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja,
maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat
terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Geiala klinik
Extra oral :
o
Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang
terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis
8

o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang
bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral
o Echymosis pacta mucobucal rahang atas
o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya
gigi dan lepasnya gigi.
o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur
atau lepas.
o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah
3) Le Fort II :
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid dan
sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.

Gejala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.
o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.
o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.
o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.
Intra oral
o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan
o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.
o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga
timbul kesukaran bernafas.
o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.
9

o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung
terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
4) Le Fort III
Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis, maxillaris,
orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka
terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face".
Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang dari
M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid dan
tuberositas maxillary.

Geiala klinik
Extra oral :
o

Pembengkakan hebat pada muka dan hidung

Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.

Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.

Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf
motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola
mata yang temporer.

Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.

Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah

paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan


Bells Palsy.

Intra oral :
o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
10

o Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan


o Perdarahan pada palatum dan pharynx.
o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
5) Zygomaticus Complex Fracture
Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami fraktur.
Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang paling sering
mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.Fraktur garis sutura
rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaris.

Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi
karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat
compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.
Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.
Geiala klinik
o Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan,
waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.
o Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya
depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat
diraba.
o Pembengkakan periobital, echymosis.
o Palpasi lunak
o Rasa nyeri
11

o Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput


lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke
antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.
o Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia
o Perdarahan di daerah konjungtiva
o Gangguan penglihatan diplopia, kabur.
G. PEMERIKSAAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan
diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena
tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk
melihatnya dari satu posisi saja.
Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :
1. PA position
2. Waters position
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
H. PENATALAKSANAAN
Perawatan Fraktur
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada
hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan
pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.
Reposisi/reduksi fraktur ada 3 cara
1.

Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu
manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact sampai
fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat dilakukan reposisi
12

tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan terjadinya fraktur masih
baruReduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini
dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat
semula.
Caranya :
Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita
perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu
dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya
seperti semula.
2. Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang
bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar dimanipulasi
pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena adanya spasmus
otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar
dikembalikan ke keadaan semula.
3. Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering dikerjakan
untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
Fiksasi dan Immobilisasi
Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah
terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan kawat
Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan mandibula dan
maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot sekitar rahang,
sehingga dapat dibagi menjadi :
1) Indirect dental fixation
Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi
dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus
diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik.
Ada 2 macam cara :
a.

Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer.

b.

Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation.

c.

Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter


13

2) Direct Dental Fixation


Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di
antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur.
Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang
berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan
mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga jarang dipakai.
3) Indirect Skletal Fixation
Yang termasuk cara ini :

Denture atau gurting splint dengan head bandage

Circumferential wiring

External fixation

Perawatan Definitif Fraktur Maxilla


a. Fraktur Dentoalveolar
Beberapa kemungkinan dapat terjadi :
1) Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa - Buat Ro foto
dan tes pulpanya
- Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari
- Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista radikularis di
kemudian hari.
2) Patah korona gigi dan mengenai pulpa
- Ro foto dan perawatan endodontik
- Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut.
Patah akar gigi yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan.
3) Gigi yang dislokasi
- Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi
- Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau
konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan
beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi.
4) Fraktur tulang alveolar

Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan kepingan


tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing.
14

Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari mukoperiosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi dan
fiksasi.

Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang memuaskan,


intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada fraktur tulang
alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan eyelet, baik jenis Ivy
dan Stout's jarang memuaskan.

b. Fraktur Le Fort I, II, III


Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maxilla pada hubungan
yang

tepat

dengan

mandibula

serta

dengan

dasar

tengkorak

dan

mengimmobilisasikannya.
Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2 golongan besar :
1) Immobilisasi extra oral = External fixation
Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept merupakan
suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka. Di Barat
teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena peralatan yang
mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari segi stabilitas, alat
ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat diterima secara baik
oleh penderita. Ini disebabkan bentuk alat yang menakutkan bagi penderita
yang harus terus memakainya selama perawatan. Berarti dia harus tinggal di RS
selama pemakaian alat tersebut. Meskipun demikian peralatan itu tetap
diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka yang parah dan
rumit.
Secara singkat teknik ini sebagai berikut :
-

Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap dengan
bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention rodnya.
Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomaxillary fixa
tion. Bi la mandibu1a yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomandibula fixation.

Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire. Bila
cap splint pada gigi ge1igi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch Bar
pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar mandibula

15

perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan


dengan head cap melalui transbuccal check wire.
-

Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna
dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar cranium
dengan 4 buah paku.
Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan
pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan
sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan
suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada
rahang.

2) Immobilisasi dalam jaringan. Jenis ini apat berupa


a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur
b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique)

Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas
laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh
penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita
dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan
kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di a
tas garis fraktur. Kawa t suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar
pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat
suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan
demikian maksila terj epi t di antara mandibula dan bagian tulang muka yang
stabil.
Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa:
a) Circumzygomatic
Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus
b) Zygomatic-mandibula
Kawat melalui lubang pada tulang zygoma
c) Inferior orbital border-mandibula
Kawat melalui lubang pada lower orbital rim
d) Fronto-mandibular
Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal

16

e) Pyriform fossa mandibular


Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le
Fort I dan sangat kurang stabil.
f) Nasal septum-mandibular
Fiksasi ini sangat tidak stabil
Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat dilakukan
yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak diperlukan ,
misalnya pada :

Salah satu rahang tidak bergigi

Immobilisasi mandibula tidak diperlukan

Suatu

keadaan

dimana

immobilisasi

mandibula

merupakan

kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.


Lamanya fiksasi
Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah
fraktur bila dilakukan manipulasi dengan tangan.
- RA (maksila) 4 minggu
- RB (mandibula) 5-9 minggu
- Fracture condyle 2 minggu
Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya
hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator
dan berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi,
diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur
tersebut.
Perawatan Pasca bedah
A) Perawatan segera setelah operasi
Setelah operasi dengan narkose, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal tube,
bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita mengkhawatirkan,
nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam, ini dapat kita diskusikan
dengan ahli anestesi.

17

Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukan.
Seharusnya seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di sisi pasien sampai
pasien sadar betul.
B) Antibiotika dan analgetik
Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi setelah
dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk kapsul atau tablet
adalah sulit karena adanya IMF.
Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderi ta. Pemberian secara
parenteralpum dapat dilakukan.
Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.
C) Pemberian makanan
Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan.
Makan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa
retromolar.
D) Kebersihan mulut
Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi
terjadinya infeksi.
E)Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.
I.

KOMPLIKASI FRAKTUR RAHANG


Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur:
1) Besarnya trauma yang terjadi
Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga terjadi
kerusakan jaringan.
2) Daerah fraktur yang terbuka
Pada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka, yang
memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan terjadinya
kerusakan jaringan makin lebih besar.
3) Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna.
Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion, delayed
union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan yang tidak
sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan timbulnya infeksi akibat
komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada penyembuhan yang diharapkan.
18

4) Keadaan gigi-geligi
Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang baik dan
adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya komplikasi bila terjadi
fraktur di regio tersebut.
J. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Pengkajian nyeri
- Provoking Incedent
- Quality Of Plain
- Region, Radiation.
- Severity (Scale) of Plain
- Time
c. Riwayat penyakit sekarang.
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga.
f. Riwayat penyakit psikososial spiritual.
g. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
h. Pola hubungan dan peran.
i. Pola persepsi dan konsep diri.
j. Pola sensori dan kognitif.
k. Pola penanggulangan stes.
l. Pola tata nilai dan keyakinan.
m. Pemeriksaan Fisik.
Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda tanda yang perlu
dicatat adalah sebagai berikut.
Kesadaran
Kesakitan, Keadaan
Tanda- tanda
B1 (Breating.
B2 (Blood)
B3 (Brain)
Tingkat kesadaran
Head to toe:
Kepala
Leher
Wajah
Mata

Telinga
Hidung
Mulut dan Faring
Pemeriksaan fungsi serebral
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
nutrisi dan metabolisme.
Pola eliminasi
B6 (Bone)
Look
Feel
Move

n. Pola aktivitas
o. Pola tidur dan istirahat
2. Diagnosa Keperawatan
19

a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
b. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya perdarahan
c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Rencana Keperawatan
a. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi
saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.
Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri denganskala 0-4.
R: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan
skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
R: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang
menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
R: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan noninvasife.
R: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
R:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan
terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
20

R: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan


kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal ini
dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
9) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
R: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
b. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entre luka
operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria
hasil:
klien
mengenal
factor

risiko,

mengenal

tindakan

pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan


teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
R :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara
sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
R: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
R :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program
latihan.
R: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang
pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
R: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan
infeksi yang terjadi.
c. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
21

Kriteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau


factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan
bila klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang
dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumbersumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang
diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan
perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk
melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi.

22

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous.

Fraktur

Patah

Tulang

(online).

2009.

(http://perawatpskiatri.blogspot.com/search/label).
Apley, A. Graham. 2006. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya Medika:
Jakarta.
Bernard Bloch. 2006. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan essentica Medica : Yogyakarta p. 10281030
Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper Limbs; In: Clinical
Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell Publishing; Oxford University; p
169-170
Hermansyah,

MD;

Fraktur

Shaft

Humerus

(.ppt)

(online)

2009.

(http://www.google.com//fraktur-shaft-humerus-hermansyah-MD.pdf.)
Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture Shaft fracture In: AZ of Emergency
Radiology (e-book); UK; Cambridge University Press; p 110-111.
Kenneth J, dkk. 2006. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In Chapter 43: Orthopedic;
In: Handbook of Fracture second edition. Wolters Klunser Company : New York.
King Maurice; 2007; Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery Volume Two:
Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-235
Mansjoer A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius FKUI : Jakarta
Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal 380-395.
Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2008; Anatomi Bagian I, Penerbit
Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga;
Surabaya
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2006. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC : Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai