Anda di halaman 1dari 20

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan referat yang berjudul KETOASIDOSIS DIABETIK dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan
kepaniteraan klinik SMF Penyakit Dalam di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1

Dr. Shelvi Febrianti, Sp.PD, selaku dokter pembimbing.

Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Slamet Garut.

Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.


Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan

bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih
baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Garut, Agustus 2014

Penulis

DAFTAR ISI

COVER............1

KATA PENGANTAR........... 2

DAFTAR ISI.......3

PENDAHULUAN.......4

DIABETES MELITUS5

KETOASIDOSIS DIABETIK9

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit degeneratif tidak menular yang jumlahnya
meningkat setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2000
jumlah pengidap diabetes di atas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu
25 tahun kemudian jumlahnya akan meningkat sampai 300 juta orang.
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut Diabetes Melitus yang serius dan
butuh penanganan segera. DKA bertanggung jawab atas lebih dari 500.000 kasus di rumah sakit
Amerika Serikat per tahunnya. Gangguan metabolik ini adalah akibat dari kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Kebanyakan pasien dengan DKA memiliki penyakit diabetes autoimun tipe 1,
walaupun diabetes tipe 2 juga beresiko terutama jika terjadi stres katabolik akibat trauma dan
infeksi.

BAB II
PEMBAHASAN

DEFINISI DIABETES MELITUS


Diabetes adalah penyakit endokrin yang paling banyak ditemukan, secara harfiah
diabetes artinya mengalirkan, yang menunjukkan pengeluaran urin dalam jumlah besar pada
penyakit ini. Melitus artinya manis maka masyarakat lebih mengenal dengan kencing manis.1
Diabetes melitus adalah sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak akibat sekresi insulin yang tidak mencukupi atau adanya resistensi insulin di jaringan
target.2
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang
penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerotik, penyakit mikrovaskular (mikroangiopati), dan neuropati.3
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.4
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS
Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi menurut ADA 2009, yaitu;
a. Diabetes Melitus Tipe 1 (insulin dependen diabetes mellitus)
Merupakan tipe diabetes melitus dengan gejala yang tiba-tiba dan awitan seringkali pada usia
remaja (Kamus Kedokteran DORLAND). DM tipe 1 ini disebabkan oleh penyakit autoimun
atau idiopatik yang menyebabkan defisiensi insulin akibat destruksi sel pankreas oleh
limfosit T aktif sehingga produksi insulin sedikit atau tidak ada sama sekali. Pada penderita
diabetes melitus tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk bertahan hidup.1,4
b. Diabetes Melitus Tipe 2 (non-insulin dependen diabetes mellitus)

Merupakan tipe diabetes melitus dengan awitan puncak 50 sampai 60 tahun, ditandai dengan
onset yang bertahap dan beberapa gejala gangguan metabolik yang dapat dikontrol dengan
diet.2 90% pengidap diabetes melitus mengalami diabetes melitus tipe 2. Masalah dasar pada
pasien diabetes melitus tipe 2 bukan kekurangan insulin tetapi penurunan kepekaan sel-sel
sasaran terhadap keberadaan insulin. Pada awal penyakit, terjadi penurunan kepekaan
terhadap insulin yang diatasi oleh peningkatan sekresi insulin. Meskipun sekresi insulin bisa
normal atau sedikit meningkat namun, timbul gejala insufisiensi insulin karena jumlah
insulin tetap kurang memadai dibanding dengan jumlah glukosa. Obesitas adalah faktor
resiko terbesar, banyak pasien dengan diabetes melitus tipe 2 yang mengalami sindrom
metabolik dengan gambaran obesitas, lingkar pinggang besar (bentuk apel), kadar trigliserida
yang tinggi, kadar HDL rendah, kadar glukosa tinggi dan tekanan darah tinggi.1
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
Diabetes melitus tipe lain dapat diakibatkan karena defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit endokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia,
infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindroma genetik yang berkaitan dengan DM.4
d. Diabetes Melitus Gestasional
Merupakan tipe diabetes melitus yang onsetnya diketahui ketika dalam masa kehamilan2.
MANIFESTASI KLINIS DIABETES MELITUS
Ciri utama pada penderita DM adalah hiperglikemia, hal ini berkaitan dengan tingginya
kadar gula dalam darah serta kadar insulin yang tidak adekuat untuk mengolah kelebihan gula
tersebut.1
Ketika glukosa darah meningkat ke kadar di mana jumlah glukosa yang tersaring
melebihi melebihi kemampuan sel tubulus melakukan reabsorpsi maka glukosa ikut keluar
bersama urin (Glukosuria). Glukosuria ini akan mengakibatkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai dengan peningkatkan pengeluaran urin
(poliuria). Besarnya cairan yang keluar menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi dan sebagai
kompensasi akan timbul rasa haus berlebih (polidipsia). Rasa lapar semakin besar (polifagia)
akan timbul sebagai akibat dari kehilangan kalori karena glukosa hilang bersama urin dan
6

menyebabkan keseimbangan kalori negatif. Efek dari defisiensi insulin pada metabolisme lemak
dan protein serta keadaan keseimbangan kalori negatif akan menyebabkan penurunan berat
badan.1
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, poliuria, berat badan turun, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat
meninggal kalau tidak mendapatkan pertolongan segera. Sebaliknya pada pasien dengan diabetes
tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, pada hiperglikemia berat akan
mengalami polidipsia poliuria, lemah, dan somnolen.1
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
Komplikasi Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor; (1) Komplikasi
metabolik akut, dan (2) Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang (kronik).
1. Komplikasi Metabolik Akut
Pada diabetes melitus tipe 1 yang paling serius adalah ketoacidosis diabetic (DKA).
Hiperglikemia dan glikosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidrosibutirat, dan aseton) dapat terjadi akibat insulin yang sangat rendah. Benda keton
dalam plasma dapat menyebabkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban
ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glikosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit yang
dapat menyebabkan hipotensi dan syok.3
Hiperglikemia, hyperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi
metabolik yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2 akibat kehilangan insulin relatif.3
2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus melibatkan pembuluh
darah kecil (mikroangopati) dan pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati).
Mikroangiopati diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik),
glomerulus ginjal (nefropati diabetik), neuropati perifer dan organ lainnya. Makroangiopati
diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis dan dapat meningkatkan
risiko penyakit infark miokard, stroke dan amputasi bagian tubuh bawah.3
7

Penjelasan mengenai patogenesis neuropati masih kontroversial, ada yang


mengatakan bahwa neuropati diakibatkan oleh terhambatnya aliran darah sehingga terhambat
juga aliran nutrisi ke saraf. Faktor lain adalah gangguan metabolisme baik itu metabolisme
glukosa, lipid dan vitamin yang menghasilkan stres oksidatif.5
Mikroangiopati adalah sebuah keadaan dimana dinding kapiler (pembuluh darah
kecil) menjadi sangat tebal, aliran darah terhambat sehingga aliran nutrisi menjadi
terhambat.5
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan yang luas, terutama kolagen, endotel
pembuluh darah atau jaringan saraf dan matriks ekstraseluler. Selain itu terdapat gangguan baik
pada saraf sensorik maupun saraf motorik yang berupa lesi pada sel schwann, degenerasi myelin
dan kerusakan axon. Hiperglikemia menginisiasi perubahan kaskade biokimia dalam
metabolisme seseorang. Ada 4 (empat) konsekuensi dari peningkatan gula darah, yaitu :
1. Glikasi non-enzimatik. Proses ini diawali dengan menempelnya glukosa pada gugus asam
amino, yang berlanjut dengan serangkaian reaksi biokimia dengan hasil terbentuknya
amadory product, reaksi selanjutnya menghasilkan produk akhir yang dinamakan advanced
glicosilation end products (AGEP) yang bersifat irreversible. Reaksi glikosilasi ini terjadi
pada long live protein, antara lain jaringan kolagen dan membran basalis pembuluh darah.
Salah satu bentuk AGEP pada DM adalah 2 furoyl-4(5)-(2furanyl)-1-H-imidazole atau FFI
yang banyak tertimbun dalam jaringan-jaringan tubuh penderita DM. Dalam reaksi
glikosilasi ini terbentuk pula radikal bebas sebagai hasil dari oto-oksidasi glukosa yang
berlangsung pada waktu pembentukan AGEP dari amadory product, yang bersifat highly
reactive oxidant yang memiliki sifat sitotoksis antara lain efek denaturasi dan agregasi yang
menyebabkan aterosklerosis dan perubahan fungsional dan morfologi dari pembuluh
darah.1,2,3
2. Hiperglikemia intrasel persisten menyebabkan aktivasi jalur poliol meningkat, yaitu terjadi
aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol. Akumulasi sorbitol
dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema
saraf. Peningkatan sintesis sorbitol menghambat mioinositol sehingga menimbulkan stres
osmotik yang akan merusak mitokondria dan merusak struktur sel dan mengaktifkan jalur
protein kinase C.3,4
Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang
8

merupakan kofaktor penting dalam metabolime oksidatif. Sehingga kekurangan NADPH


dapat menyebabkan kemampuan untuk mengurangi radikal bebas.3
3. Diabetes menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang memegang peran penting dalam
patogenesis komplikasi diabetes. Stres oksidatif timbul terjadi karena hiperglikemia persisten
merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS)
melebihi kemampuan sel dalam mengatasi radikal bebas. Radikal bebas ini membuat
kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi
mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat menghambat aliran darah.3
4. Aktivasi protein kinase C akan menekan fungsi NA-K-ATP-ase, sehingga kadar Na
intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya jalur mioinositol masuk ke
dalam saraf sehinngga mengganggu transduksi sinyal intraseluler. Hipotesis ini yang
merusak pembuluh darah dari mata, ginjal, jantung dan pembuluh darah besar lainnya.3,4
Aktivasi protein kinase C juga akan meningkatkan aktivitas vasokonstriktor endothelin-1
dan penurunan aktivitas vasodilator endotelial nitrit oksida sintetase (eNOS).3,4
Dari perubahan di atas dapat menyebabkan aliran darah pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) terhambat. Komplikasi yang timbul seperti nefropati, neuropati, retinopati dan
lainnya dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor genetik sehingga pasien dengan hiperglikemia
akan berbeda risiko dan komplikasinya. Faktor genetik yang berpengaruh akibat mutasi
mitokondria tRNA dan mutasi mitokondria DNA yang diturunkan secara maternal oleh ibu yang
menderita diabetes. Akan tetapi untuk prediktor keparahan komplikasi dipengaruhi oleh 2 hal
yaitu durasi dan keparahan penyakit. 1,3
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DEFINISI
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai
oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif.6 KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut DM yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat.11
EPIDEMIOLOGI

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden KAD


sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok
umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan
insiden KAD sebesar 4,6 8/1000 pasien DM pertahun. KAD dilaporkan bertanggungjawab
untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat pertahun di Amerika Serikat. Walaupun data
komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di Negara
barat, mengingat prevalensi DM tipe1 yang rendah.6
Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa dari 613
pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD. Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis
(KAD) adalah <5% pada sentrum yang berpengalaman, bila mortalitas akibat KAD distratifikasi
berdasarkan usia maka mortalitas pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia
70-79 tahun 27%, dan 33% pada kelompok usia > 79 tahun.7
ETIOLOGI
a. Penghentian pemberian insulin terjadi 20%-40% kasus KAD pada DM tipe1
b. Penyakit atau keadaan yang meningkatkan kenaikan metabolisme sehingga kebutuhan
insulin meningkat, seperti ;
1. Infeksi : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses, Sepsis, Lain-lain.
2. Penyakit vascular akut : Penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut, emboli paru,
thrombosis v.mesenterika
3. Peningkatan kadar hormon anti insulin (glukagon, epinefrin, kortisol).
4. Trauma, luka bakar, hematom subdural
5. Kelainan gastrointestinal : Pankreatitis akut, Kholesistitis akut, obstruksi intestinal
6. Obat-obatan (corticosteroids, thiazides, phenytoin, -blockers, dopamine)
c. Pasien baru DM tipe 1.8,9
Menurut Musey et al melaporkan 75% telah diketahui DM sebelumnya dan 67% kasus karena
penghentian insulin. Beberapa alasan penghentian insulin adalah; tidak punya uang untuk
membeli, nafsu makan menurun, psikologis, tidak paham mengatasi masalah akut.11
PATOFISIOLOGI

10

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin, relatif
ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat
untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres ketogenesis.
Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah
berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah
berat dan produksi insulin makin kurang. Keadaan hiperglikemia tidak menentukan beratringannya KAD.7,11
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan
atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone). Kedua hal tersebut mengakibatkan
perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(gluconeogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat,
dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose1, 6bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggungjawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD. Selanjutnya,
keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis osmotik yang akan
mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate (GFR). Keadaan yang
terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi
benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi
hormon kontra regulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak.
Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free
fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis
pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid. Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton
yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi piruvat
menjadi acetyl CoA melalui inhibisi acetyl CoA carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada
11

sintesis asam lemak bebas. Malonyl CoA menghambat camitine palmitoyl-transferase I (CPT I),
enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl CoA menjadi fatty acyl camitine, yang
mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. Transferase I (CPT I), enzim untuk
transesterifikasi dari fatty acyl CoA menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi
asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke
mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan
CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.6

Gambar 1. Patofisiologi KAD


MANIFESTASI KLINIS
Keadaan dekompensasi metabolik didahului oleh gejala diabetes tidak terkontrol yang
cepat, biasanya kurang dari 24 jam tapi biasanya terdapat tanda dan gejala dari diabetes tidak
terkontrol beberapa hari sebelumnya. Gejala-gejala tersebut antara lain lemah badan, pandangan
kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. Mual, muntah, dan nyeri perut yang
terjadi pada KAD biasanya perbaikan setelah koreksi asidosis. Nyeri perut yang menonjol hal ini
menjelaskan gastroparesis-dilatasi lambung. KAD berkembang dengan cepat dalam waktu
beberapa jam, gejala tipikal untuk dehidrasi (hipovolemia) adalah membran mukosa yang kering,
turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia. Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai
turgor kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons
yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Derajat kesadaran dapat bervariasi dari sadar penuh,
letargi, sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Bau nafas seperti buah
12

mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan
Kussmaul (cepat dan dalam) sebagai mekanisme kompensasi terhadap asidosis metabolik.7,8,11
DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.8,11

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD meliputi penentuan kadar
glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas,
analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap
dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram.10
Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan
antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin bermanfaat untuk
menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak
didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol, atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali
dengan baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi. Konsentrasi natrium serum pada
13

umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular
ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat
oleh karena pergeseran kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin,
hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low-normal
pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga
perlu diberi kalium dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia
akan menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.10
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif (>320
mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status mental.

Pada

mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber
nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan
pankreatitis.10
TATALAKSANA
Keberhasilan pengobatan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan
gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan
yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat.8,9
Prinsip penatalaksanaan KAD, adalah ;
a. Penggantian cairan dan garam yang hilang
b. Menekan lipolysis sel lemak dan menekan gluconeogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
c. Mengatasi stress sebagai pencetus
d. Mengembalikan keadaaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.11
Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 diantaranya adalah cairan, garam, insulin, kalium, dan
glukosa. Terakhir dan sangat menentukan adalah asuhan keperawatan.11
Terapi Cairan
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravaskular dan
extravaskular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar
glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin
14

(dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan
jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 1520 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam
pertama (11.5 L untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan
tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, cairan
fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 20ml/kgBB/jam atau lebih selama jam
pertama (1 1,5 liter). NaCl 0.45% diberikan sebanyak 414 ml/kg/jam jika sodium serum
meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah.
Selama fungsi ginjal diyakini baik, maka perlu ditambahkan 2030 mEq/l kalium (2/3 KCl dan
1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral. Resusitasi cairan hendaknya
dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan
cairan dalam 8 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 16 jam berikutnya. Menurut perkiraan
banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100ml/kgBB, atau sebesar 5 8
liter.

{( ) }

Osmolaritas serum total : na

mmol
x2 +
l

glukosa

( mgdl ) + bun ( mgdl )

18

2,8

Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik


(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.
Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Serum
konsentrasi Na dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap kenaikan 100mg/dl kadar
gula darah diatas kadar gula 100mg/dl. Nilai corrected serum sodium concentration >140 dan
osmolalitas serum total >330mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat. Pada pasien
dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung,
ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari
overload yang iatrogenik. Ketika kadar gula darah mencapai <200-250mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose5%, dextrose5% pada

15

NaCl0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.9.10,11

Terapi Insulin
Terapi insulin pada krisis hiperglikemia dilakukan dengan pemberian insulin reguler
melalui infus intravena, subkutan maupun intramuskular setelah status rehidrasi yang memadai.
Pemberian insulin akan menurnkan konsetrasi hormon glukagon, sehingga dapat menekan benda
keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari
jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih
mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin
cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan
hipokalemia lebih sedikit. Jika tidak terdapat hipokalemia (K<3,3mEq/l), dapat diberikan insulin
regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (57 u/jam). Jika kadar
kalium <3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang
akan dapat mengakibatkan aritmia jantung. Dosis insulin inisial ini dimaksudkan untuk menekan
produksi badan keton di hepar. Pada keadaan normal, infus insulin intravena tersebut dapat
menurunkan kadar glukosa darah 50-75 mg/dL setiap jamnya. Jika kadar glukosa darah
mencapai 250mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan
tambahkan infus dextrose 510%. Pada keadaan ini, dextrose 5% dapat diberikan bersamaan
dengan infus insulin untuk mencegah hipoglikemia. Pasien dengan KAD ringan harus
mendapatkan priming dose insulin regular 0,4-0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan
setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin
subkutan atau intramuscular 0,1 u/kgBB/jam.7,8,9
Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5-1,0u/kgBB/hari, diberikan
terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin
sampai dosis optimal tercapai, dua pertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya
diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.7,8,9

16

Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berkaitan dengan reseptor.
Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan akan mengalami
destruksi. Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk
mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba
dan perlu dilanjtkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai bersamaan dengan
pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia.11

Gambar 3. Panduan pemberian insulin


Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk menurunkan gula darah tapi untuk
mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg%,
insulin diteruskan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai
asupan kalori oral pulih.11
Koreksi elektrolit
a. Kalium
Hiperkalemia adalah keadaan yang sering ditemui pada pasien krisis hiperglikemia
sebelum dilakukannya terapi. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan rehidrasi dapat
menurunkan konsentrasi kalium tersebut. Pada elektrokardiografi ditemukan gelombang T
yang tinggi. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia akibat pemberian terapi insulin, dapat
diberikan 20-30 mEq kalium jika kadar di dalam serum kurang dari normal (normal 5,0-5,2
17

mEq/L). Pada keadaan tertentu, terapi kalium diberikan bersamaan dengan pemberian cairan
rehidrasi dan terapi insulin ditunda hingga konsentrasi kalium >3,3 mEq/L untuk mencegah
aritmia dan kelemahan otot-otot pernafasan.9,11

b. Bikarbonat
Penggunaan bikarbonat pada pasien DKA masih kontroversi. Hal ini dikarenakan
oleh teori beberapa ahli yang mengatakan bahwa seiring dengan penurunan benda keton saat
terapi berlangsung terdapat cukup bikarbonat di dalam tubuh, kecuali pada asidosis
metabolik yang berat. Berdasarkan penelitian, tidak didapatkan manfaat dalam perbaikan
fungsi kardiak dan neurologis pada pemberian bikarbonat pasien DKA. Bikarbonat diberikan
jika terjadi asidosis yang berat (pH < 6,9) dengan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400
ml cairan isotonik hingga pH mencapai 7.9,10
Alasan keberatan pemberian bikarbonat, adalah;
1

Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat,

Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan

Hipertonis dan kelebihan natrium

Meningkatkan insidensi hypokalemia

Gangguan fungsi serebral

Terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto

Saat ini bikarbonat hanya diberikan pada pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi
asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.11
PENGOBATAN UMUM
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum tak kalah penting. Pengobatan umum
diantaranya;
1

Antobiotik yang adekuat

Oksigen bila pO2<80mmHg

Heparin bila ada DIC atau hyperosmolar (>380 mOsm/l)

18

Gambar 2. Diagram penatalaksanaan KAD

19

KOMPLIKASI
Hipoglikemia dan hipokalemia adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
pengobatan insulin krisis hiperglikemia. Akan tetapi komplikasi ini dapat dicegah bila digunakan
terapi insulin dosis rendah dengan cara titrasi dan monitoring gula darah yang ketat (tiap 1-2
jam). Edema serebral juga bisa terjadi pada 0,1-3 % kasus DKA pada anak-anak tetapi jarang
pada dewasa. Gejalanya berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran bertahap, kejang, dan tandatanda peningkatan TIK. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari rehidrasi yang
berlebihan, menurunkan osmolaritas plasma secara perlahan-lahan dan menjaga kadar glukosa
antara 250-300 mg/dL.10
PENCEGAHAN
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka). Upaya
pencegahan merupakan hal penting pada penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya
pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui
edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai
pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi memerlukan penekanan pada cara-cara
mengatasi sakit akut.11

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. 2009. Kelenjar Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.
Edisi 6. EGC. Jakarta. Hal 776-788.
2. Kamus Saku Kedokteran DORLAND. 2008. Edisi 28.
3. Schteingart DE. 2003. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta. Hal 12591274.
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
5. Websters new world. Medical dictionary. 2008. Edisi 3. Wiley Publishing Inc.
6. Gotera W, Budiyasa DGA. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Deabetik. Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. J Peny Dalam, Volume 11
Nomor 2. Hal 126-138.
7. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ. Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med Cli N
Am 88: 1063-1084, 2004.
8. Yehia BR, Kelly C, Golden SH. 2008. Diagnosis and Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults. Resident grand rounds. P 21-26.
9. Savage MW, Dhatariya KK, Kilvert A, Rayman G, Rees JAE, Courtney CH, Hilton L,
Dyer PH and Hamersley MS. 2011. Joint British Diabetes Societies Guideline for the
Management of Diabetic Ketoacidosis. Diabetic Medecine. P 1464-5491
10. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. American Diabetes Association.
Diabetes Care vol 27 supplement1 2004, S94-S102.
11.

Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi 5.
Interna Publishing. Jakarta. 2009.

21

Anda mungkin juga menyukai