PENDAHULUAN
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan
teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak
dianut orang yaitu teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa, deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-
buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills).
Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan
teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas
manfaat.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa
rules dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral
inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan untuk kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya.
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere”
atau “above all do no harm”.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka),
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi
sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Nilai-nilai
dalam etika profesi ini tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.
Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang
penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral”
antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban
moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah
kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban
moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” kewajiban dalam hukum kedokteran.
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.
FAKTA - FAKTA
Dimensi Kedokteran
Ensefalitis merupakan peradangan yang terjadi pada otak, dimana secara umum
biasanya disebabkan oleh virus, meskipun penyebab lain seperti bakteri dapat juga
menimbulkan ensefalitis. Virus tersebut termasuk Chickenpox, Epstein-Barr virus dan
herpes simpleks. Gejalanya antara lain meliputi demam mendadak, sakit kepala berat,
muntah, fotofobia, kaku pada leher dan punggung, bingung, drowsiness, clumsiness,
gaya berjalan yang tidak stabil dan iritabilitas.
Tipe Ensefalitis dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu ensefalitis primer dan
sekunder. Pada ensefalitis primer, virus masuk ke dalam tubuh dan langsung
menginfeksi otak dan sumsum tulang belakang. Pada ensefalitis sekunder terjadi proses
yang berkembang sebagai akibat komplikasi dari infeksi virus atau reaktivasinya virus
yang laten dalam tubuh. Virus dapat menjadi aktif ketika sistem kekebalan tubuh
ditekan oleh keadaan seperti malnutrisi, stress. Ensefalitis sekunder dapat juga
disebabkan oleh infeksi seperti influenza, cacar air, campak dan mumps.
Gejala klinik yang muncul bervariasi dari ringan sampai berat tergantung umur
penderita, virulensi virus, dan kondisi imun penderita. Beberapa gejala yang dapat
timbul adalah panas, penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, sakit kepala, atau
nafsu makan berkurang. Pada kasus yang berat akan didapatkan panas tinggi, kesadaran
menurun hingga koma, sakit kepala yang hebat, muntah, kaku kuduk, gelisah, kejang-
kejang. Keluhan dan gejala klinik pada fase akut umumnya berlangsung 7 hari.
Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari, ditandai dengan adanya demam,
sakit kepala, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat.
Kemudian timbul gejala penyerta (tanda ensefalitis) berupa kondisinya tampak gelisah,
iritabel, perubahan dalam perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Gejala ini
tergantung dari distribusi dan luasnya lesi pada neuron. Kadang kala juga ada tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf
otak. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi apabila terjadi peradangan meningeal.
Ruam pada kulit dapat ditemukan pada ensefalitis karena enterovirus, varisela, dan
zoster.
Beberapa faktor berperan dalam menentukan perjalanan penyakit ensefalitis ini.
Kecepatan pembuatan diagnosis dan penatalaksanaan penderita yang tepat menjadi hal
penting. Faktor lainnya yang juga berperan adalah usia penderita, jenis virus dan
virulensi kuman, serta keadaan imunitas penderita.
Ensefalitis merupakan penyakit yang serius atau penyakit dengan kedaruratan
medik apabila tidak ditangani dengan baik dan tepat. Penatalaksanaan ensefalitis
bersifat suportif dan sesuai dengan klinis yang tampak. Dalam pemantauan, diperlukan
pemeriksaan fisik neurologis secara teratur dan pemeriksaan penunjang lain yang
disesuaikan dengan temuan klinis.
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sequele neurologikus yang
nampak pada 30% anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik,
dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti
perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi
adanya sequele secara dini.
Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan
saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada SSP
meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar,
hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.
Hidrosefalus dapat timbul sebagai akibat adanya bendungan LCS di saluran
aquaduktus. Bisa terjadi pada meningoensefalitis oleh virus mumps dan sering timbul
pada fase perbaikan. Jika terjadi sequele motorik, penatalaksanaannya meliputi
pelayanan fisikal, okupasional, dan rehabilitasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut dan meningkatkan status fungsi organ yang optimal.
Sampai saat ini angka kematian ensefalitis masih tinggi, berkisar antara 35-50%.
Diantara pasien yang hidup, 20-40% mengalami sequele berupa paresis atau paralisis,
gerakan kareoatetoid, gangguan penglihatan dan kelainan neurologis lain. Pasien yang
sembuh tanpa kelainan yang nyata dalam perkembangan selanjutnya mengalami
retardasi mental, gangguan watak dan epilepsi. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan
lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4
hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma. Pasien yang mengalami gejala
koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.
ASSESSMENT
Keadaan Pasien
Pasien adalah seorang anak laki-laki yang baru berumur dua tahun. Sebelum
mengalami infeksi dan didiagnosis menderita ensefalitis, pertumbuhan dan
perkembangan anak ini baik, sama seperti tumbuh kembang anak yang normal. Tetapi
setelah mengalami infeksi, suhu tubuh anak ini sangat tinggi dan disertai dengan
timbulnya kejang sehingga harus dirawat di Rumah Sakit. Selama perawatan kondisi
pasien belum membaik, bahkan pasien mengalami koma. Kejang dan koma yang
dialami pasien karena virus penyebab ensefalitis yang berada dalam tubuh manusia,
mencari sistem limfe dan disini berkembang biak, selanjutnya lewat aliran darah
menuju organ-organ tubuh seperti jaringan otak, masuk ke dalam SSP melalui aliran
darah, menginvasi saraf. Apabila virus berhasil melewati sawar darah otak, virus akan
masuk ke dalam sel saraf, terutama sel-sel neuron, dan kemudian bereplikasi sehingga
menimbulkan gangguan fungsi sel-sel otak. Keluhan dan gejala klinik yang ditemukan
(suhu tubuh sangat tinggi, kejang, kesadaran menurun hingga koma), menunjukkan
bahwa pasien berada pada fase akut dan gejala yang ditunjukkan pasien tergolong
berat.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Arguments
Pada kasus di atas, dokter telah melaksanakan tata urutan tindakan dalam
pelayanan medis yaitu melakukan anamnesis dimana pasien dikeluhkan suhu tubuhnya
sangat tinggi; telah melakukan pemeriksaan fisik dimana pada pasien didapatkan
kejang dan mengalami koma. Dokter juga telah melakukan pemeriksaan
penunjang/laboratorik dimana hasil dari pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya
kelainan atau gangguan pada cairan spinalis pasien.
Pada kasus ensefalitis, dimana terjadi peradangan pada otak, gejala klinik
yang muncul dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Berat ringannya gejala
tergantung pada umur penderita, virulensi virus, dan kondisi imun penderita. Seperti
diketahui bahwa pasien berumur dua tahun, belum mampu menyampaikan keluhan
yang dideritanya sehingga deteksi dini dan pengobatan yang adekuat tidak dapat
diberikan. Pasien ini ditemukan dengan kondisi yang cukup berat dimana suhu
tubuhnya sangat tinggi, terjadi kejang bahkan sudah terjadi penurunan kesadaran dan
koma. Keterlambatan pengobatan akan memberikan prognosis buruk, demikian juga
koma. Pasien yang mengalami gejala koma seringkali meninggal atau sembuh dengan
gejala sisa yang berat.
Selain itu, sampai saat ini angka kematian ensefalitis masih tinggi, berkisar
antara 35-50%. Diantara pasien yang hidup, 20-40% mengalami sequele berupa
paresis atau paralisis. Secara umum dapat dikatakan bahwa risiko yang lebih besar dari
5 % menimbulkan keharusan dan kewajiban untuk memberikan informasi yang
lengkap, sedangkan risiko yang lebih kecil dari 0,5 % tidak perlu diinformasikan.
Dokter dalam melakukan profesinya sama sekali tidak menjanjikan
keberhasilan atau memastikan kesembuhan pasien. Dalam hubungan dokter-pasien
terjadi hubungan berdaya upaya/berusaha semaksimal mungkin, optimis dalam
mengusahakan kesembuhan pasien.
Selain itu saya juga akan menjelaskan bahwa pada kasus ensefalitis yang berat seperti
yang dialami oleh pasien, sangat diperlukan perawatan rumah sakit sehingga
penderita dapat dimonitor secara hati-hati dan pengobatan dapat segera diberikan jika
diperlukan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sequele
secara dini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, maka penulis menyampaikan bahwa
ensefalitis dan sequelenya yang kompleks dan belum diketahui seluruhnya,
memungkinkan tersedianya begitu banyak alternatif penunjang diagnosis dan terapi
yang bervariasi. Namun perlu diingat lagi bahwa dalam menentukan tindakannya,
dokter harus berpedoman bahwa “ diagnostik dan terapi yang paling baik mungkin
terlalu mahal atau mungkin juga tidak tersedia, maka diagnostik dan terapi yang baik
dan tepat adalah yang realistis dan dapat dilaksanakan”.