Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lansia
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) (1998) ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan
yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara
ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai
sumber daya.
Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan
banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua,
seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat Dari
aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara
barat, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat
dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap
pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun.

Universitas Sumatera Utara

Depkes RI (2004) membuat pengelompokan lansia menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu


kelompok pertengahan umur adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa
persiapan

lansia, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa

(4554 tahun), kelompok lansia dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu
kelompok yang mulai memasuki lansia (5564 tahun) dan kelompok lansia dengan
resiko tinggi, ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun, atau kelompok lansia
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat.
2.1.1. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Nugroho (2008) menyatakan adapun perubahan yang terjadi pada lanisa
tersebut terbagi atas perubahan fisik yang meliputi perubahan pada sel, sistem
persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan dan sistem muskuloskletal.
Perubahan yang terjadi pada sel adalah lebih sedikit jumlahnya, lebih besar
ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler,
menurunnya proporsi protein di otak, otot, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun,
terganggunya mekanisme perbaikan sel, otak menjadi atrofi, beratnya berkurang

5-

10%. Pada sistem persarafan terjadi berat otak menurun 10-20% (setiap orang
berkurang sel otaknya dalam setiap harinya), lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf panca indra, yaitu berkurangnya
penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih
sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin dan
kurang sensitif terhadap sentuhan

Universitas Sumatera Utara

Pada sistem pendengaran terjadi gangguan pada pendengaran

yaitu

hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap


bunyi suara atau nada-nada yang tinggi dan nada yang rendah, suara yang tidak jelas,
sulit dimengerti kata-kata yang diucapkan, membran timpani menjadi mengecil
menyebabkan terjadinya kerapuhan pada membran tersebut, terjadi pengumpulan
serumen dan mengeras karena meningkatnya keratin dan pendengaran bertambah
menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres. Sedangkan pada
sistem penglihatan terjadi pada pupil yaitu timbul kekakuan dan hilangnya respon
terhadap sinar, kornea lebih berbentuk bulat (bola), lensa lebih suram (kekeruhan
pada lensa) hingga menjadi katarak, menyebabkan gangguan penglihatan,
meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapangan pandang; berkurang luas pandangannya dan berkurangnya
daya membedakan warna biru atau hijau pada skala ukur.
Pada sistem muskuloskeletal terjadi tulang kehilangan density (cairan) dan
makin rapuh, kifosis, discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek, persendian
membesar dan menjadi pendek dan tendon mengerut serta mengalami skelerosis.
Sementara perubahan mental yang terjadi pada lansia lebih disebabkan oleh adanya
perubahan fisik, organ perasa, kesehatan secara umum, tingkat pendidikan,
keturunan, lingkungan, memori jangka panjang dan jangka pendek, intelegency dan
kemampuan komunikasi verbal dan berkurangnya keterampilan psikomotor serta
perubahan psikososial pada lansia (Nugroho 2008).

Universitas Sumatera Utara

Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan


lingkungan maupun faali tubuh dan status kesehatan lansia. Perubahan tersebut
semakin nyata pada kurun usia 70-an. Faktor lingkungan meliputi perubahan kondisi
ekonomi akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan
meninggal dunia dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadaan gizi
lansia. Faktor kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit
degeneratif dan non generatif yang berakibat pada perubahan dalam asupan makanan
dan perubahan penyerapan zat gizi (Darmojo, 2004).
2.1.2. Permasalahan Gizi pada Lansia
Selain permasalahan tersebut diatas akibat dari terjadinya perubahan
perubahan pada seluruh sistem, lansia juga mengalami masalah gizi. Perubahan fisik
dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat
makanan oleh tubuh. Hal ini akan akan berakibat pada terjadinya masalah gizi lebih
atau terjadi gizi kurang.
Gizi lebih pada lansia lebih banyak terdapat di perkotaan daripada pedesaan.
Kebiasaan mengkonsumsi makan yang berlebih pada waktu muda menyebabkan berat
badan berlebih dan juga karena kurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan mengkonsumsi
makan berlebih tersebut sulit untuk diubah walaupun lanjut usia menyadari dan
berusaha untuk mengurangi makan. Kegemukkan merupakan salah satu pencetus
berbagai penyakit, misalnya penyakit jantung, diabetes mellitus, penyempitan
pembuluh darah dan tekanan darah tinggi (Nugroho 2008). Menurut Darmojo &

Universitas Sumatera Utara

Martono (2004), kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup
pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang membaik dan tersedianya berbagai
makanan siap saji yang enak dan kaya energi menjadikan asupan makanan dan zat-zat
gizi melebihi kebutuhan tubuh.
Adapun gizi kurang yang terjadi pada lansia sering disebabkan oleh masalah
sosial-ekonomi dan gangguan penyakit. Apabila konsumsi kalori terlalu rendah dari
yang dibutuhkan, akan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Hal ini akan
diperparah apabila disertai dengan kekurangan protein, akibatnya adalah kerusakkan
sel yang tidak dapat diperbaiki. Akhirnya daya tahan tubuh akan menurun dan akan
mudah terkena penyakit infeksi pada organ tubuh vital.
Maryam (2008) menyatakan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya gizi
kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis,
pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahan bahan makanan. Menurut Darmojo &
Martono (2004), terjadinya kurang gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang
bersifat primer dan skunder. Sebab primer meliputi ketidaktahuan, ketidakmampuan,
isolasi sosial, hidup sendiri, kehilangan pasangan, gangguan fisik, gangguan
penginderaan, gangguan mental dan kemiskinan, sehingga asupan makanan seharihari kurang. Sebab sekunder meliputi mal absorbsi, penggunaan obat-obatan,
peningkatan kebutuhan gizi, pola makan yang salah serta alkoholisme.
2.1.3. Kebutuhan Gizi Lansia

Universitas Sumatera Utara

Kebutuhan kalori pada lansia diperoleh dari lemak 9,4 kal, karbohidrat 4 kal,
dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20-25%
berasal dari protein, 20% dari lemak, dan sisanya dari karbohidrat. Kebutuhan kalori
untuk lansia laki-laki sebanyak 1960 kal, sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal.
Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan
berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas (Maryam, 2008).
Indra (2011) menyatakan angka kecukupan energi dan zat gizi yang
dianjurkan untuk manula dalam sehari didapat dengan menciptakan pola makan yang
baik, menciptakan suasana yang menyenangkan. Memperkuat daya tahan tubuh
dengan makanan yang mengandung zat gizi yang penting untuk kekebalan tubuh dari
penyakit, seperti : biji-bijian, sayuran berdaun hijau, makanan laut. Mencegah tulang
agar tidak menjadi keropos dan mengerut yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung vitamin D. Pada usia diatas 60 tahun kemampuan penyerapan kalsium
menurun, mengkonsumsi vitamin D membantu penyerapan kalsium dalam tubuh,
contoh makanan sumber vitamin D adalah susu.
Selanjutnya adalah memastikan agar saluran pencernaan tetap sehat, aktif dan
teratur. Karena itu harus makan sedikitnya 20 gram makanan yang mengandung serat,
seperti biji-bijian, jeruk dan sayuran yang berdaun hijau tua. Menyelamatkan
penglihatan dan mencegah terjadinya katarak. Santaplah makanan yang mengandung
vitamin C, E dan B karoten (antioksidan), seperti : sayuran berwarna kuning dan
hijau, jeruk sitrun dan buah lain.

Universitas Sumatera Utara

Mengurangi resiko penyakit jantung yaitu dengan membatasi makanan


berlemak yang banyak mengandung kolesterol dan natrium dan harus banyak makan
makanan yang kaya vitamin B6, B12, asam folat, serat yang larut, kalsium dan
aklium, seperti biji-bijian utuh, susu tanpa lemak, kacang kering daging tidak
berlemak, buah, termasuk nanas dan sayuran. Agar ingatan tetap baik dan sistem
syaraf tetap bagus, harus banyak makan vitamin B6, B 12 dan asam folat
2.2. Pola Makan Lansia
Pola makan berarti suatu cara atau usaha untuk melakukan kegiatan makan
yang sehat. Kegiatan makan yang sehat meliputi pengaturan jumlah kecukupan
makanan,

jenis

makanan

dan

jadwal

makan,

didalam

fungsinya

untuk

mempertahankan kesehatan.
2.2.1. Jumlah Asupan Makanan
Pola makan pada lansia dalam pengaturan jumlah makanan sebagai sumber
energi hendaknya harus mengandung semua unsur gizi, seperti karbohidrat, protein,
lemak, mineral, vitamin, air dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan lansia serta harus seimbang dalam komposisinya (Maryam, 2008).
Jumlah kebutuhan energi per hari disesuaikan dengan berat badan dan tingkat
aktivitas fisik yang dilakukan. Dalam keadaan sakit kebutuhan energi semakin
meningkat sesuai dengan keadaan sakit. Kebutuhan energi tersusun atas karbohidrat
60-70% yang terbagi atas karbohidrat sederhana 10-15% berupa gula serta
karbohidrat kompleks berupa nasi, kacang, buah dan sayur. Protein 15-20% dari total

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan energi tersusun atas protein lengkap berupa protein hewani sebaiknya dari
daging tanpa lemak, ikan dan putih telur atau kombinasi antara nasi dan kacangkacangan (Maryam, 2008).
Jumlah lemak dalam makanan adalah 15-20% dari total energi, kurang dari
10% berasal dari lemak hewani. Jumlah asupan kolesterol <300mg/hari, harus
dihindari makanan dengan kolesterol tinggi yang bersumber dari kuning telur, jeroan,
otak, kulit, udang, keju, sop buntut dan sop kaki. Dianjurkan untuk makan makanan
yang mengandung serat yang larut dalam air seperti apel, jeruk, pir, kacang merah
dan kedelai. Karena selain sebagai sumber serat, buah dan sayur juga sebagai sumber
vitamin dan mineral serta air. Kebutuhan lansia akan air adalah 2-3 liter/ hari (10-15
gelas) (Maryam, 2008).
Pemberian makanan pada lansia menurut Nugroho (2008) adalah makanan
yang hendak disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang disajikan
diberikan pada waktu yang teratur dan dalam porsi yang kecil saja, berikan makanan
secara bertahap dan bervariasi, sesuaikan makanan dengan diet yang dianjurkan oleh
dokter dan berikan makanan yang lunak untuk menghindari konstipasi serta
memudahkan mengunyah, seperti nasi tim atau bubur.

2.2.2. Jenis Menu Makanan


Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan atau disajikan pada waktu
makan. Menu seimbang bagi lansia adalah susunan makanan yang mengandung

Universitas Sumatera Utara

cukup semua unsur zat gizi dibutuhkan lansia. Pedoman untuk makanan bagi lansia
adalah makan makanan yang beraneka ragam dan mengandung zat gizi yang cukup,
makanan mudah dicerna dan dikunyah, sumber protein yang berkualitas seperti susu,
telur, daging dan ikan. Sebaiknya mengkonsumsi sumber karbohidrat kompleks,
makanan sumber lemak harus berasal dari lemak nabati, mengkonsumsi makanan
sumber zat besi seperti bayam, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Maryam, 2008).
Dalam menu seimbang bagi lansia juga harus membatasi makanan yang
diawetkan dan anjurkan pada lansia untuk minum air putih 6-8 gelas sehari karena
kebutuhan cairan meningkat dan untuk memperlancar proses metabolisme serta
makanan sehari disajikan dalam keadaan masih panas (hangat), segar dan porsi kecil
(Maryam, 2008).
2.2.3. Jadwal Makan
Maryam (2008) menyatakan menu yang disusun untuk lansia dalam
pemberiannya sebaiknya terbagi atas 7-8 kali pemberian, yang terdiri dari 3 kali
makanan utama (pagi, siang dan malam) serta 4-5 kali makanan selingan. Sebagai
contoh pukul 05.00 minum susu atau jus, pukul 07.00 makanan utama, pukul 09.30
makan minum selingan, pukul 12.00 makanan utama, pukul 15.00 makan minum
selingan, pukul 18.30 makanan utama dan sebelum tidur makan minum selingan.
2.2.4. Faktor Faktor yang Memengaruhi Pola Makan secara Umum
Pola makan pada individu dipengaruhi oleh faktor - faktor antara lain budaya,
agama/ kepercayaan, psikososial, status ekonomi, kesukaan terhadap makanan, rasa

Universitas Sumatera Utara

lapar/ nafsu makan dan rasa kenyang serta kesehatan individu. Faktor budaya
merupakan kemampuan individu dalam

menentukan jenis makanan yang sering

dikonsumsi dan letak geografis juga mempengaruhi makanan yang dikonsumsi.


Faktor budaya merupakan faktor yang diturunkan dari para pendahulu atau bersifat
turun temurun, yang akhirnya akan menjadi kebiasaan pada individu.
Faktor agama/ kepercayaan pada diri individu juga mempengaruhi makanan
yang dikonsumsi seharihari. Dalam agama/ kepercayaan terdapat yang disebut
pantangan atau larangan. Makanan mana yang boleh dikonsumsi dan mana makanan
yang tidak boleh dikonsumsi. Walaupun terkadang makanan tersebut merupakan
sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi karena agama/ kepercayaan
melarangnya, sehingga jenis makanan tersebut tidak dapat dikonsumsi. Adapun status
ekonomi sangat mempengaruhi terhadap jenis dan kualitas makanan yang akan
dikonsumsi oleh individu. Pemilihan dan pembelian bahan makanan akan menjadi
mudah apabila pendapatan atau ketersedianan keuangan mencukupi.
Psikososial yang sering dijumpai pada lansia menambah berat beban keluarga
dan masyarakat. Dari segi sosial, lansia mengalami penurunan interaksi antara diri
lansia dengan lingkungan. Hal tersebut bisa terjadi karena lansia mulai menarik diri
dari kehidupan sosial, status kesehatannya menurun, penghasilan berkurang, dan
terbatasnya program untuk memberi kesempatan lansia untuk tetap berinteraksi dan
beraktifitas. Hal tersebut berpengaruh kepada kepercayaan diri, motivasi, perasaan
dan emosi, lansia memilih untuk berdiam diri dirumah. Menurunnya keinginan
beraktifitas dengan lingkungan berpengaruh terhadap keinginan mengkonsumsi

Universitas Sumatera Utara

makanan/ pola makan, karena kebutuhan yang kalori yang terbatas. Apabila dibiarkan
berlanjut tentunya akan mempengaruhi keadaan status gizi lansia.
Personal preference (kesukaan individu terhadap makanan), hal-hal yang
disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap pola makan seseorang.
Perasaan suka dan tidak suka dimulai sejak dari masa kanakkanak hingga dewasa.
Perasaan tersebut terhadap makanan tergantung penilaian individu terhadap makanan
yang disediakan. Sedangkan rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang merupakan
sensasi yang berhubungan dengan terpenuhinya makanan dalam diri seseorang. Hal
tersebut berhubungan terhadap perasaan senang dan tidak senang dalam menerima
makanan yang disediakan.
Kesehatan merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan akan
makan pada diri individu. Adanya penyakit seperti sakit gigi atau sariawan yang
diderita akan mempengaruhi penerimaan individu tersebut terhadap makanan yang
ada. Sehingga kesehatan merupakan faktor yang terpenting dalam pola makan.

2.3. Faktor yang Memengaruhi Pola Makan pada Lansia


Lansia dengan berbagai kemunduran yang dialami, dapat mempengaruhi derajat
kesehatan lansia tersebut. Derajat kesehatan yang baik salah satunya dapat diperoleh
dengan menjaga status gizinya dengan mempertahankan kecukupan gizi melalui pola
makan baik pula. Maryam (2008) mengatakan bahwa keseimbangan motivasi,
perasaan dan emosi mencakup rasa marah, cemas, takut, kehilangan, sedih dan

Universitas Sumatera Utara

kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap berbicara yang buruk
pada orang lain, menolak makan minum, menolak ketergantungan dengan orang lain,
melemparkan makanan dan lain-lain serta tak kalah penting adalah dukungan sosial
dari lingkungan seperti dukungan keluarga, kelompok maupun masyarakat. Faktor
yang mempengaruhi pola makan lansia diantaranya adalah motivasi diri, perasaan dan
emosi serta dukungan keluarga
2.3.1. Motivasi Diri
Sunaryo (2004) mengatakan motif atau motivasi diri merupakan suatu
pengertian yang mencakup penggerak, keinginan, rangsangan, hasrat, pembangkit
tenaga, alasan dan dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat
sesuatu. Sementara Gerungan (1960) dalam Sunaryo (2004) motif merupakan suatu
proses pengertian yang melengkapi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam
diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu yang berkaitan dengan perilaku
kesehatan individu.
Menurut Sarwono (2000) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa
motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerninkan interaksi antara
sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, dan
motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri
(faktor intrinsik) dan faktor di luar dirinya (faktor ekstrinsik). Faktor didalam diri
seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau bebagai
harapan, cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Faktor luar diri dapat ditimbulkan
oleh berbagai sumber dari lingkungan atau faktor lain yang sangat kompleks sifatnya.

Universitas Sumatera Utara

Sarwono (2000) dalam Sunaryo (2004) juga mengatakan motivasi


menunjukan pada proses gerakan, termasuk situasi yang yang mendorong sehingga
timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan
tujuan akhir dari gerakan atau perbuatan.
Individu yang melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, atas dasar motivasi
masing-masing. Pada prinsipnya motivasi didasari pada pemenuhan kebutuhan yang
dibagi atas kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer mempunyai
aspek vital, biologis dan fisiologis, sedangkan kebutuhan sekunder mempunyai aspek
sosial, non vital dan psikologis (Sunaryo, 2004).
2.3.2. Perasaan dan Emosi
Perasaan menurut Sunaryo (2004) adalah gejala psikis yang memiliki sifat
khas subjektif yang berhubungan dengan persepsi dan dialami sebagai rasa senangtidak senang, sedih-gembira dalam berbagai derajat dan tingkatannya. Maramis
(1999) dalam Sunaryo (2004), menyatakan perasaan adalah nada menyenangkan atau
tidak, yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang
disertai oleh komponen fisiologik. Sementara itu emosi menurut Maramis (1990)
merupakan manifestasi perasaan atau afek keluar dan disertai banyak komponen
fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama, sementara emosi adalah suatu
keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan
dengan sekitarnya mungkin terganggu.
Dalam Sunaryo (2004) menyatakan perasaan memiliki ciri-ciri yaitu selalu

Universitas Sumatera Utara

terkait dengan gejala kejiwaan yang lain khususnya persepsi, bersifat individual atau
subjective dan perasaan dialami oleh individu sebagai perasaan menyenangkan dan
tidak menyenangkan. Perasaan menyenangkan dapat dibagi atas rasa senang, bangga,
kasih sayang, gembira, enak, lezat, indah dan tenang, sementara perasaan tidak
menyenangkan terbagi atas sedih, kecewa, sakit, gelisah, kacau dan galau (Sunaryo,
2004).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perasaan yaitu keadaan
jasmani atau fisik individu, struktur kepribadian dan keadaan temporer. Keadaan
jasmani atau fisik individu dicontohkan seperti perasaan individu yang sedang sakit,
lebih sensitif daripada orang sehat. Struktur kepribadian yang mempengaruhi
timbulnya perasaan digambarkan seperti individu yang berkepribadian introvert
memiliki perasaan yang sensitif sedangkan keadaan temporer pada diri individu atau
tergantung pada suasana hati, individu yang sedang sedih sangat peka perasaannya
dibanding individu yang normal (Sunaryo, 2004).
Emosi adalah manifestasi perasaan afek keluar dan disertai banyak komponen
fisiologik dan biasanya berlangsung tidak tidak lama (Maramis, 1990). Bimo W
(1989) dalam Sunaryo (2004) menyatakan emosi adalah suatu keadaan perasaan yang
telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya
mungkin terganggu. Emosi merupakan perasaan yang mendasar, dapat mengarahkan
perilaku individu, baik perilaku positif atau perilaku negatif.
2.3.3. Dukungan Keluarga

Universitas Sumatera Utara

Perubahan yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perilaku kesehatan
individu yaitu adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan
keluarga/ kelompok maupun dukungan secara sosial. Menurut Depkes RI (1998)
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat
perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan
pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Menurut Darmojo (2000), pada umumnya lansia berkeinginan menikmati hari
tuanya di lingkungan keluarga, namun dalam keadaan dan sebab tertentu mereka
tidak tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu, lansia yang berada di lingkungan
keluarga atau tinggal bersama keluarga serta mendapat dukungan dari keluarga akan
membuat lansia merasa lebih sejahtera. Friedman dalam Sudiharto (2007),
menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu
fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh
dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung satu sama lain.
Peran anggota keluarga terhadap lansia seperti melakukan pembicaraan terarah,
mempertahankan kehangatan keluarga, membantu dalam hal sumber keuangan dan
transportasi, memberikan kasih sayang, menghormati dan menghargai, bersikap sabar
dan bijaksana, mengajak dalam acara tertentu, memeriksakan kesehatan lansia secara

Universitas Sumatera Utara

teratur, memberi dorongan untuk tetap hidup bersih dan sehat dan lainlain (Maryam,
2008).
2.4. Pengaruh Motivasi, Perasaan dan Emosi serta Dukungan Keluarga
terhadap Pola Makan Lansia
Secara epidemiologi faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pola makan
pada lansia antara lain karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola
makan dan gaya hidup, karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri
biologis dan sosial yang terdapat pada lansia. Karakteristik tersebut seperti
karakteristik sosiodemografi misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jenis
pekerjaan, sosial ekonomi, dan perilaku (pengetahuan dan sikap) serta sosial
budaya (Nugroho, 2008).
Menurut Maramis (2006) perubahan psikologis seseorang dapat dilihat
dengan

memperhatikan

masalah

emosionalnya

dengan

maksud

menghilangkan, mengubah gejala yang ada dan mengembangkan pertumbuhan


kepribadian yang positif. Perubahan tersebut tentunya berdampak pada perilaku
seseorang dalam beraktifitas dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, seperti
dalam mengkonsumsi makanan yang tentunya juga dipengaruhi oleh keadaann emosi.
Pada penelitian Rusilanti (2006), lansia yang memiliki dukungan sosial yang
baik akan memperbaiki kondisi psikososialnya. Dengan semakin majunya
komunikasi antar individu dan teknologi, pola hidup masyarakat mengalami
perubahan. Pola hidup keluarga semakin kehilangan fungsinya dan beralih menjadi
pola hidup keluarga inti. Kebiasaan untuk memberikan bantuan sosial antar keluarga

Universitas Sumatera Utara

berkurang dan pola hidup individual semakin menonjol. Dalam hal ini berpengaruh
terhadap kondisi psikososial lansia.
Dalam penelitiannya, konsumsi makan lansia memiliki hubungan positif (r=0,25)
dengan kondisi psikososialnya, namun kondisi psikososial juga berkorelasi positif
dengan kepuasan hidup (r=0,12) dan berkorelasi negatif dengan depresi (r=-0,07).
Salah satu indikator kepuasan hidup adalah terpenuhinya semua kebutuhan termasuk
kebutuhan akan makanan yang dikonsumsinya. Sebaliknya semakin baik kondisi
psikososial semakin baik pula konsumsi makanan lansia. Faktor fisiologi dan
psikologi dapat mempengaruhi pemilihan terhadap makanan, di samping itu pula
pengetahuan tentang makanan juga dapat mempengaruhi asupan. Faktor sosial juga
memiliki pengaruh besar terhadap pemilihan makanan. Budaya, geografi, dan
ketersediaan makanan menentukan peningkatan atau pembatasan dalam memilih
makanan. Pada sebagian besar orang, hubungan keluarga dan persahabatan seringkali
mempengaruhi pembelian, perbaikan dan konsumsi makanan. Status sosial ekonomi,
perubahan ekonomi dan dukungan sosial memiliki pengaruh penting dalam
membentuk pola makan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi dan penyakit.
Kondisi psikososial dapat diukur dari tingkat kepuasan hidup. Dalam
penelitian tersebut tampak adanya korelasi positif tingkat kepuasan terhadap kondisi
psikososial lansia (r=0,12). Semakin tinggi tingkat kepuasan lansia semakin baik
kondisi psikososial lansia. Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan
kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari (2003)
disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah

Universitas Sumatera Utara

terjaminnya kebutuhan hidup. Terjaminnya kebutuhan hidup bisa didapat bila ada
dukungan sosial bagi lansia baik dari keluarga, masyarakat maupun dari pemerintah.
Kondisi psikososial dan fisik secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap
status gizi. Semakin baik kondisi psikososial, diharapkan semakin baik pula status
gizi. Beberapa faktor risiko potensial yang telah diidentifikasi dapat menyebabkan
terjadinya masalah gizi pada lansia di antaranya adalah kebingungan mental dan
depresi serta ketidakmampuan fisik. Aspek psikososial dan fisik secara keseluruhan
memiliki hubungan positif dengan status gizi. Hal itu menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan status gizi yang baik diperlukan perhatian yang lebih menyeluruh
terhadap aspek psikososial dan fisik baik dari keluarga, masyarakat, maupun
pemerintah.
Lansia dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat membutuhkan bantuan dari
lingkungannya, hal ini karena keadaan lansia yang sudah terbatas dalam melakukan
segala sesuatunya sendiri, agar dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut dapat
terpenuhi sesuai dengan keadaannya.
2.5. Penilaian Pola Makan Lansia
Pola makan merupakan serangkaian kegiatan makan pada lansia dalam
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain dari bahan pangan yang di konsumsi.
Penilaian pola makan dapat dilihat dengan melakukan pengukuran jumlah kecukupan
energi yang dibutuhkan, jenis makanan dan jadwal makan sehari, sehingga diperoleh
data konsumsi sehari pada lansia.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan


menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode
yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi
konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan
makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode
secara kuantitatif untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi kemudian
dibandingkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang
diperlukan (Supariasa, 2002).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penimbangan makanan
(food weighing method). Prinsip dari metode penimbangan makanan adalah
pengukuran dilakukan secara langsung sehingga berat dari makanan yang dikonsumsi
dapat diketahui dengan benar. Adapun langkahlangkah yang dilakukan pada metode
ini adalah peneliti menimbang dan mencatat makanan yang akan dikonsumsi dalam
gram. Selanjutnya setelah makanan dikonsumsi, sisa dari makan ditimbang juga.
Jumlah makanan yag dikonsumsi sehari, kemudian di analisis dengan menggunakan
DKBM. Kemudian dibandingkan hasilnya dengan kecukupan gizi yang dianjurkan
dalam angka kecukupan gizi (AKG). Metode penimbangan makanan mempunyai
ketelitian paling tinggi dibanding metode lainnya, dapat mencatat secara pasti
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan asupan atau sisa makanan dan mempunyai
validitas yang tinggi. Namun kelemahannya membebani responden, tidak praktis,
memerlukan tempat dan peralatan khusus, membutuhkan waktu dan mahal karena

Universitas Sumatera Utara

membutuhkan peralatan, tenaga pengumpul harus terlatih dan terampil serta


memerlukan kerjasama yang baik dengan responden (Supariasa, 2002).
2.6. Landasan Teori
Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Berbagai permasalahan yang timbul akibat proses penuaan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan lansia di masyarakat. Salahsatu permasalahannya
adalah status gizi kurang ataupun gizi lebih, penyebab terjadinya permasalahan gizi
tersebut adalah diduga karena pola makan yang salah atau tidak tepat hal ini karena
dipengaruhi oleh budaya, agama/ kepercayaan, status ekonomi, psikososial dan rasa
suka terhadap jenis makanan serta yang paling terpenting adalah kesehatan lansia itu
sendiri (Darmojo, 2004).
Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan
lingkungan maupun faali dan status kesehatan lansia. Perubahan tersebut semakin
nyata pada kurun usia 70-an. Factor lingkungan meliputi perubahan kondisi ekonomi
akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan meninggal
dunia,dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadaan gizi lansia. Faktor
kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit degeneratif dan
non generatif yang berakibat pada perubahan dalam asupan makanan, perubahan
penyerapan zat gizi (Darmojo, 2004)
Maryam (2008) menyatakan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya gizi
kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis,

Universitas Sumatera Utara

pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya


pengetahuan tentang gizi dan pengolahan bahan makanan. Hal lainnya seperti
keseimbangan motivasi, perasaan dan emosi mencakup rasa marah, cemas, takut,
kehilangan, sedih dan kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap
berbicara yang buruk pada orang lain, menolak makan minum, melemparkan
makanan dan lain-lain.
Menurut Smet (1994), psikososial merupakan hubungan yang dinamis antara
psikologis dan kehidupan sosial dimasyarakat dan keduanya saling mempengaruhi
satu sama lain. Terganggunya psikososial terjadi apabila ada ketidakseimbangan
antara hal tersebut, sehingga lansia harus bisa dan mampu untuk beradaptasi dengan
perubahan tersebut. Selain hal tersebut pola makan lansia juga dipengaruhi oleh
karakteristik lansia seperti umur, pendidikan terakhir, pekerjaan terakhir, agama/
kepercayaan, jenis dan lama sakit dan status perkawinan.
Pengaruh lain yang tak kalah penting dalam mempengaruhi pola makan
lansia adalah akibat dari proses penuaan seperti adanya gangguan motorik, pikun,
pension, gigi kurang, hilangnya fungsi pengecapan, mengkonsumsi obatobatan
dalam jangka waktu yang lama serta minum minuman beralkohol. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa status gizi lansia dipengaruhi oleh pola makan.
Berdasarkan uraian landasan teori diatas, maka diperoleh model skema
kerangka teori sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Fungsi Budaya
- Adat Istiadat
- Geografis
Agama/ Kepercayaan
- Pantangan / larangan
Status ekonomi
- Pemilihan makanan
- Pembelian makanan
Psikososial
- Menarik diri
- Kepercayaan diri
- Motivasi diri
- Perasaan dan emosi
- Dukungan Keluarga
Personal preference
- Perasaan suka terhadap
makanan
- Perasaan tidak suka
terhadap makanan
Kesehatan

Karakteristik Lansia
Umur
Pendidikan akhir
Pekerjaan akhir
Agama
Status perkawinan

Pola Makan

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

Status gizi

- Penggunaan obat dan


alkohol
- Gangguan motorik
- Perubahan psikologis
(kesepian)
- Pensiun
- Pikun
- Kurang aktifitas
- Gigi berkurang
- Hilang fungsi pengecap

Gambar 2.1 Skema Kerangka Teori


Berdasarkan
teori
diatasRI,dapat
dibuat kerangka
konsepsumber
penelitian sebagai
Sumber : Depkes
dan modifikasi
dari beberapa
berikut :
Motivasi diri

Pola makan lansia


- Jumlah
Makanan
- Jadwal Makan

Perasaan dan
Emosi

Asupan

Kondisi Lansia
Penggunaan obat dan alkohol,
Gangguan motorik, Perubahan
psikologis (kesepian), Pensiun,
Pikun, Kurang aktifitas, Gigi
berkurang, Hilang fungsi
pengecapan

Universitas Sumatera Utara

Keterangan :

: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan gambar 2.2 diketahui bahwa variabel independen dalam


penelitian ini adalah variabel psikososial yang terdiri dari motivasi diri, perasaan dan
emosi, kepribadian dan dukungan keluarga. Sedangkan variabel dependen dalam
penelitian ini adalah variabel pola makan lansia.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai