TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lansia
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) (1998) ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan
yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara
ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai
sumber daya.
Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan
banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua,
seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat Dari
aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara
barat, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat
dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap
pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun.
(4554 tahun), kelompok lansia dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu
kelompok yang mulai memasuki lansia (5564 tahun) dan kelompok lansia dengan
resiko tinggi, ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun, atau kelompok lansia
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat.
2.1.1. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Nugroho (2008) menyatakan adapun perubahan yang terjadi pada lanisa
tersebut terbagi atas perubahan fisik yang meliputi perubahan pada sel, sistem
persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan dan sistem muskuloskletal.
Perubahan yang terjadi pada sel adalah lebih sedikit jumlahnya, lebih besar
ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler,
menurunnya proporsi protein di otak, otot, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun,
terganggunya mekanisme perbaikan sel, otak menjadi atrofi, beratnya berkurang
5-
10%. Pada sistem persarafan terjadi berat otak menurun 10-20% (setiap orang
berkurang sel otaknya dalam setiap harinya), lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf panca indra, yaitu berkurangnya
penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih
sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin dan
kurang sensitif terhadap sentuhan
yaitu
Martono (2004), kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup
pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang membaik dan tersedianya berbagai
makanan siap saji yang enak dan kaya energi menjadikan asupan makanan dan zat-zat
gizi melebihi kebutuhan tubuh.
Adapun gizi kurang yang terjadi pada lansia sering disebabkan oleh masalah
sosial-ekonomi dan gangguan penyakit. Apabila konsumsi kalori terlalu rendah dari
yang dibutuhkan, akan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Hal ini akan
diperparah apabila disertai dengan kekurangan protein, akibatnya adalah kerusakkan
sel yang tidak dapat diperbaiki. Akhirnya daya tahan tubuh akan menurun dan akan
mudah terkena penyakit infeksi pada organ tubuh vital.
Maryam (2008) menyatakan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya gizi
kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis,
pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahan bahan makanan. Menurut Darmojo &
Martono (2004), terjadinya kurang gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang
bersifat primer dan skunder. Sebab primer meliputi ketidaktahuan, ketidakmampuan,
isolasi sosial, hidup sendiri, kehilangan pasangan, gangguan fisik, gangguan
penginderaan, gangguan mental dan kemiskinan, sehingga asupan makanan seharihari kurang. Sebab sekunder meliputi mal absorbsi, penggunaan obat-obatan,
peningkatan kebutuhan gizi, pola makan yang salah serta alkoholisme.
2.1.3. Kebutuhan Gizi Lansia
Kebutuhan kalori pada lansia diperoleh dari lemak 9,4 kal, karbohidrat 4 kal,
dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20-25%
berasal dari protein, 20% dari lemak, dan sisanya dari karbohidrat. Kebutuhan kalori
untuk lansia laki-laki sebanyak 1960 kal, sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal.
Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan
berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas (Maryam, 2008).
Indra (2011) menyatakan angka kecukupan energi dan zat gizi yang
dianjurkan untuk manula dalam sehari didapat dengan menciptakan pola makan yang
baik, menciptakan suasana yang menyenangkan. Memperkuat daya tahan tubuh
dengan makanan yang mengandung zat gizi yang penting untuk kekebalan tubuh dari
penyakit, seperti : biji-bijian, sayuran berdaun hijau, makanan laut. Mencegah tulang
agar tidak menjadi keropos dan mengerut yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung vitamin D. Pada usia diatas 60 tahun kemampuan penyerapan kalsium
menurun, mengkonsumsi vitamin D membantu penyerapan kalsium dalam tubuh,
contoh makanan sumber vitamin D adalah susu.
Selanjutnya adalah memastikan agar saluran pencernaan tetap sehat, aktif dan
teratur. Karena itu harus makan sedikitnya 20 gram makanan yang mengandung serat,
seperti biji-bijian, jeruk dan sayuran yang berdaun hijau tua. Menyelamatkan
penglihatan dan mencegah terjadinya katarak. Santaplah makanan yang mengandung
vitamin C, E dan B karoten (antioksidan), seperti : sayuran berwarna kuning dan
hijau, jeruk sitrun dan buah lain.
jenis
makanan
dan
jadwal
makan,
didalam
fungsinya
untuk
mempertahankan kesehatan.
2.2.1. Jumlah Asupan Makanan
Pola makan pada lansia dalam pengaturan jumlah makanan sebagai sumber
energi hendaknya harus mengandung semua unsur gizi, seperti karbohidrat, protein,
lemak, mineral, vitamin, air dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan lansia serta harus seimbang dalam komposisinya (Maryam, 2008).
Jumlah kebutuhan energi per hari disesuaikan dengan berat badan dan tingkat
aktivitas fisik yang dilakukan. Dalam keadaan sakit kebutuhan energi semakin
meningkat sesuai dengan keadaan sakit. Kebutuhan energi tersusun atas karbohidrat
60-70% yang terbagi atas karbohidrat sederhana 10-15% berupa gula serta
karbohidrat kompleks berupa nasi, kacang, buah dan sayur. Protein 15-20% dari total
kebutuhan energi tersusun atas protein lengkap berupa protein hewani sebaiknya dari
daging tanpa lemak, ikan dan putih telur atau kombinasi antara nasi dan kacangkacangan (Maryam, 2008).
Jumlah lemak dalam makanan adalah 15-20% dari total energi, kurang dari
10% berasal dari lemak hewani. Jumlah asupan kolesterol <300mg/hari, harus
dihindari makanan dengan kolesterol tinggi yang bersumber dari kuning telur, jeroan,
otak, kulit, udang, keju, sop buntut dan sop kaki. Dianjurkan untuk makan makanan
yang mengandung serat yang larut dalam air seperti apel, jeruk, pir, kacang merah
dan kedelai. Karena selain sebagai sumber serat, buah dan sayur juga sebagai sumber
vitamin dan mineral serta air. Kebutuhan lansia akan air adalah 2-3 liter/ hari (10-15
gelas) (Maryam, 2008).
Pemberian makanan pada lansia menurut Nugroho (2008) adalah makanan
yang hendak disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang disajikan
diberikan pada waktu yang teratur dan dalam porsi yang kecil saja, berikan makanan
secara bertahap dan bervariasi, sesuaikan makanan dengan diet yang dianjurkan oleh
dokter dan berikan makanan yang lunak untuk menghindari konstipasi serta
memudahkan mengunyah, seperti nasi tim atau bubur.
cukup semua unsur zat gizi dibutuhkan lansia. Pedoman untuk makanan bagi lansia
adalah makan makanan yang beraneka ragam dan mengandung zat gizi yang cukup,
makanan mudah dicerna dan dikunyah, sumber protein yang berkualitas seperti susu,
telur, daging dan ikan. Sebaiknya mengkonsumsi sumber karbohidrat kompleks,
makanan sumber lemak harus berasal dari lemak nabati, mengkonsumsi makanan
sumber zat besi seperti bayam, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Maryam, 2008).
Dalam menu seimbang bagi lansia juga harus membatasi makanan yang
diawetkan dan anjurkan pada lansia untuk minum air putih 6-8 gelas sehari karena
kebutuhan cairan meningkat dan untuk memperlancar proses metabolisme serta
makanan sehari disajikan dalam keadaan masih panas (hangat), segar dan porsi kecil
(Maryam, 2008).
2.2.3. Jadwal Makan
Maryam (2008) menyatakan menu yang disusun untuk lansia dalam
pemberiannya sebaiknya terbagi atas 7-8 kali pemberian, yang terdiri dari 3 kali
makanan utama (pagi, siang dan malam) serta 4-5 kali makanan selingan. Sebagai
contoh pukul 05.00 minum susu atau jus, pukul 07.00 makanan utama, pukul 09.30
makan minum selingan, pukul 12.00 makanan utama, pukul 15.00 makan minum
selingan, pukul 18.30 makanan utama dan sebelum tidur makan minum selingan.
2.2.4. Faktor Faktor yang Memengaruhi Pola Makan secara Umum
Pola makan pada individu dipengaruhi oleh faktor - faktor antara lain budaya,
agama/ kepercayaan, psikososial, status ekonomi, kesukaan terhadap makanan, rasa
lapar/ nafsu makan dan rasa kenyang serta kesehatan individu. Faktor budaya
merupakan kemampuan individu dalam
makanan/ pola makan, karena kebutuhan yang kalori yang terbatas. Apabila dibiarkan
berlanjut tentunya akan mempengaruhi keadaan status gizi lansia.
Personal preference (kesukaan individu terhadap makanan), hal-hal yang
disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap pola makan seseorang.
Perasaan suka dan tidak suka dimulai sejak dari masa kanakkanak hingga dewasa.
Perasaan tersebut terhadap makanan tergantung penilaian individu terhadap makanan
yang disediakan. Sedangkan rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang merupakan
sensasi yang berhubungan dengan terpenuhinya makanan dalam diri seseorang. Hal
tersebut berhubungan terhadap perasaan senang dan tidak senang dalam menerima
makanan yang disediakan.
Kesehatan merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan akan
makan pada diri individu. Adanya penyakit seperti sakit gigi atau sariawan yang
diderita akan mempengaruhi penerimaan individu tersebut terhadap makanan yang
ada. Sehingga kesehatan merupakan faktor yang terpenting dalam pola makan.
kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap berbicara yang buruk
pada orang lain, menolak makan minum, menolak ketergantungan dengan orang lain,
melemparkan makanan dan lain-lain serta tak kalah penting adalah dukungan sosial
dari lingkungan seperti dukungan keluarga, kelompok maupun masyarakat. Faktor
yang mempengaruhi pola makan lansia diantaranya adalah motivasi diri, perasaan dan
emosi serta dukungan keluarga
2.3.1. Motivasi Diri
Sunaryo (2004) mengatakan motif atau motivasi diri merupakan suatu
pengertian yang mencakup penggerak, keinginan, rangsangan, hasrat, pembangkit
tenaga, alasan dan dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat
sesuatu. Sementara Gerungan (1960) dalam Sunaryo (2004) motif merupakan suatu
proses pengertian yang melengkapi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam
diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu yang berkaitan dengan perilaku
kesehatan individu.
Menurut Sarwono (2000) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa
motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerninkan interaksi antara
sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, dan
motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri
(faktor intrinsik) dan faktor di luar dirinya (faktor ekstrinsik). Faktor didalam diri
seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau bebagai
harapan, cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Faktor luar diri dapat ditimbulkan
oleh berbagai sumber dari lingkungan atau faktor lain yang sangat kompleks sifatnya.
terkait dengan gejala kejiwaan yang lain khususnya persepsi, bersifat individual atau
subjective dan perasaan dialami oleh individu sebagai perasaan menyenangkan dan
tidak menyenangkan. Perasaan menyenangkan dapat dibagi atas rasa senang, bangga,
kasih sayang, gembira, enak, lezat, indah dan tenang, sementara perasaan tidak
menyenangkan terbagi atas sedih, kecewa, sakit, gelisah, kacau dan galau (Sunaryo,
2004).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perasaan yaitu keadaan
jasmani atau fisik individu, struktur kepribadian dan keadaan temporer. Keadaan
jasmani atau fisik individu dicontohkan seperti perasaan individu yang sedang sakit,
lebih sensitif daripada orang sehat. Struktur kepribadian yang mempengaruhi
timbulnya perasaan digambarkan seperti individu yang berkepribadian introvert
memiliki perasaan yang sensitif sedangkan keadaan temporer pada diri individu atau
tergantung pada suasana hati, individu yang sedang sedih sangat peka perasaannya
dibanding individu yang normal (Sunaryo, 2004).
Emosi adalah manifestasi perasaan afek keluar dan disertai banyak komponen
fisiologik dan biasanya berlangsung tidak tidak lama (Maramis, 1990). Bimo W
(1989) dalam Sunaryo (2004) menyatakan emosi adalah suatu keadaan perasaan yang
telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya
mungkin terganggu. Emosi merupakan perasaan yang mendasar, dapat mengarahkan
perilaku individu, baik perilaku positif atau perilaku negatif.
2.3.3. Dukungan Keluarga
Perubahan yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perilaku kesehatan
individu yaitu adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan
keluarga/ kelompok maupun dukungan secara sosial. Menurut Depkes RI (1998)
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat
perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan
pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Menurut Darmojo (2000), pada umumnya lansia berkeinginan menikmati hari
tuanya di lingkungan keluarga, namun dalam keadaan dan sebab tertentu mereka
tidak tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu, lansia yang berada di lingkungan
keluarga atau tinggal bersama keluarga serta mendapat dukungan dari keluarga akan
membuat lansia merasa lebih sejahtera. Friedman dalam Sudiharto (2007),
menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu
fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh
dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung satu sama lain.
Peran anggota keluarga terhadap lansia seperti melakukan pembicaraan terarah,
mempertahankan kehangatan keluarga, membantu dalam hal sumber keuangan dan
transportasi, memberikan kasih sayang, menghormati dan menghargai, bersikap sabar
dan bijaksana, mengajak dalam acara tertentu, memeriksakan kesehatan lansia secara
teratur, memberi dorongan untuk tetap hidup bersih dan sehat dan lainlain (Maryam,
2008).
2.4. Pengaruh Motivasi, Perasaan dan Emosi serta Dukungan Keluarga
terhadap Pola Makan Lansia
Secara epidemiologi faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pola makan
pada lansia antara lain karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola
makan dan gaya hidup, karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri
biologis dan sosial yang terdapat pada lansia. Karakteristik tersebut seperti
karakteristik sosiodemografi misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jenis
pekerjaan, sosial ekonomi, dan perilaku (pengetahuan dan sikap) serta sosial
budaya (Nugroho, 2008).
Menurut Maramis (2006) perubahan psikologis seseorang dapat dilihat
dengan
memperhatikan
masalah
emosionalnya
dengan
maksud
berkurang dan pola hidup individual semakin menonjol. Dalam hal ini berpengaruh
terhadap kondisi psikososial lansia.
Dalam penelitiannya, konsumsi makan lansia memiliki hubungan positif (r=0,25)
dengan kondisi psikososialnya, namun kondisi psikososial juga berkorelasi positif
dengan kepuasan hidup (r=0,12) dan berkorelasi negatif dengan depresi (r=-0,07).
Salah satu indikator kepuasan hidup adalah terpenuhinya semua kebutuhan termasuk
kebutuhan akan makanan yang dikonsumsinya. Sebaliknya semakin baik kondisi
psikososial semakin baik pula konsumsi makanan lansia. Faktor fisiologi dan
psikologi dapat mempengaruhi pemilihan terhadap makanan, di samping itu pula
pengetahuan tentang makanan juga dapat mempengaruhi asupan. Faktor sosial juga
memiliki pengaruh besar terhadap pemilihan makanan. Budaya, geografi, dan
ketersediaan makanan menentukan peningkatan atau pembatasan dalam memilih
makanan. Pada sebagian besar orang, hubungan keluarga dan persahabatan seringkali
mempengaruhi pembelian, perbaikan dan konsumsi makanan. Status sosial ekonomi,
perubahan ekonomi dan dukungan sosial memiliki pengaruh penting dalam
membentuk pola makan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi dan penyakit.
Kondisi psikososial dapat diukur dari tingkat kepuasan hidup. Dalam
penelitian tersebut tampak adanya korelasi positif tingkat kepuasan terhadap kondisi
psikososial lansia (r=0,12). Semakin tinggi tingkat kepuasan lansia semakin baik
kondisi psikososial lansia. Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan
kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari (2003)
disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah
terjaminnya kebutuhan hidup. Terjaminnya kebutuhan hidup bisa didapat bila ada
dukungan sosial bagi lansia baik dari keluarga, masyarakat maupun dari pemerintah.
Kondisi psikososial dan fisik secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap
status gizi. Semakin baik kondisi psikososial, diharapkan semakin baik pula status
gizi. Beberapa faktor risiko potensial yang telah diidentifikasi dapat menyebabkan
terjadinya masalah gizi pada lansia di antaranya adalah kebingungan mental dan
depresi serta ketidakmampuan fisik. Aspek psikososial dan fisik secara keseluruhan
memiliki hubungan positif dengan status gizi. Hal itu menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan status gizi yang baik diperlukan perhatian yang lebih menyeluruh
terhadap aspek psikososial dan fisik baik dari keluarga, masyarakat, maupun
pemerintah.
Lansia dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat membutuhkan bantuan dari
lingkungannya, hal ini karena keadaan lansia yang sudah terbatas dalam melakukan
segala sesuatunya sendiri, agar dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut dapat
terpenuhi sesuai dengan keadaannya.
2.5. Penilaian Pola Makan Lansia
Pola makan merupakan serangkaian kegiatan makan pada lansia dalam
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain dari bahan pangan yang di konsumsi.
Penilaian pola makan dapat dilihat dengan melakukan pengukuran jumlah kecukupan
energi yang dibutuhkan, jenis makanan dan jadwal makan sehari, sehingga diperoleh
data konsumsi sehari pada lansia.
Fungsi Budaya
- Adat Istiadat
- Geografis
Agama/ Kepercayaan
- Pantangan / larangan
Status ekonomi
- Pemilihan makanan
- Pembelian makanan
Psikososial
- Menarik diri
- Kepercayaan diri
- Motivasi diri
- Perasaan dan emosi
- Dukungan Keluarga
Personal preference
- Perasaan suka terhadap
makanan
- Perasaan tidak suka
terhadap makanan
Kesehatan
Karakteristik Lansia
Umur
Pendidikan akhir
Pekerjaan akhir
Agama
Status perkawinan
Pola Makan
Status gizi
Perasaan dan
Emosi
Asupan
Kondisi Lansia
Penggunaan obat dan alkohol,
Gangguan motorik, Perubahan
psikologis (kesepian), Pensiun,
Pikun, Kurang aktifitas, Gigi
berkurang, Hilang fungsi
pengecapan
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian