Anda di halaman 1dari 31

Tugas Mandiri Periodonsia II

PERAWATAN PERIODONTAL PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Disusun Oleh :

1. Aditya Dana Iswara

021111021

2. Laila Fatmawati

021211131001

3. Desy Riska Ima K. P.

021211131002

4. Balqis Charisa Y. A.

021211131003

5. Yunita Marwah

021211131004

DEPARTEMEN PERIODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI - UA
Semester Genap 2014/2015

PENYAKIT KARDIOVASKULER
Penyakit Kardiovaskuler merupakan penyakit dengan prevalensi kejadiannya
tinggi. Penyakit ini pada umumnya terjadi seiring dengan bertambahnya usia.
Penyakit kardiovaskuler terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
A.

Hipertensi
Penyakit Jantung Iskemi
Gagal Jantung Kongestif
Cardiac pacemakers and implantable
Cardioverter - Defibrillators
Infeksi Endokarditis
Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah seseorang dimana tekanan sistole > 140

mmHg, dan tekanan diastole >90mmHg.


Hipertensi terdiri dari 2 macam, yaitu :
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer merupakan hipertensi yang sering terjadi, sekitar 95%.
2.

Hipertensi primer terjadi tanpa didasari oleh suatu keadaan patologis.


Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang jarang terjadi, hanya sekitar 5%
kejadian hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder didasari oleh keadaan patologis seperti

penyakit ginjal, perubahan hormonal, dan gangguan keseimbangan.


Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita hipertensi meliputi :
1. Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
2.

dan lain-lain.
Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan setiap kunjungan.

Pengukuran tekanan

darah dilakukan 2x dengan jeda 10 menit kemudian diambil rata-ratanya. Prosedur


perawatan periodontal tidak boleh dilakukan sampai pengukuran tekanan darah mencapai
3.

normal dan telah mengetahui riwayat penyakit pasien.


Rujukan Medis dan Konsultasi ke dokter spesialis/dokter pasien
Hal ini dilakukan untuk mengetahui status medis, obat-obatan, tingkat perkiraan
stres, dan lama prosedur perawatan sehingga dapat menentukan rencana perawatan

4.

periodontal .
Hati-hati dalam pemberian anestesi

Dalam melakukan anestesi harus dilakukan aspirasi. Pemberian anestesi lokal


dengan epinefrin tidak boleh lebih dari 1 : 100.000 untuk menghindari peningkatan
sekresi adrenalin endogen. Anestesi juga bisa dilakukan tanpa epinefrin untuk prosedur
B.
1.

perawatan yang singkat yaitu kurang dari 30 menit.


Penyakit Jantung Iskemik
Penyakit jantung iskemik terdiri dari 2 macam yaitu :
Angina Pectoris
Angina pectoris adalah suatu keadaan dimana pasokan oksigen yang masuk lebih

kecil daripada kebutuhan oksigen tubuh.


Angina pectoris terdiri dari :
a.
Angina pectoris stabil
Angina pectoris stabil jarang terjadi, terkait stres dan kondisi tubuh, misalnya
b.

capek. Kondisi ini bisa dikontrol dengan pemberian obat.


Angina pectoris tidak stabil
Angina pectoris tidak stabil sering terjadi, terjadinya tidak teratur, tanpa faktor

predisposisi. Keadaan darurat ini harus dirawat dan konsultasi dengan dokter pasien.
Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita angina pectoris meliputi :
1.
Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
2.
3.

dan lain-lain.
Pasien dengan obat Nitrogliserin disarankan untuk membawa obatnya
Hati-hati dalam pemberian anestesi
Pada dasarnya pemberian anestesi pada pasien angina pectoris sama dengan
pasien dengan riwayat hipertensi. Dalam melakukan anestesi harus dilakukan aspirasi.

4.

Pemberian anestesi lokal dengan epinefrin harus diminimalisir.


Jika selama prosedur perawatan periodontal tiba-tiba pasien lelah/tidak nyaman
atau perubahan mendadak dalam irama jantung, prosedur periodontal dhentikan sesegera

2.

mungkin, segera lakukan tindakan kegawatdaruratan.


Infark Miokardium
Perawatan gigi pada penderita dengan riwayat infark miokardium boleh dilakukan
minimal setelah 6 bulan perawatan infark miokardium karena bisa berakibat fatal yang

C.

berujung kematian.
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif meruoakan kondisi dimana fungsi pompa jantung tidak

mampu menyediakan darah beroksigen yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh karena peningkatan kebutuhan oksigen, kerusakan miokardium, dan
peningkatan beban kerja jantung.
Gagal jantung yang tidak terkontrol tidak boleh dilakukan perawatan gigi karena
bisa menyebabkan aritmia ventrikel hingga mengakibatkan kematian.
Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita angina pectoris meliputi :
3

1.

2.
3.

4.
5.
6.
D.

Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
dan lain-lain.
Konsultasi dengan dokter pasien mengenai keparahan CHEnya
Manajemen medis
Manajemen medis meliputi penggunaan kalsium channel blocker, vasodilator
langsung, diuretik, ACE inhibitor, reseptor -blocker, dan agen kardiotonik.
Mempersiapkan oksigen tambahan
Meminimalkan stres
Posisi pasien di dental chair senyaman mungkin, tidak boleh terlentang karena
ada pasien CHE disertai optonea yang tidak bisa bernafas kecuali dalam posisi tegak.
Cardiac pacemakers and implantable, Cardioverter Defibrillators
Alat pacu jantung biasanya dipasang pada dinding jantung. Defibrillator lebih

sering dipasang pada subkutan dekat umbilikus.


Pada pasien dengan pemakain alat tersebut, ketika akan dilakukan perawatan
periodontal harus konsultasi dengan dokter pasien mengenai penentuan status jantung, alat
pacu jantung/ defibrilator otomatis karena bahaya pada pasien selama prosedur perawatan
periodontal. Hal itu dikarenakan aktivasi alat tersebut sering menyebabkan gerakan pasien
tiba-tiba sehingga bisa menyebabkan trauma yang tidak terduga.
E.
Infeksi Endokarditis
Infeksi endokarditis adalah suatu keadaan adanya invasi mikroorganisme pada
endokardium. Mikroorganisme yang menginvasi golongan Streptococcus hemoliticus (S.
viridans). Infeksi Endokarditis terdiri dari akut dan sub akut.
Infeksi endokarditis akut disebabkan oleh organisme virulen yang bisa
menimbulkan emboli dan infeksi yang menyebar sangat cepat hingga berakibat fatal.
Sedangkan, infeksi endokarditis sub akut disebabkan oleh pembentukan koloni di
endokardium.
Potensi terjadinya infeksi endokarditis pada saat perawatan periodontal sangat
tinggi karena pada perawatan periodontal terjadi luka menimbulkan pendarahan, adanya
bakteri (bakteremia) sehingga berakibat infeksi endokarditis.
Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita angina pectoris meliputi :
1. Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
dan lain-lain.
2. Intruksi kebersihan mulut
3. Pemberian antibiotik profilaksis
4. Mengurangi jumlah kunjungan

yang

diperlukan

untuk

meminimalkan

pengembangan bakteri resisten.


5. Penekanan pada kebersihan mulut dan pemeliharaan kesehatan periodontal.

resiko

CEREBROVASCULAR ACCIDENT
Cerebrovascular accident (CVA) atau disebut juga stroke, terjadi oleh karena
perubahan iskemik (Contoh : Adanya Cerebral Trombosis karena adanya embolus) atau
fenomena hemorhagik. Hipertensi dan arterosklerosis merupakan factor predisposisi dari
CVA dan klinisi harus waspada ketika mengevaluasi kondisi pasien dan rekam medik pasien
akan kemungkinan terjadinya gejala awal CVA. Bila gejala awal CVA tampak pada pasien,
terapi periodontal harus didahului dengan rujukan dari dokter yang berkompeten.
Untuk mencegah terjadinya stroke yang berulang, infeksi aktif harus ditangani
sesegera mungkin, bahkan adanya infeksi minor pada pasien yang mengidap CVA dapat
menyebabkan kelainan pada pembekuan darah dan menyebabkan pembentukan thrombus
yang berlanjut menjadi infark cerebral.

Klinisi harus memberikan bimbingan mengenai

pentingnya oral hygiene pada pasien CVA.

Kondisi pasien pasca stroke menyebabkan

melemahnya daerah wajah serta terjadinya kelumpuhan pada ekstermitas, yang dapat menjadi
faktor penyulit dalam membersihkan rongga mulut. Klinisi dapat memodifikasi alat untuk
membersihkan rongga mulut sehingga dapat digunakan pada pasien CVA, dengan konsultasi
pada terapis terkait.

Penggunaan chlorhexidine jangka panjang dapat bermanfaat dalam

mengontrol plak.
Berikut merupakan panduan dalam melakukan perawatan pada pasien pasca
stroke ;
1. Tidak dilakukannya perawatan periodontal selama 6 bulan pasca stroke (Kecuali
kondisi darurat), karena resiko kambuhnya CVA yang tinggi pada periode ini
2. Setelah 6 bulan, perawatan periodontal dilakukan dengan sesingkat mungkin
untuk mengurangi stress. Dosis anestesi local yang digunakan adalah dosis efektif
minimal.

Penggunaan ephineprine dengan konsentrasi lebih dari 1:100.000

merupakan kontra indikasi


3. Obat penenang ringan (melalui inhalasi, peroral atau parenteral) dapat digunakan
pada pasien dengan kecemasan tinggi. Pemberian oksigen juga diindikasikan
untuk menjaga suplai oksigen otak
4. Pasien dengan stroke seringkali diberikan obat antikoagulan peroral.

Untuk

prosedur dengan perdarahan seperti ekstraksi gigi atau bedah periodontal,


regimen antikoagulan dapat diberikan dengan konsultasi dengan dokter

5. Tekanan darah harus diamati dengan seksama. Karena tingkat kekambuhan CVA
yang tinggi.
DIABETES MELITUS
Diabetes melitus merupakan penyakit yang sangat penting dari sudut pandang
periodonsia. Hal ini ditandai oleh kurangnya fungsi sel-sel beta dari pulau Langerhans di
pankreas yang menyebabkan kadar glukosa darah tinggi dan eksresi gula dalam urin.
Ada dua tipe DM primer, yaitu tipe 1 dan 2. Pada penderita diabetes tipe 1, kelenjar pankreas
tidak mampu memproduksi insulin, sehingga jumlah insulin beredar dalam tubuh tidak
mencukupi kebutuhan. Lain halnya pada diabetes tipe 2, hormon insulin tetap diproduksi
namun tidak dapat berfungsi dengan baik. Sebahagian besar penderita diabetes di Indonesia
mengidap diabetes tipe 2. Diabetes tipe ini secara umum biasa dikaitkan dengan usia lanjut.
Diabetes tipe 2 ini juga disebabkan karena obesitas (kegemukan) dan gaya hidup yang tidak
sehat (pola makan tinggi lemak dan jarang berolah raga). Disamping kedua tipe diatas, ada
tipe lain yang dinamakan diabetes sekunder, yang berkaitan dengan penyakit lain yang
melibatkan pankreas dan merusak sel-sel pembuat insulin.
PENGARUH

DIABETES

MELITUS

TERHADAP KESEHATAN

PERIODONTAL

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang berpengaruh terhadap


kesehatan jaringan periodontal. Kolagen yang terdapat di dalam jaringan cenderung lebih
mudah mengalami kerusakan akibat infeksi periodontal. Hal ini mempengaruhi integritas
jaringan tersebut.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa DM yang disertai oleh beberapa
perubahan pada periodonsium berpotensi dan berperan dalam terjadinya periodontitis kronis.
Hiperglikemia yang terjadi pada diabetes bertanggung jawab bagi terjadinya komplikasi yang
menyertai penyakit tersebut. Keadaan hiperglikemia menyebakan terbentuknya advanced
glycation and products (AGE) non enzimatik pada makromolekul jaringan. AGE merupakan
senyawa yang berasal dari glukosa, secara kimiawi irreversible dan terbentuk secara perlahanlahan tetapi terus-menerus sejalan dengan peningkatan kadar glukosa darah. Penumpukan
AGE

bisa

terjadi

di

dalam

plasma

dan

jaringan

gingival

penderita

diabetes.

Sel-sel pada endotelial, otot polos, neuron dan monosit mempunyai sisi pengikat (binding
site) AGE pada permukaannya, yang diberi nama reseptor AGE (RAGE). Terikatnya AGE ke
6

sel-sel endotelial menyebabkan terjadinya lesi vaskular, trombosis dan vasokonsriksi pada
diabetes. AGE yang terikat ke monosit akan meningkatkan kemotaksis dan aktivasi monosit
yang disertai peningkatan jumlah sitokin proinflamatori yang dilepas, seperti TNF-, IL-1,
dan IL-6. Ikatan AGE dengan RAGE pada fibroblas menyebabkan terganggunya remodeling
jaringan ikat, sedangkan ikatan AGE dengan kolagen menyebabkan penurunan solubilitas dan
laju pembaharuan kolagen. Buruknya kontrol gula darah dan meningkatnya pembentukan
AGE menginduksi stress oksidan pada gingival sehingga memperkuat kerusakan jaringan
periodontal.2 Di samping itu, dengan adanya peningkatan kadar sel radang dalam cairan saku
gusi, menyebabkan jaringan periodontal lebih mudah terinfeksi dan menyebabkan kerusakan
tulang.
Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya
pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh.
Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi,
sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Jadi, infeksi
bakteri pada penderita diabetes lebih berat.
Perubahan-perubahan yang dikemukakan di atas secara klinis mempengaruhi
kondisi periodonsium penderita diabetes. Diabetes yang tidak terkontrol atau kurang baik
kontrolnya disertai oleh peningkatan kerentanan terhadap infeksi, termasuk periodontitis
kronis. Periodontitis kronis lebih sering terjadi dan lebih parah pada individu diabetik yang
disertai komplikasi sistemik yang lebih parah.
Kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang signifikan lebih tinggi pada pasien
DM tipe1 yang kontrol diabetesnya buruk dibandingkan pasien yang diabetesnya terkontrol
baik. Demikian juga pada pasien diabetes melitus tipe 2, kedalaman poket dan kehilangan
perlekatan lebih parah pada kelompok yang diabetesnya

tidak terkontrol baik.

Beberapa penelitian telah secara khusus mengamati hubungan antara periodontitis kronis
dengan diabetes melitus tipe 1 dan 2. Dilaporkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 1
meningkat risikonya menderita periodontitis kronis sejalan dengan pertambahan usia dan
keparahan periodontitis kronis meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi diabetes. Pada
pasien diabetik dewasa dengan diabates yang tidak terkontrol baik, terjadi kehilangan
perlekatan dan kehilangan tulang yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan diabetes
yang terkontrol baik, meskipun mereka dalam memelihara mulutnya adalah setara.
7

PENGARUH

PENYAKIT

PERIODONTAL

TERHADAP

DIABETES

MELITUS

Sintesa dan sekresi sitokin akibat infeksi yang berasal dari periodontitis dapat
memperhebat sintesa dan sekresi sitokin yang berasal dari interaksi AGE dengan RAGE, dan
sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan periodontitis dengan DM berlangsung
dalam dua arah.Dengan demikian penyakit periodontal yang berupa inflamasi kronis dapat
memperparah status penderita diabetes melitus ke arah komplikasi yang lebih berat.
Periodontitis kronis yang parah pada penderita DM diduga menjadi penyebab bagi
peningkatan konsentrasi hemoglobin terglikosilasi. Infeksi yang berasal dari periodontitis
selain meningkatkan produksi sitokin, diduga dapat pula meningkatkan resistensi insulin yang
pada akhirnya memperburuk kontrol glikemik penderita diabetes yang juga menderita
periodontitis di mulutnya.
PERAWATAN

PERIODONTAL

PADA

PENDERITA

DIABETES

MELITUS

Beberapa kelompok peneliti telah mengamati pengaruh perawatan periodontal


terhadap kontrol glikemik pasien diabetes. Pemberian antibiotik berupa doksisiklin atau
minosiklin, keduanya merupakan derivat tetarasiklin, ternyata mempengaruhi hasil
perawatan. Hal ini disebabkan tetrasiklin dan kedua derivatnya mempunyai potensi
menghambat proses kolagenolisis dan meningkatkan sintesis dan sekresi protein. Disamping
itu, melalui mekanisme non-antikolagenase doksisiklin terbukti dapat menurunkan level
glikasi protein. Dengan demikian pemberian doksisiklin sebagai penunjang perawatan medis
pada pasien diabetik yag menderita penyakit periodontal bisa memberikan dua keuntungan.
Pertama, sebagai antibioktik berspektrum luas yang efektif terhadap kebanyakan patogen
periodontal. Kedua, sebagai modulator bagi respons pejamu pasien diabetik terhadap infeksi
periodontal, doksisiklin menghambat glikasi non-ensimatik protein ekstraseluler dan
kemungkinan besar menghambat pula glikasi hemoglobin.
Pada penderita DM, perawatan hanya dapat dilakukan apabila diabetesnya
terkontrol. Apabila akan dilakukan prosedur bedah yang agak besar, sebaiknya diberikan
antibiotik mulai sehari sebelumnya sebagai perlindungan. Bila diabetes tidak terkontrol,
pasien harus segera dirujuk ke dokter umum yang akan melakukan pemeriksaan kadar gula
urin dan kadar gula darah.

Setelah dilakukan perawatan, kontrol sangat diperlukan untuk menilai respon


pengobatan dan mencegah kekambuhan terhadap periodontitis. Pada pasien diabetes,
nilai/kadar glukosa darah perlu diketahui sebelum dilakukan perawatan

GANGGUAN PERDARAHAN
Pasien dengan riwayat perdarahan yang disebabkan oleh penyakit atau obatobatan harus diperhatikan untuk meminimalkan risiko perdarahan. Identifikasi pasien
melalui:
a. Riwayat Kesehatan, seperti memberikan pertanyaan kesehatan, antara lain
mencakup:
1. Riwayat perdarahan setelah operasi
2. Riwayat obat masa lalu dan sekarang
3. Riwayat masalah perdarahan antar kerabat
4. Penyakit yang berhubungan dengan masalah perdarahan
b. Pemeriksaan klinis, berguna untuk mendeteksi adanya jaundice, ecchymosis,
spider

telangiectasia,

hemarthrosis,

petechiae,

hemorrhagic

vesicles,

spontaneous gingival bleeding, dan gingival hyperplasia.


c. Pemeriksaan laboratorium klinis, berguna untuk mengukur hemostatik, koagulasi,
atau fase litik dari mekanisme pembekuan. Tes ini meliputi: bleeding time,
tourniquet test, complete blood cell count, prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), dan coagulation time.

Gangguan Koagulasi
Gangguan koagulasi, yaitu meliputi:
1. Hemofilia A
Hemofilia A dapat terjadi karena kekurangan faktor pembekuan
VIII, dan tingkat keparahan tergantung pada kadar faktor VIII yang tersisa. Pasien
dengan hemofilia berat yang memiliki kurang dari 1% dari kadar normal faktor
VIII mungkin memiliki pendarahan hebat pada provokasi sedikit, sedangkan
mereka dengan hemofilia yang lebih moderat (kadar faktor VIII 1-5%) memiliki
kurang sering perdarahan spontan tetapi masih berdarah dengan trauma minimal.
Pasien dengan hemofilia ringan (kadar faktor VIII 6-30%) jarang berdarah
spontan tetapi masih mungkin memiliki perdarahan setelah trauma berat atau
selama prosedur pembedahan. Dokter gigi harus berkonsultasi dengan dokter
pasien sebelum perawatan gigi untuk menentukan risiko perdarahan dan
modifikasi pengobatan yang diperlukan. Untuk mencegah perdarahan bedah,
diperlukan minimal kadar faktor VIII yaitu 30%. Parenteral 1-deamino-8 Darginin vasopressin (DDAVP; desmopresin) dapat digunakan untuk meningkatkan
kadar faktor VIII dua kali lipat menjadi tiga kali lipat pada pasien dengan
hemofilia ringan atau sedang. DDAVP memiliki keuntungan yang signifikan
untuk menghindari risiko penularan penyakit virus dari infuse faktor VIII dan
dianggap sebagai obat pilihan pada pasien responsif. Kebanyakan pasien dengan
10

hemofilia sedang dan berat membutuhkan infus konsentrat faktor VIII sebelum
prosedur bedah. Sebelum tahun 1985, resiko penularan penyakit virus dari infus
sangat tinggi. Namun, beberapa tahun terakhir, aman dan antibodi monoklonal
sangat murni atau rekombinan produk faktor VIII DNA telah mulai digunakan
secara luas.
2. Hemofilia B
Hemofilia B atau juga disebut penyakit Natal dapat terjadi karena
kekurangan faktor IX. Tingkat keparahan tergantung pada jumlah relatif faktor IX
yang ada. Terapi bedah memerlukan kadar faktor IX 30-50% dan biasanya dicapai
dengan pemberian konsentrat kompleks protrombin murni atau konsentrat faktor
IX.
3. Penyakit von Willebrands.
Penyakit von Willebrands dapat terjadi karena kekurangan faktor
von Willebrands, dimana von Willebrands merupakan memediasi adhesi
trombosit ke dinding pembuluh yang terluka dan diperlukan untuk hemostasis
primer. Faktor von Willebrands juga membawa bagian koagulan faktor VIII
dalam plasma. Bahkan, banyak kasus penyakit von Willebrand tidak
terdiagnosis. , dan pendarahan selama perawatan gigi mungkin merupakan tanda
pertama dari penyakit. Sebelum operasi periodontal atau pencabutan gigi
diperlukan:
a. Penyakit yang lebih ringan diberi DDAVP
b. Penyakit yang lebih parah diberi konsentrat faktor VIII atau infus
cryoprecipitate
Perawatan periodontal dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan koagulasi
ini, asalkan tindakan pencegahan yang memadai diambil. Probing, scaling, dan profilaksis
biasanya dapat dilakukan tanpa modifikasi medis. Pengobatan yang lebih invasif, seperti blok
anestesi lokal, root planing, atau operasi, harus konsultasi ke dokter dahulu.
Selama perawatan, tindakan lokal untuk memastikan pembentukan bekuan dan
stabilitas sangat penting. Penutupan luka dengan sempurna dan pemberian penekanan
sehingga dapat mengurangi perdarahan. Agen antihemostatik, seperti selulosa teroksidasi atau
dimurnikan kolagen sapi, dapat ditempatkan di atas situs bedah atau ke soket ekstraksi. Agen
antifibrinolitik e-aminokaproat acid (Amicar), diberikan secara oral atau melalui IV, adalah
inhibitor poten dari awal gumpalan pembubaran. Asam traneksamat merupakan agen
antifibrinolytic lebih kuat dari Amicar dan telah terbukti untuk mencegah perdarahan mulut
11

yang berlebihan setelah operasi periodontal dan pencabutan gigi. Ini tersedia dalam bentuk
per-oral dan dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan asam traneksamat
sistemik selama beberapa hari setelah operasi.
Rencana perawatan pasien dengan penyakit hati:
1. Konsultasi ke dokter
2. Evaluasi laboratorium: PT, bleeding time, platelet count, dan PTT (pada pasien
stadium akhir penyakit hati)
3. Konservatif, terapi periodontal non-bedah bila memungkinkan
4. Jika operasi diperlukan, maka:

International normalized ratio (INR; PT) 2,0

Jumlah trombosit 80.000/mm3

Purpura Trombositopenik
Trombositopenia

didefinisikan

sebagai

jumlah

trombosit

kurang

dari

100.000/mm3. Purpuras adalah penyakit hemoragik ditandai dengan ekstravasasi darah ke


dalam jaringan bawah kulit atau mukosa, memproduksi petechiae spontan (bercak merah
kecil) atau ekimosis (memar).
Terapi periodontal untuk pasien dengan trombositopenia harus diarahkan
mengurangi peradangan dengan menghapus iritasi lokal untuk menghindari kebutuhan untuk
terapi lebih agresif. Instruksi menjaga kebersihan mulut dan pemeriksaan rutin ke dokter gigi
merupakan hal yang terpenting. Rujukan dokter diindikasikan untuk diagnosis definitif dan
untuk menentukan setiap perubahan dalam terapi yang direncanakan. Scaling dan root
planing umumnya aman kecuali jumlah trombosit kurang dari 60.000/mm 3. Tidak ada
prosedur bedah harus dilakukan kecuali jika jumlah platelet lebih besar dari 80.000/mm 3.
Transfusi trombosit mungkin diperlukan sebelum operasi. Teknik bedah harus se-atraumatic
mungkin dan langkah-langkah hemostatik lokal harus diterapkan.
Purpura Nontrombositopenik
Purpura Nontrombositopenik merupakan hasil dari dinding pembuluh darah rapuh
atau thrombasthenia (gangguan agregasi platelet). Dinding pembuluh darah rapuh dapat
terjadi akibat reaksi hipersensitivitas, scurvyinfections, bahan kimia (contoh: phenacetin,
12

aspirin), dysproteinemia, dll. Thrombasthenia dapat terjadi pada uremia, penyakit


Glanzmann, mengkonsumsi aspirin, dan penyakit von Willebrands. Kedua jenis Purpura
nontrombositopenik ini dapat menyebabkan perdarahan segera setelah adanya cedera pada
gingiva. Pengobatan dengan cara memberikan tekanan langsung selama minimal 15 menit
yang berfungsi untuk mengontrol pendarahan, kecuali jika terjadi koagulasi abnormal atau
reinjury terjadi. Terapi bedah harus dihindari sampai masalah trombosit kualitatif dan
kuantitatif diselesaikan.
Blood Dyscrasias
Banyak gangguan sel darah merah dan sel darah putih dapat mempengaruhi
jalannya terapi periodontal. Perubahan dalam penyembuhan luka, perdarahan, penampilan
jaringan, dan kerentanan terhadap infeksi dapat terjadi. Dokter harus menyadari tanda-tanda
dan gejala diskrasia darah, ketersediaan tes laboratorium skrining klinik, dan perlu untuk
dokter rujukan.
Leukemia
Perawatan periodontal berbeda untuk pasien dengan leukemia berdasarkan pada
tingkat kerentanan terhadap infeksi, kecenderungan perdarahan, dan efek dari kemoterapi.
Adapun rencana perawatan untuk pasien leukemia, antara lain:
1. Konsultasi ke dokter
2. Sebelum kemoterapi, rencana perawatan periodontal lengkap harus dilakukan
oleh dokter, yaitu:
a.
b.

Memantau nilai laboratorium hematologi


Pemberian antibiotik sebelum perawatan periodontal karena
infeksi merupakan perhatian utama

c.

Ekstraksi semua gigi hopeless, nonmaintainable, atau berpotensi


menular setidaknya 10 hari sebelum memulai kemoterapi, jika kondisi
sistemik memungkinkan

d.

Debridement periodontal (scaling dan root planing) harus


dilakukan dan menyeluruh. Berkumur dua kali sehari dengan 0,12%
chlorhexidine glukonat setelah membersihkan gigi

3. Selama fase akut leukemia, pasien tidak boleh menerima perawatan periodontal,
kecuali darurat. Setiap sumber infeksi potensial harus dihilangkan untuk
13

mencegah penyebaran sistemik. Terapi antibiotik sering menjadi pilihan


pengobatan
4. Ulserasi oral dan mucositis diberikan lidokain kental. Antibiotik sistemik dapat
diindikasikan untuk mencegah infeksi sekunder
5. Kandidiasis oral umum terjadi pada pasien leukemia dan dapat diobati dengan
suspensi nistatin atau supositoria vagina clotrimazole
6. Untuk pasien dengan leukemia kronis boleh dilakukan scaling dan root planing
jika tanpa ada komplikasi, tetapi bedah periodontal harus dihindari jika mungkin
a.

menghitung trombosit dan waktu perdarahan harus diukur pada


hari yang akan dilakukan perawatan. Jika salah satu rendah, maka
dilakukan penundaan dan merujuk pasien ke dokter

Agranulositosis
Pasien dengan agranulositosis (neutropenia siklik dan granulocytopenia) memiliki
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Total jumlah sel darah putih berkurang, dan leukosit
granular (neutrofil, eosinofil, basofil) berkurang atau menghilang. Gangguan ini sering
ditandai dengan kerusakan periodontal yang parah. Bila mungkin, perawatan periodontal
harus dilakukan selama periode remisi penyakit. Pada saat seperti itu, pengobatan harus
sebagai konservatif dan sekaligus mengurangi potensi sumber infeksi sistemik. Setelah
berkonsultasi dengan dokter, gigi parah terkena harus diekstraksi. Instruksi menjaga
kebersihan mulut dengan penggunaan chlorhexidine dua kali sehari. Scaling dan root planing
harus dilakukan dengan hati-hati dan diberikan antibiotik.
PENYAKIT GINJAL
Penyebab paling umum dari gagal ginjal adalah glomerulonefritis, pielonefritis,
penyakit ginjal kistik, penyakit renovaskular, nefropati obat, uropati obstruktif, dan hipertensi.
Gagal ginjal dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit berat, aritmia jantung, kongesti
paru, gagal jantung kongestif, dan pendarahan berkepanjangan. Oleh karena itu, diperlukan
konsultasi ke dokter untuk menentukan stadium penyakit ginjal, rejimen untuk manajemen
medis, dan perubahan dalam terapi periodontal. Pasien gagal ginjal kronis memiliki penyakit
progresif yang pada akhirnya mungkin memerlukan transplantasi ginjal atau dialisis. Adalah
lebih baik untuk mengobati pasien sebelum, bukan setelah, transplantasi atau dialisis.

14

Modifikasi pengobatan untuk pasien gagal ginjal:


1. Konsultasikan ke dokter
2. Pantau tekanan darah (pasien gagal ginjal stadium akhir biasanya hipertensi)
3. Periksa nilai laboratorium: partial thromboplastin time, prothrombin time,
bleeding time, dan platelet count; hematocrit; blood urea nitrogen (tidak
dilakukan jika 60 mg/dl); serta serum creatinine (tidak dilakukan jika 1.5
mg/dl)
4. Hilangkan infeksi oral untuk mencegah infeksi sistemik, yakni:
a.

Menjaga kebersihan mulut.

b.

Perawatan periodontal harus bertujuan menghilangkan peradangan


atau infeksi dan menyediakan perawatan yang mudah. Gigi questionable
diekstraksi jika parameter medis mengizinkan.

c.

Rutin ke dokter gigi.

Pasien yang menerima dialisis membutuhkan modifikasi rencana perawatan. Tiga


tipe dialisis adalah intermittent peritoneal dialysis (IPD), chronic ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD), and hemodialisis. Hanya pasien hemodialisis membutuhkan tindakan
pencegahan khusus. Pasien-pasien ini memiliki insiden hepatitis virus tinggi, anemia, dan
perdarahan berkepanjangan.
Hal yang paling diperhatikan dari transplantasi ginjal pasien adalah infeksi.
Pasien transplantasi mengkonsumsi obat imunosupresif dimana dapat mengurangi resistensi
terhadap infeksi. Abses periodontal adalah situasi yang berpotensi mengancam jiwa. Oleh
karena itu, pendekatan tim gigi diperlukan sebelum melakukan transplantasi.
PENYAKIT LIVER
Penyebab utama penyakit liver termasuk toksisitas obat, sirosis, infeksi virus
(misalnya, hepatitis B dan C), neoplasma, dan gangguan saluran empedu. Hati adalah tempat
produksi untuk sebagian besar faktor pembekuan darah. Perdarahan yang berlebihan selama
atau setelah perawatan periodontal dapat terjadi pada pasien dengan penyakit liver yang
parah. Banyak obat yang di metabolisme di hati, sehingga penyakit liver mengubah
metabolisme obat normal. Rekomendasi pengobatan untuk pasien dengan penyakit hati
meliputi berikut ini :

15

1. Konsultasi dengan dokter mengenai tahap penyakit, risiko perdarahan, obat potensial untuk
diresepkan selama perawatan, dan diperlukan mengubah-negosiasi terhadap terapi
periodontal.
2. Skrining untuk hepatitis B dan C.
3. Periksa nilai laboratorium untuk waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial
PENYAKIT PARU
Penyakit paru berkisar dari penyakit obstruktif paru (misalnya, asma, emfisema,
bronkitis, dan obstruksi akut) gangguan ventilasi terbatas yang disebabkan oleh kelemahan
otot, jaringan parut, obesitas, atau kondisi apapun yang dapat mengganggu efektivitas
ventilasi paru. Penyakit paru gabungan restriktif-obstruktif juga dapat berkembang.
Dokter harus menyadari tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit paru, seperti
peningkatan laju pernapasan, sianosis, clubbing pada jari, batuk kronis, nyeri dada,
hemoptisis, dyspnea atau ortopnea, dan mengi. Pasien dengan masalah ini harus dirujuk untuk
evaluasi medis dan pengobatan. Kebanyakan pasien dengan penyakit paru-paru kronis dapat
menjalani terapi periodontal rutin jika mereka menerima tatalaksana medis yang memadai.
Panduan

berikut

harus

digunakan

selama

terapi

periodontal:

1. Mengidentifikasi dan merujuk pasien dengan tanda dan gejala penyakit paru ke dokter
mereka.
2. Pada pasien dengan penyakit paru diketahui, berkonsultasi dengan dokter mereka tentang
obat (antibiotik, steroid, obat kemoterapi) dan derajat dan tingkat keparahan penyakit paru.
3. Hindari elisitasi depresi pernafasan atau tekanan:
Minimalkan stres pasien saat membuat janji untuk perawatan periodontal . Pasien dengan
emfisema harus dirawat disore hari, beberapa jam setelah tidur.
Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pernafasan (misalnya, narkotika, obat
penenang/ sedatif, dan anestesi general).
Hindari anestesi bilateral mandibular block, yang dapat menyebabkan peningkatan obstruksi
jalan napas.
16

Posisikan pasien untuk memungkinkan efisiensi ventilator maksimal, hati-hati untuk


mencegah obstruksi jalan napas fisik, menjaga tenggorokan pasien agar bebas dan
menghindari kemasan periodontal yang berlebihan
4. Pada pasien dengan riwayat penyakit asma, pastikan obat pasien / inhaler tersedia
5. Pasien dengan fungal / bakterial yang aktif pada penyakit pernapasan sebaiknya tidak
dilakukan

perawatan

kecuali

bila

prosedur

perawatan

periodontal

sangat

diperlukan/emergensi.
PENGOBATAN DAN TERAPI KANKER
Beberapa obat yang diresepkan untuk mengobati

atau mencegah penyakit

memiliki efek pada jaringan periodontal, penyembuhan luka, atau respon imun host yang
membutuhkan pemahaman, apresiasi, dan dalam beberapa kasus, modifikasi pengobatan.
Bifosfonat
Obat bifosfonat terutama digunakan untuk mengobati kanker (pemberian
intravena) dan osteoporosis (pemberian oral). Bifosfonat bertindak dengan menghambat
aktivitas osteoklastik, yang mengarah ke kurangnya resorpsi tulang, remodeling tulang
kurang, dan kurangnya pergantian tulang.
Penggunaan bifosfonat dalam pengobatan kanker bertujuan untuk mencegah
ketidakseimbangan yang sering mematikan aktivitas osteoklastik. Dalam pengobatan
osteoporosis, tujuannya adalah hanya untuk memanfaatkan aktivitas osteoklastik untuk
meminimalkan atau mencegah keropos tulang/kehilangan tulang.
Individu yang diobati dengan potensi tinggi, bifosfonat yang mengandung
nitrogen, terutama yang diberikan melalui IV untuk pengobatan kanker (misalnya,
zoledronate), tampaknya berisiko lebih besar untuk terjadinya BRONJ dibandingkan mereka
yang memakai bifosfonat oral untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Risiko pada
individu yang diobati dengan bifosfonat oral untuk jangka waktu kurang dari 3 tahun
tampaknya menjadi minimal atau nol.
Penggunaan reguler bifosfonat oral untuk jangka waktu lebih dari 3 tahun
menunjukkan profil resiko yang meningkat seiring dengan waktu dan penggunaan jangka
17

panjang. Seperti banyak penyakit dan kondisi multifaktorial, ada kemungkinan bahwa faktor
selain terapi bifosfonat berkontribusi terhadap risiko individu terkena BRONJ. Faktor risiko
potensial memberikan kontribusi pemikiran untuk pengembangan BRONJ termasuk terapi
sistemik kortikosteroid, merokok, alkohol, kebersihan mulut yang buruk, kemoterapi,
radioterapi, diabetes, dan penyakit hematologi. Faktor atau kondisi yang menyebabkan
BRONJ dilaporkan termasuk ekstraksi, perawatan saluran akar, infeksi periodontal, bedah
periodontal, dan operasi implan gigi.
Jelas, baik penyakit periodontal dan pengobatan (terutama pembedahan)
menimbulkan risiko bagi pasien yang diterapi dengan bifosfonat. Bakteri yang menginduksi
proses infammatori pada

periodontitis menyebabkan resorpsi tulang, dan dapat dengan

mudah menjadi nekrosis tulang. Demikian juga, perawatan periodontal, terutama operasi,
dapat menyebabkan nekrosis tulang dengan adanya bifosfonat. Penyedia layanan kesehatan
harus mengevaluasi pasien dengan hati-hati, berkomunikasi dengan penyedia layanan
kesehatan medis, menginformasikan pasien, dan mempertimbangkan pilihan pengobatan dan
risiko dengan hati-hati. Pemeriksaan intraoral dengan hati-hati untuk semua pasien yang
diobati dengan terapi bifosfonat (IV atau oral) untuk menentukan apakah eksposur tulang ada
dan untuk menilai kondisi lokal yang mungkin mempengaruhi perkembangan BRONJ.
Sebuah riwayat kesehatan secara menyeluruh harus ditinjau, dievaluasi, dan
direkam dengan rincian tentang pengobatan bifosfonat, termasuk jenis obat, dosis, rute
pemberian, dan durasi. Komorbiditas, seperti obat-obatan sebelumnya dan saat ini,
pengobatan, dan penyakit yang ada atau patologi, harus dipertimbangkan. Radiografi harus
dievaluasi dengan hati-hati sebagai tanda toksisitas bifosfonat. Akhirnya, Marx telah
menyarankan bahwa tes darah laboratorium untuk serum C-terminal telopeptide fragmen
kolagen tipe I (CTX) dapat digunakan sebagai alat untuk menilai risiko individu dalam
perkembangan BRONJ. Uji laboratorium CTX adalah mengukur fragmen spesifik C-terminal
tipe I kolagen yang dipecaholeh osteoklas dan berfungsi sebagai indikator yang baik dari
aktivitas resorpsi tulang.
Untuk individu yang diterapi dengan bifosfonat IV, pengobatan invasif, seperti
ekstraksi, bedah periodontal, operasi implan, dan prosedur pembesaran tulang, harus
dihindari. Peringatan dan pertimbangan risiko harus dipertimbangkan dengan cermat sebelum

18

pengobatan untuk individu dengan riwayat pengobatan bifosfonat oral untuk waktu yang
lebih lama dari 3 tahun.
Terapi Antikoagulan / antiplatelet
Banyak pasien dengan berbagai kondisi diberikan terapi dengan obat
antikoagulan atau antiplatelet untuk mencegah trombosis (penggumpalan darah) atau
tromboemboli. Contoh pasien berisiko yang mungkin melakukan terapi dengan antikoagulan
atau antiplatelet termasuk individu

dengan penggantian nilai jantung , gangguan irama

jantung, dan kelainan jantung bawaan, serta individu dengan riwayat atau risiko infark
miokard, stroke, atau trombosis vena yang dalam. Obat-obat ini, meskipun efektif dalam
mengurangi risiko trombosis, dapat meningkatkan risiko komplikasi perdarahan, terutama
pada pasien yang menjalani prosedur bedah.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya,tatalaksana tradisional pada terapi pasien
antikoagulan atau antiplatelet adalah menghentikan terapi sekitar 3 sampai 5 (antiplatelet)
atau 7 sampai 10 (antikoagulan) hari sebelum prosedur bedah yang direncanakan. Bukti
terbaru dan pikiran-pikiran baru tentang pengelolaan pasien antikoagulan atau terapi
antiplatelet menunjukkan bahwa memperlakukan mereka (misalnya, bedah periodontal,
ekstraksi, dll) tanpa mengubah mediasi antikoagulan / antiplatelet mereka aman dan tidak
menimbulkan komplikasi perdarahan intraoperatif atau pasca operasi. .
Dalam studi ini, tidak ada peristiwa perdarahan yang tidak terkendali, semua
perdarahan dikontrol dengan langkah-langkah lokal, dan tidak ada kasus masalah perdarahan
pasca operasi. Sebaliknya, risiko menghentikan terapi antiplatelet mungkin serius.
Kortikosteroid
Sekitar 5% dari orang dewasa di AS terbiasa mengambil kortikosteroid untuk
pengobatan berbagai kondisi, dan berpotensi menempatkan mereka pada risiko adrenal
sekunder. pasien yang terbiasa menggunakan kortikosteroid, kemungkinan perkembangan
peningkatan hipertensi, osteoporosis, dan penyakit ulkus peptikum. Perawatan harus diambil
untuk meminimalkan risiko hasil yang merugikan pada pasien ini. Tekanan darah harus
dipantau, dan obat-obatan yang mungkin mengeksaserbasi ulkus peptikum (misalnya, asam
asetilsalisilat [ASA], NSAID) harus dihindari. Stress, seperti trauma, penyakit, operasi,
19

gangguan emosional, atau atletik, biasanya meningkatkan level sirkulasi kortisol endogen
melalui stimulasi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)
Nyeri tampaknya meningkatkan pelepasan kortisol. Ada kekhawatiran bahwa
pelepasan normal kortisol dalam menanggapi stres, seperti dental prosedur, mungkin
terganggu pada pasien yang terbiasa menggunakan kortikosteroid. Oleh karena itu kepedulian
apakah pasien terbiasa menggunakan kortikosteroid dalam suplementasi perioperatif untuk
dental prosedur. Secara historis, rekomendasi didasarkan pada jenis obat, jumlah, dan durasi
penggunaan kortikosteroid.
Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar individu dengan insufisiensi adrenal
dapat menerima perawatan gigi rutin tanpa perlu glukokortikosteroid tambahan.
Pasien yang saat ini sedang menggunakan kortikosteroid umumnya memiliki kortisol eksogen
dan endogen yang cukup untuk prosedur perawatan gigi rutin jika dosis yang biasa mereka
gunakan, diambil dalam waktu 2 jam dari prosedur yang direncanakan. Dengan demikian,
untuk sebagian besar pasien, pemberian kortikosteroid tambahan tidak diperlukan bila
prosedur bedah minor tidak rumit, termasuk bedah periodontal, yang dilakukan dengan
anestesi lokal dengan atau tanpa sedasi.
Imunosupresi dan Kemoterapi
Pasien imunosupresi memiliki gangguan pertahanan host sebagai akibat dari
imunodefisiensi atau pemberian obat (terutama yang berkaitan dengan transplantasi organ
atau kemoterapi kanker). Karena kemoterapi sering sitotoksik untuk sumsum tulang,
kerusakan platelet, trombosit,dan leukosit mengakibatkan sel darah trombositopenia, anemia,
dan leukopenia. Individu imunosupresi yang sama sangat meningkatkan risiko infeksi, dan
bahkan infeksi periodontal kecil dapat menjadi mengancam jiwa jika imunosupresi parah.
Pada intraoral, infeksi bakteri, virus, dan jamur dapat bermanifestasi. Pasien yang
menerima transplantasi sumsum tulang memerlukan perhatian khusus karena pasien ini
menerima kemoterapi dosis sangat tinggi dan sangat rentan terhadap penyebaran infeksi
mulut. Pengobatan pada pasien ini harus diarahkan pada pencegahan komplikasi oral yang
bisa mengancam nyawa. Oleh karena itu pengobatan harus konservatif dan paliatif. Itu selalu
lebih baik untuk mengevaluasi pasien sebelum memulai kemoterapi.

20

Gigi dengan prognosis yang buruk harus diekstraksi, dengan debridement


menyeluruh pada gigi yang tersisa untuk meminimalkan beban mikroba. Dokter harus
mengajari dan menekankan pentingnya kebersihan mulut yang baik. Obat kumur antimikroba,
seperti klorheksidin, dianjurkan, terutama untuk pasien dengan kemoterapi yang menginduksi
mukositis, untuk mencegah infeksi sekunder.
Kemoterapi biasanya dilakukan dalam siklus, dengan masing-masing siklus yang
berlangsung beberapa hari, diikuti oleh intervensi periode myelosupresi dan pemulihan. Jika
terapi periodontal diperlukan selama kemoterapi, yang terbaik adalah dilakukan sehari
sebelum kemoterapi diberikan, ketika jumlah sel darah putih relatif tinggi. Koordinasi dengan
oncologist sangat penting. Perawatan gigi harus dilakukan ketika jumlah sel darah putih di
atas 2.000 / mm3, dengan jumlah granulosit absolut 1000-1500 / mm3
Terapi Radiasi
Penggunaan radioterapi, sendiri atau bersamaan dengan reseksi bedah, adalah
perawatan yang umum dalam pengobatan tumor kepala dan leher. Efek samping radiasi
pengion termasuk perubahan perioral yang menjadi perhatian signifikan untuk tenaga
kesehatan gigi.
Luas dan keparahan mucositis, dermatitis, xerostomia, disfagia, perubahan
gustatory, karies radiasi , perubahan vaskular, trismus, degenerasi temporomandibular joint,
dan perubahan periodontal tergantung pada jenis radiasi yang digunakan, bidang penyinaran,
jenis jaringan, dan dosis.
Pasien dijadwalkan untuk menerima terapi radiasi kepala dan leher radiasi yang
memerlukan konsultasi gigi sedini mungkin untuk mengurangi morbiditas dari efek samping
pada perioral. Pengobatan pra iradiasi tergantung pada prognosis pasien, kepatuhan, dan
kedekatan radioterapi. Kunjungan awal harus mencakup radiografi panoramik dan intraoral,
pemeriksaan gigi klinis, evaluasi periodontal, dan konsultasi dokter. Dokter harus ditanya
tentang jumlah radiasi yang akan diberikan, luas dan lokasi lesi, sifat prosedur bedah apapun
yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan, bidang yang tepat untuk penyinaran, cara
terapi radiasi, dan prognosis pasien (yaitu, kemungkinan metastasis).

21

Pengobatan Pre irradiasi harus dimulai segera setelah konsultasi dokter.


Keputusan pertama harus melibatkan kemungkinan ekstraksi karena radiasi dapat
menyebabkan efek samping yang mengganggu penyembuhan. Untuk kepala dan leher
squamous cell carcinomas, dosis radiasi biasanya 5000-7000 cGy (centigray; 1 cGy = 1 rad)
diberikan dalam metode fraksinasi (150-200 cGy / hari selama kursus 6 hingga 7 minggu).
Ini dianggap "full-course" pengobatan radiasi, dan tingkat pada efek samping
perioral tergantung pada jaringan yang diradiasi, yaitu, fields radiasi. Jika dosis ini diberikan
kepada jaringan kelenjar ludah, xerostomia akan terjadi. Parotis adalah yang paling
radiosensitive dari kelenjar ludah,

air liur dapat menjadi sangat kental atau tidak ada,

tergantung pada dosis yang diberikan ke kelenjar tertentu. Xerostomia menyebabkan


penurunan mekanisme cleansing saliva normal, kapasitas bufering saliva, dan pH oral.
Populasi bakteri mulut beralih ke bentuk kariogenik yang dominan (misalnya, Streptococcus
mutans, Actinomyces spp., Lactobacillus spp.).

Radiasi yang menginduksi karies dapat

berkembang pesat dan terutama mempengaruhi permukaan gigi yang halus. Dosis tinggi hasil
terapi radiasi menghasilkan hipovaskularisasidi dari jaringan yang disinari dengan penurunan
kapasitas penyembuhan luka.
Paling parah di antara komplikasi oral yang dihasilkan osteoradionekrosis (ORN).
Penurunan vaskularisasi membuat tulang kurang mampu menyelesaikan trauma atau infeksi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat menyebabkan kerusakan tulang yang parah . Risiko ORN
berkelanjutan

selama

sisa

hidup

pasien

dan

tidak

menurun

seiring

waktu.

Penyakit periodontal dapat menjadi faktor pemicu dalam ORN. Ekstraksi gigi setelah
perawatan radiasi melibatkan risiko tinggi untuk perkembangan ORN. Untuk alasan ini,
penting bahwa dokter mengatasi penyakit periodontal pasien sebelum radiasi dimulai, bila
memungkinkan. Gigi yang tidak dapat direstorasi atau memiliki penyakit periodontal yang
parah harus diekstraksi, idealnya minimal 2 minggu sebelum radiasi.
Ekstraksi harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan penutupan primer.
mucoperiosteal flap harus diangkat dengan lembut; gigi harus diekstrak dalam segmen;
alveolectomy harus dilakukan, sehingga tidak ada tulang kasar yang tersisa; dan penutupan
primer harus dilakukan tanpa terjadi tension/ ketegangan. Hal ini tidak perlu untuk
mengekstraksi gigi yang dapat dipertahankan dengan restoratif konservatif, endodontik, atau
terapi periodontal. Namun, kehati-hatian menentukan ekstraksi gigi dipertanyakan karena
22

perawatan periodontal setelah iradiasi mungkin terbatas pada bentuk-bentuk terapi nonbedah. Operasi Flap atau ekstraksi gigi setelah radiasi dapat menyebabkan ORN.
Tata laksana ORN sering sulit dan juga mahal, dan memerlukan pengobatan yang
semakin lebih agresif jika tulang tidak merespon terapi konservatif. Terapi oksigen hiperbarik
yang mahal sering diperlukan untuk melengkapi resolusi. Selama terapi radiasi, pasien harus
menerima prophilaxis tiap minggu, instruksi oral hygiene, dan penerapan perawatan fuoride
profesional, kecuali mucositis mencegah pengobatan tersebut. Pasien harus diinstruksikan
untuk menyikat setiap hari dengan timah 0,4% atau 1,0% gel sodium flouride. Custom gel
trays memungkinkan aplikasi fuoride secara optimal.
Semua gigi yang tersisa harus menerima debridement secara menyeluruh (scaling
dan root planing). Follow up setelah iradiasi terdiri dari pengobatan paliatif diberikan sesuai
indikasi. Lidokain dapat diresepkan untuk mucositis yang menyakitkan, dan pengganti saliva
dapat diberikan untuk penderita xerostomia. Aplikasi fuoride topikal harian dan kebersihan
mulut adalah cara terbaik untuk mencegah karies radiasi dari waktu ke waktu. Dalam jangka
panjang, interval recall yang ideal yaitu 3 bulan.
PROSTHETIC JOINT REPLACEMENT
Pertimbangan pada saat merawat pasien yang menggunakan sendi prostetik
adalah penggunaan antibiotic sebagai profilaksis sebelum perawatan. Tidak ada bukti ilmiah
bahwa antibiotic sebagai profilaksis dapat mencegah terjadinya infeksi pada sendi prostetik,
yang dapat terjadi melalui bacteremia yang disebabkan perawatan gigi. Meskipun secara
teori bacteremia dapat disebabkan oleh perawatan gigi, sedikit sumber yang menyatakan
bahwa infeksi pada prostetik disebabkan oleh perawatan gigi. American Dental Association,
American Academy of Orthopaedic Surgeons, American Academy of Oral Medicine, dan
British Society for Antimicrobial Chemotherapy tidak mengindikasikan penggunaan
antibiotic pada pasien yang menggunakan sendi prostetik. Tetapi profilaksis diindikasikan
pada pasien sendi prostetik pada 2 tahun pertama penggunaan karena merupakan periode
dengan resiko tinggi terjadinya infeksi, termasuk pada pasien dengan penggantian sendi
prostetik baru, immunosupresi, rheumatoid arthritis, lupus, eritromatosis, diabetes tipe 1,
hemophilia, dan kekurangan nutrisi. Pasien dengan kondisi periodontal yang buruk atau yang
memiliki potensi mengidap infeksi dental diindikasikan untuk menggunakan antibiotik
sebagai profilaksisMeskipun tidak ada bukti yang menunjukkan antibiotic sebagai profilaksis
23

pada semua kategori pasien yang disebutkan diatas, hampir semua ahli bedah ortopedik
menganjurkan penggunaan antibiotik. Hal ini dikarenakan tingkat kematian yang tinggi pada
pasien yang menggunakan sendi prostetik.

Konsultasi dengan ahli ortopedik sebelum

melakukan perawatan periodontal dianjurkan, agar resiko terjadinya infeksi dapat


diminimalisir pada saat perawatan. Karena pasien dengan penyakit periodontal dikategorikan
sebagai beresiko tinggi mengalami infeksi, antibiotic sebagai profilaksis merupakan hal
yang umum dilakukan pada perawatan periodontal. Regimen antibiotik yang dapat digunakan
dapat dilihat pada tabel 1 .
Tabel. 1 Regimen antibiotic untuk mencegah infeksi sendi prostetik
Kondisi Pasien

Regimen Obat

Pasien tidak alergi terhadap golongan

Cephalexin, Cephradine atau

penisilin

Amoxicillin: 2 g peroral 1 jam


sebelum prosedur perawatan

Pasien alergi terhadap golongan

Clindamycin: 600 mg peroral 1

penisilin

jam sebelum prosedur perawatan

Pasien tidak alergi terhadap golongan

Cefazolin 1 g atau Ampicillin 2 g

penisilin tetapi tidak dapat

intramuscular atau intravena 1 jam

mengonsumsi antibiotic peroral

sebelum prosedur perawatan

Pasien alergi terhadap golongan

Clindamycin 600 mg secara

penisilin tetapi tidak dapat

intravena 1 jam sebelum

mengonsumsi antibiotic peroral

perawatan ( Harus diencerkan dan


diinjeksikan perlahaan)

24

PREGNANCY
Tujuan perawatan periodontal pada pasien hamil adalah untuk mengurangi respon
inflamasi yang berlebihan yang disebabkan kelainan hormonal yang berhubungan dengan
kehamilan. Hanya beberapa perawatan non-darurat yang dapat dilakukan pada pasien yang
sedang hamil yaitu kontrol plak, scalling, root planning, dan polishing.
Trisemester kedua adalah periode yang paling aman untuk melakukan
perawatan. Perawatan yang membutuhkan waktu lama sebaiknya ditunda hingga periode
postpartum. Ketika uterus bertambah besar pada trimester kedua dan ketiga, obstruksi pada
vena cava dan aorta dapat terjadi bila pasien dalam posisi supine. Berkurangnya suplai darah
balik jantung dapat menyebabkan sindrom supine hypotensive yang berdampak pada janin.
Berkurangnya tekanan darah, syncope, dan kehilangan kesadaran dapat terjadi. Hal ini dapat
dicegah dengan menempatkan pasien dengan meninggikan posisi panggul kiri kurang lebih 56 inchi selama perawatan. Durasi perawatan harus singkat dan pasien diperbolehkan merubah
posisi secara sering. Posisi berbaring sebaiknya dihindari bila memungkinkan
Tindakan pencegahan lain yang harus dilakukan yaitu berhubungan dengan efek
teratogenic dari perawatan. Idealnya tidak meresepkan obat kepada pasien hamil. Akan
tetapi analgesic, antibiotic dan anestesi local dan obat lain dapat diberikan sesuai kebutuhan
pasien. Semua obat yang diberikan harus dipertimbangkan dampaknya terhadap janin.
Penggunaaan foto radiografik harus seminimal mungkin. Resiko paparan radiasi
dari alat dapat diminimalisir bila pasien menggunakan apron pelindung dengan benar.
HEPATITIS
Saat ini, terdapat 6 virus yang diidentifikasi dapat menyebabkan hepatitis :
hepatitis A, B, C, D, E dan G. Keenam virus memiliki virology, epidemiologi dan profilaksis
yang berbeda. Karena infeksi hepatitis tidak terdiagnosa, klinisi harus waspada terhadap
pasien dengan kondisi sedang menjalani dialysis, petugas kesehatan, pasien dengan
immunosupresi, pasien yang beberapa kali menerima transfusi darah, homoseksual, pengguna
narkoba.
Hepatitis A dan E merupakan infeksi yang tidak menyebabkan penyakit liver
kronis. Virus ini biasanya menular melalui jalur fecal-oral. Penularan HAV biasanya
25

disebabkan karena hubungan antara pengidap dengan anggota keluarga, kontak seksual dan
kontak antara petugas kesehatan dan pasien. Sebaliknya, penularan HEV melalui air minum
yang terkontaminasi tergolong jarang. Untuk virus HAV, vaksinasi sudah tersedia, sedangkan
untuk HEV vaksinasi masih belum tersedia.
Hepatitis B dapat mengakibatkan infeksi liver kronis dan carrier penyakit ini.
Infeksi HBV kronis dapat terjadi pada 5-10% orang yang terindeks, dan angka yang lebih
tinggi terjadi pada anak-anak dan bayi. Karena jalur penularan utama melalui hematogenus,
HBV merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan. Dibanding petugas
kesehatan yang lain, infeksi HBV paling tinggi ditemukan pada dokter gigi. Melalui luka
pada perkutan atau permucosal akibat instrument atau jarum suntik paling sering terjadi pada
klinik dokter gigi. Vaksin hepatitis B dianjurkan bagi semua petugas kesehatan termasuk
dokter gigi
Virus Hepatitis D membutuhkan HBV untuk bertahan hidup, replikasi virus dan
untuk menjadi infektif.

Bahan genetic dari HDV terbungkus dalam permukaan lapisan

antigen dari HBV. Pencegahan infeksi HDV hampir sama dengan pencegahan HBV dan
mengandalkan vaksinasi HBV. Ketika antibody dapat mencegah infeksi HBV, pasien juga
terlindungi dari infeksi HDV.
Hepatitis C merupakan infeksi paling serius dari semua virus hepatitis karena
tingginya resiko kronis dari infeksi virus ini. Hanya 15% dari pasien yang mengidap infeksi
HCV yang dapat sembuh total; 85 % mengidap infeksi kronis HCV yang dapat meningkatkan
resiko cirrhosis, hepatocellular carcinoma dan gagal fungsi liver. Infeksi HCV merupakan
penyebab utama transplantasi liver di U.S. Vaksin HCV belum ditemukan. Karena HCV
menular melalui Perkutan atau permukosal, petugas kesehatan beresiko terluka disebabkan
karena instrument yang terkontaminasi.
Hepatitis G merupakan virus yang baru ditemukan, dan epidemiologi dan
virologinya belum diketahui secara pasti. HGV jarang menginfeksi secara soliter, biasanya
menjadi koinfeksi dari hepatitis A, B atau C. HGV diketahui menular melalui darah.
Berikut merupakan panduan dalam merawat pasien hepatitis :

26

1. Bila terdeteksi mengidap Hepatitis aktif, jangan melakukan perawatan periodontal


kecuali situasi darurat. Pada kasus darurat, ikuti protokol untuk pasien HBSAg
(HBV surface-antigen) positif
2. Untuk pasien dengan riwayat hepatitis, konsultasikan dengan dokter untuk
menentukan tipe hepatitis, sejak kapan terdiagnosa hepatitis, jalur transmisi
penyakit, dan riwayat penyakit liver kronis atau status carrier virus pasien
3. Untuk pasien yang pernah mengidap hepatitis A atau E, lakukan perawatan
periodontal rutin
4. Untuk pasien yang pernah mengidap hepatitis B dan D, konsultasikan ke dokter
untuk tes HBSAg dan anti-HBs (antibody terhadap antigen HBV)
Bila HBSAg anti-HBs menunjukkan negative tetapi dicurigai masih
a.
b.

terdapat hepatitis B laukan tes ulang HBs


Pasien dengan HBSAg positif tergolong infektif (carrier kronik); derajat

c.

infektivitas diukur dengan tes HBSAg


Pasien dengan anti-HBs positif dapat dilakukan perawatan rutin (memiliki

antibody untuk antigen HBs)


Pasien dengan HBSAg negative dapat dilakukan perawatan rutin
5. Untuk pasien dengan hepatitis C, konsultasikan dengan dokter untuk menentukan
d.

resiko penularan dan status pasien saaat ini


Jika pasien dengan hepatitis aktif, HBS Ag positif (HBV Carrier) atau
positif mengidap HCV dan membutuhkan perawatan periodontal darurat, gunakan
langkah pencegahan berikut :
Konsultasikan dengan dokter mengenai status pasien
a.
Bila pendarahan terjadi pada ssat perawatan, ukur prothrombin time dan
b.
bleeding time. Hepatitis dapat menyebabkan kelainan pembekuan darah;
c.

dan mengganggu perawatan


Semua petugas kesehatan yang merawat pasien disarankan menggunakan
alat pelindung. Termasuk masker, sarung tangan, eye shield dan apron

d.

disposable
Gunakan pelindung disposable sebanyak mungkin sebagai pencegahan,
untuk melindungi handle lampu dan tempat untuk meletakkan instrument,

e.

termasuk headrest cover.


Semua alat disposable seperti floss, saliva ejector, masker, sarung tangan
dll. Harus ditempatkan pada satu tempat pembuangan. Setelah perawatan,
alat-alat dan pelindung disposable dibungkus dan diberi label. Dan di

f.

buang dengan mengikuti petunjuk pembuangan limbah medis.


Teknik aseptic harus dilakukan. Untuk meminimalisir infeksi melalui
aerosol, bila memungkinkan hindari penggunaan instrument ultrasonic, air
27

syringe, atau highspeed handpiece, karena saliva mengandung virus


g.

tersebut. Penggunaan chlorhexidine selama 30 detik direkomendasikan


Ketika perawatan selesai semua alat harus disterilisasi. Bila terdapat alat
yang tidak dapat disterilisasi atau dibuang, jangan digunakan.

Bila terjadi luka perkutan atau permukosal pada saat perawatan pasien HBV
carrier, ikuti petunjuk Current Center of Disease Control and Prevention (CDCP) yang
merekomendasikan administrasi immunoglobulin hepatitis B (HBIG). Vaksin HBV diberikan
bila petugas kesehatan belum melakukan vaksin sebelumnya. Penggunaan immunoglobulin
dan anti-viral tidak efektif bila luka terjadi pada saat menangani pasien hepatitis C.

28

Tabel Perbandingan antar hepatitis virus

HIV dan AIDS


Sejak terjadinya epidemic AIDS, berbagai lesi rongga mulut berhubungan dengan
infeksi HIV. Seperti pasien hepatitis, tidak semua pasien yang mengidap HIV mengetahui
bahwa dirinya terkena HIV ketika akan melakukan perawatan gigi. Selain itu, pasien dengan
29

infeksi HIV seringkali tidak mengakui bahwa mereka mengidap HIV. Oleh karena itu, setiap
pasien yang akan melakukan perawatan dianggap berpotensi terinfeksi, dan tindakan
pencegahan universal harus dilakukan pada semua terapi.
Rencana perawatan periodontal yang luas harus mempertimbangkan kondisi
sistemik pasien, prognosis dan survival time dari pasien. Kewaspadaan akan kelainan oral
yang berhubungan dengan infeksi HIV dapat membuat klinisi menemukan penyakit yang
belum terdiagnosa atau merubah protocol perawatan dengan tepat.
TUBERKULOSIS
Pasien dengan Tuberkulosis hanya menerima perawatan yang bersifat darurat
saja. Bila pasien telah melakukan kemoterapi, konsultasi pada dokter harus dilakukan
mengenai infektivitas dan hasil kultur sputum dari Mycobacterium tuberculosis. Bila hasil
kultur negatif, pasien bisa menerima perawatan periodontal secara normal. Pasien dengan
follow up yang buruk (Jarang memeriksakan diri ke dokter) atau menunjukkan

gejala

tuberculosis harus dirujuk untuk evaluasi. Perawatan untuk tuberculosis minimal


membutuhkan waktu 18 bulan, dan memeriksakan diri ke dokter termasuk kultur sputum dll,
paling tidak 12 bulan sekali.

30

DAFTAR PUSTAKA
Newman, MG. Takei, HH. Carranza, FA. 2002. Carranzas Clinical Periodontology edisi 9.
New York : W.B. Saunders Company. Hal : 527-550.
Newman, MG. Takei, HH.. Carranza, FA. Klokkevold, PR. 2012. Carranzas Clinical
Periodontology edisi 11. Los Angeles : Elsevier Saunders Inc. Hal : 412-421.

31

Anda mungkin juga menyukai