Disusun Oleh :
021111021
2. Laila Fatmawati
021211131001
021211131002
4. Balqis Charisa Y. A.
021211131003
5. Yunita Marwah
021211131004
DEPARTEMEN PERIODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI - UA
Semester Genap 2014/2015
PENYAKIT KARDIOVASKULER
Penyakit Kardiovaskuler merupakan penyakit dengan prevalensi kejadiannya
tinggi. Penyakit ini pada umumnya terjadi seiring dengan bertambahnya usia.
Penyakit kardiovaskuler terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
A.
Hipertensi
Penyakit Jantung Iskemi
Gagal Jantung Kongestif
Cardiac pacemakers and implantable
Cardioverter - Defibrillators
Infeksi Endokarditis
Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah seseorang dimana tekanan sistole > 140
dan lain-lain.
Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan setiap kunjungan.
Pengukuran tekanan
4.
periodontal .
Hati-hati dalam pemberian anestesi
predisposisi. Keadaan darurat ini harus dirawat dan konsultasi dengan dokter pasien.
Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita angina pectoris meliputi :
1.
Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
2.
3.
dan lain-lain.
Pasien dengan obat Nitrogliserin disarankan untuk membawa obatnya
Hati-hati dalam pemberian anestesi
Pada dasarnya pemberian anestesi pada pasien angina pectoris sama dengan
pasien dengan riwayat hipertensi. Dalam melakukan anestesi harus dilakukan aspirasi.
4.
2.
C.
berujung kematian.
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif meruoakan kondisi dimana fungsi pompa jantung tidak
mampu menyediakan darah beroksigen yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh karena peningkatan kebutuhan oksigen, kerusakan miokardium, dan
peningkatan beban kerja jantung.
Gagal jantung yang tidak terkontrol tidak boleh dilakukan perawatan gigi karena
bisa menyebabkan aritmia ventrikel hingga mengakibatkan kematian.
Perawatan periodontal yang dilakukan pada pasien penderita angina pectoris meliputi :
3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
D.
Anamnesa
Anamnesa bertujuan untuk menggali riwayat kesehatan pasien, riwayat terapi,
dan lain-lain.
Konsultasi dengan dokter pasien mengenai keparahan CHEnya
Manajemen medis
Manajemen medis meliputi penggunaan kalsium channel blocker, vasodilator
langsung, diuretik, ACE inhibitor, reseptor -blocker, dan agen kardiotonik.
Mempersiapkan oksigen tambahan
Meminimalkan stres
Posisi pasien di dental chair senyaman mungkin, tidak boleh terlentang karena
ada pasien CHE disertai optonea yang tidak bisa bernafas kecuali dalam posisi tegak.
Cardiac pacemakers and implantable, Cardioverter Defibrillators
Alat pacu jantung biasanya dipasang pada dinding jantung. Defibrillator lebih
yang
diperlukan
untuk
meminimalkan
resiko
CEREBROVASCULAR ACCIDENT
Cerebrovascular accident (CVA) atau disebut juga stroke, terjadi oleh karena
perubahan iskemik (Contoh : Adanya Cerebral Trombosis karena adanya embolus) atau
fenomena hemorhagik. Hipertensi dan arterosklerosis merupakan factor predisposisi dari
CVA dan klinisi harus waspada ketika mengevaluasi kondisi pasien dan rekam medik pasien
akan kemungkinan terjadinya gejala awal CVA. Bila gejala awal CVA tampak pada pasien,
terapi periodontal harus didahului dengan rujukan dari dokter yang berkompeten.
Untuk mencegah terjadinya stroke yang berulang, infeksi aktif harus ditangani
sesegera mungkin, bahkan adanya infeksi minor pada pasien yang mengidap CVA dapat
menyebabkan kelainan pada pembekuan darah dan menyebabkan pembentukan thrombus
yang berlanjut menjadi infark cerebral.
melemahnya daerah wajah serta terjadinya kelumpuhan pada ekstermitas, yang dapat menjadi
faktor penyulit dalam membersihkan rongga mulut. Klinisi dapat memodifikasi alat untuk
membersihkan rongga mulut sehingga dapat digunakan pada pasien CVA, dengan konsultasi
pada terapis terkait.
mengontrol plak.
Berikut merupakan panduan dalam melakukan perawatan pada pasien pasca
stroke ;
1. Tidak dilakukannya perawatan periodontal selama 6 bulan pasca stroke (Kecuali
kondisi darurat), karena resiko kambuhnya CVA yang tinggi pada periode ini
2. Setelah 6 bulan, perawatan periodontal dilakukan dengan sesingkat mungkin
untuk mengurangi stress. Dosis anestesi local yang digunakan adalah dosis efektif
minimal.
Untuk
5. Tekanan darah harus diamati dengan seksama. Karena tingkat kekambuhan CVA
yang tinggi.
DIABETES MELITUS
Diabetes melitus merupakan penyakit yang sangat penting dari sudut pandang
periodonsia. Hal ini ditandai oleh kurangnya fungsi sel-sel beta dari pulau Langerhans di
pankreas yang menyebabkan kadar glukosa darah tinggi dan eksresi gula dalam urin.
Ada dua tipe DM primer, yaitu tipe 1 dan 2. Pada penderita diabetes tipe 1, kelenjar pankreas
tidak mampu memproduksi insulin, sehingga jumlah insulin beredar dalam tubuh tidak
mencukupi kebutuhan. Lain halnya pada diabetes tipe 2, hormon insulin tetap diproduksi
namun tidak dapat berfungsi dengan baik. Sebahagian besar penderita diabetes di Indonesia
mengidap diabetes tipe 2. Diabetes tipe ini secara umum biasa dikaitkan dengan usia lanjut.
Diabetes tipe 2 ini juga disebabkan karena obesitas (kegemukan) dan gaya hidup yang tidak
sehat (pola makan tinggi lemak dan jarang berolah raga). Disamping kedua tipe diatas, ada
tipe lain yang dinamakan diabetes sekunder, yang berkaitan dengan penyakit lain yang
melibatkan pankreas dan merusak sel-sel pembuat insulin.
PENGARUH
DIABETES
MELITUS
TERHADAP KESEHATAN
PERIODONTAL
bisa
terjadi
di
dalam
plasma
dan
jaringan
gingival
penderita
diabetes.
Sel-sel pada endotelial, otot polos, neuron dan monosit mempunyai sisi pengikat (binding
site) AGE pada permukaannya, yang diberi nama reseptor AGE (RAGE). Terikatnya AGE ke
6
sel-sel endotelial menyebabkan terjadinya lesi vaskular, trombosis dan vasokonsriksi pada
diabetes. AGE yang terikat ke monosit akan meningkatkan kemotaksis dan aktivasi monosit
yang disertai peningkatan jumlah sitokin proinflamatori yang dilepas, seperti TNF-, IL-1,
dan IL-6. Ikatan AGE dengan RAGE pada fibroblas menyebabkan terganggunya remodeling
jaringan ikat, sedangkan ikatan AGE dengan kolagen menyebabkan penurunan solubilitas dan
laju pembaharuan kolagen. Buruknya kontrol gula darah dan meningkatnya pembentukan
AGE menginduksi stress oksidan pada gingival sehingga memperkuat kerusakan jaringan
periodontal.2 Di samping itu, dengan adanya peningkatan kadar sel radang dalam cairan saku
gusi, menyebabkan jaringan periodontal lebih mudah terinfeksi dan menyebabkan kerusakan
tulang.
Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya
pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh.
Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi,
sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Jadi, infeksi
bakteri pada penderita diabetes lebih berat.
Perubahan-perubahan yang dikemukakan di atas secara klinis mempengaruhi
kondisi periodonsium penderita diabetes. Diabetes yang tidak terkontrol atau kurang baik
kontrolnya disertai oleh peningkatan kerentanan terhadap infeksi, termasuk periodontitis
kronis. Periodontitis kronis lebih sering terjadi dan lebih parah pada individu diabetik yang
disertai komplikasi sistemik yang lebih parah.
Kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang signifikan lebih tinggi pada pasien
DM tipe1 yang kontrol diabetesnya buruk dibandingkan pasien yang diabetesnya terkontrol
baik. Demikian juga pada pasien diabetes melitus tipe 2, kedalaman poket dan kehilangan
perlekatan lebih parah pada kelompok yang diabetesnya
Beberapa penelitian telah secara khusus mengamati hubungan antara periodontitis kronis
dengan diabetes melitus tipe 1 dan 2. Dilaporkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 1
meningkat risikonya menderita periodontitis kronis sejalan dengan pertambahan usia dan
keparahan periodontitis kronis meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi diabetes. Pada
pasien diabetik dewasa dengan diabates yang tidak terkontrol baik, terjadi kehilangan
perlekatan dan kehilangan tulang yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan diabetes
yang terkontrol baik, meskipun mereka dalam memelihara mulutnya adalah setara.
7
PENGARUH
PENYAKIT
PERIODONTAL
TERHADAP
DIABETES
MELITUS
Sintesa dan sekresi sitokin akibat infeksi yang berasal dari periodontitis dapat
memperhebat sintesa dan sekresi sitokin yang berasal dari interaksi AGE dengan RAGE, dan
sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan periodontitis dengan DM berlangsung
dalam dua arah.Dengan demikian penyakit periodontal yang berupa inflamasi kronis dapat
memperparah status penderita diabetes melitus ke arah komplikasi yang lebih berat.
Periodontitis kronis yang parah pada penderita DM diduga menjadi penyebab bagi
peningkatan konsentrasi hemoglobin terglikosilasi. Infeksi yang berasal dari periodontitis
selain meningkatkan produksi sitokin, diduga dapat pula meningkatkan resistensi insulin yang
pada akhirnya memperburuk kontrol glikemik penderita diabetes yang juga menderita
periodontitis di mulutnya.
PERAWATAN
PERIODONTAL
PADA
PENDERITA
DIABETES
MELITUS
GANGGUAN PERDARAHAN
Pasien dengan riwayat perdarahan yang disebabkan oleh penyakit atau obatobatan harus diperhatikan untuk meminimalkan risiko perdarahan. Identifikasi pasien
melalui:
a. Riwayat Kesehatan, seperti memberikan pertanyaan kesehatan, antara lain
mencakup:
1. Riwayat perdarahan setelah operasi
2. Riwayat obat masa lalu dan sekarang
3. Riwayat masalah perdarahan antar kerabat
4. Penyakit yang berhubungan dengan masalah perdarahan
b. Pemeriksaan klinis, berguna untuk mendeteksi adanya jaundice, ecchymosis,
spider
telangiectasia,
hemarthrosis,
petechiae,
hemorrhagic
vesicles,
Gangguan Koagulasi
Gangguan koagulasi, yaitu meliputi:
1. Hemofilia A
Hemofilia A dapat terjadi karena kekurangan faktor pembekuan
VIII, dan tingkat keparahan tergantung pada kadar faktor VIII yang tersisa. Pasien
dengan hemofilia berat yang memiliki kurang dari 1% dari kadar normal faktor
VIII mungkin memiliki pendarahan hebat pada provokasi sedikit, sedangkan
mereka dengan hemofilia yang lebih moderat (kadar faktor VIII 1-5%) memiliki
kurang sering perdarahan spontan tetapi masih berdarah dengan trauma minimal.
Pasien dengan hemofilia ringan (kadar faktor VIII 6-30%) jarang berdarah
spontan tetapi masih mungkin memiliki perdarahan setelah trauma berat atau
selama prosedur pembedahan. Dokter gigi harus berkonsultasi dengan dokter
pasien sebelum perawatan gigi untuk menentukan risiko perdarahan dan
modifikasi pengobatan yang diperlukan. Untuk mencegah perdarahan bedah,
diperlukan minimal kadar faktor VIII yaitu 30%. Parenteral 1-deamino-8 Darginin vasopressin (DDAVP; desmopresin) dapat digunakan untuk meningkatkan
kadar faktor VIII dua kali lipat menjadi tiga kali lipat pada pasien dengan
hemofilia ringan atau sedang. DDAVP memiliki keuntungan yang signifikan
untuk menghindari risiko penularan penyakit virus dari infuse faktor VIII dan
dianggap sebagai obat pilihan pada pasien responsif. Kebanyakan pasien dengan
10
hemofilia sedang dan berat membutuhkan infus konsentrat faktor VIII sebelum
prosedur bedah. Sebelum tahun 1985, resiko penularan penyakit virus dari infus
sangat tinggi. Namun, beberapa tahun terakhir, aman dan antibodi monoklonal
sangat murni atau rekombinan produk faktor VIII DNA telah mulai digunakan
secara luas.
2. Hemofilia B
Hemofilia B atau juga disebut penyakit Natal dapat terjadi karena
kekurangan faktor IX. Tingkat keparahan tergantung pada jumlah relatif faktor IX
yang ada. Terapi bedah memerlukan kadar faktor IX 30-50% dan biasanya dicapai
dengan pemberian konsentrat kompleks protrombin murni atau konsentrat faktor
IX.
3. Penyakit von Willebrands.
Penyakit von Willebrands dapat terjadi karena kekurangan faktor
von Willebrands, dimana von Willebrands merupakan memediasi adhesi
trombosit ke dinding pembuluh yang terluka dan diperlukan untuk hemostasis
primer. Faktor von Willebrands juga membawa bagian koagulan faktor VIII
dalam plasma. Bahkan, banyak kasus penyakit von Willebrand tidak
terdiagnosis. , dan pendarahan selama perawatan gigi mungkin merupakan tanda
pertama dari penyakit. Sebelum operasi periodontal atau pencabutan gigi
diperlukan:
a. Penyakit yang lebih ringan diberi DDAVP
b. Penyakit yang lebih parah diberi konsentrat faktor VIII atau infus
cryoprecipitate
Perawatan periodontal dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan koagulasi
ini, asalkan tindakan pencegahan yang memadai diambil. Probing, scaling, dan profilaksis
biasanya dapat dilakukan tanpa modifikasi medis. Pengobatan yang lebih invasif, seperti blok
anestesi lokal, root planing, atau operasi, harus konsultasi ke dokter dahulu.
Selama perawatan, tindakan lokal untuk memastikan pembentukan bekuan dan
stabilitas sangat penting. Penutupan luka dengan sempurna dan pemberian penekanan
sehingga dapat mengurangi perdarahan. Agen antihemostatik, seperti selulosa teroksidasi atau
dimurnikan kolagen sapi, dapat ditempatkan di atas situs bedah atau ke soket ekstraksi. Agen
antifibrinolitik e-aminokaproat acid (Amicar), diberikan secara oral atau melalui IV, adalah
inhibitor poten dari awal gumpalan pembubaran. Asam traneksamat merupakan agen
antifibrinolytic lebih kuat dari Amicar dan telah terbukti untuk mencegah perdarahan mulut
11
yang berlebihan setelah operasi periodontal dan pencabutan gigi. Ini tersedia dalam bentuk
per-oral dan dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan asam traneksamat
sistemik selama beberapa hari setelah operasi.
Rencana perawatan pasien dengan penyakit hati:
1. Konsultasi ke dokter
2. Evaluasi laboratorium: PT, bleeding time, platelet count, dan PTT (pada pasien
stadium akhir penyakit hati)
3. Konservatif, terapi periodontal non-bedah bila memungkinkan
4. Jika operasi diperlukan, maka:
Purpura Trombositopenik
Trombositopenia
didefinisikan
sebagai
jumlah
trombosit
kurang
dari
c.
d.
3. Selama fase akut leukemia, pasien tidak boleh menerima perawatan periodontal,
kecuali darurat. Setiap sumber infeksi potensial harus dihilangkan untuk
13
Agranulositosis
Pasien dengan agranulositosis (neutropenia siklik dan granulocytopenia) memiliki
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Total jumlah sel darah putih berkurang, dan leukosit
granular (neutrofil, eosinofil, basofil) berkurang atau menghilang. Gangguan ini sering
ditandai dengan kerusakan periodontal yang parah. Bila mungkin, perawatan periodontal
harus dilakukan selama periode remisi penyakit. Pada saat seperti itu, pengobatan harus
sebagai konservatif dan sekaligus mengurangi potensi sumber infeksi sistemik. Setelah
berkonsultasi dengan dokter, gigi parah terkena harus diekstraksi. Instruksi menjaga
kebersihan mulut dengan penggunaan chlorhexidine dua kali sehari. Scaling dan root planing
harus dilakukan dengan hati-hati dan diberikan antibiotik.
PENYAKIT GINJAL
Penyebab paling umum dari gagal ginjal adalah glomerulonefritis, pielonefritis,
penyakit ginjal kistik, penyakit renovaskular, nefropati obat, uropati obstruktif, dan hipertensi.
Gagal ginjal dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit berat, aritmia jantung, kongesti
paru, gagal jantung kongestif, dan pendarahan berkepanjangan. Oleh karena itu, diperlukan
konsultasi ke dokter untuk menentukan stadium penyakit ginjal, rejimen untuk manajemen
medis, dan perubahan dalam terapi periodontal. Pasien gagal ginjal kronis memiliki penyakit
progresif yang pada akhirnya mungkin memerlukan transplantasi ginjal atau dialisis. Adalah
lebih baik untuk mengobati pasien sebelum, bukan setelah, transplantasi atau dialisis.
14
b.
c.
15
1. Konsultasi dengan dokter mengenai tahap penyakit, risiko perdarahan, obat potensial untuk
diresepkan selama perawatan, dan diperlukan mengubah-negosiasi terhadap terapi
periodontal.
2. Skrining untuk hepatitis B dan C.
3. Periksa nilai laboratorium untuk waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial
PENYAKIT PARU
Penyakit paru berkisar dari penyakit obstruktif paru (misalnya, asma, emfisema,
bronkitis, dan obstruksi akut) gangguan ventilasi terbatas yang disebabkan oleh kelemahan
otot, jaringan parut, obesitas, atau kondisi apapun yang dapat mengganggu efektivitas
ventilasi paru. Penyakit paru gabungan restriktif-obstruktif juga dapat berkembang.
Dokter harus menyadari tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit paru, seperti
peningkatan laju pernapasan, sianosis, clubbing pada jari, batuk kronis, nyeri dada,
hemoptisis, dyspnea atau ortopnea, dan mengi. Pasien dengan masalah ini harus dirujuk untuk
evaluasi medis dan pengobatan. Kebanyakan pasien dengan penyakit paru-paru kronis dapat
menjalani terapi periodontal rutin jika mereka menerima tatalaksana medis yang memadai.
Panduan
berikut
harus
digunakan
selama
terapi
periodontal:
1. Mengidentifikasi dan merujuk pasien dengan tanda dan gejala penyakit paru ke dokter
mereka.
2. Pada pasien dengan penyakit paru diketahui, berkonsultasi dengan dokter mereka tentang
obat (antibiotik, steroid, obat kemoterapi) dan derajat dan tingkat keparahan penyakit paru.
3. Hindari elisitasi depresi pernafasan atau tekanan:
Minimalkan stres pasien saat membuat janji untuk perawatan periodontal . Pasien dengan
emfisema harus dirawat disore hari, beberapa jam setelah tidur.
Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pernafasan (misalnya, narkotika, obat
penenang/ sedatif, dan anestesi general).
Hindari anestesi bilateral mandibular block, yang dapat menyebabkan peningkatan obstruksi
jalan napas.
16
perawatan
kecuali
bila
prosedur
perawatan
periodontal
sangat
diperlukan/emergensi.
PENGOBATAN DAN TERAPI KANKER
Beberapa obat yang diresepkan untuk mengobati
memiliki efek pada jaringan periodontal, penyembuhan luka, atau respon imun host yang
membutuhkan pemahaman, apresiasi, dan dalam beberapa kasus, modifikasi pengobatan.
Bifosfonat
Obat bifosfonat terutama digunakan untuk mengobati kanker (pemberian
intravena) dan osteoporosis (pemberian oral). Bifosfonat bertindak dengan menghambat
aktivitas osteoklastik, yang mengarah ke kurangnya resorpsi tulang, remodeling tulang
kurang, dan kurangnya pergantian tulang.
Penggunaan bifosfonat dalam pengobatan kanker bertujuan untuk mencegah
ketidakseimbangan yang sering mematikan aktivitas osteoklastik. Dalam pengobatan
osteoporosis, tujuannya adalah hanya untuk memanfaatkan aktivitas osteoklastik untuk
meminimalkan atau mencegah keropos tulang/kehilangan tulang.
Individu yang diobati dengan potensi tinggi, bifosfonat yang mengandung
nitrogen, terutama yang diberikan melalui IV untuk pengobatan kanker (misalnya,
zoledronate), tampaknya berisiko lebih besar untuk terjadinya BRONJ dibandingkan mereka
yang memakai bifosfonat oral untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Risiko pada
individu yang diobati dengan bifosfonat oral untuk jangka waktu kurang dari 3 tahun
tampaknya menjadi minimal atau nol.
Penggunaan reguler bifosfonat oral untuk jangka waktu lebih dari 3 tahun
menunjukkan profil resiko yang meningkat seiring dengan waktu dan penggunaan jangka
17
panjang. Seperti banyak penyakit dan kondisi multifaktorial, ada kemungkinan bahwa faktor
selain terapi bifosfonat berkontribusi terhadap risiko individu terkena BRONJ. Faktor risiko
potensial memberikan kontribusi pemikiran untuk pengembangan BRONJ termasuk terapi
sistemik kortikosteroid, merokok, alkohol, kebersihan mulut yang buruk, kemoterapi,
radioterapi, diabetes, dan penyakit hematologi. Faktor atau kondisi yang menyebabkan
BRONJ dilaporkan termasuk ekstraksi, perawatan saluran akar, infeksi periodontal, bedah
periodontal, dan operasi implan gigi.
Jelas, baik penyakit periodontal dan pengobatan (terutama pembedahan)
menimbulkan risiko bagi pasien yang diterapi dengan bifosfonat. Bakteri yang menginduksi
proses infammatori pada
mudah menjadi nekrosis tulang. Demikian juga, perawatan periodontal, terutama operasi,
dapat menyebabkan nekrosis tulang dengan adanya bifosfonat. Penyedia layanan kesehatan
harus mengevaluasi pasien dengan hati-hati, berkomunikasi dengan penyedia layanan
kesehatan medis, menginformasikan pasien, dan mempertimbangkan pilihan pengobatan dan
risiko dengan hati-hati. Pemeriksaan intraoral dengan hati-hati untuk semua pasien yang
diobati dengan terapi bifosfonat (IV atau oral) untuk menentukan apakah eksposur tulang ada
dan untuk menilai kondisi lokal yang mungkin mempengaruhi perkembangan BRONJ.
Sebuah riwayat kesehatan secara menyeluruh harus ditinjau, dievaluasi, dan
direkam dengan rincian tentang pengobatan bifosfonat, termasuk jenis obat, dosis, rute
pemberian, dan durasi. Komorbiditas, seperti obat-obatan sebelumnya dan saat ini,
pengobatan, dan penyakit yang ada atau patologi, harus dipertimbangkan. Radiografi harus
dievaluasi dengan hati-hati sebagai tanda toksisitas bifosfonat. Akhirnya, Marx telah
menyarankan bahwa tes darah laboratorium untuk serum C-terminal telopeptide fragmen
kolagen tipe I (CTX) dapat digunakan sebagai alat untuk menilai risiko individu dalam
perkembangan BRONJ. Uji laboratorium CTX adalah mengukur fragmen spesifik C-terminal
tipe I kolagen yang dipecaholeh osteoklas dan berfungsi sebagai indikator yang baik dari
aktivitas resorpsi tulang.
Untuk individu yang diterapi dengan bifosfonat IV, pengobatan invasif, seperti
ekstraksi, bedah periodontal, operasi implan, dan prosedur pembesaran tulang, harus
dihindari. Peringatan dan pertimbangan risiko harus dipertimbangkan dengan cermat sebelum
18
pengobatan untuk individu dengan riwayat pengobatan bifosfonat oral untuk waktu yang
lebih lama dari 3 tahun.
Terapi Antikoagulan / antiplatelet
Banyak pasien dengan berbagai kondisi diberikan terapi dengan obat
antikoagulan atau antiplatelet untuk mencegah trombosis (penggumpalan darah) atau
tromboemboli. Contoh pasien berisiko yang mungkin melakukan terapi dengan antikoagulan
atau antiplatelet termasuk individu
jantung, dan kelainan jantung bawaan, serta individu dengan riwayat atau risiko infark
miokard, stroke, atau trombosis vena yang dalam. Obat-obat ini, meskipun efektif dalam
mengurangi risiko trombosis, dapat meningkatkan risiko komplikasi perdarahan, terutama
pada pasien yang menjalani prosedur bedah.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya,tatalaksana tradisional pada terapi pasien
antikoagulan atau antiplatelet adalah menghentikan terapi sekitar 3 sampai 5 (antiplatelet)
atau 7 sampai 10 (antikoagulan) hari sebelum prosedur bedah yang direncanakan. Bukti
terbaru dan pikiran-pikiran baru tentang pengelolaan pasien antikoagulan atau terapi
antiplatelet menunjukkan bahwa memperlakukan mereka (misalnya, bedah periodontal,
ekstraksi, dll) tanpa mengubah mediasi antikoagulan / antiplatelet mereka aman dan tidak
menimbulkan komplikasi perdarahan intraoperatif atau pasca operasi. .
Dalam studi ini, tidak ada peristiwa perdarahan yang tidak terkendali, semua
perdarahan dikontrol dengan langkah-langkah lokal, dan tidak ada kasus masalah perdarahan
pasca operasi. Sebaliknya, risiko menghentikan terapi antiplatelet mungkin serius.
Kortikosteroid
Sekitar 5% dari orang dewasa di AS terbiasa mengambil kortikosteroid untuk
pengobatan berbagai kondisi, dan berpotensi menempatkan mereka pada risiko adrenal
sekunder. pasien yang terbiasa menggunakan kortikosteroid, kemungkinan perkembangan
peningkatan hipertensi, osteoporosis, dan penyakit ulkus peptikum. Perawatan harus diambil
untuk meminimalkan risiko hasil yang merugikan pada pasien ini. Tekanan darah harus
dipantau, dan obat-obatan yang mungkin mengeksaserbasi ulkus peptikum (misalnya, asam
asetilsalisilat [ASA], NSAID) harus dihindari. Stress, seperti trauma, penyakit, operasi,
19
gangguan emosional, atau atletik, biasanya meningkatkan level sirkulasi kortisol endogen
melalui stimulasi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)
Nyeri tampaknya meningkatkan pelepasan kortisol. Ada kekhawatiran bahwa
pelepasan normal kortisol dalam menanggapi stres, seperti dental prosedur, mungkin
terganggu pada pasien yang terbiasa menggunakan kortikosteroid. Oleh karena itu kepedulian
apakah pasien terbiasa menggunakan kortikosteroid dalam suplementasi perioperatif untuk
dental prosedur. Secara historis, rekomendasi didasarkan pada jenis obat, jumlah, dan durasi
penggunaan kortikosteroid.
Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar individu dengan insufisiensi adrenal
dapat menerima perawatan gigi rutin tanpa perlu glukokortikosteroid tambahan.
Pasien yang saat ini sedang menggunakan kortikosteroid umumnya memiliki kortisol eksogen
dan endogen yang cukup untuk prosedur perawatan gigi rutin jika dosis yang biasa mereka
gunakan, diambil dalam waktu 2 jam dari prosedur yang direncanakan. Dengan demikian,
untuk sebagian besar pasien, pemberian kortikosteroid tambahan tidak diperlukan bila
prosedur bedah minor tidak rumit, termasuk bedah periodontal, yang dilakukan dengan
anestesi lokal dengan atau tanpa sedasi.
Imunosupresi dan Kemoterapi
Pasien imunosupresi memiliki gangguan pertahanan host sebagai akibat dari
imunodefisiensi atau pemberian obat (terutama yang berkaitan dengan transplantasi organ
atau kemoterapi kanker). Karena kemoterapi sering sitotoksik untuk sumsum tulang,
kerusakan platelet, trombosit,dan leukosit mengakibatkan sel darah trombositopenia, anemia,
dan leukopenia. Individu imunosupresi yang sama sangat meningkatkan risiko infeksi, dan
bahkan infeksi periodontal kecil dapat menjadi mengancam jiwa jika imunosupresi parah.
Pada intraoral, infeksi bakteri, virus, dan jamur dapat bermanifestasi. Pasien yang
menerima transplantasi sumsum tulang memerlukan perhatian khusus karena pasien ini
menerima kemoterapi dosis sangat tinggi dan sangat rentan terhadap penyebaran infeksi
mulut. Pengobatan pada pasien ini harus diarahkan pada pencegahan komplikasi oral yang
bisa mengancam nyawa. Oleh karena itu pengobatan harus konservatif dan paliatif. Itu selalu
lebih baik untuk mengevaluasi pasien sebelum memulai kemoterapi.
20
21
berkembang pesat dan terutama mempengaruhi permukaan gigi yang halus. Dosis tinggi hasil
terapi radiasi menghasilkan hipovaskularisasidi dari jaringan yang disinari dengan penurunan
kapasitas penyembuhan luka.
Paling parah di antara komplikasi oral yang dihasilkan osteoradionekrosis (ORN).
Penurunan vaskularisasi membuat tulang kurang mampu menyelesaikan trauma atau infeksi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat menyebabkan kerusakan tulang yang parah . Risiko ORN
berkelanjutan
selama
sisa
hidup
pasien
dan
tidak
menurun
seiring
waktu.
Penyakit periodontal dapat menjadi faktor pemicu dalam ORN. Ekstraksi gigi setelah
perawatan radiasi melibatkan risiko tinggi untuk perkembangan ORN. Untuk alasan ini,
penting bahwa dokter mengatasi penyakit periodontal pasien sebelum radiasi dimulai, bila
memungkinkan. Gigi yang tidak dapat direstorasi atau memiliki penyakit periodontal yang
parah harus diekstraksi, idealnya minimal 2 minggu sebelum radiasi.
Ekstraksi harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan penutupan primer.
mucoperiosteal flap harus diangkat dengan lembut; gigi harus diekstrak dalam segmen;
alveolectomy harus dilakukan, sehingga tidak ada tulang kasar yang tersisa; dan penutupan
primer harus dilakukan tanpa terjadi tension/ ketegangan. Hal ini tidak perlu untuk
mengekstraksi gigi yang dapat dipertahankan dengan restoratif konservatif, endodontik, atau
terapi periodontal. Namun, kehati-hatian menentukan ekstraksi gigi dipertanyakan karena
22
perawatan periodontal setelah iradiasi mungkin terbatas pada bentuk-bentuk terapi nonbedah. Operasi Flap atau ekstraksi gigi setelah radiasi dapat menyebabkan ORN.
Tata laksana ORN sering sulit dan juga mahal, dan memerlukan pengobatan yang
semakin lebih agresif jika tulang tidak merespon terapi konservatif. Terapi oksigen hiperbarik
yang mahal sering diperlukan untuk melengkapi resolusi. Selama terapi radiasi, pasien harus
menerima prophilaxis tiap minggu, instruksi oral hygiene, dan penerapan perawatan fuoride
profesional, kecuali mucositis mencegah pengobatan tersebut. Pasien harus diinstruksikan
untuk menyikat setiap hari dengan timah 0,4% atau 1,0% gel sodium flouride. Custom gel
trays memungkinkan aplikasi fuoride secara optimal.
Semua gigi yang tersisa harus menerima debridement secara menyeluruh (scaling
dan root planing). Follow up setelah iradiasi terdiri dari pengobatan paliatif diberikan sesuai
indikasi. Lidokain dapat diresepkan untuk mucositis yang menyakitkan, dan pengganti saliva
dapat diberikan untuk penderita xerostomia. Aplikasi fuoride topikal harian dan kebersihan
mulut adalah cara terbaik untuk mencegah karies radiasi dari waktu ke waktu. Dalam jangka
panjang, interval recall yang ideal yaitu 3 bulan.
PROSTHETIC JOINT REPLACEMENT
Pertimbangan pada saat merawat pasien yang menggunakan sendi prostetik
adalah penggunaan antibiotic sebagai profilaksis sebelum perawatan. Tidak ada bukti ilmiah
bahwa antibiotic sebagai profilaksis dapat mencegah terjadinya infeksi pada sendi prostetik,
yang dapat terjadi melalui bacteremia yang disebabkan perawatan gigi. Meskipun secara
teori bacteremia dapat disebabkan oleh perawatan gigi, sedikit sumber yang menyatakan
bahwa infeksi pada prostetik disebabkan oleh perawatan gigi. American Dental Association,
American Academy of Orthopaedic Surgeons, American Academy of Oral Medicine, dan
British Society for Antimicrobial Chemotherapy tidak mengindikasikan penggunaan
antibiotic pada pasien yang menggunakan sendi prostetik. Tetapi profilaksis diindikasikan
pada pasien sendi prostetik pada 2 tahun pertama penggunaan karena merupakan periode
dengan resiko tinggi terjadinya infeksi, termasuk pada pasien dengan penggantian sendi
prostetik baru, immunosupresi, rheumatoid arthritis, lupus, eritromatosis, diabetes tipe 1,
hemophilia, dan kekurangan nutrisi. Pasien dengan kondisi periodontal yang buruk atau yang
memiliki potensi mengidap infeksi dental diindikasikan untuk menggunakan antibiotik
sebagai profilaksisMeskipun tidak ada bukti yang menunjukkan antibiotic sebagai profilaksis
23
pada semua kategori pasien yang disebutkan diatas, hampir semua ahli bedah ortopedik
menganjurkan penggunaan antibiotik. Hal ini dikarenakan tingkat kematian yang tinggi pada
pasien yang menggunakan sendi prostetik.
Regimen Obat
penisilin
penisilin
24
PREGNANCY
Tujuan perawatan periodontal pada pasien hamil adalah untuk mengurangi respon
inflamasi yang berlebihan yang disebabkan kelainan hormonal yang berhubungan dengan
kehamilan. Hanya beberapa perawatan non-darurat yang dapat dilakukan pada pasien yang
sedang hamil yaitu kontrol plak, scalling, root planning, dan polishing.
Trisemester kedua adalah periode yang paling aman untuk melakukan
perawatan. Perawatan yang membutuhkan waktu lama sebaiknya ditunda hingga periode
postpartum. Ketika uterus bertambah besar pada trimester kedua dan ketiga, obstruksi pada
vena cava dan aorta dapat terjadi bila pasien dalam posisi supine. Berkurangnya suplai darah
balik jantung dapat menyebabkan sindrom supine hypotensive yang berdampak pada janin.
Berkurangnya tekanan darah, syncope, dan kehilangan kesadaran dapat terjadi. Hal ini dapat
dicegah dengan menempatkan pasien dengan meninggikan posisi panggul kiri kurang lebih 56 inchi selama perawatan. Durasi perawatan harus singkat dan pasien diperbolehkan merubah
posisi secara sering. Posisi berbaring sebaiknya dihindari bila memungkinkan
Tindakan pencegahan lain yang harus dilakukan yaitu berhubungan dengan efek
teratogenic dari perawatan. Idealnya tidak meresepkan obat kepada pasien hamil. Akan
tetapi analgesic, antibiotic dan anestesi local dan obat lain dapat diberikan sesuai kebutuhan
pasien. Semua obat yang diberikan harus dipertimbangkan dampaknya terhadap janin.
Penggunaaan foto radiografik harus seminimal mungkin. Resiko paparan radiasi
dari alat dapat diminimalisir bila pasien menggunakan apron pelindung dengan benar.
HEPATITIS
Saat ini, terdapat 6 virus yang diidentifikasi dapat menyebabkan hepatitis :
hepatitis A, B, C, D, E dan G. Keenam virus memiliki virology, epidemiologi dan profilaksis
yang berbeda. Karena infeksi hepatitis tidak terdiagnosa, klinisi harus waspada terhadap
pasien dengan kondisi sedang menjalani dialysis, petugas kesehatan, pasien dengan
immunosupresi, pasien yang beberapa kali menerima transfusi darah, homoseksual, pengguna
narkoba.
Hepatitis A dan E merupakan infeksi yang tidak menyebabkan penyakit liver
kronis. Virus ini biasanya menular melalui jalur fecal-oral. Penularan HAV biasanya
25
disebabkan karena hubungan antara pengidap dengan anggota keluarga, kontak seksual dan
kontak antara petugas kesehatan dan pasien. Sebaliknya, penularan HEV melalui air minum
yang terkontaminasi tergolong jarang. Untuk virus HAV, vaksinasi sudah tersedia, sedangkan
untuk HEV vaksinasi masih belum tersedia.
Hepatitis B dapat mengakibatkan infeksi liver kronis dan carrier penyakit ini.
Infeksi HBV kronis dapat terjadi pada 5-10% orang yang terindeks, dan angka yang lebih
tinggi terjadi pada anak-anak dan bayi. Karena jalur penularan utama melalui hematogenus,
HBV merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan. Dibanding petugas
kesehatan yang lain, infeksi HBV paling tinggi ditemukan pada dokter gigi. Melalui luka
pada perkutan atau permucosal akibat instrument atau jarum suntik paling sering terjadi pada
klinik dokter gigi. Vaksin hepatitis B dianjurkan bagi semua petugas kesehatan termasuk
dokter gigi
Virus Hepatitis D membutuhkan HBV untuk bertahan hidup, replikasi virus dan
untuk menjadi infektif.
antigen dari HBV. Pencegahan infeksi HDV hampir sama dengan pencegahan HBV dan
mengandalkan vaksinasi HBV. Ketika antibody dapat mencegah infeksi HBV, pasien juga
terlindungi dari infeksi HDV.
Hepatitis C merupakan infeksi paling serius dari semua virus hepatitis karena
tingginya resiko kronis dari infeksi virus ini. Hanya 15% dari pasien yang mengidap infeksi
HCV yang dapat sembuh total; 85 % mengidap infeksi kronis HCV yang dapat meningkatkan
resiko cirrhosis, hepatocellular carcinoma dan gagal fungsi liver. Infeksi HCV merupakan
penyebab utama transplantasi liver di U.S. Vaksin HCV belum ditemukan. Karena HCV
menular melalui Perkutan atau permukosal, petugas kesehatan beresiko terluka disebabkan
karena instrument yang terkontaminasi.
Hepatitis G merupakan virus yang baru ditemukan, dan epidemiologi dan
virologinya belum diketahui secara pasti. HGV jarang menginfeksi secara soliter, biasanya
menjadi koinfeksi dari hepatitis A, B atau C. HGV diketahui menular melalui darah.
Berikut merupakan panduan dalam merawat pasien hepatitis :
26
c.
d.
disposable
Gunakan pelindung disposable sebanyak mungkin sebagai pencegahan,
untuk melindungi handle lampu dan tempat untuk meletakkan instrument,
e.
f.
Bila terjadi luka perkutan atau permukosal pada saat perawatan pasien HBV
carrier, ikuti petunjuk Current Center of Disease Control and Prevention (CDCP) yang
merekomendasikan administrasi immunoglobulin hepatitis B (HBIG). Vaksin HBV diberikan
bila petugas kesehatan belum melakukan vaksin sebelumnya. Penggunaan immunoglobulin
dan anti-viral tidak efektif bila luka terjadi pada saat menangani pasien hepatitis C.
28
infeksi HIV seringkali tidak mengakui bahwa mereka mengidap HIV. Oleh karena itu, setiap
pasien yang akan melakukan perawatan dianggap berpotensi terinfeksi, dan tindakan
pencegahan universal harus dilakukan pada semua terapi.
Rencana perawatan periodontal yang luas harus mempertimbangkan kondisi
sistemik pasien, prognosis dan survival time dari pasien. Kewaspadaan akan kelainan oral
yang berhubungan dengan infeksi HIV dapat membuat klinisi menemukan penyakit yang
belum terdiagnosa atau merubah protocol perawatan dengan tepat.
TUBERKULOSIS
Pasien dengan Tuberkulosis hanya menerima perawatan yang bersifat darurat
saja. Bila pasien telah melakukan kemoterapi, konsultasi pada dokter harus dilakukan
mengenai infektivitas dan hasil kultur sputum dari Mycobacterium tuberculosis. Bila hasil
kultur negatif, pasien bisa menerima perawatan periodontal secara normal. Pasien dengan
follow up yang buruk (Jarang memeriksakan diri ke dokter) atau menunjukkan
gejala
30
DAFTAR PUSTAKA
Newman, MG. Takei, HH. Carranza, FA. 2002. Carranzas Clinical Periodontology edisi 9.
New York : W.B. Saunders Company. Hal : 527-550.
Newman, MG. Takei, HH.. Carranza, FA. Klokkevold, PR. 2012. Carranzas Clinical
Periodontology edisi 11. Los Angeles : Elsevier Saunders Inc. Hal : 412-421.
31