Landreform yang dalam arti lebih sem-pit berupa penataan ulang struktur
penguasa-an dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reforma
agraria (agrarian reform). Semenjak era reformasi, telah terjadi perkembangan yang
menggembirakan, di mana telah cukup banyak pihak yang membi-carakan dan peduli
dengan permasalahan ini, meskipun masih terbatas pada tingkat wacana.
Namun demikian, sampai sekarang belum berhasil disepakati bagaimana
landreform dan agrarian reform (pembaruan agraria) tersebut sebaiknya untuk kondisi di
Indonesia. Beberapa pihak menginginkan pemba-ruan agraria secara revolusioner
(serentak dan menyeluruh), namun pihak lain menginginkan pola yang lebih lunak secara
gradual. Selain perihal pilihan tersebut masih banyak per-tanyaan yang menggantung
yang harus dija-wab dalam konteks ini, misalnya pembagian peran pemerintah pusat dan
daerah.
Menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002a) bidang yang dapat dipindahkan
ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam urusan agraria, yaitu bentuk-bentuk
dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usa-ha pertanian,
kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang
mencerminkan makna tanah seba- gai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat
didelegasikan ataupun diserahkan men-jadi urusan daerah. Artinya, landreform berupa
penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wewenang pusat, namun
aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang. Terdapat empat
masalah pokok agra-ria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam Tap MPR No. IX
tahun 2001, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan,
inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam. Seluruhnya mestilah menjadi
agenda yang pokok untuk diselesaikan sebelum sampai kepada peru-musan konsep
landreform yang ideal yaitu land to tillers.
Menurut data yang dikum-pulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (2004),
per 30 Desember 2001 tercatat telah terjadi 1.753 kasus konflik pertanahan di selu-ruh
Indonesia yang mencakup luas 10.892.203 ha tanah, dan melibatkan 1.189.482 keluarga.
tercakup
permasalahan
redistribusi
tanah,
pe-ningkatan
produksi
dan
perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan agrarian reform dan
landreform,
DASAR HUKUM PELAKSANAAN LANDREFORM
Pada bagian muka telah dikatakan bahwa landreform merupakan satu cara untuk
mencapai keadilan agraria, yaitu keadaan di mana tidak ada lagi pemusatan penguasaan,
penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber-sumber agraria. Atas dasar keadilan
agraria itu, penumpukan sumber-sumber agraria pada sedikit orang harus dicegah. Jika
sudah terlanjur terjadi, maka penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber agraria harus
ditata ulang. Berdasarkan tujuan mulia ini kita sudah punya dasar yang kuat untuk
menjalankan landreform. Pada bagian muka dari tulisan ini telah pula dikatakan bahwa
landreform bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada permulaan tahun 60-an Indonesia
pernah menyelenggarakan landreform. Program itu hanya berlangsung kurang dari 5
tahun dan tentu saja belum tuntas. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde
Baru telah membuat landreform seperti kata pepatah: layu sebelum berkembang.
Hambatan untuk mewujudkan landreform ketika Orde Baru berkuasa telah kita rasakan.
Sikap bermusuhan yang diperlihatkan pemerintah Orde Baru terhadap landreform telah
sama-sama kita alami. Namun hal itu sama sekali tidak menafikan perlunya landreform.
Sebaliknya, kegagalan pemerintah Orde Baru dalam pembangunan pedesaan yang
berujung pada krisis telah membuktikan pada kita jalan landreform adalah jalan yang
musti ditempuh. Kini, setelah pemerintahan Orde Baru berakhir, terbuka peluang baru.
Berbeda dengan pemerintah pendahulunya, pemerintahan yang lahir setelah reformasi ini
tampaknya cukup mau belajar dari pengalaman pendahulunya. Paling tidak, telah terlihat
ada kemauan baik untuk menjalankan kembali landreform atau pembaruan agraria.
Adalah tugas kita semua untuk mendorong agar kemauan baik itu menjadi nyata, tidak
terhenti sebagai kemauan saja. Untuk keperluan praktis, kita harus menggali kembali
berbagai perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan pendukungnya. Ketentuan Apa
yang Dapat Kita Manfaatkan untuk Melaksanakan Landreform? Ketentuan pokok untuk
melaksanakan landreform di Indonesia adalah UUPA (Undang-undang Pokok Agraria,
UU No. 5/1960) dan UUPBH (Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2/1960).
Perlu diingat kembali bahwa kedua ketentuan yang menjadi payung atau ketentuan pokok
tersebut hingga sekarang masih tetap berlaku. Jadi, kalau kita menjalankan (kembali)
ketentuan-ketentuan itu, kita telah menjadi warga negara yang baik. Kita telah
menjalankan perintah yang diamanatkan konstitusi. Tambahan lagi, belum lama ini pada
bulan Nopember 2001 MPR RI telah menetapkan TAP MPR No. IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khususnya pada pasal 2
dikatakan: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber
daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum
serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. (cetak miring dari penulis)
Petikan kalimat pada ketetapan pasal 2 tersebut ... penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria ... tidak lain adalah
perintah untuk melaksanakan landreform. Bagaimana Hubungan antara Hak Menguasai
Negara (HMN) dengan Landreform? Berdasarkan UUD 1945 dan UUPA, dengan HMN
(Hak Menguasai Negara) negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan sumbersumber agraria, termasuk di dalamnya tanah. Hal inilah yang menjadi dasar bagi
penyelenggaraan landreform. Untuk mendapatkan gambaran lebih rinci, marilah kita
telusuri Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) pada bagian yang mengatur
tentang Hak Menguasai Negara (HMN), khususnya pada pasal 2. Ketentuan pada pasal 2
UUPA itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi,
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mari kita perhatikan ketentuan
pasal 2 dari UUPA berikut ini: Dan ditetapkan hak menguasai negara yang disebutkan
dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 jo pasal 2 ayat (1) UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA: Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Apa yang hendak dicapai oleh HMN adalah untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan,
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum, (pasal 2 (3) UUPA). Bunyi dari
Pasal 2 (3) UUPA : Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (cetak miring dari penulis)
Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang lahir dari HMN tidak boleh menyimpang
dari tujuan mulia ini. Penyelenggaraan HMN dapat didelegasikan kepada daerah-daerah
swatantra (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) dan bahkan pada suatu
komunitas adat yang masih kuat keyakinan norma-norma adatnya, (pasal 2 (4) UUPA).
Bunyi dari pasal 2 (4) UUPA tersebut adalah sebagai berikut: Hak menguasai dari negara
tersebut di atas pada pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra
dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
Kewenangan dari HMN bukan tanpa batas. HMN tidak boleh mengabaikan
hak-hak atas tanah yang telah dipunyai oleh warga negara Indonesia
ataupun badan-badan hukum. Namun jika yang berhaknya tidak ada,
berdasarkan HMN, negara mempunyai kekuasaan penuh dan luas untuk
memberikannya dengan suatu hak kepada warga negara atau pun badan
hukum menurut keperluan maupun peruntukannya.
HMN tidak menempatkan negara sebagai pemilik tanah, sebagaimana
ketentuan perundang-undangan kolonial yang dihapuskannya. Dalam hal ini,
negara menurut pasal 2 (3) UUPA merupakan organisasi tertinggi dari bangsa
Indonesia yang diberi kekuasaan untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaannya,
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa,
c. mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa.
Hak itu tidak lain ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
c. Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal
maupun maksimal. Pertimbangannya, luas maksimal pemilikan tanah
dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja
petani melalui sistem persewaan tanah atau gadai tanah (pasal 7 jo pasal
17 UUPA). Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani
tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Hampir dapat dipastikan jika
petani memiliki sedikit tanah, maka kemampuan menghasilkannya
(produktivitas) juga sedikit. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya
berakibat kecilnya pendapatan pemiliknya (baca: petani), juga secara
makro (nasional) merugikan karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo
pasal 17 UUPA). Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas
maksimal) akan membuka peluang bagi sekelompok kecil orang
menguasai tanah dalam luasan yang sangat besar dan sebagian besar
yang lain terpaksa hanya mengandalkan tenaganya untuk menjadi buruh.
d. Pemilik yang berhak atas tanah diharuskan menggarap sendiri tanahnya
secara aktif (pasal 10 UUPA) sehingga dapat memberi manfaat bagi
dirinya, keluarga, maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan
tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan
menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absente) atau meluasnya
hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan
memeras (pasal 10 ayat 1 jo pasal 11 ayat 1).
e. Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan
tanah atau yang sudah menguasai hak atas tanah, untuk selanjutnya
mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat
bukti pemilikan itu untuk menjamin kepastian hukum atas tanah.
Dalam Landreform, Luas Penguasaan dan Pemilikan Tanah Dibatasi
Dalam prinsip ini dimuat batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh
seorang petani, supaya dapat mencukupi dan layak untuk diri sendiri dan
keluarganya. Kemudian dimuat juga batas maksimum luas tanah yang
dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik, untuk mencegah
penguasaan tanah luas pada tangan segelintir orang (pasal 13 jo pasal 17
UUPA).
Pasal 13 ayat 14 UUPA:
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi
dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud pasal 2 ayat (3)
serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup
yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat
monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di
lapangan agraria.
Pasal 17 ayat 14 UUPA:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas
maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau
badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini
dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang
singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah
dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini,
pernyataan itu hendak menyatakan bahwa ada masalah pada arah dan dasar
pembangunan kita selama ini, sehingga perlu ditetapkan kembali, setelah lebih
dari setengah abad kemerdekaannya.
Bagian mukadimah huruf c secara jelas mengakui bahwa (selama ini)
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama
ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan
berbagai konflik.
Dengan begitu ada keinginan kuat di masa-masa mendatang pengelolaan
yang demikian hendaknya tidak perlu terulang kembali. Bagaimana caranya?
Pada uraian huruf (e) dari mukadimah dikatakan bahwa pengelolaan sumber
daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan
harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika,
aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
Lebih lanjut dikatakan ... melibatkan peran serta masyarakat . Di masa
lampau, rumusan ini telah sering terdengar namun yang terjadi adalah
penyimpangannya. Peran serta masyarakat yang diinginkan hanya sejauh
menyatakan persetujuan terhadap keinginan pemerintah ketika itu. Kini setelah
situasinya berubah, kita ingin peran serta itu meneguhkan prakarsa dan
keinginan rakyat untuk ambil bagian dalam memutuskan kebijakan yang
mempengaruhi hidup dan kesejahteraannya.
Apa Saja yang Ditetapkan oleh TAP MPR IX/2001?
Tiga pasal pertama (pasal 1, 2, dan 3) merupakan ketentuan yang berisi
ketentuan dasar, bahwa TAP merupakan landasan bagi peraturan perundang-undangan
agraria dan sumber daya alam (pasal 1). Pasal 2 merupakan
ketentuan bagi landreform, yang isinya mengatur tentang penataan ulang
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Penataan tersebut mengacu pada tujuan yang hendak dicapai, yakni
terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3 mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam. Prinsipnya sama
dengan pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana yang diatur pada pasal
2. Rumusan lengkapnya sebagai berikut :
Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut, dan
angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan.
TAP MPR No. IX/2001 mengamanatkan bahwa Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip :
a
penggunaan,
pemanfaatan,
dan
pemeliharaan
sumber
daya
memperjuangkan perwujudannya.
Jika kita ditanya TAP MPR No. IX/2001 itu, bencana ataukah rahmat?
Keduanya bisa saja terjadi, tergantung daya dan upaya kita
memperjuangkannya.
PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA
Landreform di Indonesia pernah diim-plementasikandalam kurun waktu 1961 sam-pai
1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Landasan hukum pelaksanaan land
reform di Indonesia adalah UUPA No. 5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber
pe-ngaturan pembatasan luas tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee,
dan pasal 53 yang mengatur hak-hak semen-tara atas tanah pertanian. Produk hukum
yang secara lebih tajam lagi dalam konteks ini adalah UU Nomor 56 tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta PP No 224/ 1961 dan PP No 41/1964 tentang
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Saat program landreform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan
politik sebagai panglima, dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks
politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landreform sebagai alat
yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim sebagai alat perjuangan
partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan
anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat
luas terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan keku-rangan tanah garapan.
Namun bagi petani bertanah luas, landreform merupakan anca-man bagi mereka, baik
secara politik maupun ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas
penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan
keluarga dan kesejahteraan. Program landreform hanya berjalan intensif dari tahun 1961
sampai tahun 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa
berikutnya meng-klaim bahwa landrefrom tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas.
Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara
akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks landreform
seluas 850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang menerima adalah 1.292.851 keluarga,
dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha. Data ini sedikit berbeda dengan yang
dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001), dimana dari total obyek tanah landreform
1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah diredistribusikan tanah seluas 837.082
ha (52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah
kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas 134.558 ha
kepada 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp. 88 trilyun.
Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan so-sial
politik yang besar, maka landreform di-implementasikan dengan bentuk yang sangat
berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa
penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian
dibarengi dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah
yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas
minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga.
TUJUAN LANDREFORM
Tujuan yang hendak dicapai oleh landreform adalah keadilan agraria, yaitu
keadaan tanpa konsentrasi atau pemusatan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber-sumber agraria pada segelintir orang. Dengan keadilan agraria akan
dicapai kesejahteraan rakyat, terutama rakyat tani di pedesaan sebagai tulang punggung
ekonomi negara agraris. Kesejahteraan rakyat itu berarti juga kemakmuran bangsa dan
negara.
Keadilan dan kesejahteraan satu dengan yang lain saling berhubungan. Adil
berarti kebanyakan orang mendapatkan bagian yang setara, tetapi tanpa kemakmuran,
kesetaraan itu bisa berarti pemerataan kemiskinan. Sebaliknya kemakmuran tanpa
keadilan bisa berarti pendapatan yang sangat besar bahkan berlimpah, namun yang
menikmati hanya sekelompok kecil orang saja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, landreform tidak hanya membagi-bagikan tanah
saja. Tetapi, juga meliputi penataan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, penataan
produksi pertanian, dan penataan wilayah pedesaan. Semua penataan tadi tidak akan
berarti apa-apa tanpa terlebih dahulu mendistribusikan tanah kepada petani yang tidak
bertanah atau petani miskin, yang dikenal dengan nama landreform.
Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani
yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula,
dengan merombak struktur pertanahan sama sekali, guna merealisir keadilan
sosial,
Agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan
Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga
negara, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap hak milik sebagai hak terkuat, bersifat perseorangan dan
turun-temurun, tetapi yang berfungsi sosial,
Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan penguasaan tanah secara
besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum
dan batas minimum untuk tiap keluarga