PENDAHULUAN
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasn Akut) merupakan padanan istilah
bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (selaput paru).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli). 3
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di
negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini
disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA
khususnya pneumonia atau bronkopneumonia, terutama pada bayi dan balita.4
Dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit pneumonia semua bentuk
pneumonia (baik pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut pneumonia saja.
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru akut yang mengenai satu atau
beberapa
lobus
yang
ditandai
dengan
adanya
bercak-bercak
infiltrat.
peringkat ke-6 di dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah
penderita mencapai enam juta jiwa.7
Berdasarkan data WHO penyakit saluran pernafasan akut salah satu
penyumbang dari banyak penyebab kesakitan dan kematian. Pada tahun 2000 di
El Salvador, Incidence Rate (IR) ISPA 252 per 1.000 penduduk dengan proporsi
52% pada umur dibawah 5 tahun. IR pneumonia dan bronkopneumonia 44,7 per
1.000 penduduk dengan proporsi 38,3% pada umur dibawah 1 tahun.9
Insiden ISPA (Pnemonia) di Indonesia tiap tahun sekitar 2,33 juta 4,66 juta
kasus. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, angka
kesakitan ISPA menduduki peringkat ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi
dan mulut sebesar 60% dan penyakit refraksi dan penglihatan sebesar 31%.12
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, pneumonia merupakan penyakit yang
tergolong kedalam ISPA dengan PMR 80-90%. PMR pneumonia pada balita
berturut-turut pada tahun 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004 masing-masing
30,1% (20 provinsi), 22,6% (20 provinsi), 22,1% (29 propinsi), 29,5% (24
propinsi), dan 27,1% (23 propinsi).13
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007, jumlah kematian akibat penyakit
sistem napas pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia sebanyak 7.214 dari
197.780 penderita dengan Case Fatality Rate (CFR) 3,65% dan 8.190 dari
205.076 penderita dengan CFR 3,99% tahun 2008. Target cakupan penemuan
kasus program
ISPA nasional pada pneumonia balita 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun
cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,8% (laporan dari 26 provinsi).3
BAB 2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
A. Identitas Penderita
Nama
: Putri Zalia
Umur
: 5 Tahun, 5 bulan
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Anak ke
:2
Alamat
No. MR
: 06.11.83
Tanggal Masuk
: 10 Oktober 2014
Tanggal Keluar
: Tn. I A
Umur
: 36 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SMA
Nama Ibu
: Ny. H
Umur
: 31 tahun
Pekerjaan
Pendidkan
: SMA
g. Riwayat Makanan
Saat lahir sampai usia 5 bulan pasien masih mendapatkan ASI. Namun
pasien sudah mendapat pisang yang dihaluskan sejak usia 3 bulan.
h. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan 5 imunisasi dasar lengkap.
i. Riwayat Tumbuh Kembang
Ibu pasien mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pasien
normal dan berat badan pasien terus bertambah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2014
a. Kesan Umum :
Keadaan umum tampak sedikit lemas dan sesak
b. Tanda Vital
1. Heart rate
: 84 x/menit, regular
2. Laju nafas
: 60x/menit, reguler
: 36,7 0 C
5. Kesadaran
: Compos Mentis
6. Berat Badan
: 5,2 Kg
7. Panjang Badan : 58 cm
c. Status Gizi
Status Gizi : BBS / BBI x 100%
: BBI menurut grafik CDC 5,2 kg
: { / } x 100%
: 0 x 100 %
: % ( Gizi )
d. Status General
Kepala
Bentuk
Rambut
Wajah
Mata
pupil isokor (+/+) reflek cahaya (+/+), sekret (-/-) oedema (-)
Hidung
Telinga
: Sianosis (-), sariawan (-), beslag (-), karies gigi (+), tonsil dan
Palpasi
Thorax
Inspeksi
Perkusi
: Sonor (+/+)
Palpasi
Perkusi
Palpasi
kanan,
Perkusi
Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Superior
-/-/<2 detik
-/-
10
Inferior
-/-/<2 detik
-/-
e. Status Neurologis
1. Tingkat kesadaran
: Compos Mentis
2. Reflek Patologis
: Negatif
3. Refleks Fisiologis
: Normal
V. DIAGNOSA KERJA
Thalasemia Mayor
VI. PENATALAKSANAAN
1.
Transfusi darah
a. Tranfusi Packed Red Cells (PRC) 1x 175 cc
b. IVFD NACL 0.9% 15 gtt/i
c. Pre transfusi : inject dexametasone 2,5 mg dan furosemid 10 mg
11
2.
Medikamentosa
a. Asam folat 1 x 1 tablet
b. Parasetamol sirup 3 x 1 sendok teh
VIII. PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam
: Dubia ad bonam
Hb : 8,1
Eritrosit : 3,0
Leukosit : 18,1
12
X.
Hematokrit : 22,5
MCV : 75
MCH : 27
MCHC : 36
RDW : 23,4
Trombosit : 327
RESUME
Pasien masuk dari Poli Anak RSU Cut Meutia dengan keluhan lemas selama
3 hari disertai pucat dan tidak nafsu makan. Riwayat demam, mual, muntah,
mencret, sakit kepala ataupun sakit perut disangkal. Pasien telah didiagnosa
menderita thalasemia dan rutin melakukan transfusi darah setiap bulan sejak usia
2,5 tahun.
Keadaan umum pasien baik, kesadaran somnolen, frekuensi jantung 100
kali/menit, frekuensi napas 28 kali/menit, temperature 36,7 0C (axilla).
SOAP
Terapi
13
22 08 - 2014
Hari 1
A : Thalasemia Mayor
P : Cek darah rutin
Hasil 22 08 2014 :
Hb : 8,1
Eritrosit : 3,0
Leukosit : 18,1
Hematokrit : 22,5
MCV : 75
MCH : 27
MCHC : 36
RDW : 23,4
Trombosit : 327
Pasien pulang atas permintaan sendiri (PAPS) pukul 20.00
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Thalassemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan
(bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier
= pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut
thalassemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya
yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan
oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia (Ganie, 2005).
Menurut bahasa, thalasemia berasal dari kombinasi kata Yunani yaitu
thalassa yang berarti laut dan haima yang berarti darah. Nama awal untuk bentuk
penyakit ini adalah Anemia Mediteranea karena populasi Mediterranea adalah
populasi yang pertama kali diketahui mengidap penyakit ini (Sacher, 2004).
Thalasemia pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B.
Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang
menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia
dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia
Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie, 2005).
15
16
3.2.
1.
Epidemiologi
Distribusi Orang: Usia dan Jenis Kelamin
Berdasakan data penderita thalasemia yang berobat di Pusat Thalasemia
RSCM dari tahun 19932007 yang berjumlah 1.267 kasus, terdapat 499 kasus
atau sebesar 39,38% berusia
berusia 6-10 tahun, 224 kasus atau sebesar 17,68% berusia 11-15 tahun, 104
kasus atau sebesar 8,04% berusia 16-20 tahun, 46 kasus atau sebesar 3,63%
berusia 20 tahun (Dewi, 2009). Berdasarkan penelitian Poeny (2004) di
RSCM dari 68 kasus thalasemia yang diteliti, 35 kasus (51,5%) berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan 33 kasus atau sebesar 48,5% adalah jenis
kelamin perempuan.
2. Determinan Genetika
Thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin dan gen
yang terletak pada kromosom 11 dan 16. Kromosom yang seharusnya
berpasangan, jika hanya sebelah gen globin yang mengalami kelainan disebut
17
Klasifikasi
Berdasarkan rantai asam amino yang terkena thalasemia dibagi menjadi
menyebabkan
anemia
hipokrom
mikrositer
yang
cukup
berat
19
karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan (Darling,
2014).
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Pada thalasemia beta biasanya terdapat delesi gen globin beta.
Thalassemia beta terbagi atas (Dewi, 2009) :
a. Thalasemia Beta Trait
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermediate
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari
derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Beta Mayor
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita
thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin.
20
Etiopatologi
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang
membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang
membawa oksigen. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang
21
dan SDM yang lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu
keadaan anemia ringan sampai berat (Darling, 2014).
Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan berbagai variasi
dari talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai berat
menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi gen
talasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah
seorang pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan
selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat menurunkan varian gen ini kepada
anak-anak mereka (Darling,2014).
Secara umum penyebab thalasemia adalah pewarisan gen homozigous
autosom yang parsial dominan biasanya pada thalasemia mayor dan intermedia.
Penyebab lain yaitu pewarisan heterozigous gen yang sama, khusus pada
thalasemia minor (Kowalak, 2012).
1. Thalasemia
Sebagian besar thalasemia disebabkan oleh delesi lokus gen globin, karena
terdapat 4 gen globin fungsional, terdapat 4 derajat keparahan thalasemia
didasarkan pada hilangnya satu sampai 4 gen globin dari kromosom.
Kemungkinan ini menimbulkan spektrum klinis yang luas, pada spektrum tersebut
keparahan berkorelasi dengan jumlah gen globin yang mengalami delesi.
Hilangnya satu gen globin menyebabkan keadaan silent carrier, sedangkan
kehilangan keempat gen globin menyebabkan kematian in utero, karena darah
22
23
3.5.
Gambaran Klinis
1. Thalasemia
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia mayor:
a. Hydrops Fetalis: Tidak adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai
seluruhnya, dan karena rantai esensial dalam hemoglobin fetus dan
24
25
3. Thalasemia intermedia
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia intermedia:
a. Derajat keparahan sedang dengan Hb: 7-10 gr/dl sehingga tidak
memerlukan tranfusi berulang.
b. Dapat memperlihatkan deformitas tulang, pembesaran hati dan limpa,
eritropoesis ekstramedular dan kelebihan besi akibat absorbsi besi
meningkat.
4. Thalasemia minor
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia minor :
Biasanya tanpa gejala. Seperti sifat thalasemia , ditandai oleh gambaran
darah
Haemoglobin) sangat rendah, tetapi jumlah eritrosit tinggi yaitu >5,5 x 10 12 / l dan
anemia ringan dengan Hb 10-15 gr/dl (Hoffrand, 2012)
3.6.
A.
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat penderita dan keluarga sangat penting karena populasi dengan
ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis gen abnormal
thalasemia yang spesifik. Selain itu riwayat keluarga pernah menderita
thalasemia dapat mengarahkan diagnosis dan dapat menyingkirkan
diagnosis dengan keluhan anemia lainnya (PAPDI, 2009).
A.
Pemeriksaan fisik
Pada thalasemia mayor akan ditemukan beberapa temuan fisik
diantaranya (Amalia, 2011):
26
Pemeriksaan laboratorium
Hasil laboratorium yang khas pada thalasemia (Hoffrand, 2012;Miall,
2012; Freund, 2012):
27
28
Penatalaksanaan
1. Transfusi darah
Beberapa studi menyarankan kepentingan untuk mengatur transfusi dalam
mencapai Hb 10 gr/dl dan juga mengadakan penghitungan khelasi besi yang
darurat dan efektif untuk menjaga kadar serum ferritin di bawah 1000 ng/ml
agar dapat menghindari efek sistemik kelebihan besi. Tranfusi dengan dosis 1520 ml/kg per sel darah merah terpampat/Packed Red Cell (PRC) biasanya
dibutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand,
2012).
Regimen hipertranfusi ini memiliki manfaat yang nyata, yaitu memungkinkan
aktivitas normal dengan nyaman, mencegah masalah ekspansi sumsum tulang,
dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang
muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Darah segar
(kurang dari 1 minggu dalam koagulan), yang telah disaring untuk memisahkan
29
eritosit, menghasilkan eritrosit dengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling
sedikit (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand, 2012).
Pasien harus diperiksa pada permulaan program tranfusi untuk mengantisipasi
bila timbul antibodi eritrosit terhadap eritrosit yang ditaransfusi. Namun,
walaupun dengan kehati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat tranfusi lazim
ada, hal ini dapat diminimalkan dengan penggunaan eritrosit yang
direkonstruksi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit dan dengan
pemberian antipiretik sebelum tranfusi (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand,
2012;).
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa thalasemia adalah sebagai berikut: (Hoffrand, 2012;
Miall, 2012; Nelson, 2000)
.
1) Terapi Khelasi besi untuk mengatasi kelebihan besi. Deferoksamin
diberikan setelah kadar ferritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau
saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10 20 kali transfusi.
Inefektif diberi secara oral, diberikn 25 50 mg/kgbb/hari subkutan
melalui pompa infus dalam 8-12 jam, 5-7 hari seminggu. Penderita yang
menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar ferritin serum kurang
dari 1000 ng/ml, yang benar-benar di bawah nilai toksik. Besi yang
terkhelasi oleh deferoksamin terutama dieksresikan ke dalam urin, tapi
hingga sepertiganya juga dieksresikan dalam tinja. Komplikasi mematikan
siderosis jantung dan hati dengan adanya terapi ini dapat dicegah atau
30
200-400
IU
setiap
hari
sebagai
antioksidan
dapat
Splenektomi
Splenektomi pada akhirnya diperlukan karena ukuran organ ini akan
bertambah
atau
terjadi
hipersplenisme
sekunder. Indikasi
dilakukannya
Pencegahan
Pencegahan adalah kunci terbaik dalam mengurangi prevalensi penderita
32
memperoleh sel darah merah janin untuk pengukuran sintesis rantai globin
(Harrison, 2000; PAPDI, 2009; Amalia, 2011)
2.
Pencegahan sekunder
Berdasarkan hubungan langsung antara usia dan prevalensi terjadinya
33
BAB IV
PENUTUP
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Sacher, Ronal A, 2004, Penyakit sel darah merah, Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium, Edisi 11, Jakarta, EGC.
PAPDI, 2009, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, edisi V, Jakarta, FK UI.
Vahidi, AA, 2011, The frequency of - thalasemia major complications in
patients referred to Kerman center for special diseases during 6 months,
Jurnal of kerman university of medical science, Volume 18 Nomor 4,
diakses
12
Juli
2013;
http://webamooz.kmu.ac.ir/en/index.php/kmus/article/view/31
WHO, 2011, Sickle-cell disease and other haemoglobin disorders, diakses 5
Agustus 2014; http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs308/en/
Widyastuti, E., 2013. Analisi Kadar SGOT, SGPT dan Ureum, Kreatinin
Berdasarkan Lama Transfusi pada Penderita Thalassemia Mayor (Studi
kasus di RSUD Majalengka). Skripsi. Universitas Muhammadyah
Semarang, Semarang.
36