MUSRIZAL MUIN
ASTUTI ARIF
SYAHIDAH
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDIN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
........................................................................
................................................
................................................
........................................................................
............................................................
........................................................................
iii
....................................
........................................................................
18
C. Faktor Mekanis
.........................................................................
20
.............................................................
21
........................................................................
21
............................................................
21
................................................
54
.................................................
54
59
.............................................................
69
97
E. Bahan Diskusi
106
.........................................................................
............................................................
106
.........................................................................
107
......................................
108
109
B. Metode Alternatif
..........................................................................
113
C. Bahan Tugas
.........................................................................
114
............................................................
114
.........................................................................
114
115
E. Latihan/ Soal-Soal
A. Bahan Diskusi
.........................................................................
121
............................................................
122
.........................................................................
122
..........................
123
...........................
125
B. Bahan Tugas
.........................................................................
133
C. Latihan/ Soal-Soal
.........................................................................
133
..........................
134
...........................
135
B. Bahan Diskusi
.........................................................................
DAFTAR PUSTAKA
141
..............................................................
141
.........................................................................
143
............................................................................
144
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya
sehingga buku ajar mata kuliah Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu ini dapat
diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber
belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai
sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan
tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek Ketahanan Alami Kayu,
Faktor Perusak Kayu, Teknik dan Peranan Perbaikan Sifat Kayu serta Bagaimana
Mendeteksi Deteriorasi Kayu.
Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari Deteriorasi
dan Perbaikan Sifat Kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku
pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan
pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini
juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan deteriorasi dan perbaikan sifat kayu atau dalam mengembangkan
ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan dana yang disediakan.
Penulis
iii
BAB I
KETAHANAN ALAMI KAYU
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang: (1) pengertian ketahanan alami kayu, (2) variasi ketahanan alami
kayu, dan (3) hubungan ketahanan alami kayu dengan tujuan penggunaannya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menjelaskan dan mengemukakan contoh tentang bagaimana sifat-sifat dasar
kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan).
organisme perusak kayu. Meskipun demikian, ketahanan kayu juga dapat diartikan secara
umum sebagai daya tahan kayu terhadap faktor-faktor perusak, baik faktor biotik maupun
faktor abiotik. Untuk memahami pengertian ini diperlukan pengetahuan tentang
bagaimana hubungan antara kayu sebagai produk alam dengan faktor-faktor perusak
dalam suatu kondisi penggunaan kayu.
Kayu sebagai produk alam harus dipahami sebagai biopolimer yang tersusun atas
sel-sel, mengandung persenyawaan kimia berupa selulosa, hemiselulosa, lignin, dan
bahan ekstraktif. Pembentukan biopolimer tersebut juga membutuhkan waktu bertahuntahun dengan keterlibatan tempat dan lingkungan tumbuh. Olehnya itu mudah dimengerti
bahwa kayu dapat terurai kembali menjadi komponen-komponen pembentuknya.
Kayu merupakan bahan organik yang melimpah di bumi. Pohon membentuk kayu
melalui proses fotosintesis dan jamur beserta agen perusak lainnya merusak kayu melalui
proses respirasi yang berperan dalam siklus biosintesis dan biodekomposisi. Hubungan
tersebut digambarkan oleh reaksi sederhana berikut yang merupakan bagian dominan
dalam siklus karbon:
Istilah kerusakan kayu seringkali dinyatakan dengan berbagai istilah, yaitu dekomposisi,
degradasi atau deteriorasi. Dekomposisi dan degradasi merujuk pada perubahan satu atau
lebih struktur polimer kayu menjadi molekul yang lebih sederhana. Degradasi dapat juga
digunakan untuk menjelaskan deteriorasi, yaitu penurunan nilai kayu untuk berbagai
penggunaan, dan degradasi digunakan untuk pengertian yang lebih sempit.
Ada dua tipe utama sel kayu yang terbentuk dari pembelahan kambium, yaitu sel
serat (fiber) yang berdinding tebal yang membuat kayu kuat dan sel parenkim
(parenchyma) berdinding tipis yang menyimpan cadangan makanan. Serat kayu akan
mati beberapa hari atau minggu setelah terbentuk dan kehilangan isi sitoplasmanya dan
berubah fungsi menjadi pengangkut air. Sel serat dewasa seluruhnya terdiri atas polimer
dinding sel yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Oleh karena itu, sel serat kayu dapat
didegradasi hanya oleh organisme yang mempunyai kemampuan mendekomposisi bahan
struktural berpolimer tinggi. Sebaliknya, sel parenkim tetap hidup selama beberapa tahun
dan hanya kehilangan kandungan sitoplasmanya bila kayu gubal dirubah menjadi kayu
teras. Gula, pati, asam amino, dan protein dalam sel parenkim membuat kayu gubal
sangat rentan (susceptible) terserang oleh sejumlah besar jamur dan bakteri yang dapat
menggunakan bahan cadangan makanan tetapi tidak menyerang polimer dinding sel yang
kompleks.
Kayu teras dari spesies tertentu memiliki ketahanan (resistant) sedang sampai tinggi
terhadap dekomposisi oleh organisme yang dapat mendegradasi dinding sel. Daya tahan
tersebut disebabkan oleh fenol, terpena, alkaloid, dan substansi lain yang menumpuk
dalam kayu teras dan merupakan racun bagi jamur perusak kayu, bakteri, serangga dan
marine borer. Karena substansi beracun tersebut tidak terdapat dalam kayu gubal, kayu
gubal mati pada semua spesies sangat mudah mengalami dekompoisi biologis. Pada kayu
gubal pohon yang masih hidup pada dasarnya tahan terhadap pelapukan karena aktifnya
mekanisme pertahanan, sebaliknya kayu teras lebih mudah terserang dari kayu gubal
yang masih hidup. Meskipun sejumlah besar jamur dan beberapa jenis serangga dapat
menyebabkan dekomposisi jaringan kayu teras mati, jarang ada organisme yang
melakukan dekomposisi produk kayu setelah pohon ditebang, teutama setelah
dikeringkan.
Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul
sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan
biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan
kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya
sebagai bahan makanan atau tempat perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu
mempengaruhi ketahanan kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia
yang dapat merombak/ merubah komposisi kimia dan bentuk kayu.
Beberapa studi menitikberatkan ketahanan kayu lebih pada daya tahannya
terhadap organisme perusak sehingga banyak pustaka yang selalu menggandengkan
pengertian ketahanan kayu dengan organisme perusak. Hal ini mudah dimengerti karena
daya tahan kayu terhadap serangan organisme perusak (keawetan) dapat mempengaruhi
kekuatan kayu secara nyata pada saat serangan tersebut merombak atau mengurangi
unsur penyusun kayu, yang biasa diistilahkan dengan kehilangan berat (weight loss).
Sebaliknya, daya tahan kayu terhadap beban yang diberikan (kekuatan) relatif tidak
berhubungan dengan keawetan kayu. Namun demikian, selain serangan organisme
perusak, ada faktor-faktor abiotik yang juga mampu merombak atau mengurai unsurunsur penyusun kayu dan mempengaruhi umur pakai kayu (keawetan) serta kekuatannya.
Hanya saja faktor abiotik ini relatif membutuhkan waktu yang lama untuk melihat
dampaknya secara nyata dibanding dengan faktor biotik.
Kemampuan memahami bentuk dan lingkungan interaksi kayu dengan faktorfaktor perusaknya sangat diperlukan untuk dapat melakukan pengendalian atau
perlakuan-perlakuan yang diperlukan bagi optimalisasi penggunaan kayu dalam suatu
lingkungan tertentu. Hal ini sangat relevan mengingat besarnya potensi jenis-jenis kayu
kita dan tingginya kesesuaian lingkungan kita bagi keberadaan dan berkembangnya
berbagai faktor perusak. Negara kita Indonesia memiliki 4.000-an jenis kayu dan
diperkirakan hanya 15 20 % saja yang secara alami mempunyai daya tahan yang tinggi
terhadap organisme perusak kayu, sedangkan 80 - 85% termasuk dalam kelas awet
rendah. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kayu-kayu yang secara alami tidak
awet ini juga memiliki kekuatan yang rendah. Bahkan, sebagian besar kayu-kayu tersebut
cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bangunan karena memiliki
kekuatan yang memadai. Hanya saja, akibat rentannya kayu tersebut terhadap serangan
organisme perusak dapat berakibat pada menurunnya kekuatan kayu dalam
penggunaannya. Hubungan ini akan lebih nyata lagi bila keadaan lingkungan
penggunaannya sangat kondusif bagi munculnya faktor-faktor perusak kayu yang mampu
merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta
menurunkan kekuatan kayu.
Ketahanan alami kayu yang bervariasi menunjukkan adanya faktor-faktor bawaan
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini perlu diketahui sebagai bahan referensi dalam
memperkirakan atau menentukan kelas ketahanan kayu, baik kekuatan maupun
keawetannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan alami kayu secara umum
adalah seluruh sifat-sifat dasarnya yang meliputi struktur anatomi, sifat fisis, dan unsur
kimia penyusunnya. Faktor-faktor ini juga memiliki hubungan yang kuat satu sama lain.
B. Bahan Diskusi
Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri atau kelompok diminta untuk
mendiskusikan dan menyampaikan pendapat tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu
mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan). Secara umum, diskusi
dijalankan dengan menggunakan skema pertanyaan berikut.
Struktur Anatomi
Sifat Fisis
Komponen Kimia
Kekuatan
Keawetan
D. Latihan/ Soal-Soal
1. Jelaskan hubungan antara sifat anatomi kayu dengan kekuatan dan keawetannya,
berikan salah satu contoh kasus !
2. Jelaskan hubungan antara sifat kimia kayu dengan kekuatan dan keawetannya,
berikan salah satu contoh kasus !
3. Jelaskan hubungan antara sifat fisis kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan
salah satu contoh kasus !
BAB II
FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang faktor abiotik perusak kayu, kondisi dan tingkat serangan, serta
penanganannya secara awal.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menganalisis potensi kerusakan kayu akibat faktor abiotik.
Deteriorasi kayu akibat faktor abiotik dapat dilihat pada unsur kayu bangunan yang
mengalami perubahan warna setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan
ini akan semakin besar jika kayu tersebut tidak diberikan perlakuan/perlindungan
sebagaimana mestinya, terlebih lagi jika digunakan pada kondisi yang terekspos terhadap
lingkungan luar. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut dapat terjadi.
Umumnya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh cuaca (weathering), dimana kayu akan
mengalami oksidasi dan fotodegradasi oleh sinar ultraviolet dari matahari.
Selain akibat cuaca, faktor lain yang juga dapat menyebabkan deteriorasi adalah api
dimana seringkali terjadi suatu bangunan mengalami kebakaran yang akibatnya akan
menghabiskan konstruksi tersebut. Faktor lain adalah adanya zat kimia yang mengenai
kayu terutama pada peralatan penampungan bahan kimia maupun meja-meja
laboratorium yang terbuat dari kayu. Keberadaan faktor-faktor ini sangat penting untuk
dipahami agar dapat diupayakan suatu tindakan pencegahan deteriorasi kayu akibat
faktor abiotik tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor abiotik ialah faktor
yang disebabkan oleh unsur pengaruh alam dan keadaan alam itu sendiri, yang terdiri
atas:
1. Faktor fisik, ialah keadaan atau sifat alam yang mampu merusak komponen kayu
sehingga umur pakainya menjadi pendek. Yang termasuk faktor fisik antara lain: suhu
dan kelembaban udara, panas matahari, api, udara dan air. Semua yang termasuk
faktor fisik itu mempercepat kerusakan kayu bila terjadi penyimpangan. Misalnya bila
kayu tersebut terus-menerus kena panas maka kayu akan cepat rusak.
7
2. Faktor mekanik, terdiri atas proses kerja alam atau akibat tindakan manusia. Yang
termasuk faktor mekanik antara lain: pukulan, gesekan, tarikan, tekanan dan lain
sebagainya. Faktor mekanik berhubungan erat sekali dengan tujuan pemakaian.
3. Faktor kimia, juga mempunyai pengaruh besar terhadap umur pakai kayu. Faktor ini
bekerja mempengaruhi unsur kimia yang membentuk komponen seperti selulosa,
lignin dan hemiselulosa. Unsur kimia perusak kayu antara lain: pengaruh garam,
pengaruh asam dan basa.
Secara khusus, pada bab ini akan dibahas faktor perusak kayu yang berasal dari
unsur-unsur alam (faktor abiotik) yaitu faktor fisik (air, cuaca/weathering, panas/thermal
decomposition), faktor kimia (chemical decomposition) dan faktor mekanis (mechanical
wear).
A. Faktor Fisik
A.1. Air
Air sebagai salah satu kebutuhan dalam pertumbuhan pohon akan mengisi dinding
sel dan rongga sel kayu. Seperti diketahui bahwa air pada sel dapat berupa air terikat, air
bebas dan uap air. Air terikat (bound water) adalah air yang terdapat pada dinding sel,
sedangkan air bebas (free water) dan uap air adalah air yang terdapat pada rongga sel.
Air bebas akan mempengaruhi berat kayu sedangkan air terikat akan mempengaruhi berat
dan dimensi kayu. Dengan demikian, kadar air kayu sangat mempengaruhi sifat-sifat
kayu seperti stabilitas dimensi, sifat mekanik dan ketahanan terhadap kerusakan.
Telah diketahui bahwa kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, karena
polimer dinding selnya mengandung gugus hidroksil yang reaktif. Pada lingkungan yang
mengandung uap air, kayu kering akan menyerap uap air sampai kadar air kesetimbangan
dengan lingkungan. Begitu juga kayu yang jenuh air ketika ditempatkan ditempat yang
kelembaban relatifnya lebih rendah akan kehilangan uap air sampai kadar air
kesetimbangan dengan lingkungan. Dimensi kayu akan berubah sejalan dengan
perubahan kadar air dalam dinding sel, karena di dalam dinding sel terdapat gugus OH
(hidroksil) dan oksigen lain yang bersifat menarik uap air melalui ikatan hidrogen.
8
Kembang susut kayu yang paling besar berturut-turut adalah pada bidang tangensial,
radial dan aksial. Stabilitas dimensi kayu adalah kemampuan kayu itu untuk menahan
perubahan dimensi karena perubahan kondisi kadar air.
Ada beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu yang disebabkan
oleh air yaitu:
1.
2.
Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air
terikat di dalam dinding sel. Dilakukan pada kayu yang masih segar dan bahan
perlakuan tetap tinggal dalam dinding sel ketika kayu tersebut dikeringkan.
Bahan yang pertama digunakan adalah resin fenol formaldehid (PF) melalui
proses impregnasi. Bahan lainnya adalah polietilen glikol (PEG), berupa seperti
lilin yang dilarutkan dengan air.
4.
5.
yang diberi perlakuan juga lebih tinggi dibandingkan sampel tanpa perlakuan.
A.2. Pencuacaan (Weathering)
Weathering
cahaya yang menyebabkan kerusakan lignin sehingga terurai dan dapat larut dalam air.
Apabila hal tersebut terjadi, lignin akan tercuci dari permukaan kayu dan meninggalkan
permukaan yang kaya komponen selulosa. Ada beberapa pendapat bahwa degradasi
lignin kemungkinan berasosiasi dengan kerusakan karbohidrat dalam proses weathering.
Faktor kunci yang menyebabkan weathering kayu adalah cahaya UV dan air, meskipun
terdapat juga indikasi keterlibatan cahaya tampak. Selain itu juga terdapat peran radikal
bebas dalam proses oksidatif yang terjadi selama weathering, dan beberapa polutan di
udara seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida memperburuk proses weathering kayu.
Adanya fakta weathering pada kayu mengakibatkan dibutuhkannya proteksi permukaan
seperti cat atau lapisan penutup lainnya dalam berbagai aplikasi.
Faktor perusak kayu yang disebabkan oleh cuaca (weathering) terutama berupa
fotodegradasi oleh sinar ultra violet (UV) dan oksidasi. Fakta-fakta yang terkait dengan
pencuacaan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. kerusakan fotokimia komponen dinding sel kayu oleh gelombang pendek dan
gelombang panjang UV,
2. reaksi oksidasi dari produk dekomposisi komponen dinding sel,
3. pencucian produk dekomposisi yang mudah larut, dan
4. kerusakan mekanik elemen permukaan yang terkait dengan pengembangan dan
penyusutan kayu akibat pembasahan (wetting) dan pengeringan (drying).
Permukaan kayu yang diekspos terhadap cuaca akan terdekomposisi, dimana di
antara komponen utama kayu, lignin mempunyai absorpsi sinar UV terbesar
dibandingkan dengan komponen kayu lainnya. Dengan demikian lignin juga merupakan
komponen pertama yang akan terdekomposisi oleh radiasi UV.
Radiasi UV
menyebabkan terjadinya perubahan warna alami kayu dimana warna kayu berangsur10
angsur akan menjadi lebih terang karena ligninnya terdekomposisi sehingga akan mudah
tercuci oleh air hujan dan yang tertinggal adalah komponen selulosa dan proses ini akan
berulang terus-menerus yang pada akhirnya akan membuat kayu menjadi rusak.
Evans et al. (1992) dalam Plackett et. al (1996) meneliti tingkat delignifikasi
permukaan radiata pine (Pinus radiata D. Don) menggunakan finir yang diekspos pada
kondisi cuaca alami dan menunjukkan kehilangan lignin secara substansial setelah 3 hari
dipaparkan. Kehilangan berat sampel yang terjadi ternyata karena rusaknya lignin akibat
pencucian oleh air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Norrstrom (1969) dalam
Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa degradasi kayu yang disebabkan oleh UV 80
90% terjadi pada lignin, 5 20% pada karbohidrat, dan hanya 2% pada ekstraktif.
Berdasarkan Scanning electron microscopy (SEM) dan transmission electron microscopy
(TEM) ternyata bahwa lignin pada sudut dinding sel dan lamella tengah lebih dahulu
terdegradasi pada tahap awal penyinaran UV pada percobaan laboratorium. Degradasi
dinding sel secara massif tidak terjadi saat permukaan kayu diekspos pada cahaya UV
selama lebih dari 10 hari.
Hon dan Chang (1984) dalam Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa kandungan
lignin pada permukaan southern yellow pine turun dari 28% menjadi 14,5 % pada
pemaparan dengan cahaya UV. Dikatakan juga bahwa absorpsi cahaya UV oleh lignin
dapat menghasilkan transfer energi dan berkontribusi terhadap pemecahan sellulosa.
Hemisellulosa memiliki karakteristik absorpsi UV yang hampir identik dengan selulosa
(Hon, 1981) dan dapat menghasilkan degradasi produk yang lebih larut dalam air
dibandingkan dengan sellulosa pada derajat polimerisasi yang sama.
Di antara semua faktor lingkungan yang dapat menyebabkan degradasi pada kayu,
sinar UV dari cahaya matahari merupakan penyebab kerusakan terbesar. Dari komponen
utama kayu, lignin berkontribusi 80-95% terhadap koefisien penyerapan UV oleh kayu,
sementara karbohidrat 5-12% dan ekstraktif 2% (Kuo dan Hu, 1991 dalam Pastore et al.
2004). Lignin merupakan komponen pertama yang didekomposisi oleh radiasi UV (Hon
dan Feist, 1986 dalam Pastore et al. 2004) melalui mekanisme kompleks oleh radikal
bebas (Moore dan Owen, 2000 dalam Pastore et al. 2004). Selanjutnya Pastore et al.
(2004) menyatakan bahwa warna alami kayu akan berubah dengan cepat jika diekspos
11
terhadap weathering. Pertama akan menjadi gelap, kemudian kuning atau coklat dan
akhirnya warna perak keabua-abuan akan dominan.
mengindikasikan bahwa ekstraktif dalam Douglas fir adalah antioxidan dan karena itu
ekstraktif kemungkinan memberikan efek perlindungan terhadap fotodegradasi kayu.
Miniutti (1964) dalam Plackett et. al (1996) menggunakan SEM untuk
menunjukkan bahwa perubahan utama yang terjadi pada kayu yang disinari UV adalah
rusaknya noktah pada pinggir dinding sel radial dan pembentukan microcheck sepanjang
sudut fibril dalam dinding sel tangensial. Dalam studi yang sama, SEM juga digunakan
untuk menjelaskan degradasi awal lignin pada sudut sel dan dalam lamella tengah selama
tahap awal penyinaran UV. Groves dan Banana (1986) menggunakan SEM untuk
meneliti weathering alami Pinus radiata dan menemukan bahwa deteriorasi
mikrostruktur kayu terjadi setelah 4 bulan dipaparkan. Degradasi permukaan dan
pengikisan permukaan kayu terjadi setelah 6 bulan dipaparkan.
Feist (1982) dalam Plackett et. al (1996) menyimpulkan bahwa aspek signifikan
weathering kayu pada aplikasi struktural menimbulkan pengaruh estetik seperti
perubahan warna, kekasaran, retak permukaan, timbulnya kotoran, dan pertumbuhan
lumut/jamur. Perubahan tersebut dapat terjadi sangat cepat, tapi sering juga hanya sedikit
perubahan nyata lebih lanjut selama beberapa tahun dengan ketiadaan perusak. Hon
(1983) dalam Plackett et. al (1996) mereview reaksi weathering dan proteksi permukaan
kayu dan menyatakan bahwa pada umumnya cuaca menyebabkan terjadinya diskolorisasi
pada kayu antara 3 dan 4 bulan setelah pertama kali dipaparkan (Gambar 1).
12
Gambar 2.
Bila kayu tidak dilindungi dengan pelapisan (coating) dan terpapar ke atmosfer dan
matahari, disintegrasi fisik dan kimia secara perlahan akan terjadi pada permukaan kayu.
Permukaan kayu segar mulai berubah warna setelah beberapa minggu terpapar di luar
ruangan (outdoor). Pertama kali kayu tercuci (leaching) dan kemudian berubah secara
13
perlahan menjadi coklat. Setelah beberapa tahun terpapar di luar ruangan, permukaan
kayu perlahan-lahan akan berwarna abu-abu.
Pada awalnya, warna kayu berubah menjadi coklat sebagai hasil dekomposisi
fotokimia lignin dan zat ekstraktif membentuk radikal bebas yang menimbulkan
dekomposisi lanjut karbohidrat struktural dan oksidasi sebagian fenolik. Permukaan
yang tercuci lalu mengeluarkan produk dekomposisi yang mudah terlarut, memaparkan
karbohidrat struktural yang lebih tahan terhadap penyinaran (photoresistant) yang juga
didegradasi secara fotokimia dan dioksidasi oleh produk dekomposisi dan agen atmosfer.
Xilan didekomposisi dan lebih mudah tercuci dibandingkan dengan selulosa atau
hemiselulosa kaya glukan. Residu selulosa dan permukaan yang ditumbuhi oleh jamur
berpigmen seperti Aureobasidium pullulans membentuk warna abu-abu. Laju pencuacaan
akan berkurang bila lapisan luar (outer shell)
terbentuk dan melindungi permukaan kayu dari kerusakan fotokimia lebih lanjut. Namun
pembasahan dan pengeringan yang berkesinambungan dari permukaan yang tercuacakan
menimbulkan keretakan permukaan, kerusakan mekanik terlokalisasi dan pengelupasan
kulit secara perlahan dari permukaan. Variasi laju pencuacaan dapat disebabkan oleh
perbedaan geografis, lokasi, metode pengujian dan spesies kayu.
Pencuacaan
14
sebelum lignin. Komponen lignin berperan terhadap pembentukan arang dan lapisan
arang ini melindungi komposit dari degradasi panas. Hubungan antara panas dengan
kerusakan kayu yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :
Dekomposisi kayu karena panas, seperti banyak senyawa karbon, mudah terjadi
pada suhu tinggi. Pada awalnya, perubahan perlahan mulai sekitar suhu 100oC. Terdapat
perubahan warna, kehilangan kekuatan yang serius, pengurangan sifat higroskopisitas,
kehilangan berat, dan evolusi gas seperti CO, CO2, CH2 dan uap air. Perubahan tersebut
tergantung waktu dan meningkat cepat pada suhu yang lebih tinggi.
Pembakaran
(combustion) dengan pancaran cahaya dan panas terjadi pada suhu sekitar 275oC.
15
jamur memudahkan
Periode Keterpaparan
1 tahun
470 hari
400 jam
102 jam
Suhu (oC)
93
121
149
167
Kekuatan cepat berkurang oleh pemaparan pada suhu tinggi (Gambar 3). Tidak ada
asap atau penyalaan kayu dihasilkan bila kayu dipaparkan pada suhu di bawah 200oC.
Gas-gas utama yang dilepaskan adalah CO2 dan uap air.
Proses pada Suhu Tinggi (>200oC)
Pirolisis (pemanasan tanpa adanya O2) dikenal selama proses distilasi kayu (wooddistillation process) dimana dihasilkan gas-gas yang mudah terbakar yaitu CH4 dan CO.
Juga banyak senyawa dilepaskan seperti asam asetat, metanol, asam format, furfural,
fenol dan kresol. Asam-asam menyebabkan mata perih oleh asap dan produk furfural
16
menyumbang karakteristik bau dari asap kayu. Produk akhir yang tersisa adalah arang /
karbon (charcoal) yang telah banyak dimanfaatkan oleh banyak industri.
Pada pembakaran, kayu akan cepat terdekomposisi pada suhu di atas 200oC dengan
adanya O2 dan melepaskan gas-gas yang mudah terbakar seperti CH4 dan CO. Pada suhu
sekitar 275oC, suhu nyala dan panas yang dilepaskan mempercepat pembakaran dan
proses dekomposisi.
Urutan pemutusan komponen dinding sel dengan bertambahnya suhu adalah
hemiselulosa, selulosa dan lignin.
kisaran suhu 250-500oC, sedangkan selulosa pada suhu lebih tinggi dan terbatas pada
kisaran 325-375oC (Shafizadeh dan Chin, 1977) dalam Arif (2002).
Kayu yang
terkarbonisasi pada tahap akhir dekomposisi secara tekstural mirip brown rot dan
menarik untuk dicatat bahwa lignin juga merupakan komponen kayu terakhir yang
dikonsumsi sempurna pada beberapa pelapukan jamur.
A.4. Fire Retardant
Daya tahan bakar kayu dapat ditingkatkan misalnya dengan membuat kayu itu
menjadi anti api (fire proof), antara lain sebagai berikut :
1.
Menutup kayu itu dengan bahan lapisan yang tidak mudah terbakar yang
berfungsi melindungi lapisan kayu di bawahnya terhadap api, misalnya asbes
atau pelat logam
2. Menutup kayu
terbakarnya kayu, misalnya jenis cat tahan api, persenyawaan garam antara lain
amonium dan boor zuur
3. Mengimpregnir kayu itu dengan macam-macam bahan kimia yang bersifat
mengurangi terbakarnya kayu. Ada juga bahan-bahan lain yang menghasilkan
gas yang dapat mencegah api tersebut
17
4. Bahan kimia penahan yang efektif adalah ammonium fosfat, ammonium sulfat,
boraks, dan seng klorida. Bahan tersebut telah diteliti secara empirik namun
mekanisme perlindungannya kurang dipahami.
B. Faktor Kimia
Sebagai bahan struktural, kayu memperlihatkan ketahanan terhadap serangan
kebanyakan bahan kimia. Untuk alasan ini, kayu sering digunakan untuk pembuatan tong
penyimpan, tangki, tangki pendingin, atau struktur dimana berhubungan dengan bahan
kimia kaustik yang menyebabkan terjadinya kondensasi, aerosol atau percikan. Sebagai
contoh, bukti deteriorasi kayu yang dilaporkan pada beberapa pabrik pulp kraft akibat
kayu terpapar dalam waktu lama terhadap asam lemah dan basa lemah pada suhu dan
kelembaban tinggi (Barton, 1982) dalam Arif (2002). Karena kayu merupakan bahan
baku kimia utama untuk industri kertas dan turunan selulosa, banyak informasi telah
dihasilkan pada reaksi kayu dan komponennya terhadap banyak bahan kimia. Informasi
ini membentuk dasar bagi proses industri dalam kisaran yang luas. Informasi pada topik
tersebut tersedia dalam buku kimia kayu, kimia selulosa dan pembuatan kertas.
Smith (1980) dalam Arif (2002) menyusun daftar spesies kayu yang
direkomendasikan untuk penggunaan pada lingkungan yang bersifat korosif seperti
kontainer untuk asam, terpapar ke asap asam atau kontainer untuk cairan korosif ringan.
Kayu konifer pada umumnya lebih tahan terhadap serangan bahan kimia korosif daripada
kebanyakan kayu daun lebar. Kriteria untuk kayu tahan bahan kimiawi adalah spesies
yang kaya selulosa dan lignin serta rendah xilan.
Asam terutama mendegradasi karbohidrat kayu, dan ketahanan lignin yang tinggi
terhadap asam kuat merupakan dasar untuk penentuan analisis lignin melalui pelarutan
karbohidrat kayu dengan 72% H2SO4. Residu yang tidak larut dari hasil penyaringan
didefinisikan sebagai lignin Klason. Asam menghidrolisis ikatan (1-4) glikosida
selulosa dan hemiselulosa menghasilkan pengurangan kekuatan tarik (tensile strenght)
secara drastis. Kayu pada tahap awal dekomposisi berubah coklat dan menjadi brittle dan
18
brash.
bentuk kompleks lignin-alkali yang mudah larut. Selulosa pada dasarnya tidak berubah.
Kebanyakan proses pulping kayu mengupayakan tipe reaksi alkali ini.
Pada konsentrasi tinggi, bahan kimia alkali kuat menyebabkan kayu menjadi serat
dan tercuci seperti halnya kayu yang terserang jamur pelapuk putih (white rot). Kayu
mengembang dan terjadi pengurangan kekuatan yang tajam.
Wangaard (1966) dalam Arif (2002) menggambarkan perbedaan antara pengaruh
asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap kekuatan kayu
konifer dan kayu daun lebar (Tabel 1)
Tabel 1. Pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap
kekuatan kayu konifer dan kayu daun lebar
MOR (sebagai % kontrol)
Jenis
2% HCl
10% HCl
2% NaOH
10% NaOH
20oC
50oC
20oC
50oC
20oC
50oC
20oC
50oC
Douglas fir
91
85
76
57
56
40
39
28
White oak
70
51
39
30
26
22
20
15
Kayu
seperti garam oksida atau garam asam dari copper, kromium, dan arsenit (CCA), tidak
menampakkan pengaruh serius terhadap kekuatan (Thompson, 1982) kecuali bila kayu
kemudian dikeringkan pada suhu tinggi (Barnes dan Winandy, 1986).
Kontak yang
hilangnya kekuatan tarik (Baker, 1974). Terdapat laporan bahwa dekomposisi kayu dari
besi menurunkan sifat daya pegang paku, dimana paku pada awalnya dipasangkan ke
dalam kayu gergajian segar. Penggunaan paku tergalvanisasi (dilapisi seng) atau kayu
gergajian kering akan meminimalkan masalah ini. Karena besi beroksidasi (berkarat)
membentuk besi hidroksida yang mengkatalisis reaksi oksidasi dan depolimerisasi
selulosa menjadi oksiselulosa.
C. Faktor Mekanis
Faktor mekanis (mechanical wear) dari kayu merupakan sumber minor deteriorasi
kayu dan melibatkan gaya-gaya yang merobek dan melepaskan bagian kecil permukaan
kayu. Penting hanya pada sedikit kasus penggunaan kayu khusus dimana terjadi gesekan
dan sobekan permukaan yang hebat, seperti anak tangga, menara pendingin, lantai pabrik
sekitar mesin berat, dan kontak paku dan plat pada bantalan kereta api. Partikel pasir
yang diterbangkan angin dapat menyebabkan kerusakan mekanis terhadap tiang, tunggak
dan kayu yang tidak dicat di daerah gurun dan sepanjang pantai. Contoh lain kerusakan
mekanis sering terlihat pada galangan kapal muat atau panggung/peron. Muatan yang
berat dengan sudut tajam menyebabkan abrasi dan keretakan pada permukaan kayu, yang
sepanjang waktu mengembangkan tekstur berserat mirip yang terdapat pada tahap akhir
pelapukan oleh jamur. Metode pencegahan mencakup pemilihan kayu dengan kekerasan
permukaan tinggi, susunan serat sisi/pinggir kayu pada bagian yang mengalami gesekan
kuat dan perlindungan zona kerusakan tinggi dengan plat logam atau penggunaan polimer
pengeras kayu.
20
E. Latihan Soal
Menurut Anda, faktor perusak mana yang paling sulit dicegah di antara faktor-faktor
perusak abiotik tersebut di atas ?
1.
2.
Upaya apa yang paling praktis dilakukan untuk mencegah kerusakan kayu akibat
faktor abiotik !
Abstract
This review deals with several topics concerning natural factors affecting physical and
mechanical properties of wood, i.e. (1) wood species; (2) age and location of growing; (3)
position of wood sample in the stem; (4) diameter; (5) humidity, moisture content, and
temperature; (5) weathering and fungi; (6) forest fired; that have been done by
researchers who are members of Indonesian Wood Research Society. The purposes of
this review are (1) to evaluate the research results that have been done, (2) to promote the
applicable and feasible utilization of research results to the users, (3) to provide
information concerning previous researches that might be useful for further researches.
More than 60 wood species have been reported in this review. Besides the major and
minor commercial wood species; lesser known species, i.e. Balsa (Ochroma spp.), Randu
21
yang
akan
di
dibahas
Seminar
telah
dipresentasikan
Nasional
alternatif
konstruksi/struktural,
penelitian selanjutnya.
Lebih
kurang
60
makalah
yang
untuk
bahan
bangunan
kayu
perkakas/
Seminar
Nasional
Tinjauan
hasil-hasil
Mapeki.
pada
mekanik
tersebut
tidak
kayu.
penelitian
Faktor-faktor
awet,
sehingga
membatasi
Jenis Kayu
Penelitian sifat fisik dan mekanik yang
telah
dilakukan
Prayitno
(1998)
melaporkan
dengan
dari
areal
sehubungan
1979).
agro-forestry,
kayu
23
kekerasan,
keteguhan
lentur
(MOE),
dan
440 kg/cm2.
hospita
Linn.)
dari
tanaman
perkebunan.
depan,
kayu-kayu
cepat
data-data
karakterisasinya.
dimanfaatkan
sebagai
bahan
24
bangunan struktural.
Sutapa
dilakukan
rata
kering tanur =
34.4
mengadakan
cm.
Hasil
penelitiannya
berdasarkan
standar
DIN
ketinggian
0.36/m,
Berdasarkan
kemungkinan
akibat
2004).
kerapatan
sebanyak
terjadinya
retak
klasifikasi
kering
udara,
berat
MOR
kayu
dan
25
Kibawang,
Pulai
Salamander,
dan
Konggo,
Kilemo
Kapur,
mempunyai
sedangkan
kayu
lainnya
mempunyai
Abdurachman
(2001)
0.734;
(Enterolobium
konstruksi.
dan
Sengon
Hadjib
Buto
Kholik
dan
Gunawan
(2004)
(Peronema
keteguhan
pukul,
serta
(Alstonia
keteguhan
tarik
serat,
(Artocarpus
kekerasan,
tegak
lurus
canescens
scholaris
R.
elasticus),
Jack.),
Pulai
Br.),
Terap
kayu
Arang
(Diospyros
borneensis),
Balau
26
musik
hutan
Mig.)
kolintang
alam
dan
(0.00413).
dan
adalah
Berumbung
jumlahnya
Tisuk/Waru
Sedangkan
semakin
(Hibiscus
kayu
Tisuk
27
panas
kayu
pohon
Nilai
menggunakan
panas.
perdagangan
jenis
Indonesia.
kempa
ini
di
Pada
tahun
hutan
2004,
alam
kayu
Gunung
Ramin
(Gonystylus
1%.
Pohon
javanica
Gadog/Gintung
Blume)
atau
(Bischofia
dengan
nama
pengujian
sifat-sifat
kayunya.
mengenai
morfologis
dan
bancanus
Kurz.)
telah
kayu
yang
selama
ini
28
kayu
pengganti
dilakukan
Ramin.
terhadap
Pengamatan
jenis-jenis
kayu
mekaniknya
berdasarkan
standar
Tabel 1.
fisik
dan
mekanik
telah
dilakukan
damar.
Sarwono
(2004)
melakukan
(Gmelina
tujuan
untuk
menganalisis
alternatif
arborea);
serta
kayu
L.f).
Average
0.78
9.23
Radial
Tangential
4.074
8.149
16.71
17.75
106.91
53.30
34.49
96.94
46.68
38.23
367.07
520.38
96010
336.34
63.60
521.66
320
29
kayu
(Eucalyptus
perbedaan
Urograndis
yang
nyata
pada
BJ
Pengujian
sifat
fisik
dan
keteguhan
tekan
sejajar
serat,
Kasmudjo
dan
Sunarto
(1999)
pohon,
sedangkan
KA
dan
penggunaan
yang
memerlukan
prioritas kekuatan.
Gunawan
et
al.
(2001a)
telah
30
ditanam
di
Sebulu
dibandingkan
dengan
kecuali
penyusutan
lebih
di
rendah
Menamang.
dan
MOE.
2 years-old
0.451 ~ 0.612
454.10 ~ 713.50
548.16 ~ 953.28
3 years-old
0.521 ~ 0.700
502.54 ~ 872.78
702.15 ~ 1074.07
12 years-old
0.47
13.8
1.59
312.3
76.5
337.2
18 years-old
0.55
12.8
1.58
326.8
88.0
369.1
31
ditanam
Perum
Perhutani
tidak
ada
kecenderungan
yang
kayu
Namun
82.45%;
bertujuan
menghasilkan
berdasarkan
pertimbangan
KU
VIII
44.90%).
Kemungkinan
mempengaruhi
pendek
pengaruhnya
dan
1958).
tengah
perlu
KU
dan
IV
melihat
(tahun
dekat
tanam
kulit;
berdasarkan
faktor-faktor
variasi
perbedaan
yang
KA
32
Laban
kelas
pengamatannya
sejajar
menggunakan
pada
kasar
tinggi.
termasuk
umur.
KU
Hasil
yang
rendah
lebih
(Vitex
serat
dan
kelas
Vahl.)
Pubescens
kekerasan
standar
kuat
dengan
DIN.
dan
Hasil
dapat
mengenai
mekanik
kayu
Rambai
(Baccaurea
motleyana
Muell)
berdasarkan
letak
dan
Susanto
(2005)
keseluruhan,
sifat
fisik
dan
33
kuat II-III.
Bottom
Upper
Average
89.72
12.89
0.939
0.893
85.17
82.23
12.55
0.898
0.850
80.70
86.03
12.70
0.916
0.872
82.99
0.095
15529.02
124.79
15.30
15.66
0.087
14074.16
115.96
14.19
14.51
0.091
14803.18
120.39
14.70
15.03
Radial
5.68
5.37
7990.74
Tangential
9.41
8.59
9033.33
Longitudinal
0.20
0.20
10079.63
Middle
Upper
Average
12.45
0.592
51.89
12.43
0.587
49.38
12.57
0.593
51.69
0.0707
9337.61
85.19
11.70
0.0681
9141.30
81.28
11.29
0.0726
9516.96
85.16
11.81
34
Kelapa
dikelompokkan
(Cocos
nucifera
L.)
dengan
kelas
kekuatannya
statistik
ada
menunjukkan
bahwa
Table 6. Physical and mechanical properties of Kelapa (Cocos nucifera L.) wood based
on the bottom, middle and upper parts of stem.
Part of
Stem
Specific
gravity
Upper
0.603
Middle
0.733
Bottom
0.803
Source: Widiastuti (1999)
Moisture
content
(%)
81.77
68.01
46.36
Shear
strength
(kg/cm2)
41.10
45.91
89.64
Compression
strength
(kg/cm2)
188.81
315.00
453.97
MOR
(kg/cm2)
233.38
749.16
838.80
Table 7. Persyaratan Umum Bahan Bangunan Indonesia and SII 0458-81 standard.
Class
I
II
III
IV
V
MOR (kg/cm2)
1100
725 ~ 1100
500 ~ 725
360 ~ 500
< 360
batang.
Hasil
BJ
penelitian
menunjukkan
KA
keseimbangan
bervariasi
35
(Gmelina
arborea)
al.
(2003)
melaporkan
dari
daerah
sekitar
kampus
(1957).
Hasil
penelitian
ini
kayu
juvenil.
Kayu
juvenil
KA
berhubungan
dengan
contoh
uji
dilakukan
36
kayu
Hopea
(Hopea
cernua)
dan
bangunan,
Zeeuw 1980).
dipersyaratkan
adalah
teras
lebih
disukai
Dengan
2.24
ini
50
ringan.
menunjukkan
14%.
kayu
bahwa
kayu
cm
(dbh).
Hasil
pengukuran
Diameter
Penelitian-penelitian
mengenai
37
mengenai
bertujuan
untuk
perubahan
KA
(Dyobalanops
kepekaan
kayu
terhadap
mengetahui
jenis
kayu
aromatica
laju
Kamper
Gaertn.),
mangium
bahwa
MOR
ketebalan 3 cm.
nilai
kerapatan
dan
Basri
Willd.),
et
al.
Gmelina
(2000)
(Gmelina
melaporkan
kayu gubal.
38
(Vitex
tersebut
kemudian
susut
penurunan
berat
hubungan
linear
glabrata).
dikeringkan
Kayu
hingga
Selanjutnya
9%,
Sadiyo
dan
Daniyati
kayu
lebih
dipengaruhi
kayu
oleh
mempunyai
sehingga
dapat
satu
Merah
(Shorea
Sengon
spp.),
model.
Penggunaan
model
tertentu.
Pengukuran
berat
dan
susut
Proses
(weathering)
radiasi
kemampuan
sangat
pelapukan
oleh
akan
sinar
matahari
penetrasinya
terbatas.
cuaca
menyebabkan
walaupun
pada
kayu
Penetrasinya
sinar
39
permukaan
muncul
kayu
menjadi
guratan-guratan
kasar
kecil
dan
yang
penjemuran.
Selain
permukaan
kayunya
jamur.
Informasi
itu
hasil
kedua
telah
sisi
ditumbuhi
penelitian tentang
adalah
menguraikan
pengembangan
dari
Hasil
minggu
(weathering).
hanya
Sampang
Balfas
sampai
pengukuran
2.30%.
24
setelah
Kayu
minggu.
24
Ki
kayu
Jati.
hasil
Malik
penelitian
(swelling),
Jenis-jenis
2002).
(2004)
sifat
pengujian
kayu
Pengukuran
yang
sifat
40
cairan
Pengujian
siklus
dilakukan
kering
siklus
dan
pada
basah
kondisi
karena
(Gallagher
komponen
1989).
tylosis
Karena
respon
tingkat
terhadap
dan
tinggi
besarnya
cenderung
absorpsi
air
memiliki
tempat
absorpsi
air
dan
perubahan
Hasil
menunjukkan
pecah.
perubahan
warna,
tetapi
secara
makroskopis
belum
dijumpai
adanya
kayu
serangan
Pasang.
Adanya
tylosis
dapat
pengamatan
bahwa
Seluruh
jamur
pencuacaan
kayu
kayu
maupun
Cemara
mengalami
serangga.
41
terhadap
Eucalyptus
Pasang
memiliki
ketahanan
Contoh
spp.
uji
yang
Jamur
Budi
et
al.
(1998)
melaporkan
DIN.
menunjukkan
Hasil
bahwa
pengamatan
jamur
ini
Warna
menjadi
akibat
pecah-pecah
dan
terkelupas;
bagian
kayu
penebalan
yang
dinding
terserang
sel
dan
gangguan
dalam
dapat
terhadap
menghasilkan
kambium
phloem;
bahkan
42
N/mm2
dan
N/mm2.
menjadi
Selanjutnya
23.32
N/mm2;
penelitian
mengenai
11%
20%
mengakibatkan
luas
pewarnaan
dan
umumnya
aktivitas
kayu
gubal
lebih
banyak
noda
Perupuk
pada
20%.
enzim
kayu
Pada
jamur
Ramin
intensitas
Biru
yang
dinding
merusak
(Gonystylus
bancanus
Kurz.)
yang
sel
kayu.
komponen
Keadaan
tersebut
dinding
selnya
mekaniknya.
Kebakaran Hutan
(Shorea
(Dipterocarpus
smithiana
Sym.),
cornutus
Keruing
Dyer)
dan
43
standar
pengujian
berpengaruh
terhadap
juga
uji
batang.
DIN.
oleh
Hasil
sangat
nyata
pengambilan
contoh
(2001)
Suhu
Penelitian
untuk
yang
normal).
keteguhan
tekan,
konstruksi.
Selanjutnya
tidak
ini
Torambung
bertujuan
terbakar
geser,
(kayu
keteguhan
pada
saat
kebakaran
hutan
44
Pembahasan
Tidak diketahui secara pasti jumlah
semakin
liar.
(Anonim
klasifikasi
yang
major-commercial
timbers
maraknya
1986).
penebangan
Menurut
tergolong
(Soerianegara
dan
Lemmens
Balau
(Shorea
Bintangur
spp.),
(Calophylum spp.),
1998).
telah
1986;
Dyer.),
Atlas
Kayu
Martawijaya
Indonesia
et
al.
1989;
Gadog
Merawan
(Hopea
(Bischofia
javanica
Kurz.),
Puspa
(Schima
noronhae
kayu
Pada
tinjauan
capaian
hasil-hasil
Medang
Pasang-2
(Litsea
(Lithocarpus
spp.)
dan
spp.),
Simpur
45
Dalam
untuk
studi
pemilihan
penelitian
jenis
sebaiknya
pustaka
terhadap
kayu
dilakukan
penelitian-penelitian
Merr.),
integra
celebica),
sebagai pembanding.
Ketileng
Kalapi
Gofasa
(Vitex
(Kalappia
(Vitex
coffasus),
Cemara
glabrata),
yang
Gaertn.),
Merkubung
pemanfaatan kayu.
Sedangkan
jenis-jenis
pentandra
kayu
Kisereh
porrectum
(Roxb)
mekanik
excelsa
Engl.),
(Enterolobium
Salamander
Hopea
(Hopea
(Cinnamomum
Kosterm),
Kibawang
Sengon
(Litsea
robusta
cubeba
(Kleinhovia
A.Cunn.),
Pers.),
hospita
(Arthocarpus
(Diospyros
Buto
Griserb.),
cyclocarpum
(Grevillea
(Melia
Kilemo
Tahongai
kelas
faktor
kuat
(1)
kayu.
Sukun
berumur
kayu
Arang
Berumbung
borneensis),
mengklasifikasikan
adalah
Linn.),
altilis),
macrophyllus),
kayu
Mata
Kucing
yang
muda
akan
kemungkinan
mempengaruhi
pembentukan
struktur
masih
kecepatan
kayu.
dan
kayu
gubal
dimana
keduanya
46
gravity
sedangkan
pada umumnya.
sebagai
dimana
perhitungannya
kerapatan
density
dimana
diterjemahkan
berat
dan
Selain
dipengaruhi
oleh
faktor
tersebut
tinggi-rendahnya
banyak
KA
kayu
juga
yang
tidak
daftar
pustaka,
mencantumkannya
di
Bowyer
Pada
tangensial
penelitian-penelitian
yang
telah
1996).
dan
Rasio
radial
penyusutan
(T/R
rasio)
47
Semakin
rendah
perubahan
dimensi
(Abdurachman
Hadjib 2001).
dan
Hadjib
2001).
yang
cenderung
atau
faktor
atau
umur/diameter
lebih
yang
kerapatan
mudah
pecah
mempengaruhi
(jenis
kayu,
BJ
mempengaruhi
sifat
fisik
dan
kerapatan
tempat
kayu
teras
ke
kayu
gubal
(secara
tinggi
cenderung
penampung
Faktor
air
terpenting
memiliki
lebih
dari
sedikit
proses
Proses
menyebabkan
pelapukan
oleh
cuaca
perubahan
akan
warna;
48
kemungkinan
disebabkan
oleh
Daftar Pustaka
Abdurachman dan N. Hadjib. Sifat Fisis
dan Mekanis Jenis Kayu Andalan
Setempat Jawa Barat. Prosiding
Seminar Nasional IV Mapeki.
Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp
II125-II135.
Abdurrohim, S; Y.I. Mandang; U. Sutisna.
2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan, Badan Litbang
Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Alrasjid, H. dan A. Widiarti. 1992. Teknik
Penanaman dan Pemungutan Gmelina
arborea (Yamane). Informasi Teknis
No. 36, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan, Bogor.
Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan
Indonesia.
Direktorat
Jenderal
Kehutanan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Anonim. 1979. Mengenal Sifat-sifat Kayu
Indonesia dan Penggunaannya. PIKA.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonim. 1986. Jenis-jenis Pohon Disusun
Berdasarkan Nama Daerah dan Nama
Botaninya Di Seluruh Indonesia.
Badan Inventarisasi dan Tata Guna
Hutan.
Departemen
Kehutanan.
Jakarta.
49
53
54
BAB III
FAKTOR PERUSAK BIOTIK
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada mahasiswa tentang: (1) faktor-faktor biotik perusak kayu, (2) kondisi terjadinya
serangan organisme tersebut, dan (3) teknik pencegahan dan pengendaliannya.
Tujuan Khusus : Bab in secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
dalam mengidentifikasi jenis-jenis organisme perusak kayu, kondisi penyerangan, dan
mengemukakan teknik pengendalian dan cara pencegahan yang sesuai.
Pelapukan (decay) oleh jamur (soft rot, brown rot dan white rot)
Kirk and Cowling (1984) merangkum tipe utama deteriorasi kayu dan organisme
penyebab seperti terlihat pada Tabel 2.
54
Organisme
Stain
Jamur
Pewarnaan permukaan
Jamur
Bakteria, jamur
Biokimia (pelapukan)
Jamur
Ada dua jenis organisme yang umumnya menyebabkan pewarnaan pada kayu,
yaitu (1) mold dengan spora berwarna, dan algae yang tumbuh pada permukaan kayu,
dan (2) jamur dengan hifa berwarna gelap yang melakukan pewarnaan pada bagian
dalam kayu dengan melakukan penetrasi ke dalam kayu gubal. Aspergillus spp. dan
Penicillium spp. adalah mold yang umum ditemukan pada kayu. Pewarnaan yang
disebabkan oleh jamur ini biasanya dapat dikeluarkan melalui penyikatan, pengetaman,
atau pengamplasan. Ceratocystis spp. adalah contoh jamur sapstain. Pewarnaan ini
biasanya tidak dapat dikeluarkan meskipun dengan bahan kimia pemutih.
Bacillus polymyxa (Prazmowski) Mac, bakteri tertentu, jamur dan beberapa mold
seperti Trichoderma viridae Pers.ex Fr. dapat mendegradasi membran pektin noktah
berhalaman antar sel kayu. Degradasi ini meningkat permeabilitas kayu terhadap air
dan pelarut organik. Peningkatan permeabilitas merupakan masalah dalam pengerjaan
akhir kayu, tetapi dapat membantu penetrasi bahan kimia pulp dan pengawet ke dalam
kayu gubal.
Disintegrasi kayu secara mekanik dapat disebabkan oleh sejumlah species
serangga, burung, dan mamalia. Dalam beberapa kasus, disintegrasi ini dapat menjadi
cukup serius.
Deteriorasi dengan Dekomposisi
Mudah tidaknya polimer dinding sel terdekomposisi secara biologis banyak
ditentukan aksesibilitasnya terhadap enzim dan produk metabolik lain yang dikeluarkan
oleh jamur perusak kayu, atau dalam kasus serangga tertentu dan marine borer melalui
organisme yang yang hidup pada saluran pencernaan hewan tersebut. Kontak fisik
langsung antara enzim atau metabolik lain dan polimer dinding sel adalah prasyarat
terjadinya degradasi secara hidrolitik dan oksidatif. Karena selulosa, hemiselulosa, dan
lignin merupakan polimer dinding sel yang tidak larut air dan tersusun dalam dinding
sel kayu dengan campuran fisik yang erat satu sama lain. Kontak fisik yang diperlukan
dapat dicapai hanya melalui difusi atau enzim atau metabolik lain masuk ke dalam
matriks kompleks tersebut atau menguyah halus kayu sebelum dicerna.
Komponen struktural kayu yang sangat penting yang membantu menahan
dekomposisi biologis kayu adalah lignin. Pada kayu, mikrofibril selulosa dilapisi atau
56
ditutupi oleh hemiselulosa yang diikat oleh lignin. Lignin terikat secara kovalen dengan
hemiselulosa, dan juga bergabung secara fisik. Apapun jenis hubungan nyata antara
lignin dan hemiselulosa, lignin secara fisik dapat mencegah akses enzim terhadap
hemiselulosa dan selulosa. Digestibility atau mudah tidaknya kayu utuh dan jaringan
berlignin lain (lignoselulosa) dicerna merupakan fungsi kadar lignin (Gambar 4).
Gambar 4. Digestibilitas kayu melalui campuran selulosa dan hemiselulosa sebagai fungsi kadar
lignin (Baker, 1973 dalam Kirk and Cowling, 1984).
Mekanisme biologis yang terlibat dalam mengatasi lignin sebagai perintang fisik
(physical barrier), yaitu:
1) Serangga dan binatang laut merusak secara fisik lignin dengan menggerus kayu
menjadi sangat halus,
2) Beberapa organisme terutama jamur tingkat tinggi mendekomposisi lignin dan
kemudian mengekspos polisakarida,
3) Jamur tingkat tinggi tertentu mensekresi agen pendepolimerisasi selulosa non enzim
yang melakukan penetrasi ke dalam selubung lignin.
Mekanisme 1 memungkinkan terjadinya mechano-bio-chemical decomposition kayu
utuh; sedangkan mekanisme 2 dan 3 memungkinkan biochemical decomposition.
57
Mechano-bio-chemical Decomposition
Untuk menghindari lignin barrier oleh pencernaan enzimatik polisakarida kayu
harus digiling halus. Pada ukuran partikel tertentu, polisakarida (selulosa dan
hemiselulosa) dapat dicerna secara maksimal oleh enzim.
bervariasi berdasarkan kadar dan penyebarab lignin serta jenis kayu. Kemampuan cerna
maksimum dicapai pada beberapa kayu (sweetgum, red oak, aspen) melalui vibratory
ball milling, tetapi penggunaan teknik penggilingan ini pada jenis kayu lain (red alder,
conifer) memiliki efek lain yang berkebalikan dengan efek pencernaan. Virtanen et.al
pertamakali mendemonstrasikan pengaruh reduksi ukuran partikel terhadap kemampuan
cerna bakteri selulotik yang tidak dapat dapat mendegradasi kayu utuh, tetapi dapat
memanfaatkan serbuk gergaji yang halus. Pew juga mendemonstrasikan bahwa
penggilingan halus membuat kayu lebih mudah dicerna oleh campuran enzim selulose
dan hemiselulase.
Pengaruh penggerusan halus juga sudah diperlihatkan oleh beberapa serangga dan
binatang laut yang pada bagian mulut dilengkapi organ penggiling internal (internal
milling organ), yang mereduksi kayu menjadi ukuran partikel yang dapat dicerna.
Enzim selulose dan hemiselulase pada usus mencerna polisakarida dan mengeluarkan
eksresi yang kaya lignin. Kebanyakan serangga yang tidak melakukan pencernaan
secara sempurna mencerminkan gagalnya pengerusa kayu menjadi cukup halus, yang
disebabkan ketiadaan enzim pelengkap, waktu tinggal tidak cukup, atau faktor lain.
Serangga pembor kayu (wood-boring insect) tertentu seperti kumbang ambrosia,
kumbang lyctus, semut, dan lebah tidak mencerna struktur polimer kayu.
Kayu
melewati usus kumbang lyctus, tetapi hanya mencerna bahan non struktural yang
sederhana, terutama pati pada sel parenkim. Demikian pula pada kumbang ambrosia,
semut dan lebah.
Beberapa serangga, seperti Indian longhorn beetle (Stromatium barbatum
Fabricus) dan binatang laut (umumnya Limnoria tripunctata Menzies dan Bankia
setacea Tryon) memiliki enzim selulase endogenous [dan mungkin juga enzim hidrolase
polisakarida lainnya]. Rayap dan kebanyakan serangga pencerna kayu lainnya
mengandalkan mikroba polisakarolitik yang ada pada usus.
Kumbang Stromatium
58
barbatum dan binatang laut Bankia setacea dapat memanfaatkan keduanya, yaitu enzim
selulase dan mikroba usus.
Serangga pengurai kayu dan binatang laut umumnya hanya mencerna selulosa dan
hemiselulosa, sedangkan dekomposisi lignin terbatas hanya pada beberapa jenis
serangga. Dalam salah satu laporan disebutkan bahwa perubahan lignin
14
14
C menjadi
dimungkinan oleh adanya oksigen yang terdapat pada usus Nasutetermes dan serangga
tertentu lainnya.
Bio-chemical Decomposition
Jamur pelapuk kayu dapat dibagi atas 3 berdasakan tipe pelapukan yang
ditimbulkannya, yaitu: white, brown, dan soft rot. Di Amerka Utara, white dan brown
rot disebabkan oleh 1.700 spesies jamur pelapik kayu pada kelas basidiomycetes; lebih
90% diantaranya menyebabkan pelapukan tipe white rot. Soft rot disebabkan jamur
pada kelas Ascomycetes dan Jamur imperfecti. Secara normal kebanyaan ditemukan
pada tanah atau lingkungan perairan.
B. JAMUR PENGHUNI KAYU (WOOD INHIBITING FUNGI)
Jamur merupakan salah satu dari 5 kingdom makhluk hidup, yaitu Monera,
Protista, Fungi, Plantae, dan Animalia. Jamur dicirikan oleh sel eukaryotik berfilamen
yang multiseluler. Karena tidak memiliki klorofil, jamur bersifat heterotropik dan
menfaatkan senyawa karbon sebagai sumber energi. Badan jamur (thallus) terdiri atas
seri sel kecil berbentuk tabung yang saling berhubungan yang disebut hifa. Sistem hifa
jamur memiliki kemampuan adaptasi untuk berpenetrasi, mencerna secara eksternal,
mengabsorpsi, dan memetabolisme berbagai bahan organik (contoh: bahan tumbuhan,
kayu). Massa hifa disebut miselium. Jamur menghasilkan spora yang terbentuk melalui
pragmentasi hifa.
Hifa merupakan unit seluler dasar dari struktur jamur. Individu hifa kecil dan
hanya terlihat dengan pembesaran, keculai pada beberapa jenis jamur hifanya dapat
terlihat dengan mata biasa. Diameter individu hifa berkisar 0,520 m atau lebih,
59
kebanyakan berkisar 210 m (Gambar 5). Gambaran khas hifa meliputi dinding sel,
septa, vakuola, glubula lemak dan kristal, serta inti. Sel hifa dapat berinti satu atau
berinti banyak, tetapi kebanyakan jamur pelapuk kayu umumnya berinti dua (binukleat).
Bahan kimia dindig sel hifaa terdiri dari 80-90% polisakarida, sisanya adalah protein
dan lipid. Chitin, selulosa dan sedikit chitosan membentuk mikrofibril untuk
memberikan kerangka skeletal dinding sel.
Gambar 5. Sistem
pertumbuhan
apikal
dan
percabangan
hifa.
Salah
satu
cabang
Jamur memainkan tiga peran utama dalam ekosistem. Beberapa jamur adalah
patogen yang menyerang tumbuhan atau hewan hidup yang menyebabkan penyakit.
Jamur lain adalah simbion mutualisme dan telah mengembangkan asosiasi dengan
organisme lain (contoh: mycoriza, lichens). Kebanyakan jamur adalah saproba dan
merupakan agen utama dalam ekosistem yang melapukkan tumbuhan, melepaskan CO2,
dan mendukung proses fotosintesis pada tumbuhan hijau.
60
B.1.
jamur, dan sedikit oleh bakteri, merupakan sumber utama timbulnya kerugian produksi
kayu gergajian dan penggunaan kayu. Mikroorganisme ini merupakan organisme unik
yang mengembangkan sistem untuk melakukan penetrasi, menginvasi/menyerang,
mencerna secara eksternal, dan mengabsorpsi bahan-bahan yang mudah larut dari
substrat yang kompleks seperti kayu. Peranan utama jamur dan bakteri dalam ekosistem
adalah untuk menguraikan dan melepaskan CO2 dan unsur penting lainnya untuk
fotosintesis tumbuhan dan melanjutkan kehidupan dalam ekosistem.
a. Jamur pewarna kayu (Wood staining fungi)
Jamur ini terutama menimbulkan pewarnaan, yaitu perubahan dari warna normal
kayu yang dihasilkan dari pertumbuhan jamur pada kayu atau perubahan kimia sel atau
isi sel. Jamur pewarna ini dapat dibedakan atas:
Mold
Jamur yang tumbuh pada permukaan kayu yang sangat basah, memanfaatkan senyawa
karbon sederhana yang ada. Pertumbuhan dan sekresi hifa jamur pada permukaan kayu
menghasilkan warna seperti hitam, abu-abu, hijau, ungu, dan merah; dan pada dasarnya,
sejumlah besar dari spora yang ada berpotensi menimbulkan alergi. Mold secara normal
dapat dikeluarkan melalu penyikatan atau pengetaman dan dapat menyebabkan kerugian
kualitas kayu yang utama.
Stain
Jamur pewarna yang menyerang kayu gubal dari kebanyakan kayu komersil selama
penyimpanan log atau pengeringan alami kayu gergajian. Jamur stain terutama
menyerang jaringan parenkim pada kayu gubal, dan pewarnaan dihasilkan dari massa
hifa berpigmen pada sel kayu. Meskipun jamur stain menyebabkan kerusakan kecil
terhadap sel parenkim pada kayu, beberapa sifat lain yang dipengaruhinya selain
pewarnaan adalah sifat keliatan dan permeabilitas. Stain secara normal tidak dapat
dikeluarkan melalui penyikatan atau pengetaman.
61
Brown rot : disebabkan oleh kelompok jamur yang terutama menyerang karbohidrat
dinding sel.
White rot : disebabkan oleh kelompok jamur yang menyerang karbohidarat dan
lignin dinding sel.
Jamur white rot dan brown rot termasuk dalam subdivisi Basidiomycotina. Pada tahap
akhir pelapukan, semua jamur pelapuk menghasilkan perubahan drastis pada kekuatan
dan sifat penggunaan lainnya. Kerusakan yang disebabkan oleh jamur pelapuk dapat
dilihat Gambar 6.
Gambar 6. Diagram yang memperlihatkan berbagai model pengrusakan dinding sel oleh jamur
tipe white rot, brown rot, dan soft rot (Zabel and Morrell, 1992)
62
2.
kemampuan bertahan jamur dalam kayu. Seperti halnya semua organisme hidup, jamur
memiliki kebutuhan tertentu untuk pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Kebutuhan
pertumbuhan utama jamur penghuni kayu (Zabel and Morrel, 1992), yaitu:
1. Air air bebas pada permukaan rongga sel
2. Oksigen oksigen atmosfir pada level relatif rendah untuk kebanyakan jamur dan
level sangat rendah atau oksigen kimia hanya untuk beberapa jamur mikroaerobik
dan anaerobik fakultatif.
3. Kisaran suhu yang sesuai suhu optimum untuk kebanyakan jamur penghuni kayu
berkisar 1545oC
4. Substrat yang dapat dicerna (kayu dan lain-lain) menyediakan energi dan hasil
metabolit untuk sintesis melalui metabolisme
5. Kisaran pH yang sesuai pH optimum untuk kebanyakan jamur penghuni kayu
berkisar pH 3-6
6. Faktor kimia pertumbuhan senyawa nitrogen, vitamin, dan unsur-unsur penting
(esensial).
Dua faktor terakhir seringkali tercakup dengan substrat. Keberadaan zat ekstraktif
beracun, meskipun tidak dibutuhkan, perlu untuk pertumbuhan kebanyakan jamur pada
kayu. Cahaya tampak dibutuhkan oleh beberapa jamur untuk perkembangan struktur
penghasil spora dan dapat memainkan peranan dalam fungsi fisiologis lainnya. Sinar
UV pada level tinggi menimbulkan kematian pada kebanyakan jamur.
Pada tingkat molekular melalui reaksi enzimatik, setiap faktor pertumbuhan di
atas berperan sebagai:
1. Air adalah medium difusi untuk enzim dan O2, reaktan dalam reaksi hidrolisis
komponen kimia kayu, dan medium pelarut untuk semua bahan kimia sel.
2. Oksigen (bebas) elekton utama dan akseptor hidrogen pada reaksi oksidasireduksi aerob yang menghasilkan energi, membentuk H2O.
63
3. Suhu mengendalikan laju reaksi dan pada level lebih tinggi merusak stabilitas
struktur enzim.
4. Substrat menyediakan energi dasar, tempat produk metabolit untuk sintesis, dan
juga sumber nitrogen dan vitamin bagi jamur.
5. Logam minor dan vitamin memainkan peranan penting sebagai cofaktor atau
coenzim pada berbagai reaksi enzimatik.
6. Konsentrasi ion hidrogen (pH) memberikan level optimal bagi berbagai reaksi
enzim dan stabilitas protein.
3.
menyerang komponen kimia penyusun dinding sel kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa,
dan lignin.
pelapukan yang berdampak pada sifat-sifat kayu, seperti perubahan kimia kayu,
kekuatan, dan fisik kayu.
a.
jamur. Jamur pewarna tidak menyebabkan perubahan sifat kimia pada komponen kimia
dinding sel. Sebaliknya jamur pelapuk dapat merubah sifat tersebut dengan derajat yang
berbeda, tergantung tipe jamur pelapuknya.
White rot fungi
Jamur ini mampu menyerang dan memetabolisme seluruh komponen utama kayu. Ciri
khas jamur ini adalah kemampuannya untuk mendepolimerisasi dan memetabolisme
lignin. Komponen utama dinding sel dimanfaatkan dengan urutan dan laju yang
beragam oleh jamur white rot yang berbeda, yang dipengaruhi oleh kemampuan
enzimatiknya. Liese (1970) mengelompokkan jamur ini menjadi:
a. Simultaneous white-rotter: menyerang semua komponen dinding sel secara seragam
pada seluruh tahap pelapukan
Contoh: Coriulus (Trametes) versicolor, Irpex lacteus
64
b. Sequential white-rotter: menyerang semua komponen dinding sel, tetapi pada tahap
awal serangan terjadi secara selektif pada hemiselulosa dan lignin.
Contoh: Phellinus pini, Heterobasidion annosum
Gambaran umum pemanfaatan komponen kayu oleh white rot diringkas sebagai berikut:
1. Semua komponen dinding sel dikonsumsi, dengan pengecualian mineral yang relatif
sedikit. Terdapat variasi urutan dan laju pemanfaatan komponen baik oleh species
maupun strain jamur dalam satu species.
mendekati 95-97% dari bahan awal kayu bila ekspos berkepanjangan terjadi pada
kondisi optimal pelapukan.
2. Pada semua tahap pelapukan, sisa kayu memiliki kelarutan NaOH 1% yang rendah
(kelarutan dalam alkali), menandakan bahwa hasil pemutusan komponen kimia oleh
pelapukan dimanfaatkan oleh jamur secara cepat.
3. Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tersisa pada bagian yang tidak mengalami
pelapukan menampakkan tidak terjainya perubahan penting, yang menandakan
bahwa white rot mengkonsentrasikan serangannya pada permukaan dinding sel yang
terpapar. Selanjutnya, enzim secara perlahan-lahan mengikis jalannya ke dalam
dinding sel dari permukaan rongga sel.
Brown rot fungi
Terutama mendekomposisi karbohidrat dinding sel, meninggalkan residu lignin
yang terdemetoksilasi. Karbohidrat dikeluarkan secara selektif pada tahap akhir
serangan brown rot telah digunakan untuk mempelajari distribusi lignin pada dinding
sel (Cot el al., 1966). Hemiselulosa dikeluarkan lebih cepat daripada selulosa pada
tahap awal pelapukan. Highley (1977) memperlihatkan bahwa suplemen karbohidarat
seperti manan diperlukan selama depolimerisasi selulosa murni oleh Postia (Poria)
placenta. Brown rot berbeda dengan white rot dalam mendepolimerisasi karbohidrat
secara ekstensif/meluas pada dinding sel sekunder pada tahap awal proses pelapukan
(Kirk and Highley, 1973).
Brown rot mengubah kayu dengan cara berikut selama perkembangan pelapukan
berlanjut:
65
66
x 100
Berat awal (OD)
67
4) Higroskopitas (hygroscopity)
Karena
enzim
mikrobial
mendegradasi
bahan
ligno-karbohidrat,
jamur
menyebabkan perubahan kapasitas memegang air dinding sel kayu. Secara umum,
EMC (Equillibrium Moisture Content) kayu yang terserang brown rot lebih rendah
daripada kayu segar, sedangkan EMC kayu yang terserang white rot lebih tinggi
bila menyebabkan kehilangan berat >60% (Cowling, 1961). Peningkatan EMC
mulai pada kehilangan berat sekitar 40% pada white rot, sedangkan brown rot
mengalami penurunan EMC yang sangat tajam pada tahap awal pelapukan. Hal ini
disebabkan serangan terutama pada selulosa amorf. Selulosa amorf menahan level
penyerapan air lebih tinggi daripada daerah kristalin selulosa, dan pengeluaran
daerah amorf secara cepat menurunkan kapasitas memegang air pada kayu secara
keseluruhan. Tidak adanya perubahan EMC pada tahap awal serangan white rot
kemungkinan disebabkan pengeluaran secara seragam semua komponen kayu,
sedangkan peningkatan EMC pada tahap akhir pelapukan dapat menggambarkan
bahwa jamur menyerang secara selektif daerah kristalin selulosa.
5) Nilai kalor (calor value)
Karena agen mikrobial mengkolonisasi dan memanfaatkan substrat kayu, jamur
mengeluarkan dan merubah bahan kayu menjadi biomassa mikrobial, CO2, H2O,
dan produk limbah metabolit. Meskipun biomassa mikrobial akan memberikan
konstribusi sedkit terhadap nilai kalor, kandungan net energy dari kayu lapuk
mengalami penurunan. Nilai kalor ini diperlukan untuk menghasilkan sejumlah
panas.
6) Permeabilitas (permeability)
Meskipun beberapa jamur penghuni kayu berpenetrasi secara langsung ke dalam
dinding sel untuk bergerak dari satu sel ke sel lainnya, kebanyakan jamur pelapuk
pada awalnya bergerak berpenetrasi melalui noktah. Karena noktah memainkan
peranan dalam pengaliran cairan pada serat dan tracheid, pengeluaran membran
noktah membuat kayu lebih mudah menerima pergerakan cairan. Sebagai akibat
perubahan tersebut, kayu lapuk mengabsorpsi dan mendesorpsi cairan lebih cepat
daripada kayu segar.
7) Sifat kelistrikan (electrical properties
68
Kayu memiliki konduktivitas listrik yang lebih rendah daripada bahan konstruksi
lain seperti baja, dan karena alasan inilah kayu umumnya digunakan untuk
mendukung sistem distribusi listrik. Pada kayu yang telah terdegradasi,
konduktivitas listriknya meningkat (Richard, 1954). Tahanan listrik kayu segar
lebih tinggi, sedangkan kayu yang telah lapuk atau terdekolorasi tahanan listriknya
50-75% lebih rendah daripada kayu segar, yang diukur dengan Shigometer.
8) Sifat akustik (acustic properties)
Kayu memiliki sifat penghantar gelombang suara dan menghasilkan karakteristik
emisi suara bila kayu ditekan secara mekanik. Kemampuannya akan berubah bila
kayu dikolonisasi oleh agen mikrobial (Pellerin et.al., 1986; Noguchi et.al., 1986).
Perubahan sifat akustik ini dapat digunakan untuk mendeteksi tahapan pelapukan.
Karena gelombang suara bergerak melalui kayu, suara akan melewati lubang akibat
pelapukan. Karakteristik lain dari kayu seperti lingkaran tahun, mata kayu, retak
dan lain-lain dapat mengubah pola gelombang suara.
c.
Teknik Pengendalian
Pada dasarnya, pengendalian jamur menyerang kayu sangat terkait dengan ekologi
jamur atau faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Menurut Zabel and
Morrell (1991), pengendalian jamur, terutama jamur pelapuk kayu dapat dilakukan
sebagai berikut:
(1) Infusi dengan bahan beracun atau modifikasi kimia
(2) Menjaga kayu tetap kering, yaitu di bawah kadar air titik jenuh serat
(3) Merendam atau menyemprot kayu dalam air
(4) Memusatkan penyimpanan kayu bulat pada musim dingin; pemanasan sampai steril
(5) Perlakuan pemberian larutan alkali untuk pengendalian stain
(6) Pengawetan kayu; pemanasan kayu untuk menghancurkan vitamin.
(7) Menggunakan kayu awet.
C. SERANGGA PERUSAK KAYU (WOOD DESTROYING INSECTS)
Serangga (kelas: Insecta) termasuk dalam filum hewan terbesar yaitu Anthropoda.
Anthropoda dicirikan oleh exoskeleton yang keras yang bersegmen. Serangga memiliki
69
3 bagian tubuh, yaitu kepala, thorax dan abdomen di mana terdapat sepasang sayap
seperti Gambar 7.
Gambar 7. Gambaran umum kumbang Anobium: Kepala dengan antena (a), prothorax (b),
thorax, kaki, dan abdomen
Kepala serangga bergabung dengan thorax, tempat sepasang antena, mulut yang terdiri
atas sepasang mandibel, dua pasang maxillae, labrum dan labium dan sepasang mata
majemuk. Mandibel larva serangga pengerek kayu terspesialisasi untuk menggerek ke
dalam kayu. Thorax terbagi atas tiga segmen (pro-, meso-, dan metahorax) masingmasing memiliki sepasang kaki.
Pada
kebanyakan serangga dua pasang sayap juga muncul dari thorax. Pada beberapa
serangga sayap tidak berkembang, hanya ada dalam waktu pendek dari siklus hidup atau
tersisa sebagian. Abdomen terdiri atas segmen-segmen, umumnya tanpa alat tambahan
kecuali struktur sensor dan genital (reproduksi) pada segmen terakhir.
Siklus Hidup Serangga
Serangga melewati tahapan perkembangan dari telur sampai dewasa secara seksual,
kawin dan menghasilkan generasi dalam siklus hidupnya. Perubahan ini disebut
metamorfosis. Penampakan dan prilaku setiap tahapan berbeda-beda. Panjang siklus
hidup dihitung mulai dari waktu fertilisasi sampai kematian serangga. Pada kebanyakan
serangga perusak kayu siklus hidup dapat berlangsung beberapa tahun.
70
Pada umumnya, ada dua jenis siklus perkembangan serangga yaitu metamorfosis
tidak sempurna dan metamorfosis sempurna (Gambar 8). Pada metamorfosis tidak
sempurna serangga melewati tiga tahap perkembangan telur, nimfa, dan dewasadan
terjadi pada kelompok kecil serangga penghuni kayu seperti rayap (ordo: Isoptera).
Pada awalnya, nimfa tidak menyerupai serangga dewasa tetapi karena nimfa tumbuh
akhirnya menyerupai serangga dewasa termasuk bentuk mulut. Metamorfosis tidak
sempurna diistilahkan hemimetabolous, dengan perkembangan bentuk sayap di luar
tubuh serangga. Pada metamofosis sempurna serangga melewati 4 tahap telur, larva,
pupa dan dewasa dan terjadi pada banyak kelompok serangga penghuni kayu seperti
Coleoptera, Hymenoptera dan Lepidoptera. Tahap larva memakan kayu dan mengalami
ganti kulit yang memungkinkan ukuran tubuh bertambah selama pertumbuhan. Ada
perubahan yang nyata dalam penampakan dari setiap tahapan dan tipe ini dikenal
Holometabolous, dengan perkembangan bentuk sayap di dalam tahap larva. Pada
kebanyakan serangga perusak kayu, kerusakan terjadi pada tahap larva, meskipun pada
beberapa ada juga yang merusak kayu pada tahap larva dan dewasa.
sempurna
Nutrisi
Serangga perusak kayu memiliki bagian mulut yang dapat beradaptasi untuk
merobek dan mengunyah bahan padat menjadi partikel ukuran tertentu, yang bervariasi
dari hanya melintang dinding sel pada Hylotrupes sampai bubuk halus pada Lyctus.
71
Ukuran lubang yang dihasilkan oleh larva serangga penggerek kayu tergantung pada
ukuran larva, meskipun jumlah bahan yang dikeluarkan dalam sekali gigitan beberapa
kali lebih besar daripada luasan yang diakibatkan oleh hifa jamur tunggal dan minimal
akan menjangkau beberapa dinding sel pada arah melintang. Proses pemutusan dan
absorpsi makanan terjadi dalam sistem usus serangga (Gambar 9), yang dimulai pada
saat fragmen kayu dicerna ke dalam mulut. Untuk berkembang, serangga perusak kayu
(wood-destroying insect) memerlukan berbagai sumber nutrien, air, nitrogen organik,
dan karbon organik, yaitu air bebas dan air terikat dalam kayu, bahan makanan serta
bahan struktural kayu.
Pada umumnya, usus serangga terbagi atas tiga bagian, yaitu usus depan (foregut),
usus tengah (midgut), dan usus belakang (hindgut). Semua segmen usus
memperlihatkan
gerakan
mengaduk
dan
peristaltik,
yang
mencampur
dan
Adaptasi foregut
midgut. Untuk mencegah keluarnya partikel yang digiling ke dalam midgut serangga
dilengkapi dengan sphincter.
Kebanyakan proses pencernaan karbohidrat, protein dan lipid terjadi di midgut,
meskipun sebagian pencernaan selulosa yang disebabkan enzim selulase mikroba juga
terjadi di hindgut pada beberapa kelompok serangga, khususnya rayap tingkat rendah.
Enzim selulase serangga umumnya ditemukan di midgut. Absorpsi air, monomer hasil
degradasi polimer (monosakarida, asam amino) dan trigliserida terjadi di midgut,
meskipun beberapa absorpsi juga terjadi di hindgut.
Pada umumnya, kadar air kayu yang mendukung perkembangan kebanyakan
serangga perusak kayu bisa lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk
perkembangan jamur, kecuali serangga penyerang kayu basah. Serangan dapat terjadi
sebelum dilakukan pengeringan udara (seasoning) pada kayu segar (contoh: kumbang
ambrosia hanya menyerang kayu dengan kadar air >30%), atau jamur pelapuk kayu
basah (contoh: Naccerdes malanura). Pada kelembaban terendah, rayap kayu kering
(contoh: Kalotermes) dapat memanfaatkan kayu dengan kadar air 5-6% (Wilkinson,
1979). Di sejumlah daerah temperate, Anobium punctatum bertahan hidup pada kayu
struktural berkadar air 12% (Cymorek, 1968) meskipun perkembangan optimal larva
terjadi pada titik jenuh serat (Hickin, 1975). Anobium dapat bertahan hidup pada
kondisi basah tetapi tidak dapat hidup pada kayu yang secara permanen penuh air,
karena kadar air yang tinggi akan menghambat aktivitas beberapa serangga.
Kandungan nitrogen kayu tertinggi terdapat pada bagan terluar kayu gubal (contoh:
kayu gubal terluar Pinus sylvestris 0,098%, empulur 0,040%) tetapi penyebaran ulang
bahan bernitrogen ke bagian sisi luar dapat terjadi selama pengeringan. King et.al.
(1973) mencatat bahwa setelah pengeringan, permukaan balok Pinus sylvestris
memperlihatkan level nitrogen 0,22%, sedangkan pusat balok 0,041%. Kadar nitrogen
umumnya rendah dalam kayu dan level 0,03% merupakan batas terendah untuk
mendukung hidup Hylotrupes bajulus (Becker, 1963). Kadar nitrogen yang ada dalam
kayu sebenarnya cukup bagi sejumlah serangga penggerek kayu, namun penambahan
pepton pada kayu ternyata dapat meningkatkan laju perkembangan Hylotrupes (Becker,
1943). Larva Anobium punctatum dapat terjaga dalam kayu dengan kadar nitrogen
sangat rendah dan bahkan dilaporkan memiliki kemampuan mengikat nitrogen (Anon.,
73
1968; Baker et.al., 1970). Pengayaan nutrisi melalui pemutusan karbohidrat kayu secara
parsial oleh mikrobial dapat merubah ratio C/N, yang membantu perkembangan
serangga; tetapi adanya aktivitas bakteri pengikat nitrogen membantu memperkaya
nutrien bagi sejumlah rayap.
Jaringan kayu dapat diputuskan atau dirombak menjadi monomer karbohidrat dan
lignin. Serangga memperlihatkan kisaran kemampuan yang luas dalam memutuskan
kayu mulai yang hanya memanfaatkan pati dalam kayu seperti Lyctus (Parkin, 1963)
sampai yang dapat mencerna selulosa, hemiselulosa dan juga lignin seperti Anobium
punctatum (Baker, 1969), meskipun pemutusan lignin tidak seintensif seperti terjadi
pada beberapa jenis rayap (Butler dan Buckerfield, 1979). Serangga lain yang
mendegradasi kandungan sel dan hemiselulosa seperti Scolytidae, sedangkan Anobiidae
dan kebanyakan Cerambycidae dapat memanfaatkan karbohidrat dinding sel termasuk
selulosa (Parkin, 1936; 1940). Preferensi beberapa serangga terhadap jenis kayu sangat
terkait dengan nutrisi atau sumber makanannya. Genus seperti Lyctus berkembang cepat
tetapi hanya dapat menyerang kayu yang kaya pati, sedangkan Anobium berkembang
lambat tetapi dapat mencerna berbagai jenis kayu.
Sejumlah serangga memproduksi enzim selulase sendiri seperti Hylotrupes bajulus
(Falck, 1930). Namun, kebanyakan dibantu berbagai mikroorganisme dalam sistem
pencernaannya, baik dalam hindgut, enzim yang dihasilkan mikrobial yang mencerna
makanan, maupun pada makanan sebelum diserang (rayap tingkat tinggi mencerna
makanan yang sebelumnya telah diserang jamur Termitomycetes) atau yang diberi
perlakuan pendahuluan oleh mikroorganisme sebelum dicerna. Tempat dan sumber
degradasi lignin dalam serangga belum banyak diketahui atau ditemukan meskipun
Butler dan Buckerfield (1979) yang bekerja dengan rayap tingkat tinggi Nasutitermes
exitiosus berspekulasi bahwa polimer lignin diputuskan di usus dan selanjutnya
dimetabolisme anaeorob oleh jaringan rayap.
74
Hal yang menarik bahwa serangga dapat bertindak sebagai vektor penyakit
pada kayu segar yang diserangnya (Crowson, 1981). Beberapa kumbang ambrosia
(contoh: Xyloterus, Platipodidae; Xyleborus, Scolytidae) mendiami kayu yang baru
dikuliti dan bertahan hidup dengan menumbuhkan dan memakan stain fungi (contoh:
Ambrosiella spp.) dan jamur ragi di dan sekitar lubang gerek.
Woodwasp (Siricidae dan Xiphydriidae) menyerang spora basidiomycetes dalam
kayu selama peletakan telur (Franke-Grossmann, 1939). Larva woodwasp Sirex cyaneus
akan bertahan hidup pada kayu sehat tetapi akan hidup normal pada kultur murni
simbion Amylostereum chailettii (Cartwright, 1929; Stillwell, 1966). Martin (1984)
menekankan bahwa makanan woodwasp terdiri atas jamur dan kayu, dan enzim jamur
membantu mereduksi kandungan selulosa kayu yang dicerna. Jamur basidiomycetes lain
yang berasosiasi dengan woodwasp adalah Stereum sanguinolentum, Amylostereum
areolatum dan Daedalea unicolor (Franke-Grossmann, 1967; Madden dan Coutts,
1979).
Rayap tingkat tinggi (Termitidae, sub-family Macrotermitinae) Macrotermes
natalensis adalah contoh lain serangga yang menumbuhkan jamur (Martin, 1984). Pada
sarangnya, rayap menumbuhkan sisiran jamur dari fragmen kecil tumbuhan atau
jaringan kayu yang dicerna rayap. Berbagai jamur termasuk basiodiomycetes
Termitomycetes dan beberapa jamur xylariaceous ditumbuhkan dan berkembang pada
75
bahan.
Nodula
(mycotetes)
menghasilkan
conidiospora
Termitomycetes
pada
permukaan sisiran yang terurai dan serangga mengkonsumsi jamur serta bahan sisiran
yang terurai. Ketidakadaan bahan sisiran menyebabkan serangga dengan cepat
kelaparan sampai mati, namun dengan adanya bahan sisiran dan kayu segar serangga
akan bertahan hidup untuk periode waktu yang lama. Martin menegaskan bahwa
meskipun serangga mampu mensintesis enzim selulase yang aktif pada selulosa nonkristalin, serangga tetap mengandalkan nodula jamur untuk mengaktifkan enzim
selulase pada selulosa kristalin.
Pada Sirex dan Macrotermes, pra-pencernaan oleh jamur menghasilkan peningkatan
nilai nutrisi bahan maupun akuisisi enzim mikrobial. Death watch beetle Xestobium
rufovillosum (Anobiidae), hanya menyerang kayu keras yang dipra-kondisi melalui
pelapukan (Fisher, 1940, 1941; Bletchly, 1966). Death watch beetle menyerang kayu
willow (Salix sp.) yang dilapukkan oleh berbagai jamur Basidiomycetes (termasuk
Trametes (Coriolus) versicolor, Coniophora putena) dan ascomycetes Xylaria
hypoxylon. Pada kayu aok jamur pelapuk kayu berasosiasi dengan Laetiporus
sulphureus, Fistulina hepatica dan Donkioporia expansa (Phellinus cryptarum). Pada
tingkat pelapukan yang lebih besar, waktu untuk menyelesaikan siklus hidup death
watch beetle dan jumlah kerusakan yang disebabkan oleh larva diperkirakan lebih
pendek (Fisher, 1941). Pada kayu lapuk dengan pengurangan bobot sekitar 40%, siklus
hidup berkurang secara drastis.
Pada larva famili Coleoptera penghuni kayu seperti Bostrychidae (termasuk
Lyctidae), Anobiidae dan beberapa Cerambycidae, organ khusus yang disebut
Mycetoma dihubungkan ke usus. Pada Anobium dan genus Anobiidae lain serta pada
Cerambycida struktur ini mengandung simbion seperti ragi, sedangkan pada
Bostrycidae menampakkan simbion bakteri (Crowson, 1981). Pada sejumlah kasus,
kumbang yang menghasilkan mycetoma telah memperlihatkan perkembangan normal
tanpa adanya simbion meskipun biasanya membutuhkan tambahan nutrien, terutama
vitamin B dan steroid. Peranan simbion adalah untuk menghasilkan nutrisi penting
tertentu.
Meskipun rayap tingkat tinggi (Macrotermes, Termitidae) mempunyai simbion
jamur, rayap kayu kering (Kalotermitidae), rayap kayu basah, dan semua rayap lainnya
76
mempunyai protozoa dan bakteri pada mikrobiota usus belakang (Breznak, 1984) pada
rasio 1 : 100 sel. Pada beberapa kasus, juga ditemukan Actinomycetes. Pada usus
beberapa rayap tingkat tinggi protozoa ditemukan tetapi peranannya kecil. Bakteri juga
ditemukan dalam jumlah kecil pada segmen usus beberapa rayap tingkat rendah dan
bakteri yang secara morfologi dapat diidentifikasi pada kultur murni. Jumlah mikrobial
pada usus rayap Reticulitermes flavipes diperkirakan berkisar 109 1010 per ml bakteri
dan 107 per ml protozoa. Bakteri yang diisolasi meliputi Streptococcus, Bacteriodes,
berbagai Enterobacteriaceae, Staphylococcus dan Bacillus.
Protozoa pada usus rayap bertanggung jawab memutuskan selulosa kayu dan
bakteri memberikan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan untuk aktivitas protozoa.
Partikel kayu yang melewati hidgut diendositosis oleh protozoa dan dimetabolisme
secara anaerob menjadi CO2, H2 dan asetat yang dilepaskan oleh protozoa. Asetat
digunakan sebagai sumber energi yang dapat dioksidasi oleh rayap. Protozoa usus rayap
berperan dalam pembiakan bakteri hidgut dan sejumlah total karbon yang diubah
diassimilasi oleh bakteri dan diubah menjadi gas CH4 (metana) dalam persentase kecil.
Breznak (1984) menduga bahwa bakteri dapat menyediakan sumber nutrisi tambahan
untuk protozoa dan membantu dalam menjaga kondisi anaerob yang dibutuhkan oleh
protozoa.
1. Rayap (Termites)
Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan
terutama terdapat di daerah-daerah tropis. Sampai saat ini para ahli hama telah
menemukan kira-kira 2.000 jenis rayap yang tersebar di seluruh dunia (Harris, 1971),
sedangkan di Indonesia sendiri telah ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap
(Tarumingkeng, 1971). Di Indonesia rayap tergolong ke dalam serangga utama perusak
kayu. Kerugian akibat serangan rayap tidak kecil, karena mampu menghancurkan
bangunan yang berukuran besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula.
Kerusakan bukan hanya terjadi pada kayu, tetapi juga kertas, karton, pakaian, jaringanjaringan tanaman dan berbagai jenis bahan berselulosa lainnya termasuk dokumendokumen dan hasil-hasil kesenian yang sangat berharga (Spear, 1968).
77
a.
dalam golongan fauna tanah. Secara morfologis rayap memiliki tiga bentuk yang sangat
berlainan. Ketiga bentuk tersebut mencerminkan kasta rayap dan setiap kasta memiliki
fungsi dan tugas yang berbeda.
Semut dan Rayap
Di beberapa negara rayap disebut pula sebagai semut putih atau white ant karena
bentuk tubuhnya yang mirip semut. Di kalangan ahli entomologi rayap dan semut
mudah dibedakan. Rayap memiliki antena yang lurus dan berbentuk menyerupai manikmanik, sedangkan semut memiliki bentuk antena yang menyiku. Thorax dan abdomen
rayap bergabung dalam ukuran yang sama, sedangkan thorax dan abdomen semut
bergabung dengan pinggang yang meramping. Sayap-sayap rayap memiliki bentuk,
ukuran dan pola yang serupa disertai pertulangan sayap yang banyak dan berukuran
kecil, sedangkan sayap semut memiliki bentuk, ukuran dan pola yang berlainan dengan
pertulangan yang sedikit.
Sifat-Sifat Rayap
Dalam hidupnya rayap mempunayi beberapa sifat penting, yaitu:
1. Thropalaxis; sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan
pertukaran makanan.
2. Cryptobiotic; sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap
bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode yang pendek didalam
hidupnya memerlukan cahaya (terang).
3. Canibalism; sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah atau sakit.
Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalamkeadaan kekurangan makanan.
4. Necrophagy; sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya yang masih segar.
78
79
pengawetan hasil hutan, golongan rayap kayu kering dan rayap tanah merupakan
golongan yang terpenting karena jenis-jenisnya menyebabkan sebagian besar dari
kerusakan-kerusakan yang bersifat zoologis pada bangunan-bangunan kayu di Indonesia.
a) Rayap Basah (dampwood termite)
Golongan rayap ini biasanya menyerang kayu-kayu busuk atau pohon-pohon mati.
Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.
Contoh: Glyprotermes spp.
b) Rayap kayu kering (drywood termite)
Golongan rayap ini biasa menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang
digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain.
Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.
Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12%
atau lebih rendah. Contoh: Cryptotermes spp.
c) Rayap pohon (tree termite)
Golongan rayap ini menyerang pohon-pohon hidup. Rayap ini bersarang di dalam
pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh: Neotermes spp.
d) Rayap tanah (subterranean termite)
Golongan rayap ini bersarang dalam tanah, tetapi dapat juga menyerang bahanbahan di atas tanah karena selalu mempunyai terowongan pipih terbuat dari tanah
yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya. Untuk hidupnya
rayap ini membutuhkan kelembaban yang tinggi, serta bersifat kriptobiotik.
Golongan rayap ini meliputi anggota Fam. Rhinotermitidae dan sebagian dari Fam.
Termitidae (Hunt and Garrat, 1967). Contoh: Coptotermes spp.
Ordo isoptera dibagi atas enam famili, yaitu: Mastotermitidae, Hodotermitidae,
Kalotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae dan Termitidae (Harris, 1971).
a) Rayap tingkat rendah (lower termites)
Memiliki protozoa dan bakteria di usus, yang membantu memutuskan bahan
lignoselulosa yang dicerna
1. Mastotermitidae rayap tanah, sarang di bawah tanah, spesies tunggal
Mastotermes darwinensis ditemukan di Australia Utara.
82
: Neotermes
: Neotermes dalbergia Kalshoven
: Cryptotermes
: Cryptotermes cynocephalus Light
Cryptotermes domesticus Haviland
Cryptotermes dudleyi Banks
b) Famili Rhinotermitidae
1. Subfamili: Coptotermitidae
a. Genus
: Coptotermes
83
Species
2. Subfamili: Rhinotermitidae
a. Genus
Species
b. Genus
Species
: Prorhinotermes
: Prorhinotermes ravani
: Schedorhinotermes
: Schedorhinotermes javanicus Kemner
Schedorhinotermes tarakanensis Oshima
Schedorhinotermes tranlucens Haviland
c) Famili Termitidae
1. Subfamili: Amitermitidae
a. Genus
Species
: Microcerotermes
: Microcerotermes dammermani
2. Subfamili: Termitidae
a. Genus
Species
: Capritotermes
: Capritotermes butenzorg Holmgren
Capritotermes mohri Kemner
Capritotermes santchini Silvestri
3. Subfamili: Macrotermitidae
a. Genus
Species
: Macrotermes
: Macrotermes carbonarius Hagen
Macrotermes gilvus Hagen
Macrotermes malacensis Haviland
b. Genus
Species
: Odontotermes
: Odontotermes grandiceps Holmgren
Odontotermes javanicus Holmgren
Odontotermes makassarensis Kemner
c. Genus
Species
: Microtermes
: Microtermes insperatus Kemner
4. Subfamili: Nasutitermitidae
84
a. Genus
Species
: Nasutitermes
: Nasutitermes acutus Holmgren
Nasutitermes matangensis Haviland
Nasutitermes matangensiformis Holmgren
b. Genus
Species
: Bulbitermes
: Bulbitermes durianensis Roonwal and Maiti
Bulbitermes lakshmani Roonwal and Maiti
c. Genus
Species
d. Genus
Species
: Lacessititermes
: Lacessititermes batavus Kemner
: Hospitalitermes
: Hospitalitermes diurunus Kemner
Hospitalitermes irianensis
b.
Kondisi Serangan
Setiap jenis memiliki pola hidup, kondisi serangan dan tanda serangan yang
Hidupnya tergantung pada kadar air kayu yang diserangnya (10-12% bahkan
sangat kering <3%).
2.
Tidak ada kontak dengan tanah atau sumber air lainnya. Umumnya ditemukan
pada daerah pantai yang memiliki kelembaban rata-rata lebih tinggi daripada
daerah pedalaman.
Gundukan pellet fecal, warna bervariasi dari abu-abu rerang sampai sangat
coklat gelap bergantung jenis kayu yang dikonsumsi. Pellet ini keras,
memanjang, panjang 1/25 (1 mm), ujung membulat berbentuk persegi 6 dan
sisi tertekan cekung.
2.
3.
2.
Koloni ditemukan pada kayu yang terkubur dalam tanah, tetapi kebanyakan
species juga membangun sarang di pohon atau di atas tiang kayu.
3.
Tanda awal adalah pemunculan swarmer atau sayap yang tersebar dalam jumlah
banyak.
2.
Adanya shelter tube yang dibangun rayap di atas pondasi dinding, dalam celah
antara sejumlah struktur, atau pada kayu yang terserang.
3.
Kerusakan dalam kayu (internal damage) kadang dideteksi dengan alat tajam
atau dipukul permukaan untuk mendeteksi perbedaan suara (bergema). Secara
elektik, dapat dideteksi dengan alat Termite Acoustic Emmision.
Koloni bertempat tinggal pada tanah basah dan kadang pada kayu yang telah
lapuk, seperti menyerang kayu bangunan dan jembatan.
2.
Beberapa koloni dapat melakukan aktivitas dalam kayu segar dan juga kayu
yang relatif kering, selama rayap ini dapat melakukan kontak dengan kayu
basah.
3.
2.
Celah dan retakan dalam kayu yang terserang dapat ditutupi oleh fellet fecal dan
bahan fecal yang lembut, dan pada kayu kering dapat terakumulasi di bawah
kayu yang terserang.
c.
Tindakan Pengendalian
Seperti jenis serangga hama lain, rayap perusak kayu mempunyai hubungan yang
erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Di dalam ilmu pengendalian serangga hama,
dikenal tiga mata rantai yang saling berhubungan dan saling berpengaruh. Ketiga mata
rantai tersebut adalah serangga hama (pest insect), inang (host) dan lingkungan
(environment). Kayu dianggap sebagai inang bagi rayap perusak, karena rayap hidup
dan makan di dalam kayu. Lingkungan hidup rayap terdiri atas faktor fisik dan biologis.
Faktor fisik antara lain suhu dan kelembaban, sedangkan faktor biologis terdiri atas
organisme lain yang hidup di sekitarnya.
Keberhasilan usaha
mengendalikan hubungan antara ketiga mata rantai tersebut. Menurut Kofoid (1946)
cara-cara untuk mencegah serangan rayap adalah:
a. Menghindari kontak langsung antara kayu dengan tanah
b. Kayu-kayu yang dipakai sebagai tiang rumah sebaiknya ditunjang dengan beton
pada bagian dasar
c. Menghindari retakan-retakan pada lantai tembok atau pondasi
d. Menggunakan perisai logam di bawah pondasi
e. Mengusahakan terciptanya kekeringan yang maksimum atau kelembaban yang
tinggi dalam kayu pada setiap penggunaan
f. Membuang sisa-sisa kayu, karena kayu dan tonggak yang tertinggal dalam tanah
dapat menjadi sumber penularan
g. Merusak sarang dan membunuh penghuninya
h. Mengadakan kontrol secara kontinu terhadap bangunan atau rumah
i. Menggunakan insektisida seperti DDT 8%, BHC 8%, Chlordane 1% dan Aldrin
0,5% dalam air atau minyak
87
Identifikasi
serangga yang bertanggung jawab secara tepat seringkali penting karena dalam
beberapa kasus kerusakan tidak terjadi bila dalam penggunaannya kayu dikeringudarakan (dry seasoning) atau dikeringkan kembali (redrying). Pada contoh lain
kemungkinan serangan ulang dapat menjadi pilihan ukuran pengendalian alternatif,
88
misalnya perlakuan pengendalian dengan bahan kimia pengawet. Jenis kumbang dapat
diidentifikasi dari beberapa gambaran serangan, misalnya ukuran dan bentuk lubang
terbang, tipe frass/kotoran, dan karakteristik gallery atau terowongan; tetapi identifikasi
sampai level species seringkali membutuhkan pengujian dari serangga itu sendiri pada
beberapa tahap dari siklus hidupnya. Biasanya serangga dewasa lebih disukai karena
ekstraksi larva secara utuh lebih sulit.
a.
89
terpenting bagi produksi dan struktur kayu. Kerusakan yang ditimbulkan tidak jauh
berbeda dengan Lyctus (Kollman, 1968). Kayu yang dirusak biasanya kayu tua
termasuk kayu lapis. Lubang gerek kecil, bulat dan mengeluarkan eksremen berbentuk
tepung. Tepung ini jika dilihat di bawah mikrospkop berbentuk silindris lancip.
Larvanya kecil, panjang rata-rata 1/3 inci atau 8.5 mm, berbentuk huruf c
(eruciform), berwarna keputih-putihan. Bagian punggungnya berduri kecil-kecil, bentuk
kepala bulat, mulut terletak di bagian bawah, kaki pada thorax dan beruas lima.
Famili Lyctidae
Penyebaran famili ini sangat luas, hampir di seluruh tempat di dunia (kosmopolitan).
Anggota famili ini berwarna merah kecoklat-coklatan, panjang badan rata-rata 2-7 mm
tergantung dari speciesnya (Kollman, 1968). Kumbang ini bertelur di dalam kayu, yaitu
memasukkan ovipositor ke dalam pori-pori kayu sedalam 1,5 cm. Beberapa dari
famili lyctidae yang terkenal adalah: (a) Lyctus brunneus, yang menyerang kayu kelas
awet rendah, meubel, papan rumah dan lain-lain; (b) Minthea rugicolis menyerang
bambu dan rotan; dan (c) Xylothrips flavipea yang menyerang kayu laban di Australia.
Kumbang ini hanya merusak kayu gubal serta kayu-kayu yang keawetannya rendah.
Siklus hidup lyctus (mulai telur sampai imago) rata-rata memakan waktu satu tahun.
Imago betina bertelur sebanyak 60 butir dan dimasukkan ke dalam pori kayu sedalam
1/8 inci atau 3,2 mm. Telur ini akan menetas menjadi larva dan larva inilah yang
sebenarnya merusak kayu, karena membuat saluran-saluran ke segala penjuru. Kayu
yang diserang oleh lyctus tidak tampak dari luar, selain di beberapa tempat terdapat
lubang-lubang kecil tempat imago keluar. Diameter lubang ini kira-kira 1,5 cm dan
pada lubang ini terdapat eksremen-eksremen berbentuk tepung yang warnanya
tergantung warna kayu yang diserangnya.
Di antara serangga bubuk kayu yang sangat penting dari segi pengaruh dan
besarnya kerusakan adalah Lyctus brunneus. Serangga ini hanya menyerang kayu daun
lebar dengan diameter pembuluh yang sangat besar untuk menerima telurnya. Kepekaan
kayu terhadap serangan ini ditunjukkan oleh kadar patinya, karena pati adalah zat
makanan pokok bagi larva lyctus. Oleh karena itu, kerusakan terbatas pada kayu gubal
dari species-species yang peka, yang menunjukkan variasi yang besar dalam kehebatan
90
serangan, tergantung pada kecepatan pengeringan kayu dan juga bergantung pada
musim pada waktu kayu ditebang. Jika pengeringan ditangguhkan atau kayunya
direndam dalam air sesudah kayu ditebang, maka sel-sel parenkim dalam kayu gubal
meneruskan kegiatan dan pati yang dikandungnya mungkin seluruhnya diubah menjadi
zat-zat lain, sehingga kayunyu akan kebal terhadap serangan lyctus. Di lain pihak, jika
kayu dikeringkan cepat atau dikenakan suhu yang tinggi seperti dalam pengukusan,
maka sel-sel parenkim mati sebelum persediaan pati dihabiskan dan karena itu kayu
gubal peka terhadap serangan.
berasosiasi dengan kayu yang kering angin atau dikeringkan di dalam tanur. Tetapi
penelitian pada kayu gubal oak yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa
meskipun lebih menyukai kayu kering, kumbang lyctus dapat menyerang kayu dengan
kadar air sampai 40%, telur-telur diletakkan dan larva berkembang dalam specimenspecimen dengan kadar air 10-18%. Jika kadar air turun <8%, kayu yang dipakai dalam
percobaa ini tidak diserang.
Papan, meubel, kayu banguan, kayu perkakas dan kayu bantalan kereta, tong-tong
kayu dan lain-lain produk yang dibuat dari kayu gubal dari species yang peka kerapkali
rusak berat dan kayu-kayu yang disimpan untuk waktu yang lama mungkin begitu rusak
sehingga praktis tidak dapat digunakan. Kerusakan dalam produk kayu daun lebar yang
dikeringkan mungkin besarnya 10-50% dari nilai persediaan kayu seorang pengusaha
atau penjual, sedang kerugian finansial di seluruh negara sudah pasti jutaan rupiah.
Famili Bostrychiidae
Famili ini sering juga disebut anger atau shot hole borers. Jenis ini mempunyai
bentuk dan cara hidup yang hampir mirip lyctus, sehingga banyak ahli hama yang
berpendapat bahwa lyctiidae adalah subfamili dari famili bostrichidae. Perbedaan dasar
antara keduanya disajikan pada Tabel 3.
91
Tabel 3. Perbedaan Dasar Kumbang Dewasa Lyctidae dan Bostrichidae (Hickin, 1975)
Lyctidae
Bostrichidae
Antena jarang berbentuk serrate; segmen Antena sering berbentuk serrate; segmen
2 kelompok (club)
3 kelompok
Serangannya pada kayu menyerupai serangan yang ditimbulkan oleh Lyctus pula,
tetapi ukuran saluran lebih besar, diameter rata-rata 1/101/8 inci atau 2,5 -3,2 mm.
Bentuk larvanya kecil, panjangnya -4/4 inci (6,35-19,1 mm), berwarna putih dan
berbentuk eruciform dan kepalanya berbentuk bulat.
Famili ini menyerang kayu yang mempunyai kelas awet rendah, dan memakan zat
tepung yang terdapat dalam kayu.
larva untuk berkembang. Jika konsentrasi albumen telah berkurang, larva ini kemudian
akan mati.
Setelah periode pupa dilewati (lebih kurang 3 minggu) serangga akan bertambah
besar dan setelah dewasa berwarna hitam. Kemudian kumbang ini akan keluar dari
lubangnya dan membuat lubang baru mengulangi silus hidupnya. Jenis yang terpenting
dari famili adalah Cholopherus anularis yang terdapat di Sumatera dan banyak
menyerang kayu-kayu kering.
B. Bubuk Kayu Basah
Kumbang ini menyerang kayu yang memiliki kadar air tinggi, sehingga dikenal
sebagai Bubuk Kayu Basah. Beberapa famili yang terpenting dalam ordo ini adalah:
Platypodidae, Scolytidae, dan Curculionidae
Famili Platypodidae dan Scolytidae Ambosia beetle
Kerusakan yang terjadi pada kayu yang baru dikuliti seringkali membingungkan
dengan yang ditimbulkan oleh beberapa serangga penggerek kayu pada kayu yang
sedang dikeringkan, yaitu jenis A. Punctatum dan Lyctus karena menghasilkan ukuran
terowongan yang mirip.
pertumbuhan jamur maka penyerangan akan berhenti. Umumnya untuk dapat hidup
kumbang membutuhkan kayu berkadar air 40%, sedangkan pada kadar air dibawah 25%
kumbang akan mati. Tidak ada frass terlihat seperti yang terdapat pada Anobium dan
Lyctus.
Meskipun penampakan kayu yang terserang kumbang ambrosia serupa dengan
kerusakan oleh anobium dan lyctus, serangan serangga yang terakhir tidak dicirikan
oleh terowongan yang berwarna, memiliki arah terowongan yang acak dan
menghasilkan frass. Hal ini tidak terlihat pada serangan kumbang ambrosia.
Kayu gergajian yang terserang ambrosia seringkali masih dapat digunakan karena
tidak menyebabkan masalah dalam pemakaian, terutama kekuatannya tidak banyak
terpengaruh. Namun, kerusakan pada log vinir dapat menurunkan harga vinir karena
adanya lubang-lubang yang kotor.
Famili Curculionidae Wood boring weevil
Diperkiraan sekitar 200.000 species weevil yang tersebar diseluruh dunia dan
hanya 35.00 species yang telah dideskripsikan (Hum, et.al., 1980).
Maskipun
merupakan famuli terbesar dari Coleoptera tetapi hanya sedikit yang dapat
menimbulkan kerusakan pada kayu struktural. Weevil penghuni kayu yang ditemukan
di Britania hanya menyerang kayu yang telah dilapukkan atau ditemukan pada daerah
yang terkait erat dengan kayu lapuk. Weevil berbeda dengan tipe serangga penghuni
kayu lain yang telah diuraikan sebelumnya karena serangga dewasa hidup dalam
periode yang panjang, yaitu sekitar 16 minggu seperti Pentarthrum huttoni. Serangga
dewasa aktif dapat ditemukan di- dan sekitar kayu yang terserang sepanjang tahun dan
baik serangga dewasa maupun larva dapat meyebabkan kerusakan pada kayu.
Serangga dewasa dapat dikenali dengan adanya moncong atau rostrum yang
terdapat pada bagian depan mata dan ujungnya kecil tapi bagian mulutnya kuat. Weevil
ini dapat membingungkan dengan weevil pada beras dari genus Sitophylus yang
memiliki ukuran dan warna yang mirip. Tetapi pada Sitophylus ellytra hanya sedikit
lebih panjang daripada pronotum (atas thorax), sedangkan weevil penggerek kayu
ellytranya hampir duakali lebih panjang.
94
Hum et.al. (1980) dan Hickin (1981) mendeskripsikan 3 species weevil yang
umum menggerek kayu yaitu Euophryum confine, E.rufum dan Pentarthrum huttoni.
Selain itu, ada species Caulotrupodes aeneopiceus yang tidak umum. Meskipun
serangan weevil seringkali membingung-kan dengan serangan anobium, tetapi kayu
yang terserang weevil dapat dilihat dari penampakan visual weevil, frass dan kayunya.
Frass weevil memiliki tekstur lebih halus dan kurang bulat bila dibandingkan yang
diproduksi anobium, meskipun tidak memiliki tekstur berbentuk tepung seperti frass
lyctus. Pada kayu galleri lebih kecil dan lubang keluar hanya sedikit oval, mendekati
bulat, dengan batas luar yang tidak jelas.
Baik kayu daun lebar maupun kayu daun jarum dapat diserang weevil bila kayu
gergajian telah dilapuk jamur. Karena kayu yang terserang weevil adalah kayu yang
lapuk, perawatan sumber kelembaban dan mengeluarkan kayu yang telah lapuk atau
perlakuan dengan biosida yang sesuai diperlukan untuk mengendalikan serangan weevil.
b.
Tindakan Pengendalian
Kumbang yang menyerang kayu terutama pada stadium larva, karena larva inilah
yang merusak kayu. Pencegahan serangan bubuk ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1) Merendam kayu adalam air beberapa waktu agar zat pati (karbohidrat) yang
terdapat dalam kayu larut dalam air sehingga kumbang tidak akan bertelur di sana.
2) Pengeringan kayu terutama kayu-kayu gergajian.
3) Pengawetan kayu dengan menggunakan berbagai insektisida seperti:
a) Gas hydrocyanida yang dimasukkan ke dalam kayu
b) Larutan DDT 5% atau pentachlorofenol 5% dalam larutan minyak ringan.
c) Penggunaan garam-garam Wolman dengan metode perendaman
d) Pada kayu yang masih segar, perlu diberikan zat pengawet pada kedua ujungnya.
95
3. Hymenoptera
a.
Ruang Lingkup
Ordo hymenoptera merupakan ordo terbesar ketiga dalam kelas insekta dengan
jumlah species kira-kira 103.000. Ciri utama dari ordo ini adalah:
a. Mempunyai dua pasang sayap yang berupa selaput tipis (membran)
b. Bagian mulut berkembang menjadi tipe pengunyah dan penusuk
c. Biasanya mempunyai ovipositor yang berkembang sempurna
d. Bermetamorfosisi sempurna
Di antara 71 famili yang ada di USA, kebanyakan menguntungkan bagi manusia,
hanya 3 famili saja yang penting dalam perusakan kayu, yaitu: Formicidae (semut; tipe
kerusakan honey-combing), Xylocopodae (tawon kayu dan horntail; tipe kerusakan grub
holes), dan Siricidae (tawon kayu; tipe kerusakan grub holes). Jenis yang terpenting
dari ordo ini yaitu: Xylocopa spp., sedangkan famili siricidae merupakan hama bagi
hutan. Famili ini sering disebut horntail. Salah satu dari jenis serangga yang terkenal
adalah Sirex gigae dan Xeris spectrum (Kollman, 1968).
b.
Kondisi Serangan
Ordo hymenoptera ini adalah serangga yang termasuk jenis lebah. Binatang ini
96
c.
Tindakan Pencegahan
Pencegahan serangan lebah penggerek dapat dilakukan dengan cara:
1) Pengecatan kayu
2) Penggunaan insektisida melalui:
a) fumigasi insektisida dimasukkan ke dalam penggerek
b) penyemprotan langsung dengan DDT.
D. BINATANG LAUT (MARINE BORERS)
Jenis-jenis binatang yang biasa menyebabkan kerusakan pada kayu di dalam
lingkungan air laut pada umumnya disebut marine borers atau binatang laut.
Binatang ini hidup tersebar hampir di seluruh bagian dunia, tetapi kerusakan yang besar
terutama terjadi di daerah-daerah berair hangat.
Walaupun sejarah kerusakan kayu oleh jasad hidup ini telah dicatat lebih dari 2.000
tahun yang lalu, namun sampai saat ini pengetahuan tentang cara pengendaliannya
masih sangat terbatas (Hochman, 1973). Kerugian akibat serangannya cukup besar.
Sebagai contoh, di daerah perairan pantai Amerika setiap tahunnya menderita kerugian
kira-kira US$ 500 juta akibat serangan jasad hidup ini terhadap konstruksi kayu di
pantai.
species binatang dengan kerugian yang belum dapat diantisipasi secara pasti besarnya.
Kayu memiliki sifat-sifat dan kerugian tertentu sebagai bahan konstruksi di pinggir
laut, akan tetapi juga memiliki kelemahan karena terserang oleh marine borer. Kondisi
ini menjadi suatu tantangan bagi ahli di bidang teknologi kayu, bagaimana cara
pengawetan yang tepat yang harus dilakukan sehingga umur pakai kayu dapat
diperpanjang.
Keberhasilan riset terhadap biologi marine borer merupakan kunci penentu di
dalam upaya mencegah kerusakan yang ditimbulkannya. Marine borer menggerek kayu
dengan dua aslasan yaitu sebagai bahan makanan dan tempat berlindung. Akan tetapi
bukan berarti bahwa semua marine borer menggerek kayu demi kedua alasan tersebut.
Ada beberapa jenis yang mampu memproduksi enzim selulase. Enzim ini dipergunakan
untuk melunakkan kayu dan selanjutnya digunakan sebagai bahan makanan.
97
a.
nausitora) dan Ordo Isopoda (Limnoria) menggerek kayu bukan untuk dimakan.
Kebutuhan unsur nitrogen bagi beberapa jenis marine bore diperoleh dari plankton, dan
diduga bahawa beberapa jenis jamur berperan dalam kehidupan marine borer (Becker,
1958).
Spesies marine borer yang menimbulkan kerusakan terhadap kayu struktural di
perairan pantai, dapat dibedakan atas dua kategori yaitu: Mollusca dan Crustaceae.
Famili terenidae memiliki 3 genera, sedangakan famili pholadidae ada 1 genera yang
mempunyai arti penting dari segi ekonomi kerusakan kayu. Selanjutnya 2 kategori
crustaceae masuk dalam ordo isopoda dan selebihnya merupakan anggota ordo
Amphiphoda.
D.1. Mollusca
Ada dua kelompok mollusca bivalve (dua katup) penggerek kayu: terenid (fam.
terenidae) atau cacing laut (Shipworm) dan pholad (fam. pholadidae) atau piddock.
Terenidae merupakan kelompok yang besar dengan anggota yang tersebar luas di
seluruh dunia pada berbagai kisaran iklim. Pholadidae lebih terbatas penyebarannya
dan terutama ditemukan pada daerah temperate yang hangat dan daerah tropis,
meskipun species Xylophaginae terdapat di air dingin yang dalam atau dekat permukaan
pada daerah lintang tinggi. Beberapa pholad cukup toleran terhadap air payau dan
terdapat di estuarina maupun air laut. Mollusca penggerek kayu yang umum disajikan
padaTabel 4.
Tabel 4. Beberapa mollusca penggerek kayu di laut (Eaton, 1986)
Terenid (shipworm)
Bactronophorus
Bankia
Dicyanthifer
Lyrodus
Nausitora
Neoteredo
Nototeredo
Pholad (piddock)
Psiloteredo
Teredo
Teredora
Teredothyra
Spathoteredo
Uperotus
Lignopholas
Martesia
Xylophaga
98
a) Famili Terenidae
Terenid memiliki badan seperti cacing yang lunak dengan 2 kerang atau katup
pada bagian ujung depan (anterior) yang mampu menggerek kedalam kayu untuk
membuat terowongan (tunnel). Binatang ini tinggal dalam tunnel yang sama sepanjang
hidupnya dan biasanya endapan berkapur diletakkan sepanjang tunnel. Tunnel setiap
swipworm berbeda dan biasanya menghindari memasuki tunnel tetangganya selama
bertumbuh dan menyerang kayu. Pada air hangat species ini dapat bertumbuh dengan
panjang 1-2 meter. Di dalam kayu bervolume tertentu binatang ini tidak muncul lagi
dari dalam kayu tetapi melanjutkan menggerek sepanjang kayu lain sampai kayu rusak
dan mulai menjadi fragmen.
lingkungan luar air laut melalui lubang yang halus (diameter 1-2 mm) pada permukaan
kayu pada bagian ujung tunnel. Melalui lubang ini 2 siphon dapat ditonjolkan keluar ke
air laut; siphon masuk (inccurent siphon) masuk kedalam air yang memungkinkan
cacing laut melakukan respirasi dan memakan mikroorganisme air; siphon keluar
(excurrent siphon) melepaskan bahan sisa dan unit reproduksi baik gamet atau larva.
Kadang-kadang siphon ditarik dan jalan masuk ke dalam saluran ditutup rapat dengan
sepasang lembaran kulit kerang (pallet), seperti disajikan pada Gambar 11, sehingga
binatang terlindung terhadap serangan musuh atau terhadap masuknya air yang tidak
baik kadar garamnya.
Gambar 11.
Pallet dari (a) Teredo navalis, (b) Nausitora hedleyi, (c) Bankia fimbriatula, (d)
Bankia gouldi, (e) Nototeredo norvagica, (f) Lyrodus pedicellatus, (g) diagram
shipworm kayu (Turner, 1971)
99
Kecepatan dan besarnya kerusakan binatang ini sangat tergantung jumlah dan
species penggerek, intensitas penggerekan, banyaknya bahan makanan yang tersedia,
kondisi suhu, kadar air garam dan faktor-faktor lain yang mendukung. Apabila cacingcacing penyerang berjumlah banyak, maka kayu terserang akan penuh dengan serangan
sehingga pertumbuhan binatang menjadi terhambat dan panjang badan tidak lebih dari
beberapa cm dengan diameter hanya beberapa mm. Cacing penggerek biasanya masuk
dalam kayu dengan arah tegak lurus arah serat, kemudian membentuk saluran dalam
arah longitudinal, selanjutnya dengan arah yang tidak teratur. Jika serangan sangat
hebat, beberapa saluran terpaksa masuk agak dalam ke arah pusat kayu sebelum
mengikuti arah serat. Akibat pelubangan kayu beberapa sarang lebih maka kekuatan
kayu menjadi sangat berkurang. Pola serangan dapat dilihat pada Gambar 12.
b) Famili Pholadidae
Penggerek mollusca dari genus Martesia panjang badannya hanya 3-4 cm saja.
Seluruh tubuh ditutupi dengan zat kapur (kulit kerang) seperti Gambar 13. Genus
martesia mirip kerang kecil, tetapi aktivitas serangannya terhadap kayu miri cacing
kapal. Lubang gereknya umum terdapat hanya pada permukaan, dimana ukuran lubang
gerek kurang lebih 1/8 inci. Ukuran binatang-bintang ini pada keadaan dewasa adalah;
panjang 2,5 inci dan diameter 1 inci. Binatang ini sekali berada dalam kayu akan
melanjutkan aktifitas pengeboran terhadap kayu, guna mendapatkan ruang tumbuh bagi
tubunya yang terkunkung.
100
Gambar 13. Penampakan (a) lateral dan (b) dorsal Martesia striata dewasa;
penampakan (a) lateral dan (b) dorsal Martesia striata muda
2. Crustaceae
Kebanyakan kelompok udang-udangan (crustaceae) penggerek kayu dan penghuni
kayu adalah anggota dari Isopoda. Kelompok ini berbeda dengan mollusca penggerek
kayu dalam penampakan, mobilitas/pergerakan, dan bentuk liang gereknya. Organisme
dewasa memiliki badan bersegmen dan kaki serta dapat merangkap pada permukaan
kayu yang bergerak di antara lubang gerek. Sebaliknya kondisi statis ditemukan pada
moluska yang hanya berkembang dalam kayu dengan memperbesar liang atau
terowongan sampai mereka dewasa. Kelompok crustaceae dapat berpindah ke kayu
basah, sedangkan mollusca tinggal dalam liang untuk hidup.
a) Genus Limnoria
Genus limnoria termasuk kepiting penggerek, banyak ditemukan sepanjang
perairan Teluk Atlantik dan pantai Pasifik Amerika Serikat.
Menurut Menzies (1959) lebih 20 species anggota Limnoria tersebar di seluruh
perairan dunia. Binatang ini dapat dengan mudah dikenal dari ciri-cirinya sebagai
berikut : (a) tubuh beruas, (b) memiliki tujuh pasang kaki dengan kuku-kuku runcing
dan berkait yang memungkinkan pergerakannya bebas dan melekat pada kayu, (c)
memiliki insang yang bentuknya pipih berguna untuk pernafasan dan (d) rahang bawah
sangat kuat dilengkapi dengan gigi untuk mengunyah kayu, (e) tubuhnya berakhir
dengan lempeng ekor yang lebar, digunakan untuk menutup saluran terhadap gangguan.
101
Panjang binatang Limnoria jika dewasa kira-kira 1/8-1/4 inci, sehingga bentuk
serangannya pada kayu berupa saluran berukuran 1 inci. Penampakan limnoria
dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14.
Limnoria (a) penampakan lateral, (b) pleomer dan pleotelson kelima dari L.
Lignorum, (c) L. Cristata dalam kayu
b) Genus Sphaeroma
Genus ini lebih destruktif dibanding dengan Limnoria, umumnya erdapat di
perairan tropik dan sub-tropik. Struktur badannya hampir sama dengan Limnoria, akan
tetapi ukurannya jauh lebih besar. Saluran serangan pada kayu lebih besar dan dapat
mencapai kedalaman 3-4 inci.
Permukaan kayu yang telah terserang oleh Teredo kadang-kadang diserang pula
secara sekunder oleh Sphaeroma. Kepiting ini diduga menggerek kayu untuk makanan
dan tempat tinggal. Menzies dan Turner (1959) menyebutkan pada satu tumpukan kayu
berukuran sedang didalam air bisa dijumpai sejumlah 200.000 ekor kepiting dewasa,
setiap ekor mampu memakan kayu yang tidak diawetkan seberat 0,54 gram.
c) Genus Chelura
Genus chelura terutama aktif di perairan yang suhunya tidak begitu panas sampai
sedang. Binatang ini dari hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan diketahui banyak
menyerang bangunan di piggir pantai perairan Eropa Utara dan Amerika Utara. Ada
102
kalanya binatang ini hidup bekerjasama dengan Limnoria atau hidup bersama pada
bangunan-bangunan di perairan laut.
Gambar 15. Chelura : (a) penampakan lateral C. insulae, (b) Chelura sp di dalam kayu
b.
Tindakan Pengendalian
Untuk mencegah serangan marine borer terhadap sistem konstruksi kayu di perairan
asin, banyak cara yang dapat diterapkan, antara lain:
(1) Penggunaan Kayu dengan kelas awet alami yang tinggi
Kayu dengan kelas awet alami yang tinggi biasanya mengandung sejumlah zat
ekstraktif yang berfungsi sebagai racun terhadap marine borer. Kayu seperti ini
tidak
pemakaian lambat laun kayu mengalami proses pelapukan, maka akan dengan
mudah diserang oleh marine borer.
(2) Mengawetkan kayu sebelum digunakan
Metode pengawetan yang memberi hasil memuaskan adalah dengan vakum dan
tekan. Bahan pengawet yang digunakan terdiri dari campuran kreosot-ter batubara
atau kreosot dengan larutan aspal. Proporsi ter batu bara di dalam campuran bahan
pengawet berkisar 20-40%. Retensi bahan pengawet dianjurkan sebesar 225-320
kg/m3 (Hunt and Garrat, 1967).
dikemukakan diatas, akan memperpanjang umur pakai kayu 20-30 tahun lebih lama
dibandingkan umur pakai kayu yang tidak menadapat perlakuan.
103
Metode ini
dianggap kurang efektif mencegah cacing laut atas dasar pengalaman berikut :
a. Kulit kayu tidak selalu menutup batang dengan sempurna. Adakalanya
bagian tertentu batang terbuka, misalnya karena bekas potongan cabang
atau luka. Bagian yang terbuka ini merupakan tempat masuknya cacing
laut ke dalam kayu.
b. Kulit kayu tidak selalu utuh melekat pada batang karena pengaruh
hempasan ombak, sehingga kulit terkelupas dan bagian batang menjadi
terbuka.
Bagian-bagian tertentu diberi paku
Bagian tertentu batang khususnya yang mudah diserang oleh cacing atau
kerang laut dipsang paku-paku berkepala gepeng. Metode ini juga dianggap
tidak efektif dan efisien karena :
a. Larva-larva cacing kapal ukurannya sangat kecil, sehingga bisa saja masuk
ke dalam kayu melalui celah antar kepala paku.
b. Biaya pemasangan paku pada batang menyebabkan naiknya harga tiang
kayu.
c. Pembusukan pada tiang tidak dapat dihambat dengan pemasangan paku.
Bagian luar batang dilapis dengan lembaran logam
Lapisan logam yang digunakan terbuat dari tembaga atau campuran tembaga
dengan seng (logam kuning atau logam Muntz). Agar lapisan logam dapat
memberi fungsi lindung yang baik, maka kayu-kayu perlu dipersiapkan lebih
dahulu, misalnya permukaannya dibuat serata mungkin, kemudian diberi
lapisan goni jenuh dengan aspal. Selajutnya lembaran logam dipaku pada
seluruh permukaan kayu. Kelemahan metode ini karena :
104
a. Lapisan logam dapat rusak oleh angin atau ombak besar, akibatnya ikatan
logam terhadap kayu menjadi lepas dan kayunya hanyut, sehingga cacing
laut menyerangkayu dan merusaknya.
b. Ada kalanya lembaran logam pelapis dicuri oleh orang-orang tertentu di
pelabuhan.
Sebagian batang dimasukkan ke dalam pipa besi tuang
Pipa besi ditancapkan jauh kedalam lumpur. Ruang antar kayu dengan logam
diisi pasir atau campuran semen pasir. Tiang kayu sebelum ditancapkan ke
dalam pipa besi tuang terlebih dahulu dilapis dengan kreosot. Kelemahan
sistem ini adalah :
a. Biaya menjadi mahal
b. Bagian atas pancang tidak dapat terhindar dari proses pembusukan
c. Penggunaan hanya dibenarkan untuk bangunan-bangunan yang sangat
penting dimana usaha perbaikan konstruksi sangat jarang frekuensinya.
Bagian panjang diselubungi tanah liat yang diperkeras
Metodanya hampir sama dengan cara selubung besi tuang, tetapi kurang
berhasil karena mudahnya pecah oleh pengaruh hempasan ombak dan angin.
Tiang kayu diberi selubung beton
Dalam hal ini sekeliling tiang kayu diberi penguat yang terbuat dari kawat
kasa berlubang 5 cm. Tiang kayu diletakkan berdiri sedemikian rupa sehingga
berjarak kurang lebih inci terhadap masing-masing sisa kasa penguat.
Ruang antar tiang dengan sisi-sisi kasa penguat diberi lapisan campuran pasir
semen.
Tiang kayu diberi lapisan cat
Dengan perlakuan ini biasanya umur pakai tiang dalam air laut tidak terlalu
lama, antara 6 bulan 2 tahun. Cat yang biasa digunakan berupa aspal atau
bahan-bahan yang mengandung bitumin.
lapisan cat, kemudian dilapis lagi dengan goni yang diiisi atau jenuh dengan
aspal danselanjutnya dilapis lagi dengan cat tebal. Lalu tiang kayu diberi
105
lapisan kayu berbentuk persegi setebal inci. Pada akhirnya lapisan luar
kayu ini deiberi lapisan cat tebal.
E. Bahan Diskusi
Mahasiswa diharapkan menyiapkan makalah (10-15 halaman) untuk setiap jenis
organisme perusak kayu, yang mencakup deskripsi organisme, kondisi serangan dan
teknik pengendaliannya. Makalah diharapkan mengacu pada bahan bacaan pengayaan
dan penelusuran dari internet dan jurnal.
penilaian utama.
F. Bahan Bacaan Pengayaan
Untuk pengayaan materi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa dapat
mempelajari secara mandiri bahan bacaan berikut:
(1)
Alexopoulos, C.J. 1961. Introductory Mycology. John Wiley & Sons, Inc. New
York.
(3)
1986.
Pengawetan Kayu.
Alih Bahasa:
Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. 2007. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
(5)
1992.
Eaton, R.A. and M.D.C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Edisi
Pertama. Chapman & Hall. London.
(7)
Kirk, T.K. and E.B. Cowling. 1984. Biological Decomposition of Solid Wood.
In: The Chemistry of Solid Wood. R.Rowell (Eds.). Advances in Chemistry
Series 207. American Chemical Society. Washington. p:455-488.
106
G. Latihan/ Soal-Soal
Agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai diakhir masa pembelajaran,
mahasiswa diharapkan mengerjakan latihan/soal-soal yang tercantum dalam bahan ajar
ini, sebagai berikut:
(1)
Mengapa perubahan volume kayu akibat serangan white rot relatif lebih kecil
dibandingkan oleh serangan brown rot?
(2)
Uraikan secara ringkas organisme yang dapat merusak kayu dan teknik
pengendaliannya.
(3)
Kemukakan pendapat anda, jenis organisme mana yang paling berpotensi merusak
jika ditinjau dari dampak kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kayu.
107
BAB IV
MENDETEKSI DETERIORASI KAYU
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa tentang teknik-teknik mendeteksi deteriorasi kayu.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menerapkan teknik mendeteksi deteriorasi kayu dengan memperhatikan
kondisi penggunaannya.
Pada prinsipnya, deteriorasi kayu dapat dilihat sebagai salah satu bentuk
mekanisme penurunan sifat yang berhubungan dengan penurunan ketahanan kayu.
Deteriorasi ini secara signifikan banyak dijumpai pada struktur atau bangunan yang
memanfaatkan kayu. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa dapat dilihat secara langsung
pada permukaan kayu hingga pada suatu kondisi dimana struktur kayu tersebut betulbetul mengalami kerusakan yang sangat parah.
Pengamatan terhadap bangunan-bangunan dari kayu yang mengalami kerusakan
dapat memperjelas bahwa kerusakan atau penurunan ketahanan kayu dalam struktur
bangunan dapat disebabkan oleh organisme perusak. Organisme perusak umumnya
menjadikan kayu sebagai sumber makanan atau tempat perlindungan. Sebagai contoh
dapat dilihat pada kayu yang diserang oleh jamur. Serangan tersebut diawali oleh hifa
dari jamur yang mensekresi enzim. Enzim yang dikeluarkan mampu menguraikan
(depolimerisasi) komponen-komponen kimia penyusun kayu sehingga dapat menurunkan
kerapatan, kekuatan, dan kekerasan kayu bangunan. Kondisi ini tentu secara nyata akan
menurunkan daya tahan kayu dalam menerima beban dan akhirnya dapat roboh. Olehnya
itu, mendeteksi deteriorasi kayu secara akurat dan lebih dini sangat diperlukan untuk
memperpanjang umur pakai kayu dan menjamin keselamatan umum yang berhubungan
dengan struktur bangunan kayu bersangkutan. Saat ini, ada beberapa manual untuk
mengakses kondisi bangunan yang terbuat dari kayu. Pada bagian berikut ini
dikemukakan metode-metode umum yang dapat dilakukan untuk mendeteksi deteriorasi
pada kayu.
108
A. Metode Konvensional
Metode konvensional untuk mendeteksi deteriorasi kayu dapat dilakukan terhadap
kerusakan permukaan maupun kerusakan bagian dalam kayu. Dalam hal ini, cara-cara
atau alat-alat khusus biasanya diperlukan untuk tipe kerusakan tertentu dengan tetap
mempertimbangkan struktur bangunan. Meskipun berbagai cara dapat dilakukan untuk
mendeteksi kerusakan pada kayu, pada prakteknya seorang dapat melakukan inspeksi
tanpa harus menggunakan berbagai macam alat. Metode atau alat yang digunakan
tergantung pada ketersediaan dana, pengalaman sebelumnya, atau masalah yang harus
ditangani.
A.1 Metode Mendeteksi Deteriorasi Bagian Luar Kayu
Deteriorasi bagian luar kayu (eksterior) dapat dengan mudah dideteksi karena
kerusakan yang terjadi dapat kita akses langsung. Tingkat kemudahannya tergantung
pada besar kecilnya kerusakan dan metode inspeksi yang dilakukan. Metode yang umum
dilakukan dalam hal ini adalah visual inspection dan probing. Teknik ini tentu saja masih
memerlukan inspeksi lanjutan dengan metode lain untuk mengetahui tingkat kerusakan
yang sebenarnya terjadi.
Visual inspection (Inspeksi secara kasat mata)
Visual inspection adalah metode paling sederhana untuk mengetahui lokasi
terjadinya kerusakan pada struktur bangunan kayu. Dalam metoda ini, inspeksi dilakukan
terhadap struktur bangunan untuk mengetahui dan memetakan tempat-tempat yang secara
nyata atau pun potensial dapat mengalami kerusakan. Pada saat melakukan inspeksi,
seseorang memerlukan keadaan ruangan inspeksi yang terang untuk mampu mendeteksi
kerusakan-kerusakan permukaan kayu akibat organisme perusak, penumpukan air, dan
kekuatan mekanis. Visual inspection tidak dapat mendeteksi kerusakan yang baru terjadi
pada tahap awal. Selama Visual inspection, beberapa hal perlu diketahui untuk digunakan
sebagai tanda terjadinya deteriorasi seperti:
109
a. Badan buah (fruiting bodies) sebagai indikasi positif adanya serangan jamur,
meskipun tanda tersebut belum dapat menjadi indikasi besar dan tingkat
kerusakan. Beberapa jenis jamur membentuk badan buah segera setelah terjadi
sedikit kerusakan, sedangkan jenis lainnya hanya membentuk badan buah setelah
terjadi kerusakan yang menyebar luas.
b. Permukaan kayu yang berkerut (sunken faces) atau mengalami depresiasi dapat
menjadi tanda terjadinya kerusakan di bawah permukaan. Pada struktur bangunan,
sambungan-sambungan kayu tidak dapat dihindari. Pada bagian inilah biasanya
terdapat bagian permukaan kayu yang tertekan. Perubahan warna pada bagian
struktur ini dapat menjadi tanda bahwa bagian tersebut berpotensi untuk menjadi
perangkap bagi air yang mengenainya dan sangat cocok untuk pertumbuhan jamur.
Perubahan warna seperti karatan pada kayu akibat sambungan atau hubungan
dengan besi juga dapat menjadi indikasi terjadinya pembasahan (wetting) pada
bagian tersebut.
c. Adanya aktivitas serangan serangga dapat ditandai oleh lubang-lubang gerek,
saluran kembara rayap, butiran-butiran kayu (frass), bubuk kayu, dan sejenisnya.
Adanya serangan serangga juga menjadi indikasi adanya masalah kelembaban
yang berpotensi terjadinya serangan jamur.
Probing (Penyelidikan)
Probing dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti jarum tusuk atau pisau
untuk mendeteksi kerusakan di bawah permukaan kayu. Kerusakan yang terjadi dapat
ditandai dengan kurangnya ketahanan kayu terhadap tusukan sebagai akibat adanya
pelunakan kayu. Meskipun metode ini cukup sederhana, dalam prakteknya sangat
memerlukan pengalaman untuk dapat menginterpretasi hasil dengan baik. Dalam hal ini,
perlu kehati-hatian untuk dapat membedakan kayu yang rusak karena jamur dengan kayu
yang lunak karena air yang biasanya masih kuat dan tidak mengalami kerusakan
meskipun lebih lunak dari kayu kering. Kesulitan interpretasi juga dapat terjadi pada saat
110
kayu yang menjadi obyek inspeksi adalah kayu yang secara alami memang memiliki
struktur yang lunak.
Berbeda dengan deteriorasi bagian luar kayu, deteriorasi bagian dalam kayu
(interior) sulit untuk dideteksi karena tanda-tandanya dapat saja tidak tampak secara
visual. Sejumlah metode dan alat telah dikembangkan mulai dari yang sederhana seperti
palu hingga yang kompleks dan canggih seperti sinar-X dan radiografik. Alat-alat lain
seperti pengukur kadar air (moisture meters) juga biasa digunakan sebagai alat bantu
dalam
mengidentifikasi
bagian-bagian
kayu
yang
kondisinya
potensil
bagi
Sounding (Membunyikan)
Membunyikan kayu dengan mengetuknya menggunakan palu atau alat lain adalah satu
cara yang paling umum digunakan untuk mendeteksi deteriorasi yang terjadi di bagian
interior kayu. Seorang pendeteksi yang berpengalaman dapat menginterpretasi suara yang
timbul saat kayu diketuk, apakah masih utuh (sound) atau ada suara kosong yang dapat
mengindikasikan terjadinya kerusakan atau deteriorasi parah. Meskipun sounding ini
sudah digunakan secara luas, cara tersebut sering mengalami kesulitan interpretasi karena
adanya faktor-faktor lain yang turut menentukan variasi kualitas suara yang timbul.
Selain itu, sounding hanya memberikan gambaran parsial dari adanya kerusakan yang
meluas yang tidak dapat mendeteksi kerusakan kayu yang masih dalam tahap awal
hingga serangan sedang. Meskipun demikian, sounding masih tetap memiliki ruang
tersendiri untuk keperluan inspeksi atau identifikasi kerusakan berat kayu bangunan
secara cepat. Penemuan adanya gejala kerusakan dengan cara ini memerlukan verifikasi
dengan menggunakan metode lain seperti pengoboran (drilling) dan penerasan (coring).
111
yang tumpul dapat merusak serat-serat kayu dan menyebabkan salah interpretasi dengan
bentuk kerusakan kayu.
B. Metode Alternatif
Shigometer
Shigometer adalah suatu alat yang menggunakan getaran-getaran gelombang untuk
mengukur perubahan dalam konduktivitas elektrik kayu akibat adanya kerusakan. Untuk
tujuan tersebut, suatu lubang kecil dibuat dengan bor ke dalam kayu kemudian kawat
pendeteksi yang dihubungkan dengan pengukur getaran dimasukkan ke dalam lubang
tersebut. Apabila kawat detektor menemukan bagian kayu yang mengalami deteriorasi,
maka alat pengukur akan menunjukkan penurunan getaran. Bagian yang menunjukkan
adanya penurunan getaran yang besar (50-75%) dapat kemudian dilakukan drilling atau
coring untuk menentukan deteriorasi yang sesungguhnya. Shigometer telah terbukti
mampu mendeteksi kerusakan kayu pada pohon hidup dan penggunaannya untuk kayu
bangunan atau bahan konstruksi lainnya masih dibatasi oleh rendahnya kadar air kayu.
Meskipun demikian, beberapa studi menunjukkan bahwa Shigometer cukup baik untuk
mendeteksi kerusakan apabila digunakan pada kondisi yang tepat dan oleh orang yang
berpengalaman dalam mengoperasikannya dan menginterpretasi hasilnya.
X-rays and tomography scanners
Sinar-X (X-rays) pernah digunakan secara umum untuk mendeteksi adanya ronggarongga pada bagian dalam (internal) kayu. Pada saat Sinar-X digunakan ke seluruh
bagian kayu, adanya mata kayu atau kerusakan lainnya akan merubah kerapatan
gelombang radiograph yang direkam. Metode penggunaan sinar-X ini untuk mendeteksi
kerusakan pada kayu saat ini sudah sangat terbatas karena memiliki beberapa masalah
seperti biaya yang mahal, faktor keselamatan akibat radiasi, dan memerlukan tenaga ahli
untuk menginterpretasi hasilnya. Meskipun dibatasi oleh adanya masalah-masalah
tersebut, sinar-X secara khusus sangat bermanfaat untuk mendeteksi serangan-serangan
organisme perusak seperti rayap dan penggerek laut.
113
E. Latihan/ Soal-Soal
1. Jelaskan kapan waktu yang cocok untuk melakukan inspeksi kerusakan pada
bangunan dan bagaimana teknik melakukannya !
2. Jelaskan hubungan antara kegiatan inspeksi dengan umur pakai kayu pada bangunan !
114
BAB V
TUJUAN DAN MANFAAT PERBAIKAN SIFAT KAYU
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan peranan perbaikan
sifat kayu serta tujuan dan manfaatnya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
dalam menjelaskan nilai ekonomis dan ekologis dari usaha-usaha perbaikan sifat kayu.
Perbaikan sifat kayu yang meliputi kekuatan dan keawetannya pada dasarnya
ditujukan untuk memperpanjang umur pakai kayu, baik sebagai bahan bangunan maupun
sebagai produk industri kayu lanjutan. Hal ini tentu saja bermanfaat untuk efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan serta memberikan nilai ekonomis dan ekologis. Dengan
demikian, berbagai cara dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Cara-cara yang
dimaksud tentu saja dapat berupa perbaikan sifat kekuatan dan perbaikan sifat keawetan
kayu. Cara-cara tersebut akan dijelaskan dalam bab-bab berikut. Pada bagian ini
dikemukakan bagaimana suatu usaha perbaikan sifat dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan, meningkatkan nilai ekonomis, dan bermanfaat secara
ekologi.
Efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan dapat diartikan sebagai pemanfaatan hasil hutan
yang berhasil guna, tidak boros, dan memenuhi keperluannya. Dari aspek efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan ini, manfaat perbaikan sifat kayu dapat dianalisis
berdasarkan perbandingan kebutuhan kayu dan produktivitas lahan. Sebagai contoh
sederhana dapat kita lihat dari kebutuhan kayu untuk perumahan. Meskipun sampai saat
ini besarnya permintaan potensial akan kayu bangunan di Indonesia belum pernah
dilaporkan, data Biro Pusat Statistik tahun 2000 menunjukkan pembangunan perumahan
yang terus meningkat, yaitu sebanyak 1.709.831 unit pada tahun 1989, 2.215.956 unit
pada tahun 1992, dan 2.544.196 unit pada tahun 1994. Keadaan tersebut menunjukkan
119
bahwa dengan kebutuhan kayu rata-rata lebih dari 3 m3 untuk setiap unit, jumlah kayu
gergajian untuk perumahan diperkirakan saat ini dapat mencapai 9 juta m3/tahun. Apabila
sebanyak 85% dari kebutuhan kayu gergajian tersebut merupakan kayu yang memiliki
keawetan alami rendah dan hanya dapat bertahan selama 5 tahun, maka dalam kurun
waktu 15 tahun pertama total kayu gergajian yang diperlukan untuk membangun dan
mengganti kayu yang rusak adalah sekitar 249,75 juta m3, dengan perincian 135 juta m3
untuk membangun baru dan 114,75 juta m3 untuk mengganti yang rusak. Dari
perhitungan tersebut berarti bahwa dengan usaha pengawetan kayu, selama 15 tahun
pertama, kayu yang digunakan untuk perumahan dapat dihemat sekitar 7,7 juta m3 per
tahunnya. Bila diketahui rendemen pengolahan kayu bulat menjadi kayu gergajian adalah
sekitar 50%, maka jumlah tersebut setara dengan menghemat pengambilan kayu bulat
(logs) dari hutan sekitar 15,4 juta m3 per tahun. Dengan asumsi produktivitas hutan yang
ada sebesar 35 m3 per hektar per tahun, maka luas hutan yang bertahan karena tidak
ditebangi atas adanya usaha pengawetan kayu dapat mencapai 440.000 ha. Hal ini dapat
menjadi bukti bagaimana sumberdaya hutan berupa kayu tersebut dapat diefisiensikan
penggunaannya dengan usaha perbaikan sifat berupa pengawetan.
Manfaat Ekonomi
Peranan perbaikan sifat kayu dapat pula dilihat dari aspek ekonomi. Sebagai contoh
dengan usaha pengawetan kayu, nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat pengguna
kayu-kayu awet sangat besar. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa
biaya tahunan rata-rata untuk kayu yang tidak diawetkan adalah sebesar Rp. 487.398 per
m3, sedangkan kayu yang diawetkan memang lebih besar, yaitu sebesar Rp. 701.105 per
m3. Namun demikian, biaya pembelian kayu yang tidak diawetkan untuk kurun waktu 15
tahun dapat menjadi lebih besar, yaitu Rp. 121,73 triliun (total kayu gergajian yang
diperlukan untuk membangun dan mengganti kayu yang rusak sebanyak 249,75 juta m3
dikalikan dengan biaya Rp. 487.398 per m3). Dibanding dengan menggunakan kayu yang
diawetkan, biaya tersebut hanya Rp. 94,65 triliun (135 juta m3 x Rp. 701.105) atau dapat
menghemat sebesar Rp. 27,08 triliun dalam 15 tahun atau lebih 1,81 triliun per tahun.
120
Manfaat ekologi
Peranan perbaikan sifat kayu seperti usaha pengawetan tidak hanya sampai di situ. Dalam
hubungannya dengan isu lingkungan global seperti gejala pemanasan global, sumbangan
penghematan lebih dari 15 juta m3 per tahun memiliki arti terbukanya potensi carbon
storage dan ketersediaan oksigen di alam. Hal ini dapat dilihat berdasarkan persamaan
proses fotosintesis yang memberikan gambaran bahwa untuk menghasilkan satu ton
massa kayu diperlukan 1,467 ton CO2 dan melepaskan 1,067 oksigen. Apabila berat jenis
kayu yang digunakan rata-rata 0,6, maka sumbangan penghematan 15,4 juta m3 per tahun
setara dengan 9,24 juta ton massa kayu dengan potensi penyerapan CO2 sebanyak 13,55
juta ton dan pelepasan oksigen sebanyak 9,86 juta ton per tahun. Dengan demikian,
penggunaan kayu yang telah diawetkan sungguh merupakan suatu hal yang harus secara
bersama-sama
dilakukan
dalam
pembangunan
rumah
untuk
mendukung
dan
A. Bahan Diskusi
Pada bagian ini, mahasiswa secara berkelompok diminta untuk mendiskusikan dan
menyampaikan pendapat tentang bagaimana efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan,
manfaat ekonomi, dan manfaat ekologis dari perbaikan sifat kayu berpengaruh terhadap
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Diskusi dalam kelas dilaksanakan
dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok
2. Kelompok I memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu
efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan kesempatan kerja kesejahteraan
masyarakat.
3. Kelompok II memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu manfaat
ekonomi kesempatan kerja kesejahteraan masyarakat.
121
4. Kelompok III memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu manfaat
ekologis kesempatan kerja kesejahteraan masyarakat.
5. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk
ditanggapi oleh kelompok lainnya.
Batubara, R. 2006. Teknologi Pengawetan Kayu dan Perumahan dan Gedung dalam
Upaya Pelestarian Hutan. Karya Tulis. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
D. Latihan/ Soal-Soal
1. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan kelestarian hutan !
2. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan perbaikan lingkungan !
3. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan perbaikan ekonomi
masyarakat !
122
BAB VI
PERBAIKAN SIFAT KEKUATAN KAYU
Setiap
jenis
kayu
mempunyai
ciri
tersendiri
baik
sifat
kimia
maupun
fisik/mekaniknya. Sebagai contoh kayu jenis fast growing species mempunyai sifat
mekanik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis non fast growing species.
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kekuatan kayu di antaranya adalah faktor biologis (mikroorganisme yang menyerang
kayu), kadar air dan berat jenis kayu. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya dapat
dimanipulasi sehingga upaya pencegahan gangguan kekuatan kayu dapat dipertahankan,
misalnya upaya pengawetan dengan zat kimia, pengeringan dan rekayasa percepatan
tumbuh. Dengan diketahuinya kekuatan untuk jenis kayu tertentu, maka konsumen akan
memilih jenis kayu yang tepat sesuai penggunaannya. Sifat fisik/mekanik kayu yang
penting adalah berat jenis, kembang susut, kadar air dan kekuatan mekanik.
Kayu merupakan komponen polimer tiga dimensi dengan penyusun utama selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Ketiga komponen ini berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia
kayu. Perubahan dimensi, pengaruh lingkungan dan degradasi dapat menghasilkan
penurunan terhadap kekuatan sifat kayu (Deka dan Saikia, 2000). Beberapa perubahan
kimia dalam polimer dinding sel kayu mengakibatkan perubahan sifat fisik dan mekanik
kayu. Sifat-sifat ini dapat bervariasi mulai dari yang sederhana berupa perubahan warna
kayu sampai pada perubahan besar dalam hal sifat-sifat modulus, kemampuan menahan
beban maksimum, kerapuhan, kekerasan, keteguhan dalam kondisi basah, kekakuan
dalam kondisi basah, keteguhan pukul, keteguhan tekan, permeabilitas gas, kerapatan,
dan daya serap air.
Perubahan kandungan kadar air dinding sel yang dihasilkan dari modifikasi kimia
memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat mekanis. Setiap persen perubahan kadar air
akan menimbulkan pengaruh terhadap perubahan sifat mekanis kayu sebagaimana yang
dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :
123
Tabel 5. Perkiraan Perubahan Sifat-Sifat Mekanik dari Kayu Bebas Cacat Saat
Terpengaruh Perubahan Kadar Air
Sifat-Sifat
Lentur statis
Tegangan serat pada batas proporsi
Modulus patah (MOR)
Modulus lentur (MOE)
Kerja pada batas proporsi
Kerja pada beban maksimum
Lentur pukul
Ketinggian jatuh yang menyebabkan
kerusakan
Tekan sejajar serat
Tegangan serat pada batas proporsi
Keteguhan hancur maksimum
Tekan tegak lurus serat
Tegangan serat pada batas proporsi
Geser sejajar serat
Keteguhan geser maksimum
Kekerasan
Ujung
Samping
5
6
5.5
3
4
2.5
Tabel 5 menunjukkan bahwa tegangan serat pada batas proporsi, kerja pada batas
proporsi, dan keteguhan hancur (crushing) maksimum adalah sifat-sifat mekanik yang
sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan kadar air saja + 1 % di bawah TJS.
Sedangkan perubahan sifat mekanik dari segar ke kering oven disajikan pada Tabel 6.
124
Tabel 6. Hubungan Antara Beberapa Sifat Mekanik Kayu dan Kadar Air
Kadar Air
Sifat-Sifat
Segar
19%
12%
8%
KeringOven
Douglas fir
Modulus patah (MOR)
62
76
100
117
161
52
68
100
124
192
80
88
100
108
125
Aspen
Modulus patah (MOR)
61
75
100
118
165
50
67
100
126
199
73
83
100
111
137
* Semua nilai dinyatakan sebagai persentase sifat pada kadar air 12%
Kadar air berpengaruh terhadap sifat-sifat mekanik jika berada di bawah titik jenuh
serat (TJS). Jika kadar air berkurang maka kekuatan akan meningkat. Peningkatan ini
terjadi karena adanya perubahan dalam dinding sel, yaitu menjadi lebih kompak. Unitunit struktural, misalnya mikrofibril mendekat satu sama lain dan kekuatan rantai
molekul selulosa menjadi lebih kuat.
perubahan 6% pada kekuatan tarik aksial, keteguhan pukul (MOR) 5%, kekerasan 2,5
4% (umumnya dalam arah aksial), MOE (pada keteguhan pukul statis) 2% dan
sebagainya (Tsoumis, 1991).
125
23
Berdasarkan Gambar 16 di atas, terlihat bahwa semakin kecil kadar air, maka
kekuatan kayu juga akan meningkat.
meningkatkan kekuatan kayu adalah dengan mengurangi kadar air kayu melalui proses
pengeringan.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Deka dan Saikia (2000) mengenai stabilitas
dimensi kayu menggunakan resin thermosetting yaitu phenol formaldehyde (PF),
melamine formaldehyde (MF) dan urea formaldehyde (UF) dengan WPG sebesar 33-35,
konsentrasi resin 30% pada suhu
(Persen Penambahan Berat) yang memberikan peningkatan beberapa sifat kayu antara
lain:
-
pada uji kelenturan statis, MOE bervariasi dari -6% sampai +2% [Dreher, Goldstein,
Cramer (1964), Narayanamurti & Handa (1953)],
modulus patah (MOR) bervariasi dari -8% sampai +17% bergantung pada kayu yang
diuji [Dreher, Goldstein, Cramer (1964), Militz (1991), Larrson (1993)],
tegangan serat pada batas proporsi meningkat dari +7% sampai 20% [Dreher,
Goldstein, Cramer (1964)]
usaha pada batas proporsi meningkat dari 25% sampai 42% [Dreher, Goldstein,
Cramer (1964)].
kekerasan bola meningkat dari 22% sampai 31% [Dreher, Goldstein, Cramer (1964)]
kekerasan Brinell tangensial meningkat 25% dan radial 20% [Larrson (1993)].
keteguhan pukul (impact strength) bervariasi dari -13% sampai +16% [Koppers
(1961), Goldstein, Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
keteguhan tekan tegak lurus serat meningkat 22-31% [ Dreher, Goldstein, Cramer
(1964)],
keteguhan tekan basah pada batas proporsi meningkat 93 144 % [ Koppers (1961),
Goldstein, Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
keuletan bervariasi dari -7% sampai +17% [Tarkow and Stamm (1950), Goldstein,
Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
usaha sampai rusak (work to failure) meningkat 5 12% dan keteguhan tarik
meningkat 1-4% [Rowell and Banks (1985)]
elongasi rusak tekan bervariasi dari -17% sampai +42% [Tarkow and Stamm (1950)].
(Semua nilai rata-rata ini membandingkan kayu terasetilasi dengan kayu tidak
terasetilasi).
127
Suatu penelitian modifikasi kimia kayu karet dengan styrene yang dikombinasikan
dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) yang dilakukan oleh Devi et al. (2003)
menunjukkan bahwa perlakuan ini mampu memperbaiki stabilitas dimensi dalam hal %
pengembangan volume, anti-shrink efficiency dan mengurangi penyerapan air.
Selain
itu perlakuan juga dapat memperbaiki sifat mekanis (kekuatan) menyangkut modulus of
rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE). Kekerasan sampel dengan perlakuan
styrene dan styrene-GMA juga lebih tinggi dibandingkan dengan sampel tanpa perlakuan.
Selain itu, penelitian lain mengenai modifikasi kimia kayu untuk meningkatkan
daya tahan terhadap kerusakan dan panas (thermal), menunjukkan bahwa kayu yang
direaksikan dengan fosforamid yang dihasilkan secara in situ melalui reaksi fosfor
pentoksida dengan amina (butylamine) tahan terhadap degradasi jamur dan panas.
Analisis termal dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry) dalam nitrogen dari
kayu yang direaksikan dengan fosforamid memperlihatkan bahwa mekanisme ketahanan
terhadap api berhubungan dengan dehidrasi. Pirolisis kayu termodifikasi melalui reaksi
dehidrasi menyebabkan penurunan produksi volatil dan meningkatkan pembentukan
arang.
nitrogen atau udara menunjukkan bahwa kayu termodifikasi menghasilkan arang lebih
banyak daripada kayu yang diimpregnasi dengan diamonium fosfat.
Pemadatan kayu adalah salah satu usaha untuk meningkatkan kekuatan dan
keawetan kayu berkerapatan rendah dengan cara mengempa papan kayu menjadi lebih
padat. Pada kondisi lebih padat daripada sebelumnya, maka kekuatan kayu meningkat.
Pemadatan kayu dapat dilakukan dengan dua langkah utama, yaitu perlakuan perendaman,
perebusan dan pengukusan agar kayu tersebut bersifat plastis dan perlakuan pemadatan
pada arah tegak lurus serat. Pemadatan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, plastisitas kayu,
kadar air, suhu kempa, dan penerapan besarnya tekanan kempa. Proses plastisasi dan
pemadatan kayu yang sesuai akan meningkatkan sifat fisik dan sifat mekanik kayu
terpadatkan dan berkualitas tinggi. Kualitas yang dimaksud adalah kemudahan proses
128
Prinsip densifikasi kayu metode (1) adalah dengan memasukkan perekat (Stamm
dan Seborg 1941) atau bahan kimia (Fujimoto 1992) ke dalam kayu dan proses curing
atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi.
Pada metode ini dapat digunakan perekat fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang
berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi,
esterifikasi atau asetilasi.
Densifikasi kayu metode (2) dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa
panas atau oven pengering, tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai fiksasi
kayu yang permanen, yaitu sekitar 20 jam pada suhu 180C (Dwianto et al. 1997),
disamping itu cukup banyak menurunkan sifat mekanik kayu tersebut. Beberapa pendapat
mengenai sifat permanen kayu dengan metode ini antara lain adalah akibat
terdegradasinya lignin sehingga menyebabkan menurunnya internal stress (Seborg et al.
1945) dan menurunnya sifat higroskopis kayu (Inoue dan Norimoto 1991).
129
Metode (3) adalah memanaskan kayu dengan menggunakan uap air suhu tinggi
(steam treatment). Metode ini dilakukan dengan memasukkan uap air panas dari boiler ke
dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993).
Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi yang bersifat permanen dari kayu yang dikempa
dapat dicapai lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2), dan tidak banyak
mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi yang permanen pada suhu
180C dapat dicapai hanya dalam waktu sekitar 10 menit. Pendapat-pendapat mengenai
sifat permanen dengan metode ini antara lain adalah akibat perubahan struktural selulosa
(Ito et al. 1998) dan terjadinya hidrolisa hemiselulosa yang mengakibatkan menurunnya
internal stress pada kayu (Hsu et al. 1988). Tetapi metode (3) tersebut sulit untuk
diterapkan pada skala pemakaian karena membutuhkan perangkat yang sangat mahal,
yaitu boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas yang dimasukkan ke dalam autoclave;
serta tidak dapat dilakukan terhadap kayu dengan ukuran besar. Metode ini dapat
dimodifikasi dengan prinsip Close System Compression.
Rommel (2001) melakukan penelitian mengenai pengaruh tekanan steam pada
peningkatan karakteristik dan kualitas kayu glugu. Dengan perlakuan steam diharapkan
terjadi pemampatan pori-pori pada serat kayu sehingga akan meningkatkan berat jenis
dan mengurangi kadar lengas kayu yang merupakan parameter-parameter yang
berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan steam
menyebabkan penambahan berat jenis hingga 0,75 gr/cm3 atau naik hingga 64% dan
pengurangan kadar lengas sampai 2,086% dari contoh uji tanpa perlakuan. Pemberian
tekanan steam pada kayu glugu meningkatan karakteristik kekuatan tarik // serat (560,86
kg/cm2) ; kekuatan tarik serat
kekuatan geser (171,55 kg/cm2), sedangkan kekuatan lenturnya tidak meningkat. Sifat
daktilitas kayu dengan pemberian steam hanya meningkat pada arah tegangan-regangan
tarik // serat saja. Kayu glugu yang diberi perlakuan steam ternyata dapat meningkatkan
kekuatan kayu dari kelas kuat III (dimana kuat tekan absolut sebesar 300 s/d 425 kg/cm2)
menjadi kelas kuat II (dimana kuat tekan absolut sebesar 425 s/d 650 kg/cm2).
130
Glulam adalah susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara
sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat (Gurdal
et al. 1999 dalam Sulistyawati, Nugroho, Surjokusumo, dan Hadi (2008). Arah serat
seluruh lapisan paralel terhadap panjang balok. Dua prinsip desain laminasi adalah
memaksimalkan dimensi dan meminimalkan material, apabila kedua prinsip tersebut
dapat dilakukan secara simultan maka tujuan penggunaan laminasi dapat dicapai secara
maksimal, sehingga laminasi merupakan desain ekonomis dengan tetap memenuhi
prinsip struktural (Bodig dan Jayne, 1993). Juga dinyatakan bahwa kayu sebagai material
alamiah berupa balok atau log mungkin belum merupakan produk yang efisien sebagai
komponen struktural; sebuah balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu, kapasitas
memikul beban menjadi lebih kecil; dengan memotong menjadi beberapa lapis lebih tipis
yang biasa disebut lamina dan kemudian melekatkan kembali dengan menghilangkan
cacat kayu atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya akan
meningkat.
Lapisan kayu dapat diatur dengan mutu disesuaikan dengan fungsi ditinjau dari segi
kemampuan struktural di dalam menerima beban. Dengan susunan lapisan yang
mempunyai mutu berbeda pada lapis tertentu akan meningkatkan sifat mekanis kayu
antara lain kekuatan dan kekakuannya. Dengan menyusun lapisan kayu dan memberikan
lapisan yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan tegangan besar dan mutu
yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif di
dalam menerima beban lentur sehingga akan mempengaruhi kekuatan lentur maupun
kekakuan dari satu kesatuan laminasi tersebut. Ritter dan Williamson (1995) dalam
Sulistyawati, Nugroho, Surjokusumo, dan Hadi (2008), menyatakan bahwa glulam dapat
dibuat secara horisontal yang disebut glulam horisontal dengan penempatan laminasi
dengan kualitas tinggi pada posisi teratas dan terbawah balok; di dalam perkembangan
desain juga dikembangkan glulam vertikal untuk sistem dek jembatan.
Ditinjau dari segi ekonomis kelebihan laminasi adalah mempunyai kemampuan
meningkatkan dimensi, yaitu dari persediaan material yang lebih kecil atau tipis dapat
131
disusun menjadi satu kesatuan laminasi dengan dimensi yang lebih besar; mempunyai
kemampuan membuat bentuk struktural seperti lengkung, yang mana hal ini sulit apabila
menggunakan material lainnya; mempunyai nilai keindahan ditinjau dari segi arsitektural.
Hal-hal tersebut di atas menjadikan laminasi mempunyai nilai tambah atau nilai jual yang
lebih tinggi.
Teknologi polimerisasi radiasi adalah salah satu teknologi nuklir yang dapat
diaplikasikan pada industri polimer yaitu untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan
setengah jadi atau bahan jadi, dengan bantuan sinar radiasi sebagai sumber energi.
Radiasi berfungsi sebagai alat untuk mempermudah, mempercepat, atau memperbaiki
reaksi kimia yang diperlukan di dalam proses polimerisasi.
Pada umumnya tujuan pelapisan permukaan papan kayu ada dua macam yaitu
menambah keindahan dan meningkatkan kualitas permukaan misalnya lebih tahan bahan
kimia, tahan panas dan sebagainya. Sumber radiasi yang digunakan pada teknik pelapisan
permukaan ini ialah sinar berkas elektron. Proses pelapisan permukaan papan kayu
memerlukan dua tahap pekerjaan, yaitu pelapisan dasar (base coating) dan pelapisan atas
(top coating). Kayu lapis, parket, papan partikel diampelas, lalu dilapisi dengan oligomer
dan diiradiasi dengan sinar berkas elektron sebagai pelapis dasar, kemudian diampelas
lagi, selanjutnya dilapisi dengan pelapis atas dan diiradiasi lagi.
Keuntungan penggunaan teknologi radiasi pada pelapisan permukaan ini, bila
dibandingkan dengan cara konversional ialah :
1. Kecepatan produksi relatif tinggi, sehingga ruang operasi yang digunakan relatif
lebih sempit.
2. Bebas dari bahan pelarut yang menguap, sehingga mengurangi masalah polusi udara.
3. Prosesnya dapat dilakukan pada suhu kamar, sehingga dapat diterapkan pada substrat
yang sensitif terhadap panas, misalnya kertas dan sebagainya.
4. Daya rekat yang memuaskan, karena adhesinya merupakan ikatan kimia.
132
B. Bahan Tugas
Buat sebuah paper mengenai perbandingan antara 2 metode perbaikan sifat kayu yang
berbeda, terutama mengenai kelebihan dan kekurangannya masing-masing !
C. Latihan/ Soal-Soal
1. Apa yang Anda pahami mengenai konsep kekuatan kayu baik dari segi anatomi
maupun fisik ?
2. Misalkan di suatu daerah kayu-kayu yang tersedia hanya kayu-kayu dengan
keawetan alami yang rendah. Sementara pembangunan perumahan di daerah
tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. Solusi apa yang dapat Anda
tawarkan untuk kasus tersebut ?
3. Di antara upaya perbaikan sifat kekuatan kayu di atas, menurut Anda mana yang
paling praktis dilakukan di lapangan ?
133
BAB VII
PERBAIKAN SIFAT KEAWETAN KAYU
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan teknik-teknik
perbaikan sifat keawetan kayu
Tujuan Khusus : Bab in secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
dalam menguraikan hubungan sifat keawetan kayu dan teknik perbaikannya
Meskipun kayu gubal jarang yang tahan terhadap serangan organisme, kayu teras
dari kebanyakan spesies memperlihatkan derajat ketahanan terhadap serangan jamur
dan serangga. Keawetan alami tersebut dapat dihubungkan dengan suatu kombinasi
bahan ekstraktif beracun yang terdapat dalam kayu dan sifat permeabilitas inherent yang
rendah. Sebagai akibat dari keawetan alami tersebut beberapa kayu dapat digunkan di
luar ruangan (outdoors) dan dalam beberapa kasus dapat kontak dengan tanah atau
terendam dalam air. Kayu dari species yang awet secara alami seringkali lebih disukai
dari segi lingkungan daripada kayu yang diberi perlakuan kimia, dan kebanyakan dari
jenis kayu tersebut memiliki penampakan yang atraktif, atau dengan kata lain memiliki
nilai dekoratif tinggi. Di samping itu, beberapa jenis seperti black locust, greenheart
dan ipe juga memiliki sifat kekuatan yang sangat baik (Green et al., 1999). Meskipun
demikian, berbagai faktor membatasi penggunaan kayu dengan keawetan alami tinggi.
Di negara maju, volume growing stock spesies yang awet secara alami relatif rendah
dibandingkan dengan permintaan produk kayu awet, sehingga kebutuhan tersebut harus
dipenuhi dari negara yang sedang berkembang. Sebagai akibatnya, penebangan dan
ekspor species tropis dari negara sedang berkembang ke negara industri meningkatkan
keprihatinan terhadap eksploitasi, deforestasi dan kerusakan habitat.
Mengingat ketersediaan kayu dengan keawetan alami yang tinggi relatif sedikit
dibandingkan dengan kayu yang kurang awet, maka berbagai upaya-upaya agar
optimalisasi pemanfaatan kayu yang kurang awet tersebut perlu dilakukan. Hal ini tentu
saja sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingginya tekanan terhadap hutan alam
akibat penebangan terhadap species tertentu saja, seperti jenis meranti dan merbau saja.
134
Data menunjukkan bahwa di Indonesia, dari 4000 jenis kayu yang dikenal, sekitar
85,7% termasuk ke dalam kelas keawetan rendah sehingga untuk dapat dipergunakan
dengan memuaskan harus diawetkan (Martawijaya, 1996). Oleh karena itu, bila kayu
tidak awet tersebut tidak diupayakan pemanfaatannya akan berdampak pada
pemborosan dan ineffisiensi sumberdaya alam.
A. Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu
Ketahanan kayu terhadap serangan organisme disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal.
oksigen dan karbon dioksida parsial, dan kadar air (highley dan Kirk, 1979 dalam
Febrianto, dkk., 2000). Sedangkan faktor internal antara lain kandungan zat ekstraktif,
bagian dalam batang (teras dan gubal), dan umur pohon (Martawijaya, dkk., 2001).
Pada dasarnya, kayu yang dapat menahan serangan organisme tersebut dalam periode
waktu tertentu, misalkan 5-10 tahun di daerah tropis (Eaton and Hale, 1993), dapat
dikatakan sebagai kayu yang awet. Demikian pula sebaliknya, kayu yang terserang
dalam jangka waktu singkat dapat dikatakan sebagai kayu yang sangat rentan. Untuk
memperbaiki ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu, berbagai teknik-teknik
perbaikan sifat keawetan kayu dapat dilakukan antara lain:
A.1. Pengeringan Kayu
Air menyediakan beragam fungsi dalam kehidupan organisme dan proses
pelapukan. Air merupakan reaktan, agen pengembang, dan medium difusi baik oleh
enzim pendegradasi dan degradasi kayu. Air dalam kayu terdapat dalam bentuk air
bebas dan air terikat. Air bebas terdapat dalam rongga sel dan dalam rongga-rongga
lebih besar pada dinding sel kayu. Air terikat berinteraksi secara kimia dengan dinding
sel dan lebih sulit untuk dikeluarkan. Titik di mana air bebas tidak ada dan air mengisi
semua dinding sel diistilahkan dengan titik jenuh serat atau fiber saturation point (FSP).
Kebanyakan jenis kayu memiliki TJS antara 27 30% (Morrel, 2002); di bawah titik
ini air yang ada diasumsikan terikat dengan kayu dan merupakan air yang sebagian
besar tidak dapat diakses oleh organisme perusak. Kebanyakan organisme perusak yang
mendegradasi kayu membutuhkan kadar air (MC, moisture content) di atas TJS,
135
meskipun beberapa kumbang dapat menyerang kayu di bawah TJS, dan beberapa jamur
pelapuk dapat memperoleh air dari tanah untuk meningkatkan kadar air yang
memungkinkan untuk pertumbuhannya. Kadar air udara kayu pada kebanyakan
bangunan berkisar antara 6 12%.
Kebanyakan jamur membutuhkan kayu pada level kadar air di atas TJS, tetapi
sekali jamur mengkolonisasi substrat, jamur dapat melanjutkan pertumbuhan pada kadar
air 20% (Scheffer, 1973). Pastinya, jamur tidak akan tumbuh baik pada kadar air lebih
rendah (kadar air optimum antara 40-60%), namun keberadaannya dalam kayu harus
dipertimbangkan dalam strategi remediasi. Beberapa serangga juga memiliki
kemampuan serupa, pada awalnya memasuki pohon yang baru saja ditebang tetapi
selanjutnya melengkapi siklus hidupnya pada kondisi kayu kering atau produk akhir.
Pada dasarnya, kayu utuh dan kebanyakan produk hutan lainnya dikeringkan
sebelum digunakan untuk berbagai alasan, terutama untuk mengontrol kadar air produk.
Sebagaimana diketahui bahwa kadar air kayu yang baru ditebang bervariasi dari lebih
200% sampai 40%. Mulai kayu pertama kali dikuliti sampai kering, maka kayu akan
perlahan-lahan mengeluarkan air sampai mencapai kadar air yang sama dengan
lingkungannya, biasanya sebesar 20% pada lingkungan basah dan sekitar 6% pada iklim
panas yang kering. Pengeringan kayu dapat dilakukan dengan menggunakan kiln
maupun dengan pengeringan alami. Jadi, meskipun tujuan utama pengeringan kayu
adalah menurunkan kadar air, namun secara tidak langsung dapat menghambat
timbulnya serangan organisme karena ketersediaan unsur pendukung kehidupannya
tidak terpenuhi dari kayu.
A.2. Pengawetan Kayu
Pada prinsipnya, sistem pengawetan kayu dikembangkan untuk menyediakan
perlindungan yang efektif bagi kayu terhadap serangan mikroorganisme, serangga dan
api. Untuk maksud tersebut, impregnasi berbagai jenis bahan yang memiliki sifat
proteksi yang dimasukkan ke dalam kayu, baik dari bahan alam maupun bahan sintesis.
Pemberian bahan pengawet ini dapat diaplikasikan pada kayu utuh maupun produk kayu
komposit.
sebelum atau sesudah pengempaan (pressing) pada bahan kayu maupun perekatnya.
136
Hasil uji
laboratorium untuk menentukan ketahanan produk kayu dan papan komposit yang
diimpregnasi dengan bahan resin yang diekstraksi dengan pelarut organik terhadap
rayap tanah Reticulitermes spp. dan jamur brown rot Gleophyllum trabeum dan
Poria placenta (Fr.) Cook menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi untuk
menjadi alternatif bahan pengawet alami dan terbaharukan (Nakayama et al., 2001).
Hal ini ditunjukkan oleh mortalitas rayap yang tinggi pada kayu maupun papan
komposite yang diimpregnasi dengan resin content >50%, demikian pula dengan
kayu pinus yang diimpregnasi dengan ekstrak resin memperlihatkan pengurangan
bobot yang rendah pada kadar resin yang berbeda, yaitu 10,3% atau lebih untuk G.
trabeum dan 51,8% atau lebih untuk P. placenta.
Sejumlah penelitian sejenis dengan bahan alam yang berbeda juga diteliti untuk
mendapatkan bahan pengawet yang ramah lingkungan, antara lain: pengembangan
bahan pengawet kayu benign yang ramah lingkungan yang berbasis kombinasi
biosida organik dengan antioksidan dan peng-chelat logam (Schultz and Nicholas,
2002); perbaikan ketahanan kayu dengan perlakuan metil alkenoat sussinat
anhidrida (M-ASA) yang berasal dari tumbuhan (Morard et al., 2007); serta
ketahanan papan partikel yang dibuat dari partikel yang diimpregasi dengan
ekstaktif kulit Pinus brutia terhadap jamur (Nemli et al., 2006).
137
138
Penelitian terhadap daya tahan lima jenis panel kayu komersial yang
diperuntukkan untuk tujuan konstruksi (softwood plywood, hardwood plywood,
particleboard, medium density fiberboard, dan oriented strandboard) menunjukkan
bahwa daya tahan panel kayu terhadap jamur maupun rayap setelah diawetkan
dengan IPBC dan/atau Silafluofen mengunakan CO2 pada suhu dan tekanan yang
cukup rendah (35oC dan 80 kg/cm2) meningkat secara nyata (Muin dan Tsunoda,
2003; 2004). Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa
139
dengan penggunaan tekanan yang jauh lebih rendah dari yang digunakan oleh Acda
dkk (1996) dapat dihasilkan keawetan yang tinggi. Keadaan ini memberikan
indikasi bahwa kondisi perlakuan pengawetan yang diterapkan termasuk siklus
prosesnya dapat dimodifikasi untuk menghasilkan tingkat keawetan yang berbeda
dari jenis bahan kayu yang sama.
1. Modifikasi Kimia
Modifikasi kimia sebagai strategi inovatif untuk melindungi kayu yang ramah
lingkungan dilengkapi dengan reaksi antara bahan kimia tertentu dengan makromolekul
kayu tanpa meninggalkan residu beracun dalam kayu (Morard et al., 2002). Modifikasi
kimia kayu adalah reaksi kimia antara bagian reaktif komponen kayu dan pereaksi kimia
sederhana membenuk ikatan kovalen di anatar keduanya (Rowell, 1991). Modifikasi
kimia dapat dilakukan dengan berbagai perlakuan kimia seperti esterifikasi dan
eterifikasi.
Oleh karena itu, ikatan kovalen yang terbentuk adalah ester dan eter
(Matsuda, 1996).
baik terhadap jamur pelapuk brown rot, white rot dan soft rot (Takahashi, 1996),
meskipun ketahanan terhadap kolonisasi jamur tingkat rendah termasuk mold dan stain
terbukti tidak memuaskan (Beckers et al., 1994). Selain jamur, kayu terasetilasi juga
memperlihatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah (Imamura dan Nishimoto,
1986) dan marine borer (Johson and Rowell, 1988).
Perbaikan ketahanan kayu terhadap biodeteriorasi juga telah dilakukan dengan
proses modifikasi kimia lainnya, termasuk epoksidasi (Rowell et al., 1979), furfurilasi
(Arif et al., 1998), reaksi dengan isosianat (Ellis and Rowell, 1984), ikatan silang
dengan aldehida (Yusuf et al., 1994) dan oligoesterifikasi (Matsuda, 1993).
B. Bahan Diskusi
Mahasiswa diharapkan menyiapkan makalah (10-15 halaman) untuk masingmasing teknik perbaikan sifat keawetan kayu. Makalah diharapkan mengacu pada bahan
bacaan pengayaan dan penelusuran dari internet dan jurnal.
Kebaharuan pustaka
1986.
Pengawetan Kayu.
Alih Bahasa:
1992.
1984.
Oxford-Cambridge,
Massachusetts. USA.
(7) Takahashi, M. 1996. Biological Properties of Chemically Modified Wood. In:
Hon, S. (ed), Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. Marcell
Dekker Inc. New York. p:331-359.
2)
Journal
(1) Nakayama, F.S. 2005. Guayule Future Development. Industrial Crops and
Products 22: 3-13.
(2) Nakayama, F.S.. S.H. Vinyard, P. Chow, D.S. Bajwa, J.A. Youngquist, J.H.
Muehl, and A.M. Krzysik. 2001. Guayule as a Wood Preservative. Industrial
Crops and Products 14: 105-111.
(3) Schultz, T.P. and D.D. Nicholas. 2002. Development of EnvironmentallyBenign Wood Preservatives Based on the Combination of Organic Biocides
with Antioxidants and Metal Chelators. Phytochemistry 61: 555-560.
(4) Morard, M., C. Vaca-Garcia, M. Stevens, J. Van Acker, O. Pignolet, and E.
Borredon. 2007. Durability Improvement of Wood by Treatment with Methyl
Alkenoate Succinic Anhydrides (M-ASA) of Vegetable Origin. International
Biodeterioration and Biodegradation 59: 103-110.
(5) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2003. Termiticidal Performance of Wood-based
Composites Treated with Silafluofen Using Supercritical Carbon Dioxide.
Holzforschung 57, 585-592.
(6) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2004. Biological Resistance of Wood-based
Composites Treated with an IPBC-silafluofen Formulation Using Supercritical
Carbon Dioxide. Journal of Wood Science (in press).
142
2002.
Apa yang anda pahami tentang sifat keawetan kayu? serta kepentingannya untuk
dipelajari.
(2)
Uraikan hubungan antara setiap teknik yang telah diuraikan dengan sifat keawetan
kayu.
(3)
Uraikan pendapat anda, teknik mana yang paling mudah, ekonomis, efektif dan
aman digunakan dalam memperpanjang masa pakai kayu.
143
DAFTAR PUSTAKA
Arif A. 2002. Handout Pengawetan Kayu. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Amin Y. dan Wahyu D. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap
Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. J.
Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 4(2). jurnalmapeki.biomateriallipi.org/jurnal/04022006/04022006-19-24.pdf. [7 Juni 2009]
BATAN. 2006. Teknologi Polimerisasi Radiasi untuk Peningkatan Mutu Kayu.
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir.
www.warintek.ristek.go.id/nuklir/polimerisasi_kayu.pdf. [7 Juni 2009]
Bodig J. And B.A. Jayne. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites. Krieger
Publishing Company. Florida.
Chang HT, Chang ST. 2002. Moisture Excluding Efficiency and Dimensional
Stability of Wood Improved by Acylation. Bioresource Tech. (85) 201 204.
Deka, M & CN Saikia. 2000. Chemical modification of wood with thermosetting
resins: effect on dimensional stability and strength property.
Regional Research Laboratory, Council of Scientific and Industrial Research,
Jorhat-India. [4 November 2007].
Devi RR., T.K. Maji, A.N. Banerjee. 2003. Studies on Dimensional Stability and
Thermal Properties of Rubber Wood Chemically Modified with Styrene and
Glycidyl Methacrylate. Bioresour. Technol. 88(185).
Djoko G., R. Hilmato, A. Tusi. 2007. Rekayasa Pemadatan dan Pengawetan Kayu
Non Komersial Menggunakan Limbah Oli Bekas untuk
Bangunan
Pertanian.
Laporan Penelitian Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu
Pengetahuan Terapan. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat, Dirjen Dikti, Depdiknas. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Lampung.
Haygreen, JG & JL Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar.
Terjemahan SA Hadikusumo. Ed: S Prawirohatmodjo. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes.
John Wiley & Sons, Ltd. England.
144
145