JURNAL ILHIAH
LINGUA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA
Penasihat
Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Penanggung Jawab
Dr Askalani M unir.
Penyunting Penyelia
Askalani Munir, M. Pd.
Penyunting Pelaksana
Agus Wahyudin, M.Pd.
Penyunting TamulPenelaah Ahli
Dr. Agus Aris Munandar
Sekretaris
Agus Wahyudin, M.Pd.
Tata Usaha
Tety Kurniati
Alamat Redaksi
Jalan Pengadegan Timur Raya No.3
Pancoran, Jakarta 12770
Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048
E-mail: askalanimunir@Yahoo.com
ISSN 1412-9183
1-15
16--39
40-46
47-68
69-88
>
Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang dan Indonesia harns
dipahami. Jika tidak memahami, Anda akan salah mengartikan.
Walaupun mengambil judul sekilas, temyata Mengenal Sekilas
Munculnya ijime. Apa yang dimaksud dengan shudanshugi dan ijime itu?
Bagaimana hubungan antara nilai moral shudanshugi dan fenomena ijime?
Redaksi
Abstak
Pilihan kata merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan. Salah memilih kata
dalam penerjemahan akan mengakibatkan kesalahan pesan yang disampaikan kepada pembaca.
Persoalan memilih kata sering dialami setiap penerjemah sekalipun sudah berpengalaman.
Kesulitan-kesulitan itu di antaranya penentuan kata dengan bobot dan konotasi yang tepat,
penyerapan bahasa asing, atau pemilihan istilah atau ungkapan yang tidak ada padanannya
dalam bahasa Indonesia. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan kemampuan
berbahasa Indonesia, salah satunya terampil memilih kata (diksi) sehingga terjemahannya
dapat berterima.
Kata Kunci: pilihan kata, penerjemahan, pesan
Abstract
Word choice is an important element in translation. Poor diction in translation may
transfer different message to readers. Good diction is still a problem to translators even to
the experienced ones. These difficulties include the determination ofwords with the equivalent
quality and connotation, the naturalization, and term and phrase selection that have no
equivalence in Indonesian. To overcome these constraints, translators are required to master
in diction to produce natural translation.
Pendahuluan
Sebelum membahas apa yang menjadi topik pembicaraan, saya mgm
mengingatkan kembali apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Beberapa
pakar linguistik yang mengkhususkan diri pada peneiitian penerjemahan
mempunyai pendapat yang mirip, tetapi diformulasikan dengan cara yang
berbeda-beda. Catford (1965), misalnya, mengatakan bahwa menerjemahkan
adalah mengganti teks dalam bahasa sumber dengan teks sepadan dalam
bahasa sasaran, sedangkan menurut Newmark (1985): "menerjemahkan makna
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Bam atau Menerima
Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang."
Unsur-unsur yang diteliti adalah penulis teks asal, teks asal (TA), penerjemah,
teks terjemahan (TT), dan pembaca. Dalam perkembangan selanjutnya unsur
yang diteliti bertambah dengan situasi komunikasi, citra mental penerjemah,
latar belakang budaya penulis, dan pembaca potensial.
Dengan kata sederhana dapat didefinisikan bahwa menerjemahkan adalah
mema-hami suatu teks (berbahasa asing) untuk membuat orang lain paham
(dalam bahasa sendiri). Penerjemah adalah perantara yang mengomunikasikan
gagasan dan pesan penulis teks asli yang ditulis dalam bahasa sumber kepada
pembaca melalui bahasa lain (bahasa sasaran). Pembaca teks hasil terjemahan
harus memahami dan memperoleh kesan atau pengertian sama seperti pembaca
teks asli. Karena bahasa adalah produk budaya, kegiatan penerjemahan pada
hakikatnya adalah kegiatan antarbudaya. Dalam pengalihan pesan dari bahasa
sumber ke bahasa sasaran, terjadi pula transfer budaya yang membuat pembaca
teks terjemahan mengerti atau tidak mengerti amanat yang
Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur sendiri (sui generis). *
Penerjemah tidak dapat memaksakan sistem dan struktur bahasa sumber pada
bahasa
sasaran
yang
dipakai
dalam
kegiatan
penerjemahan.
Untuk
Apa kabar?
Kumaha damang?
Dear Sir/Madam
Monsieur, Madame,
Dengan hormat,
pesan,
sastra
penerjemah
teks
misalnya,
perlu
berusaha
keras
mengalihbahasakan ungkapan atau kata yang dipilih penulis teks asli karena
konotasi tertentu yang dikehendakinya. Oleh karena itu, dalarn penerjemahan
teks sastra, penerjemah sering mengalarni ketegangan (tension) karena
menghadapi masalah intraduisibilite [ketakterjemahan]. Narnun, penerjemah
wajib menghormati penulis dengan memilih kata, ungkapan, bahkan kalau
mungkin gaya penulis asli. Tentu saja semua harus dilakukan dalarn batas
kewajaran bahasa Indonesia. Penerjemah tidak boleh melanggar hak cipta dan
tetap sadar bahwa ia sedang menerjemahkan, bukan menulis karya sendiri
sehingga menimbulkan pemeo "La Belle infidele" 'Si Cantik yang tidak setia'.
Untuk teks yang lebih teknis sifatnya, operasional, atau fungsional, yang
harus diutarnakan adalah pesan. Adapun penerjemah karya ilmiah perlu
memiliki pengetahuan tentang teks yang akan diterjemahkannya, atau paling
sedikit ia harus berusaha untuk mencari teks-teks dalarn bahasa Indonesia
tentang topik yang sarna dan sering berkonsultasi dengan pakar dalarn bidang
tersebut. t Penerjemah tidak dapat mengandalkan karnus karena penjelasan
dalarn karnus sering tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan dalarn karya
ilmiah. Gillest menyimpulkan bahwa penerjemahan karya sastra harus "author
oriented", sedangkan penerjemahan teks teknis harus "client oriented". Untuk
yang dimaksud dengan "klien", beberapa penulis teori mengacu pada pembaca
potensial, sedangkan yang lain mengartikan editor, penerbit, atau sponsor.
Baca: Paulus Sanjaya (2002), Anna Karina (2002) dan Esther Mokodampit (2003)
Diungkapkan pada Seminar Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Pusat
:
Penerjemahan FIB UI April 1995
Masalah Pilihan Kata dalarn Penerjemahan: Mencari Kata Bam atau Menerima
Kata Pinjarnan (Ida Suudari Husen)
tiruan].
ketidakmungkinan
(intraduisibilite!untranslatability)
menerjemahkan
Di
sinilah
suatu
dipedukan
kata
kekebijakan,
Lihat "Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra" dalam Lintas Bahasa, no. 5 tahun
1996, halaman 6.
sedikit lama-lama menjadi bukit'. Terjemahan kalimat "Tel pere tel fils"
(lnggris: Like father like son) bukanlah 'Begitu bapaknya begitulah anaknya",
melainkan 'Air di cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga', sedangkan
adalah padanan dari 'Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya'.
Terkadang peribahasa bahasa Indonesia merupakan terjemahan harfiah dari
peribahasa Prancis atau Inggris, misalnya: "Les chiens aboient, la caravane
dalam
bahasa
Indonesia,
penerjemah
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Barn atau Menerima
Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
dengan
mudah
5
disebut Machali "kekuatan" (Machali, 2000: 81-82) yang sarna. Hal ini tidak
hanya berlaku untuk karya sastra, tetapi juga dalarn teks umum, seperti contoh
berikut.
The Non-aligned is determined to actively participate [.... ]
contoh berikut kita akan dihadapkan pada kasus pencanan padanan yang
menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial, makanan-minuman, dlL),
istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang, nama diri, sebutan,
gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, buahbuahan, dan hewan.
1. Istilahlkata yang Memiliki Padanan dalam Bahasa Indonesia
a. Beberapa kata sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi
dengan makna yang lebih luas, misalnya ricelriz yang dapat berarti
padiiberaslnasi. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan kata
yang dimaksud.
b. Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan
dapur;
(2) fa
warung kopi;
(4) lingerie
baju dalam;
(5) boutique
toko kecil/warung
-7 butik
toko dengan
keempat istilah lain di atas. Ada yang dipinjam secara utuh dalam bentuk
aslinya, ada pula yang secara perlahan-lahan diserap menjadi bahasa
Indonesia, seperti cafe atau kafe.
Dalam
petunjuk-petunjuk
peneljemahan
senng
dikatakan
bahwa
2.
a. La dot
(2) chateau
(3) franc, louis, sou, pound sterling dipinjam dengan dicetak miring dan
catatan kaki;
(4) croissant, rhum, genievre, dipinjam dengan dicetak miring dan catatan
kaki.
LfNGIJAVo1.9No.I,Maret 1-15
c.
pada
Superman.
Julukan
terkadang
terkadang
tidak
ditetjernahkan, rnisalnya:
Le Tondu
Si Gundul;
Le petit caporal
"Ibu" dan "Bapak", tetapi terkadang tidak, bergantung pada situasi. Gelar
Maitre, Baron, Comte, Marquis, tidak ditetjernahkan karena tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Sernua kata asing dicetak miring dan,
jika perlu, diberi penjelasan pada catatan kaki.
d. Masalah juga tirnbul dalam penetjernahan istilah keagamaan, seperti frere/
brother, pasteur, abbe karena pernakaian istilah di seluruh Indonesia tidak
Masalah Pilihan Kata dalam Peneljemahan: Meneari Kata Bam atau Menerima
Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
c.
paman/om, dll. jika ia menyapa orang yang lebih tua, sedangkan di Barat,
hal itu sering tidak diperlukan. Saya merasakan keganjilan ketika istilah
Kata ganti orang pertama dan kedua yang tampaknya sederhana dan
banyak dipakai dalam kegiatan sehari dalam penerjemahan karya sastra
menimbulkan masalah karena pemakaiannya di Indonesia belum seragam.
Saya pribadi biasa memakai pasangan "saya--canda" dan "aku-kamu".
Namun, pilihan itu pemah dikoreksi oleh seorang editor yang
menambahkan "engkau". Demikian juga pemakaian "ia" dan "dia"
tampaknya belum seragam. Dalam menerjemahkan cerita anak-anak, saya
menyadari sepenubnya bahwa anak-anak masa kini menggunakan kata
ganti "gue dan [u/io" dalam percakapan mereka. Saya berpendapat bahwa
salah satu misi penerjemah adalah juga membina kebiasaan berbahasa
yang baik. Saya mengharapkan bahwa dengan seringnya membaca, anakanak akan berbahasa lebih baik. Televisi pun seharusnya memberikan
dukungan dengan mewajibkan semua orang yang tampil di layar kaca
menggunakan bahasa Indonesia yang "baik" sekalipun hal itu mungkin
sekarang tampak "artifisial" berhubung perusakan bahasa percakapan
10
bahasa
Untuk nama tumbuh-tumbuhan, bunga, dan hewan tidak ada jalan lain
selain memin-jamnya
catatan kaki, misalnya bunga marguerite, anemon, tilleul, ikan truite, dan
salmon. Pada kesempatan ini perlu disampaikan bahwa ada beberapa kata
dalam bahasa Indonesia yang masuk atau dipinjam dalam kamus Prancis,
antara lain durian, bambou, dan orang outang. Seperti telah disampaikan
di bagian terdahulu, penerjemahan teks teknik dan ilmiah menuntut cara
menerjemahkan yang berbeda. Penerjemah hams. memakai teks sejenis
dalam bahasa Indonesia untuk mengetahui istilah yang dipakai berhubung
informasi yang diungkapkan dalam kamus sering tidak memadai. Hal yang
lebih mungkin adalah ensiklopedi. Di samping itu, penerjemah juga harus
sering berkonsultasi dengan pakar bidang ilmu untuk memahami teks yang
sedang diterjemahkan. Idealnya penerjemah adalah pakar bidang tersebut.
Para pakar ilmu sering tidak begitu menguasai bahasa asing teks asal.
Sebaiknya, mereka bekerja sama dengan penerjemah yang menguasai
bahasa teks tersebut. Solusi lain adalah agar penerjemah mengkhususkan
Masalah Pilihan Kata dalam Peneljemahan: Mencari Kata Barn atau Menerima
Kata Pinjaman (Ida Sundari Busen)
11
diri dalam. satu bidang ilmu karena sebenarnya struktur dan istilah yang
dipakai lebih terbatas sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
dapat menerjemahkan dengan lancar dan mudah. Mengenai petunjuk
pemakaian suatu alat, sebaiknya penerjemah melihat sendiri alat tersebut
dan mengerti cara berfungsinya agar hasil terjemahannya benar-benar operasional.
Saya pribadi belum banyak pengalaman dalam penerjemahan teks
teknik. Menurut pengalaman yang masih terbatas itu, ada beberapa catatan.
1. Istilah teknik yang dipakai di Indonesia belum seragam, misalnya istilah
dapur dan tanur. Dalam hal ini, penerjemah perlu meminta bahan dari
beberapa industri atau perguruan tinggi untuk mencari istilah yang lebih
populer.
2. Sering para ilmuwan atau kalangan industri lebih menyukai istilah
Inggrisnya. Usaha penerjemah untuk mengindonesiakan istilah dari bahasa
asing selain Inggris dipandang sebagai berbau
dengan kenyataan.
3. Terkadang ada istilah asing yang diadopsi dalam bahasa Indonesia melalui
bahasa asing lain dan memiliki makna berbeda. Hal ini saya alami waktu
menerjemahkan Indochina dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Saya menemukan istilah yang mengacu pada hiasan dekorasi candi yang
bentuknya tetap seperti kata Prancis, tetapi datang di Indonesia melalui
Belanda maknanya berbeda.
Agar contohnya lebih mutakhir, saya akan mengambil contoh-contoh
dari laporan penelitian tiga orang lulusan Program Spesialisasi 1 Penerjemahan
FIB UI tentang istilah kedirgantaraan (PT IPTN), perlistrikan, dan teknologi
komunikasi seluler.Tampaknya yang sudah membuat standardisasi hanyalah
bidang perlistrikan berkat tim khusus yang dibentuk Direktorat Jenderal Listrik
12
Penutup
teks
terjemahan
yang
akan
ditulisnya.
Seorang
peneIjemah
13
DAFTAR PUSTAKA
Anna Karina. 2002. Analisis Peristilahan Peluncur Roket dalam Lintas Bahasa
no. 20,211X/12/2002. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI.
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford
University Press.
Durieux, C. 2000. "Kreativitas dalam Penerjemahan Teknik" dalam Enseigner
la Traduction, no. 1, April. Jakarta: PPKB, LPUI & Kedutaan Besar
Prancis, hlm. 77-87.
Hoed, B.H. et al. 1993."Pedoman Umum Penerjemahan" dalam Lintas Bahasa
edisi khusus, no. 1 Juli 1993. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Hoed, B.H.1995. "Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya" dalam dalam Lintas
Bahasa no. 2, 3 Maret 1995. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
2002. "Penerjemahan Unsur Budaya" dalam Lintas Bahasa no. 20, 21,
10 Desem-ber 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
2004. "Liberte en Traduction, Skopos et Ideologie" dalam La
Francophonie dans les Pays non Francophones. Acte du Colloque
International 2004. Association des Professeurs de Franyais
d'Indonesie.
Husen, Ida Sundari. 1996. Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra dalam
Lintas Bahasa no. 5, 4 April 1996. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB
UI.
Hidayat, Rahayu Surtiati. 1996. Penerjemahan sebagai tindak Komunikatif
(Pidato Ilmiah pada HUT FIB tanggal 5 Desember 1996)
2002. "Deverbalisasi sebagai Proses Terjemahan" dalam Lintas Bahasa
no. 20, 21, 10 Desember 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: PT Grasindo.
Mokadampit, Esther. 2003. Analisis Peristilahan Telekomunikasi Seluler dalam
Lintas Bahasa no. 23/XI/8/2003. Jakarta: Penerbitan Pusat
Penerjemahan FIB UI.
Nababan, M.R. 2004. "Penerjemahan dan Budaya" in Proceeding Seminar
Nasional Linguistik. Peran Bahasa sebagai Perekat Keberagaman Etnik.
Yogyakarta: Cine Club. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta.
14
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima
Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
15
Abstrak
Uji kemampuan bahasa Jepang (UKBJ) akan memberikan pengaruh yang besar pada
mahasiswa yang akan mempelajari ketrarnpilan yang dipersyaratkan oleh sekolah tinggi yang
bersangkutan. Mahasiswa yang merasa perlu terhadap UKBJ, walaupun tahun tertentu gagal,
akan mencobanya kembali pada tahun berikutnya. Terdapat empat kriteria yang harns
dipertimbangkan dalam Uji kemarnpuan bahasa Jepang: (1) kemahiran kosa kata, (2)
kemampuan menyimak, (3) keterarnpilan tata bahasa, dan (4) kemampuan memahami teks.
Semua kriteria tersebut saling berhubungan satu sarna lain. Kemahiran dalam kosa kata dan
kemarnpuan dalam hurufkanji Jepang akan mempengaruhi kemampuan menyimak. Demikian
pula halnya dengan ketrampilan tata bahasa. Ketrampilan tata bahasa yang rendah akan
mengakibatkan kemarnpuan pemahaman teks yang rendah pula.
Uji kemarnpuan bahasa Jepang (UKBJ) untuk tingkat dasar dibagi menjadi empat
kelompok: Level 4 adalah untuk tingkat dasar, level 3 untuk tingkat menengah, dan level 2 dan
level 1 untuk tingkat atas. Tingkat kesulitan ini sangat beragam, khususnya untukujian dari
Level 3 ke Level 2. Terdapat perbedaan yang sangat besar antara jumlah mahasiswa yang lulus
level 2 dengan jumlah mahasiswa yang lulus level 4. Jumlah mahasiswa yang lulus level 2
pada tahun 2006 sebanyak 42% dari mahasiswa yang mengilkuti ujian dan kemudian menurun
secara drastis pada tahun 2007 sebanyak 18%.
.
Kata Kunci: Uj; kemampuan bahasa Jepang, kemahiran kosa kala, kemampuan menyimak,
ketrampilan tata bahasa, kemampuan memahami teks.
Abstract
Japanese language proficiency test (UKBJ) will be a big impact for students who
want to learn more skills that have been acquired while studying in a college. Students who
feel the importance of this UKBJ and fail that year, will try the following year. Four criteria
must be considered in this Japanese language proficiency: (1) mastery of vocabulary, (2) the
ability of hearing, (3) grammar skills, and (4) reading comprehension. All these mentioned
criteria basically interrelated with each other. The mastery of vocabulary and the low ability
ofJapanese kanji will affect the ability of listening. Similarly, low grammar skill will definitely
causes low text comprehension ability.
Japanese Language Proficiency Test (UKBJ) is divided into four groups: Level 4 is to
test basic level, level 3 is for middle level, and level 2 and 1 for the upper level. This difficulty
level is very diverse, especially for the exam from Level 3 to Level 2. There is a far different
number of students (Students of Padjadjaran University at Japanese Language Department
from the years 2005 in 2007) who passes the test between the one passing level 3 and level 2.
Makalah telah disampaikan dalam Seminar Program Stud; Sastra Jepang, Unpad
16
The number of passing students for level 2 in year 2006 reached 42%, but in the year 2007
decreased drastically to 18%.
Key Words: Japanese Language Proficiency Test, vocabulary mastery, the listening,
I.Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Jepang ini yaitu (1) penguasaan kosakata, (2) kemampuan pendengaran, (3)
kemampuan tata bahasa, dan (4) kemampuan pemahaman teks. Semua kriteria
yang disebutkan pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Kemampuan kosakata dan kanji bahasa Jepang yang rendah akan berpengaruh
besar pada kemampuan pendengaran. Demikian pula, kemampuan tata
bahasanya rendah maka sudah pasti kemampuan pemahaman teksnya pun akan
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
17
rendah. Keterkaitan keempat kriteria tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian
hasil UKBJ dari tahun 2005-2007 yang dipaparkan di bawah ini.
Sejak dimulai adanya UKBJ pada 1984 oleh The Japan Foundation
pusat, setiap tahun peserta semakin bertambah di setiap tempat pelaksanaan
UKBJ di beberapa kota di dunia.
lainnya
dalam
memperoleh kerja yang sesuai dengan keahliannya. Bahkan, perusahaanperusahaan Jepang yang cukup besar, seperti Nasional Gobel dan Toyota Astra,
memberikan syarat bagi lulusan bahasa Jepang harus mampu berkomunikasi
secara aktif dan memiliki sertifikasi level 2. Hal inilah yang membuat
pembelajar pada saat belajar di perguruan tinggi atau sejenisnya untuk terus
meningkatkan diri mulai pada tingkat pertama sampai tingkat akhir sehingga
kepemilikan sertifikasi itu dapat tercapai.
Banyak
universitas
atau lembaga
efektif yakni selalu dapat mengevaluasi kurikulum yang diberlakukan saat ini
agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Kurikulum yang berbasis kompetensi
yang dimiliki sebuah perguruan tinggi hams seimbang dan sejalan dengan
keinginan pasar keIja yang menginginkan lulusan itu memiliki keahlian
yang tidak diragukan lagi. Selain itu, pemantauan hasil UKBJ yang setiap
tahun dilaksanakan akan sangat membantu untuk perbaikan kurikulum secara
bertahap sehingga evaluasi yang rutin dan berkala akan menemukan segi
kelebihan dan kelemahan kurikulum yang berlaku.
Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (UKBJ) ini terbagi dalam empat
kelompok, yaitu ujian tingkat dasar (Level 4), tingkat menengah (Level 3), dan
tingkat atas yang terdiri dari Level 2 dan Levell. Tingkat kesulitan ini sangat
beragam, khususnya untuk ujian dari Level 3 ke Level 2, sebagaimana tampak
dari hasil Ujian mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Universitas Padjadjaran pada
2005-2006 di bawah ini.
TAHUN
LEVEL 4
2005
217 (28,6%)
67/139 (48,2%)
2006
1110 (10%)
106/173 (61,3%)
19
2.
kemampuan
dalam
mengingat
kosakata
bahasa
Jepang,
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Empat Tingkat Tingkatan dalam UKBJ
Dalam presentasi yang disampaikan The Japan Foundation Pusat
(Kaneda, Januari 2006) diperoleh gambaran tentang nilai ukur spesifik untuk
ujian kemampuan bahasa Jepang, baik Level 4 maupun Levell.
20
UJ o)TJi
4f& 0) UJ {.5": 11 \
{.5": 11 \)
.A
I- 4.0
111
f;l
:I: 3.0
(/)
i 2.O
,j:l
1.0
0.0
-9.0 -8.0 -7.0 -6.0 -5.0 -4.0 -3.0 -2.0 -1.0 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0 8.0
9.0
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
21
2.2 Kisi-kisi
Tingkatan (Level) .
LEVEL
1.
JUMLAH
JUMLAH
KOSAKATA
HURUFKANJI
10.000 *
1.926 *
Noryoku
Shiken
Shutsudai Kijun
2.
6.000 *
1.000 *
3.
1.500 *
300 *
4.
800 *
100 *
NB: (*) : Dapat dilibat di buku sumber Nihongo Noryoku Shiken Shutsudai Kijun Edisi
1996
Kisi-kisi level 4 dan level 3 yang ada di dalam buku ini, khusus untuk
tata bahasa dan pemahaman wacana, telah memperlihatkan sebuah tabel yang
mengacu kepada buku pegangan yang ada yang dipakai di universitas, baik
yang di dalam maupun Iuar negeri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pada buku pegangan Nihongo Shoho yang dipakai di Universitas Padjadjaran
hampir memenuhi kisi-kisi yang sudah ditentukan, hanya beberapa pola
kalimat atau tata bahasa yang tidak tercantum dalam buku ini, yaitu pola
kalimat dan tata bahasa.
Pola kalimatltata bahasa yang tercantum di atas perlu dicermati dengan
baik oleh pengajar bahasa Jepang tingkat dasar, baik pada pelajaran Nihongo
Kiso I-II, Hyougen I maupun Enshu 1-11
22
Kisi-kisi untuk level 2 dan level 1 pada buku NNSSK ini tidak
memberikan gambaran tentang perbedaan isi materi-materi buku pelajaran
yang dipakai untuk tingkat menengah (Chukyuu) atau tingkat atas (Jokyuu) ,
tetapi hanya memberikan contoh kata yang berfungsi secara tata bahasa (xt:ft
IJ it.
[ 1]
[2]
//
[ 3 ]
Y!7 -
[ 4 ]
--b: Y
B :$:mM
!7 ---
[8J
::1:LLL!
J{:!J'J
[9J
Jj(fii
*'l!--
If' B:$:A C
[10J
<f>Fftfll=lill>
[llJ
3\:,,
If' ?
I jj
-.?C
(UP
-:>
Y.l JJ
C-"iifj":$:) >
J;lIJfF
If' C:" =
UJl B
E?B<:.y =
<DIIlXJ
'7 "
[23J r7:; 7 :;
[25J
-'"
ffl5L. -lill>
[ISJ
[I4]
[24J
I J
m'T-
[12J
'"
JrB:>f;:mnjj
[5 ]
[7
rm,f\;;
If" B
I, 71" - ;v J
1989if12}1 1 B
1989if12}1-1990if 1 }1
1989if12}1-1990if 1}1
t::.o
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
23
*& I
rs
fflfJu
'" lb
<j-.....-lb <
<
iJ
0 to -t t1 lb 0
[p]l:L---=>"'Jlbo
"'---=>---=>lbo
,C if3
--C
0)
if3 0
if30tc
"-' t,r- b
t,r- b
L --C
tc =-
t,r- b
kisi ujian ini, baik dalam pelajaran Imiron (Semantik), Keitairon (Morfologi),
maupun Togoron(Sintaksis).
3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang
dan
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
25
4. Metode Penelitian
26
TAHUN
LEVEL 4
2005
217 (28,6%)
67/139 (48,2%)
2006
1110 (10%)
106/173 (61,3%)
2007
1110 (10%)
89/192 (46,35%)
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
27
terpisah. Untuk lebih jelasnya, hasil perolehan kelulusan siswa untuk setiap
kriteria tersebut telah dicoba untuk menganalisis dengan menghitung frekuensi
dan membuat tabulasi silang seperti berikut ini.
PRESENT ASE KELULUSAN SISWA UNIVERSITAS
KELOMPOK
KRITERIA
YANG LULUS
Kosakata saja
B
Pendengaran saja
TAHUN2006
TAHUN2007
LEVEL 2
LEvEL 3
LEvEL 2
LEVEL 3
LEvEL 2
LEvEL 3
(0=92)
(0=250)
(0=66)
(0=221)
(0=64)
(0=211)
3,3%
12,1%
14,9%
9,4%
19,6%
4,6%
11,3%
3,1%
19,6%
4,4%
C
Tata Bahasa dan
2,2%
Pernaharnan Teks
A +B
Kosakata +
Pendengaran
A +C
Kosakata + Tata
Bahasa dan
Pernaharnan Teks
B +C
Pendengaran +
28
4,4%
8%
3,00/0
6,3%
30,5%
2,2%
8%
3,0%
9,5%
3,1%
29,0%
kosakata saja pada 2006 pemah rnencapai 42,4 %,. Akan tetapi, pada 2007
rnenurun kernbali secara drastis, yakni hanya rnencapai 18% yang harnpir
sarna dengan 2005. Pada tampilan di atas tabulasi silang antara kriteria A+B,
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
29
A+C, dan B+C untuk level 2 memiliki kecenderungan presentase yang rendah
sesuai dengan masing-masing kelulusan kriteria.
Sesuai dengan yang diutarakan Kaneda (Asean Summit Bandung,
2007) bahwa persiapan untuk level 2 hams benar-benar mantap, baik itu belajar
mandiri maupun belajar di kelas, mengingat perbedaan yang sangat jauh dari
isi soal antara level 2 dan level 3. Dalam belajar mandiri ada buku yang dapat
dijadikan patokan atau kisi-kisi untuk mempersiapkan UKBJ tersebut, baik
untuk jumlah kosakata, contoh soal untuk pendengaran, tatabahasa, maupun
pemahaman teks. Buku kisi-kisi ini dapat dijadikan referensi pengajar untuk
perbaikan bahan ajar dalam memberikan materi pelajaran, khususnya yang
berkaitan dengan empat kriteria di atas.
Dalam pembahasan berikut,
membahas angket yang diiisi oleh peserta ujian: pertama pada waktu UKBJ
dilaksanakan dan kedua pada waktu peserta memperoleh hasil kelulusan.
Angket yang pertama telah disebarkan kepada 275 peserta ujian terdiri
dari laki-laki 78 orang (28,4%) dan perempuan 197 orang (71,6%). Usia
terbanyak kelompok umur 20-24 tahun (80%), sisanya di bawah 20 tahun
(17,5%) dan di atas 25 tahun (2,5%). Ditinjau dari pendidikan peserta ujian
didominasi oleh mahasiswa program S-l, yaitu 143 orang (52%), D-3 97
orang (35,3%), dan program Ekstensi 35 orang (12,7%). Level yang diikuti
hampir sebagian besar level 3,21 orang (76,7%).
30
LEVEL
KARAKTERISTIK
I Jumlah
Jumlah
%
0/0
USIA
<20Tahun
20-24 Tahun
25+ Tahun
JENIS KELAMIN
Laki-laki
Perempuan
PENDIDIKAN
ProgramD-3
Program Ekstensi
Progra!r.. S-1
2
3,1
60
93,8
2
3,1
46
21,8
160
75,8
5
2,4
19
29,7
45
70,3
59
28,0
152
72,0
13
20,3
20
31,3
31
48,4
84
39,8
15
7,1
112
53,1
8
12,5
56
87,5
30
14,2
181
85,8
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
31
LEVEL
KARAKTERISTIK
IJumlah
%
Jumlah
%
Mengikuti UKBJ sebanyak:
Belumpemah
1 Kali
2 Kali
3 Kali
4 Kali
5 Kali
8 Kali
1
1,6
3
4,7
18
28,1
32
50,0
6
9,4
4
6,3
34
16,1
33
15,6
111
52,6
29
13,7
3
1,4
1
5,0
1
1,6
7
10,9
56
87,5
34
16,1
1
5,0
1
1,6
2,4
168
79,6
Selanjutnya akan dibahas hasil angket tentang penilaian peserta
terhadap persiapan ujian, baik itu untuk kriteria kosakata, pendengaran, tata
bahasa, maupun pemahaman wacana. Selain itu, dibahas pendapat peserta
terhadap pemakaian buku ajar yang dipakai selama ini.
32
dari 25%), berturut-turut untuk level 2 sebanyak 10 orang (25%) dan untuk
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
33
IJumlah
Jumlah
%
Buku Bahan Ajar
Sangat Menunjang
Menunjang
Kurang Menunjang
Sangat
Tidak
Menunjang
dalam
Kemamuuan
menjawab
KOSAKATA
Yakin>75%
Yakin 50-75%
Yakin 25-50%
Yakin <25%
34
6
9,4
23
35,9
31
48,4
4
6,3
52
24,6
134
63,5
21
10,0
3
4,7
20
31,3
41
64,1
6
2,8
54
25,6
20
31,3
58
27,5
3
4,7
21
32,8
32
50,0
8
12,5
30
14,2
134
63,5
43
20,4
4
1,9
LEVEL
KARAKTERISTIK
Jumlah
%
dalam
Kemamnuan
menjawab
PENDENGARAN
Yakin>75%
Yakin 50-75%
Yakin 25-50%
Yakin <25%
dalam
Kemamnuan
menjawab
Tatabahasa dan Pemahaman
Wac ana
Yakin>75%
Yakin 50-75%
Yakin 25-50%
Yakin <25%
I.JUmlah
9
14,1
38
59,4
16
25,4
14
21,9
27
42,2
l3
20,3
7
3,3
71
33,6
102
48,3
12
5,7
19
9,0
122
57,8
57
27,0
5
2,4
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
35
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
37
4. Kelulusan kriteria A untuk level 2 pada 2006 mencapai 42%, tetapi pada
tahun 2007
5. Kombinasi antara kriteria A+B, A+C, B+C, dan A+B+C untuk level 2
memiliki kecenderungan presentase yang rendah sesuai dengan masingmasing kelulusan kriteria.
6.2 Saran
Dengan tingkat kelulusan UKBJ
DAFTARPUSTAKA
Koryuu
rACTFL-OPI
Kikin
Aruku, Tokyo
(2006)
(1999)
ACTFL
Oral
Proficiency
Interview
Tester
Yasuaki
Kaneda(2006)
rs
Tokyo.
Zaidan Hojin Nihon Kokusai Kyoiku Shien Kyokai (2006) "The 2005
Japanese Language Proficiency Test Levelland 2 Questions" The
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemarnpuan
Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
39
Abstrak
Pemahaman mahasiswa terhadap penggunaan kata yang menunjukkan tempat dan
arah dalam bahasa Jepang masih kurang. Mereka lebih menguasi bahasa Indonesia karena
dianggap sudah dikenal sebelumnya. Penggunaan partikel dalam bahasa Jepang juga sebatas
hapalan, belum memahami peraturan. Hal ini disebabkan kaidah yang ada dalam pikiran
mahasiswa masih terbiasa dalam pola bahasa Indonesia.
Kata Kunci: pemahaman kata, tempat, arah
Abstract
Student's understanding of the use of words indicating place and direction in
Japanese is still poor. Students are more proficient in Indonesian as it is already familiar to
them. The use of particle in Japanese is just as for memorization without understanding the
usage. The usage that exists in students' mind is still Indonesian usage. Students are still
accustomed to the pattern ofIndonesian.
Key Words: understanding words, place, direction
A. Pendahuluan
berdasarkan
kaidah
yang
bersifat
universal.
Karena
Disampaikan dalam Seminar Nasioanl Gakkai di Kampus Binus Jakarta, 12 Februari 2010
40
0,
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang
dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
41
antara nomina dan kata lainnya, yang termasuk dalam joshi ini adalah ga,
0,
2. Setsuzokushi dipakai setelah yougen (kata keIja dan kata sifat) atau setelah
jodoushi yang berftmgsi melanjutkan kata-kata sebelumnya terhadap kata-
kata berikutnya, yang termasuk dalam joshi ini adalah ba, to, keredo,
keredomo, ga, kara, shi, temo (demo), te (de), nagara,tari (dari), noni, dan
node.
3. Fukujoshi dipakai setelah berbagai macam kata dan mempunyai kaitan
yang erat dengan bagian kata berikutnya, yang termasuk dalam joshi ini
adalah wa, mo, koso, sae, demo, shika, made, bakari, dake, hodo,
kurai(gurai), nado, nari, yara, ka, dan zutsu.
4. Shuujoshi dipakai setelah berbagai macam kata pada bagian akhir kalimat
arah dalam bahasa Jepang adalah de, ni, dan 0, sedangkan e dan kara termasuk
ke dalam kakujoshi.
D. Pemahaman Mahasiswa
f.l. 0) -=rftHi7j7)
-lj-
0)
J: ?
'c. 77k
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang
dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
VJ
*To
43
untuk notta. Ketika ditanya alasannya, jawabannya karena itu sudah pasti.
3. ::::::m::JiYJ (
0)
it Iv o
(-r.
;k$;6>;;b0t:. o
44
Kemudian hal yang ditemui dalam mata kuliah teIjemahan adalah ketika
meneIjemahkan kalimat berikut.
meneIjemahkan menjadi
Yi-
C: --C t
* v\
Yi-
atau
C: --C t
* v\
Dalam
r-
:/(]) ::1
It)
To
1.
2. ::k':iJ) G tf::l--C
It)
dari
3.
'Kuliah di universitas'
4.
5. T'? Y
-{
6.
telat datang di kampus'
E. Simpulan
Dari hasil jawaban yang diberikan mahasiswa temyata pemahaman
mahasiswa terhadap penggunaan.partikel dalam bahasa Jepang barn sebatas
hapalan belum memahami peraturan dan masih terpola pada bahasa Indonesia.
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang
dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
45
DAFTAR PUSTAKA
Chisato,
Mata
kuliah Pengembangan
2001, Nihongo
ga
wakaru:
Bunpo,Goi,Hyoki,Kindai
Bungeisha : Tokyo.
46
Wabya
StafPengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Pacijacijaran
saia. aulia@yahoo.com
Abstrak
Oialektologi adalah bidang kajian linguistik interdisipliner. Oialektologi disebut juga
kajian variasi bahasa. Mengingat variasi bahasa merupakan representasi perubahan bahasa,
dialektologi juga merupakan kajian perubahan bahasa. Objek dialektologi adalah variasi
bahasa. Membahas variasi bahasa berarti membahas sejarah bahasa. Pembahasan sejarah
bersifat diakronis. Hanya mengingat kemudian adanya penyempitan makna pada konsep
dialektologi itu sendiri, variasi bahasa yang dimaksud lebih tertuju pada varisi geografis.
Mengingat hal itu, dalam dialektologi juga dibahas geografi dialek, Geografi dialek adalah
kajian yang berobjek dialek geografis. Oi samping istilah geografi dialek, dikenal pula
geolinguistik. Oalam dialektologi atau geografi dialek data bukan hanya diseskripsikan,
melainkan juga divisualkan dalam bentuk peta.
Kata kunci: dialektologi, geografi dialek, geolinguistik.
Abstract
Dialectology is a study of interdisipliner lingustics. It is also called a study of
language variation. Because language variations represet language change, dialectology is a
study of language change. The research object of dialectology is language variation. It means
to study
history or diachronic study. But the concept ofdialctology then is a study of
goghraphic variation. So the dialectology studies a dialect geography. Geography dialect
studies a geographical dialect. Besides terminology of a dialect geography is also called
geolinguistcs. Dialectology not only describes the data also visualizes data in a map.
Key words: dialectology, dialect geography, geolinguistics.
47
pada bahasa keseharian alamiah manusiayang tidak dibuat-buat, yang lahir apa
adanya untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial penuturnya.
Mengingat luasnya konsep bahasa sehingga secara dimensional bahasa
dapat diamati dari berbagai sisi. Oleh karena itu, linguistik memiliki berbagai
subkajian, yang membentuk disiplin tersendiri dan memiliki teori tersendiri
pula. Oleh para linguis, bahasa dipandang sebagi sistem simbol atau lambang.
Bidang linguistik yang memandang bahasa dalam sistem internalnya sematamata disebut mikrolinguistik. Sistem internal ini terdiri atas bunyi (fon), yang
dikaji oleh fonologi; morfem, yang dikaji oleh morfologi; satuan lingual yang
berupa frasa, klausa, dan kalimat yang dikaji oleh sisntaksis. Kajian-kajian ini
merupakan linguistik deskriptif. Termasuk ke dalam mikrolinguistik ini kajian
linguistik diakronis atau linguistik histories atau linguistik historis komparatif.
Di samping mikrolinguistik terdapat makrolinguistik dan sejarah
linguistik. Makrolingusitik terbagi atas bidang interdisipliner dan bidang
terapan. Dialektologi termasuk bidang interdisipliner. Dialektologimerupakan
lintas kajian lingusitik dengan geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan
sosiolinguistik,
bahkan
untuk
menafsirkan
kata-kata
tertentu
dapat
2. Dialektologi
2. 1 Pengertian Dialektologi
Dalam pengertian umum, sesuai dengan ruang lingkup objek yang
dikaji pada awal-awal pertumbuhannya, dialektologi adalah kajian tentang
dialek atau dialek-dialek (Chambers dan Trudgill, 1980: 3; Francis, 1983: 1;
Walters, 1989: 119; Pei, 1966: 68). Dilaktologi berkaitan dengan aspek
regional dan so sial bahasa (Shuy, 1967: 3). Walaupun kajian ini baru benarbenar memperoleh perhatian dari para ahli bahasa menjelang akhir abad ke-19,
48
49
50
51
dalarn beberapa kata, tata bahasa, danlatau pelafalan dari bentuk lain pada
bahasa yang sarna. Pei (1966: 67) membatasi dialek sebagai cabang atau
bentuk tertentu dari bahasa yang digunakan di wilayah geografis tertentu.
Poedjoseodarmo (tanpa tahun) membatasi dialek sebagai varian yang walaupun
berbeda masih dapat dipaharni oleh penutur dari varian lain. Kridalaksana
(1993: 42) membatasi dialek sebagai variasi yang berbeda-beda menurut
pemakai, apakah di tempat tertentu (dialek regional), oleh golongan tertentu
(dialek sosial), ataukah pada waktu tertentu (dialek temporal). Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan sistem atau
variasi bahasa. Variasi ini bisa berwujud variasi regional atau geografis jika
digunakan di tempat tertentu, bisa berwujud variasi sosial (sosiolek) jika
digunakan oleh kelompok sosial tertentu, dan bisa berwujud variasi temporal
jika digunakan pada waktu ter-tentu. Dengan demikian, dialektologi
merupakan kaj ian variasi bahasa.
Para linguis sering menggarnbarkan variasi geografis (variasi regional)
dan variasi sosial dengan arah yang berbeda. Variasi geografis berarah
horizontal, sedangkan varisi sosial berarah vertikal. Variasi sosial cenderung
bertingkat sesuai dengan adanya lapisan-Iapisan sosial, sedangkan varisi
geografis tidak. Bagan berikut mengarnbarkan posisi kedua jenis variasi
tersebut.
52
variasi
sosial
ID
l1li
variasi regional
Menurut Meillet (1970: 70), juga dikutip oleh Ayatrohaedi (1983: 2),
dialek memiliki ciri sebagai berikut. Pertarna, perbedaan dalarn kesatuan,
kesatuan dalarn perbedaan. Kedua, dialek adalah seperangkat ujaran setempat
yang berbeda-beda yang memiliki ciri umum dan lebih mirip sesarnamnya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sarna. Ketiga, dialek
tidak hams mengarnbil semua bentuk ujaran setempat dari sebuah bahasa.
Berdasarkan pandangan ini, secara umum dialek merupakan sistem yang
memiliki kekhasan sebagai bagian dari sistem bahasa.
Dalam teminologi sosiolinguistik, dialek dan register, yang keduaduanya sebagai variasi bahasa, dibedakan. Dialek merupakan variasi bahasa
yang berkaitan dengan pemakainya, sedangkan register merupakan variasi
bahasa yang berkaitan dengan pema-kaiannya (Halliday, 1965: 67; Halliday
dan Hasan, 1992: 56; Finegan, 1989: 383-384).
Halliday dan Hasan (1992: 56) di antaranya berpandangan bahwa ada
keterkaitan yang erat antara register dan dialek sehingga tidak ada pemisah
yang jelas antara keduanya. Dialek (variasi dialektal) menyatakan hal yang
sarna dengan cara yang berbeda, sedangkan register menyatakan hal yang
berbeda. Dialek cenderung
diungkapkan, tetapi dalarn hal pemyataan makna dalarn aspek bahasa yang
lain, tata bahasa, kosakata, fonologi, dan fonetik. Register berbeda yang satu
dengan yang lainnya dalarn hal makna. Bahasa Indonesia yang digunakan
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi
dan Perubahan Bahasa (Wabya)
53
dalam karya ilmiah merupakan salah satri register bahasa Indonesia. Demikian
pula, penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang ilmu tertentu.
Untuk membedakannya dengan bahasa, walaupun sering tidak secara
tegas, para linguis sering membatasi dialek sebagai variasi bahasa yang saling
dapat dipahami oleh pemakainya (mutual intelligibility) (Lehman, 1973: 255:
Chambers dan Trudgill, 1980: 3; McManis dkk., 1988: 341; Steinbergs, 1997:
372; Saussure, 1988: 334). Menurut Robins (1992: 70), linguis cenderung
memusatkan perhatian pada kriteria ini karena berhubungan dengan kenyataan
yang khas linguistis. Namun, istilah ini bukan masalah saling dapat memahami
secara total atau tidak saling memahami sama sekali, melainkan ada tingkatantingkatannya. Adanya kebertingkatan pemahaman ini diakui pula oleh Petyt
(1980: 13).
Batasan bahasa dan dialek kadang-kadang kabur lebih-lebih karena
faktor politik, budaya, sosial, sejarah, dan agama (Steinbergs, 1997: 372;
Chambers dan Trudgill, 1980 : 5; Lyons, 1975: 19; 1995: 35). Kepemilikan
kesusastraan pada dialek tertentu dapat menyulitkan pembedaannya dari
langue (Saussure, 1988: 334). Menurut Robins (1992: 60), dialek merupakan
abstraksi yang sama jenisnya seperti bahasa. Akan tetapi, karena dialek
mencakup lebih sedikit penutur, orang bisa membuat pemyataan yang lebih
mendekati bahasa yang sebenamya digunakan penuturnya. Oleh karena itu,
konsep saling dapat dipahami kadang-kadang sulit dijadikan kriteria pembeda
dialek dan bahasa (Petyt, 1980: 13).
Penulis berpandangan bahwa dialek merupakan bentuk variasi bahasa,
baik dalam lingkungan so sial maupun lingkungan geografis tertentu. Dalam hal
ini, penulis sependapat dengan Chambers dan Trudgill bahwa penggunaan
istilah variasi untuk dialek lebih netral atau aman untuk keperluan teknis
tertentu.
54
Tidak ada seorang pun penutur sebuah bahasa yang lepas sama sekali
dari dialek atau variasi bahasanya Ketika orang itu berbicara, saat itu pula
yang bersangkutan berbicara dalam dialeknya atau variasi bahasanya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Pilch (1976: 123). Bahasa, tanpa kecuali, dinyatakan
melalui dialek, berbicara dalam sebuah bahasa berbicara dalam beberapa dialek
bahasa itu. Meskipun terdapat variasi dalam bahasa, tidak
berarti variasi
55
Dialek yang satu berbeda dengan dialek yang lain karena masingmasing memiliki kekhasan yang bersifat lingual. Kekhasan inilah yang menjadi
pembeda bagi dialek-dialek tersebut. Ayatrohaedi (1983: 3-5) mengacu pada
pandangan Guiraud (1970) yang berpendapat bahwa pembeda dialek pada garis
besamya ada lima macam, yakni sebagai berikut:
(1) perbedaan fonetis, yaitu perbedaan pada bidang fonologi, misalnya,
careme dan cereme "buah (pohon) cermai, gudang dan kudang 'gudang',
danjendela, gandela, dan janela 'jendela' dalam bahasa Sunda;
nama yang
berbeda untuk linambang yang sama pada beberapa tempat yang berbeda,
misalnya, turi dan turuy 'turi' dalam bahasa Sunda, kemudian (b)
homonimi, yaitu nama yang sarna untuk hal yang berbeda pada beberapa
tempat yang berbeda, misalnya, meri 'itik' dan 'anak itik' dalam bahasa
Sunda;
(3) perbedaan onomasiologis, yaitu nama yang berbeda berdasarkan satu
konsep yang diberikan pada beberapa tempat yang berbeda, misalnya,
ondangan,
kondangan,
(4) perbedaan semasiologis, yaitu nama yang sama untuk beberapa konsep
yang berbeda, misalnya, Aceh 'nama suku bangsa', 'nama daerah', 'nama
kebudayaan', 'nama bahasa', dan 'nama' sejenis rambutan';
(5) perbedaan morfologis, yaitu perbedaan dalam bentukan kata, misalnya,
lemper dan lelemper 'lemper'; ogo dan ogoan'manja dalam bahasa Sunda.
perbedaan (3), perbedaan semantis, perbedaan (2b) dan (4), dan perbedaan
morfologis, perbedaan (5).
Perbedaan-perbedaan di atas dianggap sebagai varian. Perbedaan fonetis, leksikal, dan morfologis berkaitan
dengan varian bentuk, sedangkan perbedaan semantis berkaitan dengan varian makna. Dari varian-varian tersebut
ada yang merupakan bentuk atau makna asal, ada pula bentuk atau makna baru (pembaruan). Bentuk dan makna
baru (hasil pembaruan) dalam tradisi dialektologi disebut bentuk inovatif dan makna inovatif
Crystal (1989: 341), serta Petyt (1980: 16) berpandangan bahwa perbedaan
dialek ditandai dengan perbedaan kosakata, tata bahasa, dan pelafalan,
sedangkan perbedaan aksen ditandai dengan perbedaan pelafalan. Penulis
sendiri berpandangan bahwa perbedaan dialek dapat terjadi pada bidang
fonetik, leksikon, dan tata bahasa, tetapi umumnya perbedaan lebih sering dan
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi
dan Perubahan Bahasa (Wabya)
57
menonjol pada bidang fonetik dan leksikon. Perbedaan tata bahasa umumnya
terjadi pada tataran morfologi, bukan pada tataran sintaksis. Jika perbedaan
terjadi pada tata bahasa, perbedaan itu akan sangat terbatas. Perbedaan tata
bahasa, yakni perbedaan yang berkaitan dengan struktur, umumnya tidak
menunjukkan perbedaan dialek, tetapi me-nunjukkan perbedaan bahasa.
Dalam
sebagaimana telah dijelaskan di atas, dikenal pula variasi lain, yakni aksen,
idiolek, dan lek. Pada penjelasan sebelumnya telah disinggung perbedaan
antara dialek dan aksen. Dialek merupakan variasi bahasa yang mengacu pada
perbedaan kosakata dan tata bahasa, sedangkan aksen variasi bahasa yang
mengacu pada perbedaan pelafalan atau fonetis. Meskipun demikian, bukan
berarti dialek yang berbeda tidak ditandai aksen yangberbeda. Perbedaan
dialek dapat ditandai dengan perbedaan aksen, tetapi perbedaan aksen belum
tentu menandai perbedaan dialek.
Idiolek merupakan sistem bahasa yang ditemukan pada seorang penutur
dan mencerminkan kebiasaan berbahasa perseorangan (Rodman, 1993: 276).
Ketika seseorang mengkaji dialek, idiolek merupakan objek pertama kajiannya.
Dialek merupakan abstraksi dari sejumlah idiolek ini sebagaimana bahasa
merupakan abstraksi bagi sejumlah dialek (Crystal, 1989: 24). Idiolek
merupakan batas terendah dialek (Robins, 1992: 61).
Lek merupakan istilah bam yang sepadan dengan istilah variasi, baik
yang berlatar belakang personal, regional, sosial, pekerjaan, atau yang lainnya
(Crystal, 1989: 24). Chambers dan Trudgill (1980: 132-142) menggunakan
istilah ini untuk mendeskripsikan beberapa perbedaan lafal bahasa Inggris yang
ditelitinya. Istilah itu digunakan penulis sebagai variasi leksikal atau variasi
fonetis yang terdapat dalam variasi bahasa, terutama yang menandai variasi
58
geografis. Istilah lek dipahami tidak hanya sebagai konsep variasi yang ne-tral,
tetapi variasi yang berkaitan dengan perbedaan geografis dan kelompok sosial.
3. Geografi Dialek
3.1 Pengertian
Geografi dialek kadang-kadang disebut dialektologi regional, linguistik
wilayah, geografi linguistik, dan dialektologi tradisional (Walters, 1989: 120).
Geografi dialek merupakan kajian dialek regional atau dialek geografis
(McManis dkk., 1988: 341). Kajian ini merupakan cabang dialektologi yang
mempelajari hubungan yang terdapat dalam ragam-ragam bahasa dengan
bertumpu kepada satuan ruang atau temp at terwujudnya ragam-ragam tersebut
(Dubois dkk. dalam Ayatrohaedi, 1983: 29). Dari beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa geografi dialek merupakan kajian linguistik yang
berobjek dialek regional atau dialek geografis. Istilah geografi dialek bisa
disebut juga geolinguistik. Istilah geolinguistik ini digunakan dalam disertasi
penulis.
59
linguistik,
60
61
4. Geolinguistik
(1983: 2)
meletakkan kajian Labov tersebut sebagai kajian murni linguistik dengan objek
berupa bahasa dan masyarakat.
Oleh Trudgill (1983: 1) geolinguistik dianggap kajian dialek dalam
pengertian yang luas, yakni kajian mengenai variasi so sial dan regional bahasa
beserta perkembangan, difusi, dan evaluasinya. Baginya, geolinguistik
merupakan dialek geografi sosiolinguistis (sociolinguistic dialect geography).
Geolinguistik sebenarnya telah lama dikenal sebelum Chambers dan
Trudgill mengusulkan penggunaan istilah tersebut pada karyanya pada 1980.
Chambers dan Trudgill (1980: 207) sendiri mengakui bahwa istilah ini
biasanya muncul
umum dipakai di mana pun. Bentuk terikat geo- 'bumi' pada geolinguistik
beranalogi pada istilah seperti geografi dan geologi.
Pei (1966: 104) berpendapat bahwa geolinguistik merupakan kajian
bahasa dalam kehadirannya yang sekarang dengan pengacuan tertentu terhadap
sejumlah penutur, distribusi geografis, ekonomi, pengetahuan, dan kepentingan
budaya; juga identifikasinya dalam bentuk bahasa lisan dan tulis. Pei
selanjutnya mengingatkan bahwa istilah ini tidak boleh dikacaukan dengan
geolinguistika yang kadang-kadang digunakan oleh linguis Italia sebagai
sinonim untuk geografi linguistik. Dalam hal ini, Pei sependapat dengan
Chambers dan Trudgill mengenai telah digunakannya istilah di atas oleh
linguis sebelumnya, terutama di Italia.
Sehubungan dengan uraian ini, penulis berpandangan bahwa terdapat
benang merah pada penggunaan istilah geolinguistik oleh para linguis tertentu,
yakni istilah ini mengacu pada kajian linguistik yang berkaitan dengan variasi
bahasa dengan berbagai faktor yang melingkupinya meskipun pada awal
penggunaannya memiliki konsep yang terbatas. Dalam hal ini, Chambers dan
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi
dan Perubahan Bahasa (Wahya)
63
Trudgill
boleh
dikatakan
hanya
mengumandangkan
peresmlan
atau
5. Penutup
Dialektologi
sebagai
bidang
64
DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan Nasional.
Teaching. Bloomington:
Halliday, M.A.K dan Hasan, Ruqaiya. 1992. Bahasa, Konteks dan Teks AspekAspek Haji Omar, Asmah. 1985. Susur Galur Bahasa Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. Bahasa
dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan Asruddin Barori Tou
dari Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-
65
66
Dalam
67
A.
1975.
Algemene
en
Vergelijkende
Dialectologie.
Daftar Kamus
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi III. Jakarta: Gramedia.
Pei, Mario. 1966. Glossary ofLinguistic Terminology. New York and London:
Columbia University Press.
Richards, Jack dkk. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics.
Longman.
68
Abstrak
Fenomena ijime merupakan hal yang menarik dikaji. Munculnya gejala ini salah
satunya diakibatkan karena kuatnya ikatan solidaritas masayarakat Jepang pada kelompoknya
atau dikenal dengan nakama ishiki. Ijime merupakan kasus tindak kekerasan yang dilakukan
bukan secara individual, melainkan secara kelompok.
Kata kunci: ijime, shudanshugi, solidaritas
Abstract
Ijime phenomenon is a subject that is interesting to study. The occurance of this
phenomenon is caused among other by a strong solidarity cohesiveness in the Japanese society
for its group which is called "nakama ishiki". Ijime is a case of violence act committed not by
individual but corporately by a group.
Key words: ijime, shudanshugi, solidarity
Pendahuluan
69
kesadarannya
sebagai
anggota
kelompok
masyarakat
Jepang.
i..-I<J>
shudan shugi (
sarna, dan tingkah laku yang sarna telah mempersatukan orang-orang Jepang
dalarn masyarakatnya. Apa yang dianggap baik oleh anggota yang satu, maka
akan dianggap baik pula oleh anggota yang lainny .. Sebaliknya, apa yang
dianggap buruk oleh anggota yang satu, maka akan dianggap buruk pula oleh
anggota yang lain. Berarti dapat dikatakan bahwa segala tindakan kebersarnaan
yang teIjadi dari hasil aksi dan reaksi dari anggota kelompok dan adanya
kebersarnaan yang kolektif dalarn masyarakat Jepang menunjukkan satu
i..-1<J>?t::1v
i..-I<J>
adalah suatu
v'i..-<!
yaitu
kesadaran berkelompok. ii
Masyarakat
Jepang
senng
disebut
masyarakat
yang
selalu
Ii
70
dibandingkan Shikaku
...
Ba (
71
sebuah adat-istiadat.
\..-.;.;r
Shudan Shugi (
72
oleh anggota yang lainnya. Begitupun sebaliknya, apa yang dianggap buruk
oleh anggota yang satu, maka akan dianggap buruk pula oleh anggota yang
lain. Berarti dapat dikatakan bahwa segala tindakan kebersamaan yang terjadi
dari hasil aksi dan reaksi dari anggota kelompok dan adanya kebersamaan yang
kolektif dalam masyarakat Jepang menunjukkan satu perasaan solidaritas.
l..-o<J>5t::/v
Shudan shugi (
paham berkelompok orang Jepang yang terbentuk dengan kokoh di antara para
anggota kelompok karena adanya ikatan emosional yang disebut dengan
nakama ishiki (
Masyarakat
;f*rFl9
1,'
Jepang
merupakan
masyarakat
yang
selalu
IJ'
dibandingkan Shikaku
dapat diartikan sebagai
Ba (
73
Masyarakat (
L-?iJ'"
identitas sendiri, yang membedakan kelompok yang satu dengan yang lain dan
hidup di dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini,
baik dalam jumlah sedikit (sempit) maupun banyak (luas) , mempunyai
perasaan akan adanya persatuandi antara anggota kelompok dan menganggap
dirinya berbeda dengan yang lain. Mereka memiliki pola tingkah laku yang
menyangkut semua aspek dalam kehidupan bermasyarakat, seperti normanorma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
bersama,
yang
dalam
batas
kesatuan
tersebut
bersifat
khas,
dan
. Perangkat-
74
Gambarl
75
norm .... The frequency of meeting is regarded as measure of the closeness and
firmness of relationship".viii
Dalarn masyarakat Jepang pertemuan secara teratur dengan ternan dan
kenalan merupakan suatu norma umum. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan
dalarn berbagai kegiatan ini dengan jumlah frekuensi pertemuan, dan hal ini
yang dianggap sebagai kedekatan suatu hubungan.
Interaksi yang terjadi dalarn masyarakat Jepang dibedakan antara uchi (
taken care of, where one receives support and encouragement and where one
owescentral commiyment and effort. It is where one comes from and where
one return". ix
Uchi juga dapat diartikan sebagai tempat seseorang berasal dan ke mana
seseorang
seseorang dan orang lain pada tempat yang sarna, yaitu tempat mereka menjadi
anggota dalarn satu kelompok yang sarna. Uchi (*) seseorang dapat berupa
keluarga, lingkungan ternan atau kerja, atau negara.
seseorang akan merasa leluasa untuk menarnpilkan Honne (*if), tetapi Uchi (
uchi (*) akan berubah menjadi sofa (51-). Hal ini disadari (dipaharni) betul
oleh anggota masyarakat Jepang.
Suatu kesepakatan akan terjadi apabila dua pihak yang berkomunikasi
mempunyai pikiran dan perasaan yang sarna. Bagi orang Jepang mengenal
satu sarna lain merupakan tindakan memberikan suatu perasaan atau pengertian
76
kebebasan atau keselamatan. Mereka takut apabila berbeda dari individu yang
lainnya. Mereka akan lebih rnengedepankan kepentingan kelornpoknya. Bagi
orang Jepang hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelornpoknya.
Oleh karena itu, rnereka sebagai anggota kelornpok akan senantiasa rnenjaga
diri agar diakui dan diterirna dan berusaha rnenjaga loyalitasnya bagi
kelornpoknya.
Begitu pun dalam rnasyarakat anak, khususnya bagi seorang anak di
Jepang, seorang ternan atau kelornpok berternan rnernberikan harapan dan
kehidupan di dalam rnasyarakat anaknya. Hal ini akan terlihat dengan jelas
dalam sebuah hubungan seorang anak dengan ternannya di sekolah. Apabila
hubungan dengan ternannya tersebut beIjalan dengan baik, ia akan rnerasa
senang pergi ke sekolah. Sebaliknya, jika hubungan perternanannya tidak
beIjalan dengan baik, anak tersebut akan rnenolak untuk pergi ke sekolah, yang
C'):::.')
;:Je::a ).
Apabila
seorang anak sudah rnulai rnasuk rnasa sekolah, di situlah akan terlihat
kernampuan anak tersebut dalam rnernbentuk dirinya di dalam lingkungan
berkawan dan berkelornpok.
Penekanan hidup berkelornpok dalam rnasyarakat Jepang ini secara
otornatis telah memengaruhi seluruh gaya hubungan antarpribadi individu di
Jepang, termasuk dalam hubungan perternanan dalam kelornpok bermain anak.
Kelornpok anak adalah bagian masyarakat yang rnernpunyai identitas sendiri,
yang dikumpulkan berdasarkan urnur dan berbagai kondisi sosial yang harnpir
sama rnelalui kehidupan di rumah, kehidupan bermain dengan ternan, serta
kegiatan-kegiatan di sekolah sesuai dengan tingkat perkernbangan anak itu
sendiri walaupun anak itu belum rnengerti apa yang disebut dengan rnasyarakat
dalam arti sesungguhnya. Dalam setiap kegiatan yang diikutinya, anak-anak
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feornena Ijrne (Ekayani Tobing)
77
L-VI>?
), sebagai berikut.
ttil'*
L-VI>?
DiKelas
DiKlub
Aktivitas
Sangat
Cukup
Kadang-
Tidak
Sarna Sekali
Baik
Baik
Kadang
Begitu
Tidak
5.2
9.7
33.6
35.9
15.6
20.8
22.5
27.2
16.1
13.4
36.1
31.4
24.2
5.5
2.8
27.7
24.6
25.8
13.8
8.1
Saat
Bersarna
Ternan
DiRurnah
78
ttil"
Jp
L- 19>
5 tc:1v
ftn"
rdj
L-I9>5tC:1v
anak-anak berusaha agar dapat ikut serta melakukan kegiatan yang bersifat
kelompok dalarn bentuk apa saja meskipun hams mematikan rasa keinginan
(pribadi) mereka sendiri.
Konsep Solidaritas
Solidaritas Mekanikal
Solidaritas yang didukung oleh rasa kepercayaan yang sarna, perasaan
yang sarna, dan tingkah laku yang sarna yang mempersatukan satu
individu dengan masyarakat. Sifat dasar masyarakat dalarn solidaritas
mekanikal cenderung memiliki rasa kesukuan dan jelas terlihat pada
masyarakat yang tidak berkembang. Masyarakat pada solidaritas
mekanikal ini, memiliki batas daerah teritorial' yang dibagi menurut
hubungan keluarga. Xii
Pada solidaritas mekanikal, hubungan individu yang satu dengan yang
lain saling terikat secara terisolasi satu sarna lainnya dan pelaksanaan
kerjanya sesuai dengan pelaksanaan kerja sebelumnya. Apabila ada
anggota yang melanggar ketentuan sosial yang berlaku atau dianggap
tidak dapat memuaskan kepentingan bersarna, ia akan dikenakan
hukuman yang dianggap seimbang dengan pelanggaran yang dibuatnya.
79
Solidaritas Organikal
Solidaritas dihasilkan oleh adanya pembagian kerja. Tiap-tiap individu
memiliki ruang kerja sendiri sehingga menimbulkan perbedaanperbedaan antara individu yang satu dan yang lain. Sifat yang paling
mendasar di sini adalah menempatkan kembali atau memperbaiki hal
yang sudah dikerjakan oleh masyarakat itu. Kegiatan individu
bergantung pada masyarakatnya karena ia bergantung pada bagian yang
mengaturnya. xiii Hal yang membedakan solidaritas organikal dengan
solidaritas mekanikal adalah dasar-dasar esensial di dalam pelaksanaan
kerja masyarakat modem. Semakin modem suatu masyarakat, semakin
menonjol perbedaan sosialnya sehingga solidaritas organikal ini bersifat
seperti sebuah perjanjian. Jika ada anggota yang melanggar ketentuanketentuan, hukuman yang diberikan lebih bersifat non-represif dan
lebih bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. xiv
Durkheim menjelaskan konsep mengenai kebersamaan yaitu pola-pola
80
ip.:c<
sosial yang dialarni oleh masyarakat Jepang yang terus berlangsung sarnpai
sekarang. Koran-koran di Jepang memberitakan banyaknya kejadian mengenai
anak-anak yang mengakhiri hidupnya sendiri karena perlakuan ijime (-{ :; ;J. ).
Seperti dalarn berbagai pesan tertulis yang berisi "tidak ada lagi hardikan" atau
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
81
"berhentilahmenghardik saya" yang ditulis oleh anak-anak korban ijime (-1 -:;
;J. ) sebelurn rnereka rnengakhiri hidup dengan rneloncat dari gedung
bertingkat. Anak-anak ini rnerupakan contoh dari sekian banyak siswa sekolah
korban Jjime (-1 -:; ;J.) yang tidak dapat diungkapkan kepada orang lain,
bahkan orang terdekatnya sendiri, yaitu orangtua, rnengenai sernua siksaan
yang diterirna dari ternan-ternan sebayanya. Nojuu rnenjelaskan bahw yang
dirnaksud dengan ijime (-1-:;) sangatlah berbeda dengan yang disebut dengan
perkelahian karena tindakan ini rnerupakan suatu perbuatan seseorang yang
rnernpunyai kekuatan dalam beberapa bentuk untuk dapat rnelakukan
penyerangan searah terhadap siapa yang rnenjadi lawannya. Orang yang berada
dalam posisi kuat rnenyerang orang yang berada dalam posisi lernah, baik
secara fisik rnaupun mental. Orang yang rnelakukan perbuatan ini pun rnerasa
sangat senang apabila rnelihat lawannya rnenderita atau rnenjadi kesal. Ijime (
-1 -:; ;J. ) juga rnerniliki ciri bahwa tindakan ini tidak akan berakhir dalam satu
kali perbuatan saja, seperti halnya dalam suatu perkelahia'n, tetapi dilakukan
dalam rnasa yang panjang dan dilakukan secara berulang-ulang. xvi
Sebuah perkelahian biasanya dilakukan oleh satu orang rnelawan satu
orang. Namun, dalam ijime (-1 -:; ;J.) satu atau sekelornpok besar orang
rnelawan sekelornpok kecil atau beberapa orang rnelawan satu orang. Ijime (-1
-:; ;J. ) juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan kejam yang rneliputi
dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, sebenarnya dalam dunia anak,
ijime
82
Ijime
;J. )
;J. ) untuk
anak
dalam
setiap tingkatan
umur.
Apa kekuatan
dan
ilbt
83
shishunki (
terhadap hubungan yang ada di dalam dirinya dengan apa yang ada pada diri
orang lain. Dengan lambat laun ia dapat membentuk pribadinya sendiri.
Dalam ijime (-1 :; ;J. ) ada sikap yang menunjukkan dochokeiko
!::'?"iOJ:?
It,':::.?
i::""?"iOJ:?
i::""?l?J:?
It,':::'?
:::'?i::""?
adalah
kecenderungan yang bersifat menyerang atau merusak barang atau fisik orang
lain yang muncul di dalam kelompok kelas oleh seluruh anak di dalam kelas itu
yang secara bersama-sama melakukan tindakan penyerangan.
84
Di dalam
ltv'::?
ijime (..{ :;;J) tidak peduli dan tidak menunjukkan perasaan bersalah terhadap
kejadian tersebut. Akibat seringnya kasus seperti ini telah dilakukan penelitian
mengenai ada atau tidaknya kasus ijime (..{ :; ;J)
SMP (
dan SMA (
dan respon terhadap pelaku ijime (..{ :; ;J) dengan meneliti 2000 orang anak
SMP (
bahwa terdapat sejumlah siswa-sekolah acuh tidak acuh terhadap masalah ijime
(..{ :; ;J) yang teIjadi di lingkungan mereka, serta ada juga siswa yang tidak
85
;1r:prFl'
'j t:':/V
tetapi mereka juga tidak bertindak apa pun apabila melihat peristiwa ijime (-1
:; j. ) karena tidak ingin terlibat atau dilibatkan.
Simp ulan
Nilai budaya Jepang sangat berperan dalam kehidupan masyarakatnya.
Nilai budaya Jepang mengatur masyarakat Jepang daIm berinteraksi. KeIuarga
sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Jepang merupakan tempat awal
bagi anak-anak Jepang belajar mengenal dan bersosialisasi dengan nilai-nilai
budaya Jepang yang didasari oleh nilai nakama ishiki, yaitu kesadaran diri dari
bagian kelompok dan tidak pemah menonjolkan keberadaan ego dalam
kelompok itu. Kesadaran hidup berkelompok yang disebut dengan nakama ishi
mulai dipelajari dan diwlljudkan oleh anak-anak Jepang sejak mereka bergaul
dalam kelompok keluarga sampai kepada kelompok yang lebih besar, yaitu
kelompok pertemanan sekolah.
Pembentukan moral anak sekolah dapat dilihat dalam situasi di dalam
kelas karena kelas adalah suatu kelompok masyarakat kecil, dan tidak ada
seorang pun anggota kelompok kecil ini akan bertindak sendiri-sendiri. Di
dalam kelas pun banyak hal yang dapat dipelihara bersama. Hal
Inl
86
sekolah ini melakukan ijime (-1 :;)) untuk mendapatkan rasa memiliki atau
popularitas di antara rekan-rekannya, memelihara kepemimpinan kelompok,
dan memengaruhi anak lain dengan ancaman untuk bertindak atau
berhubungan dengan mereka yang bertujuan untuk memuaskan diri pelaku
ijime (-1 :;;1-) terhadap pencarian 'kekuasaan relasional'.
DAFTAR PUSTAKA
88