Disusun Oleh:
Kelompok A2
Tutor: dr. Rini Nindela
Moulya Halisyah Cempaka (04011381320053)
Dwina Yunita Marsha (04011381320051)
Ummi Rahmah (04011181320073)
Nigaot Nur Madya (04011181320073)
Stefanie Angeline (04011381320005)
Yuventius Odie Devanda (04011381320055)
Hasna Mujahidah (04011381320025)
Nina Vella Rizky (04011181320051)
Nurul Rizki Syafarina (04011181320105)
Fellani (04011181320061)
M. Rizky Rasyadi (04011381320023)
Jason Liando (04011381320013)
Nina Mariana (04011381320059)
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
1 | Page
Moderator
: Hasna Mujahidah
(04011381320025)
Sekretaris
(04011381320053)
Anggota
:
Jason Liando
Dwina Yunita Marsha
2 | Page
(04011381320013)
(04011381320051)
Ummi Rahmah
(04011181320073)
(04011181320073)
Stefanie Angeline
(04011381320005)
(04011381320055)
Stefanie Angeline
(04011381320005)
(04011181320051)
(04011181320105)
Fellani
(04011181320061)
M. Rizky Rasyadi
(04011381320023)
Jason Liando
(04011381320013)
Nina Mariana
(04011381320059)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan
tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario B dalam blok 14
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2014. Di sini
kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan
sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau
ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran.
Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan
bahan ajar dari dosen-dosen pembimbing.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, orang tua, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik
moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan
laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di
kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terima
kasih.
Palembang, 21 Desember 2014
Kelompok 2
3 | Page
DAFTAR ISI
Daftar Isi...........................................................
Skenario....................................................................................................................
I.
Klarifikasi Istilah...........................................................................................
II.
Identifikasi Masalah......................................................................................
III.
Analisis Masalah............................................................................................
V.
Hipotesis........................................................................................................
VI.
Learning Issue..............................................................................................
Nn. SS, 22 tahun, karyawan honorer disebuah perusahaan swasta, diantar ke IGD sebuah RS
karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu
pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek, dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare,
frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga
sering gugup, keluar keringat banyak, mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu
terburu-buru
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium; TD 100/80 mmHg, Nadi 140x menit/regular, RR 24x/menit, suhu 39C.
Kepala : exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene buruk. Leher : struma diffusa (+),
kaku kuduk (-). Jantung : Takikardia; paru : bunyi nafas normal. Abdomen : dinding perut lemas;
hati dan limpa tidak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+),
reflex patologis (-)
Pemeriksaan Lab
Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test fungsi
tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
I. KLARIFIKASI ISTILAH
5 | Page
1) Diare
2) Delirium
3) Exophthalmus
4) Faring Hiperemis
5) Struma Diffusa
6) Takikardia
7) Tremor
: Gerakan otot ritmis bolak-balik yang tidak disengaja pada satu atau
lebih bagian tubuh.
8) T4 bebas
II.
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Nn. SS, 22 tahun, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang
lalu.
6 | Page
2. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek,
dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai darah
dan lendir.
3. Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak, mudah
cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru.
4. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium; TD 100/80 mmHg, Nadi 140x menit/regular, RR 24x/menit,
suhu 39C. Kepala : exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene buruk. Leher :
struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung : Takikardia; paru : bunyi nafas normal.
Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa tidak teraba, bising usus meningkat.
Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+), reflex patologis (-).
5. Pemeriksaan Lab
Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal.
Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
III.
ANALISIS MASALAH
1. Nn. SS, 22 tahun, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam
yang lalu.
7 | Page
2. Dari alloanamnesis, sejak 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk
pilek, dan sakit tenggorokan, sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa
disertai darah dan lendir.
a. Bagaimana mekanisme dari :
Demam Tinggi
a. Demam akibat infeksi, bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit.
b. Demam akibat faktor non infeksi, dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan
tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis,
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu
pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari
pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme
seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida
yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen
endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari
pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN. Sumber dari pirogen
endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain
juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand,
2005).
.Dalam hal ini oral hygine yang buruk menunjukkan adanya suatu infeksi yang
terjadi. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi,
atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang
dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan
pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan set point termostat
di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu set point yang baru sehingga ini memicu mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit
dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan
produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan
menyebabkan suhu tubuh naik ke set point yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
-
batuk pilek :
batuk :
Pada jaringan epitel tenggorokkan terdapat reseptor batuk yang peka terhadap
rangsangan. Saat benda asing masuk ke saluran pernafasan akan menempel di
mucus selanjutnya akan terjadi iritasi pada reseptor tersebut dan mengaktifasi
reseptor batuk dan medulla spinalis yang dihubungkan oleh serat aferen non
myelin. Medulla spinalis kemudian akan perintah balik berupa kontraksi pada
10 | P a g e
Sakit tenggorokan
Sepertinya hal ini tidak ada kaitannya dengan hipertiroid Ny. SS. Melainkan ini
merupakan gejala tersendiri yang mengisyartkan bahwa Ny. SS sedang dalam
keadaan infeksi. Keadaan infeksi ini mungkin saja ini disebabkan oleh oral hygiene
yang buruk dari Ny. SS, sehingga mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan
bakteri yang masuk adalah inflamasi sehingga terjadi sakit tenggorokan. Penurunan
daya tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya
kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan faktor virulen
(lipopolisakaraida=LPS) akan melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga
mulut. Pertama-tama Tonsil yang bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di
mulut akan berespons terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons
imunologis
dengan
mengaktivasi
sel-sel
mediator
inflamasi
yang
dapat
menyebabkan gangguan metabolism jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang
pada tonsil.
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh
baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena
infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktorfaktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman
semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan
tonsil yang kronik. Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun
sistemik. Gejala yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering
mengantuk, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat
daripada gejala sistemik tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri
tenggorok atau merasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang
seperti benda asing (pancingan) di tenggorok.
12 | P a g e
Pengaruh
hormon
tiroid
yang
meninggi
menyebabkan
tonus
traktus
3.
Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak,
mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru.
a. Bagaimana mekanisme dari
Sering gugup , mudah cemas dan bila mengerjakan sesuatu sering terburuburu
Hypertiroid
Sulit tidur :
Sulit tidur yang dialami Nn.SS terjadi karena terjadinya hipersekresi dari
hormone tiroid yang akibtanya adalah meningkatnya metabolism seluler
sehingga tubuh menjadi panas. Thermoregulator di hipotalamus merespon
dengan berusaha menurunkan suhu dengan mengeluarkan keringat. Selain itu,
hipersekresi dari hormone tiroid ini juga meningkatkan katekolamin dan aktivitas
dari CNS sehingga menyebabkan gugup dan mudah cemas.
Jantung yang berdebar dan pernafasan yang meningkat juga menyebabkan
gangguan sirkulasi . Hal-hal inilah yang menyebabkan Nn.SS suah untuk tidur.
b. Apa hormone yang berperan dalam keluhan Nn. SS dan bagaimana cara kerja
hormone tersebut?
Kelenjar tiroid memproduksi dua jenis hormon aktif, yaitu levotiroksin (T4) and
triiodotironin (T3). Kedua hormon tiroid tersebut disintesis oleh kelenjar tiroid akibat
stimulasi hormon penstimulasi tiroid (TSH). Sebagian besar (85%) hormon tiroid yang
disekresikan dalam peredaran darah oleh kelenjar tiroid adalah T4, selebihnya (15%)
adalah T3. Di dalam hepar, ginjal dan otot rangka, T4 diubah oleh 5-monodeiodinase
menjadi T3. Selain T4 dan T3, baru-baru ini diidentifikasi adanya derivat hormon tiroid
yang disebut tironamin (TAM) yang juga mempunyai aktivitas fisiologis. TAM
merupakan hormon tiroid hasil proses dekarboksilasi T4 yang berlangsung dalam
sitoplasma. Hormon tiroid memengaruhi irama jantung melalui efeknya pada saluransaluran ion kardiomiosit. (Anggoro Budi Hartopo, 2013)
14 | P a g e
kepadatan
reseptor
beta
cyclic
adenoisme
Tekanan darah
Dalam kondisi hipermetabolisme seperti yang dialami Nn. SS, maka tubuh
akan beradaptasi dengan cara mengeluarkan panas tubuh dengan cara
mengeluarkan keringat yang banyak. Untuk mengeluarkan keringat maka
pembuluh darah perifer akan vasodilatasi agar aliran darah ke kulit meningkat.
Hal ini lah yang akan menyebabkan tekanan darah Nn. SS jadi menurun
walaupun takikardia.
Nadi meningkat
Hormon
katekolamin.
tiroid
Jumlah
merangsang
medulla
adrenal
epinefrine
normal
tetapi
untuk
ada
mensekresikan
peningkatan
pada
noreepinefrine yang bekerja pada sistem saraf simpatis. Saraf simpatis berjalan di
dalam traktus saraf spinalis torakalis menuju korteks adrenal dengan melepaskan
16 | P a g e
Suhu meningkat
Pada keadaan hipertiroid, terjadi peningkatan metabolism tubuh. Seperti yang
kita
tau,
kegiatan
metabolism
tubuh
adalah
sumber
utama
dari
Exophthalmus
Exopthalmus adalah terjadinya pembengkakan jaringan diorbit, memproduksi
penonjolan bola mata. Sebuah sub populasi fibroblast diorbit pada akhirnya
berkembang menjadi adipocytes dan preadiposit fibroblast ini mengandung
protein reseptor TSH. Tentang perkembangan exopthalmus adalah ketika
dirangsang oleh TSH reseptor stimulating antibodi dalam sirkulasi, sel-sel ini
melepaskan sitokin yang mempromosikan peradangan dan edema.
Faring hiperemis
Oral hygiene yang buruk akan memperbesar peluang terjadinya infeksi
rongga mulut, serta penyakit gigi dan mulut lainnya. Hal ini dibuktikan dengan
faring yang hiperemis, dimana faring hiperemis menunjukkan terjadinya infeksi.
Faring hiperemis terjadi karena vaskularisasi di area faring tinggi untuk
memudahkan transpor leukosit untuk melawan infeksi. Infeksi yang terjadi inilah
yang memungkinkan terjadinya hipertiroid pada kasus ini.
Oral hygiene
Jawabannya sama dengan mekanisme abnormal faring hiperemi. Pada kasus ini,
oral hygiene dilihat sebagai penyebab hipertiroidisme. Oral hygiene akan
memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi dalam mulut, yang dapat kita
buktikan seperti faring hiperemi.
17 | P a g e
Struma Diffusa
Struma diffusa yang timbul karena terjadinya morbus graves yang merupakan
suatu gangguan autoimun. Pada keadaan tersebut, ditemukan berbagai macam
antibody didalam serum. Antibodi yang ditemukan mencakup terhadap reseptor
TSH, periksoksom tiroid dan tiroglobulin. Dari ketiganya, reseptor TSH yang
paling berperan dari terbentuknya antibody. Thyroid growth stimulating
immunoglobulin (TSI), mengikat reseptor TSH untuk merangsang jalur adenilat
siklase/ AMP siklik yang menyebabkan peningkatan pembebasan dari hormone
tiroid. Akibatnya, terjadi proliferasi epitel folikel tiroid yang akan menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid yang tersebar merata. Keadaan patologis ini disebut
sebagai struma difussa +.
Takikardia
Dalam keadaan hipertiroid menyebabkan peningkatan pelepasan katekolamin
sehingga kadar katekolamin dalam plasma meningkat (merangsang saraf
simpatis). Hal ini menyebakan adanya peningkatan stimulasi reseptor betaadrenergik yang menyebabkan denyut jantung meningkat (takikardi)
jaringan.
Dan
saat
lembab sebagai hasil dari dilatasi pembuluh darah kulit, dan keringat banyak
akibat keadaan hiperdinamik.
18 | P a g e
Tremor
Hormoni tiroid meningkat peningkatan pelepasan catecolamin kadar
catecolamin dalam plasma meningkat (saraf simpatis) sensitifitas
andregenik reseptor meningkat dilatasi arteri ke otot skeletal aliran O2 ke
otot meningkat peningkatan Tonus otot +
lokal
Gerakan : pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut
noduler
bergerak
Pulsasi : bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
b) Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa
berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua
tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi :
c. Auskultasi
20 | P a g e
Kaku kuduk
Pasien telentang, bila lehernya ditekuk secara pasif terdapat tahanan sehingga
dagu tidak dapat menempel pada dada
Refleks patologis
Reflek hoffmann tromer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan
pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita
lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu
jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan
unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .
Grasping reflek
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan
telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari
pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari
pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada
dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.
Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali
ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti
saraf VII kontralateral.
21 | P a g e
Mayer reflek
Reflek Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi
lateral, orang noramla akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki dan
penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan
dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal
pada bayi masih ada.
Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah,
dengan kedua jari telunjuk dan tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek
seperti babinski
Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius. Jika posistif maka akan
timbul reflek seperti babinski
Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek
seperti babinski
Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari
tumit ke depan. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
Reflek Rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan
terjadi fleksi jari-jari kaki.
Reflek Mendel-Bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari
kaki.
yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah
anterior trakea (Gambar 1). Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling
banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal
fascia profunda. Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri
atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan isthmus
tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadang- kadang terdapat lobus
piramidalis yang muncul dari isthmus di depan laring.
Kelenjar tiroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5 sampai
thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus. Setiap
lobus berbentuk seperti buah pear, dengan apeks di atas sejauh linea oblique lamina
cartilage thyroidea, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6.Kelenjar tiroid
mempunyai panjang 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal kelenjar tiroid pada
orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah kedalam tiroid per gram
jaringan kelenjar sangat tinggi ( 5 ml/menit/gram tiroid).
23 | P a g e
Tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang
dipisahkan satu dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh
epitel kubus dan diisi oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut
koloid.
Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan
pelepasannya dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid
disintesis dan pada akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh
folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain
dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan
berhubungan dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu
hormon yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut
berperan dalam pengaturan homeostasis kalsium.
Tiroksin (T4) mengandung empat atom yodium dan triiodotironin (T 3) mengandung
tiga atom yodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan T 3,
tetapi apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yang lebih
aktif daripada T4.
24 | P a g e
Histologi
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan
bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai kolumnar.
Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional
daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel
menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan
aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya
terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid.
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik.
Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional
yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional,
sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam
keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui
penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan
sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang
dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hrthle cells.
25 | P a g e
berenda-renda
Jaringan limfoid banyak
Kadang membentuk papil ke dalam lumen acini , koloid didalam lumen folikel tampak
5. Pemeriksaan Lab
Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum
normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL
(meningkat)
26 | P a g e
PEMERIKSAAN
KEADAAN NORMAL
INTERPRETASI
1.
Hb : 12 g%
12-15 g%
Normal
2.
WBC : 17.000/mm3
5.000-10.000 mm3
Tinggi
3.
Glukosa darah
Normal
4.
Normal
5.
Elektrolit serum
Normal
6.
0,5-5 mU/L
Rendah
7.
1,0-2,3 ng/dl
Tinggi
TSH menurun
Hipertirodisme stimulasi hormon tiroid peningkatan sekresi hormone tiroid
dalam sirkulasi hormon T4 meningkat dalam darah konvensasi T4 menjadi
T3 oleh enzim 5-deiodinase efek regulasi negative T3 pada hypothalamus
inhibisi trankripsi gen subunit alpha dan beta dari TSH penurunan kadar TSH
T4 bebas meningkat
Pada penyakit graves, tiroktosikosis karena kelebihan produksi T4
Mekanisme : Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid
secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar
27 | P a g e
hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis,
sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.
c. Mengapa Nn.SS elektrolit serumnya normal sedangkan ia mengalami diare ?
Diare Sekretori ditandai oleh volume feses yang besar oleh karena abnormalita
cairan dan transport elektrolit yang tidak selalu berhubungan dengan makanan yang
dimakan. Diare ini biasanya terjadi bila puasa. Pada keadaan ini tidak ada malabsorbsi
larutan. Osmolalitas feses dapat diukur dengan unsure ion normal tanpa adanya osmotic
gap pada feses.
29 | P a g e
6. Diagnosis
1. Apa saja diagnosis banding dari penyakit Nn.SS ?
TNG (Toxic Nodular Goiter)
TNG merupakan keadaan dimana kelenjar tiroid mengandung nodul tiroid yang
berfungsi secara otonom yang mengakibatkan hipertiroidisme atau dengan kata lain
terjadi hipersekresi hormon-hormon tiroid yang menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid yang bernodul-nodul.
Feokromositoma
Feokromositoma adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel kromafin kelenjar
Penyakit Graves
Gangguan pada system kekebalan tubuh dimana zat antibody menyerang kelenjar
tiroid sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormone tiroid secara
terus menerus. Gejalanya adalah tirotoksikosis, ophthalmopathy, dan dermopathy
31 | P a g e
f. Cardiac output yang meningkat nadi yang kuat, memanjang, dan aortic murmur dan
dapat mengakibatkan angina maupun gagal jantung yang sudah terdeteksi
sebelumnya menjadi lebih parah.
g. Tremor
Pemeriksaan fisik
Palpasi pada kelenjar tiroid dilihat: ukuran, konsistensi, nodul, mobilitas dan fiksasi.
Pada keadaan normal, biasanya ukuran tiroid dapat mencapai 12-20g dan hasil dari
palpasi dapat dipindahkan kedalam bentuk gambaran secara kasar.
Pemeriksaan USG
Memastikan ukuran kelenjar tiroid yang membesar dengan lebih tepat.
Auskultasi
Auskultasi dilakukan dengan tujuan mencari adanya bunyi bruit disekitar
kelenjar tiroid yang membesar dan hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan
vaskularisasi seperti yang terjadi pada kasus hipertiroidisme.
TSH menjadi marker utama dalam rangka menentukan nilai hormone tiroid yang
berkurang, normal, maupun meningkat karena adanya perubahan terhadap kadar T3 dan
T4 (Harrison, 2004).
Krisis tyroid
Belum ada satu indikator biokimiawi pun yang mampu meramalkan terjadinya krisis
tiroid, sehingga tindakan didasarkan pada kecurigaan atas tanda-tanda krisis tiroid
membakat, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas.
Kecurigaan akan
terjadi krisis apabila terdapat triad yaitu menghebatnya tanda tiroksitosis, kesadaran
menurun, dan hipertermia.
a. Hipertiroid Primer : Terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu
sendiri, contohnya :
- Penyakit grave
- Functioning adenoma
- Toxic multinodular goiter
- Tiroiditis
b. Hipertiroid Sekunder : Jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid,contohnya :
- Tumor hipofisis
- Pemberian hormone tiroid dalam jumlah besar
- Pemasukan iodium berlebihan
normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi
hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki
fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan
Talbert, 2008). Sekitar 2 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena
hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 37% pasien dengan
nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien memiliki nodul
tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering
muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat
terpapar radiasi.
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau
manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves disease. Pada sebagian besar
kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan
umum atau oleh pasien sendiri.
Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign
(bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila
terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya
pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat.
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan
salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena
ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun
pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik
secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor
genetik dan defisiensi iodine.
d. Hipertiroidisme Subklinis
34 | P a g e
adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit penyakit seperti diabetes , trauma , infeksi akut ,
stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan
hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang
mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak
terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin
(TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran
klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di
sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan
dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan
hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah
terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Dapat
disimpulkan bahwa patofisiologi dari krisis tiroid adalah:
Tidak ada bukti bahwa peningkatan produksi T3 dan T4 dapat menyebabkan krisis
tiroid
sensitivitas terhadap katekolamin, sehingga setiap keadaan stes yang dapat menyebabkan
peningkatan kadar katekolamin, krisis tiroid dapat muncul.
7. Bagaimana gejala klinis dan mekanisme yang ditimbulkan dari penyakit Nn. SS ?
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh.
Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan
metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita
hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar
tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga
mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan
36 | P a g e
metabolit yang aktif. Obat-obat tersebut bekerja dengan menghambat fungsi TPO,
megurangi oksidasi dan organifikasi iodida. Obat-obat ini juga derajat aktifitas tiroid
dengan mekanisme yang masih belum jelas namun dapat meningkatkan kadar remisi.
PTU bekerja dengan menghambat deiodinasi T3 dan T4. Efek obat tersebut hanya
memberikan keuntungan yang kecil sekali, melainkan pada kasus seperti tiroitoksikosis,
dimana PTU mempunyai paruh hidup yang sangat singkat (90menit) berbanding
metrhimazole (6jam) (Harrison, 2004).
Fungsi tiroid dan manifestasi klinis harus diperiksa setelah 3-4 minggu
pemberian obat dan dosis awal dilakukan titrasi berdasarkan kadar unbound T4.
Kebanyakan pasien tidak mencapai eutiroid setelah 6-8minggu pemberian obat anti
tiroid. Kadar TSH masih berkurang dalam jangka waktu beberapa bulan dan oleh karena
itu, tidak menunjukan index terapi yang memuaskan. Biasanya, titrasi yang dilakukan
pada obat anti-tiroid adalah sebanyak 2.5-10mg (carbimazole atau methimazole) dan 501oomg (PTU). Kadar remisi yang maximal ditemukan hamper 30-50% dari populasi
dalam kurun waktu 18-24 bulan. Pasien dengan severe hipertiroidisme dan goiter yang
besar biasanya akan mengalami relaps apabila terapi diberhentikan. Oleh sebab itu,
semua pasien harus dilakukan follow-up setidaknya 1 tahun setelah terapi atau seumur
hidup (Harrison, 2004).
Efek samping yang biasanya dialami pasien dengan terapi obat anti-tiroid adalah
kemerahan, utrikaria, demam dan atralgia. Hal ini dapat membaik secara spontan atau
dengan menggantikan obat alternatif anti-tiroid yang lain. Propanolol dengan dosis 2040mg tiap 6jam atau penghamat beta yang lebih panjang waktu kerjanya seperti atenolol
dapat membantu dalam menagontrol efek adrenergic terutamanya pada tahap awal
pemberian obat anti-tiroid (sebelum anti-tiroid dapat memberikan efek yang optimal).
Pemberian obat anti-koagulasi harus dipikirkan pada pasien dengan atrial fibrilasi. Jika
digoxin akan digunakan sebagai regimen yang dipilih, peningkatan dosis harus
dilakukan pada kondisi tirotoksikosis (Harrison, 2004).
Terapi pada pasien ini meliputi pemberian PTU 400 mg dalam jangka waktu tiap 8
jam dan propanolol 10 mg tiap 6 jam. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan
terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormone, menghambat pelepasan
hormone dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid penyekat
beta dan plasmaferesis),dan normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan,
38 | P a g e
elektrolit dan kalori) dan mengatasi factor pemicu. Pengobatan harus segera diberikan
rawat diruangan dengan control yang baik.
Pengobatan yang diberikan antara lain adalah membaiki keadaaan umum dengan
memberikan cairan NaCl 0.9% utuk koreksi elektrolit. Mengoreksi hipertiroidisme
dengan cepat yaitu dengan a) memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (6001000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg;
b) memblok keluarnya bakal hormone dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau
larutan kalium iodide jenuh 5 tetes setiap 6 jam. Jika ada, berikan endoyodin (NaI) IV,
kalau tidak ada solusio Lugol/ larutan kalium iodide jenuh tidak memadai; c)
menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat,
penghambat beta dan/atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stess (100mg
tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya adalah karena
defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen, jangan aspirin karena akan melepas ikatan
protein-hormon tiroid sehingga freehormon meningkat. Propanolol dapat mengurangi
takikardia dan meghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dengan dosis 20-40 mg
tiap 6 jam. Dan yang terakhir adalah mengobati factor pencetus misalnya infeksi.
39 | P a g e
Dubia ad bonam. Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat adalah 10-15%
(Rani., et.al.,2006). Individu dengan tes fungsi tiroid normal-tinggi, hipertiroidisme
subklinis, dan hipertiroidisme klinis akan meningkatkan risiko atrium fibrilasi.
Hipertiroidisme juga berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung (6% dari
pasien), yang mungkin menjadi sekunder untuk atrium fibrilasi atau takikardia yang
dimediasi cardiomyopathy.Gagal jantung biasanya reversibel bila hipertiroidisme
diterapi. Pasien dengan hipertiroidisme juga berisiko untuk hipertensi paru sekunder
peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler paru. Pada pasien dengan
penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, hipertiroidisme meningkatkan risiko
kematian (rasio hazard [HR] = 1,57), dan bahkan mungkin pada pasien tanpa jantung.
Hal ini juga meningkatkan risiko stroke iskemik (HR = 1,44) antara dewasa usia 18
sampai 44 years. Hipertiroidisme tidak diobati juga berpengaruh terhadap kepadatan
mineral tulang yang rendah
40 | P a g e
IV. HIPOTESIS
Nn. SS, 22 tahun menderita hipertiroidisme primer dengan komplikasi krisis tiroid.
41 | P a g e
V.
LEARNING ISSUE
I.
Hormon Tiroid
B. Tiroksin (T4)
Hormon tiroksin (T4) mengandung empat atom iodium dalam setiap molekulnya.
Hormon ini disintesis dan disimpan dalam keadaan terikat dengan protein di dalam sel-sel
kelenjar tiriod; pelepasannya ke dalam aliran darah terjadi ketika diperlukan. Kurang lebih
42 | P a g e
C. Triiodotironin (T3)
Hormon yang merupakan asam amino dengan sifat unik yang mengandung molekul
iodium yang terikat pada asam amino ini hanya mengandung tiga atom iodium saja dalam
setiap molekulnya. Hormon tiroksin juga di bentuk di jaringan perifer melalui deiodinasi T4.
43 | P a g e
Hormon triiodotironin (T3) lebih aktif daripada hormon tiroksin (T4). T4 dan T3disintesis di
dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi moleku l-molekul tirosin yang terikat pada
linkage peptida dalam triglobulin. Kedua hormon ini tetap terikat pada triglobulin sampai
disekresikan. Sewaktu disekresi, koloid diambil oleh sel-sel tiroid, ikatan peptida mengalami
hidrolisis, dan T3 serta T4 bebas dilepaskan ke dalam kapiler.
Triiodotironin mempunyai afinitas yang lebih kecil terhadap protein pengikat TBG
dibandingkan dengan tiroksin, menyebabkan triiodotironin lebih mudah berpindah ke
jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktivitas metabolik
triiodotironin lebih besar. T3 mugkin dibentuk melalui kondensasi monoidotirosin (MIT)
dengan diidotirosin (DIT). Dalam tiroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa
beriodium untuk T3 adalah 7%. Kelenjar tiroid manusia mensekresi sekitar 4 g (7 nmol)
T3. Kadar T3 plasma adalah sekitar 0,15 g/dL (2,3 nmol/L), dari 0,15 g/dL yang secara
normal terdapat dalam plasma, 0,2% (0,3 ng/dL) berada dalam keadaan bebas. Sisa 99,8%
terikat pada protein, 46% pada TBG dan sebagian besar sisanya pada albumin, dengan
pengikatan transtiretin sangat sedikit (Tabel 1).
1) Konsentrasi yodida (I-): kelenjar tiroid bersama dengan beberapa jaringan epitel lainnya,
mampu memekatkan I- dengan melawan gradien elektrokimia yang kuat. Proses ini
tergantung pada energi dan berkaitan dengan pompa Na +/ K+ yang tergantung ATP ase.
Aktivitas pompa I- tiroid dapat dipisahkan dari tahap bio sintesis hormon berikutnya melalui
penghambatan organifikasi I- dengan obat-obat golongan tiourea. Rasio yodida dalam tiroid
terhadap yodida dalam serum (rasio T : S) pada manusia dengan diet yodium yang normal
adalah sekitar 25 : 1 yang merupakan pencerminan aktivitas pompa atau mekanisme
pemekatan. Aktivitas ini terutama dikendalikan oleh TSH.
44 | P a g e
2) Oksidasi I- : Kelenjar tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Proses oksidasi ini merupakan suatu
tahapan yang wajib ada dalam organifikasi I- dan biosintesis hormon tiroid. Tahapan ini
melibatan enzim peroksidase yang mengandung hem dan terjadi pada permukaan lumen sel
folikuler. Sejumlah senyawa akan menghambat oksidasi I - dan dengan demikian
menghambat pula proses penyatuan selanjutnya kedalam MIT serta DIT.
3) Yodinasi Tirosin : Yodida yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil dalam
tiroglobulin di dalam suatu reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase.
Posisi 3 pada cincin aromatik merupakan bagian yang pertama kali mengalami yodinasi dan
kemudian baru posisi 5-nya hingga terbentuk masing-masing MIT dan DIT. Reaksi ini yang
kadang-kadang disebut organifikasi, terjadi dalam waktu beberapa detik saja di dalam
tiroglobulin luminal. Begitu yodinasi terjadi, yodium tidak segera meninggalkan kelenjar
tiroid. Tirosin bebas dapat mengalamiyodinasi tetapi tidakdisatukan ke dalam protein
mengingat tidak adanya tRNA yang mengenali tirosin teryodinasi itu.
4) Perangkaian Yodotirosil : Perangkaian dua molekul DIT untuk membentuk T4 atau
perangkaian MIT dengan DIT untuk membentuk T3 akan terjadi di dalam molekul
tiroglobulin, sekalipun hal ini tidak berarti bahwa kemungkinan penambahan MIT dan DIT
bebas pada DIT yang terikat sudah bisa disingkirkan. Enzim tersendiri untuk perangkaian
tersebut masih belum ditemukan, dan karena reaksi perangkaian ini merupakan proses
oksidasi, kita memperkirakan bahwa enzim tiroperoksidase yang sama mengkatalisasi reaksi
ini dengan merangsang pembentukan radikal bebas yodotirosin.
45 | P a g e
46 | P a g e
F. Mekanisme Kerja
Hormon T3 dan T4 bersifat lipofilik dan dapat berdifusi lewat membran plasma semua sel,
menjumpai reseptor spesifiknya di dalam sel sasaran. Reseptor hormon tiroid manusia
terdapat paling tidak dalam tiga bentuk: hTR- 1 dan 2 serta hTR-1. : hTR- mengandung
asam amino 410 asam amino , mempunyai BM sekitar 47.000, dan gennnya terletak pada
kromosom 17. hTR-mengandung 456 asam amino dengan BM sekitar 52.000, gennnya
terletak pada kromosom 3. Setiap reseptor mengandung tiga daerah spesifik 1.Suatu daerah
amino terminal yang meningkatkan aktivitas reseptor 2.Suatu daerah pengikat DNA sentral
dengan dua jari-jari sistein seng. 3 (Greenspan F S MD, Baxter J D MD,1994)
Ada kemungkinan bahwa hTR-1dan hTR- 1 merupakan bentuk reseptor yang aktif secara
biologik. hTR- 2 tidak mempunyai kemampuan mengikat hormon tetapiberikatan dengan
unsur respon hormon tiroid (TRE) pada DNA dengan demikian dapat bertindak pada
beberapa kasus untuk menghambat T3. Mutasi titik pada gen hTR- yang menimbulkan
47 | P a g e
Kompleks Hormon Reseptor selanjutnya menjalani reaksi aktivasi yang tergantung pada
suhu serta garam dan reaksi ini akan mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk, muatan
permukaan yang membuat kompleks hormon tersebut mampu berikatan dengan kromatin
pada inti sel. Kompleks hormon reseptor berikatan pada suatu regio spesifik DNA yang
dinamakan unsur respon hormon/HRE dan membuat aktif dan inaktif gen spesifik. Dengan
memberi pengaruh yang selektif pada transkripsi gen dan produksi masing-masing mRNA,
pembentukan protein spesifik.Protein ini kemudian memperantarai respon hormon tiroid dan
mempengaruhi proses metabolik Hormon tiroid dikenal sebagai modulator tumbuh kembang
penting pada usia balita. (Gambar 8. Murray Robert K, et al, 2000, Greenspan F S MD,
Baxter J D MD,1994, Gilbert Hiram F, 2001 )
Faktor Risiko
48 | P a g e
Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara
umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves Disease, toxic
adenoma, dan multinodular goiter.
a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80%
kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease. Penyakit ini biasanya
terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit
autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon
tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid
stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH
(TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan
aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.
49 | P a g e
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen.
Namun pada Graves Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel
kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan
HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk
memproduksi antibodi berupa TSAb.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease adalah HLA. Pada
pasien Graves Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh
empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves Disease asam amino pada urutan ke
tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino
pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves disease perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin et al (2002),
pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves disease yaitu TSH
serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan
thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves disease, kadar TSH
ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan
iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik
scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran
iodine pada Graves disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya
pada penderita Graves disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves Disease. Selain itu TRAb dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien
(Okamoto et al, 2006).
Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves disease dapat berupa
pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine
radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves disease. Sedangkan
di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan
dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi
pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves disease perlu mendapatkan terapi
dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor,
takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi
semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi
hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi
otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008).
Sekitar 2 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme
50 | P a g e
jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 37% pasien dengan nodul tiroid yang
tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat
dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia
lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi.
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau
manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves disease. Pada sebagian besar kasus
nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau
oleh pasien sendiri.
Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign
(bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi
pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan
kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi
pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat.
Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan
iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan
peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan
mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada
penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor
TSH.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis toxic
adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fineneedle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus
dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan
kadar hormon tiroid (T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang
menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk
kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar
tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk
mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA dapat
diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker)
(Gharib et al, 2010).
Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma adalah dengan
iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif
atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan
thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan
iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi
evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk
melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).
c. Toxic Multinodular Goiter
51 | P a g e
Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan
salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena
ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada
toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara
palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan
defisiensi iodine.
Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah dengan
iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai
dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif
yang membutuhkan waktu 6 bulan.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan
penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt
hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak
terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011).
Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan
hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah
disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60%
kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang
menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien
overt hyperthyroidism. Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub
klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism.
PATOFISIOLOGI
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH)
yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.
Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami
deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif
secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4
dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk
bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang
menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar
tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH
52 | P a g e
inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid
dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi
TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling
banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan
pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine
monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium,
sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan
dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan
hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu
tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan
ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini
telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi
meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik
adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan
katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.
Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah
tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik
dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi
mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai
tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama
operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah
terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan
toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada
keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat
kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
53 | P a g e
Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang
dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme, perlu
dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif seperti
pada gambar I.
II.
Krisis Tiroid
A. Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam
tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul
hipertiroidisme yang ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang
lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.
B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul toksik,
tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor
penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves
54 | P a g e
(goiter difus toksik). Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi
dari operasi tiroid. Faktor pencetus lain termasuk:
C. Epidemiologi
Frekuensi
Frekuensi tirotoksikosis dan krisis tiroid pada anak-anak tidak diketahui. Insiden
tirotoksikosis meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Tirotoksikosis mempengaruhi
sebanyak 2% pada wanita yang lebih tua. Pada anak-anak frekuensinya kurang dari 5% dari
semua kasus tirotoksikosis. Penyakit graves merupakan penyebab umum terjadinya
tirotoksikosis pada anak-anak. Dan dilaporkan mempengaruhi 0,2-0,4% populasi anak dan
remaja. Sekitar 1-2% neonatus yang lahir dari ibu dengan penyakit graves menderita
tirotoksikosis.
Jenis kelamin
Tirotoksikosis 3-5 kali lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, khususnya
pada dewasa muda. Krisis tiroid berpengaruh terhadap sebagian kecil persentase pasien
tirotoksikosis. Insiden ini lebih tinggi pada wanita. Namun tidak ada data spesifik mengenai
insiden jenis kelamin tersebut.
Usia
Tirotoksikosis pada neonatal terjadi 1-2% dari neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita graves disease. Bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 1% yang menderita
tirotoksikosis. Lebih dari dua per tiga dari semua kasus tirotoksikosis terjadi pada anak-anak
berusia 10-15 tahun. Secara keseluruhan tirotoksikosis umumnya terjadi pada decade ke tiga
dan ke empat kehidupan. Karena pada kanak-kanak, tirotoksikosis lebih mungkin terjadi pada
remaja. Krisis tiroid lebih umum terjadi pada kelompok usia ini. Meskipun krisis tiroid dapat
terjadi di segala usia.
55 | P a g e
D. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang
merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan
hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal
menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk
yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran
klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi
darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan
autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid
peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan
autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh
autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan
produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas
imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang
diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid
yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan
bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan
sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu,
respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor
beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan
kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid
yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon
tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid.
Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga
menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya
krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini
juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin.
Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid
pada tirotoksikosis.
56 | P a g e
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari
sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin
menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon
dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang
pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
E. Gambaran klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala seperti
iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan sangat turun, keringat
berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang
perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam,
berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna
yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut,
dan jaundice. Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada
remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC.
Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tandatanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau
hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.
Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi
atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik mencakup
agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma.
Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan goiter.
Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja cukup
menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad :
F. Gambaran laboratoris
57 | P a g e
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris.
Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu
konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid,
biasanya akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika
pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan
cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup
peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, penurunan kadar
TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini jarang terjadi.
Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar
serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas
darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan
memonitor penanganan jangka pendek.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai terjadinya krisis
tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensiv Care Unit untuk mempermudah pemantauan tanda vital,
untuk pemasangan monitoring invasive, pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan.
Penatalaksanaan krisis tiroid :
Perawatan suportif
Atasi factor pencetus segera
Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
Kompres atau pemberian antipiretik, asetaminofen lebih dipilih
Atasi gagal jantung dengan oksigen, diuretik, dan digitalis.
58 | P a g e
T4
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin ( aspirin akan melepas ikatan protein-
sintesis hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan konversi T4 menjadi T3. Pemulihan
keadaan klinis menjadi eutiroid dapat berlangsung hingga 8 minggu. Beta bloker mengurangi
hiperaktivitas simpatetik dan mengurangi konversi perifer T4 menjadi T3.Guanetidin dan Reserpin
juga dapat digunakan untuk memblokade simpatetik jika adanya kontraindikasi atau toleransi
terhadap beta bloker. Iodide dan lithium bekerja memblokade pelepasan hormone tiroid. Thionamid
mencegah sintesis baru hormone tiroid.
a. Menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan
untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di
sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI
merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya
menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat
hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi
kedua obat tersebut. PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit
Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya
toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah
ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU
sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau
intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan
metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis,
meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati,
terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan
bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan
59 | P a g e
suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap
metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar
menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang
nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps
kardiovaskular atau syok.
d. Penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi.
Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan
membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat
menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut
usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat digunakan
saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena
yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B 1,
dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi sentral
dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin dapat
menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya
krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara
perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan
hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat
percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien
mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi
adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer antibodi yang
terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan,
deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan
demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan.
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat
muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya.
Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi
atrium. Obat-obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan
jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada dosis
yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan.
Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung
kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan
pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal
selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka panjang
elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut.
Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan efek agonis
61 | P a g e
kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki ketidakseimbangan
simpatovagal.
e. Efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah,
kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase hingga
tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif,
vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk
rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus tetap
dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama kehamilan. Risiko kerusakan
hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama
selama enam bulan pertama terapi.
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid
dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang
menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit
tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut
(38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah positif
untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Capnocytophaga
species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang
multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan patogen
yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas antipseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat antitiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.
H. Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme,
kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI,
gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal
jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi.
Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam
setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang
mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat
hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis
krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula
untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.
62 | P a g e
I. Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat
krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang
menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya
krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik.
J. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis
ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon
tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat:
1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan
hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan
3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI
daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid
merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid
(termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam
3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat
menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan
pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko
mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).
III. Tirotoksikosis
Definisi
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis dari kelebihan hormone tiroid yang beredar didalam
sirkulasi.sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang
hiperaktif.tirotoksikosis dapat dengan atau tanpa hipertiroidisme.
Etiologi
1. Ikatan T3 dengan reseptor T3 inti yang makin penuh.
2. Rangsangan TSH sehingga aktivitas kelenjar tiroid meningkat
3. Destruksi kelenjar akibat radang atau inflamasi, radiasi menyebabkan kerusakna sel
sehingga hormone yang tersimpan didalam folikel keluar ke dalam darah.
4. Konsumsi hormone tiroid yang berlebihan
63 | P a g e
Dapat disimpulkan bahwa penyebab diatas adalah Autoimun, radang, dan tumor dan
penyakit tersering yang menyebabkan tirotoksikosis adalah 70% disebabkan grave dan sisanya
adalah gondok multinoduler, adenoma toksik.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda Hipertiroidisme umumnya dan pada penyakit grave
Sistem
Umum
Sistem
Psikis dan Saraf
Labil
Tremor
Psikosis
Iritabel
Nervositas
Paralisis
Periodic
dispneu
Gastrointestinal
1. Disfagia
2. Muntah
3. Splenomegali
Jantung
1.
2.
3.
4.
Muskular
1. Rasa lemah
Darah Dan
1. Limfositosis
2. Anemia
Limfatik
Genitourinaria
1.
2.
3.
4.
5.
Oligomenoria
Amenorea
Libido turun
Infertile
ginekomastia
Skelet
Hipertensi
Aritmia
Palpitasi
Gagal jantung
1. Leher
membesar
2. Osteoporosis
3. Epifisis cepat
menutup dan
nyeri pada
tulang
Kulit
IV.
1.
2.
3.
4.
5.
Rambut rontok
Berkeringat
Kulit basah
Silky hair
onikolisis
64 | P a g e
Tirotoksikosis
tanpa
Hipertiroidisme Sekunder
Hipertiroidisme
Penyakit Graves
Hormon
tiroid
berlebih
TSH-secreting
tumor
(tirotoksikosis faktisia)
secreting tumor
Tirotoksoikosis
Quervain
(trimester pertama)
Adenoma toksik
Silent thyroiditis
Karsinoma tiroid
chGH
gestasi
Umum
nervositas,
dispneu
Gastrointestina
Lapar,
banyak, Jantung
Hipertensi,
haus,
disfagia,
gagal jantung
makan
muntah
Sistem
paralisis
periodik
aritmia,
palpitasi,
splenomegali
Muskular
Rasa lemah
Darah
Limfositosis,
anemia,
dan
Limfatik
Genitourinaria
Osteoporosis,
libido
turun,
infertil,
ginekomasti
Kulit
Rambut
rontok,
epifisis
cepat
66 | P a g e
Pada pemeriksaan mikroskopis, kelenjar tiroid terdiri dari rangkaian folikel dengan
ukuran yang bervariasi. Sel-sel folikel ini menjadi kolumner jika dirangsang oleh TSH
dan gepeng saat istirahat. Sel-sel folikel mensintesis tiroglobulin, yang dikeluarkan ke
dalam lumen folikel. Biosintesis T4 dan T3 berlangsung di dalam tiroglobulin pada
interaksi sel koloid. Banyak mikrovili menonjol dari permukaan folikel dalam lumen,
mikrovili ini berperan dalam endositosis dari tiroglobulin, yang kemudian dihidrolisis
dalam sel untuk melepaskan hormon tiroid . Gambar 2. (The Medicine Journal, 2000,
Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994, Illingworth J, Dr )
67 | P a g e
V.
Histologi
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan
bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai kolumnar.
Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional
daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel
menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan
aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya
terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid.
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik.
Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional
yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional,
sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam
keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui
penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan
sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang
dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hrthle cells.
68 | P a g e
69 | P a g e
VII.
KESIMPULAN
Nn. SS 22 tahun menderita Grave disease dengan komplikasi akut krisis tiroid
yang dipicu oleh infeksi.
70 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Edisi 9). Jakarta : EGC.
71 | P a g e
M,
Singhal A,
Campbell
D.
Thyroid
http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.
storm.
Available
at:
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.
Tim Penyusuan Panduan Skill Lab Blok 3.1. 2011. PENUNTUN SKILLS LAB, Edisi Ke-1.
Padang : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas [Online] (diakes dalam
http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf pada 1 Januari
2014)
Kamus Kedokteran Dorland. 2011. Jakarta: EGC.
Murray R K, et al. Harpers Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America 2000:
545 - 552
Greenspan F S MD, Baxter J D MD. Basic and Clinical Endocrinology 4th.1994, 206 - 289
Thyroid Gland: An Overview. Geneeskunde The Medicine Journal November /Desember
Illingwort J, Dr. Thyroid hormone, Thermoregulation and Basal Metabolic Rate. /Google
Image Result for http--www_bmb_leeds_ac_uk-teaching-icu3-lecture-23-.html
Satyanarayana U,Dr. Biochemistry. Books And Allied (P) Ltd, Calcutta. 2002. 485 - 489
Gilbert Hiram F, Basic Concepts in Biochemistry 2nd. McGraw-Hill5. 2001: 126 -130
72 | P a g e