Anda di halaman 1dari 17

PANDUAN

UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN


RUMAH SAKIT KHUSUS BEDAH RAWAMANGUN

BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari Tujuan
Nasiaonal. Untuk itu perlu di tingkatkan upaya guna memeperluas dan
mendekatkan pelayannan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik
dan biaya yang terjangkau.
Selain itu dengan semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan sosisal ekonomi
masyarakat, maka sistem nilai dan orentasi dalam masyarakat pun mulai berubah.
Masyarakat mulaia cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih
ramah dan lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan
kesehatab. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu
pelayanan Ruah Sakit maka fungsi pelayanan Rumah Sakit Khusus Bedah
Rawamangun secara bertahap perlu terus ditinggatkan agar menjadi lebih efektif
dan efesian serta memeberi kepuasan kepada pasien, keluarga maupaun
masyarakat..
Agar upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit Khusus Bedah
Rawamangun dapat seperti yang diharapkan maka perlu disususn Panduan Upaya
Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit Khusus Bedah Rawamangun. Buku
Panduan tersebut merupakan konsep dan program peningkatan mutu pelayanan
Rumah Sakit Khusus Bedah Rawamangn, yang di sususn sebagai acuan bagi
pengelola Rumah Sakit Khusus Bedah dalam melaksanakan upaya peningkatan
mutu pelayanan Rumah Sakit. Dalam buku panduan ini di uraikan tentang prisisp
upaya peningkatan mutu, langkah-langkah pelaksanaannya dan dilengkapi
indikator mutu.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya ukanlah hal
yang baru. Pada tahun (1820 1910) Florence Nightingale seorang perawat dari
Inggris menekankan pada aspek-aspek keperawatan pada pemingkatan mutu
pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal sampe sekarang adalah hospital
should do the patient no harm, Rumah Sakit jangan sampai merugikan atau
mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai
oleh ahli bedah DR. E.A Codman dari oston dalam tahun 1917. Dr E.A Codman
dan beberapa ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang sering kali buruk,
karena seringnya terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu
terjadi karena kondisi yang tidak memenuhi syarat di Rumah Sakit. Untuk itu
perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait
dengan pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha mengidentifikasi
masalah klinis, dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American Collage of
Surgeons (ACS) menyusun suatu Hospital Standarization Programme. Program
standarisasi adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan
mutu pelayanan. Program ini ternyata sangat berhasil mingkatkan mutu pelayanan
sehingga banyak Rumah Sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya
ilmu dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat
erkemang. Oleh karena itu program standarisasi perlu agar dapat mencakup
disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American Collage of Surgeon, America Collage of
Physician, American Hospital Association bekerjasama mementuk suatu Joint
Commision on Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk
menilai dan mengakreditasiRumah Sakit.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal
dan essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit,
namun telah memacu Rumah Sakit agara memberikan mutu pelayanan yang

setinggi-tingginya sesutu dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi


tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-1965 standar akreditasi direvisi enam
kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan revisi.
Atas

keberhasilan

JCAH

dalam

meningkatkan

mutu

pelayanan,

Pemerintah Federal memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan


Medicare act. Undang-undang ini mengabsahkan akreditasi Rumah Sakit
menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak saat itu Rumah Sakit yang
tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi kesehatan
pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika sangat menentukan
utilisasi Rumah Sakit karena hanya 9.3% biaya Rumah Sakit barasal dari
pembayaran langsung oleh pasien.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu
yang dilaksanakan dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan
dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru
berhasil beroperasi dalam 3 Negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat
diterima kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua negara
bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama
dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat
tinggi, namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih
agak kabur bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan
secara Amerika sukar diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masingmasing negara di Eropa. Karena itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal
tahun 1980-an mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara Eropa
mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan
sistem pelayanan kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang
upaya meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht, negeri
Belanda tentang metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983

di Barcelona, Spanyol suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah
mengadakan pertemuan untuk mempelajari peningkatan mutu khusus untuk
Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun
pada simposium peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada
perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan
mutu dan akreditasi Rumah Sakit secara nasional di Taiwan. Negara ini banyak
menerapkan metodologi dari Amerika. Sedangkan Malaysia mengembangkan
peningkatan mutu pelayanan dengan bantuan konsultan ahli Negeri Belanda.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas Rumah Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria
untuk tiap kelas Rumah Sakit A,B,C,D. Kriteria ini kemudian berkembang
menjadi standar-standar. Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar
baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masingmasing kelas Rumah Sakit. Disamping standar, Departemen Kesehatan juga
mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka meningkatkan penampilan
pelayanan Rumah Sakit.
Sejak tahun 1948 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai
indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) Rumah
Sakit pemerintah kelas C dan Rumah Sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari
Kesehatan Nasional. Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan
disempurnakan. Evaluasi penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan
indikator kebersihan dan ketertiban Rumah Sakit dan yang dievaluasi selain kelas
C juga kelas D dan kelas B serta Rumah Sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi
penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrumen mengukur
kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan Rumah Sakit ini merupakan lagkah
awal dari Konsep Continuous Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada
pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih diarahkan kepada penampilan

organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan


penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa Rumah Sakit telah mengadakan
monitoring dan evaluasi mutu pelayanan Rumah Sakitnya. Pada tahun 1981
Rumah Sakit Gatot Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang
berdasarkan atas derajat kepuasan pasien. Kemudian Rumah Sakit Husada di
Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan penampilan
kerja perawat. Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya menilai mutu melalui
penilaian infeksi nosokomial sebagai salah satu indikator mutu pelayanan. Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat secara
rasional. Rumah Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu
terpadu (TQC) dan Gugus Kendali Mutu (Quality Conttrol Circle = QCC).
Beberapa Rumah Sakit Lainnya juga telah mencoba menerapkan Gugus Kendali
Mutu, walaupun hasilnya belum ada yang dilaporkan.
Sejalan dengan hal di atas maka Departemen Kesehatan telah mengadakan
Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa Rumah Sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan
mutu sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.

BAB III
KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
RUMAH SAKIT RAWAMANGUN
Agar upaya peningkatan mutu di Rumah Sakit Rawamangun dapat
dilaksanakan secara efektif maka diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang
konsep dasar upaya peningkatan mutu pelayanan.
A. MUTU PELAYANAN RS RAWANGUN
1. Pengertian mutu
Pengertian mutu beraneka ragam dan di bawah ini ada beberapa
pengertian yang secara sederhana melukiskan apa hakekat mutu
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu

adalah

expertisi,

atau

keahlian

dan

keterikatan

(commitment) yang selalu dicurahkan pada pekerjaan.


c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan pekerjaan.
2. Defenisi Mutu Pelayanan Rumah Sakit Rawamangun
Adalah derajat kesempurnaan pelayanan Rumah Sakit Rawamangun
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan
dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di Rumah
Sakit Rawamangun secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan
secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukm dan
sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan
Rumah Sakit Rawamangun dan masyarakat konsumen.
3. Pihak Yang Berkepentingan Dengan Mutu
Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu:
a. Konsumen
b. Pembayar/perusahaan/asuransi
c. Manajemen RS Rawamangun
d. Karyawan RS Rawamangun
e. Masyarakat
f. Pemerintah
g. Ikatan profesi

Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang


dan kepentingannya terhadap mutu. Karena itu mutu adalah
multi dimensional.
4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah:
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan pasien
d. Kepuasan pasien
e. Aspek Sosial Budaya
5. Mutu Terkait dengan Input, Proses, Output
Pengukuran

mutu

pelayanan

kesehatan

dapat

diukur

dengan

menggunakan 3 variabel, yaitu:


1) Input, ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat,
fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi, dan
lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan
dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan
mutu pelayanan kesehatan adalah dalam perencanaan dan
penggerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2) Proses, merupakan aktifitas dalam bekerja, adalah merupakan
interaksi profesional antara pemberi

pelayanan

dengan

konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variabel


penilaian mutu yang penting.
3) Out put, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan
yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk
kepuasan dari konsumen tersebut.
Rumah Sakit Rawangun adalah suatu institusi pelayanan esehatan yang
kompleks, padat karya dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena
pelayanan di Rumah Sakit Rawamangun menyangkut berbagai fungsi pelayanan,
serta mencakup berbagai tingkatan maupun jenis disiplin. Agar Rumah Sakit
Rawamangun mampu melaksanakan fungsi yang demikian kompleks, harus

memiliki sumber daya manusia yang profesional baik dibidang teknis medis
maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, Rumah
Sakit Rawamangun harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan
mutu di semua tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit Rawamangun diawali
dengan penilaian akreditasi Rumah Rawamangun yang mengukur dan
memecahkan masalah pada tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini Rumah
Sakit Rawamangun harus menetapkan standar input, proses dan output, serta
membakukan seluruh standar prosedur yang telah ditetapkan. Rumah Sakiit
Rawamangun dipacu untuk dapat menilai diri (self assesment) dan memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai kelanjutan
untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada latar ukur yang lain, yaitu instrumen
mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun yang menilai dan memecahkan
masalah pada hasil (output). Tanpa mengukur hasil kinerja Rumah Sakit
Rawamangun tidak dapat diketahui apakah input dan proses yang baik telah
menghasilkan output yang baik pula. Indikator Rumah Sakit Rawamangun yang
disusun dengan tujuan untuk dapat mengukur kinerja mutu Rumah Sakit
Rawamangun secara nyata.
B. UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RS. RAWAMANGUN
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan
upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integratif mamantau dan menilai
mutu pelayanan RS Rawamangun, memecahkan masalah-masalah yang ada dan
mencari jalan keluarnya sehingga mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun
akan menjadi lebih baik.
Di Rumah Sakit Rawamangun upaya peningkatan mutu pelayanan adalah
kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya
kepada pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun
akan sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi tujuan
sehari-hari dari setiap unsur di Rumah Sakit Rawamangun termasuk pimpinan,
pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang.
Upaya peningkatan mutu ternasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan
atau pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien.

Walaupun disadari bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti mutu yang
lebih baik selalu memerlukan biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih
sedikit.
Berdasarkan hal di atas maka disusunlah definisi dan tujuan dari upaya
peningkatan mutu pelayanan RS Rawamangun
1. Defenisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS Rawamangun
Adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integratif
yang menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistemik dan
berlanjut memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap
pasien, dan memecahkan masalah-masalah yang terungkap sehingga
pelayanan yang diberikan di Rumah Sakit Rawamangun berdaya guna dan
berhasil guna.
2. Tujuan Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS Rawamangun
Umum : Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya peningkatan
mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun secara efektif dan
efisien agar tercapai derajat kesehatan yang optimal.
Khusus : Tercapainya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit
Rawamangun melalui:
a. Optimal tenaga, sarana, dan prasarana
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar
pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu
sesuai dengan kebutuhan pasien.
c. Pemanfaatan

teknologi

tepat

guna,

hasil

penelitian

dan

pengembangan pelayanan kesehatan.


3. Indikator mutu
Indikator mutu Rumah Sakit Rawamangun meliputi indikator klinik,
indikator yang berorientasi pada waktu dan indikator ratio yang
berdasarkan

pada

efektifitas

(effectivenes),

efisiensi

(efficiency),

keselamatan (safety) dan kelayakan (appropriateness).


4. Strategi
Untuk

meningkatkan

mutu

pelayanan

kesehatan

Rawamangun maka disusunlah strategi sebagai berikut:

Rumah

Sakit

1) Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan


prinsip mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun sehigga dapat
menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan mutu di masingmasing unit kerjanya.
2) Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya
manusia di Rumah Sakit Rawamangun, serta upaya meningkatkkan
kesejahteraan karyawan.
3) Menciptakan budaya mutu di Rumah Sakit Rawamangun termasuk
di dalamnya menyusun program mutu Rumah Sakit Rawamangun
dengan pendekatan PDCA cycle.
5. Pendekatan Pemecahan Masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur)
yang berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah
identifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat
penting dari seluruh proses siklus (daur), karena akan menentukan
kegiatan-kegiatan selanjutnya dari pendekatan pemecahan masalah ini.
Masalah akan timbul apabila :

Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat


penyimpangan

Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut

Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut

Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan


tindakan perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setalah diadakan
tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari
penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan
masalah yang masih tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan
berulang mulai tahap pertama.

BAB IV
PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek
yang akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang
digunakan untuk mengukur mutu pelayanan Rumah Sakit Rawamangun.
Indikator :
Adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat
perubahan. Indiator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria :
Adalah spesifikasi dari indikator.
Standar :

Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang
berwenang dalam situasi tersebut, atau kondisi tersebut.

Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.

Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau
mutu.

Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus


memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan

Keprofesian

Efisiensi

Keamanan pasien

Kepuasan pasien

Sarana dan lingkungan fisik

2. Indikator yang dipilih


a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output dari pada
input dan proses

b. Bersifat umum, yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan


kelompok dari pada untuk perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan Rumah Sakit
lain, baik di dalamya maupun luar negeri.
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang
dipilih untuk dimonitor.
e. Didasarkan pada data yang ada.
3. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat
menilai indikator, sehingga dapat sebagai batas yang memisahkan
antara mutu baik dan mutu tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Sandar yang digunakan ditetapkan berdasarkan :
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan Rumah Sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan

BAB V
PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN
Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus
dilakukan untuk menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas
produk dan jasa pelayanan yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada
dasarnya adalah pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk
menciptakan kepuasan pelanggan (quality os customers satisfaction) yang
dilakukan oleh setiap orang dari setiap bagian di RS Rawamangun.
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus
pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus Plan-Do-Check-Action(PD-C-A) = Relaksasi (rencanakan laksanakan periksa aksi). Pola P-D-C-A ini
dikenal sebagai siklus Shewart, karena pertama kali dikemukakan oleh Walter
Shewhart beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya,
metodologi analisis P-D-C-A lebih sering disebut siklus Deming. Hal ini karena
Deming adalah orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas
penerapannya. Dengan nama apapun itu disebut, P-D-C-A adalah alat yang
bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continous
improvement) tanpa berhenti.
Konsep P-D-C-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk
proses perbaikan kualitas (qualitybimprovement)secara terus menerus tanpa
berhenti tetapi meningkat ke keadaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh
bagian organisasi, seperti tampak pada gambar 1.
Dalam gambar 1 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan
dipecahkan dan pencarian sebab-sebabnya serta penentuan tindakan koreksinya,
harus selalu didasarkan pada fakta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan
adanya unsur subyektifitas dan pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta
keputusan yang bersifat emosional. Selain itu, untuk memudahkan identifikasi
masalah yang akan dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjjutnya
perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.
Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan
berdasarkan siklus P-D-C-A (Relationship between Control and Improvement

under P-D-C-A Cycle) diperlihattkan dalam gambar 2. Pengendalian kualitas


berdasarkan siklus PD-C-A hanya dapat berfungsi jika sistem informasi berjalan
dengan baik dan siklus tersebut dapat dijabarkan dalam enam langkah seperti
diperlihatkan dalam gambar 3.
`
GAMBAR

Keenam langkah P-D-C-A yang terdapat dalam gambar 3 di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Langkah 1 : Menentukan tujuan dan sasaran

Plan

Tujuan dan sasaran yang akan dicapai diasarkan pada kebijakan yang
ditetapkan. Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Kepala RS atau
Kepala Divisi.penetapan sasaran didasarkan pada data pendukung dan
analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula
diungkapkan dengan maksud tertentu dan disebarkan kepada semua
karyawan. Semakin rendah tingkat karyawan yang hendak dicapai oleh
penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci informasi.
b. Langkah 2 : Menentukan metode untuk mencapai tujuan

Plan

Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil
dicapai tanpa disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang
ditetapkan harus rasional, berlaku untuk semua karyawan dan tidak
menyulitkan karyawan untuk menggunakannya. Oleh karena itu untuk
menetapkan metode yang akan digunakan perlu pula diikuti dengan
penetapan standar kerja yang dapat diterima dan dimengerti oleh semua
karyawan.
c. Langkah 3 : Menyelenggarakan pendidikan dan latihan

Do

Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja.
Agar dapat dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan
para karyawan untuk memahami standar kerja dan program yang
ditetapkan.
d. Langkah 4 : Melaksanaan pekerjaan

Do

Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi


dan standar kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat
berubah. Oleh karena itu, keterampilan dan pengalaman para karyawa
dapat dijadikan modal dasar untuk mangatasi masalah yang timbul dalam
pelaksanaan pekerjaan karena ketidaksempuraan standar kerja yang telah
ditetapkan.
e. Langkah 5 : Memeriksa akibat pelaksanaan

Check

Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan


dengan baik atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan dan mengikuti standar kerja, tidak berarti pemeriksaan
dapat diabaikan. Hal yang harus disampaikan kepada karyawan adalah atas
dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar dapat dibedakan manakah
penyimpangan atau bukan penyimpangan, maka kebujakan dasar, tujuan,
metode (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami dengan jelas baik
oleh karyawan maupun oleh manajer. Untuk mengetahui penyimpangan,
dapat dilihat dari akibat yang timbul dari pelaksanaan pekerjaan dan
setelah itu dapat dilihat penyebabnya.
f. Langkat 6 : Mengambil tindakan yang tepat

Action

Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan


penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab
timbulnya penyimpangan harus ditemukan untuk mengambil tindakan
yang tepat agar tidak terulang lagi penyimpangan. Menyingkirkan faktorfaktor penyebab yang telah mengakibatkan penyimpangan merupakan
konsepsi yang penting dalam pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang
efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas
pelayanan yang akan dicapai diperlukan partisipasi semua karyawan, semua

bagian dan semua proses.partisipasi semua karyawan dalam pengendalian kualitas


pelayanan diperlukan kesungguhan (sincerety, yaitu sikap yang menolak adanya
tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak cara
berfikir dan berbuat yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap
kesungguhan tersebut yang dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai,
malainkan juga cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup
semua jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung
jawab atas kualitas pelayanandalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam
pengendalian kualitas pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya
terhadap output, tetapi terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan
menghasilkan suatu pelayanan berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai
jika terdapat pengedalian kualitas dalam setiap tahapan dari proses. Dimana dalam
setiap tahapan proses dapat dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang baik
antara kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai tanggung jawab bersama
untuk menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok, sebagai mata rantai dari
suatu poses.

Anda mungkin juga menyukai