Oleh:
Annisa Amelia (121053
Novi Haryani (1210533027)
Risa Kurnia (121053)
PENDAHULUAN
Sering kita jumpai di lingkungan kita sendiri maupun di lingkungan masyarakat
permasalahan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Pemahaman awal
kebanyakan orang mengenai penghitungan pajak untuk wanita menikah/kawin terutama bagi
wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri (berarti memilih untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami) bahwa penghitungan pajaknya
dilakukan secara terpisah didasarkan pada masing-masing penghasilan neto yang diperoleh
suami maupun istri.
Undang-Undang Pajak Penghasilan memberi kebebasan bagi sepasang suami istri
untuk memilih menjalankan kewajiban perpajakan secara bersama maupun terpisah dengan
menggunakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Hal ini secara jelas diatur dalam
Pasal 8 ayat (2) dan (3) UU PPh. Perbedaan pemenuhan kewajiban perpajakan hanya terdapat
pada perbedaan pelaporan yang dilakukan secara terpisah antara suami dan istri. Sedangkan
perhitungan pajak terutangnya secara umum sama, hanya terdapat perbedaan jumlah yang
dibayarkan oleh suami dan istri yang masing-masing dihitung berdasarkan perbandingan
penghasilan neto mereka. Ada perlakuan khusus pula bagi pasangan suami istri yang
melakukan pemisahan pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu dalam hal pengisian SPT.
Pada SPT 1770-III Bagian C harus diisi penghasilan neto pasangan mereka. Untuk suami,
harus diisi penghasilan neto istri, sedangkan pada istri, harus diisi penghasilan neto suami.
Belakangan ini, pemahaman awal tersebut berubah menjadi kebingungan dan bahkan
keresahan sehubungan adanya penekanan ketentuan mengenai penghitungan pajak bagi
wanita kawin yang benar menurut Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Bagi keluarga yang istrinya
sudah terlanjur memiliki NPWP sendiri terpisah dari suami akibat bawaan sebelum menikah
atau adanya pendaftaran NPWP yang dilakukan melalui perusahaan tempat wanita tersebut
bekerja, akan berakibat timbulnya tambah bayar yang cukup material di saat penghitungan
PPh tahunan baik bagi suami maupun istrinya untuk penghasilan dengan jumlah tertentu. Hal
ini disebabkan karena penghasilan neto yang dipakai untuk penghitungan pajak bagi keluarga
yang istrinya memiliki NPWP sendiri sesuai dengan ketentuan adalah gabungan penghasilan
neto suami dan istri
II.
bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang memiliki omset Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara perhitungan pajak terutangnya adalah :
Penghasilan neto Tn. Joko
Rp. 60.000.000
Penghasilan neto Ny. Soimah:
Dari PT. Gabung Jaya
Rp 40.000.000
Dari Usaha Salon (200.000.000 x 30%) Rp 60.000.000
Total penghasilan neto Ny. Soimah
Rp. 100.000.000
Rp. 160.000.000
Rp. 52.650.000
Rp. 107.350.000
Pajak terutang:
5%
Rp. 50.000.000
Rp. 2.500.000
15%
Rp. 57.350.000
Rp. 8.602.500
Rp. 11.102.500
Rp. 60.000.000
PTKP
(dikosongkan)
(dikosongkan)
Pajak terutang
Pajak yang telah dipotong
Rp. 4.163.438
Rp. 2.076.000
Rp. 2.087.438
PPh Pasal 25
Rp
Rp. 2.087.438
Rp.100.000.000
PTKP.
(dikosongkan)
(dikosongkan)
Pajak terutang
Rp. 6.939.062
Rp. 1.208.000
Rp. 5.731.062
PPh Pasal 25
Rp
Rp. 5.731.062
digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya hanya dari bekerja di 1 perusahaan, maka atas
penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak
terutang, namun atas penghasilan istri dan pajak yang telah dipotong perusahaan dianggap
final dan dilaporkan di SPT Tahunan Orang Pribadi suami di Lampiran III Bagian A angka 15
SPT 1770 atau Lampiran II Bagian A angka 13 SPT 1770 S.
Contoh perhitungannya:
Tahun 2014, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang
memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2014 sebesar Rp. 40.000.000,00.
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah:
SPT Tn. Joko:
Penghasilan neto Tn. Joko
Rp. 60.000.000
PTKP (K/1)
Rp. 28.350.000
Rp. 31.650.000
Pajak terutang
5%
Rp. 31.650.000
Rp. 1.582.500
Rp. 1582.500
Rp.
PPh Pasal 25
Rp
Rp.
(Penghasilan bruto istri dan pajak terutangnya dilaporkan di lampiran penghasilan yang
dikenakan pajak Final)
Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas.
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3
digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya dari bekerja di lebih dari 1 perusahaan
dan/atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka atas penghasilannya digabungkan
dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang dan hampir sama
penghitungannya dengan kondisi istri memiliki NPWP sendiri, namun pelaporannya tetap di
1 SPT yaitu SPT suami (bukan lampiran tersendiri).
Contoh perhitungannya:
Tahun 2014, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang
memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2014 sebesar Rp. 40.000.000,00 Disamping
bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara perhitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
Penghasilan neto:
Penghasilan neto suami
Rp. 60.000.000
Rp. 40.000.000
Rp. 60.000.000
Rp. 160.000.000
PTKP (K/I/1)
Rp. 52.650.000
Rp. 107.350.000
Pajak terutang :
5%
Rp. 50.000.000
Rp. 2.500.000
15%
Rp. 57.350.000
Rp. 8.602.500
Rp. 11.102.500
Rp. 3.284.000
Rp. 7.818.500
PPh Pasal 25
Pajak yang masih harus dibayar
III.
0
Rp. 7.818.500
dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri dilakukan dengan benar,
namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu digabungkan di dalam 1 SPT
melalui mekanisme istri ikut NPWP suami.
IV.
REFERENSI
www.pajaktaxes.blogspot.com
www.spti-pajak.com