Anda di halaman 1dari 8

SEMINAR MANAJEMEN PERPAJAKAN

KONSEP PERHITUNGAN PAJAK BAGI WANITA KAWIN

Oleh:
Annisa Amelia (121053
Novi Haryani (1210533027)
Risa Kurnia (121053)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas
2014/2015

KONSEP PERHITUNGAN PAJAK BAGI WANITA KAWIN


I.

PENDAHULUAN
Sering kita jumpai di lingkungan kita sendiri maupun di lingkungan masyarakat

permasalahan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Pemahaman awal
kebanyakan orang mengenai penghitungan pajak untuk wanita menikah/kawin terutama bagi
wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri (berarti memilih untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami) bahwa penghitungan pajaknya
dilakukan secara terpisah didasarkan pada masing-masing penghasilan neto yang diperoleh
suami maupun istri.
Undang-Undang Pajak Penghasilan memberi kebebasan bagi sepasang suami istri
untuk memilih menjalankan kewajiban perpajakan secara bersama maupun terpisah dengan
menggunakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Hal ini secara jelas diatur dalam
Pasal 8 ayat (2) dan (3) UU PPh. Perbedaan pemenuhan kewajiban perpajakan hanya terdapat
pada perbedaan pelaporan yang dilakukan secara terpisah antara suami dan istri. Sedangkan
perhitungan pajak terutangnya secara umum sama, hanya terdapat perbedaan jumlah yang
dibayarkan oleh suami dan istri yang masing-masing dihitung berdasarkan perbandingan
penghasilan neto mereka. Ada perlakuan khusus pula bagi pasangan suami istri yang
melakukan pemisahan pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu dalam hal pengisian SPT.
Pada SPT 1770-III Bagian C harus diisi penghasilan neto pasangan mereka. Untuk suami,
harus diisi penghasilan neto istri, sedangkan pada istri, harus diisi penghasilan neto suami.
Belakangan ini, pemahaman awal tersebut berubah menjadi kebingungan dan bahkan
keresahan sehubungan adanya penekanan ketentuan mengenai penghitungan pajak bagi
wanita kawin yang benar menurut Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Bagi keluarga yang istrinya
sudah terlanjur memiliki NPWP sendiri terpisah dari suami akibat bawaan sebelum menikah
atau adanya pendaftaran NPWP yang dilakukan melalui perusahaan tempat wanita tersebut
bekerja, akan berakibat timbulnya tambah bayar yang cukup material di saat penghitungan
PPh tahunan baik bagi suami maupun istrinya untuk penghasilan dengan jumlah tertentu. Hal
ini disebabkan karena penghasilan neto yang dipakai untuk penghitungan pajak bagi keluarga
yang istrinya memiliki NPWP sendiri sesuai dengan ketentuan adalah gabungan penghasilan
neto suami dan istri

II.

KONSEP PERHITUNGAN PAJAKNYA

a. Wanita Kawin mempunyai NPWP sendiri


Ada kewajiban bagi istri untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi,
disamping kewajiban yang telah dilakukan oleh suami. Ini berarti wanita/istri memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Cara penghitungan pajaknya adalah
menggabungkan penghasilan neto suami dan istri untuk dikenakan pajak dan besarnya pajak
yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
Kondisi ini, sama cara penghitungannya dengan kondisi suami istri yang mengadakan
perjanjian pisah harta maupun penghasilan dan tidak lagi melihat sumber penghasilan istri
apakah dari 1 pemberi kerja atau lebih, apakah dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dalam artian, seluruh penghasilan neto istri yang merupakan objek pajak kecuali penghasilan
yang dikenakan pajak final, digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam menghitung
pajaknya. Hasil penghitungan pajak melalui penggabungan penghasilan neto suami istri
tersebut, dilaporkan di masing-masing SPT Tahunan Orang Pribadi suami maupun istri.
Adapun cara penghitungannya dapat dijelaskan seperti contoh sebagai berikut:
Tahun 2014, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang
memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.566.122.2-012.000) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2014 sebesar Rp. 40.000.000,00. Disamping

bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang memiliki omset Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara perhitungan pajak terutangnya adalah :
Penghasilan neto Tn. Joko
Rp. 60.000.000
Penghasilan neto Ny. Soimah:
Dari PT. Gabung Jaya
Rp 40.000.000
Dari Usaha Salon (200.000.000 x 30%) Rp 60.000.000
Total penghasilan neto Ny. Soimah

Rp. 100.000.000

Total penghasilan neto Suami-Istri

Rp. 160.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/1)

Rp. 52.650.000

Penghasilan Kena Pajak

Rp. 107.350.000

Pajak terutang:
5%

Rp. 50.000.000

Rp. 2.500.000

15%

Rp. 57.350.000

Rp. 8.602.500
Rp. 11.102.500

Pajak terutang bagian suami :


60.000.000 x 11.102.500 = Rp. 4.163.438
160.000.000

Pajak terutang bagian istri :


100.000.000 x 11.102.500 = Rp. 6.939.062
160.000.000

Cara pelaporan di SPT tahun pajak 2014:


SPT Tn. Joko:
Penghasilan neto

Rp. 60.000.000

PTKP

(dikosongkan)

Penghasilan Kena Pajak

(dikosongkan)

Pajak terutang
Pajak yang telah dipotong

Rp. 4.163.438
Rp. 2.076.000

(pemotongan oleh PT Anugerah)


Pajak Kurang Bayar

Rp. 2.087.438

PPh Pasal 25

Rp

Pajak yang masih harus dibayar

Rp. 2.087.438

SPT Ny. Soimah:


Penghasilan neto

Rp.100.000.000

PTKP.

(dikosongkan)

Penghasilan Kena Pajak

(dikosongkan)

Pajak terutang

Rp. 6.939.062

(lampiran penghitungan tersendiri)


Pajak yang telah dipotong

Rp. 1.208.000

(pemotongan oleh PT Gabung Jaya )


Pajak Kurang Bayar

Rp. 5.731.062

PPh Pasal 25

Rp

Pajak yang masih harus dibayar

Rp. 5.731.062

b. Wanita Kawin NPWP ikut Suami


Wanita kawin/istri tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT sendiri.

Sumber penghasilan istri hanya dari 1 pemberi kerja


Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3

digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya hanya dari bekerja di 1 perusahaan, maka atas
penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak
terutang, namun atas penghasilan istri dan pajak yang telah dipotong perusahaan dianggap
final dan dilaporkan di SPT Tahunan Orang Pribadi suami di Lampiran III Bagian A angka 15
SPT 1770 atau Lampiran II Bagian A angka 13 SPT 1770 S.
Contoh perhitungannya:
Tahun 2014, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang
memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2014 sebesar Rp. 40.000.000,00.
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah:
SPT Tn. Joko:
Penghasilan neto Tn. Joko

Rp. 60.000.000

PTKP (K/1)

Rp. 28.350.000

Penghasilan Kena Pajak

Rp. 31.650.000

Pajak terutang
5%

Rp. 31.650.000

Pajak yang telah dipotong

Rp. 1.582.500

Rp. 1582.500

(pemotongan oleh PT Anugerah)


Pajak Kurang Bayar

Rp.

PPh Pasal 25

Rp

Pajak yg masih harus dibayar

Rp.

(Penghasilan bruto istri dan pajak terutangnya dilaporkan di lampiran penghasilan yang
dikenakan pajak Final)

Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas.
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3

digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya dari bekerja di lebih dari 1 perusahaan
dan/atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka atas penghasilannya digabungkan
dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang dan hampir sama
penghitungannya dengan kondisi istri memiliki NPWP sendiri, namun pelaporannya tetap di
1 SPT yaitu SPT suami (bukan lampiran tersendiri).
Contoh perhitungannya:
Tahun 2014, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang
memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2014 sebesar Rp. 40.000.000,00 Disamping
bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara perhitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
Penghasilan neto:
Penghasilan neto suami

Rp. 60.000.000

Penghasilan neto istri

Rp. 40.000.000

Penghasilan usaha salon (Rp. 200.000.000 x 30%)

Rp. 60.000.000

Total penghasilan neto

Rp. 160.000.000

PTKP (K/I/1)

Rp. 52.650.000

Penghasilan Kena Pajak

Rp. 107.350.000

Pajak terutang :
5%

Rp. 50.000.000

Rp. 2.500.000

15%

Rp. 57.350.000

Rp. 8.602.500
Rp. 11.102.500

Pajak yang telah dipotong

Rp. 3.284.000

Pajak Kurang Bayar

Rp. 7.818.500

PPh Pasal 25
Pajak yang masih harus dibayar
III.

0
Rp. 7.818.500

ANALISA TAX PLANNING


Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa timbulnya kurang bayar pajak pada

penghitungan tahunan sangatlah besar sehubungan adanya ketentuan penggabungan


penghitungan penghasilan neto suami dan istri dengan beberapa kondisi. Apabila dalam
sebuah keluarga dengan kondisi istri hanya bekerja di 1 perusahaan saja dan melihat
ketentuan bahwa ikut NPWP suami, penghitungannya dianggap Final, maka untuk mencegah
timbulnya kurang bayar akibat penggabungan penghitungan tersebut, alangkah baiknya sang
istri ikut NPWP suami dari pada memiliki NPWP sendiri.
Hal ini perlu ditegaskan mengingat banyaknya kondisi seperti ini di masyarakat kita
dan apabila istri telah ber-NPWP maka sebaiknya segera dibuatkan surat permohonan
pencabutan dengan pertimbangan ikut NPWP suami. Di lain pihak, apabila kondisi sebuah
keluarga dimana istri bekerja lebih dari satu perusahaan atau mempunyai kegiatan
usaha/pekerjaan bebas, maka istri memiliki NPWP sendiri maupun ikut NPWP suami
merupakan opsi yang sama. Namun di masyarakat, untuk istri yang memiliki NPWP sendiri,
sering kita temui bahwa keluarga yang tidak mengadakan perjanjian pisah harta dan
penghasilan mengalami kesulitan dalam pelaporan harta di SPT masing-masing, mengingat
pengeluaran keluarga masih campur aduk antara suami dan istri. Misalnya istri yang
memperoleh penghasilan di suatu tahun pajak sebesar Rp. 40.000.000,- namun membeli harta
berupa kendaraan seharga Rp. 60.000.000,- yang sebagian uangnya dibantu oleh suami, akan
menjadi bahan pertanyaan petugas pajak bahwa apakah wajar dengan penghasilan sebesar
Rp. 40.000.000,- mampu membeli kendaraan sebesar Rp. 60.000.000,-. Memang hal itu akan

dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri dilakukan dengan benar,
namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu digabungkan di dalam 1 SPT
melalui mekanisme istri ikut NPWP suami.
IV.

REFERENSI

www.pajaktaxes.blogspot.com

www.spti-pajak.com

Anda mungkin juga menyukai