I. PENDAHULUAN
Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun leiomioma
merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang
menumpanginya.1 Sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%), dimana
prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70 % dengan pemeriksaan patologi
anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang menderita mioma uteri
asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi malignansi
(<1%). Gejala mioma uteri secara medis dan sosial cukup meningkatkan morbiditas,
disini termasuk menoragia, ketidaknyamanan daerah pelvis, dan disfungsi reproduksi.1,2
Kejadiannya lebih tinggi pada usia di atas 35 tahun, yaitu mendekati angka 40 %.
Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya
hubungan mioma uteri dengan estrogen. Mioma uteri dilaporkan belum pernah terjadi
sebelum menarke dan menopause. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan
2,39%-11,87% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Di USA warna kulit
hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri.3,4
Menoragia yang disebabkan mioma uteri menimbulkan masalah medis dan sosial
pada wanita. Mioma uteri terdapat pada wanita di usia reproduktif, pengobatan yang
dapat dilakukan adalah histerektomi, dimana mioma uteri merupakan indikasi yang
paling sering untuk dilakukan histerektomi di USA (1/3 dari seluruh angka
histerektomi).5
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang
paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi
mioma uteri itu sendiri. Baru-baru ini penelitian sitogenetik, molekuler dan
epidemiologi mendapatkan peranan besar komponen genetik dalam patogenesis dan
patobiologi mioma uteri.
Tinjauan pustaka ini bertujuan membahas peranan biomolekuler terhadap
terjadinya mioma uteri, serta hubungannya dalam penatalaksanaan mioma uteri yang
lebih baik.
2
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%),
submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)3
1. Mioma submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini
dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum
memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan
pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.
3
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa
pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang
mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal
dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami
infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami
anemia dan sepsis karena proses di atas.
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan
tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka
uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang
padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya
akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga
disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma
saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran
servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit.
Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot
polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern)
dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena
pertumbuhan.
4
hasil ini bukan berarti ESR 2 pada mioma uteri disebabkan kesalahan ekspresi
lainnya atau sebagai pasangan translokasi posisi HMGIC pada mioma uteri
dengan t(12,14), namun demikian perkiraan fisiknya ke t(12,14) belum dapat
dibuktikan bermakna sebagai mekanisme yang mendasari patogenesis dan
patologi mioma uteri.
2. Subgrup 6p21
Ketika HMGIC ditemukan terlibat dalam kromosom subgrup 12 pada mioma
uteri, HMGIY segera dikenali sebagai protein mobilitas tinggi berhubungan
dengan HMGIC yang berada di lengan pendek kromosom 6(6p 21) dapat
berperanan dalam perubahan 6p21 pada mioma uteri. Hibridisasi Flourescence
insitu telah mengkonfirmasi bahwa HMGIY terlibat dalam perubahan ini. Lebih
jauh lagi peningkatan ekspresi HMGIY ditemukan pada mioma uteri tanpa
perubahan sitogenetik pada kromosom 6 pada tumor dengan perubahan
kromosom lainnya dan pada tumor dengan kariotip yang normal. Perubahan 6p21,
termasuk translokasi dengan kromosom 1,2,4,10 dan 14 seperti inversi dan
translokasi dengan kromosom lainnya, terjadi <10 % mioma uteri dengan kariotip
yang abnormal.
3. Grup Protein Mobilitas Tinggi
HMGIC dan HMGI(Y) termasuk dalam grup mobilitas tinggi. Protein grup
mobilitas tinggi, jumlah banyak, nonhistone, DNA binding protein yang secara
tidak langsung mengatur aktifitas beraneka DNA dependent, seperti transkripsi,
dengan menyediakan faktor-faktor arsitektur. Protein grup mobilitas tinggi
dikelompokkan berdasarkan fungsinya ke dalam 3 kelas, HMGI/2 HMG-14/HMG
17, HMG I. HMG I terdiri dari 3 protein; HMGI-C berperanan dalam proliferasi
dan diferensiasi sel.
Ikatan protein HMG I dapat menginduksi perubahan DNA, kemudian
mempengaruhi akses protein binding DNA lainnya. Lebih jauh lagi domain c
terminal berinteraksi dengan protein lainnya, contohnya faktor transkripsi.
Dengan cara ini protein HMG I dapat secara tidak langsung transkripsi, contohnya
perubahan yang terjadi diinduksi oleh ikatan HMGI(Y) telah diketahui
menghubungkan transkripsi interferon ß. HMGIY telah terlihat mempengaruhi
8
Gambar 2. Komponen ECM, kolagen IV dan V, serta laminin dihubungkan dengan basal membran dan
masuk kedalam suatu tempat yang banyak mengandung kolagen interstitial I,III, dan fibronektin
yang membantu proses migrasi. Proliferasi terjadi 24 jam setelah migrasi. Angiogenik ini
mengadakan vakuolisasi untuk membentuk lumen kapiler. Ketika proses stabilisasi tuba terjadi,
membran basalis baru terbentuk disekitar kapiler
Dikutip dari Gross Karen L,BA20
stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada
mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target terapi
potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory factors atau
vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga menyebabkan
perdarahan uterus yang abnormal. Telah jelas bahwa ada perbedaan sejumlah gen pada
mioma uteri dengan miometrium yang normal. Terdapat peningkatan reseptor estrogen
dan progesteron serta enzim aromatase pada mioma uteri dibandingkan dengan
miometrium. Mioma uteri juga meningkatkan reseptor insulin like growth factor (IGF-I)
dan mRNA IGF-II dan telah meningkatkan TGF-ß3 enam kali lipat dibandingkan dengan
miometrium. Selain itu didapatkan juga peningkatan mRNA dan protein for parathyroid
hormon related protein (PTHrP) dan bFGF (Weir dkk,1994;Mangrulkar dkk,1995)
Protein yang ada pada mioma uteri mengalami fase siklus menstruasi yang
spesifik lebih banyak dibanding miometrium yang normal. Laboratorium telah
menunjukkan mRNA kolagen tipe I dan kolagen tipe III meningkat relatif pada mioma
uteri hanya terjadi pada fase proliferatif siklus epidermal Growth Factor (EGF) mRNA
telah terlihat meningkat relatif pada fase luteal siklus dibandingkan dengan miometrium
(Harrison-Woolrych dkk,1994). Penelitian terbaru mengatakan bahwa reseptor EGF
dapat diturunkan pada mioma uteri sejak penelitian lain yang berkaitan menyatakan
adanya penurunan ikatan tersebut pada mioma uteri dibandingkan miometrium normal.
Faktor-faktor pertumbuhanataupun reseptornya yang diregulasi berbeda pada
mioma uteri atau endometrium uterus miomatosus, merupakan mediator yang potensial
pada mioma uteri yang disertai komplikasi. Faktor-faktor yang diregulasi berbeda, yang
telah diketahui berperanan pada jaringan vaskuler dengan cara meningkatkan proliferasi
atau perubahan kapiler pembuluh darah, yang berpotensi menyebabkan mioma uteri
dengan gejala menoragia. Faktor-faktor yang memenuhi semua kriteria termasuk basic
fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), heparin
binding epidermal growth factor (HBEGF), platelet derived growth factor (PDGF),
TGF-ß, PTHrP dan prolaktin.
Keempat faktor ini (bFGF,VEGF,HBEGF,PDGF) milik heparin binding group of
growth factors. Sejak faktor-faktor ini berikatan dengan heparin sulfat proteoglycans
yang ditemukan di ECM, mioma uteri, dengan muatan ECM yang besar, dapat dijadikan
12
wadah bagi faktor-faktor ini. Kedua faktor bFGF dan VEGF mengatur fungsi sel endotel,
maka itu migrasi sel endotel vital ditingkatkan ke proses angiogenik. HBEGF dan PDGF
mengatur fibroblast dan fungsi sel otot polos dan dapat mempengaruhi vaskularisasi otot
polos mioma uteri, sel miometrium ataupun sel stroma endometrium. PTHrP dapat
berfungsi sebagai vasodilator secara tidak langsung dengan aksi pada ECM atau secara
langsung pada pembuluh darah. TGF-ß berfungsi pada banyak tipe sel dan prolaktin,
ketika membelah, berfungsi sebagai penghambat angiogenesis. Maka itu faktor ini
memiliki aksi yang potensial dalam mengatur fungsi vaskuler di uterus.
1. Basic Fibroblast Growth Factor
Merupakan protein 18 kd yang meningkatkan angiogenesis melalui sejumlah
mekanisme termasuk induksi proliferasi sel endotel, Chemotaxis dan produksi matrix
remodelling enzym seperti kolagenase dan aktivator plasminogen.Terapi estradiol
merangsang BFGF like activity, yang hilang ketika sel diterapi dengan progesteron
model ini meniru pengaturan pengaruh hormon terhadap angiogenesis invivo. BFGF
juga telah menjadi mitogen besar yang menyebabkan proliferasi sel otot polos
sesudah perdarahan.
2. Vascular endothelial growth factor
VEGF merupakan growth factor angiogenic yang merupakan mitogen poten sel-sel
endotelial, ditemukan spesifik muncul pada siklus menstruasi fase proliferatif. VEGF
mRNA juga dideteksi pada miometrium dengan hibridisasi intensitas kuat pada batas
endometrium dan miometrium. Pada uterus manusia level VEGF ditemukan sama
pada miometrium dan mioma uteri dan tidak memiliki variabilitas siklus menstruasi
yang bermakna.
3. Heparin-binding epidermal growth factor
HBEGF merupakan peptida 22-kd yang berfungsi sebagai mitogen pada fibroblas dan
sel otot polos dengan EGF-R pada sel-sel otot polos memilih afinitas yang lebih besar
daripad EGF, maka itu mitogennya lebih poten. Ekspresi meningkat pada tempat
penyembuhan luka. HBEGF terdapat di endometrium dengan pengaturan yang
berbeda pada endometrium dengan peningkatan ekspresi berhubungan dengan
proliferasi tipe sel uterus, maka itu HBEGF mungkin merupakan mediator aktifitas
hormon steroid pada uterus. Dari hasil analisa ekspresi pada EGF-R pada
13
B. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin
uterus.Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus
oleh satu atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan
bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.
2. Temuan laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang
mioma menghasilkan eritropoeitin yang pada beberapa kasus menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga
akibat penekanan mioam terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan
balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik
diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas
menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas
kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-
fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya
daerah yang hipoekoik.14
b. Hiteroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika
tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi
lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma
15
VI.PENATALAKSANAAN
A. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan,
tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari
kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada
tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
B. Terapi medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma
uteri secara menetap belum tersedia padasaat ini. Terapi medikamentosa masih
merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.
Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analg
GnRH, progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin,
agen-agen lain (gossipol,amantadine).
1. GnRH analog
Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita dengan mioma uteri
yang diberikan GnRHa leuprorelin asetat selam 6 bulan, ditemukan
pengurangan volume uterus rata-rata 67% pada 90 wanita didapatkan
pengecilan volume uterus sebesar 20% dan pada 35 wanita ditemukan
pengurangan volume mioma sebanyak 80%.18,19
Efek maksimal dari GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan dimana cara
kerjanya menekan produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya
dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Setiap
mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian
GnRHa.4,15
16
2. Progesteron
Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri pada
pemberian progesteron dosis besar. Dengan pemberian medrogestone 25 mg
perhari selama 21 hari dan tiga pasien lagi diberi tablet 200 mg, dan
pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran mioma uteri, hal ini belum
terbukti saat ini.
3. Danazol
Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari testosteron. Dosis
substansial didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume uterus
sebesar 20-25% dimana diperoleh fakta bahwa danazol memiliki substansi
androgenik. Tamaya, dkk melaporkan reseptor androgen pada mioma terjadi
peningkatan aktifitas 5-reduktase pada miometrium dibandingkan
endometrium normal. Mioma uteri memiliki aktifitas aromatase yang tinggi
dapat membentuk estrogen dari androgen.16,17
4. Gestrinon
Merupakan suatu trienik 19-nonsteroid sintetik, juga dikenal dengan R 2323
yang terbukti efektif dalam mengobati endometriosis. Menurut
Coutinho(1986), melaporkan 97 wanita, A(n=34) menerima 5 mg gestrinon
peroral 2x seminggu, kelompok B(n=36) menerima 2,5 mg gestrinon peroral
2x seminggu, dan kelompok C(n=27) menerima 2,5 mg gestrinon pervaginam
17
uteri, parameter yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien,
corak perdarahan kandungan mineral, dan fraksi kolesterol. Kadar HDL
kolesterol meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma trigliserid
meningkat selama pemberian terapi.11,18
7. Antiprostaglandin
Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita dengan
menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau mungkin efektif untuk
menoragia yang diinduksi oleh mioma uteri.
Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian Naproxen 500-1000
mg setiap hari untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia
yang diinduksi mioma, meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi
35,7% wanita dengan menoragia idiopatik.
massa mioma uteri tanpa harus melakukan intervensi bedah mayor. Penelitian
terbaru menunjukkan efektifitas terapi gen sitotoksik pada sel-sel mioma yang
berasal dari tikus Eker (sel ELT-3). Sel-sel ditranfer dengan encoding DNA
plasmid ß-galactosidase, SV-tk transgene, atau plasmid kontrol. Ekspresi gen
reporter diperiksa dengan memonitor aktifitas enzim ß-galactosidase untuk
menentukan presentasi sel-sel transfected yang diharapkan mengekspresikan
timidine kinase. Efisiensi transfeksi ini 16,7% pada leiomyocyte manusia dan
39,8% pada sel-sel ELT-3.
VII. KESIMPULAN
1. Awal pembentukkan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel
miometrium, mencakup rentetan perubahan kromosom secara parsial maupun
keseluruhan. Aberasi kromosom 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa
yang terbanyak ditemukan pada kromosom 7(del(7)(q21)/q21q32).
2. Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri tergantung telah terjadi
perubahan kromosom atau tidak.
3. Ditemukan 4 faktor yang berperanan dalam mengatur fungsi vaskuler dan
berperanan dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan miometrium
di uterus, yaitu: BFGF,VEGF,HBEGF, dan PDGF.
4. Sebelum terapi gen digunakan secara luas, kita harus melewati terap yang
ditujukan sebagai anti growth factor spesifik yang terdapat dalam proses
angiogenesis dalam endometrium dan miometrium. Di atas telah diidentifikasi
molekul yang menghambat angiogenesis, di dalam uterus dan menghambat
proses ini.
5. Terapi gen sitotoksik merupakan cara yang efektif dalam mengurangi ukuran
mioma uteri, walaupun pemeriksaan lebih jauh dibutuhkan, terapi gen dapat
digunakan sebagai pendekatan alternatif atau dapat menjadi program
pencegahan dalam pengobatan mioma uteri.
22
XIII. RUJUKAN
1. ButtramVC, Reiter ARAC. Uterine leiomyomata: Etiologi, symptomatology, and management
Fertil Steril 1981;36 :433-445
2. Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy, labor, and delivery with
uterine leiomyomas: a population based study. Obstet Gynecol. 2000;95;764-769
3. Thomas EJ. The aetiology and pathogenesis of fibroid. In: Shaw RW.eds. Advances in
reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey. The Phartenon Publishing
Group. 1992; 1-8
4. Baziad A. Pengobatan medikamentosa mioma uteri dengan analog GnRH. Dalam: Endokrinologi
ginekologi edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2003; 151-156
5. Lepine L, Hillis S, Marchbanks P, et al. Hysterectomy surveilances United States 1980-1993.
MMWR Mortal Morbid Wkly Rep. CDC Surveill Summ. 1997; 46: 1-15
6. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam Sarwonoprawiraharjo, edisi kedua ilmu
kandungan Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: 1994; 338-345
7. Friedman AJ, Rein MS, Murugan R, Pandian, Barbieri RL. Fasting serum growth hormone and
Insulin like growth factor-I and II concentration in women with leiomyomata uteri treated with
leuprolide acetate or plaacebo. Fertility and sterility, 1990; 53:250-253
8. nillbert M, Heim S uterine leiomyoma cytogenetics. Genes Chromosomes Cancer, 1990;2:3-13
9. Rein MS, Friedman AJ Barbieri RL, et al. Cytogenetics Abnormalities in Uterine Leiomyomata.
Obstet Gynecol, 1992; 80: 209-217
10. Meloni AM, Surti U, Contento AM, et al. Uterine leiomyoma: cytogenetic abnormalities in uterine
myomas are associated with myoma size. MolHum Reprod, 1998; 4:83-86
11. Pandis N, Heim S, Bardi G, et al. Chromosome analysis of 96 uterine leiomyomas. Cancer Genet
Cytogene, 1991; 55: 11-18
12. Rein MS, Friedman AJ, Barbieri RL, et al. Cytogenetic and histologic profile. Obstet Gynecol,
1991; 55: 11-18
13. Brosens I, Deprest J, Dal Cin P, et al. Clinical significance of cytogenetic abnormalities in uterine
myomas. Fertil Steril, 1998; 69: 232-235
14. Crow J. Uterine Fibroid: Histological features. In : Shaw RW, eds. Advances in reproductive
endocrinology uterine fibroid. England- New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 21-
33
15. Schweppe KW. GnRH analogues in treatment uterine fibroid: results of clinical studies. In: Shaw
RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The
Parthenon Publishing Group, 1992:103-105
16. Sivecney G. Mc, Shaw RW. Attempts at medical treatment of uterine fibroid. In: Shaw RW, eds.
Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon
Publishing Group, 1992: 95-101
23
17. Friedman AJ, Harrison D, Atlas CNM, Barbieri RL, Benacerraf B, Gleason R, Schiff I. A
randomized, placebo controlled, double blind study evaluating the efficacy of leuprolide acetate
depot in the treatment of uterine leiomyomata. Fertility and Sterility, 1989; 51:251-256
18. Lumsden MA. The role of Oestrogen and growth factors in the control of the growth of uterine
leiomyomata. In: Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids.
England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 9-20
19. Rein MS, Friedman, Stuart JM, David T, Laughlon M. Fibroid and myometrial steroid receptors in
Women treated with gonadotropin-releasing hormone agonist leuprolide acetate. Fertility and
Sterility, 1990; 53: 1018-1021
20. Gross K, Morton C, Genetic and development of fibroid. Clin Obstet and Gynecology 2001; 44:
335-349