Anda di halaman 1dari 19

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) Berdasarkan UndangUndang No.

1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara


Posting, February 23, 2011, 1:33 am
Oleh : Vista Primaningsih

Badan Layanan Umum (BLU) bagi beberapa orang mungkin belum mengenal jelas
arti dari istilah ini, Jika dilhat dari arti kata tentu sebagai oang awam kita
mengartikan bahwa BLU adalah suatu badan yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Salah satu contoh BLU adalah Balai Kesahatan, ini merupakan salah
satu bentuk BLU yang memberikan manfaat dan melayani masyarakat. Dalam
tulisan ini saya akan mecoba memberikan sedikit pengertian dan pengetahuan
tentang apa itu Badan Layanan Umum (BLU), sehingga secara garis besar kita
dapat mngetahui tentang arti dari BLU yang merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien.
A. PEMBENTUKAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU)
Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efesiensi dan efektifitas (Pasal 1
UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara).
Ketentuan mengenai pembentukan dan tujuan Badan Layanan Umum, pembinaan
keuangannya adalah sebagai berikut:
1. Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat

dalam

rangka

memajukan

kesejahteraan

umum

dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.


2. Kekayaaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang
tidak

dipisahkan

serta

dikelola

dan

dimanfaatkan

sepenuhnya

menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.

untuk

3. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerinah pusat dilakukan oleh


Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh Mentri yang
bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
4. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan
oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan
oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas
bidang pemerintahan yang bersangkutan.
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya, BLU terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. BLU yang kegiatannya meyediakan barang/jasa meliputi rumah sakit,
lembaga pendidikan, penyiaran, dll.
2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita
pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (kapet).
3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelolaan dana
bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.

B. KEWAJIBAN DAN LAYANAN UMUM UNTUK MEMBUAT RENCANA KERJA


DAN ANGGARAN TAHUNAN
Dalam melaksanakan kegiatannya, BLU mempunyai kewajiban sebagai berikut:
Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.
1. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun
dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan
anggaran

serta

laporan

keuangan

dan

kinerja

Kementrian

Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
2. Pendapatan dan Belanja BLU dalam rencana kerja dan anggaran tahunan
sebagaimana dimaksud dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran
Kementrian Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.

3. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang


diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
4. BLU dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan
lain.
5. Pendapatan

BLU

sehubungan

dengan

pemberian

jasa

layanan

dan

hibah/sumbangan dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU


yang bersangkutan.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam PP
No. 23/2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.

C.

KESIMPULAN
1. Badan

Layanan

Umum

(BLU)

merupakan

perwujudan

dari

reformasi

keuangan dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis


kinerja.
2. BLU tidak bertujuan untuk mencari laba dan bukan merupakan subjek pajak.
3. BLU merupakan langkah awal pembaharuan manajemen keuangan sektor
publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
4. BLU merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memwiraswastakan
pemerintah (enterprising the government), Enterprising government adalah
suatu paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan publik.
5. UU No 1/2004 tentang Perbendahraan Negara merupakan basis dalam
penerapan pengganggaran bebasi kinerja di lingkungan pemerintah

Referensi :

UU No 1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara

Perbendaharaan dan Pemeriksaan keuangan Negara/Daerah oleh Atep Adya


Barata dan Bambang Trihartanto

Badan Layanan Umum: Bukan korporasi tapi memberi kontribusi demi


pelayanan yang bernilai
Pendahuluan
Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori agensifikasi. Secara
umum, teori agensifikasi adalah adanya pemisahan antara fungsi kebijakan
(regulator) dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah.
Fungsi pertama dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua
adalah

kantor-kantor

yang

melaksanakan

tugas

pelayanan.

Menurut

teori

dimaksud, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah


bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam
melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan dikelola
secara professional.
Penjelasan umum PP 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum secara explisit menjelaskan, BLU tidak hanya sebagai format baru dalam
pengelolaan keuangan Negara namun juga sebagai wadah baru bagi pembaruan
manajemen

keuangan

sektor

public

(public

sector

reform

in

financial

managements). Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana strategi pemerintah pusat


dalam mereformasi organisasi sektor publik melalui pembentukan Badan Layanan
Umum serta tantangan dan isu-isu strategisnya.
Maksud pembentukan Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum (BLU) adalah
instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 ayat 23 UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara). Selanjutnya pasal 68 ayat (1) menyatakan tujuan
pembentukan BLU yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan
kata lain pemerintah ingin menjadikan BLU sebagai organisasi yang costumeroriented, not-for-profit oriented dan outcome-oriented.

Costomer oriented adalah suatu organisasi yang peka atas kebutuhan pelanggan
sehingga produk dan atau jasa yang dijual selalu ditujukan untuk meningkatkan
kepuasan

pelanggan.

Organisasi not-for-profit-oriented yaitu

organisasi

yang

dikelola bukan dalam rangka mencari laba dimana pendapatan yang diperoleh
semata-mata untuk peningkatan mutu pelayanan sehingga bermanfaat bagi
pengguna akhir layanan. Sedangkan outcome-oritented adalah suatu pengelolaan
organisasi

yang

dikelola

yang

lebih

mengutamakan

pencapaian

hasil

yang

diharapkan. Secara konsep, pembentukan BLU telah dilandasi prinsip yang tepat
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fitur-fitur BLU
Atas kajian lebih mendalam terhadap PP 23 tahun 2005 tentang konsep
agensifikasi,

tulisan

ini

mengungkapkan

beberapa

fitur

unik

BLU

yang

membedakannya dari satuan kerja instansi pemerintah.


Pertama ialah aspek pengelolaan keuangan dimana pemerintah pusat secara
khusus mengatur pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. Asas utama
pengelolaan keuangan BLU ialah fleksibilitas dimana BLU diharapkan menerakpan
praktek-praktek bisnis yang sehat (best practice) dalam penyelenggaraan fungsi
organisasi. Lebih jauh, BLU dapat memungut biaya atas bisnisnya kepada pengguna
layanan. Kedua, BLU dikelola dengan memperhitungkan efisiensi biaya dalam setiap
kegitan operasionalnya. Artinya BLU wajib melakukan perhitungan akuntansi
biaya atas setiap unit produk yang dihasilkan. Ketiga, BLU dikelola untuk
meningkatkan layanan yang bermutu sebagai sumber pendapatan operasional.
Ketiga prinsip utama pengelolaan keuangan BLU didukung dengan pendelegasian
wewenang yang luas melalui paradigma let the
managers manage. Dengan privilese tersebut, diharapkan para manajer BLU
dengan diskresinya mampu mengelola sumber-sumber daya baik keuangan
maupun non-keuangan secara sinergi untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Kedua ialah aspek manajemen organisasi dimana BLU dalam melaksanakan


praktek-praktek bisnis yang sehat perlu melakukan pengelolaan dan pengukuran
kinerja. Ada sebuah pandangan
umum jika tidak dapat mengukur sesuatu, kamu tidak dapat mengelolanya yang
mungkin sangat cocok dengan pengelolaan kinerja BLU. Semua output kinerja BLU
perlu diukur untuk melihat bagaimana organisasi telah bekerja dalam mencapai
targetnya. Selain itu, pengelolaan BLU dilakukan secara professional melalui alat
pengedalian

managemen

meskipun

bisnisnya

tidak

mengutamakan

mencari

keuntungan. Sehingga dalam hal ini sangat diharapkan BLU mengadopsi alat
perencanaan management yang diterapkan oleh sektor swasta dalam mengelola
kinerjanya dalam pengukuran kinerja yang lebih komprehensif. Dengan pengelolaan
kinerja yang komprehensif, BLU-BLU selain meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan meningkatkan kompetensi utama para pegawainya, mereka juga
akan mampu mencapai sasaran jangka pendek dan dapat bersaing untuk mencapai
tujuan jangka panjangnya. Sehingga dalam hal ini, kepala eksekutif BLU perlu
memiliki tingkat manajerial yang tinggi yang bertanggung jawab atas pencapain
hasil yang tertuang dalam kontrak kinerja.
Aspek ketiga ialah penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting). Dalam
penganggaran berbasis kinerja, BLU diharapkan menjadi prototype satuan kerja
instansi

pemerintah

lainnya

dengan

model

rencana

bisnis

anggaran

yang

dilaksanakan dalam proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran. Hal ini


didasari pemikiran bahwa BLU akan mampu mendefinisikan visi dan misi organisasi
ke dalam sasaran dan tujuan organisasi yang akan dicapai dalam target kinerjanya.
Sehingga

dalam

melakukan

penganggaran,

BLU

dapat

lebih

baik

dalam

menghubungkan jumlah anggaran yang akan dialokasikan untuk mencapai target


sasaran yang akan dicapai. Selain itu dalam proses penganggaran, BLU perlu
menyediakan informasi kinerja sebagai salah satu penilaian dalam penetapan
program BLU pada tahun berikutnya yang akan dijadikan dasar penilaian oleh
penyedia anggaran. Dengan adanya informasi kinerja (performance information)
yang lengkap diharapkan penetapan anggaran akan lebih rasional.

Tantangan BLU
Untuk menjadi BLU yang memiliki kontribusi kepada keuangan Negara serta
menyediakan pelayanan yang bermutu, BLU dihadapkan pada beberapa tantangan
berikut. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kemampuan manajerial para
pimpinan eksekutif BLU agar mampu membawa BLU menjadi organisasi sektor
publik dengan kinerja sektor swasta. Hal ini sangat penting mengingat adanya
perubahan budaya kerja dari yang sebelumnya sebagai administrator menjadi
manajer. Profesi yang pertama lebih mengutamakan ketaatan pada aturan dan
prosedur

kerja

(process

oriented)

sementara

yang

kedua

mengutamakan

pencapaian hasil (outcome oriented) dengan skill dan kepemimpinan yang


mumpuni. Peran kepemimpinan menjadi sangat penting untuk mengkomunikasikan
sasaran dan tujuan organisasi kepada seluruh anggota organisasi agar semua
elemen

organisasi

dapat

bersinergi

secara

aktif

dalam

pencapaian

tujuan

organisasi. Dengan budaya kinerja, para manajer tidak lagi menunggu perintah dari
atasan karena semua urusan teknis operational organisasi adalah merupakan
tanggung jawab pribadinya. Dengan kata lain, akuntabilitas seorang manajer diukur
dari seberapa cakap dia memimpin organisasi dalam memenuhi target yang
ditetapkan.
Di satu sisi, diskresi yang diberikan dapat menjadi sebuah dilema bagi eksistensi
BLU. Apabila manager memiliki integritas yang tinggi, maka dia akan mampu
menggerakkan mesin organisasi dan mengelola sumberdaya manusia untuk
mencapai

tujuan

yang

diharapkan,

namun

jika

sebaliknya

pemimpin

BLU

memanfaatkan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu,


maka kemungkinan besar organisasi BLU tidak jauh berbeda dengan organisasi
birokratif dan hierarkis yang lambat dalam pengambilan keputusan tanpa inovasi
dan kreativitas. Oleh karena itu, kementerian terkait perlu menetapkan sistem
pengendalian yang tepat agar para manager bekerja pada koridor yang diharapkan.
Kemudian terdapat beberap isu strategis yang perlu dikelola dalam penyempurnaan
kelembagaan. Yang pertama nomeklatur kelembagaan BLU perlu ditetapkan lebih
jelas posisinya agar tidak terjadi kebingungan dan kesalahpahaman baik oleh
masyarakat sebagai pengguna layanan maupun oleh para stakeholder yang terkait

dalam pembinaan BLU. Tanpa identitas yang jelas, BLU akan terperangkap dengan
sistem pengelolaan yang birokratis, hierarkis dan lambat serta jauh dari aspek
professionalitas. Konsekuensinya, BLU akan terpengaruh dengan politik organisasi
yang biasanya mewabah dalam organisasi pemerintah sehingga secara langsung
akan

mempengaruhi

kelincahan

(agility)

manajement

BLU.

Dalam

hal

ini,

kementerian terkait perlu melepaskan keegoannya sehingga rela memberikan


kewenangan yang lebih luas dan proporsional bagi para manajer BLU untuk
membawa BLU kepada maksud dan tujuannya. Apabila isu-isu dimaksud tidak
dapat ditangani secara arif, pelayanan publik yang bernilai tinggi akan sangat sulit
dicapai. Yang kedua, perlunya pengaturan kompensasi atas kinerja BLU dalam
bentuk remunerasi yang tepat sesuai dengan keahlian dan resiko yang ditanggung.
Karena secara akal sehat, tidak mungkin mengharapkan individu bekerja secara
professional tanpa memberi kompensasi yang seturut dengan tingkat keahliannya.
Penutup
Sejauh apa visi yang ditetapkan atas pembentukan BLU sangat menentukan sejauh
mana kiprah penyedia layanan ini di masa mendatang. Jika pembuat kebijakan
menganggap bahwa BLU tidak jauh berbeda dengan satuan kerja instansi
pemerintah pada umumnya, maka akan sejauh itulah pula lah kemampuan kinerja
BLU di masa depan. Namun jika para pembuat kebijakan mempunyai keyakinan
akan suatu pelayanan publik yang bernilai tanpa komersialisasi pelayanan, maka
BLU harus diberdayakan agar sesuai dengan posisinya sebagai badan yang
independen namun tidak terlepas dan menjadi bagian integral dari kementerian
terkait. Penulis
berkeyakinan bahwa BLU tidak hanya sebatas satuan kerja yang diberi kewenangan
dalam memungut biaya atas pelayanannya, dia juga bukan sebagai instrumen
pemerintah yang tugasnya ditekankan pada peningkatan pendapatan negara,
namun yang terlebih utama ialah BLU sebagai penyedia layanan umum yang
berkontribusi bagi peningkatan pelayanan yang bernilai tinggi.
Oleh : Mangappu Pasaribu

Bibliography
1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
4. Rohm, H. (2002) Improve Public Sector Results with a Balanced Scorecard:
Nine Step to Success,
5. U.S. Foundation for Performance Measurement, www.balancedscorecard.org
6. Rowlands, D. (2002) Agencification in the Australian Public Service: the Case
of Centerlink, a thesis
7. for the degree of Proffessional Doctorate in Public Administration University
of Canberra

- See more at: http://www.ppkblu.depkeu.go.id/index.php/baca/artikel/98/badanlayanan-umum-bukan-korporasi-tapi-memberi-kontribusi-demi-pelayanan-yangbernilai#sthash.mqCM4Lf2.dpuf

Seputar Badan Layanan Umum (BLU)


Ditulis pada tanggal 15 November 2013, oleh spiub, pada kategori Artikel, Berita
Oleh : San Rudiyanto, SE., Ak
Auditor Internal Universitas Brawijaya

Mungkin kita sering mendengar istilah BLU, namun apa itu BLU kadang kita masih belum
sepenuhnya tahu, berikut sedikit catatan mengenai karakteristik BLU, perbedaan dengan
instansi pemerintah biasa / belum BLU dan bagaimana caranya instansi/lembaga untuk bisa
ditetapkan sebagai BLU?
Pengertian Badan Layanan Umum (BLU) menurut Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005
Pasal 1 adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Satker BLU dapat memiliki fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan yang berbeda dengan
instansi biasanya (Non BLU) berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan
praktek bisnis yang sehat (Ps 2 PP 23/2005). Berikut beberapa hal terkait dengan fleksibilitas
yang diberikan kepada satker BLU yaitu :
1.

Pendapatan dapat digunakan langsung, tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Kas


Negara.

2.

Belanja menggunakan pola anggaran fleksibel dengan ambang batas tertentu.

3.

Dapat mengelola kas BLU untuk memanfaatkan idle cash BLU yang hasilnya menjadi
pendapatan BLU.

4.

Dapat memberikan piutang usaha maupun menghapus piutang sampai batas tertentu.

5.

Dapat melakukan utang sesuai jenjang dengan tanggung jawab pelunasan berada pada
BLU.

6.

Dapat melakukan investasi jangka panjang dengan seijin Menteri Keuangan.

7.

Dapat dikecualikan dari aturan umum pengadaan barang/jasa dan dapat mengalihkan
barang inventaris.

8.

Dapat diberikan remunerasi sesuai tingkat tanggung jawab dan profesionalisme.

9.

Surplus dapat digunakan untuk tahun berikutnya dan defisit dapat dimintakan dari APBN
untuk Public Service Obligation (PSO).

10. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan profesional non PNS.
11. Pengaturan organisasi dan nomenklatur diserahkan kepada Kementerian/Lembaga dan
BLU yang bersangkutan dengan seijin Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Fleksibilitas tersebut dimaksudkan untuk mendorong satker BLU dalam menerapkan praktikpraktik bisnis yang sehat berdasarkan prinsip-prinsip dan kaedah manajemen yang baik dalam
rangka mewujudkan tata kelola organisasi yang baik dalam meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Bagaimanakah caranya bagi satker yang ingin ditetapkan sebagai Satker BLU?
Untuk menjadi satker PK BLU, Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD dapat mengusulkan
instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk
menerapkan PPK BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan
kewenangannya (Pasal 5 PP 23/2005).
Apa saja sumber dana operasional BLU?
Berikut sumber dana operasional BLU seperti disebutkan dalam Pasal 14 PP 23/2005 yaitu :
1.

APBN/APBD

2.

Pendapatan dari jasa layanan kepada Masyarakat

3.

Hibah tidak terikat

4.

Hibah terikat

5.

Kerjasama BLU dengan pihak ketiga dan hasil usaha lainnya.

Sumber : Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan
layanan umum

Permasalahan Badan Layanan Umum (BLU) di Indonesia


Thursday, 16 September 2010 21:26 |

Ditulis oleh m.zahid |

Pendahuluan
Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi
pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi
pada input, tetapi pada output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk menggunakan
sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan dana yang makin tinggi.
Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang telah dianut luas oleh pemerintahan modern di
berbagai negara. Pendekatan penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah
yang memberikan pelayanan kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik
adalah dengan mewiraswastakan pemerintah. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah
paradigma yang memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik. Ketentuan tentang penganggaran tersebut
telah dituangkan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

Selanjutnya, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di
lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas
pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang
fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam
kedua undang-undang tersebut menjadi dasar penetapan instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum (BLU). BLU ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan
manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Definisi :
Instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara).
Karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum, yaitu:

Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara

Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;

Tidak bertujuan untuk mencarai laba;

Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;

Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;

Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;

Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil.

BLU bukan subyek pajak

Tujuan BLU yaitu :

Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis yang sehat;
Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.

Lingkup Keuangan BLU :


Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula,
berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Perbedaan tersebut
terletak pada hal-hal sebagai berikut:
1.

BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

2.

Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan

3.

Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis
dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintaahn yang bersangkutan;

4.

Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah
dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas
bidang pemerintahan yang bersangkutan;

5.

Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan

6.

Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah;

7.

Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan
negara/daerah;

8.

Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;

9.

BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari msyarakat atau badan lain;

10.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.

Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan
lisensi, penyiaran, dan lain-lain;
1.

2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan
kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan

2.

3.
BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM,
penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.

Institusi yang dapat menerapkan PK BLU :

Instansi yang langsung memberikan layanan kepada masyarakat (organic view);

Memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

Dalam lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola
secara lebih efisien dan efektif melalui pola BLU. Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi
yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana
APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan
keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.

Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional
pelayanan publik. Hal ini merupakan upaya peng-agenan aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi
murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan pengelolaan ala bisnis, sehingga pemberian layanan kepada
masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Masalah yang Timbul dan Solusinya
Akan tetapi, dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenan
pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan
masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga
tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai. Adapun masalah-masalah tersebut adalah :
1. Pengelolaan kas BLU menghambat pembentukan Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU
No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Sesuai dengan PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU pasal 16 ayat (1), BLU menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas,
melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, menyimpan kas dan mengelola rekening bank, melakukan
pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas
jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dalam pasal 14 juga disebutkan bahwa penerimaan
anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU dan pendapatan lainnya yang
bersumber dari selain APBN/APBD (pendapatan operasional, hibah, maupun hasil kerjasama dengan pihak lain)
dilaporkan sebagai PNBP kementerian/lembaga atau PNBP daerah. Pendapatan-pendapatan ini (kecuali hibah
terikat) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan
pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan
bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara/ Daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Walaupun hal ini bisa diperdebatkan karena dalam menyelenggarakan kegiatannya BLU juga membuat perencanaan
kerja dan penganggaran yang tertuang dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU, namun pada kenyataannya
antara perencanaan anggaran dengan realisasinya sangat besar kemungkinan timbul selisih atau varians. Varians
timbul karena BLU dapat menghimpun dana selain dari APBN/APBD dan dapatdikelola langsung untuk membiayai
belanja BLU. Memang benar belanja BLU yang dimaksud harus sesuai dengan RBA BLU, namuun kondisi semacam
ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terutama apabila varian ini digunakan baik oleh BLU maupun
kementerian Negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah guna menghimpun dana nonbudgeter (dana taktis) yang
secara tegas oleh Suryohadi Djulianto, penasihat KPK, dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pemerintah sebenarnya sudah menerapkan beberapa alternatif untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan mensyaratkan
RBA BLU agar sesuai dengan rencana strategis kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah. Selain itu juga
sudah diatur mengenai tindakan yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian yang
mengakibatkan kerugian Negara/daerah pada BLU dan penerapan otorisasi batasan maksimal penggunaan
anggaran secara bertingkat.
Namun, selain hal tersebut di atas, pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN sebaiknya mengeluarkan
peraturan terkait proses atau mekanisme pengelolaan kas BLU yang lebih rinci meliputi teknis dan administrasinya.
Semua penerimaan BLU yang dikategorikan sebagai PNBP dan pengeluaran BLU harus terlebih dahulu dilakukan
melalui Rekening Kas Umum Negara Daerah sebagaimana diamanatkan UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Dan terkait istilah dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU tetap harus
mengikuti tertib administrasi sebagaimana instansi public lain yang menerapkan prosedur SPM dan SP2D. Yang
perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai batasan fleksibilitas penerapan praktik bisnis BLU terkait pengelolaan
kas/anggaran agar tetap sesuai dengan RBA dan rencana strategis instansi induk (kementerian
Negara/lembaga/pemerintah daerah) yang bersangkutan. Peraturan yang akan dibuat ini tidak hanya diperuntukkan
bagi BLU saja, tetapi juga meliputi instansi yang merupakan otorisator penerimaan maupun pengeluaran
Negara/Daerah demi menjaga efisiensi pengelolaan BLU.
2. BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut.

Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa Surplus
anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas
Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Surplus anggaran BLU yang dimaksud
disini adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan
operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun
anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Padahal, sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa Surplus
penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah
perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus
anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus
anggaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan
Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam
mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah:
1.

1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan
yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh
bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

2.

2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila ada aturan yang
lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka aturan mengenai
surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.

Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan lebih banyak
melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi
pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan
dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.
3. Badan Layanan Umum dari sisi Perpajakan
Pemerintah mempunyai dua peran pokok yaitu mengumpulkan sumber daya dan mengalokasikannya lagi kepada
masyarakat. Selain berperan sebagai fungsi alokasi, BLU juga bisa dilihat dari sisi perpajakannya. Kalau kita telaah
kembali pos-pos dalam I-Account sesuai dengan PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar,
pendapatan negara berasal dari penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak dan hibah. Jadi jelaslah bahwa
negara sangat mengandalkan penerimaan dari sektor pajak.
Menurut Undang- Undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan menyebutkan bahwa BLU bukanlah merupakan subjek pajak. Menurut Pasal 2
Undang-Undang Pajak Penghasilan ayat (3) huruf b tersebut, subjek pajak adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.


Suatu badan pemerintah baru dikategorikan sebagai bukan subjek pajak apabila keempat aspek diatas terpenuhi
dan BLU merupakan badan pemerintah yang memenuhi keempat aspek diatas, oleh karena itu jelaslah bahwa BLU
bukan merupakan subjek pajak.
Badan yang didanai dari APBN/APBD tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, Badan
tersebut tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak.
Namun ada masalah yang timbul disini, yaitu apabila suatu badan menerima pendanaan dari APBN/APBD namun
masih mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat
dalam APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain.
Sebagai contoh adalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) Universitas Indonesia yang masih disebut sebagai subjek
pajak. Secara perlakuan mereka sama seperti BLU yang menerima APBN/APBD namun kenapa mereka disebut
sebagai subjek pajak sedangkan BLU bukan merupakan subjek pajak. Secara sekilas kita dapat melihat adanya
dualisme pelakuan pemerintah disini, yaitu antara BLU dan BHP.
Untuk menelaah hal tersebut kita kembali lagi ke definisi badan menurut UU PPh yang menyebutkan bahwa badan
yang dimaksud adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat syarat menurut UU PPh agar
bisa disebut sebagai bukan subjek pajak. BHP bukanlah unit tertentu dari badan pemerintah karena ia sudah
merupakan badan hukum sendiri yang secara independen terpisah dari pemerintah. Oleh karena itu Pasal 2 ayat (3)
UU PPh diatas tidak berlaku bagi BHP dan badan lainnya yang bukan merupakan unit tertentu dari badan
pemerintah walaupun mereka memperoleh pembiayaan dari APBN/APBD.
Berkaitan dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, apabila suatu badan pemerintah sudah
mendapat penetapan sebagai BLU, karena seluruh penerimaan dan pembelanjaan masuk APBN/APD, maka BLU
tersebut bukan merupakan subyek pajak sehingga tidak memiliki kewajiban membayar PPh Badan (pasal 25 dan
PPh 29). Namun demikian BLU tetap memiiliki kewajiban sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26, dan pasal 4
ayat (2) berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga.
Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, BLU juga berpotensi memiliki kewajiban memungut
PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Lalu bagaimanakah dengan pendapatan BLU tersebut? Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa
pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara
bukan pajak pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari kewajiban
membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.
4. Pengelolaan PNBP pada BLU bertentangan dengan UU yang mengatur tentang PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan. Pengertian ini tertuang dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak. PNBP tersebut antara lain penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dapat dilaksanakan kepada
masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan.
Pada pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP juga disebutkan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara. Dan pada pasal 8 dinyatakan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat
digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan.
Dari pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa PNBP merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang masuk
dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan seluruh penerimaan Pemerintah
Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Dalam kaitannya dengan BLU, aset yang ada di BLU merupakan milik negara yang tidak dipisahkan, demikian juga
pembiayaan operasionalnya seperti listrik, gaji dosen dan karyawan berasal dari pemerintah/negara. Dengan
demikian, pendapatan yang diperoleh BLU merupakan PNBP. Hal ini juga tertuang dalam pasal 14 PP No. 23 Tahun

2005 tentang Pengelolaan Kas BLU yang menyatakan bahwa pendapatan BLU akan dilaporkan sebagai pendapatan
bukan pajak.
Pengelolaan PNBP pada BLU tidak sejalan dengan UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, karena PNBP oleh BLU
dapat langsung digunakan untuk membiayai belanja BLU, baik sebagian atau seluruhnya. Hal ini, dalam Pasal 69 UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan tegas dinyatakan bahwa pendapatan BLU sehubungan
dengan jasa layanan yang diberikan beserta hibah maupun sumbangan yang diperoleh dapat digunakan langsung
untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Begitu juga dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005, yakni
dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (a). merencanakan penerimaan dan
pengeluaran kas; (b). melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan; (c). menyimpan kas dan mengelola
rekening bank; (d). melakukan pembayaran; (e), mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek;
dan (f). memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Sesuai amanat UU PNBP dan UU Perbendaharaan Negara, maka seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya
ke kas negara, sehingga mengimplikasikan bahwa pemerintah tidak diperbolehkan untuk melakukan
penerimaan/pemungutan dana non-budgeter. Apabila konsep penerimaan kas yang dilakukan oleh BLU dipandang
secara simultan dari kedua UU tersebut maka hal ini akan semakin rancu. BLU bisa dianggap tidak sesuai dengan
UU PNBP karena adanya kewenangan menggunakan pendapatan secara lansung, baik sebagian maupun
seluruhnya. Dan, jika dipandang dari sisi UU Perbendaharaan Negara, maka pengelolaan kas pada BLU yang
tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 dan PP No. 23 Tahun 2005 juga bertentangan dengan UU Perbendaharaan
Negara itu sendiri. Dalam pasal 12 UU No. 1 Tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap penerimaan dan pengeluaran
negara dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral.
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi mengenai badan layanan umum (BLU) ini, yaitu :
1. Badan layanan umum merupakan perwujudan dari reformasi keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan
produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
1.

2.
Pada penerapan BLU dijumpai permasalahan-permasalahan terutama yang terkait dengan benturan
kepentingan antara BLU dengan peraturan pemerintah yang ada.

2.

3.
Sinkronisasi peraturan antar unit-unit pemerintah yang terkait adalah cara yang paling logis dan
komprehensif didalam mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan BLU ini.

(sumber : Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU/tomiwiranto.blogspot.com)


Terakhir Diperbaharui (Saturday, 04 Desember 2010 15:27)

Anda mungkin juga menyukai