Anda di halaman 1dari 41

PRESENTASI KASUS

PERITONITIS ET CAUSA RUPTUR LIEN GRADE IV


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Bedah
di Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo

Diajukan Kepada:
dr. H.Dimyati Ahmad, Sp.B
Disusun Oleh:
Putri Pratiwi Hidayat
20090310052
BAGIAN ILMU BEDAH
BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
refleksi kasus untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan
profesi di bagian Ilmu Bedah dengan judul:
PERITONOTIS ET CAUSA RUPTUR LIEN GRADE IV
Penulisan refleksi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena
itupada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. H. Dimyati Ahmad, Sp.B sebagai dokter pembimbing dan dokter Spesialis Bedah
RSUD Wonosobo.
2. dr. Sunarto, Sp.Bsebagai dokter Spesialis BedahRSUD Wonosobo.
3. Teman-teman koas angkatan 2009 serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang
telah membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Penulis menyadari dalammenyusun refleksi kasus ini, penulis masih memiliki banyak
kekurangan.Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan refleksi
kasus di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Wonosobo,

Putri Pratiwi Hidayat

DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
BAB I

Laporan Kasus Peritonitis Et Causa Ruptur Lien Grade IV . 1

BAB II

Tinjauan Pustaka ... 11

BAB III

Pembahasan 38

Daftar Pustaka 39

BAB I
LAPORAN KASUS
PERITONITIS ET CAUSA RUPTUR LIEN GRADE IV
I.

II.

IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Pekerjaan
Suku
Status
No. RM
Tanggal Masuk RS
Tanggal Keluar RS

: Nn. Zulhidayah
: 16 tahun
: Perempuan
: Kejajar 9/4 Wonosobo
: Islam
: Tidak Bekerja
: Jawa
: Belum Menikah
: 601775
: 13 April 2014/20.15 WIB
: 24 April 2014/14.00 WIB

ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan pemeriksaan fisik pada tanggal 19April 2014 di ruang
Bougenville RSUD Sejtonegoro.
1. Keluhan Utama
Nyeri diseluruh lapang perut, bahu dan tangan kiri
2. Riwayat penyakit Sekarang (RPS)
Os datang ke IGD post KLL,kronologis kejadian kecelakaan pasien naik motor
berboncengan bertiga lalu tiba-tiba ada yang menendang dari samping kiri,
kemudian pasien terjatuh dalam keadaan tertimpa motor. Pasien sadar, tidak
pingsan dan ingat kejadian. Pasien mengeluhkan nyeri seluruh lapangan perut,
bahu dan tangan kiri. Pasien juga merasakan mual terus menerus tetapi tidak
muntah, perut terasa kembung dan sesak. BAB dan BAK tak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat Gastritis (+), Hiper Tensi (-), Riwayat Diabetes Melitus (-), Penyakit
jantung, alergi disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Pasien menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
penyakit DM, jantung, hipertensi, dan ginjal.
5. Riwayat Sosial, ekonomi, lingkungan dan Pribadi
Pasien belum memiliki pekerjaan, pasien tinggal di rumah bersama ayah, ibu dan
saudara perempuannya, anak ke 3 dari 3 bersaudara. Hubungan dengan keluarga,
dan tetangga baik, tidak ada masalah dalam rumah tangga pasien.
6. Anamnesis Sistemik
1

a. Sistem Serebrospinal
b. Sistem Respirasi
c. Sistem Kardiovaskuler
d. Sistem Digestivus
e. Sistem Urogenital
f. Sistem Muskuloskeletal
g. Sistem Integumentum
III.

: Pasien sadar, Tidak pusing


: Tidak batuk, tidak pilek, nampak sesak.
: Tidak nyeri dada, tidak berdebardebar.
: Nyeri perut kiri, terasa kembung, mual (+)
:BAK tak ada keluhan
:Nyeri gerak (+)
Keterbatasan gerak (+).
: Tidak tampak pucat, suhu raba
Hangat, tidak basah.

Resume Anamnesa
Seorang perempuan 16 tahun post KLL datang ke IGD, kronoligis kejadian pasien naik
motor bertiga dan ada yang menendang dari samping, pasien terjatuh dalam keadaan
tertimpa motor. Pasien mengeluhnyeri perut diseluruh lapangan abdomen terutama
diregio hipokondriaka. Nyeri dirasakan semakin bertambah, pasien juga mengeluhkan
mual terus-menerus tetapi tidak muntah, perut dirasakan kembung dan flatus kurang
lancar. Pasien juga mengeluhkan kesakitan pada bahu dan tangan kirinya. BAB dan
BAK tak ada keluhan. Tidak ada riwayat penyakit dikeluarga. Hubungan sosial baik.

IV.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak Kesakitan.
Kesadaran: Compos mentis, GCS : E4V5M6.
Vital Sign
TD : 110/70mmHg
HR : 102 kali /menit tegangan kuat isi cukup, ritmis
RR : 32 kali per menit
T
: 36,9 C
2. Status Generalis
Kulit:
Warna coklat sawo matang, tidak ikterik, tidak hipo/hiperpigmentasi, tidak
terjadi penurunan turgor kulit.
Kepala:
Rambut
: Pendek lurus hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Wajah
: Simetris, tidak ada deformitas
Mata
: Penglihatan normal, conjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, pupil isokor, reflek cahaya positif.


Hidung: Simetris, tidak ada deformitas tulang hidung, sekret hidung tidak

ada, perdarahan tidak ada.


Telinga: Serumen minimal, tidak terdapat sekret, tidak mengeluarkan darah.
2

Mulut dan mandibula: normal, mukosa bibir basah, tidak tampak kering,

tidak tampak ada kelainan.


Leher
Simetris, tidak tampak massa abnormal, tidak ada tanda peradangan, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, JVP dalam

batas normal.
Thorax
Paru-paru:
Inspeksi
Jejas Simetris kanan kiri, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi

dinding dada. Ictus cordis tidak terlihat.


Palpasi
Fokal fremitus seimbang antara paru-paru kanan dan kiri, tidak ada

pembesaran limfonodi axillaris, nyeri tekan pada dada (+).


Perkusi
Seluruh lapang paru sonor, batas atas hepar SIC VI midclavicula kanan.
Auskultasi
Suara dasar paru vesikuler, tidak ada suara tambahan di semua lapang paru.
Jantung
Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat di SIC V
Palpasi
: Iktus kordis tidak teraba pada SIC V
Perkusi
: Redup.
Batas jantung :
- Kanan atas
: SIC II linea parasternalis dextra
- Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
- Kiri atas
: SIC II linea midclavicularis sinistra
- Kiri bawah
: SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1 > S2 tunggal, irama regular, bising jantung (-).
e. Abdomen
Lihat status lokalis
f. Anogenital
Tidak ada tanda peradangan, tidak ada kelainan.
g. Ekstrimitas
Lihat status lokaslis
3. Status Lokalis:
Abdomen
Inspeksi
Tampak adanya jejas VE diregio hipokondriaka uk 3x1 cm tidak tampak

darm contour, tidak tampak darm steifung, jejas (+)


Auskultasi
Bising usus menurun (+)
Perkusi
Redup, pekak hepar menghilang
Palpasi
3

Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen, defens muskular (+)

Terpasang Drain :
Tanggal 15/4/14 produksi drain kurang lebih 500cc warna kemerahan
Tanggal 16/4/14, 17/4/14, 18/4/14 drain tidak bertambah
Tanggal 19/4/14 drain produktif bertambah 150cc warna kemerahan
Tanggal 20/4/14 drain bertambah 150cc warna kemerahan
Tanggal 21/4/14 drain bertambah 150cc warna kemerahan
Tanggal 22/4/14 drain bertambah 100cc warna kehitaman
Tanggal 23/4/14 drain bertambah 20cc warna kehitaman

Ekstremitas

Superior : Tampak ada deformitas pada regio clavicula, nyeri tekan (+),

terdapat nyeri gerak pasif dan aktif dan pasif, akral hangat, tidak udem
Inferior :Tampak VE Regio genu 4x4cm, VE dorsum Pedis dextra 3x4cm VE
phalang digiti 1, 2 Dn 3 pedis ukuran 1x1cm. Tidak tampak deformitas, tidak
ada nyeri gerak aktif dan pasif,

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah 13/4/14
Hemoglobin
: 12,3
(11,7- 15,5) g/dL
Leukosit : 23,3
(3,6 11,0) 10^3 /uL
Eosinofil : 0,20%
(2,00-4,00)%
Basofil
: 0,00%
(0-1)%
Netrofil : 84,60%
(50-70)%
Limfosit : 8,90%
(25-40)%
Monosit : 6,80%
(2-8)%
Hematokrit
: 36%
(35-47)%
Eritrosit : 3,5
(4,40-5,90) 10^6/ul
Trombosit : 683
(150-400) 10^3/ul
MCV
: 84
(80-100) fL
MCH
: 30
(26-34) pg
MCHC
: 35
(32-36) g/dL
Golonga darah B
Hb jam 23 : 11,7
Hb jam 24 : 12,0

Lab 14/4/14
Hemoglobin
: 6,7
Leukosit : 13,3
Eosinofil : 0,30%

(11,7- 15,5) g/dL


(3,6 11,0) 10^3 /uL
(2,00-4,00)%
4

Basofil
: 0,10%
(0-1)%
Netrofil : 74,60%
(50-70)%
Limfosit : 19,40%
(25-40)%
Monosit : 12,00%
(2-8)%
Hematokrit
: 21%
(35-47)%
Eritrosit : 2,5
(4,40-5,90) 10^6/ul
Trombosit : 683
(150-400) 10^3/ul
MCV
: 84
(80-100) fL
MCH
: 30
(26-34) pg
MCHC
: 35
(32-36) g/dL
KIMIA KLINIK
Ureum
: 39,6
Creatinin
: 0,90
Lab 15/4/14
Hemoglobin
: 9,7
(11,7- 15,5) g/dL
Leukosit : 20,3
(3,6 11,0) 10^3 /uL
Eosinofil : 0,10%
(2,00-4,00)%
Basofil
: 0,20%
(0-1)%
Netrofil : 74,60%
(50-70)%
Limfosit : 8,40%
(25-40)%
Monosit : 12,00%
(2-8)%
Hematokrit
: 28%
(35-47)%
Eritrosit : 3,2
(4,40-5,90) 10^6/ul
Trombosit : 201
(150-400) 10^3/ul
MCV
: 84
(80-100) fL
MCH
: 30
(26-34) pg
MCHC
: 35
(32-36) g/dL
Lab 6/4/14
Hemoglobin
: 10,3
(11,7- 15,5) g/dL
Leukosit : 10,3
(3,6 11,0) 10^3 /uL
Eosinofil : 15,30%
(2,00-4,00)%
Basofil
: 0,30%
(0-1)%
Netrofil : 50,60%
(50-70)%
Limfosit : 21,70%
(25-40)%
Monosit : 12,00%
(2-8)%
Hematokrit
: 30%
(35-47)%
Eritrosit : 3,5
(4,40-5,90) 10^6/ul
Trombosit : 683
(150-400) 10^3/ul
MCV
: 84
(80-100) fL
MCH
: 30
(26-34) pg
MCHC
: 35
(32-36) g/dL
Radiologi

Foto Thorax dan BNO

Kesan :
Tampak fraktur clavicula sn 1/3 lateral, posisi fragmen fraktur kurang baik,
Tampak fraktur costa 1, 2, 10 dan 11

BNO
Jumlah udara usus : dbn, faecal material (++)
Dilatasi usus (-)
Kontour ren dx dan sinistra dbn
Tak tampak gambar urolith opaque pada cavum pelvis dan cavum abdomen
Vertebrae : Spur (-)
Kesan: tak tampak gambar urolith opaque pada daerah trc urinarius

USG abdomen

Hepar: besar normal, struktur echo parenchyma homogen, system vascular

dan biliare tak melebar


Lien dan pancreas : besar normal, struktur echo parenchyma homogen
Ren Dx : besar normal, PCS tak melebar, batu (-), parenchyma baik
Ren Sn : besar normal, PCS melebar, batu (-), parenchyma baik
Gaster : dinding reguler, udara dan cairan dbn, massa (-)
Vesika urinaria : Dinding menebal irregular, massa (-), endapan (-), batu (-)
6

Uterus : besar normal, massa (-), parametrium: masa (-) Tmapak cairan

bebas intraabdominal
Kesan : tampak cairan bebas intraabdominal
DDx : perdarahan intraabdomen yang tak jelas asalnya

Foto Art Humeri Sn AP/Lat

Struktur TI baik
Tampak fraktur fissure humerus sn 1/3 proximal
Dan fracture Clavicula Sn 1/3 lateral
Posisi fragmen fraktur tidak baik

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade I
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade II
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade III
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade VI
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade V
Peritonitis et causaInternal Bleeding
Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
DIAGNOSIS
Peritonitis et causa Ruptur Lien Grade IV
PERJALANAN PENYAKIT DAN INSTRUKSI DOKTER

Pasien masuk IGD pada tanggal 13 April 2014, dirawat di bangsal bugenvil
karena masuk ke IGD dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut, nyeri

bahu dan tangan kiri. Nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri bertambah dan
meluas menjadi seluruh lapangan abdomen. Pasien juga merasakan mual
terus menerus tetapi tidak muntah. Flatus kurang lancar dan merasa perutnya
kembung. Foto thorax kesan tampak fraktur clavicula sn 1/3 lateral, posisi
fragmen fraktur kurang baik, multiple fraktur costa 10, dan 11. Hasil USG :
tampak cairan bebas intraabdominal, perdarahan intraabdomen yang tak
jelas asalnya.
Tata Laksana Sementara

Pro OP
Infus RL 20tpm
Inj Cefotaxime 2x1gram
Inj Ranitidine 2x1 amp
Post OP
Infus RL 20 tpm
Inj cefotaxime 2x1gr
Inj ketorolac 2X30mg
Inj ketorolax 2x10mg
Inj ranitidine 2x1
Inj kalnex 3X500 mg

Laporan Operasi
Pasien tidur terlentang dengan narkose GA
Antiseptik dengan povidone iodine pada area operasi dan sekitarnya
Pasang duck steril kecuali pada area yang akan di operasi
Insisi median saat peritonium dibuka didapatkan darah kurang lebih 1000 cc,
dilakukan pemasangan tampon pada regio kiri dan kanan atas, darah di suctio sambil
mengevaluasi hemodianamika, sumber perdarahan dariruptur lien grade IV pada
pollus superior
Dilakukan splenektomi
Cari cavum abdomen pasang drain.
Operasi selesai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Perotinitis adalah inflamasi peritonium- lapisan membran serosa rongga abdomen dan
meliputi viseramerupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan lepas pada palpasi, defans
muskular dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang
melingkupi kavitas abdomendan ogran yang terletak didalamnya. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui perforasi usus seperti
rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang
steril. Selalin itu juga dapat disebabkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung
dari perforasiulkus atau empedu dari perforasi kantong empedu ataulaserasi hepar. Pada
wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisir pada rongga pelvis dari infeksitube falopi
aau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak ditangani dapat berakibat fatal.

Etiologi
Bentuk peritonitis paling sering adalah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksiintra abdomen tapi biasanya terjadi
pada pasien yang ascites yaitu terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga
menjadi translokasi bskteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang
terjadi penyebabran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan ascites, semakin tinggi resiko terjadinya peritonitis dsn
abses. Ini terjadi karen aikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen ascites yang
pathoge yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Colli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7% spesies pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positive yaitu straphylococus pneumoniae 15%, Staphylococus 3% selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campuran bakteri.Perotonitis tersier terjadi karenainfeksi
peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis yang adekuat, bukan
berasal dari kelaiana organ, pada pasien peritonitis sekunder biasanya timbul abses atau
9

flagmon dengan atau tanpa fisula.selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau
kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium atau
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya
penyakit Crohn).

Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus

10

yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi

tersebut

menyebabkan

mukus

yang

diproduksi

mukosa

mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
11

infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga
tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum.
Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya

bersifat monomikrobial, biasanya

E. Coli, Sreptococus

atau

Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

Spesifik : misalnya Tuberculosis


Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
12

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum

peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh

bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.


Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya

appendisitis.
C. Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis

Manifestasi klinik
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak
sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karenairitasi peritoneum.

Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.

Demam

Distensi abdomen

Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.

Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh
dari lokasi peritonitisnya.

13

Nausea

Vomiting

Penurunan peristaltik.

Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan
paraplegia dan penderita geriatric. Adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral). Kemudian lama kelamaan
menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit
tertentu, misalnya : perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat/ iskemia.
Tanda-Tanda Peritonitis, yaitu sebagai berikut :

Demam tinggi
Pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
Takikardi
Dehidrasi
Hipotensi

Pemeriksaan Diagnostik
Test laboratorium
1. Leukositosis
2. Hematokrit meningkat
3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis
didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
Gambaran Radiologis

14

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam


memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen
3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah
horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi
anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 3543 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif
maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi,
penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada
ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di
kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air
fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid
level dan step ladder appearance.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dari peritonitis adalah sebagai berikut :

Eviserasi Luka.
Pembentukan abses.

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.

15

3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
PENGOBATAN
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik diberikan
untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara
adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.
Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru
dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah
atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis
atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa
tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan
abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka tindakan
laparotomi diperlukan.
Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah
dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase
peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien
harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar
dilakukan laparotomi.
penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
16

g. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi dan
diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase.
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

Gambaran Umum Ruptur Lien


Definisi
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien
dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu
operasi. (R.sjamsuhidajat&Wim de jong, 2005)
Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya lien yang
merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atautidak langsung. (sjamsuhidayat&Wim dejong,1997)
Anatomi dan Fisiologi
Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat ratarata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah berumur
60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi,
panjang 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah
diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan
peritoneum yang diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :

Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).


Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
Ligamentum splenorenal.

Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi kirakira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi cabang
pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang
terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki
lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior
sebelum memasuki hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada keadaan
tersebut.Vena lienalis bergabung dengan vena mesenterika superior membentuk vena porta.
Lien asesoria ditemukan pada 30 % kasus. Paling sering terletak di hilus lien, sekitar arteri

17

lienalis, ligamentum splenokolika, ligamentum gastrosplenika, ligamentum splenorenal, dan


omentum majus. Bahkan mungkin ditemukan pada pelvis wanita, pada regio presakral atau
berdekatan dengan ovarium kiri dan pada scrotum sejajar dengan testis kiri.(
Dibedakan menjadi 2 tipe :

Berupa konstriksi bagian organ yang dibatasi jaringan fibrosa.


Berupa massa terpisah.
Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma

kiri di superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar
adrenal di posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.
Fungsi lien dibagi menjadi 2 kategori :
a. Fungsi filtrasi
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang rusak misalnya sel darah
merahyang mengalami gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled icells,
serta membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi
b. Fungsi Imunologi
Lien termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer, mengandung limfosit T matur
dan limfosit B. Lomfosit T bertangggung jawab terhadap respon cell mediate immune
(imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral.
Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori :

Filter sel darah merah


Produksi opsonin-tufsin dan properdin
Produksi Imunoglobulin M
Produksi hematopoesis in utero
Regulasi T dan B limfosit
Pada janin usia 5-8 bulan lien berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah

dan putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, lien berfungsi menyaring darah,
artinya sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelium disana.
Lien juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri
melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya
mikrosirkulasi yang unik pada lien. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga
lien punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen
partikulat dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang
respon anti bodi. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati lien.
Lien dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah, dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas
18

enzimnya dan lien yang mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya.
Pada asplenia kadar tufsin ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang
melingkupi sel sel darah putih dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah
tua. Properdin adalah komponen penting dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila
kadarnya dibawah normal akan mengganggu proses opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti
meningokokkus, dan pneumokokkus.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri
setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster
beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam
lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran
tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap
menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara
peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial kemudian.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum dan
organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi
pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari
granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,
hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke
area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,
kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi.
Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :

Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya.
Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering
dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah
mesenterium.
19

Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan


perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit >
70.000 dan waktu protrombin 20 % di atas normal.

Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau
trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati,
dan pankreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga
kontak seperti judo, karate dan silat.Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam
jangka waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh
kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya tamponade sementara
pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang membesar secara lambat

dan kemudian pecah.


Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas,
umpamanya karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik
terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen
lain dapat terjadi pada punksi lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 5 :
1.
2.
3.
4.
5.

Cedera kapsul
Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
Avulsi lien dilakukan splenektomi total
Hematoma subkapsuler

Manifestasi klinik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya organ lain yang
ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik
hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat
sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen secara
berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati
perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan
peritoneum).
20

Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intrabdomen, atau seperti ada tumor intra abdomen pada bagian kiri atas yang nyeri tekan
disertai anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang terjadi
sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan atau
tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian
atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri
di daerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada

kurang dari separuh kasus.

Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan masa di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya
hematom subkapsular atau omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular
disebut tanda Ballance. Kadang darah bebas di perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak
geser.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat
leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila terjadi
perdarahan akanmenurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila
terdapat eritrosit dalam urine akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing.
Pemeriksaan Radiologi
Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu lien, dan lien
akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk
mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru disadari setelah seminggu
atau sepuluh hari setelah trauma pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan,
diantaranya USG, CT scan dan angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan
merupakan pemeriksaan pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai
daerah yang kurang densitasnya dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam
lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien
menunjukkan subkapular hematom. Kadang, dengan penanganan konservatif, abses mungkin
akan terbentuk kemudian dan dapat diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas.
Sensitivitas pada CT Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan kadang riwayat dan
gejala penting untuk menentukkan diagnosis banding.

21

Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah. Fraktur iga
menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri atas yang menyebabkan
keadaan patologi pada lien. Fraktur iga kiri bawah terdapat pada 44 % pasien dengan

ruptur lien dan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.


Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah
kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa
dijadikan tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang
meninggi disertai dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma

lien sampai dibuktikan sebaliknya.


Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu
perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien.
Gambaran ini menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan
adanya hematom subkapsular atau perisplenik.
Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi
caudal bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.
Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan

massa yang ada memiliki batas yang tegas.


Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan retroperitonial
ataudarah bebas intraabdominal terlihat kontras dengan yang disebutkan diatas.
Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot
psoas.
Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada kolon
desenden ke medial.
Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam
dapat ditemukan.
Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.

Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena
diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom
subkapsuler atau parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.

22

Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan formasi yang


salah dari kista.
Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma. Sekitar 80 %
terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista serous dan kemungkinan
adanya darah telah diserap kembali semuanya.
Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis pada
sekitar 30 % kista.
Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam dan
luar batas..
Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual
traumatik pada area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.
Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari

Echinococcus granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.


Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan
karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan
hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi,
kalsifikasi kavitas dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung

dari ukuran regresi hematom.


Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama,
seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi
kalsifikasi yang mirip dengan hematom subkapsular.

Gambar 2. Gambaran trauma lien

23

Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of


Medicine,Department

of

Radiology.

Diakses

darihttp://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran kiri atas
dibawah diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom lien

Gambar a dan b.
Gambaran cedera lienSumber : Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007, diakses
darihttp://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073pada tanggal 20-06-2011
USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, lukaluka.USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam peritoneum
tampak sebagai gambaran cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus
denganorgan solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis
traumaorgan solid atau trauma intestinal.Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma
tumpul abdomen yaitu untuk menentukanapakah ada darah di kuadran kiri atas.

Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.


Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda
dapatditemukan yaitu :
Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat
dipikirkansebagai subkapsular.
Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak
reguler.
Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan
subkapsular lebih mungkin merubah bentuk lien.
24

Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh karena itu

tidak adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.


Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan echogenesiti yang
samaatau lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai
lisisdimulai. Fase echogenik biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan
dilakukandalam keadaan yang paling akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke

echogenesiticairan, dan patologi ini kembali lebih jelas.


Kelainan parenkim umum yang halus.
Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat berbentuk tidak
teratur ataupun linear.
Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik
dapatditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke
hilus.Dibandingkan dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih kompleks
terlihat.
Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan lokal
yangterkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi isoechoic
dengan jaringan sekitarnya.

Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya
sebagaiawal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara non-bedah. CT
juga semakin banyak digunakan untuk trauma tembus yang secara tradisional ditangani
dengan operasi.
CT pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a) Trauma tumpul
b) Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera
Tabel 1 : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

25

Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale6
Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Grade 1 kurang dari 1 cm.


Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
Grade 3 lebih dari 3 cm.
Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.
Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.

Kelemahan grading ini adalah:


1. Sering meremehkan tingkat cedera.
2. kemungkinan variasi antar pembaca
3. Tidak memasukkan:
a. Adanya perdarahan aktif
b. Kontusio
4. Post-traumatik infark
5. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen non-operasi (NOM)
The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the Surgery of Trauma
juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, sebagai berikut:

Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.

Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh darah

trabecular.

Grade III
26

Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas dan
terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan pembuluh darah

trabecular.
Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi

lebih dari 25% dari lien.


Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

Diagnosis Banding
Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur lien tidaklah sulit. Bagaimanapun juga, ahli
radiologi harus waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan terjadinya trauma lien.
a. Benda Asing
Terkadang, bahan yang dimasukkan secara iatrogenic dapat menimbulkan gambaran
ruptur lien pada CT scan. Pada kebanyakan pusat trauma, dilakukan pemasangan
NGT, dan bahan kontras dimasukkan secara oral sebelum pemeriksaan CT scan.
Artefak dan bahan yang tak tembus sinar dari NGT dan bahan kontras dapat menutupi
lien dan menimbulkan kebingungan. Bahan yang tidak tembus sinar dari iga dan
artefak dari air fluid level dari lambung dapat juga menimbulkan hasil positif palsu.
Gabungan dari efek-efek ini, ditambah dengan scan yang berkualitas buruk dan
besarnya ukuran pasien, sering terjadi pada praktek sehari-hari.
b. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma lien,
kecuali jika ular intak. Walaupun begitu, tidak semua cairan intra abdomen
merupakan hematom. Ahli radiologi harus berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa
trauma lien adalah penyebab adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien.
Kebanyakan trauma tumpul lien terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan
bermotor, kejadian yang berhubungan dengan jatuh, atau pengendara kendaraan
bermotor yang mengalami kecelakaan. Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu
pada kecelakaan kendaraan bermotor adalah karena pasien cenderung tua dan telah
memiliki penyakit sebelumnya.
27

c. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada akumulasi
cairan pada bagian bawah lien. Penyebab lain yang dapat menyebabkan akumulasi
cairan tidak boleh dilupakan, termasuk adanya keganasan abdomen yang tidak
terdiagnosis dengan asites dan dialisis peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak
mungkin terjadi, kesempatan untuk memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak
ada. Pada kebanyakan kecelakaan kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang
terluka. Orang tua tidak dapat mentoleransi bahkan trauma kecil sekalipun, dan
keadaan hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai dengan trauma yang terlihat.
Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami kecelakaan tiba di rumah
sakit setelah penggunaan alcohol dan obat-obatan. Akibatnya pasien dibawa ke bagian
radiologi dalam keadaan disedasi atau diintubasi.
d. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran laserasi atau
hematom lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah dilaporkan dalam literatur.
Salah satu etiologi ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai trauma lien,
tapi biasanya tidak menimbulkan hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh
endokarditis bakterial, infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan trauma
lien, dan ini dapat dihubungkan dengan cairan perilien. Lesi kistik yang menyerupai
trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kongenital : Epidermoid.
o Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan peliosis.
o Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida, Aspergilus, atau
Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium avium intracellular,
Pneumocytis carinii, atau Echinococcus. Dan pseudokista pancreas.
o Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, lienngioma, dan
metastasis (melanoma 50%).
e. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik, infark dapat
dibedakan dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat melebar dari batas luar
dengan apeks menuju ke hilus lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat
sepanjang batas luar. Walau infark tidak meningkat, pada lingkaran luar mungkin
dapat terlihat peningkatan karena terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT
scan, infark dapat disalah artikan sebagai laserasi tanpa cairan perilien.
28

f. Keganasan
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien
adalah limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit
metastatik pada lien tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker payudara, paru, ginjal,
dan ovarium merupakan kanker primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG
dan hipodens pada CT scan, dan dapat menimbulkan gambaran laserasi atau
perdarahan intraparenkim. Penyakit metastatik dapat berhubungan dengan asites yang
menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa pada organ lain dan
limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.
g. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus. Tumor ini
dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat menimbulkan gambaran
hematom dan darah yang tidak menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT
scan. Lesi jinak dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil
jika dekat perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas
dan bentuk hemangioma dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju
atau phlebolits jarang terjadi, tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis
lien difus adalah keadaan dimana lien membesar dan digantikan hampir seluruhnya
oleh hemangioma. Gambarannya terlihat seperti trauma saat pertama terlihat.
h. Ruptur lien nontraumatik
Ruptur lien nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan beberapa
proses penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama karena kelangkaannya
dan kedua karena dugaan penyebab traumatik. Pemeriksaan teliti terhadap gambar
akan menuju kepada diagnosis yang benar.
i. Sarkoidosis
Sakoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana granuloma
muncul di jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik. Lien terlibat dalam 2459% dari pasien dengan sarkoid, tapi biasanya asimptomatik. Dapat juga
menunjukkan gejala abdominal. Kasus berat dapat menuju kepada hipersplenisme dan
ruptur spontan tanpa etiologi yang jelas. Pada kebanyakan kasus, lien terkena secara
difus, dan gambarannya dapat menyerupai limfoma. Splenomegali tampak pada
sekitar sepertiga kasus dan sering dihubungkan dengan limfadenopati. Nodul
hipodens yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15% pasien.
j. Amiloidosis
29

Lien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi penumpukan
amiloid, protein kompleks yang terbentuk terutama dari rantai polipeptida, yang
terjadi di berbagai jaringan dan organ. Amiloidosis dapat terjadi secara primer
ataupun sekunder, berhubungan dengan inflamasi kronik (terutama arthritis
reumatoid), dan terjadi berhubungan dengan myeloma multiple. Lien terkena dalam
berbagai bentuk amiloidosis dan muncul secara difus dan homogen pada kebanyakan
pasien. Ini dapat terlihat pada CT scan dengan kontras, tapi abnormalitas focal yang
dapat menyerupai laserasi juga dapat terjadi. Ruptur lien spontan, yang diyakini
sebagai akibat kelemahan kapsul akibat penumpukan amiloid, telah dilaporkan.
Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat dapat membantu dalam membedakan
amiloid dengan trauma.
k. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama menginfeksi
pasien dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah menunjukkan spesies Bartonella
yang dapat menyebabkan penyakit catscratch. Dua proses primer dari infeksi
Bartonella, yang melibatkan hati dan lien disebut bacillary peliosis hepatis. Secara
patologis, basili ini menyebabkan dilatasi kapiler, yang menyebabkan sejumlah
kavitas berdinding tipis yang berisi darah pada hati dan lien. CT scan abdomen
menunjukkan adanya lesi multiple pada hati dan lien dengan liendenopati dan
kemunkinan asites. Lesi dapat bergabung membentuk lesi multilokus atau berseptum.
Ruptur lien spontan telah dilaporkan pada pasien dengan bacillary peliosis hepatis.
l. Trauma sekunder
Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien, yang
menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa tumor atau anemia
dapat terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat berjalan. Hemangioma atau kista
dapat ruptur dengan trauma ringan akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini
dihubungkan dengan hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan
dengan trauma lien.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi, splenektomi
sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan
permanen terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil,
terutama anak-anak, ditatalaksana dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam
30

penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade
I dan II. Pada banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan menggunakan
berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang perbedaan antara
embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif, dan
embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini menghambat aliran pada
pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki
secara bedah. Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi
splenorafi dan splenektomi.
SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional
dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun
tajam. Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh
darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi
saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan
atau tanpa penjahitan omentum.
SPLENEKTOMI
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar.
Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan.
Eksposisi lien sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan
perlekatan pada diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu
operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri
dari eksisi satu segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan
bagian yang tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah
utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi.
Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :
o Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena sangat
vaskular dan rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien pasien harus
diangkat.
o Pada penyakit kronis misalnya malaria, lien sangat membesar sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus diangkat.
Efek Pengangkatan Lien :
31

o Sel darah merah harus benar-benar dihitung (seharusnya mengalami


peningkatan sel darah merah) karena penghancuran sel darah merah oleh lien
terhenti, tapi mengejutkan karena jumlah sel darah merah yang dihitung akan
sedikit berkurang yaitu anemia ringan.
o Sel darah putih dan trombosit akan meningkat.
o Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan kurang.
o Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien satu-satunya tempat di
mana ada kekebalan terhadap tetanus.
Seperti yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang dapat hidup
normal, kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap infeksi tetanus.

OVERWHELMING POST SPLENECTOMY INFECTION


Pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi
yang signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Infeksi
postsplenectomy berat (OPSI) adalah proses fulminan serius yang membawa tingkat
kematian yang tinggi. Patogenesis dan risiko berkembangnya infeksi postsplenectomy
berat (OPSI) yang fatal tetap tidak jelas.
Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)
King dan Shumacker pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri setelah
splenektomi pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian muncul bahwa
sindrom ini setara terjadi pada orang dewasa asplenic. Gejala yang tidak spesifik dan
gejala fisik ringan postsplenectomy muncul pada tahap awal OPSI, yang meliputi
kelelahan, kulit menjadi berwarna, penurunan berat badan, sakit perut, diare, sembelit,
mual, dan sakit kepala. Pneumonia dan meningitis concomitants sering lebih parah.
Perjalanan klinis menjadi cepat dan dapat berkembang menjadi koma dan kematian
dapat terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam, karena tingginya insiden shock,
hipoglikemia, serta asidosis yang ditandai dengan gangguan elektrolit, distress
pernapasan, dan koagulasi intravaskular diseminata. Angka kematian adalah 50%
-70% meskipun dengan terapi agresif yang mencakup cairan infus, antibiotik,
vasopressor, steroid, heparin, Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan
Fresh Frozen Plasma (FFP). Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin dari
sindrom Waterhouse-Friderichsen (WFS), dan perdarahan adrenal bilateral dapat
32

ditemukan pada otopsi. Mekanisme yang menghubungkan splenektomi untuk WFS


tidak diketahui tetapi kemungkinan penyebab OPSI termasuk hilangnya fungsi
fagositik lien, penurunan kadar imunoglobulin serum, penekanan kepekaan limfosit,
atau perubahan dalam sistem opsonin.
Manifestasi Klinis Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)
o
o
o
o
o
o

Infeksi samar (cryptic) (fokus tidak jelas)


Prodromal singkat, tidak spesifik
Bakteremia massif dengan organisme berkapsul
Shock septic dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Virulensi: kematian 50% sampai 70%
Kematian terjadi kemudian dalam 24 hingga 48 jam

Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan / atau


meningitis, biasanya fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah
pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun, baik itu bakteri,
virus, jamur, atau protozoa, namun organisme yang berkapsul sering berhubungan
dengan sepsis pada pasien dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul
seperti Streptococcus pneumoniae sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan
cepat diatasi dengan adanya atau bahkan dengan sejumlah kecil jenis-antibodi
spesifik. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang baru ditemui
terganggu dan bakteri dapat berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit
pneumokokus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari
populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme
yang berkapsul seperti Streptcoccus pneumoniae (50% -90%), Neisseria meningitides,
Hemophilus

influenzae,

dan

Streptococcus

pyogens

(25%)

menyebabkan

pertumbuhan bakteri yang berlebihan tanpa hambatan.


Pencegahan terhadap OPSI
Pengobatan OPSI umumnya agresif karena sifat serius dari kondisi yang
dialami pasiendan mortalitas yang terkait. Terdiri dari cairan infus, antibiotik,
vasopressor, steroid, heparin,Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan
Fresh Frozen Plasma (FFP), mungkin gagal untuk mengubah sindrom septik fulminan
ini.

Oleh

karena

itu,

pencegahan

OPSI

sangat penting

bagi

pasien

immunocompromised yang telah menjalani splenektomi. Strategi pencegahan


termasuk imunisasi dan pendidikan juga penting bagi pasien yang liennya
33

telahdiangkat. Secara fungsional atau secara anatomi pasien asplenic mengalami


peningkatan risikoinfeksi dari organisme yang berkapsul dibandingkan dengan
populasi umum. Vaksin yangtersedia untuk organisme yang paling umum termasuk
vaksin pneumokokus 23-valent polisakarida, vaksin pneumokokus 7-valent protein
conjugated, vaksin Hemophilus influenzaetipe B, dan vaksin meningokokus. Vaksin
pneumokokus yang mengandung polisakaridadirekomendasikan untuk semua orang
dewasa pada peningkatan risiko infeksi pneumokokus, dankhususnya pasien asplenic.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat(vaksinasi ulang
setiap 6 tahun) dan Komite Inggris untuk Standar dalam Hematologi (vaksinasiulang
setiap 5-10 tahun) direkomendasikan untuk vaksinasi ulang pencegahan OPSI, pada
saatyang sama ditekankan perlunya interval yang lebih pendek antara vaksinasi ulang
denganvaksinasi

sebelumnya

untuk

menjaga

konsentrasi

antibodi

dengan

kemungkinan untuk memberikan perlindungan pada tingkat yang memadai.


Sayangnya, sepsis pneumokokus yangfatal telah dilaporkan pada pasien asplenic.
Namun vaksinasi tetap dianjurkan, untuk menawarkan perlindungan pasien yang teah
diangkat liennya karena risiko mereka terhadap pengembangan penyakit fatal dan
karena vaksin itu sendiri menimbulkan risiko minimal
Jockovich melaporkan tidak ada pasien yang mengalami OPSI jika divaksinasi
sebelumsplenektomi, namun OPSI berkembang pada 10,4% dari pasien yang tidak
menerima vaksinasi.Selain itu, OPSI berkembang pada 5% dari pasien yang diberi
vaksinasi setelah splenektomi.Untuk splenektomi elektif, vaksin harus diberikan
minimal 2 minggu sebelum operasi.Akhirnya, pendidikan pasien merupakan strategi
wajib untuk mencegah OPSI. Penelitian telahmenunjukkan bahwa dari 11% sampai
50% dari pasien yang telah menjalani pengangkaan lientetap tidak menyadari risiko
mereka meningkat untuk terkena infeksi serius atau tindakankesehatan yang tepat
yang harus dilakukan. Pasien harus memahami keparahan potensi OPSI
dankemungkinan perkembangan penyakit yang cepat
Prognosis
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien
penyembuhan 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka
kematian yang berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan
biasanya akibat trauma pada organ lain dan kehilangan darah yang banyak.

34

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis awal pasien ini adalah
Peritonitis et causa Ruptur Lien. Berdasarkan anamnesisdidapatkan bahwa seorangpasien
masuk IGD pada tanggal 13 April 2014, dirawat di bangsal bugenvil karena masuk ke IGD
dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut, nyeri bahu dan tangan kiri. Nyeri dirasakan
terus menerus. Nyeri bertambah dan meluas menjadi seluruh lapangan abdomen. Pasien juga
merasakan mual terus menerus tetapi tidak muntah, perutnya kembungdan sesak. Dari
anamnesis didisimpulkan pasien mengalami trauma tumpul terutama pada abdomen regio kiri
atas yang meupakan faktor resik terjadinya ruptur lien. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
adanya tanda-tanda pertonitis seperti perut distensi, nyeri diseluruh lapangan perut,
ditemukan defens muskular, bising usus menurun, perkusi redup, pekak hepar menghilang.
Dari hasil Foto thorax kesan tampak fraktur clavicula sn 1/3 lateral, posisi fragmen fraktur
kurang baik, fraktur costa 1,2, 10 dan 11. Hasil USG : tampak cairan bebas intraabdominal,
perdarahan intraabdomen yang tak jelas asalnya. Oleh karen itu pasien ini secara dignostik
sebagai Peritonitis et Causa Ruptur Lien Grade IV dengan komplikasi Fraktur Clavicula dan
Fraktur Costa 10, 11.

35

DAFTAR PUSTAKA
1. R. Syamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit
BukuKedokteran EGC, Jakarta. Hal 608-612.
2. Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses
darihttp://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal 20-062011.
3. Brunicardy, Charles, et all. Schwartzs Principles of Surgery. The Mc GrawHillCompanies. 2005.
4. Lisle, David. Imaging for Student, second edition. Arnold, New York. 2001.
5. Beers, Mark Porter, Robert Jones, Thomas. The Merck Manual of Diagnosis
and Therapy
6. (18th ed.). New Jersey: Merck Research Laboratories. 2006.Diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Blunt_splenic_trauma pada tanggal 28-12-2010
7. Ledbetter, S. Dan Smithuis, R., 2007.Abdominal Trauma Role of CT.Department
of Radiology of the Brigham and Women's Hospital, Boston and the Rijnland Hospital

36

in Leiderdorp, the Netherlands. 2007. Diakses


darihttp://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073 pada tanggal 20-06- 2011
8. Hassan, R., et. Al., Computed Tomography of Blunt Spleen Injury: A Pictorial
Review,
9. Malaysian J Med Sci. Jan-Mar 2011; 18(1): 60-67, diakses
dariwww.mjms.usm.mypadatanggal 05-07-11.
10. Samudra, L. Ruptur Lien. 2009. Diakses
darihttp://banyakbaca.wordpress.com/2009/11/24/ruptur-lien-2009/pada tanggal 2006-2011.
11. Javadrashid, R., Paak, N., Salehi, A., 2010. Combined Subcutaneous, Intrathoracic
andAbdominal Splenosis. Archives of Iranian Medicine, Volume 13, Number 5,
September 2010.
12. Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis
to be Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November December,2006. Diakses darihttp://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada
tanggal 05-07-11
13. Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Overwhelming postsplenectomy infection
syndromein adults A clinically preventable disease.,World Journal of
Gastroenterology,14;14(2): 176-179, Diakses dari www.wjgnet.compada tanggal 2006-2011
14. Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general
practice.
15. Australian Family Physician Vol. 3.
No.6.Diakseshttp://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 2006-2011
16. CDC. 2006. Post-Splenectomy Vaccine Prophylaxis. Diakses
dari :http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/splenectomy_vaccines.pdf pada
tanggal20-06-2011

37

38

Anda mungkin juga menyukai