Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Leukemia merupakan keganasan yang sering terjadi pada anak, yakni mencapai 41% dari
seluruh keganasan yang terjadi pada anak usia <15 tahun. Leukemia akut biasanya bersifat
agresif, dimana proses keganasan terjadi di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal.
Terdapat dua kelompok besar leukemia akut, yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
leukemia mieloblastik akut (LMA). Pada 2002, 2.500 anak usia <15 tahun di diagnosa leukemia
di USA, dengan insiden 4,5 kasus per 100.000 anak. Leukemia limfoblastik akut (LLA)
mencapai 77% kasus dari leukemia pada anak, leukemia mieloblastik akut mencapai 11%,
leukemia mieloblastik kronik 2-3%, dan leukemia mieloblastik kronik pada remaja 1-2%. Di
Indonesia, yakni di Yogyakarta, insiden LLA sebesar 20,8/ 1.000.000 sedangkan LMA sebesar 8/
1.000.000. Angka tersebut menghasilkan proporsi LMA terhadap leukemia akut sebesar 27,7%.
Proporsi ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan negara barat.[1,2]
Leukemia merupakan keganasan yang terjadi akibat adanya keabnormalan genetik pada
sel hematopoetik yang terus berproliferasi tanpa regulasi. Hasil dari pertumbuhan sel ini
menyebabkan elemen sel menjadi abnormal, akibatnya sel tersebut akan meningkatkan
proliferasi dan menurunkan apoptosis sel spontan. Sehingga sel leukemia tentu saja akan
mempengaruhi hemopoesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh
pasien. Hasilnya menimbulkan gangguan pada fungsi sumsum tulang dan nantinya dapat
menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis, hasil laboratorium, dan respon terhadap
terapi tergantung dari tipe leukemia yang terjadi.[1]
Kata leukemia berasal dari bahasa Yunani, eukos = putih, dan haima = darah, berarti
darah putih, dikarenakan pada pasien ditemukan banyak sel darah putih sebelum diberi terapi.
Sel darah putih tersebut berasal dari stem cell di sumsum tulang. Sel darah putih yang tampak
banyak merupakan sel-sel yang muda. Apabila jumlahnya semakin meninggi maka dapat
mengganggu fungsi normal dari sel lainnya
1

1.2 BATASAN MASALAH


Referat ini membahas mengenai sistem hemopoesis khususnya sel darah putih, diagnosis,
dan tatalaksana leukemia limfoblastik akut pada anak serta perbedaan antara LLA dan LMA.

1.3 TUJUAN PENULISAN


Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami dan mengerti mengenai sistem
hemopoesis sel darah di dalam tubuh, diagnosis, dan tatalaksana leukemia limfoblastik akut pada
anak serta dapat mengetahui perbedaan antara LLA dan LMA.

1.4 MANFAAT PENULISAN


Referat ini disusun dengan harapan kita sebagai dokter umum dapat memahami dengan
baik mengenai sistem hemopoesis sel darah putih di dalam tubuh, dapat mendiagnosis dengan
benar dan melakukan tatalaksana awal pada anak dengan leukemia limfoblastik akut.

1.5 METODE PENULISAN


Referat ini disusun dengan metode kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur,
termasuk buku teks dan berbagai jurnal.

BAB II
SISTEM HEMOPOESIS

Gambar 1. Hemopoiesis

Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan homeostasis. Selain
meregulasi pH, temperatur, serta mengatur transport zat-zat dari dan ke jaringan, darah juga
melakukan perlindungan dengan cara melawan penyakit. Fungsi-fungsi ini dikerjakan secara
terbagi-bagi oleh komponen-komponen darah, yaitu plasma dan sel-sel darah. Plasma darah
adalah cairan yang berada di kompartemen ekstraselular di dalam pembuluh darah yang berperan
sebagai pelarut terhadap sel-sel darah dan substansi lainnya. Sedangkan sel darah merupakan
unit yang mempunyai tugas tertentu. Sel-sel darah terduru dari eritrosit, leukosit, dan trombosit
yang dibentuk melalui mekanisme hemopoesis.
Hemopoesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah.
Hemopoesis melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain :[3]
3

1. Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel
bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik
(LMH) atau hemopoetic-micro-environment.
Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2 dapat dianggap
sebagai tanah dimana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendiri-sendiri
tetapi berbaur.
3. Kompartemen ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk
berproliferasi, berdiferensiasi dan/ atau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah
direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF) atau faktor
pertumbuhan hemopoetik (FPH).
Sebelum dilahirkan, proses ini terjadi berpindah-pindah. Pada beberapa minggu pertama
kehamilan, hemopoesis terjadi di yolk sac. Kemudian hingga fetus berusia 6-7 bulan, hati dan
limpa merupakan organ hemopoietik utama dan akan terus memproduksi sel-sel darah hingga
sekitar dua minggu setelah kelahiran. Selanjutnya pekerjaan ini akan diambil alih oleh sumsum
tulang dimulai pada masa kanak-kanak hingga dewasa.
Sumsum tulang merupakan suatu jaringan ikat dengan vaskularisasi yang tinggi
bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang spons. Terdapat dua jenis sumsum tulang
pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum tulang kuning. Pada neonatus, seluruh
sumsum tulangnya berwarna merah yang bermakna sumsum tulang bersifat hematopoietik,
sedangkan ketika dewasa, sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan inaktif dan berubah
menjadi sumsum tulang kuning (fatty marrow). Hal ini terjadi akibat adanya pertukaran sumsum
menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di tulang-tulang panjang.
Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum tulang yang
berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit, diperkirakan hanya sekitar 1 sel
dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk berkembang
menjadi beberapa lineage yang berbeda melalui proses duplikasi, kemudian berproliferasi serta
berdiferensiasi hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel retikuler, sel mast dan
sel adipose. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan memasuki sirkulasi general
melalui kapiler sinusoid.

Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada di sumsum
tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell dan lymphoid stem cell.
Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi sekitar 10 6 sel darah matur setelah
melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem cell memulai perkembangannya di sumsum tulang
dan kemudian membentuk eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Begitu
juga dengan lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang namun
proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah turunan dari sel-sel
tersebut.
Selama proses hemopoesis, sebagian sel mieloid berdiferensiasi menjadi sel progenitor.
Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun membentuk elemen yang lebih
spesifik yaitu colony-forming unit (CFU). Terdapat beberap jenis CFU yang diberi nama sesuai
sel yang akan dibentuknya, yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk
megakariosit, sumber platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.[4]
Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel mieloid yang belum
berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai blast. Sel-sel ini akan
berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap ini sel-sel prekursor sudah dapat
dibedakan berdasarkan tampilan mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu
stem cell dan sel progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran
plasmanya.
Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam meregulasi
proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu. Berikut adalah beberapa
contohnya :
1. Erythropoietin atau EPO meningkatkan jumlah prekursor sel darah merah atau eritrosit.
EPO diproduksi oleh sel-sel khusus yang terdapat di ginjal yaitu peritubular interstitial
cells.
2. Thrombopoietin atau TPO merupakan hormon yang diproduksi oleh hati yang
menstimulasi pembentukan platelet atau trombosit.
3. Sitokin adalah glikoprotein yang dibentuk oleh sel, seperti sel sumsum tulang, sel darah,
dan lainnya. Biasanya sitokin bekerja sebagai hormon lokal, namun disini sitokin bekerja

dalam menstimulasi proliferasi sel-sel progenitor di sumsum tulang. Dua kelompok


sitokin yang berperan adalah colony-stimulating factors dan interleukin.
Selain contoh diatas, masih banyak growth factor lainnya yang mempengaruhi proses
hemopoesis yang berbeda-beda fungsi dan lokasi kerjanya.
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak dalam sistem
pertahanan tubuh. Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi sel
abnormal atau benda asing yang berpotensi merusak. Leukosit dan turunannya menahan invasi
oleh patogan melalui proses fagositosis, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker
yang muncul di dalam tubuh dan berfungi sebagai petugas pembersih yang membersihkan
sampah tubuh dengan memfagosit debris yang berasal dari sel yang mati atau cedera.
Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik, dan jumlahnya
konstan, leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi, dan jumlah. Terdapat lima jenis leukosit yang
bersirkulasi yakni neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit, yang masing-masing
dengan struktur dan fungsi yang khas. Kelima jenis leukosit tersebut dibagi ke dalam dua
kategori utama, bergantung pada gambaran nucleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma
sewaktu dilihat di bawah mikroskop. Neutrofil, eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai
granulosit (sel yang mengandung granula) polimorfonukleus (banyak bentuk nucleus).
Nucleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan beragam bentuk, dan
sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran. Terdapat tiga jenis
granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna : eosinofil memiliki afinitas terhadap
zat warna merah eosin, basofil cenderung menyerap zat warna biru basa, dan neutrofil bersifat
netral, tidak memperlihatkan kecenderungan zar warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai
agranulosit (sel tanpa granula) mononukleus (satu nucleus). Keduanya memiliki sebuah
nucleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar daripada limfosit dan
memiliki nucleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit, leukosit terkecil, ditandai oleh
nucleus bulat besar yang menempati sebagian besar sel.
Walaupun kadar leukosit dalam sirkulasi dapat berubah-ubah, perubahan kadar ini
biasanya dikontrol dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Meskipun demikian, dapat terjadi
kelainan produksi leukosit yang tidak berada di bawah mekanisme pengatur yaitu leukosit yang
6

diproduksi terlalu sedikit atau terlalu banyak. Salah satu konsekuensi utama dari leukemia, suatu
kanker yang disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol sel darah putih, adalah ketidakmampuan
sistem imun mempertahankan tubuh dari invasi benda asing. Pada leukemia, hitung sel darah
putih dapat mencapai setinggi 500.000/mm3, dibandingkan dengan hitung normal sebesar
7.000/mm3, tetapi karena sebagian besar adalah abnormal atau imatur, sel-sel tersebut tidak
mampu melakukan fungsi pertahanan mereka. Konsekuensi leukemia lain yang sangat
merugikan adalah terdesaknya jenis sel darah lain di sumsum tulang. Hal ini menimbulkan
anemia karena eritropoiesis berkurang dan perdarahan internal karena defisiensi trombosit.
Trombosit berperan penting dalam mencegah perdarahan dari kerusakan-kerusakan kecil yang
lazim terjadi di dinding pembuluh darah kecil. Akibatnya, infeksi atau perdarahan hebat adalah
penyebab tersering kematian pada pasien leukemia.[5]

Gambar 2. Proses Maturasi Sel Darah Putih (Leukosit)

BAB III
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

3.1 DEFINISI
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel
prekusor limfoid, akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA adalah
kanker yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA
terjadi sedikit lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Leukemia limfoid
terjadi lebih sering pada penderita dengan immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia)
kongenital, ataksia-telangiektasi, atau dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21).[1,6,7]

3.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 2.000 anak usia <15 tahun didiagnosa menderita leukemia limfoblastik akut setiap
tahunnya di USA. Puncak insidens kejadian tertinggi pada usia 2-6 tahun, dimana lebih sering
terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit ini biasanya terjadi pada anak
dengan keabnormalan kromosom, seperti sindrom Down, sindrom Bloom, ataksia-telangiektasia,
dan sindrom Fanconi. Pada anak kembar identik, resiko terjadinya leukemia lebih tinggi pada
kembaran kedua dibanding dengan populasi umum apabila salah satunya menderita leukemia.
Resikonya mencapai >70% bila kembaran pertama didiagnosa leukemia saat tahun pertama
kehidupan dikarenakan kembaran tersebut saling berbagi dengan plasenta yang sama
(monochorionic). Bila kembaran pertama menderita LLA pada usia 5-7 tahun, resiko pada
kembaran kedua paling sedikit dua kali dibanding dengan populasi umum, tidak terpengaruh dari
zigot.[1]
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer WHO pada 2008, insiden
leukemia di seluruh dunia adalah 5 per 100.000 dengan angka kematian 3,6 per 100.000
penduduk. Insiden leukemia di Australia pada 2002 sebesar 11,6 per 100.000 penduduk. Diikuti
negara-negara lain yaitu New Zealand 10,1; Eropa Barat 8,5; Asia Timur 5; dan Asia Tenggara.[8]

Pada 2006, insiden leukemia mengalami peningkatan di Negara Australia, yaitu 15,5 per
100.000 penduduk dengan angka kematian 6,3 per 100.000 penduduk. Data lain menunjukkan
bahwa pada 1994 angka insiden leukemia di Amerika 3,18 per 100.000 kelahiran hidup. Di
negara Asia seperti Singapura, insiden leukemia 3,4 per 100.000 penduduk dengan angka
kematian yang sama, yaitu 3,4 juga.
Di Indonesia, melalui penelitian yang dilakukan di RSCM, ditemukan bahwa leukemia
merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada anak dengan umur di bawah 15 tahun
(30-40 %). Disusul tumor otak (10-15%) pada anak dan kanker mata/ retinoblastoma (10-12%)
pada anak. Sisanya, kanker jenis lain seperti kanker kelenjar getah bening, kanker saraf, dan
kanker ginjal. Data lain menyatakan bahwa di Indonesia insiden leukemia 2,5-4,0 per 100.000
anak dengan estimasi 2000-3200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya.
Dari penelitian yang dilakukan di RS Dr. Sardjito Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
30-40 leukemia anak jenis LLA didiagnosis setiap tahun. Insiden LLA sebesar 20,8/ 1.000.000
sedangkan LMA sebesar 8/ 1.000.000. Angka tersebut menghasilkan proporsi LMA terhadap
leukemia akut sebesar 27,7%. Proporsi ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan negara
barat.
Sedangkan berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada 2000-2008,
LLA merupakan kanker anak yang paling banyak ditemukan, lebih banyak terjadi pada anak
laki-laki, dengan kelompok umur 1 sampai <5 tahun dengan jenis LLA-L1. Tercatat 8 kasus baru
anak dengan LLA pertahunnya.[9]

3.3 ETIOLOGI
Hampir pada keseluruhan kasus yang ada, penyebab dari LLA ini adalah tidak diketahui,
walaupun beberapa faktor genetik dan lingkungan berhubungan dengan terjadinya leukemia pada
anak. Adanya paparan radiasi pada masa kehamilan dan masa kanak-kanak berhubungan dengan
meningkatnya insidens dari LLA. Pada beberapa negara berkembang, terdapat hubungan antara
sel B LLA dan infeksi virus Epstein-Barr.[1,7]

LLA terjadi ketika sel sumsum tulang berkembang menjadi abnormal di dalam DNA.
Keabnormalan ini terus berkembang, dimana pada sel yang sehat secara normal akan terjadi
apoptosis. Akibatnya, produksi sel darah juga menjadi abnormal. Sumsum tulang akan
menghasilkan sel imatur yang berkembang menjadi sel darah putih leukemia atau disebut dengan
limfoblas. Sel tersebut tidak mampu berfungsi dengan baik dan mereka akan terus bertambah dan
mendesak sel-sel yang sehat.
Masih belum jelas penyebab terjadinya mutasi DNA yang dapat berkembang menjadi
leukemia limfoblastik akut. Tetapi, para dokter menemukan bahwa sebagian besar kasus LLA
bukan merupakan keturunan.[10]
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya LLA yaitu :
-

Pengobatan kanker sebelumnya anak yang menjalankan kemoterapi dan radioterapo

untuk jenis kanker lainnya mungkin dapat meningkatkan resiko berkembangnya LLA
Adanya paparan radiasi apabila terpapar radiasi sangat tinggi, maka akan

meningkatkan resiko berkembangnya LLA


Gangguan genetik seperti sindrom Down berhubungan dengan meningkatnya resiko

terjadinya LLA
Memiliki saudara sekandung yang menderita LLA termasuk anak kembar maka akan
meningkatkan resiko terjadinya LLA

Tabel 1. Faktor Predisposisi Terjadinya Leukemia Pada Anak


3.4 KLASIFIKASI

10

Klasifikasi LLA bergantung pada karakteristik dari sel keganasan di dalam sumsum
tulang untuk menentukan morfologi, karaktersitik fenotipik yang diukur dari membran sel, dan
sitogenetik serta sifat genetik molecular. Hanya berdasarkan morfologi dapat menentukan
diagnosis yang adekuat, namun studi lain juga penting untuk klasifikasi penyakit, yang mana
akan mempengaruhi prognosis dan terapi yang tepat. Untuk menentukan sifat morfologi, yakni
berdasarkan French-American-British (FAB) L3 subtype, yang sebagai tanda sel B matang di
leukemia. Pada tipe L3, yang dikenal dengan leukemia Burkitt, merupakan salah satu kanker di
manusia yang berkembang dengan cepat dan membutuhkan pendekatan terapeutik yang berbeda.
Fenotipikal merupakan penanda permukaan yang menunjukan 85% kasus LLA berasal dari sel B
progenitor, 15% berasal dari sel T, dan sekitar 1% berasal dari sel B. Sebagian kecil anak yang
didiagnosa leukemia ditandai dengan penanda permukaan limfoid dan derivasi mieloid. Lalu,
imunofenotip juga biasanya berkorelasi dengan manifestasi klinik leukemia.[1]
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini
memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena
homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologi berdasarkan French-AmericanBritish (FAB) untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut :[6]
-

L-1 : terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit; merupakan 84% dari LLA

Gambar 3. FAB tipe L-1


L-2 : pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti; merupakan 14% dari LLA

11

Gambar 4. FAB tipe L-2


-

L-3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi; hanya 1% dari
LLA

Gambar 5. FAB tipe L-3

Tabel 2. Klasifikasi ALL Menurut WHO 2008

12

Tabel 3. Hubungan Antara Imunofenotip dan Manifestasi Klinik


Keabnormalan kromosom juga ditemukan pada kebanyakan pasien dengan LLA.
Ketidaknormalan tersebut berhubungan dengan jumlah kromosom, translokasi, atau delesi, yang
penting untuk prognosis.[1]

3.5 PATOFISIOLOGI

Gambar 6. Patofisiologi Leukemia Limfoblastik Akut


13

Pembelahan sel (mitosis) normalnya disesuaikan secara tepat sesuai kebutuhan sel
melalui pelepasan faktor pertumbuhan setempat. Mekanisme yang mendorong proliferasi
dilawan oleh faktor penghambat pertumbuhan yang normalnya menghentikan pembelahan sel
yang berlebihan. Onkogen dapat berasal dari mutasi gen yang berperan dalam proliferasi. Produk
dari onkogen adalah onkoprotein, yang tetap aktif bahkan tanpa perangsangan fisiologis sehingga
dapat memicu mitosis tanpa bergantung pada faktor pertumbuhan yang fisiologis. Namun, mutasi
juga dapat membentuk protein yang menghambat proliferasi yang cacat.
Mutasi dapat dipicu oleh karsinogen kimiawi atau radiasi dengan mengganggu perbaikan
DNA yang membantu terjadinya mutasi. Sel terutama sensitif terhadap mutasi pada saat mitosis,
artinya jaringan yang berproliferasi lebih sering mengalami mutasi daripada jaringan yang telah
berdiferensiasi. Hal ini terutama terjadi pada proses inflamasi dan lesi jaringan karea keadaan ini
merangsang pembelahan sel. Mutasi yang mendorong pembentukan tumor juga dapat
diturunkan. Faktor terakhir, virus dapat membawa onkogen ke dalam sel host sehingga
mendorong degenerasi maligna pada protein spesifik host melalui inaktivasi atau aktivasi.
Promotor tumor juga dapat meningkatkan replikasi sel yang bermutasi dan menimbulkan
perkembangan tumor tanpa menyebabkan mutasi secara langsung.[11]
Adanya faktor prediposisi dan faktor presipitasi serta etiologi yang tidak diketahui dapat
menyebabkan terjadi mutasi pada DNA, yang akan mengaktifkan sel onkogen atau deaktivasi
gen tumor supresor, sehingga menyebabkan terjadinya transformasi keganasan di stem cell
limfoid, yang akibatnya terjadi proliferasi yang tidak terkontrol sel limfoblas di sumsum tulang.
Akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel
matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal hemopoiesis
mengalami tekanan. Hal ini akan menimbulkan dua dampak klinis yang penting yaitu
manifestasi utama leukemia akut terjadi akibat kurangnya sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit normal, serta tujuan pengobatan adalah mengurangi populasi klona leukemia
sedemikian sehingga terjadi rekonstitusi progeni sel bakal normal yang masih tersedia.
Selanjutnya proliferasi sel leukemia ini juga dapat menginfiltrasi ke dalam organ
sehingga menimbulkan organomegali, serta meningkatkan katabolisme sel sehingga terjadi
keadaan hiperkatabolik.[1,11]

14

3.6 MANIFESTASI KLINIK

Gambar 7. Manifestasi Klinik Leukemia


Gejala awal dari LLA biasanya tidak spesifik dan biasanya relatif singkat. Yang biasanya
terjadi adalah gejala anoreksia, fatigue, dan iritabel, serta demam subfebris yang intermiten.
Selain itu, bisa juga terdapat keluhan nyeri pada tulang atau sendi. Pada riwayat penyakit dahulu,
dapat ditemukan adanya infeksi saluran napas 1-2 bulan sebelumnya. Gejala ini dapat
berlangsung dalam beberapa bulan, dan biasanya lokasinya dominan pada tulang atau sendi, dan
dapat menyebabkan pembengkakan sendi. Nyeri tulang yang terjadi biasanya berat dan dapat
menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya di malam hari. Apabila penyakit ini semakin
progresif, maka dapat terjadi tanda dan gejala kegagalan sumsum tulang yang lebih nyata dengan
timbulnya pucat, fatigue, memar, atau epistaksis, serta demam yang juga dapat terjadi akibat
infeksi.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya pucat, lesu, purpura dan petekie di kulit,
atau perdarahan di membran mukosa yang mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang.
Proliferasi alamiah dari penyakit ini dapat bermanifestasi dengan adanya limfadenopati,
splenomegali, atau jarang terjadi hepatomegali. Pada pasien dengan nyeri pada tulang atau sendi,
dapat teraba tulang yang lunak atau adanya pembengkakan sendi dan efusi. Meskipun demikian,
dengan keterlibatan sumsum tulang, dapat terjadi nyeri tulang yang dalam tanpa adanya
15

tenderness. Lalu, pada pasien juga dapat menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial
yang menandakan adanya keterlibatan sel leukemia di dalam susunan saraf pusat, namun hal ini
jarang terjadi. Gejala yang dapat ditemukan yakni adanya papilledema, perdarahan retina, dan
palsi saraf kranial. Distres pernapasan juga dapat terjadi berhubungan dengan adanya anemia
namun dapat juga terjadi pada pasien dengan obstruksi pernapasan akibat adanya massa
mediastinal anterior yang besar seperti pada thymus atau kelenjar getah bening. Masalah ini
sering terlihat pada remaja laki-laki dengan LLA sel T, dimana memiliki hitung leukosit yang
lebih tinggi.
LLA sel pre-B awal (CD 10+ atau CALLA+), adalah imunofenotip yang sering terjadi,
dengan onset antara usia 1-10 tahun. Nilai hitung leukosit rata-rata yang dapat ditemukan adalah
33.000, walaupun 75% pasien memiliki hitung leukosit <20.000; trombositopenia juga terjadi
pada 75% pasien, serta dapat terjadi hepatosplenomegali pada 30-40% pasien. Pada semua tipe
leukemia, gejala susunan saraf pusat dapat terjadi pada 5% pasien (dimana 10-20% ditemukan
sel blas pada cairan LCS). Lalu, dapat juga terdapat keterlibatan testicular (20%) dan ovarium
(30%) namun tidak memerlukan biopsi.[1,7]

3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium sesuai
dengan LLA. Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis leukemia. Namun, untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan
beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus,
sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi,
sitogenetika, dan biologi molekuler.
Pada pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya gagal sumsum tulang yaitu anemia,
trombositopenia, dan umumnya leukosit <10.000/L dengan limfosit atipi yang ternyata
merupakan petanda keganasan. Lalu, pada pemeriksaan gambaran darah tepi ditemukan sel blas.
Dalam hal demikian perlu dilakukan pungsi sumsum tulang (BMP), akan terlihat bahwa 25%
dari sel adalah sama jenis yaitu limfoblas. Pungsi lumbal perlu dilakukan untuk mengetahui
16

adanya peningkatan leukosit di cairan serebrospinal yang menunjukkan bahwa telah terjadi
leukemia meningeal.[1,6,7]

Gambar 8. Hasil Aspirasi Sumsum Tulang A) Pada LLA Sel T; B) Pada LLA Sel B

Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta) pasien LLA
dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit >50.000/L, ada massa
mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1
minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa mediastinum tampak pada
radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan pungsi lumbal dan
dilakukan pemeriksaan sitologi.
Analisis sitogenetik dapat dilakukan dengan mengambil sel sampel dari darah atau
sumsum tulang kemudian dilihat di bawah mikroskop yang menunjukkan adanya perubahan
kromosom limfosit. 80% kasus LLA, memiliki genetik spesifik yang bisa ditemukan pada sel
blas leukemia saat melakukan analisis rutin kariotepe dan teknik molecular, seperti fluorescence
in situ hybridization (FISH), reverse transcriptase-polymerase chain reseptor (RT-PCR), dan
Southern blot analysis. LLA tipe sel B memiliki keabnormalan kromosom seperti t(12;21)
(p13;q22) atau ETV6-RUNX1 (atau TEL-AML1) yang mencakup 20-25% kasus. Lalu, 25%
kasus lainnya bisa terjadi pada hiperdiplodi. Sedangkan LLA tipe sel T memiliki keabnormalan
kromosom seperti aktivasi NOTCH1 pada 50% kasus, mutasi FBXW7 pada 15% kasus, dan
t(7;9)(q34;q34,3) pada <1% kasus.

17

Lalu, dapat juga dilakukan imunofenotip untuk menentukan apakah sel kanker berasal
dari limfosit B atau limfosit T. Dimana sel LLA mengatur imunoglobulin mereka dan gen sel T
reseptor dan mengekspresikan molekul reseptor antigen yang sesuai terhadap limfosit B atau
limfosit T. LLA yang berasal dari sel B meliputi 80% kasus dan mencakup limfoblas yang
mengekspresikan 2 atau lebih antigen sel B permukaan seperti CD19, CD20, CD10, CD21, dan
lain-lain. CD10 yang biasanya terekspresikan, yang membantu menegakkan diagnostik.
Sedangkan LLA yang berasal dari sel T meliputi 10-15% kasus LLA, dimana sitoplasmik CD3
spesifik untuk antigen permukaannya.
Ultrasonografi juga dapat dilakukan apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran testis. Selain itu dapat juga dilakukan USG ginjal untuk mengevaluasi adanya
keterlibatan leukemia ginjal yang dapat menjadi resiko terjadinya sindrom lisis tumor.[1,12,13]

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi anak dengan suspek LLA
adalah :
-

Anemia akut
Anemia aplastik
Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP)

Diagnosis banding dari LLA antara lain adalah :


-

Leukemia mieloblastik akut pada anak


Neuroblastoma pada anak
Rabdomiosarkoma pada anak
Limfoma non-Hodgkin pada anak
Anemia aplastik
Juvenile rheumatoid arthritis[7,12]

3.9 TATALAKSANA

18

Tatalaksana anak dengan leukemia limfoblastik akut merupakan suatu tim dokter yang
terdiri dari onkologi anak, disertai dengan spesialis lain seperti hematologi, endokrinologi,
neurologi, radiologi, patologi, rehabilitasi medik, serta psikologi. Dibutuhkan follow-up yang
teratur dikarenakan efek samping dapat muncul akibat pengobatan jangka panjang setelah
pengobatan tersebut selesai yang disebut dengan efek lambat.
Pengobatan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain
berupa pemberian transfusi darah/ trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk
meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek
psikososial.[6]
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik
karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh
terapi suportif yang intensif pula, kalau tidak maka penderita dapat meninggal karena efek
samping obat, suatu kematian iatrogenik. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping
obat. Terapi suportif yang dapat diberikan adalah :[14]
-

Terapi untuk mengatasi anemia : transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin


sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya

dihindari.
Terapi untuk mengatasi infeksi, yakni dengan pemberian antibiotika adekuat, transfusi
konsentrat granulosit, perawatan khusus (isolasi), dan hemopoietic growth factor (G-CSF

atau GM-CSF).
Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas transfusi konsentrat trombosit untuk
mempertahankan trombosit minimal 10x106/ml, idealnya diatas 20x106/ml.
Terapi untuk mengatasi hal-hal lain yaitu :
o Pengelolaan leukostasis : dilakukan dengan hidrasi intravena dan leukapheresis.
Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit.
o Pengelolaan sindrom lisis tumor : dengan hidrasi yang cukup, pemberian
allopurinol dan alkalinisasi urin.
Keberhasilan terapi tergantung pada faktor umur anak saat ditetapkan diagnosis, jumlah

hitung leukosit, dan respons terhadap terapi. Terapi kuratif/ spesifik bertujuan untuk
19

menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi berupa terapi awal atau induksi remisi,
intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko
tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan
yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK
(Wijaya Kusuma) -ALL 2000.
Terapi induksi merupakan pengobatan fase pertama. Hal ini ditujukan untuk membunuh
sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang yang akan menyebabkan terjadinya remisi.
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason,
vinkristin, L-asparaginase, dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi
komplit, remisi parsial, atau gagal.
Terapi intesifikasi merupakan pengobatan fase kedua. Terapi ini dimulai ketika telah
terjadi remisi komplit, merupakan kemoterapi intensif tambahan . Tujuannya adalah untuk
membunuh sel-sel leukemia yang tersisa yang mungkin sudah tidak aktif tetapi dapat tumbuh
kembali dan menyebabkan relaps. Intensifikasi juga ditujukan untuk profilaksis leukemia pada
susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan
meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna
memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini.
Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat,
sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m 2) atau dosis
tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur > 5 tahun
mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi kranial (18-24 G) disamping pemakaian
kemoterapi sistemik dosis tinggi. Dengan terapi ini 98% pasien menunjukkan perbaikan dengan
indikator jumlah limfoblas sumsum tulang <5%, dan jumlah neutrofil dan trombosit menjadi
normal.
Terapi maintenance (lanjutan rumatan) merupakan pengobatan fase ketiga. Tujuannya
adalah untuk membunuh sel leukemia tersisa yang mungkin dapat tumbuh kembali dan
menyebabkan relaps. Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari
dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun
pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-2 tahun dan tidak ada

20

keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau
dengan melihat leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis
leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti,
hemoglobin >12 g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3.000/L dengan hitung jenis leukosit
normal, jumlah granulosit > 2.000/ L, jumlah trombosit > 100.000/ L, dan pemeriksaan cairan
serebrospinal normal.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% pasien anak
akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab
utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam
18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara
relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif
untuk mengatasi resistensi obat. Terapi untuk relaps adalah kemoterapi sistemik sesuai dengan
protokol yang ditetapkan.[1,6,7]
Terapi standar pada pasien anak dengan LLA yakni berupa kemoterapi, radioterapi,
transplantasi sumsum tulang, dan terapi target. Penjelasaannya adalah sebagai berikut :
-

Kemoterapi : merupakan pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan yang


menghentikan pertumbuhan dari sel-sel kanker, disisi lain dapat membunuh sel tersebut.
Ketika kemoterapi diberikan melalui oral atau injeksi intravena atau intramuscular, obat
akan masuk ke dalam aliran darah dan dapat mencapai sel kanker di seluruh tubuh
(kemoterapi sistemik). Bila kemoterapi diberikan langsung ke dalam cairan serebrospinal
(intratekal), pada organ, atau rongga tubuh seperti abdomen, maka obat terutama akan
berefek pada area tersebut (kemoterapi regional). Kemoterapi kombinasi adalah
pengobatan dengan menggunakan lebih dari 1 obat antikanker. Cara pemberian
kemoterapi tergantung dari tipe kanker yang akan diobati. Kemoterapi intratekal atau
kemoterapi dosis tinggi disuntikkan melalui vena untuk mengobati LLA pada anak yang
menyebar ke otak dan medulla spinalis. Namun hal ini juga dapat bersifat profilaksis
untuk penyebaran di SSP.
21

Radioterapi : pengobatan kanker dengan menggunakan x-rays energi tinggi atau radiasi
tipe lain untuk membunuh sel kanker atau mencegah pertumbuhannya. Terdapat 2 tipe
radioterapi yakni radioterapi eksternal yang mempergunakan mesin di luar tubuh untuk
mengirimkan radiasi menuju ke sel kanker, serta radioterapi internal yang menggunakan
substansia radioaktif melalui kateter langsung ke dalam atau dekat kanker. Radioterapi
eksternal dapat digunakan untuk mengobati penyebaran sel kanker ke otak dan medulla
spinalis. Namun, dikarenakan radioterapi ke otak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan otak pada anak, maka kebanyakan anak dengan LLA tidak diobati dengan

radioterapi.
Transplantasi sumsum tulang merupakan metode dengan memberikan kemoterapi dosis
tinggi dan kadang radioterapi, kemudian membuang pembentukan sel darah yang
dihancurkan dengan terapi kanker. Stem sel atau sel darah imatur dihapus dari darah atau
sumsum tulang donor. Setelah pasien menerima kemoterapi dosis tinggi dan kadang
radioterapi, stem sel donor diberikan kembali ke pasien melalui infus. Stem sel tersebut
akan berkembang di dalam sel darah pasien. Namun, transplantasi stem sel ini jarang
dipakai sebagai inisial terapi pada anak dan dewasa muda dengan LLA. Terapi ini
biasanya digunakan pada LLA yang relaps. Transplantasi sumsum tulang mungkin
memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia selT yang setelah relaps mempunyai prognosis lebih buruk dengan terapi sitostatika
konvensional.

Gambar 9. Transplantasi Sumsum Tulang


-

Terapi yang ditargetkan : merupakan terapi yang menggunakan obat-obatan atau


substansi lain untuk mengidentifikasi dan menyerang sel kanker spesifik tanpa merusak
sel-sel normal. Tyrosine kinase inhibitor merupakan obat terapi ditargetkan yang
memblok enzim tirosin kinase, yang menyebabkan stem sel berkembang menjadi sel
darah putih yang berlebih (granulosit atau blas) melampaui jumlah yang dibutuhkan
tubuh.

22

Hasil pengobatan tergantung pada hal berikut :[14]


-

Tipe leukemia : umumnya LLA mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan LMA.

Karakteristik faktor prognostik dari penderita

Jenis regimen obat yang diberikan

3.10 PROGNOSIS
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok resiko
biasa dan resiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik
itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance.
Faktor prognostik LLA adalah sebagai berikut :
-

Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan faktor
prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah
leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah

leukosit > 50.000/ L mempunyai prognosis yang buruk.


Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien
dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling
buruk. Hal ini dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.
Leukemia bayi berhubungan dengan gene re-arrangement pada kromosom 11q3 seperti

t(4;11) atau t(11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi.


Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat diagnosis juga mempunyai
nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi kappa dan
lambda pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan
adanya protokol spesifik untuk sel B, prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia
juga mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan
terapi intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk lain, mempunyai
23

prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol
-

resiko tinggi.
Nilai prognostik jenis kelamin dari berbagai penelitian, sebagian besar menyimpulkan
bahwa anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal ini
dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi,
hiperleukositosis, dan organomegali serta masa mediastinum pada anak laki-laki.
Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme

merkaptopurin dan metotreksat.


Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu
terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang pada induksi hari ke-

7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.


Kelainan jumlah kromosom yang juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (> 50
kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA
hipoploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t(1,19). Translokasi t(9;22)
pada 5% anak atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.[6]
Dengan terapi sistemik prognosis anak dengan LLA dapat diharapkan mencapai harapan

hidup lebih baik yaitu untuk 5 tahun pada >80% kasus. Prognosis kurang baik bila umur anak <1
tahun atau >10 tahun saat diagnosis, hitung leukosit >100.000/ L, dan respon lambat terhadap
terapi inisial.[7]

24

Tabel 4. Prognosis LLA

3.11 KOMPLIKASI[12]
Komplikasi akut dapat terjadi akibat adanya infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam semua
sistem organ sehingga dapat menyebabkan :
- Sindrom lisis tumor merupakan

triad

kelainan

metabolik

(hiperurisemia,

hiperfosfatemia, hiperkalemia) yang sering terjadi pada pasien keganasan akibat lisisnya
sel-sel tumor secara cepat baik yang terjadi spontan ataupun karena pengobatan antikanker.
[15]

Gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan
keganasan dikarenakan metabolit yang dikeluarkan oleh sel-sel tumor ganas adalah asam
urat, fosfor, kalium, semuanya diekskresi oleh ginjal. Hal ini memerlukan perhatian yang
serius karena lebih mudah dicegah. Selain itu adanya gangguan fungsi ginjal mungkin
merupakan faktor paling penting yang menentukan kelangsungan hidup pasien.[15]
- Sepsis
- Perdarahan
- Thrombosis
- Typhlitis
- Neuropati
- Ensefalopati
- Kejang
25

Lalu, pada pasien dengan LLA ini perlu follow-up yang berkepanjangan karena terdapat
kejadian adanya efek lambat akibat pemberian obat seperti :
- Keganasan sekunder
- Perawakan pendek
- Defisiensi hormon pertumbuhan
- Disabilitas pembelajaran
- Defek kognitif

BAB IV
PERBEDAAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DAN LEUKEMIA
MIELOBLASTIK AKUT
Membedakan LLA dan LMA merupakan langkah yang harus dilakukan pada setiap
leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi dan prognosis penderita. Secara
klinis, LMA sulit dibedakan dengan LLA sehingga pemeriksaan apusan darah tepi menjadi
sangat penting.
Di tempat-tempat dengan fasilitas terbatas, yang terpenting ialah membedakan antara
LLA dan LMA dengan teknik morfologi konvensional.

26

Gambar 10. Mieloblas


Perbedaan LLA dan LMA berdasarkan parameter pemeriksaan morfologi, sitokimia, dan
sitogenetik adalah sebagai berikut :
Parameter
Morfologi

LLA
Limfoblas :

LMA
Mieloblas :

Kromatin bergumpal
Nucleoli lebih samar,

lebih sedikit
Auer rod : negatif
Sel
pengiring

prominent, lebih banyak


:

limfosit
Sitokimia
a. mieloperoksidase
b. Suddan black
c. Esterase
non- -

Kromatin lebih halus


Nucleoli
lebih
(>2)
Auer rod : positif
Sel pengiring : neutrofil

+
+
+

spesifik
d. PAS
Kasar
+ (monsitik)
e. Acid phosphatase
+ (Thy LLA)
+ (halus)
f. Platelet peroxidase
+ (M7)
Enzim
a. Tdt
+
b. Serum lysozyme
+ (monositik)
Tabel 5. Perbedaan Morfologi dan Sitokimia LLA dan LMA

27

Tabel 6. Perbedaan Sitogenetik LLA dan LMA

Sebagai tolak ukur keberhasilan pengobatan pada kejadian leukemia dapat dilihat
berdasarkan angka kesintasan (survival rate). Dengan mengikuti perjalanan penyakit dapat
diketahui berapa lama pasien dapat bertahan hidup dan faktor yang mempengaruhi lama tidaknya
seorang pasien bertahan hidup. Pada pasien leukemia, angka ketahan hidup yang dipakai sebagai
tolak ukur adalah angka kesintasan 5 tahun. Jika seseorang penderita leukemia dapat bertahan
hidup selama 5 tahun sejak mendapatkan pengobatan maka pasien tersebut dapat dinyatakan
sembuh dari leukemia.
Kesintasan 5 tahun pasien leukemia juga berbeda berdasarkan tipe leukemianya. Dari
data 2001-2007, kesintasan 5 tahun secara umum pasien leukemia di Amerika Serikat adalah
66,6% untuk jenis LLA; 80,8% untuk jenis LLK; 23,6% untuk jenis LMA; dan 55,2% untuk
jenis LMK. Sementara, berdasarkan The Leukemia and Lymphoma Society 2012, kasus leukemia
pada anak (< 15 tahun) pada umumnya adalah leukemia akut dengan kesintasan 5 tahun 90,5%
jenis LLA dan 63,6% LMA. Pada 1994, angka kesintasan 5 tahun untuk leukemia anak (umur
kurang dari 20 tahun) jenis LLA adalah mendekati 80%. Angka kesintasan 5 tahun pada laki-laki
sebesar 75% dan perempuan sebesar 79%. Sedangkan angka kesintasan 5 tahun jenis LMA
adalah 41%. Angka kesintasan menurut jenis kelamin sebesar 35% pada laki-laki dan 47% pada
perempuan.
28

Dalam The Leukemia & Lymphoma Society 2007 dinyatakan bahwa perbedaan kesintasan
pasien leukemia dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah usia pasien saat didiagonsis,
jenis kelamin, ras, dan tipe leukemia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RS Kanker Dharmais, penderita leukemia
akut pada anak di RS Kanker Dharmais yang didiagnosis pada 1997-2008 menghasilkan
probabilitas kesintasan 5 tahun secara keseluruhan sebesar 22,6% dengan menggunakan analisis
statistik Kaplan Meier. Angka kesintasan 5 tahun ini bisa dibandingkan dengan angka kesintasan
di beberapa negara dan rumah sakit. Dalam data yang dikumpulkan badan kesehatan AmerikaSEER (Surveillance, Epidemiology and End Results) menemukan hasil bahwa kesintasan 5 tahun
pasien leukemia secara keseluruhan adalah 34% pada penderita leukemia yang didiagnosis pada
1975-1977, 36% untuk data 1978-1980, 38% untuk data 1981-1983, 41% untuk data 1984-1986,
43% untuk data 1987-1989, 45% untuk data 1990-1992, dan 57% untuk data 2001-2007.

Tabel 7. Karakteristik Pasien Leukemia Akut di RS Kanker Dharmais

29

Tipe leukemia akut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan
penderita leukemia. Menurut jenis histologinya, leukemia akut dikelompokkan menjadi 2, yaitu
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dan Leukemia Mieloblastik Akut (LMA). Pada penelitian ini
ditemukan bahwa risiko kematian setelah 5 tahun pada pasien jenis Leukemia Mieloblastik Akut
(LMA) 1,643 kali (CI: 0,635 - 3,848) dibandingkan dengan pasien Leukemia Limfoblastik Akut
(LLA) setelah memperhitungkan jenis kelamin, jumlah trombosit, kekambuhan, status remisi,
kelengkapan terapi, jumlah leukosit, komorbiditas, dan kadar hemoglobin.
Meskipun demikian, secara keseluruhan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitianpenelitian yang lain yang menunjukkan bahwa risiko kematian pada leukemia tipe LMA lebih
tinggi dibandingkan dengan risiko kematian pada leukemia tipe LLA.[16]

BAB V
KESIMPULAN

Leukemia merupakan keganasan yang sering terjadi pada anak, yakni mencapai 41% dari
seluruh keganasan yang terjadi pada anak usia <15 tahun. Leukemia akut biasanya bersifat
agresif, dimana proses keganasan terjadi di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal.
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer WHO pada 2008, insiden
leukemia di seluruh dunia adalah 5 per 100.000 dengan angka kematian 3,6 per 100.000
penduduk. Di Indonesia, melalui penelitian yang dilakukan di RSCM, ditemukan bahwa
leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada anak dengan umur di bawah
15 tahun (30-40 %). Berdasarkan penelitian di RS Dr. Sardjito Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, insiden LLA sebesar 20,8/ 1.000.000 sedangkan LMA sebesar 8/ 1.000.000. Angka
tersebut menghasilkan proporsi LMA terhadap leukemia akut sebesar 27,7%. Proporsi ini cukup
tinggi apabila dibandingkan dengan negara barat. Sedangkan berdasarkan penelitian di Rumah
Sakit Kanker Dharmais pada 2000-2008, LLA merupakan kanker anak yang paling banyak
ditemukan, lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, dengan kelompok umur 1 sampai <5 tahun
dengan jenis LLA-L1. Tercatat 8 kasus baru anak dengan LLA pertahunnya.

30

Etiologi dari LLA tidak diketahui pasti, tapi terdapat faktor predisposisi dan presipitasi
dari faktor genetik dan lingkungan. Untuk menegakkan diagnosis LLA, berdasarkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan
adanya gagal sumsum tulang yaitu anemia, trombositopenia, dan umumnya leukosit <10.000/L
dengan limfosit atipi yang ternyata merupakan petanda keganasan. Dalam hal demikian perlu
dilakukan pungsi sumsum tulang (BMP), akan terlihat bahwa 25% dari sel adalah sama jenis
yaitu limfoblas. Lalu, tatalaksana dari LLA bersifat kuratif/ spesifik dengan tujuan
menyembuhkan leukemianya dan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai dan
pengobatan komplikasi.
Berdasarkan gejala klinis, LLA sulit dibedakan dengan LMA. Pemeriksaan penunjang
seperti morfologi, sitokimia, dan sitogenetik dapat membedakan LLA dan LMA. Berdasarkan
penelitian di RS Dharmais disimpulkan bahwa kesintasan (survival rate) 5 tahun pada pasien
LLA lebih baik dibandingkan dengan pasien LMA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tubergen DG and Bleyer A. The leukemias. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
and Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. India: Elsevier. 2008. p.
1694-6.
2. Mulasih S, Sutaryo, Sunarto, Yeoh A, Liang Y, dan Mubarika S. karakteristik klinis
pasien leukemia limfoblastik akut (LLA). Sari Pediatri. 2009; 11(2): 118-23.
3. Soebandiri. Hemopoesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 th ed. Jakarta: Interna Publishing.
2009. p. 1105-8.
4. Ohls RK and Christensen. The hematopoietic system. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, and Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. India: Elsevier.
2008. p. 1599-1606.
5. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC. 2001. p. 354-6.
6. Permono B dan Ugrasena IDG. Leukemia akut. In: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena
IDG, Windiastuti E, dan Abdulsalam M, editor. Buku ajar hematologi-onkologi anak.
Jakarta: IDAI. 2010. p. 236-45.
7. Widagdo. Masalah dan tatalaksana penyakit anak dengan demam. Jakarta: Sagung Seto.
2012. p. 302-3.
31

8. The Leukemia & Lymphoma Society. Leukemia facts and statistics from Leukemia,
Lymphoma, Myeloma, Facts 2008-2009. Available at : http://www.lls.org/. Accessed on
July 25th, 2014.
9. Rini AT, Aisyi M, Sari Y, dan Edi. Karakteristik leukemia limfoblastik akut pada anak di
rumah sakit kanker Dharmais 2000-2008. Ind J of Cancer. 2010; 4(4): 137-140.
10. Mayoclinic.
Acute
lymphocytic
leukemia.
Available

at:

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/acute-lymphocyticleukemia/basics/causes/con-20042915. Accessed on July 25th, 2014


11. Silbernagl S dan Lang F. teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC. 2007. p. 145.
12. Kanwar

VS.

Pediatric

acute

lymphoblastic

leukemia.

Availaible

at:

http://emedicine.medscape.com/article/990113-overview#showall. Accessed on July, 24th,


2014.
13. MedicineNet.

Childhood

acute

lymphoblastic

leukemia

(ALL).

Available

at:

http://www.medicinenet.com/childhood_acute_lymphoblastic_leukemia/article.htm#what
_is_childhood_acute_lymphoblastic_leukemia_all. Accessed on July 25th, 2014.
14. Bakta IM. Hematologi klinis ringkas. Jakarta: EGC. 2012. p. 123-37.
15. Hariweni T. Pengaruh metabolit tumor akibat sindrom tumor lisis pada terjadinya gagal
ginjal akut serta pada anak. Sari Pediatri. 2005; 7(2): 93-6. 15-21.
16. Simanjorang C, Kodim N, dan Tehuteru E. Perbedaan kesintasan 5 tahun pasien leukemia
limfoblastik akut dan leukemia mieloblastik akut pada anak di Rumah Sakit Kanker
Dharmais, Jakarta, 1997-2008. Ind J of Cancer. 2013; 7(1): 15-21.

32

Anda mungkin juga menyukai