Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Testis normal berada dalam skrotum. Bentuknya oval, ukuran 5x2x3 cm, dengan berat 12 gram
dan terdiri dari ratusan lobules yang dipisahkan oleh dinding jaringan ikat fibrous. Setipa tubulus
mempunyai diameter 0,2 mm dan panjang 75 cm, Tubulus mengandung jaringan germinal yang
menghasilkan sel sperma dan disogok oleh jaringan ikat longgar. Jaringan ikat ini juga
mengandung sel leydig yang mengsekresikan androgen. Hormon androgen pada pria adalah
testosterone. Spermatozoa dihasilkan oleh testis akibat pengaruh testosterone, menjadi matur
didalam epididimis. Sekitar 60% cairna semen dihasilkan oleh vesika seminalis, dan sekitar 20%
dihasilkan oleh prostat.Sisanya dihasilkan oleh epididimis, vas deferens, glandula bulbouretral,
dan glandum uretralis.
Sperma yang sering disebut juga mani atau semen adalah ejakulat yang berasal dari seorang pria
berupa cairan kental dan keruh, berisi sekret dari kelenjar prostat, kelenjar2 lain dan spermatozoa.
Pemeriksaan sperma merupakan salah satu elemen penting dalam penilaian fertilitas atau
infertilitas. Pemeriksaan sperma meliputi maksroskopis (hal-hal yang terlihat dengan mata
telanjang), mikrospkopis, kimia dan imunologi. Namun, di sini yang akan kita lakukan adalah
hanya pemeriksaan sperma secara makroskopis dan mikroskopis saja.
Banyak pria yang sering merasa tidak nyaman dengan adanya pemeriksaan sperma hal ini
mengingat sperma merupakan produk cairan tubuh yang hanya bisa dikeluarkan sebagai puncak
rasa birahi (orgasme). Tidak seperti cairan tubuh lain yang biasa diperoleh dengan cara yang
menyakitkan yaitu disuntik seperti darah, cairan sumsum tulang, cairan otak maka cairan sperma
ini dikeluarkan dengan cara tidak menyakitkan. Tidak semua pria dengan mudah bisa
mengeluarkan sperma apalagi disebuah tempat yang cukup asing seperti rumah sakit atau
laboratorium. Sebenarnya hal ini tidak bisa menjadi alasan karena saat ini rumah sakit atau
laboratorium biasanya telah menyediakan tempat yang dibuat sedemikian rupa agar pasien bisa
melakukan proses mengeluarkan sperma dengan nyaman.
Ketika dokter mengevaluasi kesuburan seorang laki-laki, setiap aspek dari analisis semen
dipertimbangkan, sebagaimana juga melihat seluruh aspek tersebut sebagai sebuah kesatuan.
Setiap aspek analisis dapat menyumbang pada penilaian kesuburan, namun hasilnya tidak selalu

penting untuk menentukan hasil sesungguhnya. Dalam makna lain, pasangan yang memiliki hasil
buruk dalam analisis semen masih dapat melakukan pembuahan, dengan ataupun tanpa bantuan,
dan mereka yang memiliki hasil yang baik dapat juga mengalami kesulitan.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi hitung sperma dan nilai analisis cairan semen yang lainnya.
Seorang laki-laki dapat memiliki hitung jumlah sperma yang rendah jika mengalami kerusakan
fisik pada testikelnya, misalnya pasca menjalani terapi radiasi pada testikel, atau terpapar obatobatan tertentu (seperti azathioperine atau cimetidine). Laki-laki yang memiliki kadar estrogen
tinggi juga dapat memiliki hitung sperma yang rendah.
Salah satu gangguan yang dapat berhubungan dengan pemeriksaan cairan semen yaitu Gangguan
Pada Prostat. Beberapa masalah pada prostat yang menyebabkan cairan sperma atau air mani bisa
keluar dengan sendirinya antara lain :

Prostatitis, yaitu pembengkakan atau peradangan tidak alami pada prostat. Kondisi ini
biasanya terjadi karena kondisi genetik atau sering ejakulasi, sehingga prosat menjadi
overaktif.

Penyumbatan Prostat. Pria yang dulu sering ejakulasi lalu sekarang menjadi jarang, bisa
mengakibatkan prostat menjadi tersumbat dan membengkak. Kondisi prostat yang
tersumbat bisa mengakibatkan pria mengeluarkan cairan sperma atau air mani meski
dalam keadaan duduk ataupun jongkok.

Kanker Prostat. Ini adalah penyebab paling berbahaya dari kondisi organ reproduksi.
Prostatitis dan penyumbatan prostat bisa saja menjadi bagian dari tanda penyakit ini.

Selain itu juga Hematospermia yang berarti adanya darah pada cairan ejakulasi. Intensitas darah
yang keluar mulai dari tidak terlihat mata (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) sampai dengan
darah yang tampak dengan mata. Hematospermia bisa terjadi pada siapa saja, umumnya pada pria
dengan rentang usia 30 dan 40 tahun. Pada usia muda umumnya kondisi ini bersifat jinak.
Hematospermia atau hemospermia bukanlah hal yang terlalu merisaukan dan biasanya
menghilang sendiri. Hematospermia jarang berhubungan dengan patologi berbahaya pada pria
muda.

BAB II
PERSIAPAN DAN SAMPLING
A. Persiapan dan Persyaratan
Seseorang yang akan memeriksakan spermanya, sebaiknya terlebih dahulu melakukan
pantangan (abstinensi) untuk tidak mengeluarkan sperma sedikit-dikitnya selama 3 hari (3 x
24 jam) dengan alasan menurut penyelidikan, jangka waktu sebesar itu sudah cukup untuk
suatu spermiogenesis dan untuk sampel yang baik. Tetapi untuk baiknya pasien diminta
supaya tidak mengadakan kegiatan seksual selama 3-5 hari. Pengeluaran ejakulat sebaiknya
dilakukan pagi hari sebelum melakukan aktifitas, sedekat mungkin sebelum pemeriksaan
laboratorium.
B. Cara Memperoleh Sperma
Banyak penderita tidak mengerti bagaimana cara memeriksakan sperma. Kita harus
maklum, bahwa pemeriksaan sperma lain dengan pemeriksaan kencing atau tinja, karena
bahan-bahan yang terakhir itu dengan wajar dapat dikeluarkan oleh penderita. Tetapi masalah
memperoleh sperma yang akan diperiksa merupakan persoalan tersendiri untuk penderita. Hal
ini dapat dimengerti, sebab tidak pada setiap kesempatan seseorang dapat mengeluarkan
sperma. Adapun cara-cara yang digunakan untuk memperoleh sampel sperma yaitu dengan :
1. Masturbasi
Merupakan suatu metode pengeluaran sperma yang paling dianjurkan. Tindakan ini
berupa menggosok kemaluan lelaki (penis) berulang-ulang, sampai terjadi ketegangan dan
pada klimaks akan keluar sperma. Sebelum melakukan masturbasi hendaknya penis dicuci
dahulu agar tidak tercemar oleh kotoran. Untuk mempermudah masturbasi kadang-kadang
dalam menggosok penis diberi pelicin misalnya sabun, krim atau jelly. Tetapi saat dipakai

jangan sampai mencapai lubang keluarnya sperma. Kebaikan dari cara ini, di samping
menghindari kemungkinan tumpah ketika menampung sperma, juga pencemaran sperma
dari zat-zat yang tak diinginkan dapat dihindari. Tempat penampungan sperma sebaiknya
dari botol kaca yang bersih, kering dan bermulut lebar atau boleh dengan tempat lain
dengan syarat tidak spermatotoksik.
2. Coitus Interuptus
Cara ini dilakukan dengan menyela atau menghentikan hubungan saat akan keluar
sperma. Walaupun cara ini banyak dilakukan untuk memperoleh sampel sperma untuk
diperiksa,

namun

cara

ini

kurang

baik

karena

hasilnya

kurang

dapat

dipertanggungjawabkan, lebih-lebih bila hasil pemeriksaannya mendapatkan hasil dimana


jumlah spermatozoanya di bawah kriteria normal (oligosperma). Tetapi cara ini
kelemahannya dikhawatirkan sebagian telah tertumpah ke dalam vagina sehingga tidak
sesuai lagi untuk pemeriksaan. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa sperma yang
dikeluarkan pada waktu ejakulasi terbagi menjadi beberapa tahap, paling sedikit dua
tahap. Tahap pertama adalah merupakan ejakulat yang mengandung spermatozoa yang
terbanyak, sedangkan tahap yang kedua hanya mengandung spermatozoa sedikit saja atau
bahkan sering tidak dijumpai spermatozoa, tetapi mengandung porsi fruktosa yang
terbanyak. Dalam pengendalian orgasme sewaktu melakukan interuptus tidak menjamin
bahwa sebagian besar atau sebagian kecil terlanjur dikeluarkan di vagina sehingga
mengakibatkan kita memperoleh sampel sperma yang tidak lengkap, sehingga
memberikan hasil yang tidak sewajarnya.
3. Coitus Condomatosus
Dengan alasan apapun pengeluaran sperma dengan memakai kondom untuk
menampung mani tidak dianjurkan dan tidak diperkenankan karena zat-zat pada
permukaan karet kondom mengandung suatu bahan yang bersifat spermicidal yang
mempunyai pengaruh melemahkan atau membunuh spermatozoa, biarpun kondom sudah
dicuci dan dikeringkan. Selain daripada itu kemungkinan terjadi tumpahnya sperma
sewaktu pelepasan kondom atau menuangkan ke botol penampung. Tetapi ada beberapa
kondom khusus yang dipergunakan untuk keperluan penampungan sperma, karena bahan
dipakai tidak bersifat spermasida.
4. Vibrator

Masih ada cara lain untuk mempermudah mengeluarkan sperma ialah dengan
vibrator. Alat ini mempunyai berbagai ukuran, terbuat dari plastik dengan permukaan
halus, dapat digerakkan dengan baterai yang menghasilkan getaran lembut. Alat ini kalau
ditempelkan pada glans penis, akan menimbulkan rasa seperti mastrubasi dan dengan
fibrasi yang cukup lama, diharapkan sperma akan keluar.
5. Refluks Pasca Sanggama
Dengan memeriksa sperma yang telah ke vagina. Cara ini tidak dianjurkan karena
dipergunakan cairan fisiologis untuk pembilasan, dan sperma tercampur dengan sekret
vagina, sehingga akan didapatkan hasil yang tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.
C. Wadah Penampung
Mani langsung dikeluarkan ke dalam satu wadah terbuat dari gelas atau plastik yang
bermulut lebar dan yang lebih dahulu dibersihkan dan dikeringkan. Wadah harus dapat ditutup
dengan baik untuk menjaga jangan sampai sebagian tertumpah. Pasien diminta mencatat waktu
pengeluaran mani tepat sampai menitnya dan menyerahkan sampel itu selekasnya kepada
laboratorium. Laboratorium juga wajib mencatat waktu pemeriksaan-pemeriksaan dijalankan.
D. Penyerahan Sampel Sperma
Segera setelah sperma ditampung, maka sperma harus secepatnya diserahkan kepada
petugas laboratorium. Hal tersebut perlu dilakukan karena beberapa parameter sperma
mempunyai sifat mudah berubah oleh karena pengaruh luar. Sperma yang dibiarkan begitu saja
akan berubah pH, viskositas, motiltas dan berbagai sifat biokimianya.
E. Waktu Pemeriksaan
Setelah penderita diberikan penerangan tentang cara-cara serta syarat-syarat pengeluaran
sperma dan lainnya, maka waktu pengeluaran sperma dapat pula ditetapkan. Hal ini tergantung
dari kesiapan pasien dan kesiapan laboratorium. Kalau syarat-syarat serta semua persiapan baik
penderita maupun laboratorium telah dipenuhi, maka pengeluaran sperma dapat dilakukan.
Segera setelah diterima petugas laboratorium, hendaknya sperma secepatnya diperiksa. Sperma
harus diletakkan di dalam suhu kamar. Contoh sperma tidak boleh didinginkan dibawah 20OC
atau dipanaskan diatas 40OC, oleh karena kedua hal ini dapat mempengaruhi motilitas dan
viabilitas spermatozoa.
F. Hal-Hal Lain
Hal lain yang perlu diutarakan pada pasien adalah pada waktu abstinensia janganlah
minum obat - obat apapun, apalagi minum obat-obat perangsang seks, tonikum atau semacamnya.

Hal ini diperlukan agar benar-benar sperma yang diperiksa tidak dipengaruhi oleh obat obatan.
Kalau perlu dicatat obat yang dimakan dalam 1-2 minggu sebelum analisis dilakukan.

BAB III
PEMERIKSAAN
Parameter sperma dapat berupa parameter sperma dasar serta parameter biokimia sperma.
Dalam pemeriksaan rutin atau pemeriksaan dasar, yang dilakukan adalah mengukur parameter
yang diperlukan sebagai dasar umum untuk mendiagnosis keadaan andrologis, serta yang mudah
dilakukan dengan tidak memakai alat-alat serta pengetahuan yang lebih rumit. Berikut parameter
pemeriksaan sperma meliputi :
A. Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis memperhatikan volume, warna kekeruhan dan kentalnya mani,
selain itu biasanya pH juga diperiksa. Mengukur volume dilakukan dengan memindahkan
ejakulat kedalam gelas ukur 5 atau 10 ml sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Berkut
pemeriksaan makroskopis sperma:
1. Liquefaksi
2. Viscositas
3. pH Sperma
4. Bau Sperma
5. Warna Sperma
6. Volume Sperma
B. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan setelah sperma mengalami liquefaction. Jadi kira-kira
20 menit setelah dikeluarkan. Adapun pemeriksaan mikroskopis yang umum dilakukan
meliputi :
1.
2.
3.
4.

Pergerakan (Motilitas) Spermatozoa


Vitalitas Spermatozoa
Jumlah Spermatozoa
Morfologi Spermatozoa

5. Aglutinasi spermatozoa (khusus)


6. Benda-benda khusus sperma (khusus)
C. Pemeriksaan Kimia
Karbohidrat yang ada dalam mani ialah fruktosa dan kadar fruktosa itu mempunyai
korelasi positif dengan kadar testosteron dalam tubuh. Penetapan kadar fruktosa memakai
reaksi Selivanoff sebagai dasar, pada reaksi itu fruktosa bereaksi dengan resorcinol dengan
menyusun warna merah.
1. Parameter : Penetapan Fruktosa
2. Tujuan : Untuk mengetahui dan menentukan kadar fruktosa dalam semen yang
bertalian dengan kadar testosteron.
3. Prinsip : Fruktosa akan berubah menjadi furfural oleh pengaruh HCl dan pemanasan,
furfural yang terjadi akan berkondensasi dengan resorsinol menyusun senyawa yang
berwarna merah.
4. Reagensia :
a. Larutan Ba(OH)2 0,3 N dibuat dengan melarutkan 47,5 g Ba(OH)2.8H2O dalam
1000 ml aqusdest.
b. Larutan ZnSO4 0,175 M dibuat dari 50 g ZnSO4.7H2O dalam 1000 ml aquadest.
c. Larutan resorcinol 0,1% dalam 100 ml alkohol 95%, larutan ini bertahan 2 bulan
bila disimpan dalan lemari es.
d. HCl 10 N dibuat dari 1 volume aquadest ditambah 6 volume HCl pekat.
e. Standard fruktosa stock 50 mg fruktosa larutkan dalam 100 ml larutan asam
benzoat 0,2%.
f. Standard fruktosa sebagai larutan kerja. 1 ml standard fruktosa stock diencerkan
dengan aquadest sampai 100 ml. Pada cara dicantumkan dibawah, larutan kerja ini
sesuai dengan 200 mg /dl fruktosa mani.
5. Prosedur Kerja :
a. Lakukan deproteinisasi mani yang akan diperiksa dengan terlebih dahulu
mengencerkan 0,1 ml mani dengan 2,9 ml air. Kemudian tambah 0,5 ml larutan
Ba(OH)2, campur, tambahkan 0,5 ml larutan ZnSO4, campur lagi dan pusinglah
kuat-kuat.
b. Sediakan 3 tabung T (test), S (standard) dan B (blanko). Tabung T diisi 2 ml cairan
atas dari langkah 1, tabung S diisi 2 ml standard fruktosa larutan kerja dan tabung
B diisi 2 ml air/ aquadest.
Blanko Standard Sampel
Aquadest 2 ml -- -Standard -- 2 ml --

Sampel -- -- 2 ml
Resorsinol 2 ml 2 ml 2 ml
HCl 6 ml 6 ml 6 ml
c. Kepada tabung T, S dan B masing dibubuhkan 2 ml resorsinol dan 6 ml HCl.
d. Campur isi tabung masing-masing, panasilah dalam bejana air 90OC selama 10
menit.
e. Bacalah absorbansi T dan S terhadap B pada 490 nm.
f. Hitunglah kadar fruktosa dengan rumus AT/AS x 200 = mg / dl fruktosa mani.
Catatan :
Kadar fruktosa dalam mani normal berkisar antara 120-450 mg/dl dan fruktosa itu berasal dari
vesiculae seminales. Selain dipengaruhi oleh kadar testosteron dalam tubuh, banyaknya fruktosa
dalam mani juga mengalami perubahan oleh proses-proses dalam vesiculae seminales dan ductuli
ejaculatorii, pada hipoplasia dan radang vesiculae seminales dan pada penyumbatan partial
ductuli ejaculatorii kadar fruktosa menurun. Penyumbatan ductuli ejaculatorii yang total
berakibat kadar fruktosa dalam mani menjadi nol.
D. Pemeriksaan Imunologi
Dulu orang masih bertanya-tanya apakah faktor imunologi besar peranannya dalam infertilitas.
Para iluwan masih meragukan, bingung dan timbul berbagai pendapat yang saling kontradiksi.
Jones pada penelitian nya mengajukan teori bahwa faktor imunologi berpengaruh pada beberapa
tahap dalm proses reproduksi manusia, mulai dari masa gamet dan telur yang dibuahi.
Sebagaimana hormon, jaroingan dan cairan sekresi yang berhubungan dengan traktus genitalia
potensial bersipat antigenik dan mampu menimbulkan suatu respon imun.
Pada beberapa wanita antigen sperma menyebabkan timbulnya antibodi terhadap antigen spesifik
atau permukaan pada sperma dan menyebabkan infertilitas. Menurut Burnett, antigen jaringan
yang telah ada dalam tubuh sebelum sistem imunologik berfungsi dikenal sebagai self antigen,
sedangkan antigen jaringan yang timbul setelah sistem imunologik berfungsi sebagai non self
antigen. Spermatozoa dapat digolongkan self antigen karena diproduksi jauh setelah sistem
imunologik berfungsi, sehingga ia dianggap sebagai antigen asing. Antigen tersebut dapat berasal
dari spermatozoa sendiri, atau dari plasma semen.
Selain itu dapat juga terjadi keadaan autoimun terhadap semen dan komponen sperma yang
biasanya terjadi pada suami yang pernah mengalami proses pada genitalianya termasuk
vasektomi dan infeksi (mumps). Beberapa penyakit autoimun dapat menyebabkan suatu keadaan
infertilitas. Geva dalam tulisannya tentang autoimunitas dan reproduksi mendapatkan bahwa

banyaknya autoantibodi dalam serum berhubungan dengan kegagalan kehamilan yang berulang,
endometriosis, kegagalan ovarium prematur (prematur ovarian failure/POF), infertilitas yang tak
jelas penyebabnya(unexplained infertility), dan kegagalan fertilisasi invitro (IVF). Beberapa jenis
antibodi yang dapat dideteksi antara lain antibodi antifosfolipid (APA), antibodi antikardiolipin
dan antikoagulan lupus, antibodi antinuklear (ANA), Antibodi anti-DNA, faktor rhematoid,
antibodi antitiroid, autoantibodi anti oavarium, dan antibodi otot polos (smooth muscle
antibodies). Dalam tulisannya Geva berkesimpulan bahwa abnormalitas autoimun mungkin
menyebabkan kegagalan reproduksi (infertilitas) dan sebaliknya kegagalan reproduksi dapat
merupakan manifestasi awal dari penyakit autoimun yang belum terdiagnosis.

Berkut adalah test imunologi sperma :


a. Uji Isojima (Sperm immobilization test)
Immobilisasi sperma yang tergantung komplemen merupakan dasar dari test antibodi sperma ini.
Interaksi antara molekul antibodi dan antigen sperma mengaktifkan sistem komplemen dan
mengganggu permeabilitas dan integritas membran sel sperma (akrosom dan bagian tengah).
Pengaruh yang dapat dilihat secara mikroskopik adalah hilangnya motilitas sperma diikuti
kematian sel. Aktivitas immobilisasi sperma terletak pada faksi IgG dan IgM dari semen yang
positif yang dapt digunakan sebagai dasar pemeriksaan aktivitas antisperma humoral. Tes
immobilisasi sperma ini adalah suatu metode pilihan untuk skrining antibodi serum wanita dan
juga dapat dikerjakan pada pemeriksaan antibodi serviks. Spermatozoa yang digunakan dalam tes
immobilisasi ini haruslah sperma yang baru diejakulasikan dengan kualitas yang baik. Serum
yang digunakan masih segar. Serum penderita dipanaskan pada suhu 56 C selama 20 menit untuk
mengaktifkan komplemen, kedalam 0,25 ml serum percobaan yang inaktif tersebut dimasukkan
0,025 ml semen yang segar yang telah disesuaikan jumlah spermanya sebanyak 60 juta per ml.
Kedalamnya ditambahkan pula 0,05 ml serum manusia sebagai komplemen. Campuran tersebut
diinkubasi dalam penangas air pada 32 C yang lebih sesuai dengan temperatur testis dalam
skrotum. Sebagai kontrol 0,025 ml serum manusia inaktif tanpa aktivitas imobilisasi 0,05 ml
larutan komplemen dan 0,025 ml suspensi sperma dicampurkan dan diinkubasi. Setelah 60 menit,
1 tetes dari campuran diletakkan pada gelas objek dasn motilitas sperma dilihat dibawah
mikroskop, dihitung jumlah sperma motil diantara 50 spermatozoa. Cara ini diulangi sampai 40
lapangan pandangan. Persentase sperma motil diantara 200 spermatozoa dihitung sebagai T% dan

kontrol sebagai C%. Nilai ini imobilitas dihitung sebagai C/T. Hasil dianggap positif apabila T
kurang dari C.
b. Uji Kremer & Jager ( Tes kontak sperma-cairan serviks)
Tes ini pertama kali dilakukan oleh Kremer dan Jager untuk melihat antibodi lokal pada pasangan
infertil. Hasil positif menunjukkan adanya antibodi antisperma baik pada seman, cairan serviks
atau keduanya. Tas ini sangat bernilai untuk mendeteksi antibodi lokal dan juga cocok untuk uji
silang. Setetes lendir istri praovulasi dengan tanda-tanda pengaruh estrogen yang baik dan pH
lebih dari 7 diletakkan pada sebuah gelas objek disamping stetes air mani suami. Kedua tetesan
itu dicampur dan diaduk dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup
campuran itu. Setetes air mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian ditutup
dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan mobilitas spermatozoa dari
kedua sediaan itu. Sediaan itu kemudian disimpan kedalam tatakan peetri yang lembab, pad suhu
kamar selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi. Menurut Kremer & Jager, pada ejakulat
dengan autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan berubah menjadi terhenti atau gemetaran
ditempat (shaking movement) kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar
ditempat ini terjadi juga kalu air mani yang normal bersingggungan dengan lendir serviks wanita
yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.
c. Indirect immunobead binding (IBD) test
Tes ini menggunakan butir (bead) poliakrilimida yang berikatan dengan antiimunoglobulin
spesifik butir tersebut kemudian dicampur dengan sperma segar yang viabel dan dicuci atau tidak
dicuci. Sampel semen dengan antibodi antisperma (+) dari donor dan disiapkan dengan
cara/metode renang atas untuk mendapatkan sperma yang mengandung 50 x 10 /ml sperma
motil. Sepuluh mikroliter plasma semen masing-masing dilarutkan dalam 40 L phosphate
buffered saline (PBS) ditambah dengan 5% (50g/L) albumin serum sapi (BSA) dalam tabung
Effendorp, dan 50 L suspensi sperma ditambahkan pada masing-masing tabung dan dicampur
secara hati-hati. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 60 menit dan kemudian
disentrifus selama 5 menit pada putaran 500 putaran permenit. Supernataan dibuang dan endapan
sperma dicampur lagi dengan 500 L PBS + 0,4% BSA dan disentrifus selama 5 menit pada 500
ppm. Supernatan dibuang dan enadpan sperma dilarutkan lagi dengan 50 L PBS segar ditambah
5% BSA.
Dengan 2 slide yang berbeda 5 L suspensi sperma tadi dicampur dengan 5 L immunobead
GAM yang mengandung campuran imunoglobulin antihuman immunobead (IgG, IgA, dan IgM).

Slide kemudian diinkubasi selama 10 menit dan kemudian diperiksa dengan pembesaran 400 kali
dengan mikroskop kontras. Setidaknya 200 sperma motil dihitung, dikelompokkan menjadi 2,
yang dengan dempet imunobead (immunobead attached) dan tanpa dempet imunobead.
Lokalisasi band bead juga diperiksa (misalnya kepala, midpiece, ekor an ujung ekor). 16,18
Peersentase sperma yang motil dengan GAM imunobead dihitung. Tes dikatakan positif bila
20% sperma motil mempunyai bead attache dan secara klinik bermakna bila 50% dilapisi bead.
Keuntungan tes ini adalah bersifat semikuantitaf, mampu mendeteksi isotif dan lokasi fisik ASA,
baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitas.
Sedangkan kerugiannya yaitu membutuhkan staf yang trampil, mahal, memerlukan waktu yang
banyak, dan sulit dalam interpretasi. Beberapa metode lain yang dikembangkan dari metode ini
yaitu modifikasi metode imunobead (modified immunobead method), dan mixed immunobead
screen.
d. Mixed antiglobulin reaction (MAR) test
Eritrosit golongan darah O dengan Rh-positif dilapisi oleh IgG atau IgA, dicampur dengan
sperma viabel yang dicuci ataupun tidak dicuci. Antiserum yang spesifik terhadap imunoglobulin
pada eritrosit ditambahkan, dan akan terjadi aglutinasi sperma eritrosit bila ada antibodi
antisperma. Aglutinasi ini dapat dinilai secara semikuantitatif dengan menggunakan mikroskop.
e. Elisa (enzym linked immunosorbent assay)
Antibodi spesifik dapat diikat oleh suatu enzim. Komplek antibodi-enzim imunoglobulin adpat
dideteksi dengan menambahkan subsrat enzim spesifik, yang biasanya menghasilkan perubahan
warna. Keuntungan metode ini adalah spesifik dan kuantitatif.
f. Tray aglutination test (TAT)
TAT dignakan untuk mendeteksi adanya antibodi anti sperma dalam serum atau semen pasien.
Cairan yang akan diperiksa dilarutkan secara serial setelah dilakukan pemanasan untuk
menginaktivasi komplemen. Kemudian ditambahkan sperma motil yang dicuci dari donor yang
sehat kedalam contoh cairaan. Persentase aglutinasi sperma dihitung dengan bantuan mikroskop
cahaya.

g. Gelatin aglutination test

Pada test ini spermatozoa motil dicampur dengan medium gelatin dan sperma atau cairan
ditambahkan kedalam campuran tersebut secara serial. Aglutinasi dapat dilihat secara
mikroskopik. Tes ini digunakan secara luas pada suami pasangan infertil, sedangkan penggunaan
paad isteri kurang memberikan hasil yang baik. Walaupun tidak dianjurkan lagi aktivitas
aglutinasi gelatin terletaak pada IgG, IgA daan IgM. Metode ini membutuhkan kontrol dan
interpretasi yang teliti.
h. Teknik immunofluresens
Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan dengan cara membuat
apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara. Sediaan kemudian ditetesi serum yang diperiksa
(atau cairan serviks atau plasma semen) dan dilakukan pemeriksaan imunofluresens terhadap
imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara semen dan cairan saluran reproduksi dan sel-sel
sperma dapat dilihat dan dilokalisasi secara makroskopik dan penampakannya berhubungan
dengan anatomi spermatozoa.
Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali didapatkan dan hasil yang
dianggap positif bila diadpatkan pada pengenceran lebih dari 1/16. Beberapa bagian sperma
seperti kutub, leher dan bagian tengah adalah tempet yang menimbulkan warna nonspesifik.
Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada teknik imunofluoresens hanya terhadap antigen
diakrosom dan ekor. Pewarnaan akrosom terjadi karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan
pewarnaan pada ekor utama hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada
ujung ekor disebabkan oleh adanya antibodi IgM.
i. Flow cytometry
Sampel plasma semen sebanyak 50 L dicampur dengan 40 L PBS ditambah 5% albumin serum
goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma yang disiapkan dengan metode renang atas dari donor
dengan antibodi anti sperma (-) mengandung 125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap
sampel. Kontrol menggunakan sampel yang diketahui positif atau negatif terhadap ASA. Setelah
inkubasi paada suhu 37 C daalam inkubator yang mengandung CO2 5% selama 1 jam, sperma
dicuci sebanyak 2 kali untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Satu mililiter PBS
ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur. Tabung kemudian disentrifus selama 5
menit pada 500 ppm dan supernatan dipisahkan. Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS
dan kemudian dicuci ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 L larutan
fluoresens isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin IgA, IgG, IgM dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 4 C dan terhindar dari sinar. Antibodi yang tidak terikat

dihilangkan dengan mencuci menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma dianalisis dengan
flow cytometry. Sebanyak 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel menggunakan histogram.
Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif dan bila
20% dikatakan positif.
Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma, beberapa petunjuk
untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan kemungkinan adanya faktor
imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat suatu pedoman meliputi :
1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap adanya antibodi
suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan lendir serviks.
2. Tes kontak sperma lendir serviks untuk melihat faktor imunologis lokal. Dengan uji
silang menggunakan sperma atau lendir serviks donor dapat ditentukan apakah aktivitas
antibodi berasal dari isteri atau suami.
3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami, khususnya plasma semen,
tapi memerlukan interpretasi yang teliti.
4. Antibodi lokal (SIgA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan plasma semen
dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma serum.
5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.
6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan merupakan tes rutin,
tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat reaksi antigen-antibodi dalam suatu
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.diskes.baliprov.go.id/id/INFEKSI-MENULAR-SEKSUAL--IMS--DANINFEKSI-SALURAN-REPRODUKSI--ISR-2
2. Amiruddin (2007), Pendekatan Mutu dan Kepuasan Pelanggan dalam
Pelayanan Kesehatan

3. http://doktersehat.com/waspadai-adanya-darah-pada-cairan-sperma/
4. Anonim. Analisis Kimia Sperma dan Imunologi Sperma

5. Hepler OE. 1956. Manual of Clinical Laboratory Methods, 4 ed. Inggris:


SprinfieldIllinois USA: Charles C Thomas Publisher.
6. Gandasoebrata R. 1970. Penuntun Laboratorium Klinic, cetakan k-4. Jakarta:Penerbit
Dian Rakyat.

TUGAS KELOMPOK
MATAKULIAH KIMIA KLINIK
ANALISIS CAIRAN SEMEN

OLEH KELOMPOK 4
N111 12 282 : Muh. Ihwan Syam
N111 12 283 : Isniaty Rusdy
N111 12 293 : Satriyani
N111 12 301 : Aslinda Arsyad

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
MAKASSAR 2015

Anda mungkin juga menyukai