Anda di halaman 1dari 46

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELLITUS DAN ULKUS PEDIS


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul

Did
Disusun oleh:
Renata Nurul Setyawati
20090310094

Diajukan kepada:
dr. Warih Tjahjono, Sp, PD

Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Rumah Sakit Panembahan Senopati
2014

HALAMAN PENGESAHAN
DIABETES MELLITUS DAN ULKUS PEDIS

Disusun oleh:
Renata Nurul Setyawati
20090310094

Disetujui dan disyahkan pada tanggal:


6 Mei 2014

Mengetahui
Dosen Pembimbing

dr. Warih Tjahjono, Sp, PD

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................15
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................44
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................47

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit


kencing manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya
gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu
memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh.
Insulin adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh pankreas yang
bertanggung jawab untuk mengontrol jumlah/kadar gula dalam darah dan insulin
dibutuhkan untuk merubah (memproses) karbohidrat, lemak, dan protein menjadi
energi yang diperlukan tubuh manusia.
Prevalensi diabetes pada kelompok usia 45-54 tahun untuk daerah
perkotaan di Indonesia menduduki peringkat ke-2 yaitu 14,7%. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan penyandang diabetes di Indonesia pada tahun 2030
akan mencapai 21,3 juta jiwa. Hal ini akan menjadikan Indonesia menduduki
peringkat ke-4 dalam hal jumlah penderita diabetes setelah Amerika Serikat, Cina,
dan India.
Berdasarkan patofisiologinya, DM dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe
utama. Diabetes tipe I disebabkan oleh destruksi autoimun sel pankreas yang
berfungsi untuk memproduksi insulin. Diabetes tipe II disebabkan oleh resistensi
sel terhadap insulin. Pada diabetes tipe ini, pasien tetap dapat memproduksi
insulin, meskipun produksinya akan berangsur berkurang. DM tipe 1 ditemukan
pada 5% sampai 10% pasien dengan diabetes dan prevalensinya pada orang yang
berusia kurang dari 20 tahun adalah sekitar 1 dalam 400. DM tipe 2 dijumpai pada
90% sampai 95% dari semua pasien dengan diabetes.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian
lain menyatakan bahwa dengan adanya urbaniasi, populasi DM tipe 2 akan meningkat
5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban.

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama

: Ny . K

No. RM

: 529017

Umur

: 70 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Menikah

Alamat

: Kemusuk Lor RT6 Argomulyo Sedayu Bantul

Tanggal Masuk

: 16 April 2014

ANAMNESA
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas (+), menggigil (+)
sejak 12 jam SMRS. Os tidak mengeluhkan adanya pusing (-), mual (-),
muntah (-), sesak (-). Terdapat luka di ibu jari kaki kananya yang tidak
sembuh-sembuh. Luka terasa nyeri (+), bengkak (+) dan berwarna kemerahan
hingga ke tungkai kaki. Os mengatakan sering membersihkan sendiri lukanya
dengan menggunakan betadine dan rivanol. BAK sedikit, nyeri (-), panas (-).
BAB tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Diabetes mellitus (+) sejak 2007

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat peyakit jantung (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: tampak lemas
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
Nadi
: 104 x/menit
Respirasi
: 28 x/menit
Suhu
: 37 C
Kepala & Leher
Conjungtiva Anemis : +/+ Sclera Ikterik: -/Trakea lurus di tengah
Tidak ada pembesaran KGB
Dada
Pulmo:
Inspeksi
Palpasi

: Simetris (+), retraksi otot-otot costa(-)


: Ketinggalan gerak (-)

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), Ronchi basah basal (-/-), wheezing (-/-)

Cor

: S1, S2 tunggal, reguler, bising (-)

Abdomen :
Inspeksi

: Supel (+) , ditensi (-)

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal

Perkusi

: Timpani (+)

Palpasi

: Nyeri tekan(-) , Pembesaran hepar (-), Pembesaran lien (-)

Ekstremitas :
akral hangat, pada kaki kanan terdapat ulkus pada ibu jari. Terasa nyeri
(+),berbau (+), tungkai hiperemis (+), edema (+).
Assesment
Diabetes Mellitus dengan ulkus pedis dekstra
Hiperkalemia
Renal failure et causa Nefropati DM

Deep Vein Trombosis


Terapi :
Inf. NaCl 15 tpm
Furosemide 1A/24 jam
Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
Metoclorpramide 1A/8jam
Lanzoprazol 2x1
Metronidazole 3x250mg
Kalitake 1x1
Rapid insulin 3x6 unit
Planning :
Rawat luka
GDS tiap pagi dan sore
PEMERIKSAAN PENUNJANG
(16 April 2014)
HEMATOLOGI
Hb

: 7.3

[14.0-18.0] g/dl

AL

: 19.10

[4.00-10.00] 10^3/ul

AE

: 2.83

[4.50-5.50] 10^6/ul

AT

: 326

[150-450] 10^3/ul

HMT

: 21.6

[42.0-52.0] vol%

Eosinofil
:0
Basofil
:0
Batang
:0
Segmen
: 93
Limfosit
:2
Monosit
:5
FUNGSI GINJAL
Ureum darah : 176
Kreatin darah : 6.16
FUNGSI HATI
SGOT
: 13
SGPT
: 26
DIABETES

[2-4] %
[0-1] %
[2-5] %
[51 - 67] %
[20 - 35] %
[4 - 8] %

GDS

[<200] mg/dl

: 511

[17-43] mg/dl
[0,9-1,3] mg/dl
[<37] U/l
[<41] U/l

LEMAK
7

Kolestrol total : 141


LDL
: 99
HDL
: 16
Trigliserid
: 131
ELEKTROLIT
Natrium
: 128.7
Kalium
: 7.12
Clorida
: 96.8

[150-200] mg/dl
[<115] mg/dl
[>39] mg/dl
[60-150] mg/dl
[137.0-145.0] mmol/l
[3.50-5.10] mmol/l
[98.0-107.0] mmol/l

17 April 2014
D dimer

: 3.5

[<.3] mg/L

Ureum

: 206

[17-43] mg/dl

Kreatinin

: 8.42

[0.60-1.10] mmol/l

Natrium

: 134.1

[137.0-145.0] mmol/l

Kalium

: 5.84

[3.50-5.30] mmol/l

Klorida

:106.2

[98.0-107.0] mmol/l

PTT

: 16.1

[12.0-16.0] detik

APTT

: 28.4

[28.0-38.0] detik

Control PTT :14.0

[11.0-16.0] detik

Control APTT : 33.2

[28.0-36.5] detik

21 April 2014

23 April 2014
Ureum

: 209

[17-43] mg/dl

Kreatinin

: 8.73

[0.60-1.10] mmol/l

HBsAg

: Negatif

[Negatif]

Anti HCV

: Non reaktif [Non Reaktif]

HIV screening : Non Reaktif [Non Reaktif]

Rontgen Thorax PA Dewasa (16 April 2014) :


Pulmo dan besar cor normal
Rontgen Pedis Dextra (23 April 2014):
-

Amputated digiti I
Tak tampak osteomyelitis

USG Upper dan Lower Abdomen ( 23 April 2013):


-

Echostruktur hepar dan Vesica Fellea normal


Pancreas : Echostruktur, densitas dan ukuran normal
Ren dex & sin : echostruktur normal, calices tak melebar, tak

tampak batu
Lien : echostruktur dan ukuran normal

Kesan : tak tampak kelainan pada organ-organ tersebut diatas.

FOLLOW UP
Tanggal
17 April 2014

Follow Up
Os mengeluh luka terasa nyeri, kaki terasa

Terapi
Inf. NaCl 15 tpm

ngedibel/tebal-tebal. Menggigil (-), lemas (-),

Furosemide 1A/24 jam

GDS :147

pusing (-), mual (-), muntah (-). BAK tidak

Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam

GDS :374

ada keluhan. BAB tidak ada keluhan

Metoclorpramide 1A/8jam

KU : sedang, CM
TD : 130/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 21 kali/menit

Lanzoprazol 2x1

Suhu : 36,40C

Rapid insulin 3x6 unit

D dimer: 3.5

Metronidazole 3x250mg
Kalitake 1x1

PL : rawat luka, GDS/12


jam
19 April 2014

Os masih mengeluhkan kakinya terasa nyeri

Inf. NaCl 15 tpm


9

GDS : 77

senut-senut.

Semalam

tidak

bisa

tidur.

Furosemide 1A/24 jam

GDS :171

Keluhan lain disangkal. BAK dan BAB tidak

Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam

ada keluhan

Metoclorpramide 1A/8jam

KU : sedang, CM
TD : 140/70 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
Respirasi : 22 kali/menit

Lanzoprazol 2x1
Kalitake 1x1

Suhu : 36,80C

Rapid insulin 3x6 unit

Metronidazole 3x250 mg

+ Simact 2 2x1/2
PL : rawat luka, PTT,
21 April 2014

APTT, GDS/12 jam


Os masih mengeluhkan kaki terasa nyeri. Inf. NaCl 15 tpm

GDS : 73

Keluhan lain disangkal. Nafsu makan baik.

Furosemide 1A/24 jam

GDS :206

BAK dan BAB normal.

Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam

PTT : 16.1

(STOP)

Control PTT:

KU : sedang, CM
TD : 120/60 mmHg
Nadi : 90 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit

14.0

Suhu : 36,30C

Metronidazole 3x250 mg

APTT : 28.4

Metoclorpramide 1A/8jam
Lanzoprazol 2x1

Control APTT:

Kalitake 1x1

33.2

Rapid insulin 3x6 unit


(TUNDA)

Ureum : 206

Simact 2 2x1/2

Kreatinin: 8.42

+ Inj. Ceftazidime 1gr/12


jam

Natrium: 134.1
Kalium : 5.84

PL : rawat luka + rendam

Klorida:106.2

larutan PK + cutisob
sorbact, GDS/12 jam, cek
ureum kreatinin dan

22 April 2014
GDS : 286

elektrolit.
Os mengatakan kakinya terasa nyeri. Keluhan Inf. NaCl 15 tpm
lain disangkal. BAK on DC, urine setelah 2

Furosemide 1A/24 jam

10

GDS : 204

jam dikosongkan 100cc. BAB tidak ada

Inj. Ceftazidime 1gr/12

keluhan.

jam

KU : sedang, CM
TD : 120/60 mmHg
Nadi : 90 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit

Metoclorpramide 1A/8jam

Suhu : 36,30C

Kalitake 1x1 (STOP)

Lanzoprazol 2x1
Metronidazole 3x250mg
Simact 2 2x1/2 (STOP)
+ Rapid insulin 3x6 unit
+ Alpentin 1x300mg
PL : rawat luka + rendam
larutan PK + cutisob

23 April 2014

Os

mengeluh

muntah

3x

semalam.

sorbact, GDS/12 jam


Inf. NaCl 15 tpm

Memuntahkan apa yang dimakan. Os juga

Furosemide 1A/24 jam

GDS : 216

mengeluh mual dan badan terasa lemas. Rasa

Inj. Ceftazidime 1gr/12

GDS : 225

sakit di kaki berkurang.

jam

KU : sedang, CM
TD : 120/70 mmHg
Ureum : 209
Nadi : 72 kali/menit
Kreatinin: 8.73 Respirasi : 18 kali/menit
Suhu : 36,30C
HBsAg:
Negatif
Anti HCV:
Non reaktif

Lanzoprazol 2x1
Metronidazole

3x250mg

(STOP)
Rapid insulin 3x6 unit

Rontgen Pedis Dextra (23 April 2014):


-

Amputated digiti I
Tak tampak osteomyelitis

HIV screening:
Non Reaktif

Metoclorpramide 1A/8jam

Alpentin 1x300mg
+ Mucogard syr 3x C I
PL : rawat luka + rendam

USG Upper dan Lower Abdomen ( 23


April 2013):

larutan PK + cutisob
sorbact, GDS/12 jam,

Echostruktur hepar dan Vesica Fellea

normal
anti HCV, HIV Screening,
Pancreas : Echostruktur, densitas dan
Rontgen Pedis
ukuran normal

ureum kreatinin, HbSAg,

11

Ren dex & sin : echostruktur normal,

calices tak melebar, tak tampak batu


Lien : echostruktur dan ukuran normal

Kesan : tak tampak kelainan pada organ-organ


tersebut diatas.
24 April 2014

Os mengatakan sudah tidak muntah. Mual

Inf. NaCl 15 tpm

GDS : 427

berkurang. Masih terasa sakit pada kaki.

Furosemide 1A/24 jam

GDS : 312

Keluhan lain disangkal. BAK banyak. BAB

Inj. Ceftazidime 1gr/12

tidak ada keluhan.

jam

KU : sedang, CM
TD : 130/70 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit

Metoclorpramide 1A/8jam

Suhu : 36,20C

(dinaikkan menjadi 3x10

Lanzoprazol 2x1
Rapid insulin 3x6 unit
unit)
Alpentin 1x300mg
Mucogard syr 3x C I
+ Diet DM 1500kal
PL : rawat luka + rendam
larutan PK + cutisob
sorbact, GDS/12 jam,

Os mengeluh masih merasa nyeri pada

besok cek ureum kreatinin.


Inf. NaCl 15 tpm

GDS : 391

kakinya. Os merasa badannya bergerak-gerak

Furosemide 1A/24 jam

GDS : 297

seperti kejang. Keluhan lain disangkal. BAB

Inj. Ceftazidime 1gr/12

dan BAK normal.

jam

25 April 2014

Ureum : 196

KU : sedang, CM
TD : 130/70 mmHg
Kreatinin: 7.19
Nadi : 84 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit
Suhu : 36,20C

Metoclorpramide 1A/8jam
Lanzoprazol 2x1
Rapid insulin 3x10 unit
(dinaikkan menjadi 3x16
unit)
12

Alpentin 1x300mg
Mucogard syr 3x C I
Diet DM 1500kal
+ Aptor 1x100mg
PL : rawat luka + rendam
larutan PK + cutisob
26 April 2014
GDS : 340

Os masih mengeluh kakinya terasa nyeri.

sorbact, GDS/12 jam


Inf. NaCl 15 tpm

Keluhan lain disangkal. BAK dan BAB

Furosemide 1A/24 jam

normal, tidak ada keluhan.

Inj. Ceftazidime 1gr/12

KU : sedang, CM
TD : 110/60 mmHg
Nadi :92 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit

jam

Suhu : 36,30C

Rapid insulin 3x16 unit

Metoclorpramide 1A/8jam
Lanzoprazol 2x1
(dinaikkan menjadi 3x18
unit)
Alpentin 1x300mg
Mucogard syr 3x C I
Diet DM 1500kal
Aptor 1x100mg
PL : rawat luka + rendam
larutan

PK

cutisob

sorbact, GDS/12 jam

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes mellitus
merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO, dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor
dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf dan pembuluh darah (PERKENI, 2006).
KLASIFIKASI
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI adalah yang sesuai dengan
sebagai berikut anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA)
2007. Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi diabetes mellitus
Jenis
Tipe 1

Etiologi
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
14

Tipe 2

Autoimun
Idiopatik
Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi
insulin relatif hingga defek sekresi insulin yang dibarengi
resistensi insulin.

Tipe lain

Diabetes
Mellitus
Gestasional

Defek genetik fungsi sel

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi (jarang)

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM


Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan
pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah terminasi
kehamilan.

DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)


Diabetes jenis ini terjadi akibat kerusakan sel pakreas. Dahulu, DM tipe
1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentanketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi
sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan
lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi insulin
mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali).
Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan
melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan
mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).
Gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat
progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma.

15

Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah.
Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140
mg/dL (Arisman, 2011).

DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)


DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan
diabetes resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25%
diabetes, pada kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak
memerlukan insulin sepanjang usia). DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang
mewakili kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat
tinggi (35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup
tradisional menjadi modern (Arisman, 2011).
DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau
lebih tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita
memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini
dikelompokkan menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.
Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan
bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun
atau di atas 40 tahun (Arisman, 2011).
Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang
bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas
gejala berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat.
Namun, ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress
atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin
bekerja tidak efektif (Arisman, 2011).
Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada
kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman,
2011).
Perbedaan DM tipe 1 dan 2 dapat digambarkan didalam tabel 2 di bawah ini:

16

Tabel 2. Perbedaan DM tipe 1 dan 2


Onset

DM tipe 1
Anak/dewasa muda

DM tipe 2
Biasanya setelah

Proporsi

(<25 tahun)
<10% dari semua

pertengahan
>80% dari semua

Riwayat keluarga
Gejala
Ketoasidosis
Kegunaan insulin

penyandang DM
Tidak lazim
Akut/subakut
Sering sekali
Penyelamat nyawa

penyandang DM
Sangat lazim
Lambat
Jarang
Kadang-kadang

usia

diperlukan sebagai
Penyebab

Kegunaan diet

tidak

pengawasan gula darah


mampu Produksi insulin masih

membuat insulin

ada, tetapi sel target tidak

Pankreas

Mengawasi

gula

peka
darah Mengawasi gula darah dan

(makan/jajan harus diatur mengurangi berat badan


seputar pemberian insulin untuk mengurangi faktor
agar
Kegunaan latihan fisik

tidak

terjadi resiko

hipoglikemia)
Merangsang sirkulasi dan Membuat tubuh menjadi
membantu tubuh dalam lebih
penggunaan insulin

peka

insulinnya

terhadap
sendiri,

disamping menggunakan
energi untuk mengurangi
berat badan
DM tipe lain
Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain.
Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel
, seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal
yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali,
feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi
insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan
17

glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada
reseptor insulin; dan (e) sindrom genetic (Arisman, 2011).
Diabetes Mellitus kehamilan (DMK)
Diabetes mellitus kehamilan didefenisikan sebagai setiap intoleransi glukosa yang
timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat
intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap
selepas melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester
kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil
(sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap
DM, kemudian hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman, 2011).
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko diabetes melitus adalah :
a. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita
Diabetes Mellitus.
d. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes.

18

e. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah >45 tahun.
f. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000 gram.
PATOFISIOLOGI
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
tertentu, dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c. Desensitas/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan
perifer.
Apabila didalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat mengakibatkan:
a. Menurunnya transport glukosa melalui membrane sel sel kekurangan
makanan meningatkan metabolisme lemak penderita DM merasa lapar
atau nafsu makan meningkat polyphagia.
b. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan otot
terganggu.
c. Meninkatnya pembentukan glikolisis dan gluconeogenesis, karena proses ini
disertai

nafsu

makan

meningkat/polyphagia

mengakibatkan

terjadi

hiperglikemia. Kadar gula darah tinggi ginjal tidak mampu mengabsorbsi


dan glukosa keluar bersama urin (glukosuria) penderita sering berkemih
(polyuria) dan selalu merasa haus (polydipsia).

Diabetes Mellitus Tipe 1 ( Insulin Dependent Diabetes Mellitus )


Terjadi akibat destruksi autoimun sel yang menyebabkan kerusakan sel
. Keparahan dari DM tipe 1 ini umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja

19

yang membutuhkan insulin. Jika insulin tersebut tidak ada, maka dapat
mengakibatkan ketosidosis akut dan koma. Namun, penyakit autoimun ini juga
dapat terjadi pada dewasa dengan tingkat keparahan ringan yang disebut LADA
( Latent autoimmune of Diabetes in Adults).
Ada tiga mekanisme yeng menyebabkan destruksi sel islet. Yaitu :
1

2
3

Kerentanan Genetik
Ini berhubungan dengan alel spesifik MHC kelas II dan lokus genetic lain
yang rentan terhadap autoimunitas pada sel islet
Autoimunitas
Umumnya terjadi secara spontan
Lingkungan
Faktor lingkungan menyebabkan sel menjadi imunogenik

Kerentanan Genetik
Faktor genetik dan lingkungan berperan terhadap penyakit DM tipe
1. Ada keterkaitan antara kromosom 6p21, gen MHC kelas II nya ( HLADP,DQ,-DR). Gen-gen ini menentukan kerentanan dan resistensi terhadap
Diabetes tipe 1. HLA-DQA1 dan HLA-DQB1 menunnjukkan kerentanan
terhadap Diabbetes tipe 1 sedangkan HLA-DR2 menunjukkan proteksi
terhadap Diabetes tipe 1. Perlu diketahui bahwa proteksi lebih besar
daripada kerentanan terhadap diabetes tipe 1.
Reseptor sel T di limfosit T CD4+ hanya akan mengenali antigen
apabila fragmen peptide antigen berikatan dengan MHC II. Jika MHC II
mengalami variasi genetic, maka akan terjadi penyajian antigen sendiri
sehingga merangsang sel T CD4+ autoreaktif. MHC II ini memiliki
responsivitas imun terhadap autoantigen sel pancreas.

Autoimunitas
DM tipe 1 merupakan serangan autoimun kronis yang terjadi
selama bertahun-tahun terhadap sel sebeum menunjukkan gejala klinis
berupa hiperglikemia dan ketosis.
Ada beberapa hal yang ditemukan pada penderita DM tipe 1, yaitu:

20

Infiltrat

peradangan

penuh

dengan

limfosit

pada

awal

perkembangan penyakit. Limfosit ini terutama limfosit T CD4+ dan

CD8+, serta makrofag


Adanya kerusakan sel islet namun tidak terjadi kerusakan pada sel

lain.
Adanya autoantibody yang menyerang antigen intrasel seperti asam
glutamatdekarboksilase (GAD), insulin dan protein sitoplasma.
Namun hal ini belum tentu menimbulkan cedera pada sel .

Autoantibodi ini terjadi karena kerusakan yang diperantarai sel T.


DM tipe 1 biasanya diikuti oleh penyakit autoimun lainnya seperti
tiroiditis hashimoto, penyakit Graves dan lain-lain. Karena
penyakit ini umumnya terjadi karena autoimunitas pada tiroid yang

tinggi maka perlu diperiksa fungsi tiroid pada penderita DM 1.


Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat berupa virus akan mempengaruhi
genetic untuk menimbulkan autoimunitas yang menyebabkan sel rusak.
Virus ini yaitu coxsackievirus B, parotitis, campak, rubella, mononucleosis
infeksiosa.
Virus ini memiliki sekuensi asam amino yang mirip dengan suatu
protein sel . Virus ini memperkuat sel T autoreaktif yang sudah ada.
Padas el islet, virus ini akan memicu peradangan local yang akan
menyebabkan dilepaskannya sitokin sehingga memperbanyak atau
memperkuat sel T autoreaktif ( bystander effect). Virus ini tidak memicu
penyakit, namun memodulasinya berbulan-bulan dan bertahun-tahun
sebelum muncul diabetes secara klinis. Virus ini membantu erosi
imunologis sel pada orang yang genetiknya terutama antigen MHC II
untuk memicu autoimunitas.
Diabetes Melitus Tipe 2 (Non-insuline Dependent Diabetic Mellitus)
Diabetes melitus tipe 2 atau Non-insuline Dependent Diabetic Mellitus
(NIDDM) merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter
utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas,
faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya

21

DM tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor


lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas dan
tingginya kadar asam lemak bebas.
Patofisiologi DM tipe 2 terdiri atas 3 mekanisme, yaitu:
1. Resistensi insulin pada jaringan perifer.
2. Defek sekresi insulin.
3. Gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.
Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan
kemampuan hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringanjaringan target perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok
pada DM tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif.
Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar
insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan DM tipe 2, terjadi
penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30
60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin
menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringanjaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua
efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes.
Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan
FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa. Pada otot terjadi
gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan
glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui
glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap
insulin tidak menurun pada DM tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui.
Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot
menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan
defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai
peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik

22

dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan


intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post
reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi
insulin.
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada
defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya
reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran
plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak
dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat
dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi. Ada teori lain
mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita DM tipe 2. Teori ini
mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi
insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg
mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang
produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.
Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya DM tipe 2.
Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin
tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai
kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat.
Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang
menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta
pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel
dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat
peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah
pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul
berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada DM tipe II sangat
menurun, sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke
sistem transpor glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.

23

Kelainan yang khas pada DM tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta


meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian
glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan
dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada DM tipe 2
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah
terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi
hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan
keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga
berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan
dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu,
defek yang juga terjadi pada DM tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu
dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15
menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk
meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncakpuncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2
yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.
Produksi Glukosa Hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin.
Pada keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan
glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM tipe 2
terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar
glukosa darah puasa. Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan
kadar insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan
lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil
yang demikian, penderita DM tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal
yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin
pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan

24

meningkatnya gluconeogenesis akibat peningkatan asam lemak bebas dan


hormon anti insulin seperti glukagon.
DIAGNOSIS
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain:
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Tabel 3. Kadar glukosa darah sebagai patokan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Kadar glukosa darah Plasma vena
seaktu (mg/dl)
Darah kapiler

<100

Belum pasti
DM
100-199

DM

<90

90-199

200

Kadar glukosa darah Plasma vena


puasa (mg/dl)
Darah kapiler

<100
<90

100-125
90-99

126
100

200

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa DM adalah:


a. Didahului dengan adanya keluhan-keluhan khas yang dirasakan dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan glukosa darah.
b. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil : pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis),
pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dl (patokan diagnosis DM).

25

Tabel 4. Kriteria diagnosis DM


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
TTGO dilakukan sesuai standard WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Untuk kelompok tanpa keluhan DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa
DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan 200 mg/dl
(PERKENI, 2006).

26

Gambar 1. Bagan langkah-langkah diagnostik DM

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
pengelolaan

yang

Diabetes

baik.

Tujuan

Melitus

dapat

penatalaksanaan

dilakukan
secara

dengan
umum

cara
adalah

meningkatkan kualitas hidup penderita Diabetes.


Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes
melitus, yang meliputi : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.

27

Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,


berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku
yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi.
Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut:

Karbohidrat : 45 65% total asupan energi

Protein : 10 20% total asupan energi


Lemak : 20 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi
status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan
kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan

28

non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik
maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti :
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.
Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat
Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan:
1.
2.
3.
4.
5.

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
DPP-IV inhibitor

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai

29

keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan

meningkatkan

jumlah

protein

pengangkut

glukosa,

sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada


pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Metformin
Obat

ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.


Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin


> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.

Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

30

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai

obat

yang

masuk

golongan

DPP-4

inhibitor, mampu

menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.
Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat


Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

31

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)


Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan


Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

Insulin kerja pendek (short acting insulin)


Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan

32

berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
KOMPLIKASI
Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain (Boedisantoso R, 2007):
a. Hipoglikemia

33

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan


penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari
gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan
gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia
oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida.
Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang
ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan
lain-lain.
b. Ketoasidosis Diabetik
ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut
dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias
hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman
kematian pada pasien DM.
c. Hiperglikemia Non Ketotik
Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis.
Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus
yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan
sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada
endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel
yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah,
saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula
di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang,
terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan
beberapa komplikasi antara lain (Waspadji, 2006) :
a. Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan
terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan
34

kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan


meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang
selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang
menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan.
b. Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular
dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan
terjadinya

penebalan

membran

basal

yang

akan

menyebabkan

berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya


yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan
timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dna kemudian berkembang
menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi
laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.
c. Neuropati
Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya
sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan
lebih terasa sakit dimalam hari.
d. Penyakit jantung koroner
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat
aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi
penyakit jantung koroner.
e. Penyakit pembuluh darah kapiler
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki
diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada
penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah
di kaki.
ULKUS DIABETIKUM
DEFINISI

35

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat (Robert, 2002).
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati,
yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan
dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob
(Misnadiarly, 2006).
KLASIFIKASI
Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus menurut Wagner
terdiri dari 6 tingkatan :
0
1
2
3
4

Tidak ada luka terbuka, kulit utuh


Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit
Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses
Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu

jari kaki, bagian depan kaki atau tumit


Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki

TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu :

Sering kesemutan.
Nyeri kaki saat istirahat.
Sensasi rasa berkurang.
Kerusakan Jaringan (nekrosis).
Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.
Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kulit kering.

DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus diabetika meliputi :
a. Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus
pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa

36

berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun
atau hilang.
b. Pemeriksaan Penunjang : X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan
kuman penyebabnya.
PATOGENESIS
Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang Diabetes mellitus
adalah ulkus diabetika. Ulkus diabetika disebabkan adanya tiga faktor yang sering
disebut Trias yaitu : Iskemik, Neuropati, dan Infeksi.
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan
terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot,
atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila tidak hati-hati
dapat terjadi trauma yang akan menjadi ulkus diabetika.
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena
kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini
disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga
sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut
nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul
ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak
nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan
yang akan berkembang menjadi ulkus diabetika.
Proses angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama

37

kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang
kemudian timbul ulkus diabetika.
Pada penderita DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan
tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar
dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan
yang mengakibatkan ulkus diabetika.
Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan
HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di
jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu
sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus diabetika.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit
menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita Diabetes mellitus
biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya
sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera
jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya
aterosklerosis. Perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh darah, akan terjadi
penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL (highdensitylipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain
yaitu hipertensi akan

meningkatkan

kerentanan

terhadap aterosklerosis.

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki


menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai.
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang
terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila
ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phlagositosis-

38

bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus diabetika, 50 % akan mengalami


infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi, yang merupakan media
pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika
yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus serta kuman anaerob yaitu
Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan Clostridium septikum.
FAKTOR RESIKO
Faktor risiko terjadi ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus menurut
terdiri atas :
Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah :

Umur 60 tahun.
Lama DM 10 tahun.

Faktor-Faktor Risiko yang dapat diubah :


(termasuk kebiasaan dan gaya hidup)

Neuropati (sensorik, motorik, perifer).


Obesitas.
Hipertensi.
Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
Kadar glukosa darah tidak terkontrol.
Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang disebabkan :
o Kolesterol Total tidak terkontrol.
o Kolesterol HDL tidak terkontrol.
o Trigliserida tidak terkontrol.
Kebiasaan merokok.
Ketidakpatuhan Diet DM.
Kurangnya aktivitas Fisik.
Pengobatan tidak teratur.
Perawatan kaki tidak teratur.
Penggunaan alas kaki tidak tepat.

PENCEGAHAN DAN PENGELOLAAN


Penegelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer
sebelum terjadinya perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi

39

kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren


diabetik yang sudah terjadi).
Pencegahan primer
Peyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan
kaki diabetes. Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar resiko
terjadinya dan resiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki
diabetes berdasar resiko terjadinya masalah (Frykberg):
1.
2.
3.
4.
5.

Sensasi normal tanpa deformitas


Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
Insensitivitas tanpa deformitas
Iskemia tanpa deformitas
Kombinasi/complicated
a. Kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau deformitas
b. Riwayat adanya ulkus, deformitas Charcot

Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya ulkus,


disesusaikan dengan keadaan resiko kaki. Dengan memberikan alas kaki yang
baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik dapat dicegah.
Penyuluhan diperlukan untuk untuk semua kategori resiko tersebut : untuk kaki
yang kurang merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan
untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut.
Jika sudah terdapat deformitas (kategori resiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus
mengenai sepatu atau alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran
tekanan kaki.
Untuk kasus dengan kategori resiko 4 (permasalahan vaskuler), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara :

Metabolic control, pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin


seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, dan sebagainya. Berbagai
hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti konsentrasi
albumin serum, konsentrasi Hb, dan derajat oksigenasi jaringan. Status
nutrisi juga harus diperhatikan dan diperbaiki.
40

Vascular

control,

perbaikan

suplai

vaskular

diperlukan

untuk

mempercepat proses penyembuhan luka. Umumnya kelainan pembuluh


darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana, seperti:
warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior. Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat

dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer.


Infection control, pengobatan infeksi secara agresif, jika terlihat tanda
klinis

infeksi

(indikasi

adanya

kolonialisasi

dari

pertumbuhan

mikroorganisme pada hasil usap bukan merupakan infeksi, jika tidak

terdapat tanda klinis).


Wound control, pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrotis secara

teratur.
Pressure control, mengurangi tekanan.tekanan yang berulang dapat
menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting
dilakukan pada ulkus neuropatik, dan diperlukan pembuangan kalus dan

memakaikan sepatu yang pas yang berfungsi untuk mengurangi tekanan.


Education control, penyuluhan yang baik sangat diperlukan untuk
membantu mengurangi faktor resiko dan mempercepat kesembuhan.

Selain itu, penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan,
yaitu :
Tingkat 0 : edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan
perlengkap alas kaki yan dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara

khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi.


Tingkat 1: memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang

infeksius, perawatan lokal luka dan pengurangan beban.


Tingkat 2: memerlukan debridemen, antibiotic yang sesuai dengan hasil
kultur, perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih

berarti.
Tingkat 3: memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi
gangren, amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian

antibiotic parenteral yang sesuai dengan kultur.


Tingkat 4: pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi
sebagian atau amputasi seluruh kaki.
41

BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa DM adalah:
a. Didahului dengan adanya keluhan-keluhan khas yang dirasakan dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan glukosa darah.
b. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil : pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis),
pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dl (patokan diagnosis DM).
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sudah didiagnosis terkena
diabetes mellitus sejak tahun 2007. Pasien biasanya hanya kontrol ke dokter
umum biasa, diberi obat yang diminum. Tetapi pasien lupa obat jenis apa. Pasien
juga mengeluhkan terdapat luka pada jempol kaki kanannya yang sulit sembuh.
Semakin lama semakin nyeri, disertai bengkak, kemerahan dan agak berbau.
Pasien mengaku sering membersihkan sendiri lukanya dengan alkohol dan
betadine.

42

Luka yang sulit sembuh pada kaki kanan pasien merupakan salah satu
komplikasi dari diabetes mellitus yang dialaminya. Akibat kadar gula darah yang
tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang dikarenakan tidak dikelola
dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang
tidak normal. Struktur pembuluh darah, saraf dan struktur lainnya akan menjadi
rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat
penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama menuju kulit dan saraf
sehingga memperlambat penyembuhan luka.
Wagner membagi ulkus diabetikum menjadi 6 tingkatan yaitu : Tingkat 0,
Tidak ada luka terbuka, kulit utuh. Tingkat 1, Ulkus Superfisialis, terbatas pada
kulit. Tingkat 2, Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.
Tingkat 3, Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses. Tingkat
4, Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,
bagian depan kaki atau tumit. Tingkat 5 yaitu Ulkus dengan kematian jaringan
tubuh pada seluruh kaki. Dari hasil rontgen pedis dextra pasien ini didapatkan
adanya amputated digiti I. Hal ini menunjukkan bahwa ulkus pada kasus ini
termasuk tingkat 4, yaitu ulkus dengan kematian jaringan terlokalisir pada ibu jari
kaki.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dilakukan perawatan luka setiap
harinya ditambah perendaman dengan larutan kalium permanganat dan
menggunakan curtisorb sorbact. Kalium Permanganat termasuk golongan
peroksidan yang dapat melepaskan oksigen (proses oksidasi) sehingga dapat
membunuh kuman (bakterisid). Kalium permanganat berupa kristal ungu, mudah
larut dalam air. Dalam larutan encer merupakan peroksidan. Pelepasan Oksigen
terjadi bila zat ini bersentuhan dengan zat organik. Zat ini bekerja sebagai iritan,
deodoran dan astringen. Cotisorb sorbact adalah salah satu dressing yang terbuat
dari bahan asetat. Dressing luka ini sangat cocok untuk mengangkat bakteri dan
mikroorganisme lain dari luka bereksudat, luka kotor, luka terkontaminasi atau
terinfeksi.

43

BAB V
KESIMPULAN
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan
kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbaniasi, populasi DM tipe
2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku ruraltradisional menjadi urban.
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes
mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat. Prognosis penderita ulkus diabetika sangat tergantung
dari usia karena semakin tua usia penderita diabetes melitus semakin mudah untuk
mendapatkan masalah yang serius pada kaki dan tungkainya, lamanya menderita

44

diabetes melitus, adanya infeksi yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan
keterampilan dari tenaga medis atau paramedis.

DAFTAR PUSTAKA
1. ADA.2007.Clinical Practice Recommendations : Report of the Expert
Commite on theDiagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes
Care, USA.
2. Arisman, 2011. Diabetes Mellitus. Dalam: Arisman, ed. Buku Ajar Ilmu Gizi
Obesitas, Diabetes Mellitus dan Dislipidemia. Jakarta: EGC.
3. Darmono.1999.Dianosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam : Noer,
dkk, editors,Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi ketiga. Jakarta:FK UI.
4. Frykberb Robert G.2002. Risk Factor, Pathogenesis and Management of
Diabetic FootUlcers. Des Moines University, Iowa.
5. Misnadiarly.2006. Diabetes Mellitus : Ulcer,

Infeksi,

Ganggren.

Jakarta:Populer Obor.
6. Perkeni. 2002. Konsesus Pengelolaan Diabetes Millitus Tipe 2 Di Indonesia.
PB PERKENI.
7. Soegondo S.1998. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Mellitus. Jakarta:FK UI.
8. Waspadji S.2006. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit
Dalam,Jilid III, Edisi keempat.Jakarta : FK UI.
9. Yunir EM.2006. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam :
Aru W,dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta:FK
UI.
45

10. Soewondo P.2006. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta : FK UI.
11. Soegondo S. 2006. Obesitas. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta : FK UI.

46

Anda mungkin juga menyukai