Anda di halaman 1dari 10

1

Faktor Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Lingkungan


dalam Analisis Kebijakan Publik
Oleh: Widjajono Partowidagdo
Analisis kebijakan publik adalah ilmu yang menghasilkan
informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis
kebijakan publik adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan
mempunyai biaya dan manfaat sosial tertentu. Kebijakan tersebut
dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan relatif
merugikan kelompok lainnya.
Permasalahan kebijakan terdiri dari kegagalan pasar, kegagalan
pemerintah dan masalah distribusi. Permasalahan kebijakan
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terutama dipengaruhi oleh
globalisasi dan faktor internal yang terutama dipengaruhi
kemampuan manusianya. Kebijakan publik dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan, lingkungan. Untuk
membantu membuat alternatif kebijakan publik dapat digunakan
model kebijakan.
Analisis Kebijakan Publik dan Analisnya
Analisis kebijakan publik mempunyai tujuan yang bersifat
penandaan (designative) dengan pendekatan empiris
(berdasarkan fakta), bersifat penilaian dengan pendekatan
evaluatif dan bersifat anjuran dengan pendekatan normatif.
Prosedur analisis berdasarkan letak waktu dalam hubungannya
dengan tindakan dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi
dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil atau untuk
masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi dan evaluasi
digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post).
Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan
retrospektif yang biasa dilakukan oleh ahli ahli ilmu sosial dan
politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis
kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ekonomi,
sistem analisis dan operations research. Analisis kebijakan
biasanya terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan,
evaluasi, rekomendasi dan kesimpulan.
Analis kebijakan adalah seseorang yang melakukan analisis
kebijakan. Yang diperlukan oleh seorang analis :
1. Analis
harus
tahu
bagaimana
mengumpulkan,
mengorganisasikan dan mengkomunikasi informasi dalam
situasi dimana waktu dan informasi terbatas. Mereka harus
dapat membuat strategi untuk mengerti secara cepat problem
untuk analisis kebijakan tersebut dan sejumlah solusi yang
mungkin. Mereka harus dapat mengidentifikasi secara cepat,
paling tidak secara kwalitatip, biaya dan manfaat untuk
masing-masing alternatif dan mengkomunikasikan penilaian
tersebut dengan klien.
2. Analis membutuhkan perspektif (pandangan) untuk
meletakkan problem sosial yang dihadapi kedalam konteks,
memahami kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah.
3. Analis membutuhkan kemampuan teknis untuk memperkirakan
kebijakan-kebijakan apa yang diperlukan bagi masa datang
yang lebih baik dan mengevaluasi konsekwensi pilihan-pilihan
kebijakan yang lebih baik. Ekonomi (mikro dan keuangan
publik) dan statistik diperlukan untuk hal tersebut.
4. Analis harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah
yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan
yang dipilih. Dengan mengerti pandangan klien dan lawannya,
analis dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih
efektif.
5. Analis harus mempunyai etika (moral).
Terdapat tiga macam peranan analis kebijakan :
1. Analis Obyektif :
Mereka menyatakan keadaan apa adanya dalam analisisnya

dan membiarkan analisis menyatakan kebenaran. Kepentingan


politik klien adalah nomor dua. Fokusnya terutama adalah
memperkirakan akibat-akibat dari kebijakan-kebijakan
alternatip. Mereka sadar bahwa klien adalah politikus yang
seringkali tidak obyektif. Walaupun demikian klien dapat
memberikan informasi yang menyebabkan analis bisa bekerja
pada isyu-isyu yang menarik. Meskipun analis memberikan
beberapa alternatif kebijakan dan akibat-akibatnya, keputusan
terakhir pemilihan alternatip tetap berada ditangan klien. Analis
obyektif biasanya berusaha menjaga jarak dengan klien dan
lebih menyukai bekerja untuk institusi daripada bekerja untuk
pribadi. Banyak diantara analis ini yang pekerjaan tetapnya
adalah diperguruan tinggi.
2. Pembela Klien
Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang
definitif dan justru menggunakan kesamaran tersebut demi
kepentingan klien. Mereka harus loyal kepada klien (pejabat)
sebagai imbalan bagi jabatan yang diberikan kepadanya, misal
sebagai asisten, penasehat, staf ahli atau konsultan. Itulah
sebabnya banyak pejabat pemerintah atau konsultan yang
tidak bisa berkomentar sebebas analis obyektif (misal dari
perguruan tinggi) atau analis isyu (dari orsospol atau LSM)
walaupun kemampuannya sama. Biasanya mereka memilih
klien dengan system nilai yang sesuai. Seyogyanya dalam
jangka panjang mereka berusaha merubah klien supaya
menjadi lebih bermoral.
3. Pembela Isyu
Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang
defenitif dan justru menguatkan kesamaran tersebut dan
membuang hal-hal yang tidak menguntungkan jika
diperkirakan hasil analisisnya tidak mendukung pembelaan
isyu tersebut. Klien yang memberikan kesempatan untuk
pembelaan isyu tersebut, dipilih berdasarkan persamaan
kepentingan. Contoh pembela isyu adalah lembaga bantuan
hukum dan lembaga konsumen. Seyogyanya analisisnya
berguna untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Pertimbangan kebijakan seringkali lebih bersifat politis dibandingkan
bersifat obyektif sehingga bisa saja analis tidak bisa melakukan apa
yang diminta klien. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi,
diantaranya dia bisa memprotes dengan menyatakan apa yang
diminta klien tersebut tidak etis. Apabila protesnya bisa menyadarkan
klien atau karena sesuatu hal analis jadi menuruti klien maka
persoalannya selesai. Apabila tidak, analis bisa saja meminta berhenti
dari pekerjaannya atau dia tetap bekerja pada klien tetapi tidak loyal
(selingkuh) dengan membocorkan kelemahan-kelemahan kebijakan
tersebut dan kelemahan klien ke pihak lain.
Proses kebijakan terdiri dari :
1. Permasalahan : Apakah masalah kebijakannya? Apakah yang
menyebabkannya menjadi masalah publik? Bagaimana hal
tersebut dapat menjadi agenda pemerintah?
2. Formulasi : Bagaimana alternatip-alternatip yang berkaitan
dengan masalah terbentuk? Siapa yang perlu berpartisipasi
dalam formulasi kebijakan?
3. Adopsi: Bagaimana suatu alternatif kebijakan dapat diterima
atau disyahkan? Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi? Siapa
yang mensyahkan kebijakan? Proses-proses apa yang harus
dilalui? Apa isi dari kebijakan yang disyahkan tersebut?

4. Implementasi : Siapa yang terlibat? Apa yang dilakukan untuk


membuat kebijakan terlaksana? Apa dampaknya pada
pelaksanaan kebijakan?
5. Evaluasi : Bagaimana keefektifan atau dampak dari suatu
kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasinya? Apa akibat dari
evaluasi kebijakan? Apakah diperlukan perubahan atau
penyempurnaan?
Permasalahan Kebijakan
Dalam kehidupan ini setiap manusia maupun golongan mempunyai
kepentingan dan untuk memenuhinya biasanya dia membutuhkan
orang maupun golongan lain. Setiap insan merupakan produsen
barang-barang atau jasa-jasa tertentu dan merupakan konsumen
barang-barang atau jasa-jasa yang lain. Seorang guru menjadi
produsen jasa pendidikan dan merupakan konsumen makanan,
pakaian, angkutan kota dan lain-lain, karena itu kehidupan ini
merupakan pasar (transaksi) antar individu dan kelompok. Pasar yang
bebas dan adil diperlukan oleh masyarakat. Walaupun demikian,
apabila pemaksaan kepentingan individu atau golongan tidak dibatasi
sehingga merugikan yang lain atau kebebasan berpartisipasi anggota
masyarakat secara adil tidak terjadi maka akan terjadi kegagalan
pasar (market failures).
Kita mendirikan pemerintahan dengan harapan adanya keadilan
disamping dipenuhinya kebutuhan masyarakat. Keadilan adalah bukti
cinta pemerintah kepada rakyat sehingga rakyat akan mencintai
pemerintahnya dan akan berpartisipasi pada pembangunan secara
maksimal. Keadilan disini adalah dalam segala hal, baik dibidang
politik (demokrasi), bidang hukum (peradilan) bidang sosial
(pemerataan) maupun bidang ekonomi (mengatasi kegagalan pasar).
Tugas utama pemerintah adalah menerapkan keadilan,
menyelenggarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintah adalah
melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga
keamanan, menjaga persatuan dan memelihara lingkungan,
melindungi hak asasi manusia, meningkatkan kemampuan dan moral
masyarakat. Tugas pemerintah dalam perekonomian adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan
barang publik (alokasi), mengurangi inflasi dan pengangguran
(stabilisasi), dan melaksanakan keadilan sosial (distribusi).
Pemerintahan dilaksanakan oleh badan eksekutif (pelaksana),
legislatif (pengontrol) dan judikatif (keadilan) yang semuanya
bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam melaksanakan
pemerintahan diperlukan demokrasi (untuk memilih dan mengontrol
aparat pemerintahan), aparat pemerintah (birokrat), institusi
pemerintah (birokrasi) dan pembagian tugas dan wewenang
(desentralisasi).
Kegagalan pasar dapat terjadi karena ketimpangan pasar, barang
publik, pengabaian eksternalitas baik fisik maupun sosial, preferensi,
asimetri informasi, ketidakpastian, alokasi antar waktu dan biaya
penyesuaian. Ketidak sempurnaan pasar terjadi karena adanya
monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.
Walaupun tugas pemerintah adalah menegakkan keadilan tetapi
dalam pelaksanaannya pemerintahan dapat juga berbuat tidak adil,
karena kepentingan pribadi atau golongan ditempatkan diatas
kepentingan umum, maka terjadi kegagalan pemerintah (government
failures). Kegagalan pemerintah meliputi permasalahan demokrasi
yang menyangkut keadilan pelaksanaannya, permasalahan birokrat
yang meliputi nepotisme, kolusi, korupsi (KKN) dan ketidak efisienan
partisipasi mereka, permasalahan birokrasi yang menyangkut ketidak
efisienan, ketidak jelasan serta ketidaklengkapan dan ketiadaan
peraturan pemerintah dan masalah desentralisasi yang menyangkut
implementasinya serta ketidakjelasan pembagian tugas dan dana.
Kegagalan pemerintahan terutama disebabkan adanya rent seekers
(pencari rente) baik dikalangan pemerintahan maupun swasta yang
mencari keuntungan pribadi dari kebijakan atau proyek pemerintah,
karena itu diperlukan kontrol baik dari legislatif, pers, cendekiawan

(termasuk mahasiswa) maupun anggota masyarakat lainnya


(demokrasi) serta dilaksanakan hukum.
Mengkoreksi kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dapat
dilakukan dengan membebaskan, memberi fasilitas dan
menstimulasikan pasar (deregulasi, legalisasi, privatisasi),
menggunakan subsidi dan pajak, melalui peraturan hukum, memasok
komoditi melalui mekanisme bukan pasar serta, penyediaan asuransi
dan perlindungan apabila perlu. Semua hal tersebut dituangkan dalam
kebijakan pemerintah yang dapat berupa Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan sebagainya.
Globalisasi dan Pembangunan Manusia yang Berkelanjutan
Kita sudah memasuki era globalisasi yang penuh ketidakpastian.
Globalisasi telah merubah lingkungan yang tenang, mudah diramalkan
dan sederhana menjadi bergejolak, sukar diramalkan dan kompleks.
Dalam bukunya The Age of Unreason, Charles Handy mengatakan,
"We can no longer assume that what worked well once will work well
again when most assumptions can legitimately be challenged".
Contohnya adalah krisis saat ini yang sedang melanda beberapa
negara Asia yang tadinya dipuja sebagai Asia's Miracle. Untuk memiliki
masa depan yang lebih baik diperlukan kemandirian serta kerjasama
dan pemahaman antar disiplin termasuk menghormati disiplin lain.
Ketidak pastian, seperti mendaki gunung yang tinggi dalam cuaca
buruk, akan dapat diatasi apabila masing-masing pendaki mempunyai
kemandirian disamping diperlukan kerjasama yang baik antar pendaki.
Menurut Frans Mardi Hartanto untuk menghadapi globalisasi.
diperlukan perubaban-perubahan : Paradigma pembangunan dari
teknokrasi yang bertumpu pada rasionalitas kepakaran menjadi sosio
demokrasi yang menekankan partisipasi masyarakat.
1. Penggerak pembangunan dari penawaran (supply) ke
permintaan (demand).
2. Sifat pembangunan dari rasional, teknikal dan sistematik
menjadi partisipatif, psikososial dan adaptif.
3. Fokus perhatian manajemen publik dari kepada output menjadi
kepada proses.
4. Dasar dinamika manajemen publik dari digerakan oleh aturan
dan petunjuk pelaksanaan (rule driven) menjadi didorong niat
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (need driven).
5. Wawasan pembangunan berubah dari berdasarkan sektoral
menjadi berdasarkan kewilayahan.
6. Wawasan masa depan berubah dari ekstrapolasi pengalaman
masa lalu menjadi antisipasi skenario masa depan baru.
7. Sumber inisiatif manajemen publik berubah dari gagasan para
pakar dan perencana pembangunan menjadi isyu dan peluang
pembangunan.
8. Makna desentralisasi berubah dari distribusi kekuasaan dan
sumber daya menjadi mendekatkan pengambilan keputusan
ke sumber isyu.
9. Fungsi birokrasi pemerintah berubah dari pelaku utama
pembangunan menjadi fasilitator pembangunan.
10. Kompetensi inti dari hanya kompetensi teknikal yang terdiri
dari ketrampilan, kemampuan, keahlian dan pengalaman
menjadi kompetensi teknikal ditambah inovasi, wawasan,
motivasi dan hubungan insani.
11. Perencanan pembangunan dari hanya dilandasi pertimbangan
tekno-ekonomik menjadi dilandasi pertimbangan teknoekonomik dan sosio-politik.
12. Penyusunan program dari dilandasi teknikal dan operasional
menjadi dilandasi pertimbangan teknikal dan sosio-politik.
13. Penganggaran pembangunan dari sesuai mata anggaran (line
item budgeting) menjadi sesuai kegiatan program (program
budgeting).
14. Pengambilan keputusan dan deterministik berdasarkan
analisis rasional menjadi interaktif dipengaruh aspek psikososial.

Perbedaan paradigma dalam menghadapi globalisasi terletak pada


bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan pembangunan hanya pada
pertumbuhan (efisiensi) saja, faktor pemerataan (equity) tidak kalah
pentingnya. Pertumbuhan tidak menjamin adanya pemerataan, tetapi
pemerataan dan pemberdayaan akan menjamin pertumbuhan
pembangunan yang berkelanjutan. Sekali lagi, yang dibutuhkan untuk
menghadapi globalisasi disamping efisiensi adalah pemberdayaan
(kemandirian) dan partisipasi (kebersamaan) baik dalam pengambilan
keputusan, perencanaan maupun implementasi.
Konsep pembangunan yang dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi
adalah yang tidak mempertentangkan pertumbuhan dan pemerataan
atau konsep pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat yang menurut Ginandjar Kartasasmita dapat
dilihat tiga sisi :
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini, titik tolaknya
adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi
yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama
sekali tanpanya, karena kalau demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(enpowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin
berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang
kurang berdaya, Karena program-program umum yang berlaku untuk
semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam
proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah
lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi,
karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan
yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat
atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi, dewasa ini telah
banyak diterima. KTT (konperensi tingkat tinggi) Pembangunan Sosial
di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai
kesepakatan. Namun upaya mewujudkannya dalam praktek
pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Hal tersebut karena adanya
berbagai bias terhadap konsep pemberdayaan masyarakat sebagai
suatu paradigma pembangunan, sebagai berikut:
Bias pertama adalah kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional
pembangunan lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi
material lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi material
lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi
ekonomi lebih penting daripada dimensi sosialnya. Akibatnya alokasi
sumberdaya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang
demikian.
Bias kedua adalah anggapan bahwa pembangunan yang berasal dari
atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan
ditingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan
pembangunan
menjadi
kurang
efektif
karena
kurang
mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat di tingkat bawah
lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilam teknik dan
manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber
daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknik
dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia dan
mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.

Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan


dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari
masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan di
satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu
untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas
dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, kita terlalu
mengabaikan potensi teknolagi tradisional yang dengan sedikit
penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih
efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor.
Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah
berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang
efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini
membuat kita kurang memanfaatkan lembaga-lembaga masyarakat
dilapisan bawah itu dan tidak berikhtiar memperbaharui, memperkuat
serta memberdayakannya. Kita justru cenderung memperkenalkan
lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan
nilai dan norma masyarakat.
Bias keenam adalah bahwa masyarakat dilapisan bawah tidak tahu
apa yang diperlukan atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh
karena itu, mereka harus dituntun, diberi petunjuk, dan tidak perlu
dilibatkan dalam perencanaan, meskipun yang menyangkut dirinya
sendiri. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan
yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan
masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat
sebagai obyek dan bukan subyek pembangunan.
Bias ketujuh, berkaitan dengan diatas, adalah bahwa orang miskin
adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara
menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan
orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan.
Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih
sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.
Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah
diterapkan, misalnya lCOR (Incremental Capital to Output Ratio).
Diartikan bahwa investasi harus diarahkan pada hal-hal yang segera
menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan
masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan
sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya
dalam kerangka waktu (time frame) lebih panjang. Anggapan yang
demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat
teknik serta tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan
dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Bias kesembilan, adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan
pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif dan memiliki
masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk
melakukan investasi modal besar-besaran disektor itu. Berkait dengan
itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil disektor pertanian
dan pedesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko
tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan
menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun
usaha pertanian dan usaha kecil dipedesaan.
Bias kesepuluh, berkaitan dengan di atas, adalah ketidakseimbangan
dalam akses pada sumber dana. Kecenderungan menabung pada
rakyat seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat
dengan GDP (Gross Domestic Product), yang cukup tinggi acapkali
terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor
perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar dan sebagian
cukup besar diantaranya dialokasikan untuk investasi di sektor properti
yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung
terpusat di perkotaan, disektor indsutri yang justru banyak disubsidi
dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi.
Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukkan bahwa
investasi di wilayah pedesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan
sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi
kukuh.

Menurut Ginanjar Kartasasmita strategi pemberdayaan masyarakat


memerlukan hal-hal berikut :
a. Harus ada komitmen (political will) yang tegas, jelas, tidak
tergoyalkan. Upaya pemberdayaan harus dilakukan dengan
langkah nyata dan dalam skala yang memadai untuk
menggerakkan proses transformasi serta memecahkan
belenggu ketertinggalan dan kekurangberdayaan.
b. Upaya itu harus terarah (targeted). Ini yang secara populer
disebut dengan keberpihakan. Ia ditujukan langsung kepada
yang memerlukan. Dalam program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya dan sesuai dengan kebutuhannya.
c. Program itu harus mengikutsertakan atau bahkan
dilaksanakan oleh masyarakat atau kelompok yang menjadi
sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu itu
mempunyai beberapa tujuan. Pertama agar bantuan tersebut
efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali
kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam
merancang, melaksanakan, mengelola dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri sendiri dan ekonominya.
d. Karena keterbatasannya, secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit untuk mengatasi masalah-masalah yang
dihadapinya. Juga lingkup pembinaan menjadi terlalu luas
kalau penanganannya dilakukan secara individu. Oleh karena
itu pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dari
penggunaan sumberdaya juga lebih efisien.
e. Dalam hal dukungan kepada masyarakat serta pemberian
bimbingan, perlu pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab yang seluas-luasnya kepada aparat yang paling dekat
dengan rakyat (otonomi, desentralisasi). Untuk itu, birokasi itu
sendiri perlu diberdayakan, artinya diperbaharui sikapnya dan
diperkuat kemampuannya.
Tugas pemerintah adalah menyelenggarakan keadilan dan mendorong
masyarakat untuk mandiri dan berpartisipasi secara maksimal untuk
pembangunan yang berkelanjutan demi kepentingan sendiri dan
masyarakat. Pemerintah yang baik seyogyanya mengembangkan
kapasitas yang dibutahkan untuk merealisasikan pembangunan yang
memberikan prioritas pada mereka yang miskin dengan
memberdayakannya, memajukan wanita, memelihara lingkungan serta
menciptakan kerja dan kesempatan mencari nafkah yang lain.
Pemerintah yang baik mempunyai ciri partisipasi, transparan dan
dapat dipertanggung jawabkan. Dia juga efisien, efektif dan adil serta
mengutamakan penegakan hukum.
Keunggulan komparatif (comparative advantage) terdiri dari sumber
daya alam, (SDA), sumber daya manusia (SDM), kapital serta ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek sering disebut juga
merupakan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Semua
keunggulan komparatif diatas akan menjadi terbukti (proven) secara
maksimal apabila kita menggunakan secara sinergi yaitu apabila kita
menggunakan SDM, kapital serta iptek yang kita miliki secara
maksimal untuk pemanfaatan SDA (baik didalam maupun diluar
negeri). Sedangkan kapital yang dihasilkan oleh pembangunan, kita
gunakan secara efisien untuk menghasilkan produk-produk yang
sesuai dengan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki serta untuk
meningkatkan pengetahuan dan teknologi tersebut guna menghasilkan
pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan manusia yang berkelanjutan mensyaratkan
pemeliharaan lingkungan. Banyak yang berpikir bahwa memelihara
lingkungan hanyalah menjaga air, tanah dan udara supaya tidak kotor.
Memelihara lingkungan memiliki pengertian yang lebih luas dari itu
karena didalamnya terdapat prinsip keadilan untuk alam dan
masyarakat, tidak hanya untuk waktu sekarang tetapi juga untuk waktu
yang akan datang. Dalam pengertian seyogyanya kita mewariskan
keadaan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Kita perlu
mewariskan lingkungan yang bersih, damai, sumber daya alam yang

berkelanjutan serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih


baik.
Kalau kita mengevaluasi kembali apa yang telah kita lakukan dimasa
lalu dan apakah yang telah kita lakukan tersebut, telah tepat
mendukung pembangunan berkelanjutan manusia Indonesia maka
jawabnya adalah belum. Disamping mengevaluasi negara kita sendiri,
sebagai pembanding kita ambil dua negara sahabat yaitu Malaysia
dan India.
Politik pembangunan Indonesia dimasa lalu adalah politik
ketergantungan. Ketergantungan tersebut adalah terhadap pinjaman
luar negeri; dan ketergantungan masyarakat golongan mampu atas
subsidi pemerintah. Ada pepatah "easy come, easy go". Uang mudah
dari pinjaman tersebut, ditambah dengan ketidak transparanan
(asimetri informasi) menyebabkan budaya KKN (Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme)dan budaya konsumtif (senang barang mewah dan barang
impor). Budaya KKN menghambat inovasi, karena untuk mendapatkan
proyek (terutama dari pemerintah) yang penting bukan "lebih efisien",
tetapi dapat "lebih memberikan kick back". Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo memperkirakan korupsi sebesar 30 persen dari nilai
proyek, karena ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia
adalah 30 persen atau lebih dibandingkan nilainya di negara-negara
tetangga kita. Subsidi harga BBM telah mengakibatkan pengusaha kita
manja dan tidak mandiri. Keadaan kita diperparah dengan tidak
berjalannya demokrasi secara baik serta kebijakan sentralisasi.
Demokrasi adalah syarat untuk partisipasi dan inovasi, karena dalam
demokrasi setiap orang merasa di "wong" kan (diperlakukan sama
sebagai manusia). Sedangkan desentralisasi lebih fleksibel, efektif,
inovatif, bersemangat kerja, berkomitmen, produktf dan partisipatif
daripada sentralisasi sehingga lebih efisien dan mandiri. Dibidang
pangan keberpihakan pemerintah kepada petani kurang, sehingga
kemajuan bidang pertanian kita terhambat. Indonesia juga
mengalokasikan dana untuk pendidikan maupun untuk meningkatkan
kemampuan nasionalnya jauh lebih sedikit dibandingkan dana yang
habis karena untuk membayar hutang, KKN dan untuk subsidi harga
BBM. Akibatnya Indonesia adalah negara yang paling parah terkena
krisis di Asia.
Malaysia adalah negara tetangga dengan etnis yang paling dekat
dengan kita, disamping sama-sama negara penghasil minyak dan
negara agraris. Malaysia menggunakan bagian cukup besar dari hasil
minyak dan pertaniannya untuk pendidikan dan pengembangan
kemampuan nasionalnya. Di Malaysia tidak ada subsidi BBM (solar
dan minyak tanah harganya Rp.1500,-/liter) bahkan untuk bensin
harganya Rp.2500,-/liter karena dikenakan road user fee untuk
pembuatan jalan. Akibatnya, walaupun pada awalnya pengaruh krisis
juga menimpa Malaysia, tetapi Malaysia cepat sembuh. Malaysia
merupakan negara Asia yang mempunyai reputasi internasional yang
tinggi dalam berbisnis. Petronas disamping mengusahakan migas
didalam negeri, juga berhasil mengusahakannya diluar negeri.
India adalah negara yang berpendudukan banyak dan tidak kaya
seperti Indonesia. India bukan hanya tidak mensubsidi harga BBM,
India bahkan menerapkan pajak sekitar 200 persen untuk bensin
karena harganya di India sekitar 60 sen dolar Amerika Serikat atau Rp.
4200/liter. Walaupun demikian, India memberi subsidi untuk
transportasi umum. Di bidang industri dan pertanian India berusaha
untuk mandiri. Walaupun mungkin produk industri India tidak secangih
produk Amerika, tetapi "made in India" jauh lebih murah. Bahkan kita
perlu belajar dari India yang mampu memproduksikan gandum
didaerah tropis. Walaupun miskin, rakyat India hidup dalam realitas
sehingga mereka bekerja keras untuk berusaha membuat segala
sesuatunya sendiri, disamping menggunakan uang pendapatannya
untuk pendidikan dan penelitian.
Terdapat nasehat Confusius yang menyatakan: "Give a man afish and
you feed him for a day, Teach him to fish and you feed him for lifetime".
Dengan mensubsidi harga BBM, Indonesia memberikan ikan kepada

orang miskin yang tidak pernah membuatnya kaya. Sedangkan


Malaysia dan India mengajari memancing dengan pendidikan dan
pengembangan kemampuannya, sehingga mereka menjadi lebih
pintar dan bernasib lebih baik secara berkelanjutan.
Faktor Sosial
Penanganan masalah sosial atau pemerataan adalah tugas
pemerintah dan masyarakat. Partisipasi, pemberdayaan dan
desentralisasi adalah masalah sosial yang perlu dicermati.
Peranan pemerintah dalam pemerataan adalah untuk melaksanakan
keadilan sosial. Pemerataan kesempatan dan pendapatan yang
ditimbulkan oleh sistim pasar bebas dapat tidak adil karena tidak
dilakukan dalam level playing field (tempat bermain yang seimbang)
dan tidak memihak kepada kaum lemah. Walaupun demikian, keadilan
bukanlah suatu hal yang statis dan absolut akan tetapi merupakan
suatu hal yang dinamis dan relatif tergantung kepada persepsi
masyarakat. Karena itu masalah pemerataan diserahkan kepada
masyarakat melalui wakil-wakil mereka dan kemudian berdasarkan
peraturan-peraturan untuk yang disetujui dilaksanakan oleh
pemerintah. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan melalui
pajak yang progresif (dengan presentase pajak yang lebih besar bagi
yang lebih kaya), dengan pemberian langsung kepada orang miskin
(misal: sembako) atau pemberian keringanan bagi yang miskin seperti
kredit berbunga rendah untuk rumah sangat sederhana, usaha kecil,
subsidi pupuk untuk petani dan sebagainya. Keadilanlah yang akan
menyebabkan kemakmuran, karena keadilan akan menyebabkan
partisipasi maksimal dari masyarakat Dana untuk penyelenggaraan
keadilan tersebut adalah seperti mitigation cost (biaya pengurangan
dampak) untuk mengatasi eksternalitas negatip. Apabila kita tidak
mengeluarkan biaya pengurangan dampak tersebut maka kita akan
membayar damage cost (biaya kerusakan).
Pemerataan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas seluruh
masyarakat. Agama mewajibkan kita untuk membantu orang lain,
seperti dalam Hadist Nabi: "Tidak beriman seseorang diantara kamu
kalau ia sendiri kenyang, sementara tetangganya lapar, dan ia
mengetahuinya". Tetangga disini dapat berarti rumah sebelah,
kampung sebelah, kabupaten sebelah, propinsi sebelah dan
seterusnya. Kunci mengatasi krisis ini adalah kemauan untuk
berkorban untuk orang lain (bagaimana caranya menggunakan
teknologi, berdagang dan mendapatkan modal secara lebih baik) tidak
hanya dengan membagi (sharing) makanan tetapi juga dengan
membagi ilmu sehingga saudara-saudara kita yang lebih miskin dapat
mandiri dan melepaskan ketergantungan kepada orang lain.
Problem peningkatan kesejahteraan rakyat kecil terutama disebabkan
kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi petani dan
pengrajin, permasalahan modal sehingga mereka tergantung kepada
lintah darat serta terlalu banyaknya rente yang diambil sektor distribusi
(tengkulak) dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani dan
pengrajin (di Jepang nasib petani sangat dilindungi demi ketahanan
nasional). Sudah saatnya masalah teknologi, pendanaan dan distribusi
tersebut dibenahi misal dengan ditingkatkannya peran perguruan
tinggi, organisasi sosial kemasyarakat (semacam Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama), pesantren dan lembaga keagamaan lainnya serta
LSM dan diberdayakannya koperasi untuk ketiga hal tersebut.
Koperasi yang berhasil adalah yang didukung masyarakat (bottom up)
dan bukan yang diatur dari atas (top down). Sektor diluar sektor
pemerintah dan swasta ini disebut "sektor ketiga" yang peranannya
sangat besar dalam kehidupan di Amerika Serikat terutama dalam
mengatasi krisis. Kalau dalam perang kemerdekaan dulu yang
keadaannya jauh lebih sulit kita bisa "survive", kenapa sekarang
tidak?. Syarat utamanya adalah bahwa kita harus bersatu dan krisis ini
seharusnya membuat kita makin bersatu dan bukan terpecah belah.
Mahasiswa seyogyanya tidak hanya melakukan unjuk rasa (walaupun
penting untuk kontrol sosial), tetapi juga merintis usaha perbaikan
nasib rakyat kecil (melakukan langsung bakti sosial bersama

dosennya). Sesudah lulus dia bisa melanjutkan darma baktinya


tersebut melalui LSM dengan tetap bekerja sama dengan
almamaternya.
Untuk keadilan sosial dan keefisienan penyelenggaraan pemerintahan
perlu adanya desentralisasi tugas maupun dana kepada daerah.
Desentralisasi lebih fleksibel, efektif, inovatif, bersemangat kerja,
berkomitmen, produktif dan partisipatif daripada sentralisasi sehingga
desentralisasi akan lebih efisien dan mandiri. Desentralisasi dana
adalah penting karena tanpanya desentralisasi tugas akan lumpuh.
Daerah biasanya lebih tahu permasalahan dan potensi sumber daya
didaerahnya sendiri dan mempunyai kepentingan langsung terhadap
kesejahteraan daerahnya. Anggapan bahwa desentralisasi belum bisa
dilakukan karena daerah belum mampu perlu ditinjau ulang karena
kemampuan bangsa Indonesia termasuk didaerah-daerah meningkat
pesat. Dengan diberi kesempatan kemampuan daerah akan
meningkat pesat. Yang penting jangan sampai desentralisasi hanya
berhenti pada elitnya daerah saja. Desentralisasi adalah
pendelegasian, pemberdayaan dan partisipasi seluruh anggota
masyarakat serta tidak membedakan masyarakat.
Faktor Budaya
Ada beberapa budaya yang perlu dicermati yaitu budaya pemimpin,
budaya birokrat dan budaya masyarakat serta bangsa.
Kebudayaan kita adalah paternalistik dimana pemimpin yang adalah
panutan. Sebagai manusia, mahluk yang fana, bisa saja pemimpin
berbuat salah dan itu bisa berakibat fatal karena kalau dibiarkan
dicontoh sebagian rakyatnya dan menyesengsarakan mayoritas
rakyatnya yang lain. Sehingga kritik masyarakat dan kesediaan
pemimpin untuk dikritik mutlak diperlukan. Lee Kuan Yew dalam
pidatonya di parlemen Singapura, 23 Pebruari 1977 berkata: "Any
time, every time, you can damn the prime minister and so long as it is
not a lie and a criminal lie, nothing happens to you. You can say a lot
of things. You can write books about him, damning him. So long as it is
not a libel, go ahead." Yang artinya "Kapanpun, setiap saat, anda
dapat menghujat perdana menteri dan selama itu bukan dusta atau
dusta kriminal, anda tidak akan apa-apa. Anda dapat mengatakan
apapun. Anda dapat menulis buku mengenainya, menghujatnya.
Selama itu bukan fitnah, silahkan". Meskipun mungkin Lee Kuan Yew
bukanlah seseorang yang suka dikritik tetapi sebagai negarawan dia
tidak boleh mengharamkan kritik, sehingga dia berusaha keras untuk
tidak berbuat kesalahan dan hasilnya adalah Singapura yang maju.
Kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) tidak mendorong kompetisi,
tetapi mendorong ketidak efisienan karena terjadi adalah perlombaan
memberikan upeti dan bukan perlombaan meningkatkan kualitas dan
efisiensi. Hal tersebut akan menjadikan masyarakat menjadi malas
dan tidak kreatif, sehingga mengakibatkan bangsa menjadi tidak
kompetitif. Pemimpin yang baik merupakan syarat mutlak
pembangunan.
Terdapat kritik bahwa birokrat di Indonesia berkecenderungan kurang
bisa bekerjasama karena bekerjanya tidak dibangun atas kebutuhan
pembangunan (seringkali kita dengar istilah egoisme sektoral,
egoisme profesi, egoisme eselon, dan sebagainya). Kritik tersebut juga
menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh warisan penjajahan
(preseden). Diperlukan usaha keras untuk merubah budaya tersebut.
Menurut Frans Mardi Hartanto terdapat perbedaan sejarah
kolonialisasi Inggris dan kolonialisasi Belanda.
Kolonialisasi Inggris :
1. Padamasa imperilismenya merupakan negara industri
utama,
2. Negara negara koloni merupakan pasar bagi produk
produknya,
3. Syarat untuk 2 adalah :
a.
administrasi pemerintah yang teratur dan
berorientasi
pada
pelayanan
masyarakat,

b.

meningkatkan pendidikan rakyat terjajah


agar mau membeli produk Inggris,
c.
aristrokasi lokal dijaga agar dapat
menularkan nilai Inggris,
4.Bentuk perlawanan adalah swadesi (India: Mahatma
Gandhi).
Kolonialisasi Belanda :
1. Belanda bukan negara industri tetapi merupakan penyedia
bahan baku bagi industri Eropa Utara,
2. Negara koloni merupakan sumber bahan baku: (bersikap
eksploitatif terhadap sumber daya alam),
3. Syarat untuk 2 adalah:
a.
sistem pemerintahan merupakan alat
kekuasaan,
b.
rakyat tidak perlu dididik agar tidak
melawan penjajah,
c.
diadakan kelompok perantara untuk
melakukan eksploitasi yang terdiri dari
keturunan Cina (perdagangan/ daerah
pesisir),
administratur
pemerintah(orientasi kekuasaan / abdi
negara), aritrokasi lokal (menjaga
kepentingan kekuasan kolonial Belanda),
4. Bentuk perlawanan adalah sistem pendidikan (Boedi
Utomo), sistem perdagangan (serikat Dagang Islam) dan
perang.
Budaya masyarakat yang perlu dikembangkan adalah budaya
bertanya dan berdiskusi secara baik. Keluhan dari putra putri yang
baru kembali sekolah dari Amerika Serikat adalah bahwa mereka
sering diejek teman temannya di Indonesia karena sering dianggap
"sok tahu" karena sering mengajukan pertanyaan kepada guru.
Padahal budaya bertanya dan berdiskusi yang menyebabkan Amerika
Serikat maju.
Budaya hutang yang berkepanjangan atau menggantungkan diri pada
orang lain bukanlah budaya pembangunan. Sebagai contoh ketika
hijrah setiap yang datang dari Mekah diberi saudara angkat penduduk
asli Madinah. Karena senangnya mempunyai saudara angkat yang
baru, seorang sahabat yang kaya menawarkan separuh dari apa yang
dia miliki kepada tamunya, tetapi tamunya menjawab: "Terima kasih,
yang saya perlukan adalah tunjukkan saya jalan ke pasar. Mudah
mudahan dengan sedikit uang yang saya miliki, saya bisa berdagang".
Dalam waktu yang tidak terlalu lama tamu tersebut menjadi kaya.
Budaya gotong royong bangsa Indonesia yang masih berlaku di desa
sudah memudar di banyak kota besar Kita perlu belajar dari bangsa
Jepang yang walaupun sudah sangat maju tetap selalu memikirkan
kepentingan umum. Kemajuan bersama atau kelompok sangat
diutamakan oleh mereka. Perlu dipunyai budaya bekerja keras.
Mahasiswa dan bangsa Cina serta Korea bisa bersaing di Amerika
serikat karena bekerja lebih keras dan tidur lebih sedikit.
Faktor Ekonomi
Secara umum ada beberapa tugas utama pemerintah dalam
perekonomian yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengatur penyediaan barang publik (alokasi) serta mengurangi inflasi
dan pengangguran (stabilisasi) serta melaksanakan pemerataan
(keadilan sosial) atau distribusi. Peran tersebut dapat dilalukan melalui
sektor riil (sektor barang), sektor moneter (sektor keuangan), sektor
internasional (perdagangan internasional dan keuangan internasional)
dan sektor tenaga kerja serta sektor pemerataan.
Peranan pemerintah dalam alokasi adalah untuk mengusahakan agar
alokasi sumber-sumber ekonomi dilakukan secara efisien.
Pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan dihitung dari
penjumlahan nilai tambah masing-masing sektor riil. Pertumbuhan
perekonomian tergantung terutama kepada investasi swasta baik
nasional maupun asing. Walaupun demikian adalah tugas pemerintah

untuk menyediakan iklim yang mendorong investasi tersebut seperti


kestabilan politik, pemerintahan yang bersih dan adil, kepastian hukum
dan perpajakan, keamanan dan kestabilan ekonomi yang meliputi
kestabilan nilai tukar, suku bunga dan inflasi serta terjaminnya
keadilan bagi pelaku ekonomi. Pemerintah mengendalikan
perekonomian dengan mempengaruhi pengeluaran konsumsi,
pengeluaran investasi dan pengeluaran pemerintah. Pemerintah
mempengaruhi pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi
melalui kebijakan atas pajak, tingkat bunga dan melalui pengeluaran
pemerintah.
Pengeluaran
pemerintah
dilakukan
untuk
menyelenggarakan pemerintahan termasuk mengatur penyediaan
barang publik. Perilaku investasi tergantung pada tingkat bunga.
Tingkat bunga yang tinggi menghambat investasi dan tingkat bunga
yang rendah mendorong investasi. Pertumbuhan ekonomi makin
terjamin dengan makin minimalnya kegagalan pasar dan kegagalan
pemerintah.
Sektor riil Indonesia terdiri dari sektor pertanian, pertambangan,
industri manufaktur, listrik, gas dan air minum, konstruksi,
perdagangan, hotel dan restoran, jasa keuangan dan jasa lainnya.
Sektor non migas kita mengalami defisit perdagangan dalam
pengertian impor melebihi ekspor. Hal ini disebabkan struktur pasar
oligopoli yang mengarah pada monopoli menguasai hampir seluruh
sektor tersebut disamping praktek hidup konsumtif dan mau mudahnya
saja serta merajalelanya KKN. Hal ini dapat dilihat dari berkembang
pesatnya pembangunan properti dan impor mobil serta barang mewah
lainnya. Lebih parah lagi sembako, buah buahan dan makanan
ternakpun kita impor. Padahal sebagian besar dari kemewahan dan
kemalasan itu dibayar dengan hutang luar negeri.
Memang modal asing meningkat pesat tetapi banyak pula dari modal
tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan investasi yang
kualitasnya menurun. Pada awal orde baru, pemasukan modal dari
luar negeri terutama diterima sektor negara dalam jangka panjang dan
persyaratan lunak. Akibat keberhasilan pembangunan nasional maka
sektor swasta memperoleh kepercayaan untuk meminjam modal asing
atau bekerjasama dengan investor asing tetapi sayangnya banyak
proyek yang ditangani diperoleh melalui KKN dan bersifat monopoli
sehingga kwalitasnya menurun serta untuk membiayai proyek
konsumtif, terutama untuk sektor properti.
Sektor migas serta listrik gas dan air minum perlu dibenahi dengan
menghapuskan monopoli serta lebih mengefisienkan sektor tersebut.
Pemerintah berusaha melakukan pengefisienan sektor-sektor tersebut
dengan melakukan swastanisasi. Walaupun demikian swastanisasi
apabila biayanya lebih tinggi (monopoli) tidak ada gunanya, seperti
dinyatakan oleh John Moffitt: "The issue is not public versus
private. 1t is competition versus monopoly". Permasalahannya
bukan antara publik lawan swasta, permasalahannya adalah antara
kompetisi lawan monopoli. Subsidi bahan bakar minyak (BBM)
menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada minyak serta
menyebabkan peningkatan impor BBM serta mengurangi ekspor
migas yang mengurangi devisa dan menyebabkan kurang berhasilnya
program-program diversifikasi energi (pemakaian: energi lain) dan
program konservasi energi (penghematan energi). Sektor pertanian
kurang berkembang karena rendahnya harga sembako menyebabkan
sedikitnya keuntungan untuk mengusahakannya dan hal tersebut
merugikan petani sehingga mereka lebih senang jadi buruh konstruksi
atau tukang becak dikota. Kurangnya keberpihakan kebijakan ekonomi
dan teknologi terhadap sektor sumberdaya alam (pertanian dan
pertambangan termasuk industrinya) yang merupakan keunggulan
komparatif kita serta kurangnya keberpihakan pada rakyat kecil
menyebabkan ketergantungan kita yang berlebihan kepada bangsa
lain.
Tugas lain pemerintah adalah mengatur penyediaan barang publik.
Barang publik tidak bisa hanya diserahkan melalui mekanisme pasar
karena manfaat adanya barang publik tidak hanya dirasakan secara

pribadi akan tetapi dinikmati orang lain. Ada beberapa hal yang perlu
pemasokan langsung oleh pemerintah:
1. Pemberian fasilitas perdagangan dan pemasaran
2. Pengelolaan tanah negara
3. Pembangunan pekerjaan umum dan pengelolaan fasilitas
umum
4. Penelitian dan testing
5. Bantuan teknik
6. Hukum dan keadilan
7. Pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan bantuan
keuangan
8. Pendidikan dan training
9. Keamanan
10. Dukungan atas kebutuhan administratif
Permasalahannya adalah bahwa dana yang dimiliki pemerintah dari
penerimaan pajak atau bantuan luar negeri tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan publik sehingga seringkali masyarakat harus
membayar. Penyediaan barang-barang publik dilakukan oleh
pemerintah sendiri, oleh swasta (swastanisasi) dan oleh masyarakat
(swadaya masyarakat) dengan pengaturan dan subsidi pemerintah
(apabila diperlukan). Oleh karena untuk barang-barang ada masalah
preferensi (kesukaan) mengenai manfaatnya atau terbatasnya
kemampuan
masyarakat
untuk
mengkonsumsinya
maka
penyediaannya tidak selalu melalui mekanisme harga pasar,
karenanya penentuan harga BBM, transportasi umum perlu
persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat).
Peran pemerintah yang lain adalah mengurangi pengangguran
(stabilisasi). Sektor tenaga kerja Indonesia walaupun secara kuantitas
banyak tetapi kualitasnya perlu ditingkatkan. Perlu diperbanyak
pendidikan teknik baik ditingkat sekolah menengah maupun politeknik
serta diperbanyaknya balai latihan keria dengan orientasi outcomes
dan bukan inputs dimana keberhasilannya dinilai dari banyaknya
peserta latihan yang berhasil mendapat pekerjaan dan bukan dari
banyaknya peserta yang mengikuti latihan. Link and Match bukan
hanya antara lembaga pendidikan (dosen dan mahasiswa) dengan
industri besar tetapi juga bisa dengan industri menengah, kecil,
koperasi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Perlu adanya
ketransparanan dalam pembagian keuntungan perusahaan. Di
Amerika Serikat apabila suatu tim basket atau baseball menang terus
maka para pemainnya selalu menuntut bonus. Perlu adanya serikat
buruh yang dapat mewakili kepentingan buruhnya, sehingga monopoli
serikat buruh perlu dihapuskan dan perlu perbaikan Undang Undang
Tenaga Kerja. Peran mengurangi inflasi dilakukan oleh pemerintah
pusat, sedangkan peran pemerataan dibahas dalam faktor sosial.
Faktor Lingkungan
Banyak yang berpikir bahwa menjaga lingkungan hanyalah menjaga
supaya air, tanah dan udara tidak kotor. Menjaga lingkungan lebih luas
dari itu, karena disitu terdapat prinsip keadilan untuk alam dan
masyarakat, tidak hanya untuk waktu sekarang tetapi juga antar
waktu. Dalam pengertian, seyogyanya kita tidak mewariskan keadaan
yang lebih buruk bagi generasi mendatang. Kita perlu mewariskan
lingkungan yang bersih, damai, sumberdaya alam yang berkelanjutan
serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik.
Lingkungan disebut bersih (fisik) apabila pengotoran (polusi) baik ke
darat, laut dan udara tidak melebihi ambang batas yang ditentukan
para ahli atau peraturan lingkungan. Lingkungan yang damai (sosial)
adalah apabila setiap usaha yang dilakukan tidak merugikan orang lain
atau kerugian orang tersebut dikompeisasi. Setiap kegiatan dalam
penanganannya harus sudah memasukkan biaya lingkungan
(eksternalitas) baik secara fisik maupun sosial. Pemakaian sumber
daya alam atau teknologi yang bersih lingkungan atau program
konservasi (penghematan pemakai an) yang juga berarti menghemat
sampah perlu disubsidi.

Lingkungan yang bersih dapat diadakan dengan peraturan atau


insentif bagi yang. memelihara dan disinsentif (denda) bagi yang
mengotori. Walaupun demikian yang paling efektif memelihara
kebersihan lingkungan adalah kesadaran. Kesadaran ini kadangkadang tidak ada hubungannya dengan pendidikan atau peradaban.
Penulis pernah melihat ketika seseorang dari sebnah mobil dengan
plat nomor Jakarta membuang kulit pisang ke pinggir jalan di kota kecil
Parakan di Jawa Tengah, seorang ibu yang menggendong bakul
(pedagang) tanpa berbicara apa?apa langsung mengambil kulit pisang
tersebut dan memasukkannya ke tempat sampah didekatnya dan
kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Permasalahan lingkungan bukan hanya sumber daya alam yang
terbatas, tetapi juga karena manusia tidak dapat menahan hawa nafsu
(kerakusan)nya. Nabi Muhammad S.A.W. menganjurkan kita untuk
berhenti makan sebelum kenyang. Lingkungan yang damai akan
terjadi apabila setiap manusia kembali ke ajaran agama masing?
masing. Agama mengajarkan kita untuk menyayangi dan berbuat adil
kepada sesama ciptaan Tuhan termasuk manusia, binatang dan
tumbuhan serta daratan, udara dan air. Hanya seseorang yang tidak
menjalankan perintah agamanya secara betul yang bisa menyebabkan
kebencian (provokasi), melakukan perkosaan, pembunuhan,
pembakaran, pengeboman dan lain?lain. Lingkungan yang nyaman
terutama diperkotaan dapat diciptakan dengan disediakannya taman
taman publik seperti di Jepang, sehingga tiap orang tidak perlu
memiliki taman sendiri tetapi dapat menikmati taman publik.
Sumber daya alam terdiri dari dua macam yaitu yang terbarukan
(renewable) dan tak terbarukan (non renewable). Sumberdaya yang
berkelanjutan (sustainable) adalah apabila jumlah stok (stock) nya
tetap. Mempertahankan stok sumber daya alam yang terbarukan,
apabila umur penuaiannya pendek (seperti padi, jagung dan
sebagainya) adalah dengan menanamnya kembali. Apabila umur
penuaiannya lama seperti pohon Jati (20 tahun) maka kita harus
membagi lahan tersebut menjadi 20 kotak dan setiap tahun kita
memuai setiap kotak. Prinsipnya adalah bahwa laju produksi adalah
sama dengan atau lebih rendah dari laju penanaman. Lestarinya
sumber daya alam terbarukan di Indonesia juga merupakan
sumbangan yang sangat berarti untuk paru-paru dunia karena luasnya
hutan dinegara kita.
Mempertahankan sumber daya alam yang tak terbarukan (mineral)
adalah juga dengan mempertahankan stok yang disebut proven
reserves (cadangan terbukti). Cadangan terbukti memiliki dua
persyaratan yaitu telah ditemukan dan dapat diproduksikan secara
ekonomis. Cadangan terbukti bertambah dengan penemuan dan
berkurang dengan produksi. Walaupun demikian cadangan terbukti
bisa berubah tanpa adanya penemuan dan produksi, karena
keekonomian berubah dengan perubahan harga (karena pasar atau
kebijakan pemerintah), perubahan biaya atau produksi (karena
terobosan teknologi) dan perubahan pajak (yang juga merupakan
kebijakan pemerintah). Walaupun demikian untuk mempertahankan
keberlanjutan (sustainability) sumberdaya tersebut kita tidak perlu
terpaku hanya dengan mengusahakan penemuan sumberdaya yang
sama, kita dapat pula mengusahakan penemuan sumber daya tak
terbarukan yang lain atau mernproduksikan sumber daya alam
terbarukan yang lain, yang penting penggunaannya sama. Sebagai
contoh untuk memenuhi kebutuhan energi kita jangan hanya berusaha
mendorong eksplorasi untuk menemukan migas. Kita dapat juga
mencari batubara atau panasbumi serta mengusahakan tenaga air
atau biomas disamping menghemat pemakaian migas. Perlu dicatat
bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan keberadaan sumber
daya alam, dapat disisihkan dana yang diambil dari sumberdaya alam
tak terbarukan yang disebut depletium premum. Depletion premium ini
fungsinya sama dengan dana reboisasi untuk sumberdaya alam
terbarukan yaitu untuk mempertahankan stock.

Depletion Premium dapat dihitung dari nilai sekarang (Net Present


Value) perbedaan biaya apabila sumberdaya tersebut habis (sehingga
kita harus mengimpornya atau menggunakan komoditi lain) dengan
biaya memproduksikannya sendiri (karena kita bisa mempertahankan
cadangan terbuktinya). Mempersiapkan generasi mendatang yang
lebih baik juga membutuhkan dana untuk pendidikan dan latihan serta
sistem pemerintahan yang adil, Depletion premium dari sumber daya
alam tak terbarukan dapat digunakan untuk hal tersebut. Investasi
untuk itu memang tidak bisa langsung dilihat hasilnya dalam jangka
pendek, tetapi bermanfaat untuk jangka panjang (contohnya di
Malaysia).
Model Kebijakan
Model kebijakan (policy models) adalah rekonstruksi buatan untuk
menata secara imajinatif dan menginterpretasikan pengalamanpengalaman kita tentang keadaan bermasalah (problematic situation)
untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan aspek-aspek
terpilih dari keadasn bermasalah tersebut dengan maksud
memecahkan permasalahannya. Dengan menyederhanakan keadaan
bermasalah tersebut, pemodelan secara tak terelakkan menimbulkan
distorsi yang selektif terhadap realitas. Model adalah pandangan
pembuatnya terhadap realitas yang belum tentu mewakili realitas itu
sendiri. Misalnya seseorang yang jatuh cinta bisa saja memodelkan
orang yang dicintainya tanpa kekurangan, padahal kenyataannya tidak
demikian. Model adalah alat bantu yang tergantung kepada
bagaimana kita menggunakannya. Model kebijakan - khususnya yang
dinyatakan dalam bentuk matematika - kadangkala sulit
dikomunikasikan dengan pelaku kebijakan.
Model kebijakan berdasarkan tujuannya dapat dibagi atas model
deskriptif dan model normatif. Tujuan model deskriptif adalah
menjelaskan alasan pemilihan dan atau meramalkan akibat alternatif
kebijakan. Tujuan model normatif disamping menjelaskan dan atau
meramalkan juga memberikan aturan dan rekomendasi untuk
mendapatkan penyelesaian yang optimal.
Model kebijakan baik diskriptif maupun normatif dapat disajikan dalam
tiga bentuk yaitu model verbal, model simbolik dan model prosedural.
Model verbal disajikan dalam bahasa sehari-hari. Model verbal relatif
mudah dikomunikasikan. Model simbolik menggunakan matematika
untuk menjelaskan hubungan diantara variabel?variabel kunci yang
dipercayai memberi ciri kepada suatu masalah. Model prosedural
adalah model simbolis yang mensimulasikan dinamika hubungan
diantara variabel?variabelnya. Model prosedural memungkinkan
adanya simulasi yang kreatif, hanya biasanya biayanya mahal karena
menggunakan komputer. Model matematik relatif lebih sulit
dikomunikasikan. Contoh model simbolik adalah model regresi
(statistik) dan contoh model prosedural adalah system dynamiccs.
Model kebijakan terlepas dari tujuan dan penyajiannya dapat dibagi
atas model pengganti (surrugate model) dan model perspektif
(perspective model). Model pengganti digunakan untuk permasalahan
yang terstruktur baik sehingga model dianggap merupakan
representasi penuh dari keadaan bermasalah. Model perspektif
digunakan untuk permasalahan yang tidak terstruktur dengan
anggapan bahwa model dianggap tidak secara penuh merupakan
representasi dari keadaan bermasalah.Pemilihan model kebijakan
yang digunakan dapat berdasarkan pasangan sistem dan pelaku
kebijakannya. Walaupun demikian tidak berarti bahwa model kebijakan
tertentu tidak dapat digunakan untuk pasangan sistem dan pelaku
kebijakan yang lain, hanya pemakaiannya mungkin kurang optimal.

Sistem dibagi atas :


Simple system (sistem sederhana) :
Mempunyai jumlah elemen yang sedikit.

Terdapat sedikit interaksi antar elemen.


Atribut dari elemen ditentukan lebih dahulu (buatan).
Interaksi antar elemen terorganisasi secara baik.
Aturan yang terdefinisi secara baik mengontrol kelakuannya.
Sistem tersebut tidak berubah terhadap waktu.
Sub sistem tidak mencapai tujuannya sendiri.
Sistem tersebut tidak terpengaruh oleh kelakuannya (tidak
kreatif).
Sistem tersebut sangat tertutup terhadap lingkungan.
Complex system (sistem kompleks) :
Mempunyai jumlah elemen yang besar.
Banyak interaksi antar elemen
Atribut dari elemen tidak ditentukan lebih dulu
Interaksi antar elemen terorganisasi secara longgar.
Sistem tersebut berubah terhadap waktu.
Sistem tersebut mempunya
i kepentingan dan membuat sendiri tujuannya.
Sistem tersebut terpengaruh oleh kelakuannya (kreatif).
Sistem tersebut terbuka terhadap lingkungan.
Pelaku dibagi atas :
Unitary (tunggal)
Mereka mempunyai kepentingan yang sama.
Nilai dan kepercayaannya sangat cocok
Mereka setuju mengenai hal-hal yang akan dicapai dan cara
pencapaiannya.
Semuanya berpartisipasi dalam membuat keputusan (ada
konsensus).
Mereka bertindak berdasarkan obyektif yang sudah disetujui.
Pluralist (Bineka) :

Mereka mempunyai kecocokan


kepentingan dasar.

Nilai dan kepercayaannya beragam


sampai taraf tertentu.

Mereka tidak selalu setuju akan apa


yang akan dicapai dan cara pencapaiannya tetapi kompromi
selalu mungkin.

Semua berpartisipasi membuat


keputusan

Mereka bertindak berdasarkan


obyektif yang sudah disetujui
Coercive (Kekerasan) :
Mereka tidak punya kepentingan yang sama.
Nilai dan kepercayaannya sangat mungkin bertentangan.
Mereka tidak setuju akan apa yang akan dicapai dan cara
pencapaiannya dan kompromi yang tulus tidak mungkin.
Sebagian memaksa lainnya untuk menerima keputusan.
Tidak terdapat persetujuan atas obyektif yang mungkin pada
pengaturan sistem yang sekarang.
Catatan :
Bila dalam sistem unitary tidak disediakan wadah pluralist maka
terbentuk sistem yang menjurus kepada kekuasaan tunggal dan
akhirnya mengarah ke coercive Pluralist tidak sama dengan liberal.
Hanya bisa menjadi liberal, bila masyarakatnya demikian. Liberalisme
adalah dimana kepentingan individu lebih dominan dari kepentingan
masyarakat.
Dalam kasus Indonesia ke ika (tunggal) an kita harus disediakan
wadah ke bineka an dengan desentralisasi yang adil, kalau tidak akan
menjurus kepada coercive (kekerasan) dan perpecahan.

Simple-Unitary
Input output Econometrics, Computable General Equilibrium,
Enginering Economics Operational Research, System Analysis,
System Engineering, System Dynamics. Anggapan untuk pemakaian
model-model diatas adalah bahwa pemecah masalah dapat dengan
mudah membuat obyektif dan dijamin hanya sedikit atau tidak ada
perbedaan pendapat mengenai hal tersebut (Unitary). Sistem
direpresentasikan dalam model kuantitatif atau terstruktur secara baik
yang akan mensimulasikan skenario kelakuannya pada kondisi
operasional yang berbeda-beda. Model-model ini lebih menekankan
pada struktur dan cocok untuk pendekatan top down.
Sebagai contoh, langkah pada Syslem Analysis adalah sebagai berikut
:
Buat obyektif atau obyektif-obyektif yang ingin dicapai.
Lakukan penilaian mengenai cara alternatif supaya obyektif
tersebut dapat dicapai.
Buat penilaian dari biaya atau sumber daya yang dibutuhkan oleh
masing-masing cara tersebut.
Buat model matematik untuk mensimulasikan alternatif.
Pilih kriteria, yang berhubungan dengan obyektif dan biaya atau
sumber daya, untuk memilih alternatif yang dipilih atau yang
optimal.
Buat simulasi, optimumkan dan tentukan pilihan.
Complex Unitary
Viable System Diagnosis (VSD), General System Theory, SocioTechnical System Thinking, Contingency Theory.
Sistem ini menunjukkan ciri-ciri kompleks. Mereka mempunyai banyak
elemen dengan hubungan yang dekat, menunjukkan kelakuan tidak
pasti sehingga susah diramalkan, terbuka ke lingkungan dan memiliki
bagian yang memiliki tujuan sendiri. Walaupun demikian terdapat
kesepakatan mengenai tujuan (unitary).
VSD :
Menentukan bagaimana tujuan dicapai dan sistem yang sesuai
untuk mencapai tujuan ini.
Perjelas sub-system dan system yang lebih luas.
Rinci lingkungan, operasi dan manajemen dari setiap sub system.
Pelajari koordinasi dari sistem yang diamati.
Pelajari kontrol dari sistem yang diamati.
Pelajari fungsi pengembangan dari sistem yang diamati.
Pelajari fungsi pembuatan kebijakan dari sistem yang diamati.
Cek bahwa semua jalur informasi, transducers den control loops
direncanakan dengan baik.
VSD lebih menekankan pada organisasi serta lebih cocok untuk sektor
publik. VSD dapat diterapkan pada birokrasi dan desentralisasi dimana
yang menerima desentralisasi harus bisa survive (mandiri) tetapi tetap
terkait dengan unit yang lebih luas/tinggi VSD cocok untuk pendekatan
top down (contoh : Bappenas).
Simple - Pluralist
Social System Design, Strategic Assumption Surfacing and Testing
(SAST) susah ditangani karena pluralist Anggapannya, jika perbedaan
pendapat diselesaikan maka penyelesaiannya lebih mudah.
SAST :
Bentuk kelompok
Munculkan asumsi
lakukan analisis.
nilai asumsi
Debat
Sintesa
SAST menfokuskan kepada hubungan antar pelaku. Disini pelaku dan
bukan sistem yang menjadi perhatian utama. Hal ini didasari pada
gagasan bahwa suatu sistem yang direncakan tidak selalu berfungsi
seperti yang diinginkan tetapi tergantung kepada bagaimana

pelakunya memfungsikan sistem. Pada SAST aspek manusia dibawa


kedepan, sedangkan struktur organisasi menjadi latar belakang
sehingga budaya dan koalisi menjadi latar belakang sehingga budaya
dan koalisi menjadi dominan disini. SAST berdasarkan pada prinsip
partisipasi (holtom up) dan demokrasi sehingga kalau lingkungan tidak
mendukung hal tersebut maka SAST sulit diterapkan. SAST sulit
dalam
formulasi,
tetapi
setelah
diformulasikan
mudah
diimplementasikan (contoh : Manajemen Jepang).
Complex - Pluralist
Interactive Planning, Soft System Methodology (SSM)
Kedua model ini direncanakan jika terdapat ketidak sepakatan antar
pelaku tetapi masih bisa dicapai kompromi (pluralist) dan juga
berhubungan dengan sistem yang kompleks. Kedua model ini cocok
untuk pendekatan bottom up, yang biasa dikenal dengan
pembangunan denngan partisipasi masyarakat. Pendekatan ini lebih
efektif jika dilakukan pada wadah/lembaga yang non formal dengan
cara informal sehingga pertukaran gagasan tidak dibatasi oleh
organisasi dan kekuasaan. Pada masyarakat pedesaan di Indonesia
pendekatan?pendekatan ini (gotong royong) sudah diterapkan.
SSM :
Mulai dengan situasi (problematic situation) yang tidak terstruktur.
Amati situasi tersebut dan sebutkan sejumlah sistem aktivitas
manusia yang ada.
Formulasikan definisi?definisi dasar dari aktivitas tersebut.
Buatlah model konsepsual dari sistem-sistem pada definisi?
definisi dasar tersebut.
Bandingkan model konsepsual diatas dengan situasi permasalah
diatas.
Diskusikan perubahan yang diperlukan secara sistematis dan
secara kultural untuk memperbaiki keadaan.
Lakukan usaha untuk memperbaiki keadaan.
Simple - Coercive
(Critical System Heuristic)
Disini terdapat perbedaan kepentingan serta nilai dan keyakinan,
dimana kelompok yang berbeda memaksa yang lain untuk menerima
keinginannya (contoh : Kasus Bosnia). Critical System Heuristic hanya
cocok apabila sumber kekuatan dari kelompok yang berbeda secara
mudah dapat diidentifikasikan.
Kekuatan dapat dipertimbangkan melalui pertanyaan
berikut :
Kepentingan apa yang dilayani oleh perencanaan sistem
penyelesaian yang diusulkan ?
Siapa klien (pelaku) sesungguhnya dari sistem ?
Apakah tujuan sesungguhnya dari sistem (termasuk konsekuensi)
?
Apakah yang dikontrol pengambil keputusan ?
Siapa yang dilibatkan sebagai perencana ?
Siapakah yang dilibatkan sebagai pakar ?
Kemana mereka yang terlibat dalam perencanaan mencari
jaminan bahwa perencanaannya akan berhasil ?
Siapakah yang terkena akibat perencanaan tetapi tidak diikut
sertakan ?
Sampai seberapa jauh mereka yang terkena akibat tetapi tidak
diikut sertakan, mengambil alih perencanaan?
Apakah pendapat mengenai perencanaan sistem penyelesaian
adalah pendapat dari mereka yang terlibat dan mereka yang
terkena akibat ?
Complex - Coercive

10

Sumber kekuatan yang sebenarnya dari pelaku sulit diindkifikasikan.


Belum ada metodologi yang cocok untuk hal ini. Untuk menyelesaikan
hal ini perlu dipertimbangkan :
Sumber-sumber kekuatan yang beragam dalam organisasi
(masyarakat).
Kebudayaan organisasi dan bagaimana kebudayaan ini
menentukan perubahan yang mungkin.
Mobilisasi bias (prasangka) dalam organisasi.
Hubungan hirarki di organisasi terhadap pembagian kelas
(SARA), kelamin dan status dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai