Anda di halaman 1dari 56

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH
1.1.Alloanamnesa
Alloanamnesa adalah bagian dari anamnesa (sejarah kasus pasien
secara medik atau psikiatrik) yang berarti anamnesis yang dilakukan
kepada keluarga, saudara, atau teman dekat keluarga atau pasien agar
mendapatkan informasi tentang:
1) Gejala gangguan saat ini.
2) Riwayat gangguan medic atau prikiatrik sebelumnya.
3) Riwayat penyakit keluarga.
4) Silsilah keluarga.
5) Riwayat penyakit penderita.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
1.2.

Batuk
Ekspulsi udara yang tiba-tiba keluar dari paru yang biasanya berisik
demi menjaga jalan udara paru dari benda asing.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29

1.3.

Pilek
Temperature, aktivitas fisiologik, atau pada radioaktivitas rendah
yang dapat disebabkan oleh faktor infeksi seperti virus, infeksi, bakteri dan
non infeksi seperti reaksi alergi.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29

1.4

Diare
Frekuensi pengeluaran feses yang tidak normal.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
Sedangkan menurut Keperawatan Medical Bedah, diare adalah kondisi
dimana terjadi frekuensi defekasi yang tidk biasa (lebih dari 3 kali sehari)

1.5

1.6.

juga perubahan dalam jumlah dan konsentrasi (feses cair).


Mimisan
Berkenaan atau ditandai dengan epistaksis.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
Compos mentis
Kejernihan pikiran atau waras.
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
Compos Mentis

Pasien dengan status kesadaran penuh dengan memberikan respon yang


cukup terhadap stimulus yang diberikan ( Keterampilan Dasar Praktik
Klinik Kebidanan Ed. 2)

1.7.

Epigastrium
Daerah perut bagian tengah dan atas yang terletak antara angulus sterni
(Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan Ed. 2)

1.8.

Test rumple leed


Pemeriksaan karena timbulnya perdarahan subkutan yang kecil ke area
tempat korniket dibendung dengan tidak terlalu keras selama 10 menit
pada lengan atas yang merupaka ciri khas scarlet fever (demam berdarah
dan diofesis hemorogik).
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
Tes Rumple Leed
Tes yang dilakukan dengan tujuanmendeteksi adanya pendarahan dibawah
kulit (petekie) sebagai tanda demam berdarah (Hidayat,2012)

1.9.

Ikterik
Keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen empedu tubuh yang
menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning seperti aorta dan
sklera
Referensi: Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 29
Ikterik
Keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sclera mata menjadi kuning
akibat deposisi bilirubin ( Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan
Ed. 2)

1.10.

Mantri

Seorang pekerja di rumah sakit yang bekerja dibawah arahan seorang


perawat ( Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31)
1.11.

Nyeri
Sensasi nyeri sakit atau rasa tak nyaman yang lebih atau kurang
terlokalisasi akibat rangsangan pada ujung-ujung saraf khusus. (Kamus
Kedokteran Dorland, Edisi 31)
Nyeri
Pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya kerusakan actual maupun potensial atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan ( International Association for Study of Pain)

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Sebutkan macam mikroba dan parasit penyebab demam!
2. Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran parasit penyebab
demam.
3. Cara penularan mikroba penyebab demam
4. Cara pengobatan penayakit demam
5. Ciri khas eksotoksin dan endotoksin
6. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
7. Mengapa saat efek obatnya hilang, Syamil kembali demam?
8. Bagaimanakah teknik pemeriksaan rample leed?
9. Berapakah tekanan darah normal?
10. Berapakah denyut nadi normal?
11. Berapakah frekwensi pernafasan normal?

BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1 Macam mikroba dan parasit penyebab demam

Jenson & Baltimore (2007) dan Gelfand et al. (2014) menyatakan bahwa
macam mikroba dan parasit penyebab demam diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Macam mikroba
Macam mikroba penyebab demam terdiri bakteri, virus dan jamur :
a) Macam bakteri
Salmonella typhi penyebab penyakit typus/tifoid
Streptococcus pnemoniae penyebab pneumonia dan menginitis
Escherichia coli penyebab infeksi saluran kencing
Neisseria meningitidis (meningococcus) penyebab menginitis
b) Macam virus
Virus dengue penyebab DBD
Virus hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E
penyebab penyakit hepatitis
Human Immunodeficiency Virus penyebab AIDS
c) Macam jamur
Coccidioides immitis penyebab infeksi pernapasan
Criptococcosis neoformans penyebab infeksi
2. Macam parasit
Parasit Plasmodium ovale penyebab malaria
3.2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Malaria
Menurut Sudoyo (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran malaria
adalah :
1) Lingkungan fisik, yang terdiri dari :
a. Suhu
Udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus Sprogami atau
masa inkubasi ektrinsik. Masa inkubasi ekstrinsik adalah mulai saat
masuknya gametosit kedalam tubuh nyamuk sampai terjadinya stadium
sporogami dalam nyamuk yaitu terbentuknya sporozoid yang kemudian
masuk kedalam kelenjar liur. Makin tinggi suhu maka makin pendek masa
inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu berbeda dari setiap species pada suhu
26,7C masa inkubasi ekstrinsik untuk setiap Plasmodium malariae adalah
14

hari.

Masa

inkubasi intrinsik adalah

waktu

mulai

masuknya

sprozoid darah sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai


pecahnya sizon darah dalam tubuh penderita. Masa inkubasi intrinsik
Plasmodium malariae: 18- 40 hari.
b. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang rendah, mempengaruhi umur nyamuk, tingkat


kelembaban 63 % misalnya merupakan angka paling rendah untuk
memungkinkan adanya penularan.
c. Hujan
Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva
nyamuk menjadi dewasa. Hujan diselingi oleh panas akan memperbesar
kemungkinan berkembangnya Anopheles sp. Bila curah hujan yang normal
pada sewaktu-waktu maka permukaan air akan meningkat sehingga tidak
menguntungkan bagi malaria. Curah hujan yang tinggi akan merubah aliran
air pada sungai atau saluran air sehingga larva dan kepompong akan terbawa
oleh air.
d. Angin
Jarak terbang nyamuk dapat dipengaruhi oleh kecepatan angin artinya
jarak jangkau nyamuk dapat diperpanjang atau di perpendek tergantung
kepada arah angin.
e. Sinar Matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
A. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh dan A. barbirostris dapat hidup
ditempat yang teduh maupun tempat yang terang, sedangkan A. macculatus lebih
suka hidup ditempat yang terlindung (sinar matahari tidak langsung).
f. Arus air
Masing-masing nyamuk menyukai tempat perindukan yang aliran airnya
berbeda. A. barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis
atau sedikit mengalir dan A. minimus menyukai tempat perindukan yang
airnya cukup deras, sedangkan A. letifer ditempat air yang tergenang.
2) Lingkungan Kimia
Beberapa species nyamuk dapat juga memanfaatkan oksigen yang terlarut
(Dissolved oxygen) melalui pernafasan kulit. Dari lingkungan kimia yang baru
diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perindukan, seperti A.
sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar 1218% dan tidak dapat berkembang biak pada garam lebih dari 40%. Untuk
mengatur derajat keasaman air yang disenangi pada tempat perkembangbiakan
nyamuk perlu dilakukan pengukuran pH air, karena A. letifer dapat hidup
ditempat yang asam atau pH rendah.
3) Lingkungan Biologi
6

Jenis tumbuhan air yang ada seperti bakau (Mangrove), ganggang dan
berbagai jenis tumbuhan lain yang dapat mempengaruhi kehidupan larva
nyamuk, karena ia dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau
menghalangi dari serangan mahkluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air
merupakan indikator bagi jenis-jenis nyamuk tertentu. Tanaman air bukan saja
menggambarkan sifat fisik, tetapi juga menggambarkan susunan kimia dan
suhu air misalnya pada lagun banyak ditemui lumut perut ayam
(Heteromorpha) dan lumut sutera ( Enteromorpha) kemungkinan dilagun
tersebut ada larva A. Sundaicus. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva
seperti ikan kepala timah (Plocheilus panchax Panchax sp), Gambusi sp,
Oreochromisniloticus (nila merah), Oreochromis mossambica (mujair), akan
mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Selain itu adanya ternak besar
seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada
manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan diluar rumah, tetapi tidak
jauh dari rumah atau cattle barrier.
4) Lingkungan Sosial Budaya
Faktor ini kadang- kadang besar sekali pengaruhnya dibandingkan dengan
faktor lingkungan yang lain. Kebiasaan untuk berada diluar rumah sampai larut
malam, dimana vector lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar
jumlah gigitannyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan
penggunaan zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan
perbedaan status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan
malaria.
3.3. Cara penularan mikroba penyebab demam
Sebagai contoh adalah cara penularan bakteri Salmonella typhi penyebab
penyakit typus/tifoid. Penularan penyakit ini dapat melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses (tinja) (Rakhman et al., 2009).

5F

Food (makanan)
Fingers (jari tangan / kuku)

Fomitus / Vomitus (muntahan)


Fly (lalat)
Feses (tinja)
Bakteri masuk ke saluran cerna, sebagian akan musnah oleh asam
lambung, dan sebagian akan diserap di usus halus, masuk ke aliran darah dan
menuju ke seluruh tubuh. Bakteri tersebut akan menghasilkan endotoksin (racun)
sehingga tubuh bereaksi demam. Bakteri masuk organ hati dan limpa,
menyebabkan pembengkakan. Pembengkakan ini menimbulkan rasa tidak enak di
perut (kembung, nyeri, mual, tidak nafsu makan). Selain itu bakteri ini akan
masuk jaringan getah bening usus halus, menimbulkan perlukaan, dan bila
infeksinya tidak ditanggulangi dapat menimbulkan komplikasi perdarahan dan
perforasi (kebocoran) usus halus.

3.4. Pengobatan Penyakit Tifoid


Menurut Rakhman et al. (2009) tujuan dari perawatan dan pengobatan
terhadap penderita penyakit tifoid atau types adalah untuk menghentikan invasi
kuman, mencegah terjadinya komplikasi, memperpendek perjalanan penyakit,
serta mencegah agar tak kambuh lagi. Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit
tyfus ini dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian,
faeces dan urine untuk mencegah penularan. Selama tiga hari pasien harus
berbaring di tempat tidur hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri
dan berjalan.
Untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing,
Anda dapat memberikan obat paracetamol. Sedangkan pada anak yang mengalami
demam tifoid maka pilihan antibiotika yang baik adalah kloramfenikol selama 10
hari. Sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk menentukan obat yang baik
untuk mengatasi demam tifoid. Selain dengan obat-obatan juga ada cara
tradisional untuk menyembuhkan penyakit typus yaitu dengan menggunakan
tanaman obat yang bisa kita jumpai di lingkungan kita.
Tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk penyembuhan tifoid
diantaranya adalah :
8

1) Sambiloto (Andrographis paniculata)


Fungsi dari tanaman ini adalah untuk menurunkan panas atau demam, fungsi
lain untuk antiracun dan antibengkak. Cukup efektif untuk meningkatkan
kekebalan tubuh, serta mengatasi infeksi dan merangsang phagocytosis.
Bagian dari tanaman ini dapat diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Untuk
penggunaannya : 1 jam sebelum makan 3 x 1 kapsul (pagi, siang, sore).
2) Bidara upas (Merremia mammosa)
Tanaman ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit (analgesik), menetralkan
racun dan sebagai anti radang. Olah bagian dari tanaman ini dalam bentuk
kapsul. Pemakainnya sendiri : 3 x 1 kapsul/hari.
3) Rumput Mutiara
Tanaman ini sangat berguna untuk menghilangkan rasa panas dan anti radang,
selain itu juga sangat bermanfaat untuk mengaktifkan peredaran darah. Olah
juga bagian tanaman ini menjadi kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1
kapsul/hari.
4) Temulawak
Sifat dari tanaman ini adalah bakteriostatik dan bermanfaat untuk
meningkatkan kekebalan tubuh serta antiflasma atau pembengkakan. Olah
bagian tanaman ini dalam bentuk kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1
kapsul/hari.
Adapun obat-obatan yang biasa dimanfaakan untuk penyembuhan penyakit
demam tifoid adalah :
1) Antibiotik
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga
memerlukan antibiotik. Antibiotik lini pertama adalah chloramphenicol,
amoxicillin, atau cotrimoxazole. Antibiotik lini kedua adalah golongan
fluoroquinolone (ofloxacin, ciprofloxacin) atau golongan cephalosporine
(ceftriaxone, cefixime, atau cefotaxime). Lama pemberian antibiotik adalah 714 hari. Tirah baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal
kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat
disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol
100mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal
kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan bila jumlah

leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau
kotrimoksazol.
2) Penurun panas
Penurun panas yang sering diberikan adalah paracetamol.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada demam tifoid yang berat.
4) Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah
mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi,
antara lain :
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan
dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke3 makanan biasa, dan seterusnya.
5) Pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi
Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna
makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas
(karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan
mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat
bagian usus yang mengalami perforasi.
3

3.5. Ciri khas eksotoksin dan endotoksin


Menurut FK UI, (2010) beberapa ciri eksotoksin dan endotoksin adalah sebagai
berikut :
Ciri

Eksotoksin

Sumber bakterial

Terutama diekskresikan oleh Dilepaskan dari dinding

Sifat kimiawi
Toleransi
panas

Endotoksin

bakteri gram positif

sel bakteri gram negatif

Protein

yang mengalami lisis


lipopolisakaride

terhadap Dengan mudah dibuat tindak Tahan di autoklaf


aktif pada 60-100o C selama
30 menit

10

Imunologi

Dapat diubah menjadi toksoid Tidak dapat membentuk


dan dapat dengan mudah toksoid
dinetralkan oleh antitoksin

netralisasi

dengan antitoksin tidak


mungkin ataupun kalau
mungkin akan sangatlah

sulit
Spesifik bagi macam tertentu Berbagai efek , tetapi

Efek biologis

fungsi sel

kebanyakan
gejala

renjatan

(generalized
Dosis letal

berupa
acak

shock)

atau hipersensivitas
Jauh lebih
banyak

Sangat sedikit

dibandingkan

dengan

eksotoksin

3.6 Intrepretasi Dari Pemeriksaan Fisik Syamil


No

Hasil Pemeriksaan Fisik

Nilai Normal

Keadaran Compos Mentis

Compos Mentis

Tekanan Darah 90/60 mmHg

120/80 mmHg

Hipotensi*

16-24 kali/menit

Normal

Kecepatan

Pernapasan

kali/menit

Suhu Tubuh 39,4 0 C

Nadi 112 kali/menit

Tes Rumple Leed

24

Intepretasi

36,5 37,2 0 C
60

kali/menit
-

100

Memiliki

tingkat

kesadaran penuh

Demam

Tinggi

(Hipertermi)
Takikardi*
Pada
pertama
terdeteksi

minggu
belum
adanya

pendarahan

11

subkutis
7

Terjadi Pembesaran Hepar dan


Nyeri Tekan Epigastrium

Mengalami
Hepatomegali

Keterangan :
*Hipotensi dikarenakan terjadinya vasodilatasi pembuluh kapiler akibat
mediator mediator inflamasi sehingga hipotensi membuat perfusi O 2
terganggu
*Takikardi meruapakn respon tubuh terhadap terganggunya perfusi O2 ke
jaringan , menyebabkan peningkatan curah jantung

3.7 Ketika Efek Obatnya Hilang, Syamil Kembali Demam


Pemberian antipiretik dapat menurunkan demam secara simtomatik,
namun obat ini dapat menimbulkan masking effect, misalnya pada keadaan yang
terjadi pada pasien demam berdarah Dengue. Pada pasien tersebut, penurunan
panas oleh antipiretik menimbulkan kesan bahwa penyakit telah sembuh, padahal
sebenarnya virus penyebab penyakitnya masih ada. Penderita demam yang
disangka sedang dalam masa penyembuhan karena panasnya sudah turun,
ternyata luput dari observasi dan mengakibatkan penyakitnya berlanjut semakin
buruk akibat pemberian obat penurun panas (han et al, 2001)
3.8 Pemeriksaan Rample Leed
Rumple leede test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat
untuk menentukan apakah terkena demam berdarah atau tidak. Rumple leed
adalah pemeriksaan bidang hematologi dengan melakukan pembendungan pada
bagian lengan atas selama 10 menit untuk uji diagnostik kerapuhan vaskuler dan
fungsi trombosit. Prosedur pemeriksaan Rumple leed tes yaitu :
a. Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas dan pump
sampai tekanan 100 mmHg (jika tekanan sistolik pesakit < 100

12

mmHg, pump sampai tekanan ditengah-tengah nilai sistolik dan


diastolik).
b. Biarkan tekanan itu selama 10 minit (jika test ini dilakukan sebagai
lanjutan dari test IVY, 5 minit sudah mencukupi).
c. Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah hilang
kembali. Statis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan
yang telah diberi tekanan tadi kembali lagi seperti warna kulit
sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada lengan yang satu
lagi (yang tidak diikat).
d. Cari dan hitung jumlah petechiae yang timbul dalam lingkaran
bergaris tengah 5 cm kira-kira 4 cm distal dari fossa cubiti.
e. Turunkan tekanan dan lepaskan manset. (Kemenkes RI, 2011)
3.9. Tekanan Darah Normal
Tekanan darah adalah kekuatan yang memungkinkan darah mengali
dalam pembuluh darah untuk beredar dalam seluruh tubuh. Darah berfungsi
sebagai pembawa oksigen serta zat-zat lain yang dibutuhkan oleh seluruh
jaringan tubuh supaya dapat hidup dan dapat melaksanakan masing-masing
tugasnya.Tekanan Darah Sistolik (TDS) menunjukkan tekanan pada arteri bila
jantung berkontraksi (denyut jantung) atau tekanan maksimum dalam arteri
pada suatu saat. TDS dinyatakan oleh angka yang lebih besar jika dibaca pada
alat pengukur tekanan darah. TDS normal 90-120 mmHg. Tekanan Darah
Diastolik (TDD) menunjukkan tekanan darah dalam arteri bila jantung berada
dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. TDD dinyatakan dengan
angka yang lebih kecil jika dibaca pada alat pengukur tekanan darah. TDD
normal 60-80 mmHg. Tingginya TDS berhubungan dengan curah jantung,
sedangkan TDD berhubungan dengan besarnya resistensi perifer.
(Dalimartha, dkk .2008)

3.10. Denyut Nadi Normal Saat Istirahat Dan Terbangun


Kelompok umur
Bayi abru lahir
1 minggu-3 bulan

Denyut/menit
100-180
100-220

13

3 bulan- 3 tahun
2 tahun- 10 tahun
10 tahun- dewasa
(Mary E Muscari, 2005)

80-150
70-110
55-90

3.11. Rentang Frekwensi Pernafasan Normal


Kelompok umur
Baru lhair- 6 bulan
6 bulan 2 tahun
3 tahun -10 tahun
10 tahun- 18 tahun
(Mary E Muscari, 2005)

Frekwensi/menit
30 -50
20-30
20-28
12-20

14

BAB IV
SISTEMATIS MASALAH

15

16

17

BAB V
SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat memahami mekanisme demam pada skenario.
2. Mahasiswa dapat memahami mengapa demam Syamil dapat naik lagi
setelah diberi obat.
3. Mahasiswa dapat memahami tipe tipe demam yang berkaitan dengan
skenario.
4. Mahasiswa dapat mengetahui manfaat dari demam.
5. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi lain dari demam.
6. Mahasiswa dapat mengetahui macam macam obat penurun demam dan
obat pilihan untuk demam.
7. Mahasiswa dapat mengetahui kompres yang sesuai dengan demam pada
skenario.
8. Mahasiswa dapat mengetahui efek samping dari obat.
9. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu GCS (Glasglow Coma Scale).
10. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami anamnesis.
11. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Test Rumple leed.
12. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perbedaan dari demam
tifoid, demam berdarah dan demam malaria.
13. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari epikstaksis anterior dan
posterior.
14. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan efek farmakokinetik,
farmakodinamik, dan efek samping dari Parasetamol, Ibuprofen dan
Salisilat.

BAB VI
BERBAGI INFORMASI
6.1.

Mekanisme demam pada kasus Syamil

18

Proses perubahan suhu (demam) yang terjadi saaat tubuh dalam


keadaan sakit, apabila dikaitkan dengan infeksi dikarenakan oleh zat toksin dari
mikroba yang masuk kedalam tubuh. Pada umumnya keadaan sakit terjadi karena
adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh akibat infeksi (Sherwood,
2014). Jadi demam yang disebabkan oleh peradangan merupakan suatu petanda
adanya gangguan kesehatan, sehingga keadaan demam tersebut hanyalah suatu
keluhan dan bukan suatu diagnosis (Wilson, 2014).
Mekanisme demam bila dikaitkan dengan dehidrasi, dimana

saat

dehidrasi terjadi, tubuh tidak hanya kehilangan air tetapi juga kehilangan elektrolit
dan glukosa. Tubuh akan langsung merespons dehidrasi awal (kehilangan sekitar
2% cairan tubuh), yaitu mulanya adalah rasa haus yang teramat sangat, mulut dan
lidah kering, air liur pun berkurang, begitupun produksi kencing pun menurun.
Apabila hilangnya air meningkat menjadi 3-4% dari berat badan, terjadi
penurunan performa tubuh. Suhu tubuh menjadi naik menjadi demam, biasanya
diikuti meriang. Tubuh menjadi sangat tidak nyaman, nafsu makan hilang, kulit
kering dan memerah, serta muncul rasa mual (Sumarno, 2002).
6.2. Demam Syamil naik lagi
Hal tersebut dapat terjadi karena :
1) Yang diberikan kepada Syamil adalah obat penurun panas berupa obat
analgetik-antipiretik yang bekerja dengan cara menghambat pembentukan
prostaglandin, sehingga setiap minum obat tersebut panas akan turun.
Akan tetapi setelah konsentrasi antipiretik turun, maka efek hambatan
terhadap pembentukan prostaglandin juga rendah. Sehingga panas badan
akan meningkat lagi selang beberapa saat karena pembentukan
prostaglandin terus berlangsung selama penyebab terjadinya infeksi belum
diatasi. Jadi demam akan muncul lagi begitu efek obat penurun panasnya
hilang (Nadesul, 2008).
2) Bila dikaitkan dengan dosis pemberian obat, menurut Smith & Davidson
(2009) dosis obat pada anak lebih tepat jika dihitung dengan berpatokan
pada berat badan (bukan usia), seperti misalnya Parasetamol dengan dosis
10 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam. Sehingga bisa saja dosis yang diberikan

19

oleh mantri untuk Syamil terlalu rendah, sehingga efek penurun panasnya
cepat hilang, yang mengakibatkan demam akan cepat muncul lagi.
Pemberian obat jenis simptomatik
Menurut Sumarno (2002) dan Nadesul (2008) obat simptomatik
merupakan obat untuk untuk meredakan keluhan dan gejala penyakitnya saja, dan
tidak

membasmi penyebabnya. Oleh karena itu Nadesul (2008) menjelaskan

bahwa keluhan penyakit biasanya mereda begitu meminum obat simptomatik anti
demam, akan tetapi obat jenis ini sebetulnya tidak begitu diperlukan, oleh karena
bukan jenis obat yang dapat meniadakan penyebabnya. Obat simptomatik hanya
dapat mengusir asapnya, tetapi tidak dapat memadamkan api penyakitnya. Jadi
obat simptomatik boleh diberikan, boleh juga tidak diberikan, karena yang dapat
menyembuhkan penyakitnya adalah obat jenis kausatif seperti antibiotika.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakitnya
adalah dengan memberikan obat kausatif yang cocok dan sesuai dengan hasil
diagnosis penyakit yang dideritanya (Nadesul, 2008).
6.3. Tipe-tipe demam
Beberapa tipe demam yang biasa dijumpai antara lain ( Nelwan, 2007) :
1)

Demam septik, pada tipe ini suhu badan berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal
pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila
demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga

demam hektik.
2) Demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat
dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat
pada demam septik.
3) Demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua
hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di antara
dua serangan demam disebut kuartana.

20

4) Demam kontinyu,pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari


tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
5) Demam siklik, pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Karakteristik demam tifoid
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status
kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita
demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa
demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya.
Ada juga yang menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah
step ladder temperature chart, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap
tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan
tinggi, dan selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak
terdapat fokus infeksi. Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah
malaise, pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia,
hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat
ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di
tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness,
bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda,
berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot (Mims, 2002; Davis & Phair,
2004).

Karakteristik demam DBD


Menurut (Sylvana & Pereira, 2000) karakteristik demam DBD adalah :
1) Demam mendadak 2 7 hari dengan suhu 38 40 derajat Celsius serta
diikuti gejala lainnyadibawah ini;

21

2) Sakit Kepala
3) Nyeri di belakang mata
4) Rasa nyeri pada otot tubuh
5) Tulang terasa nyeri
6) Bercak merah dikulit (ruam)
7) Sel darah putih (Leukosit) menurun/ rendah
8) Munculnya tanda pendarahan
9) Uji serologi Dengue dinyatakan positif
10) Ada tetangga yang sudah positif terjangkit DBD
Fase dari demam berdarah itu sendiri memiliki tahapan yaitu masa inkubasinya
sekitar 5-9 hari, dimulai dari tahap infeksi sampai munculnya gejala. Selanjutnya
akan memasuki fase demam yang mana sudah muncul gejala sekitar 1-3 hari dan
pada hari ke 4-5 merupakan fase kritis. Jika sudah pada fase kritis tersebut korban
bisa mengalami kebocoran pembuluh darah kapiler.

22

Karakteristik demam malaria


Menurut (Sudoyo, 2006; Rachman, 2009) tanda dan gejala malaria pada
fase awal mirip dengan gejala penyakit infeksi lainnya seperti sakit kepala, sakit
otot dan sendi dan perasaan tidak enak badan (malaise). Gejala-gejala ini sering
dianggap sebagai meriang biasa atau flu. Selanjutnya demam malaria memiliki
ciri-ciri yang khas yaitu periode dingin, panas dan berkeringat (Trias malaria) :
Periode dingin menyebabkan menggigil hingga gigi menggeretak. Periode panas
tinggi bisa mencapai 40 derajat celcius, yang membuat penderita menggigau, pada
anak-anak bisa menimbulkan kejang-kejang. Pada periode berkeringat, panas akan
turun dan mengeluarkan banyak keringat.
Pola penyakit malaria berbeda tergantung jenis plasmodiumnya.
1) Plasmodium falciparum bisa menimbulkan kelainan fungsi otak yang
sering disebut sebagai malaria serebral. Sakit kepala hebat, linglung dan
penurunan kesaran menggigau. Panas tubuh naik secara bertahap
kemudian turun secara tiba-tiba. Serangan biasanya berlangsung 20-36
jam kemudian membaik dan kemudian timbul gejala lagi secara berulang
dengan selang waktu 36-72 jam.
2) Pada malaria karena plasmodium vivax dan ovale, jika panas tinggi bisa
menimbulkan menggigau tetapi tidak didapatkan kelainan fungsi otak
lainnya. Dimulai dengan menggigil ringan, panas dan berkeringat 1-8 jam.
Jeda waktu setiap serangan setiap 48 jam atau dua hari.
3) Plasmodium malariae gejala mirip dengan plasmodium vivax dengan jeda
serangan sedikit lebih lama sekitar setiap 72 jam

6.4. Manfaat demam

23

Menurut Wilson (2014) peristiwa peradangan yang menyebabkan demam


sebenarnya merupakan fenomema yang menguntungkan dan merupakan
mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam
keadaan fisiologis tubuh. Oleh karena itu, Luney et al. (2011) serta Zaaqoq &
Yende (2013) menyatakan berdasarkan beberapa penelitian bahwa terjadinya
demam memiliki beberapa efek respon tubuh yang menguntungkan :
1) HSP (Heat Shock Protein) merupakan protein yang di produksi selama
keadaan demam, dimana protein ini sangat penting untuk kelangsungan
hidup sel selama stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein tersebut
memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan kadar sitoksin pro
inflamasi.
2) Demam memicu efek menguntungkan lainnya, yaitu adanya peningkatan
aktivitas fagositik dan beteriocidal neutrofik serta meningkatkan efek
sitotoksik limfosit.
3) Beberapa mikroba menjadi kurang ganas dan tumbuh lebih lambat pada
suhu tubuh yang tinggi dalam keadaan demam. Seperti pada demam sakit
Menginitis, bakteri meningococcus tumbuh lebih lambat pada saat demam,
begitupun pada sakit malaria pertumbuhan parasit Plasmodium falciparuum
menjadi terhambat pada saat keadaan demam.
4) Adanya peningkatan kadar C-reactive protein yang dapat mendorong fagosit
lebih patuh untuk menyerang mikroorganisme, memodulasi radang dan
mendorong perbaikan jaringan.
5) Demam juga bermanfaat karena dapat menurunkan kadar zat besi dalam
tubuh, padahal mikroba membutuhkan zat besi untuk hidup dan
berkembang, sehingga mekanisme ini dapat melemahkan mikroba penyebab
infeksi.
6.5. Komplikasi demam
1) Kejang demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonikklonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu

hypertermia yang timbul

24

mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia &

Wilson, 2014).

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan dengan


kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang di sebab kan oleh infeksi
di luar saluran saraf pusat, misalnya tonsillitis, otitis media akut, bromkitis,
fluronkulosis, dan lain lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24
jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik klonik atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri, begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan
sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Smith & Davidson, 2009).
2) Dehidrasi
Menurut Sumarno (2002) komplikasi demam dalam jangka pendek yang
sering terjadi adalah dehidrasi yang ditandai dengan mata cekung dan
elastisitas kulit berkurang sehingga apabila punggung tangan dicubit
kulitnya akan lambat kembali, anak terlihat lemas dengan bibir kering dan
pecah-pecah, ubun-ubun cekung, kencingnya sedikit dan jarang (>6 jam).
3) Delirium
Delirium adalah kondisi akut yang menyebabkan seseorang menjadi tidak
fokus dan bingung. Meskipun bisa ada beberapa penyebab delirium,
demam merupakan salah satu penyebab tersebut. Demam dapat
menyebabkan delirium karena suhu tubuh tinggi mengganggu proses
metabolisme tubuh. Agar demam menyebabkan delirium, tubuh harus
mencapai suhu minimal 105F atau lebih. Dalam banyak kasus suhu
demam dari 104F biasanya tidak menyebabkan delirium (Sumarmo,
2002).
4) Gangguan kesadaraan
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang
penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis.
Pada penderita demam toksik, munculnya gejala delirium (mengigau) lebih
menonjol (Sumarno, 2002).

25

6.6. Macam obat penurun demam dan pilihan obat demam


a. Antipiretik
Antipiretik yang banyak digunakan dan dianjurkan adalah parasetamol,
ibuprofen, dan aspirin (asetosal) (Davis & Phair, 2004; Wilmana & Gan,
2007). Oleh karena itu antipiretik yang akan dibahas lebih lanjut ketiga jenis
obat tersebut :
1. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek anti
inflamasi parasetamol hampir tidak ada. Asetaminofen di Indonesia lebih
dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas, misalnya
Panadol, Bodrex, INZA, dan Termorex (Wilmana dan Gan, 2007).
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral.
Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi,
erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga
gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa (Wilwana dan Gan,
2007).
Parasetamol diberikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat
pengosongan perut, konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60
menit. Parasetamol sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian
dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan
glikoronida asetaminofen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari
5% diekskresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi
sangat aktif (N-acetyl-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar
karena efek toksiknya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen
adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan
kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali
lipat atau lebih (Katzung, 2002).

26

Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya berupa


eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan
masalah pada dosis terapi karena hanya kira-kira 1-3 % Hb yang diubah
menjadi met-Hb. Penggunaan sebagai analgesik dalam dosis besar secara
menahun terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati
diabetik (Wilwana dan Gan, 2007).
Akibat dosis toksik yang serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis
serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi
pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250mg/kgBB) parasetamol.
Anoreksia, mual, dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama
dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat
terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum
transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan
masa protrombin. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma,
dan kematian. Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan (Katzung, 2002).
2. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis
1200-2400 mg sehari (Katzung, 2002). Absorpsi ibuprofen dengan cepat
melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam.
Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. 99% ibuprofen terikat dalam
protein plasma. Ibuprofen dimetabolisme secara ekstensif via CYP2C8
(cytochrome P450, family 2, subfamily C, polypeptide 8) dan CYP2C9
(cytochrome P450, family 2, subfamily C, polypeptide 9) di dalam hati dan
sedikit diekskresikan dalam keadaan tak berubah (Katzung, 2002). Kira-kira
90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai
metabolit/konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan
karboksilasi (Wilmana dan Gan, 2007).

27

Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai


antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek antiinflamasi dan analgetiknya
melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin. Efek ibuprofen
terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau
naproksen.
Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia,
dan ambliopia toksik yang reversibel. Penggunaan ibuprofen bersama-sama
dengan salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-bloker dapat
mengurangi khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama
dengan obat furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari
kedua obat tersebut (Wilmana dan Gan, 2007).
Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal
pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak dianjurkan
diminum oleh wanita hamil dan menyusui. Dengan alasan bahwa ibuprofen
relatif lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping yang serius
pada dosis analgesik, maka ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas
dibeberapa negara antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Ibuprofen tersedia
di toko obat dalam dosis lebih rendah dengan berbagai merek, salah satunya
ialah Proris (Wilmana dan Gan, 2007).
3. Aspirin
Aspirin atau asam asetilsalisilat adalah suatu jenis obat dari keluarga salisilat
yang sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa sakit atau nyeri),
antipiretik (terhadap demam), dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek
antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk
mencegah serangan jantung. Beberapa contoh aspirin yang beredar di
Indonesia ialah Bodrexin dan Inzana (Wilmana dan Gan, 2007).
Efek-efek antipiretik dari aspirin adalah menurunkan suhu yang meningkat,
hal ini diperantarai oleh hambatan kedua COX (cyclooxygenase) dalam
sistem saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama
proses inflamasi). Turunnya suhu, dikaitkan dengan meningkatnya panas

28

yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan atau


superfisial dan disertai keluarnya keringat yang banyak (Katzung, 2002).
Aspirin merupakan obat yang efektif untuk mengurangi demam, namun tidak
direkomendasikan pada anak. Aspirin, karena efek sampingnya merangsang
lambung dan dapat mengakibatkan perdarahan usus maka tidak dianjurkan
untuk demam ringan (Soedjatmiko, 2005). Efek samping seperti rasa tidak
enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan
bila dosis per hari lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau
antagonis H2 dapat mengurangi efek tersebut (Wilmana dan Gan, 2007).
Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam
pembekuan darah) dan dapat memicu risiko perdarahan sehingga tidak
dianjurkan untuk menurunkan suhu tubuh pada demam berdarah dengue
(Wilmana, 2007). Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti
meningkatkan risiko Sindroma Reye (Katzung, 2002)
b. Obat tradisional herbal untuk penurun demam
Menurut WHO (2002), pengobatan tradisional ialah suatu sistem
pengobatan komprehensif seperti pengobatan Cina dan ayurveda India,
termasuk pengobatan dari bahan tumbuh-tumbuhan (herbal), hewan, atau
mineral nonterapi medik. Pengobatan tradisional herbalis ialah suatu ilmu
dan seni mengatasi berbagai penyakit dengan menggunakan tumbuhtumbuhan

berkhasiat

yang

tidak

menimbulkan

efek

negatif

bagi

pengkonsumsinya (Supriadi, 2001). Menurut UU RI Nomor 23 Tahun 1992


tentang kesehatan, pengobatan tradisional diartikan sebagai salah satu upaya
pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau
ilmu keperawatan, mencakup cara (metoda), obat dan pengobatnya yang
mengacu kepada pengetahuan, dan keterampilan turun temurun baik yang asli
maupun yang berasal dari luar Indonesia dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia diakui negara yang kaya tanaman
herbal, berdasarkan data International Trade Centre UNCTAD/WTO, negara
yang mengekspor tumbuhan obat terbesar (Supriadi, 2001). Dalam
pengobatan tradisional semua bahan-bahan yang dipergunakan berasal dari
bahan yang biasa digunakan di dapur keluarga dan tumbuh-tumbuhan yang

29

mudah didapatkan yang tumbuh di sekitar tempat tinggal, seperti di halaman,


di pinggir-pinggir jalan dan di kebun. Bahan atau ramuan yang berupa
tanaman dari bahan tersebut secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan

berdasarkan

pengalaman

(Dwiyatmoko,

2001).

Menurut

Wijayakusuma (2008), ramuan pengobatan herbal yang dapat menurunkan


demam:
1. Resep 1 : 30 g pegangan segar (15 g kering) dan 30 g daun kaca piring
a. Cuci bersih semua bahan, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc,
lalu saring.
b. Minum 150 cc 2 kali sehari.
2. Resep 2 : 30 g sambiloto kering dan 1 sdm madu
a. Cuci bersih bahan, rebus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu
saring.
b. Tambahkan madu, lalu minum 2 kali sehari.
3. Resep 3: 60-100 g krokot segar
a. Cuci bersih bahan, rebus setengah matang, lalu blender hingga halus.
b. Minum 2 kali sehari.
4. Resep 4: 30 gr akar alang alang, 20 g asam kawak, buang bijinya dan 200
g tomat matang serta madu secukupnya
a. Cuci semua bahan, rebus dengan 300 cc air hingga tersisa 150 cc, lalu
saring.
b. Gubakan airnya untuk memblender tomat.
c. Tambahkan madu, lalu minum.
5. Resep 5: 1 jari batang brotowali dan 30 g meniran
a. Cuci bersih semua bahan, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc,
lalu saring.
b. Minum 150 cc 2 kali sehari.
6. Resep 6 (pemakaian luar untuk panas pada anak): 4 siung bawang merah,
haluskan, 1 buah jeruk nipis, peras, 1 sdm minyak kelapa
a. Campur semua bahan, aduk rata.
b. Kompreskan pada ubun-ubun (kepala atas) anak.

30

Adapun beberapa resep obat herbalis lain yang dapat menurunkan demam
pada anak menurut Dalimartha (2008), diantaranya adalah :
1. Lempuyang Emprit (Zingiber amaricans)
a. Cuci bersih 10 gram umbi lempuyang emprit
b. Parut dan tambahkan 1/2 gelas air panas, aduk rata.
c. Setelah dingin, peras, ambil sarinya.
d. Campur dengan 2 sendok makan madu bunga kapuk, aduk rata.
e. Berikan 3 kali sehari.
2. Kunyit (Curcuma longa)
a. Cuci bersih 10 gram umbi kunyit.
b. Parut dan tambahkan 1/2 gelas air panas, aduk rata.
c. Setelah dingin, peras, ambil sarinya.
d. Tambahkan dengan perasan 1/2 buah jeruk nipis.
e. Campur dengan 2 sendok makan madu bunga kapuk, aduk rata.
f. Bagi menjadi 3 bagian campuran madu dan kunyit ini, kemudian berikan
3 kali sehari.
3. Pegagan (Centella asiatica L.)
a. Rebus 1 genggam pegagan segar dengan 2 gelas air hingga mendidih
dan airnya tinggal 1 gelas.
b. Bagi menjadi 3 bagian dan diminum 3 kali sehari.
4. Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.)
a. Cuci bersih 10 gram rimpang temulawak.
b. Parut dan tambahkan 1/2 gelas air panas, aduk rata.
c. Setelah dingin, peras, ambil sarinya.
d. Campur dengan 2 sendok makan madu bunga kapuk, aduk rata.
e. Bagi menjadi 3 campuran madu dan temulawak, kemudian berikan 3
kali sehari.
5. Daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis)

31

a. Cuci bersih daunnya, keringkan dengan lap bersih, panaskan sebentar di


atas api agar lemas.
b. Remas-remas sehingga lemas, olesi dengan minyak kelapa, kompreskan
pada perut dan kepala.
6. Meniran (Phyllanthus niruri)
a. Rebus 1 genggam meniran segar dengan 2 gelas air hingga mendidih
dan airnya tinggal 1 gelas.
b. Bagi menjadi 3 bagian dan diminum 3 kali sehari.
7. Kelapa ( Cocos nucifera L.)
Air kelapa muda banyak mengandung mineral, antara lain kalium. Untuk
menurunkan demam, minum air kelapa pada pagi dan sore hari, masingmasing 1 buah.
8. Daun Sirih (Piper bettle L.)
a. Daun sirih 1 genggam dilumatkan tanpa air.
b. Kemudian dilumurkan pada kepala dan pinggang kiri-kanan.
9. Alamanda (Allamanda cathartica L.)
a. Rebus daun dan masukkan ke dalam ember atau baskom.
b. Gunakan untuk menguapi badan yang panas.
Menurut Afifah (2005), umumnya pemakaian obat tradisional di masyarakat
tidak mempunyai standar yang tepat karena berdasarkan pengalaman turun
temurun, pemakaian dosis yang tepat memberikan efek yang maksimal.
Resep-resep pemakaian obat tradisional yang dipublikasikan sudah
mempunyai standar dosis sehingga dapat dipakai sebagai acuan. Dosis dapat
dilihat di tabel berikut :

32

Tabel Dosis yang Direkomendasikan pada Anak


Usia
< 1 tahun
1-6 tahun
6-12 tahun
12 tahun-dewasa

Dosis
1/4 dosis anjuran
1/2 dosis anjuran
3/4 dosis anjuran
1 dosis anjuran

c. Obat demam pilihan adalah :


Menurut Smith & Davidson (2009) obat penurun demam/panas yang biasa
diberikan pada umumnya adalah :
1. Parasetamol, merupakan obat demam yang paling aman dan obat yang
dianjurkan untuk anak-anak. Parasetamol termasuk dalam golongan obat
penurun demam (antipiretik) dan penghilang nyeri (analgesik) untuk nyeri
ringan hingga sedang. Akan tetapi parasetamol tidak memiliki efek antirematik dan anti-radang. Selain itu, parasetamol tidak menimbulkan iritasi
di lambung sehingga bisa diminum sebelum makan. Dosis yang diberikan
pada anak-anak berumur kurang dari 12 tahun adalah 1015 mg/kg berat
badan setiap 46 jam jika dibutuhkan. Adapun dosis untuk orang dewasa
adalah 325650 mg setiap 46 jam atau 1000 mg 34 kali per hari.
Penggunaan parasetamol tidak boleh melebihi 4 g per hari untuk dewasa
dan 2,6 g per hari untuk anak-anak karena dapat menyebabkan overdosis.
2. Ibuprofen, merupakan obat antiperadangan non-steroid yang paling aman
dan dianjurkan untuk anak-anak. Penggunaan obat ini umumnya lebih
banyak digunakan sebagai obat anti-nyeri. Obat ini sering digunakan
sebagai anti-nyeri pada pasien pasca operasi. Selain efek penurun panas
dan anti-nyeri yang efektif, obat ini juga meredakan reaksi peradangan,
oleh karena itu obat ini digunakan juga pada penyakit rhematoid arthritis
(radang sendi). Dosis anjuran 5-10 mg/kg BB/hari.

33

6.7. Kompres demam pada kasus tersebut


Redjeki (2002) menyatakan bahwa kompres hangat lebih efektif dalam
menurunkan suhu tubuh dibandingkan dengan kompres dingin dalam penanganan
demam. Oleh karena itu, menurut Hartanto (2003) kompres dingin mulai
ditinggalkan karena beresiko mengakibatkan konversi suhu yang ekstrim atau
malah bisa mengakibatkan peningkatan suhu tubuh karena ketika kompres dingin
ditempelkan di kulit tubuh akan mengira suhu lingkungan dingin lalu
hipotalamus malah meningkatkan suhu tubuh yang sudah panas/demam untuk
mengimbangi suhu dingin tersebut.
Kompres hangat menyebabkan suhu tubuh tubuh di luaran akan menjadi
hangat, sehingga tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu di luaran cukup
panas, akhirnya hipotalamus akan menurunkan set point termostat supaya tidak
meningkatkan suhu tubuh. Dengan suhu di luaran hangat akan membuat
pembuluh darah tepi di kulit melebar dan mengalami vasodilatasi sehingga poripori kulit akan membuka dan mempermudah pengeluaran panas. Dengan
diturunkannya set point termostat tersebut, tubuh menjadi berkeringat dan suhu
tubuh akan normal kembali (Hegner, 2003; Davis & Phair, 2004; Purwanti &
Ambarwati, 2008).
Hartanto (2003) menyatakan bahwa kompres dilakukan bukan untuk
keadaan darurat bila anak demam. Kompres dipakai untuk membantu penurunan
suhu tubuh disamping pemberian obat penurun panas. Jika anak panas tinggi,
yang pertama dilakukan bukan kompres tapi memberikan obat penurun panas.
Bila suhu tubuh anak tetap tinggi, barulah dibantu dengan kompres. Jika cukup
dengan obat, tidak perlu dilakukan kompres lagi.
Hasil penelitian Redjeki (2003) dan Purwanti & Ambarwati (2008)
menyarankan agar kompres hangat dapat dijadikan prosedur tetap dilingkungan
rumah sakit maupun keluarga dalam penanganan demam yang disebabkan infeksi,
non-infeksi maupun hipertermia.
6. 8. Efek samping obat demam
Sumarmo (2002) menyatakan bahwa beberapa efek samping obat
antipiretik yang sering muncul harus diketahui seperti mual, muntah, sakit perut,
kesulitan bernapas, dan sakit kepala. Pemberian antidemam atau antipiretik seperti
34

parasetamol dapat dikatakan aman apabila aman. Menurut para ilmuwan,


pemberian dilakukan pada saat demam atau suhu badan sudah mencapai 38
derajat celsius. Penggunaan antipiretik, harus dibatasi hanya untuk mengurangi
gejala dan membantu agar demam tak naik ke tingkat yang berbahaya.
6.9. GCS (Glasgow Coma Scale)
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk
menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya
sampai keadaan koma. Teknik penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian
terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu,
yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap
penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15 (Teasdale,
2014).
Jenis Pemeriksaan
Respon buka mata (Eye Opening, E)

Nilai

Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)

Respon terhadap suara (suruh buka mata)

Respon terhadap nyeri (dicubit)

Tida ada respon (meski dicubit)


Respon verbal (V)

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak

jelas dan

non-kalimat, misalnya, aduh bapak..)

Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)

Tidak ada suara


Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah

Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang

nyeri)

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas

35

dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi

tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Tidak ada (flasid)


1

Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS


disajikan dalam simbol EVMSelanjutnya nilai tiap-tiap pemeriksaan
dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4 V5 M6 dan terendah
adalah 3 yaitu E1 V1 M1. Biasanya, pasien dengan nilai GCS dibawah 5 ialah
pasien

emergensi

yang

sulit

dipertahankan

keselamatannya.

Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk


menentukan derajat trauma/cedera kepala (trauma capitis). Derajat cedera kepala
berdasarkan GCS :

GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)


GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)

6. 10. Penderita anemis


Menurut Bunn (2014) seseorang dikatakan menderita anemis/anemia apabila
mengalami :
a. Pucat pada bagian kelopak mata
b. Merasa cepat lelah
c. Merasakan sakit kepala
d. Mengalami palpitasi (denyut jantung tidak teratur)
e. Ujung jari berwarna pucat dan putih ketika ditekan
f. Sesak nafas
g. Merasakan mual
h. Kekebalan tubuh menurun
i. Rambut rontok
j. Pucat
k. Mengalami sinkop
l. Anoreksia
6.11. Tes rumle leed
Menurut Sylvana & Pereira (2000) tes rumble leed yang juga dikenal
sebagai tes tourniquet

adalah metode diagnostik klinis untuk menentukan

kecenderungan perdarahan pada pasien, yang menilai kerapuhan dinding kapiler


36

dan digunakan untuk mengidentifikasi trombositopenia (dengan pengurangan


count platelet).
Pengujian ini didefinisikan oleh WHO sebagai salah satu syarat yang
diperlukan untuk diagnosis DBD. Ketika manset tekanan darah dipacu ke titik
antara tekanan darah sistolik dan diastolik selama lima menit, maka tes ini akan
dinilai. Tes positif jika ada 10 atau lebih petechiae per inci persegi. Dalam DBD
tes biasanya memberikan hasil positif yang pasti dengan 20 petechiae atau lebih.
Tes ini tidak memiliki spesifisitas tinggi, dimana faktor mengganggu dengan uji
ini adalah perempuan yang pramenstruasi, postmenstrual dan tidak mengambil
hormon, atau mereka dengan kulit rusak matahari, karena semua akan mengalami
peningkatan kerapuhan kapiler.

Gambar 1. Sebuah tourniquet tes positif di sisi kanan pasien dengan demam
berdarah. Catatan : peningkatan jumlah petechiae .
Menurut WHO pada tes tourniquet dilakukan penghitungan jumlah petekie
dalam daerah seluas 1 inci 2 (1 inci = 2,5 cm) dimana saja yang paling banyak
petekienya termasuk di bawah fosa cubiti dan bagian dorsal lengan dan tangan.
Dalam klinik untuk mempermudah penghitungan digunakan plastik transparan

37

dengan gambaran lingkaran beridameter 2,8 cm atau bujur sangkar dengan ukuran
2,5 cm x 2,5 cm.
Dengan demikian lingkaran atau bujur sangkar tersebut dapat dengan
mudah digeserkan di seluruh permukaan kulit dan dicari daerah di mana petekie
paling banyak. Dalam menilai kenaikan hematokrit harus diingat pula pengaruh
adanya anemi, perdarahan dan pemberian terapi cairan dini. Untuk membuktikan
adanya kebocoran plasma dapat pula dicari efusi pleura pada pemeriksaan
radiologik atau adanya hipoalbuminemi. Dalam pengalaman klinik ternyata tidak
selalu semua kriteria WHO tersebut dipenuhi. Hemokonsentrasi baru dapat dinilai
setelah pemeriksaan serial hematokrit sehingga pada saat penderita pertama kali
datang belum dapat ditentukan adanya hemokonsentrasi atau tidak.
Secara umum langkah-langkah tes tourniquet dapat dibagi dalam 3 tahap
utama yaitu :
1. Pra Analitik
a.

Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapan khusus

b.

Prinsip : Terhadap kapiler diciptakan suasana anoksia dengan jalan


membendung darah vena. Terhadap anoksia dan penambahan tekanan
internal akan terlihat kemampuan kapiler bertahan. Jika ketahanan kapiler
turun aan timbul petechie di kulit.

c.

Alat dan bahan : tensimeter dan stetoskop, timer serta spidol

2. Analitik
Cara kerja :
a.

Pasang manset tensimeter pada lengan atas. Carilah tekanan sistolik (TS)
dan tekanan diastolik (TD).

b. Buat lingkaran pada bagian volar lengan bawah : (1) Radius 3 cm; (2)
Titik pusat terletak 2 cm dibawah garis lipatan siku
c.

Pasang lagi tensimeter dan buatlah tekanan sebesar x (TS + TD),


pertahankan tekanan ini selama 5 menit.

d.

Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya petechie dalam lingkaran


yang telah dibuat.

3.

Pasca Analitik

Nilai rujukan :

< 10

normal (nagatif)

38

10 20

dubia (ragu-ragu)

> 20

abnormal (positif)

6.12. Diagnosis diferensial


Diagnosis diferensial adalah menentukan diagnosis suatu penyakit dengan
cara membandingkan dua atau lebih penyakit yang mempunyai beberapa tanda
dan gejala yang sama. Pada dasarnya kegiatan demikian telah dimulai sejak
permulaan

anamnesis

dan

akan

dilaksanakan

terus

selama

melakukan

pemeriksaan fisik. Bahkan diagnosis diferensial demikian akan memberikan arah


untuk dilakukannya tes atau pemeriksaan khusus.
Adapun untuk melakukan diagnosis diferensial harus mengetahui etiologi
dari penyebab demam yang diduga dan pembanding, seperti penyebab demam
dapat dikarenakan oleh bakteri (Demam Tifoid), virus (Dengue Fever), parasit
(Malaria).
a. Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik dan salah satu dari
foodborne disease yang banyak ditemukan di semua negara.(WHO,2002)
Demam tifoid juga dikenali sebagai Typhus abdominalis, Typhoid fever dan
Enteric Fever. (Herawati, 2007). Demam tifoid merupakan golongan
typhoidal species dari penyakit Salmonellosis dimana Salmonellosis bisa
terbagi kepada dua yakni typhoidal species dan non typhoidal species. Bakteri
Salmonella adalah penyebab bagi Salmonellosis. Bagi typhoidal species,
bakteri Salmonella utama yang ditemukan adalah Salmonella typhi. (Brooks,
2004). Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat
aslinya yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini
dikelompokkan ke dalam enterobacteriaceae (Brooks, 2005). Bakteri ini
mempunyai antigen permukaan yang cukup kompleks yang berperan dalam
proses patogenesisnya dan juga berperan dalam respon imun pada pasien
yang terinfeksi.(Darmawati, 2009). Salomonellosis ini bisa ditularkan dengan
mengomsumsi makanan yang terkontaminasi berasal dari hewan seperti
daging, unggas, telur dan susu. (WHO, 2005).
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis
inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang
paling umum digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H. Antigen

39

O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa


lipopolisakarida (LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan
antigen O-spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit
oligosakarida yang terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini
biasanya berbeda antara satu isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya
antigen ini dapat digunakan untuk menentukan subgrup secara serologis.
Region II merupakan bagian yang melekat pada antigen O, merupakan core
polysaccharide yang konstan pada genus tertentu. Region III adalah lipid A
yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3-deoksioktonat
(KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang
menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid

melekatkan LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).


Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini,
yang disebut juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan
dengan pemanasan atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi untuk
antigen ini terutamanya adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi
aglutinasi. Antigen ini memiliki phase variation, yaitu perubahan fase salam
satu serotip tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen H fase-1, antigen
H fase-2 sedang disintesis (Chart, 2002).Antigen K berasal dari bahasa
Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen kapsul polisakarida dari bakteri
enteric (Dzen, 2003). Morfologi Salmonella typhi yaitu S. typhi merupakan
bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk spora, serta memiliki
kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai
facultative intra-cellular parasites. Dinding selnya terdiri atas murein,
lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun
sebagai lapisan-lapisan (Dzen, 2003).
Salmonella typhi menginfeksi manusia dan meyebabkan demam tifoid.
Berawal dari, S. typhi menghasilkan endotoksin. Endotoksin merupakan
senyawa lipopolisakarida

yang dihasilkan dari lisisnya sel bakteri. Di

peradaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan protein

tertentu

kemudian berinteraksi dengan reseptor yang ada pada makrofag dan monosit
serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan IL-1, TNF, dan sitokin lainnya.

40

Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin, namun hanya sedikit sekali
(Dzen, 2003).
Patogenesis Salmonella typhi. Salmonella yang terbawa melalui makanan
ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini
akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang lolos akan masuk ke
usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus
halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan
berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa
menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border. Kemudian, di
dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane mirip
dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan
memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui
intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel
limfoid (Singh, 2001). Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada
awalnya S. typhi berpfoliferasi di Payers patch dari usus halus, kemudian sel
mengalami destruksi sehingga bakteri akan dapat menyebar ke hati, limpa,
dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan
menyebar ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian
jaringan limfoid dari usus halus, terutamanya

ileum. Invasi bakteri ke

mukosa akan memicu sel epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, INF, GM-CSF (Singh, 2001). Patologi Salmonella
typhi di bagi menjadi 4 fase :
1) Fase 1 : hiperplasia dari folikel limfoid.
2) Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang
mempengaruhi mukosa dan submukosa.
3) Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya
perforasi dan perdarahan.
4) Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak
terbentuk striktur.
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam
dan nyeri abdomen dan muncul akibat infeksi S. typhi dan S. paratyphi.
Gejala
klinis demam tifoid bervariasi dari asimtomatik, ringan, berat, bahkan sampai
menyebabkan kematian. Masa inkubasi S. typhi berkisar 3-21 hari dimana
durasinya merefleksikan ukuran inokulum dan kesehatan serta status imun

41

inang yang terinfeksi. Gejala klinis yang umum adalah demam yang panjang
(38,8 -40,5C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu
jika tidak segera ditangani. Keluhan nyeri abdomen hanya berkisar 30-40%
dari penderita yang menderita demam tifoid (Fauci, 2008).
Pada minggu pertama, keluhan yang dapat muncul sangat umum, seperti
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi
atau diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk, dan epistaksis. Jika
dilakukan pemeriksaan fisik, hanya dapat ditemukan suhu tubuh yang
meningkat. Di minggu kedua gejala mulai lebih menonjol, yakni demam,
bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium,
atau psikosis (Sudoyo, 2006).
b. Demam Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk anopheles

dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia,


pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya
padabeberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal. (Prabowo, 2004).
Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus
Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium
penyebab malaria pada manusia, yaitu (Depkes, 2005):
1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering
menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian).
2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3) Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana
4) Plasmodium ovale,menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang
dijumpai.
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam
yang intermiten, anemia sekunder dan splenomegali. Gejala didahului oleh
keluhan prodromalberupa, malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot,
anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-kadang merasadingin di punggung.
Keluhan

ini

sering

terjadi

pada

P.vivaxdan

P.ovale,

sedangkan

P.falciparumdan P.malariaekeluhan prodromal tidak jelas bahkan gejaladapat


mendadak ( Harijanto, 2000).
42

Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizonmatang (sporolasi).


Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan schizontiap 48 jam
maka periodisitas demamnya setiap harike-3, sedangkan malaria kuartana (P.
Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari.
Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas3 (tiga) stadiumyang berurutan,
yaitu (Depkes, 2005):
1) Stadium dingin (Cold stage)
Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi
cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang muntah. Periode
ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
2) Stadium demam (Hot stage)
Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat sampai 40C atau lebih, dapat terjadi
syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang
(anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau
lebih.
3) Stadium berkeringat (Sweating stage)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini
berlangsung 2-4 jam. Meskipun demikian, pada dasarnya gejala
tersebut tidak dapat dijadikan rujukan
c. Dengue Fever
Demam dengue (dengue fever, DF) adalah penyakit yang terutama terdapat
pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri
otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash)
dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada
pergerakan bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan
dan bintik-bintik perdarahan (petekie) spontan. (Hendarwanto, 1996)
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus degue. Virus dengue merupakan Arbovirus B (Arthropod borne
virus), genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus ini termasuk virus
dengan single stranded RNA (Centers for Disease Control Prevention, 2003).
Demam berdarah dengue/DBD(dengue henorrhagic fever, DHF), adalah suatu
penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering bersifat fatal,
penyakit febril yang disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi pembesaran
43

plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau


penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus yang
parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock
syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik (Halstead,
2007)
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x10 pangkat 6 (Suhendro, 2006).
Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
DBD dapat memperlihatkan berbagai macam gejala antara lain (WHO, 2009)
:
1) Gejala pada penyakit DBD diawali dengan demam mendadak dengan
facial flushing dan gejala-gejala konstitusional non spesifik yang lain
seperti anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, sakit kepala
(retroorbital pain), nyeri otot, tulang dan sendi. Beberapa pasien
mengeluh sakit tenggorokan, tapi rinitis dan batuk jarang terjadi. Suhu
biasanya tinggi (>39C) dan tetap seperti itu selama 2-7 hari. Kadangkadang suhu dapat mencapai 40-41C yang dapat menyebabkan kejang
demam pada bayi.
2) Fenomena perdarahan yang paling umum adalah uji torniquet positif,
petekie, ekimosis, dan purpura. Epistaksis dan perdarahan gingiva jarang
terjadi, perdarahan gastrointestinal dapat dialami selama periode demam.
3) Hepatomegali (pembesaran hati). Hepar biasanya dapat dipalpasi pertama
kali pada fase demam dan ukurannya bermacam-macam yaitu 2-4 cm
dibawah batas costa. Walaupun ukuran hepar tidak berkorelasi dengan
berat
4) Tahap kritis dari rangkaian penyakit didapatkan pada akhir fase demam.
Setelah 2-7 hari demam, penurunan cepat suhu sering diikuti tanda-tanda
gangguan sirkulasi. Pasien tampak berkeringat, menjadi gelisah,
ekstremitasnya dingin,dan menunjukkan perubahan pada frekuensi
denyut nadi dan tekanan darah. Pada kasus yang kurang berat, perubahan

44

ini minimal dan sementara. Sebagian pasien sembuh spontan, atau setelah
periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus lebih berat, ketika
kehilangan banyak melampaui batas kritis maka syok pun terjadi dan
berkembang kearah kematian bila tidak ditangani dengan cepat.
5) Sindroma syok dengue didiagnosa bila memenuhi semua dari empat
kriteria untuk DBD ditambah bukti kegagalan sirkulasi ditandai dengan
nadi lemah dan cepat dan tekanan darah menurun menjadi <20 mmHg,
hipotensi, kulit lembab dan dingin, gelisah serta perubahan status mental.
6.13 Epitaksis depan dan belakang
Epistaksis adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar
melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun
karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada
hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan
tipis cupingnya. Mimisan sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi
merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa terjadi karena
bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi
pada anak-anak karena pembuluh darahnya masih tipis dan sensitif, selain karena
pilek. Gangguan mimisan umumnya berkurang sesuai dengan pertambahan usia.
Semakin tambah usia, pembuluh darah dan selaput lendir di hidungnya sudah
semakin kuat, hingga tak mudah berdarah. Epistaksis bukan suatu penyakit
melainkan gejala suatu kelainan.
Epistaksis Anterior (Mimisan Depan)
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan,
maka disebut 'mimisan depan' (epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan
merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak,
karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu
kuat. Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang
hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan
keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi
telentang atau tengadah. Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber
pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding
samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat : (1) Mengorek-ngorek hidung; (2) Terlalu lama
menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian atau ruangan ber AC; (3)
45

Terlalu

lama

terpapar

sinar

matahari;

(4)

Pilek

atau

sinusitis;

(5) Membuang ingus terlalu kuat. Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan
yang timbul ringan dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun
kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan
air dingin.
Beberapa

langkah

untuk

mengatasi

mimisan

depan

Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke depan.


Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung.
Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan
ke depan agar darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan,
yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke
paru-paru

dapat

menimbulkan

gagal

napas

dan

kematian.

Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan dibawah tulang
hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit. Usahakan jangan berhenti
menekan sampai masa 10 menit terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat
mulut.
Beri kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin membantu
mengerutkan
Setelah

pembuluh

mimisan

darah,

berhenti,

tidak

sehingga
boleh

perdarahan

mengorek-ngorek

berkurang.
hidung

dan

menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3 jam.


Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya dibawa ke
rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan tampon (kasa yang
digulung) ke dalam rongga hidung atau tindakan kauterisasi. Selama dalam
perjalanan, penderita sebaiknya tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit
kedepan.
Epistaksis Posterior (Mimisan Belakang)
Mimisan belakang (epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada
pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi,
tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang
dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami
perlukaan

adalah

pembuluh

darah

yang

cukup

besar.

Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian

46

tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah.
Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang
hidung.
Beberapa
(2)

Demam

penyebab
berdarah;

(3)

mimisan
Tumor

belakang
ganas

(1)

hidung

Hipertensi;
atau

nasofaring;

(4) Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia; (5) Kekurangan


vitamin C dan K.
Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu,
penderita

harus

segera

dibawa

ke

puskesmas

atau

RS.

Biasanya petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang. Caranya,


kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga belakang mulut (faring),
kemudian ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung yang keluar melalui mulut ini
dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik,
maka kasa dan balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang.
Dengan demikian diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini gagal, petugas
medis mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah lain yang mungkin
dipertimbangkan

adalah

operasi

untuk

mencari

pembuluh

darah

yang

menyebabkan perdarahan, kemudian mengikatnya, tindakan ini dinamakan ligasi


(Thornton et al., 2005; Munir et al., 2006).
6.14 Korelasi farmakokinetik, farmakodinamik, efek samping
Nama obat
Parasetamol

Farmakodinamik
- Analgesik ringan-

Farmakokinetik
- Diabsorpsi

sedang

Efek samping
-Anemia hemolitik

cepat dan

pada pemakaian

sempurna

kronik

melalui saluran
Ibuprofen

cerna
- Diabsorpsi

Analgesik ringansedang

cepat pada
lambung

Salisilat

- Analgesik ringansedang

Pada

Eritemia kulit
Sakit kepala
trombosipenia

-Gangguan

pemberian

keseimbangan

oral, sebagian

asam basa

47

diabsorpsi
cepat dalam
bentuk utuh di
lambung, tetapi
sebagian besar

dalam darah
-Bersifat
hepatotoksik
-Memperpanjang
masa
pendarahan

di usus halus
bagian atas
Sumber : FK UI (2007); Hardman & Limbird (2014).
1)

Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik, dimana antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.
Farmakodinamik : efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Mengurangi
suhu tubuh dengan mekanisme yang juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat.
Farmakokinetik : Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan
masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma

25% parasetamol terikat protein plasma.

Obat ini

dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.


Efek samping : Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik (FK UI, 2007).
2)

Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis
1200-2400 mg sehari (Katzung, 2002).
Absorpsi ibuprofen dengan cepat melalui lambung dan kadar maksimum
dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2
jam. 99% ibuprofen terikat dalam protein plasma. Ibuprofen dimetabolisme
secara ekstensif via CYP2C8 (cytochrome P450, family 2, subfamily C,

48

polypeptide 8) dan CYP2C9 (cytochrome P450, family 2, subfamily C,


polypeptide 9) di dalam hati dan sedikit diekskresikan dalam keadaan tak
berubah (Katzung, 2002). Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan
diekskresi melalui urin sebagai metabolit/konjugatnya. Metabolit utama
merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Wilmana dan Gan, 2007).
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek antiinflamasi dan analgetiknya
melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin. Efek ibuprofen
terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau
naproksen.
Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia,
dan ambliopia toksik yang reversibel. Penggunaan ibuprofen bersama-sama
dengan salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-bloker dapat
mengurangi khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama
dengan obat furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari
kedua obat tersebut (Wilmana dan Gan, 2007).
Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis
optimal pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak
dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui. Dengan alasan bahwa
ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping
yang serius pada dosis analgesik, maka ibuprofen dijual sebagai obat generik
bebas dibeberapa negara antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Ibuprofen
tersedia di toko obat dalam dosis lebih rendah dengan berbagai merek, salah
satunya ialah Proris (Wilmana dan Gan, 2007).
3)

Salisilat
Lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic antipiretik dan
anti inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat
sejenis.

49

Farmakodinamik : Dosis toksik obat memperlihatkan efek piretik sehingga


pada keracunan berat terjadi demam dan hiperhidrosis. Untuk memperoleh
efek anti inflamasi yang baik kadar plasma perlu dipertahankan antara 250300 g/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk
orang dewasa.
Efek terhadap pernapasan. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi
konsumsi oksigen dan produksi CO2. Peninggian P CO2 akan merangsang
pernapasan sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli bertambah dan PCO2
dalam plasma turun. Meningkatnya ventilasi ini pada awalnya ditandai
dengan pernapasan yang lebih dalam sedangkan frekuensi hanya sedikit
bertambah. Salisilat yang mencapai medula, merangsang langsung pusat
pernapasan sehingga terjadi hiperventilasi dengan pernapasan yang dalam dan
cepat. Pada keadaan intoksikasi, berlanjut menjadi alkalosis respiratoar.
Efek terhadap keseimbangan asam basa. Dalam dosis terapi yang tinggi,
salisilat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO 2
terutama di otot rangka karena perangsangan fosforilasi oksidatif.
Karbondioksida yang dihasilkan mengakibatkan perangsangan pernapasan
sehingga karbondioksida dalam darah tidak meningkat.ekskresi bikarbonat
yang disertai Na+ dan K+ melalui ginjal meningkat, sehingga bikarbonat dalam
plasma menurun dan pH darah kembali normal.
Efek urikosurik. Dosis kecil (1 g atau 2 g sehari) menghambat ekskresi
asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g
sehari biasanya tidak mengubah ekskresi asam urat. Pada dosis lebih dari 5 g
per hari terjadi peningkatan ekskresi asam urat dalam darah menurun. Hal ini
terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghambat sekresi tubuli
sedangkan pada dosis tinggi salisilat menghambat reasorbsinya dengan hasil
akhir peningkatan ekskresi asam urat.
Efek terhadap darah. Pada orang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan
masa perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena
asetilasi siklooksigenase trombosit sehingga pembentukan TXA2 terhambat.
50

Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan hati berat,
hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat
menimbulkan perdarahan.
Farmakokinetik : Pada pemberian oral, sebagian salisilat diasorpsi dengan
cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus
bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian.
Kecepatan absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dan dan
disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung.
Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutama bila dipakai sebagai
obat gosok atau salep. Keracunan dapat terjadi dengan olesan pada kulit yang
luas.
Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan
cairan traseluler sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal,
cairan peritoneal, liur dan air susu. Mudah menembus sawar darah otak dan
sawar darah uri. Kira-kira 80% sampai 90% salisilat plasma terikat dalam
albummin. Aspirin diserap dalm bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati, sehingga kira-kira 30 menit terdapat dalam
plasma.

51

52

BAB VII
PENUTUP
1.1.

Kesimpulan
Demam adalah peninggian suhu dari variasi suhu normal sehari
hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hypothalamus. Demam dapat disebabkan karena infeksi bakteri, virus,
maupun parasit. Dalam skenario demam disebabkan oleh infeksi virus
yaitu virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus. Penatalaksanaan
demam dapat dilakukan dengan pemberian kompres hangat dan pemberian
obat analgetik maupun antipiretik dengan memperhatikan farmakokinetik
dan farmakodinamiknya serta efek samping yang ditimbulkan.

1.2.

Saran
Sebagai mahasiswa kedokteran sebaiknya kita harus selalu aktif
mencari pengetahuan secara mandiri serta kritis dalam menggali
pengetahuan baru yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Setelah
kegiatan tutorial ini kita diharapkan memahami dan mengetahui berbagai
macam penyakit yang ditandai dengan keadaan demam serta menentukan
penatalaksanaan demam yang tepat. Selain itu, sebagai calon doter kita
juga harus selalu berusaha untuk selalu menjaga kesehatan diri maupun
lingkungan sekitar kita.

53

DAFTAR PUSTAKA
Brooks GF,Butel JS,Morse SA. (2005). Mikrobiologi kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika, 2005: 317-27.
Bunn, H.F. (2014). Anemia. (p. 358-362). In: K.J. Isselbacher, E. Braunwald, J.D.
Wilson, J.B.
Martin, A.S. Fauci and D.L. Kasper. (ed). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dalimartha, S.,( 2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta: Pustaka
Bunda.
Davis, A.T. & Phair, J.P. (2004). The Biologic and Clinical Basis of Infectious by
Shulman, Phai, Sommer. 4th ed. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Declan, T. Wash. (1997). Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Jakarta:EGC
Depkes RI, 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Ditjen
P2M dan PLP, Jakarta
Dzen, Sjoekoer M., et al . (2003). Bakteriologi Medik, Ed. 1 .Malang: Bayumedia
Publishing,
Fauci, Anthony S, et al . (2008). Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th
ed. USA : McGraw Hill CompaniesSudoyo A.W., (2006). Buku Ajar :
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
FK UI. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Guyton, C. Arthur; Hall, E. John. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta:EGC
54

Hardman, J.G., & Limbird, L.E. (2014). Goodman & Gilman: Dasar
Farmakologi Terapi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Harijanto, (2010). Malaria Dari Molekuler Ke Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Hartanto, S. (2003). Anak demam perlu kompres?. Harian Bali Post, 7 September
2003.
Hegner, B.R. (2003).

Asisten Keperawatan

Suatu Pendekatan

Proses

Keperawatan. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC


Herawati, M.H., Ghani, L., (2007). Hubungan Faktor Determinan dengan
Kejadian Demam Tifoid di Indonesia tahun 2007. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19409165173.pdf
ISFI. (2008). ISO Indonesia. Volume 43. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Sinatra,
R.S., Hord, A.H., dan Grinsberg, B. (1992). Acute Pain Mechanisms &
Management. Missouri: Mosby Year Book..
Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba
Medika
Mims, C.A. (2001). The Pathogenesis of Infectious Disease. 4th ed. Jakarta :
Salemba Medika.
Nelwan. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Prabowo A., (2004). Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Cetakan 1. Jakarta :
Puspa Swara
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2014). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Purwanti, A., & Ambarwati, W.N. (2008). Pengaruh kompres hangat terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien anak hipertermia di ruang rawat inap
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan 1(2), 81-86.

55

Redjeki, T.H. (2002). Perbandingan Pengaruh Kompres Haangat dan Kompres


Dingin untuk Menurunkan Suhu Anak Demam dengan Infeksi di RSU
Tidar Magelang. Skripsi Fakultas Kedokteran UGM. Jogyakarta :
Universitas Gajah Mada.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia, Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smith, T., & Davidson, S. (2009). Demam pada Anak-anak. Jakarta : Penerbit
Dian Rakyat.
Stoelting, R.K., dan Hillier, S.C. (2006). Pharmacology & Physiology in
AnestheticPractice. Edisi IV. Philadelphia: Lipincott William & Wilkins.
Sudoyo et al,. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Sudoyo, A. W. (2006). Malaria, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3, hal :
1732. Jakarta : FKUI.
Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H.T., (2006). Demam Berdarah
Dengue. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.,
Setiati, S.,ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, Indonesia : 1709-1713.
Sumarmo,

S, (2002). Infeksi dan Penyakit Tropis.

Edisi 1. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Sylvana, F., & Pereira, G. (2000). Demam Berdarah Dengue. Surabaya : FK.
Universitas Wijaya Kusuma.
Wijayakusuma, H., (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit. Jakarta:
Pustaka Bunda.
Wilmana, P.F., dan Gan, S.G., (2007). Analgesik-Antipiretik Analgesik
AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam:
Gan, S.G., Editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru,
230- 240.

56

Anda mungkin juga menyukai