Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara
primer menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis. Penyebab
kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada
tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis.
Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,
namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Pengobatan Kusta pada
wanita hamil dan anak-anak harus sangat di perhatikan. Baik dari dosis sampai
pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari efek samping yang tidak di
kehendaki.
Morbus Hansen atau kusta atau lepra bukan merupakan penyakit yang tidak
dapat dikendalikan. Morbus Hansen menyerang semua umur dan menyebar luas
keseluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, Daerah tropis dan
Subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomi rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan. Jumlah kasus diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir
ini telah menurun 85%. Kasus kusta yang terdaftar pada permulaan tahun 1997
kurang lebih 890.000 penderita. Di Indonesia jumlah kasus yang tercatat pada
akhir maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi tidak merata, yang tertinggi
diantara lain di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Penderita anakanak kurang dari 14 tahun lebih kurang 13% sedangkan untuk anak umur kurang
1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25
sampai 35 tahun. Penyakit kusta berhubungan dengan respon imunologi 95%
populasi manusia memiliki kekebalan alamiah terhadap M. Leprae
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI :
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. 1
B. EPIDEMIOLOGI:
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara
inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 1
Masa inkubasi nya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun,
umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. 1
Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia
25-35 tahun. Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2
C. ETIOLOGI:
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia.1 Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3-8m x 0,5m, bersifat tahan asam dan alkohol.
Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi
yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response,
yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. 3
D. PATOFISIOLOGI: 3
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan
gejala
yang
lebih
berat,
bahkan
dapat
sebaliknya.
E. KLASIFIKASI:
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas
2. Kerusakan
saraf
MB
- > 5 lesi
- Distribusi lebih simetris
- Hilangnya sensasi kurang
jelas
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot
yang
dipersarafi
oleh
saraf
yang
terkena)
Sifat
Lepromatosa (LL)
Lesi
Bentuk
Jumlah
Borderline
Mid
Lepromatosa (BL)
(BB)
Makula
Makula
Plakat
Infiltrat difus
Plakat
Dome-shape (kubah
Papul
Papul
Nodus
Tidak
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret
hidung
Tes Lepromin
Punched-out
dihitung, Dapat
dihitung,
terhitung, Sukar
Borderline
ada
sehat
Simetris
Halus berkilat
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Asimetris
Agak kasar, agak
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Agak jelas
Tak jelas
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Banyak
Biasanya negatif
Agak banyak
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Karakteristik
Lesi
Tipe
Tuberkuloid
Borderline
(TT)
Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Jumlah
Distribusi
beberapa
Terlokalisasi
Permukaan
asimetris
Kering, skuama
Batas
Jelas
Anestesia
atau
Jelas
Bervariasi
Kering, skuama
Dapat
halus
agak
Jelas
berkilat
Dapat jelas atau dapat
Jelas
tidak jelas
Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
lesi kulit
Hampir
Tes lepromin
negative
Positif kuat (3+)
Biasanya negatif
Dapat positif lemah atau
negatif
F. DASAR DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai
sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
macula
dan
10
2. Pemeriksaan Fisik 4
a. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula
atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau
central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi.
Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif
merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman
kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun
dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas
TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.
11
12
13
keringat
dan
hilangnya
rambut
lebih
cepat
muncul.
.
Gambar 7. Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy
14
2. N. medianus
a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
b. Tidak mampu abduksi ibu jari
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis
a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
15
d. N. poplitea lateralis
e. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
f. Kaki gantung (foot drop)
g. Kelemahan otot peroneus
4. N. tibialis posterior
a.
b.
Claw toes
c.
5. N. fasialis
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
b. Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
6. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.
Fasialis yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian
atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
16
d. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
e. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua
tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
Pemeriksaan Fungsi Saraf 4
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke
kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang
sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung
dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali
-
2.
3.
Tes Pilokarpin
Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. peroneus4
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik
negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M.Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit
yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati
banyak M. leprae1.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
19
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari
100 lapangan.
b. Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada
lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid
yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non
solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal
clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut.
c. Pemeriksaan serologik:
20
21
adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang
peranan adalah imunitas humoral. 4
a. Reaksi tipe 1
Menurut
Jopling,
reaksi
kusta
tipe
merupakan
delayed
Peradangan
kulit
Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan
Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise
dan febris
di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru
Waktu terjadi
Tipe kusta
Saraf
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan
Keterkaitan
organ lain
saraf
dan
dapat
pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan yang
lama,
4
5
Nodul
umumnya
lebih
dari 6 bulan
MB
Dapat terjadi
atau
Terjadi pada mata, KGB,
sendi, ginjal, testis, dll
23
Faktor pencetus
Melahirkan
Obat-obat
yang
Emosi
Kelelahan
meningkatkan
kekebalan tubuh
dan
Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4
No Gejala/tanda
1.
Kulit
Tipe I
Ringan
Berat
Bercak : Bercak
Tipe II
Ringan
: Nodul
Berat
: Nodul
merah,
merah,
tebal,
tebal,
bertambah
panas,
panas,
sampai pecah
nyeri
nyeri yang
merah,
bertambah
parah
sampai
2
Saraf tepi
Nyeri
pecah
Nyeri pada Nyeri
pada
perabaan
perbaan
(+)
Keadaan
(-)
Demam
umum
Keterlibatan
(-)
-
organ lain
perabaan (-)
(+)
Demam (+)
Demam (+)
Demam (+)
+
Terjadi peradangan
pada :
mata
24
iridocyclitis
testis
epididimoorchiti
s
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang,
hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak
atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri.
Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang
berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae
di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL
namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
G. DIAGNOSIS BANDING2
1. Anterior tibial sindrom
Sering terlihat pada Volkmanns ischemic contracture
Gejala:
25
26
2.
3.
4.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai
27
tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita4
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi
resistensi
dapson
yang
semakin
meningkat,
mengurangi
dan
imunologi
perubahan
dalam
penumpasan
kehamilan
menyebabkan sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari
ibu dengan berat lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang
penyakit itu. WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama
kehamilan .Namun, obat yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko
dan pengobatan harus di bawah pengawasan spesialis5
28
perifer,
sindrom
DDS,
nekrosis
epidermal
toksik,
hepatitis,
aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam
28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus
dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000
mg. 1
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan
tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada
keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC). 1
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan
dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan.
Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun
selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru
secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC. 1
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus
Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1
31
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan
Dewasa
Dapson
100 mg
Rifampisin
600 mg
50-70 kg
Setiap hari
Anak
50 mg
pengawasan
450 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Dapsone
100 mg
Rifampisin
600 mg
Clofazimin
50 mg
DAN 300 mg
50-70 kg
Setiap Hari
Sebulan
sekali
32
di
bawah hari
di
bawah
Anak
50 mg
pengawasan
450 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Sebulan
sekali
di
di
bawah
50 mg
bawah hari
pengawasan
pengawasan
DAN 150 mg
pengawasan
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
Dewasa
Rifampisin
600 mg
Ofloxasin
400 mg
Minosiklin
100 mg
50-70 kg
Anak
300 mg
200 mg
50 mg
5- 14 tahun *
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun
Tipe PB4
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT
(released from treatment)
Anak
Hari
diawasi Rifampisin
petugas
Hari 2-28 : di rumah
Dewasa
2caps Rifampisin
2caps
(100mg)
Dewasa
Rifampisin
(300mg+150mg)
Klofazimin
2caps Rifampisin
2caps
+ (2x300mg)
3caps klofazimin
3caps
Klofazimin
(100mg)
1
tab Klofasimin
1cap
(100mg)
34
35
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1
Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednisolon 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap
kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativ kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid
tidak efektif untuk reaksi reversal.
Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta Direktorat
Jendral Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen
Kesehatan Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.
Tabel 5. Pemberian Prednisolon
Minggu pemberian
Minggu 1 2
Minggu 3 4
Minggu 5 6
Minggu 7 8
Minggu 9 10
Minggu 11 12
30 mg
20 mg
15 mg
10 mg
5 mg
a. Pemberian lampren
ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada
steroid (pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu
ditambahakn klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada
perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan
diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya kembali ke dosis
klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT,
atau dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis
prednisolon diturunkan secara bertahap.
b. Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan billa bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa seharihari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka , atau ulkus.
Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyakyi agar tidak kering dan
pecah.
37
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 0
Tingkat 1
(termasuk visus)
Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi
Tingkat 2
c. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain
ialah dengan cara kekaryaan yaitu dengan memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai untuk cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan
rasa percaya diri selain itu dapat dilakukan terapi psikologik.
I. KOMPLIKASI 4
38
Tangan/kaki
kurang rasa
luka
sensorik
motorik
anestesi
kelemahan
Kornea mata
anestesi, reflek
kedip
infeksi
mutilasi
Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh
Jari
bengkok/kaku
otonom
Mata lagoftalmus
Kulit kering/pecah
infeksi
luka
kebutaan
infeksi
kebutaan
luka
mutilasi
J. PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah
ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik. 4
39
BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit yang di sebabkan oleh kuman Mycobacterium
leprae.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang
penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline
tuberculoid(BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan
tipe lepromatosa (LL).
Program MDT dimulai pada tahun 1981,yaitu ketika kelompok studi
kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan
rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen
ini terdiri atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin. Kusta
diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug
standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta,
WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik
untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada
laporan efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit
ringan dari bayi karena klofazimin. Pemakaian Thalidomide pada pengobatan E.N.L
40
harus dihindari karena mempunyai efek teratogenik. Perlakuan dosis tunggal untuk
pasien kusta lesi tunggal paucibasiler harus ditunda sampai setelah melahirkan.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta., 2010. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;73-88
2. Siregar., 2003. Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC: 124-126
3. Lewis. S.Leprosy., 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
4. Bonarz., 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MHindah diunduh tanggal 4 Februari 2011
5. Willacy Hayley., 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available
at: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
42