Anda di halaman 1dari 17

Skrining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat

Orisma Agnes Pongtuluran


102011360 - A3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
Email: agnesorisma@yahoo.com

Pendahuluan
Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi
yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi
dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.
Di negara maju, angka kejadian dan angka kematian kanker mulut rahim telah menurun
karena suksesnya program deteksi dini. Akan tetapi, secara umum kanker mulut rahim
menempati posisi kedua terbanyak pada keganasan wanita (setelah kanker payudara)
diperkirakan diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya.
Di indonesia, diperkirakan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahin ditemukan setiap
tahunnya. Di rumah sakit Dr. Cipto mangunkusumo, frekuensi kanker serviks 76,2% di antara
kanker ginekologik. Dari data 17 rumah sakit di jakarta tahun 1977 kanker serviks menduduki
urutan pertama yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. 1

Pembahasan
Karsinoma serviks uteri
Epidemiologi
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi penyebab
lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di

negara berkembang. Tanpa penatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat kanker
serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.
Faktor etiologi
Faktor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human pavilloma virus (HPV).
HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi prakanker.
HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermis dan mukosa.
Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual.
Faktor risiko
Perilaku seksual
Dari studi epidemiologi, kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku seksual,
seperti berganti-ganti mitra seks dan usia melakukan hubungan seks yang pertama. Risiko
meningkat lebih dari sepuluh kali bila mitra seks enam atau lebih, atau bila hubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko akan meningkat apabila hubungan dengan pria berisiko
tinggi mengidap kandiloma akuminatum. Pria berisiko tinggi adalah pria yang melakukan
hubungan seks dengan banyak mitra seks.
Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret
maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbons
heterocyclic amine yang sangat karsinogenik dan mutagen, sedangkan bila dikunyah ia
menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah
serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.

Ali dkk. Bahkan

membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks
sehingga mengakibatkan neoplasma serviks.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker.
Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta
karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.

Perubahan sistem imun


Perubahan sistem imun dihubungkan dengan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma serviks
invasive.

Hal

ini

dihubungkan

dengan

penderita

yang

terinfeksi

dengan

human

immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan
invasive.
Prosedur penentuan diagnosis
1. Anamnesa, untuk mencari factor predisposisi dan keluhan penderita. Keputihan dan
pendarahan abnormal per vaginam merupakan keluhan utama pasien yang dicurigai
menderita kanker serviks invasive.
2. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal
3. Pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sitoskopi, retroskopi, CT-scan
optional, MRI, serta bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase
4. Biopsy serviks untuk menentukan jenis histopatologis
5. Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari uji pap
konvensional, IVA, papnet, thin prep, servikografi, uji HPV, dan kolposkopi.
Memperhatikan permasalahan dalam penangulangangan kanker serviks Indonesia, inspeksi
visual asam asetat (IVA) dapat menjadi metode alternative untuk skrinning. Pertimbangan ini
dibuat dengan alasan:
1. Mudah dan praktis dilaksanakan
2. Dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan nondokter ginekologi. Bahkan oleh bidan praktik
3.
4.
5.
6.

swasta maupun di tempat-tempat terpencil


Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana hanya untuk pemeriksaan ginekologi dasar
Biaya murah, sesuai untuk pusat pelayanan sederhana
Hasil langsung diketahui, dan
Dapat segera diterapi (see and treat)

Pendekatan the screen and threat, based on visual inspection dengan asam asetat sebagai
screening test. 2

Skrining dan deteksi penyakit dalam populasi

Misi epidemiologi adalah untuk menunjang program kesehatan masyarakat. Tujuan ahli
epidemiologi adalah untuk memahami kausalitas dan hubungan penyakit sehingga program
pengendalian penyakit, pencegahan dan program perlindungan dapat dikembangkan dan
diterapkan untuk melindungi populasi. Program skrining merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mencapai misi dan sasaran epidemiologi tersebut. Program skrining dapat
dilakukan secara pasif seperti pemeriksaan mata disekolah dasar atau secara ambisius seperti
skrining multifase yang diadakan di mall perbelanjaan atau bazar kesehatan.
Skrining didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk
mengidentifikasi dan memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan berisiko
terkena penyakit, dari mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut. Skrining dilakukan
untuk mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim
untuk menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti. Skrining multifase
adalah penggunaan suatu kombinasi tes dan diagnostik yang dilakukan secara berurutan oleh
tekhnisi dibawah arahan medis terhadap sekelompok besar orang yang sehat. Skrining multifase
menggunakan

serangkaian

tes

skrining

tersebut

sebagai

upaya

pencegahan

untuk

mengidentifikasi penyakit atau kondisi apa pun pada populasi yang kelihatannya sehat.
Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri
merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran tekanan
darah, pap smears, pemeriksaan darah, dan x-rays dada dilakukan pada kelompok besar atau
populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk menentukan mana orang yang
berpenyakit dan mana yang tidak. Diagnosis diberikan kepada pasien secara perorangan oleh
dokter atau institusi perawatan kesehatan berkualitas lainnya. Diagnosis selain menggunakan
hasil tes, juga melibatkan evaluasi tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan penilaian yang
subjektif berdasarkan pengalaman dokternya. Diagnosis adalah hak prerogatif dokter. Tes
skrining dapat dilakukan oleh tekhnisi medis di bawah pengawasan dokter. Skrining tidak
ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat dirujuk untuk diagnosis.
Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes skrining, tetapi juga dapat membantu
menetapkan validitas, sensitivitas, dan spesifisitas uji.
Pertimbangan program skrining
4

Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli epidemiologi saat
merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang kesehatan masyarakat,
skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:
1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
terungkap saat proses skrining dilakukan.
3. Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan
pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakatumum
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi
10. Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses
yang teratur dan berkelanjutan
Tes skrining
Sensitivitas dan Spesifisitas
Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang
terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit seperti
yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang benar-benar
sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara tepat terkena
penyakit melalui tes skrining.3
sensitivitas=

positif benar
positif benar
=
positif benar +negatif palsu semua orang berpenyakit

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar presentase
mereka yang tidak terkena penyakit. Orang yang tidak terkena penyakit dan terbukti tidak
terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas menunjukkan proporsi
orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani skrining dan mereka yang
diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena penyakit melalui uji skrining.3
spesifisitas=

negatif benar
negatif benar
=
X 100
negatif benar + positif palsu semua orang berpenyakit

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes
melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu.
Kriteria Evaluasi
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang
tinggi, yaitu mendekati 100%. Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining
dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values).
1. Validitas
Validitas adalah kemampuan dari tes penyaringan untuk memisahkan mereka yang benarbenar sakit terhadap yang sehat. Validitas merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu alat
ukur (test) dapat mengukur secara benar dan tepat apa yang akan diukur. Validitas
mempunyai 2 komponen, yaitu:
- Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.
- Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.
Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila
sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk
menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan
penyaringan, apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak
menderita, ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat.
Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan
spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat
positif artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit., sedangkan nilai prediktif
negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit. Nilai
6

prediktif positif sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan
ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai prediktif
positif dan sebaiknya.

Disamping nilai sensitivitas dan nilai spesifisitas, dapat pula diketahui beberapa nilai lainnya
seperti:
a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar menderita penyakit
dengan hasil tes positif pula.
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang sebenarnya tidak sakit tetapi
test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan hasil test yang
negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang sebenarnya menderita penyakit
tetapi hasil test negatif.

Tabel 1
Sakit
A
(true +)

Tidak Sakit
b
False (+)

Jumlah
a+b

Negatif

C
(False -)

d
(True -)

c+d

Jumlah

a+c

b+d

a+b+c+d

Positif

Contoh kasus 9:
Dokter A dipuskesmas Wanasari melakukan skkrining Ca serviks pada kelompok wanita
lokalisasi tuna susila dengan menggunakan tes IVA. Dari 100 orang yang diperiksa,
didaptkan 30 orang terdeteksi positif tes IVA. Setelah diperiksa lebih lanjut dengan
menggunkan Pap smear ternyata dari yang positif tes IVA 6 orang dinyatakan sakit
kanker serviks dan yang tes IVA(-) ternyata 3 orang yg dinayatakan sakit kanker servik.
Tabel.2.

TES

POSITIF

Kanker serviks
POSITIF
NEGATIF
6
24

NEGATIF

(True+)
3

(False +)
67

(False-)
9

( True -)
91

IVA

JUMLAH
a. Sensitivitas =

A
A+ C

x 100 % =

6
6 +3

b. Spesifisitas =

B
B+ D

x 100 % =

67
24 +67

c. Positive predictive value =

d. Negative predictive value =

30
70
100

x 100 % = 66,67 %
x 100 % = 73,62 %

True positive
True positive+ false positive

100% = 20%

JUMLAH

True negative
True negative+ false negative

x 100% =

x100% =

6
6 +24

67
67 +3

x100%= 95,7%
2. Reliabilitas
kemampuan suatu tes memberikan hasil yang sama/konsisten bila tes dilakukan lebih
dari satu kali sasaran (objek) sama dan pada kondisi yang sama pula.
Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks
Ada beberapa metode skrinning yang dapat digunakan, tergantung dari ketrsediaan sumber daya.
Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulangi
8

(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa
metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.
1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional
Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George papanicolau sejak tahun
1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di Negara-negara maju
menurun drastic. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang mudah,
murah dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini
berkisar antara 78%-93%, teapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar
15-37% dan negative palsu 7-40%. Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh
pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan tersebut disebabkan oleh
pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan
kesalahan interpretasi.
b. Pemeriksaan sitology cairan (liquid base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi
hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan cara optimalisasi
tekhnik koleki dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel dikoleksi dengan sikat khusus
yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi. Keuntungan
pengunaan tekhnik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan mudah
tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah
butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dna biaya yang lebih mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai cara
southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot blot, hibridisasi in situ yang
memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara pembesaran sepertyi PCR (polymerase chain
reaction) yang amat sensitive.
3. Metode inspeksi visual
a Inspeksi visual denga lugol iodin (VILI)
b Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan servikografi.
Setiap metode skrinning mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda. Sampai saat ini
belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena
itu, dalam pemeriksaan skrinning, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed
consent).3
9

Sistem Rujukan
Kesehatan atau sehat-sakit adalah suatu yang kontinum dimulai dari sehat walafiat sampai
dengan sakit parah. Kesehatan seseorang berada dalam bentang tersebut. Demikian pula sakit
ini juga mempunyai beberapa tingkat atau gradasi. Secara umum dapat dibagi dalam tiga tingkat,
yakni: sakit ringan (mild), sakit sedang (moderate) dan sakit parah (severe). Dengan tiga gradasi
penyakit ini maka menuntut bentuk pelayanan kesehatan yang berbeda pula. Untuk penyakit
ringan tidak memerlukan pelayanan canggih. Namun sebaliknya, untuk penyakit yang sudah
parah tidak cukup hanya dengan pelayanan yang sederhana, melainkan memerlukan pelayanan
yang sangat spesifik. Oleh sebab itu, perlu dibedakan adanya tiga bentuk pelayanan, yakni:
a) Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care).
Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat
yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Oleh karena
jumlah kelompok ini di dalam suatu populasi sangat besar (lebih kurang 85%), pelayanan
yang diperlukan oleh kelompok ini bersifat pelayanan kesehatan dasar (basic health
services), atau juga merupakan pelayanan kesehatan primer atau utama (primary health
care). Bentuk pelayanan ini di Indonesia adalah Puskesmas, Puskesmas pembantu,
Puskesmas keliling, dan Balkesmas.
b) Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services).
Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan oleh kelompok masyarakat yang memerlukan
perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Bentuk
pelayanan ini misalnya Rumah Sakit tipe C, dan memerlukan tersedianya tenaga-tenaga
spesialis.
c) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services)
Pelayanan kesehatan ini diperlukan oleh kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak
dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder. Pelayanan sudah kompleks, dan
memerlukan tenaga-tenaga super spesialis. Contoh di Indonesia: Rumah sakit tipe A dan B.
Dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, ketiga strata atau jenis pelayanan tersebut tidak
berdiri sendiri-sendiri, namun berada dalam suatu sistem, dan saling berhubungan. Apabila
pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat perimer, maka ia
menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.
Penyerahan tanggung jawab dari satu pelayanan kesehatan ke pelayanan kesehatan yang lain
disebut rujukan. Secara lengkap dapat dirumuskan sistem rujukan ialah suatu sistem
10

penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik


terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu
menangani), atau secara horizontal (antara unit-unit yang setingkat kemampuannya).
Dari batasan tersebut dapat dilihat bahwa hal yang dirujuk bukan hanya pasien saja, tetapi
juga masalah-masalah kesehatan lain, teknologi, sarana, bahan-bahan laboratorium, dan
sebagainya. Di samping itu, rujukan tidak berarti berasal dari fasilitas yang lebih rendah ke
fasililitas yang lebih tinggi, tetapi juga dapat dilakukan di antara fasilitas-fasilitas kesehatan yang
setingkat. Secara garis besar rujukan dibedakan menjadi dua, yakni:4
a. Rujukan medis
Rujukan ini berkaitan dengan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien.
Di samping itu juga mencakup rujukan pengetahuan (konsultasi medis), dan bahan-bahan
pemeriksaan.
b. Rujukan kesehatan masyarakat
Rujukan ini berkaitan dengan upaya pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan
kesehatan (promosi). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana, dan operasional.4

Rumah Sakit Tipe


A

Provinsi
Kabupaten
Kecamatan

Rumah Sakit Tipe


B
Rumah Sakit Tipe
C
Puskesmas/Balkes
mas
Puskesmas
Pembantu

Kelurahan

Dokter Praktik
Swasta Bidan
Praktik Poliklinik

Posyandu Posyandu

Posyandu

Posyandu

Program Puskesmas IVA

11

Kanker serviks merupakan kanker dengan insiden cukup tinggi pada wanita di Indonesia. Hal
tersebut menjadikan alasan mengapa deteksi dini atau penapisan terhadap kanker leher rahim
penting. Saat ini, penapisan merupakan upaya terbaik dalam menangani kanker serviks,
mengingat tidak sedikit beban kesehatan yang dikeluarkan untuk menangani kanker ini.
Program penapisan nasional diperlukan untuk menurunkan insiden kanker serviks dan
memperluas cakupan penapisan ke seluruh daerah di Indonesia. Dalam menyusun suatu program
yang akan terintegrasi dalam program kesehatan negara, banyak hal yang perlu menjadi
pertimbangan. Salah satu aspek tersebut adalah kesiapan tenaga kesehatan yang akan
berkecimpung dalam program penapisan ini nantinya.
Saat ini, memang sudah terdapat program penapisan kanker serviks di beberapa
puskesmas. Kegiatan yang dilakukan adalah pap smear, akan tetapi masih terkendala dengan
kurang tersedianya peralatannya. Metode penapisan lain yang dapat dikerjakan adalah IVA
(Inspeksi Visual dengan Asam asetat), dengan biaya yang lebih murah dan metodeyang lebih
sederhana dibandingkan pap smear. Namun, sensitivitas dan spesifisitasnya tidak jauh berbeda.
Puskesmas sebagai unit layanan fungsional dan teknis pelayanan kesehatan terdepan di
wilayah kecamatan/kelurahan diharapkan dapat menjadi langkah awal pencegahan kanker
serviks di kelompok masyarakat terkecil.
Parameter penilaian program ini antara lain besarnya prosentase progres dari program
pencegahan primer, yakni kegiatan edukasi bagi masyarakat dan vaksinasi, serta pencegahan
sekunder yang beruspa kegiatan deteksi dini dengan pap smear atau IVA yang dijalankan secara
berkala.
IVA menjadi alternatif baru dalam deteksi dini kanker serviks sesuai kebijakan. Dalam
penilaian kesiapan pelaksanaan pro- gram deteksi dini kanker serviks ini dibutuhkan data tentang
pengetahuan, sikap, dan perilaku dari tenaga kesehatan yang akan menjalankan program tersebut.
Data ini sangat bermanfaat sebagai data dasar dalam merancang program pelatihan deteksi dini
kanker serviks bagi tenaga pelayanan kesehatan primer, terutama dokter dan bidan.
Syarat mengikuti IVA test adalah:

Sudah pernah melakukan hubungan seksual


Tidak sedang datang bulan/haid
Tidak sedang hamil
24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual

12

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan cuka dapur yang diencerkan untuk
melihat kondisi serviks. Dari perubahan warna dari serviks yang diperiksa akan diketahui apakah
ada lesi prakanker (IVA positif) atau tidak (IVA negatif). Jika IVA positif maka kemudian akan
dilanjutkan dengan melakukan terapi krio ( krioterapi). Disamping itu pencegahan juga dapat
dilakukan dengan melakukan vaksinasi yang ideal diberikan pada usia 10-25 tahun dimana
vaksinasi diberikan sebanyak 3 kali. Namun upaya vaksinasi ini belum bisa optimal dalam upaya
pencegahan kanker serviks karena harga vaksin yang relatif mahal.
Cara membuat asam asetat 5 % adalah dengan mencampurkan 1 bagian cuka dapur
dengan 4 bagian air. Area disekitar serviks kemudian dioleskan asam asetat kemudian diamati
selama 2 menit dengan mata telanjang untuk melihat ada tidaknya bercak putih yang
menunjukan adanya lesi prakanker (IVA positif). Tidak ada persyaratan khusus bagi perempuan
yang melaksanakan pemeriksaan IVA. Bagi perempuan yang dari hasil pemeriksaan menunjukan
IVA positif dilakukan krioterapi dengan menggunakan alat khusus. Terapi ini bertujuan untuk
membunuh sel yang mengalami kelainan dengan cara membekukannya, jika sel di daerah lesi
mati maka virusnya juga akan ikut mati. Untuk lebih memahami dan mengapilkasikan ilmunya,
para peserta diajak praktek langsung kelapangan.
Pemeriksaan IVA ini mempunyai keuntungan dibandingkan pemeriksaan lain seperti pap
smear. Pemeriksaan IVA bisa mengetahui kelainan pada saat itu juga, dan lebih murah
dibandingkan pap smear. Dan jika sudah ada kelainan pada saat pemeriksaan IVA bisa langsung
dilakukan terapi. Jadi memang sangat cocok diterapkan pemeriksaan ini di Bali mengingat
kesibukan wanita di Bali dengan rutinitas sehari-hari dan adat yang padat. Sensitifitas dan
Spesifisitas antara IVA dan Pap smear juga tidak berbeda jauh. Perlu juga untuk sebelum
melakukan pemeriksaan sangat penting untuk memberikan penyuluhan kepada pasien agar
keluhan yang dialami pada saat melakukan IVA atau setelah krioterapi dipahami oleh pasien.
Dan untuk memantau dan mengetahui pelaksanaan program sangat penting untuk teratur
melakukan pencatatan dan pelaporan.
Untuk mensukseskan pendeteksian dini Ca. Cervix ini sudah seharusnya setiap orang ikut
berpartisipasi dalam pensosialisasian pelaksanaan program IVA srining test ini, dengan harapan
setiap wanita mewaspadai akan kesehatan diri sendiri. Mencegah adalah tidakan bijaksana untuk
kelaksungan hidup sehat, ini lebih baik daripada mengobati.
Tes Pap
13

Pemeriksaan apusan Pap saat ini merupakan suatu keharusan bagi wanita, sebagai sarana
pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, yang seyogyanya dilaksanakan oleh setiap wanita
yang telah menikah sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun, bila dua kali pemeriksaan apusa
Pap terakhir negative dan tidak pernah mempunyai riwayat hasil pemeriksaan abnormal
sebelumnya. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali,
walaupun awanita itu tidak mempunyai keluhan pada organ saluran genital, karena kanker
serviks pada stadium dini biasanya tanpa keluhan dan dengan mata biasa tidak mungkin dapat
dideteksi. Pemeriksaan skrining apusan pap secara berkala, diharapkan dapat menemukan kasuskasus kanker serviks dini atau lesi prakanker yang belum menimbulkan gejala secara klinik,
sehingga dapat dilakukan terapi dengan tuntas. Ketepatan diagnosis sitology pada skrinning
deteksi kanker serviks terutama sangat tergantung pada representative tiaknya sediaan apusan
Pap yang dibuat, disamping factor-faktor lain, seperti fiksasi, pulasan sediaan dan kemahiran
interpretasi.
Representative tidaknya sediaan apusan pap sangat dipengaruhi oleh cara/tehnik
pengambilan bahan pemeriksaan, cara pembuatan sediaan dan alat pengambil secret yang
digunakan. Oleh karena itu sebelum melangkah kepada penilaian sitology apusan pap perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai cara pengambilan dan cara pembuatan sediaan sitology
apusan pap yang tepat dan benar dengan cara seksama.5
Pelaksanaan IVA dan pelatihan tenaga kesehatan
Pemeriksaan IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan, dokter
umum atau oleh dokter spesialis.
Adapun pelatihannya, telah ada kesepakatan antara pihak yang berpengalaman dan
berkecimpung dalam kegiatan pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati
IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga dry workshop. Adapun
tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat wet workshop dalam artian latihan
dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut tetap
dilanjutkan dengan pendamping atau supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan yang
dinilai kompeten jika personil yang bersangkutan telah melakukan pemeriksaan pada 100 orang
klien dan mendapatka 3 (tiga) hasil pemeriksaan yang positif dan benar. (laporan hasil loka karya
penanggulangan kanker rahim balikpapan, 25 juli 2008).
14

Akurasi pemeriksaan IVA


Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa IVA menjadi alternatif metode skrining
kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas. Namun demikian,
akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji diberbagai negara berkembang.
Penelitian universitas zimbabwe dan JHPIEGO cervical cancer project yang melibatkan
2.203 perempuan di zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode IVA dapat
mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA dibanding dengan
pemeriksaan sitologi (tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%. Meskipun begitu,
dilaporkan juga bahwa IVA kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya 64,1% dibanding
sitologi 90,6%. Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan cina,
dilakukan oleh belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas metode IVA pada lesi
prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikkonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi leher
raim. Hasilnya penerlitian menunjukkan bahwa sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih
tinggi adalah 71% sementara angka spesifisitas 74%.
Interval skrining
Ameran cancer society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun setelah
dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko
munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV pertama.
Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali
memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining
tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan
pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang pertama. Setelah
perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif,
skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapa tdilakukan
tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.3
Pencegahan Kanker Serviks
Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
1. Pencegahan Primer
15

Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan kontak


individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses karsinogenesis. Pencegahan
primer juga dapat dilakukan dengan menghindari berbagai faktor risiko, seperti dengan
menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun, berhubungan secara monogami, serta
penggunaan vaksin HPV.2
a. Vaksin
Dua vaksin HPV yang tersedia untuk melindungi perempuan, terhadap jenis HPV yang
menyebabkan kanker serviks yang paling, vagina, dan vulva. Kedua vaksin yang
direkomendasikan untuk remaja perempuan usia 11-12 tahun, dan untuk wanita 13
sampai 26 tahun yang tidak mendapatkan salah satu atau semua dari vaksin ketika
mereka masih muda. Vaksin ini juga dapat diberikan pada remaja perempuan usia 9
tahun. Disarankan bahwa wanita mendapatkan merek vaksin yang sama untuk tiga dosis
keseluruhan, bila memungkinkan. Penting untuk dicatat bahwa bahkan wanita yang
divaksinasi terhadap HPV perlu memiliki Pap Smear secara teratur untuk skrining kanker
serviks. Vaksin melindungi terhadap infeksi dengan jenis HPV selama 6 sampai 8 tahun.
b. Menghindari faktor risiko dan meningkatkan faktor proteksi
Menghindari faktor risiko kanker dapat membantu mencegah kanker tertentu. Faktor
risiko meliputi merokok, kelebihan berat badan, dan tidak cukup berolahraga.
Meningkatkan faktor proteksi seperti berhenti merokok, makan makanan yang sehat, dan
berolahraga juga dapat membantu mencegah beberapa jenis kanker.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker serviks, sehingga
kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan sekunder termasuk skrining dan
deteksi dini seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi, Pap net, dan inspeksi visual dengan
asam asetat (IVA).
a. Tes Pap (Pap smear atau) mencari prekanker, perubahan sel pada leher rahim yang dapat
menjadi kanker serviks jika tidak diobati dengan tepat. Mulai dilakukan pada usia 21.
b. Papillomavirus test (HPV) manusia mencari virus yang dapat menyebabkan perubahan
sel.

Yang paling penting yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah kanker

serviks adalah dengan melakukan tes skrining rutin


3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan komplikasi klinik ndan kematian. Pencegahan
dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat berupa operasi, kemoterapi, atau
radioterapi.

16

Kesimpulan
Tes skrining metode IVA sering digunakan sebagai metoda untuk melakukan pemeriksaan
skrining di PUSKESMAS karena dapat dilakukan dengan sumberdaya yang terbatas, dan hasil
yang cepat.
Skrining Ca Serviks dengan IVA memiliki sensitivitas 66,7% yang artinya dari 100%
sampel yang terkena Ca Serviks tes IVA positif pada 66,7%

sampel saja. Sedangkan

spesifitasnya adalah 73,6% yang artinya pada 100% sampel yang sehat tes IVA negative pada
73,6% sampel saja.nilai prediktif uji positif adalah 20 % yang artinya, IVA dapat mendeteksi
positif benar hanya pada 20% populasi yang terkena Ca Serviks. Sedangkan nilai prediktif uji
negative adalah 95,7% yang artinya, IVA dapat mendeteksi negative benar pada 95,7% orang
tanpa Ca Serviks.

Daftar Pustaka
1. Rasjidin I. Manual prakanker serviks. Jakarta: CV sagung seto; 2008.h.5-54
2. Rasjidin I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based.
Jakarta: EGC;2007.h.6-19
3. Departemen Kesehatan RI. Skrining kanker leher rahim dengan metode inspeksi visual
dengan asam asetat (IVA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI;2008.h.3-36.
4. Sumber: Notoatmojo S. Kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2011.
h.103-6.
5. Rajab, Wahyudin. Buku ajar epidemiologi untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2009.

17

Anda mungkin juga menyukai