Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah

Kejahatan
merupakan

koorporasi,

Kejahatan

korporasi (corporate

crime)

salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya

kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang


baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada
yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan
peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak
kejahatan

berserta

kompleksitasnya. Korporasi

dapat

meningkatkan

kekayaan negara dan tenaga kerja, namun justru dengan perubahan besar
pada struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi
yang besar, sehingga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara
dapat didikte sesuai kepentingannya.
Bahwa menurut Prof Dwija Priyatno,SH,MH dari Sekolah Tinggi Hukum
Bandung,1pernah menyatakan sebagai berikut: Bahwa

dahulu

ada

semacam adagium yang menyatakan makin miskin suatu bangsa,


semakin

tinggi

Sekarang

adagium

kejahatan
ini

hanya

yang
berlaku

terjadi,

bagi

kejahatan

konvensional/tradisional/blue collar crime/street crime seperti kasus kasus


perampokan,
perkosaan

pembunuhan,

dan

lain

penggelapan,

sebagainya,

pencurian,

sehingga

Soedjono

penganiayaan,
Dirdjosisworo

menyatakan, bahwa Kejahatan sekarang menunjukkan, kemajuan ekonomi


juga menimbulkan kejahatan baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya
korban yang diakibatkannya.

Sekolah Tinggi Hukum Bandung, (2005) didalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, dikutip
dari
:
http://www.faktareview.com/index.php/inspirasi/entry/sanksi-hukum-terhadap-kejahatankorporas

Dalam perkembangannya, pelaksanaan operasional dari berbagai jenis


korporasi, sebagian besar bermotifkan ekonomi berupa usaha memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya

dengan berbagai cara guna memenuhi

kebutuhan anggota-anggotanya yang terlibat dalam usaha kerjasama


tersebut. Hal ini terlihat mulai dari pemilik usaha, kelompok managemen dan
kelompok karyawan atau buruh berupaya dengan sekuat tenaga untuk
mencapai tujuan mereka yang telah ditentukan sebagai tujuan korporasi.
Karena masing-masing korporasi mengejar tujuan yang sudah ditentukan
oleh mereka, maka timbul persaingan-persaingan tajam di antara badan
usaha atau korporasi yang tidak sedikit melakukan pergesekan-pergesekan,
kecurangan-kecurangan, bahkan ada juga yang melanggar rambu-rambu
hukum yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Korporasi kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir
hingga

berakhirnya

kehidupan

seorang

manusia

dibumi,

setidaknya

korporasi telah mengambil andil dalam setiap fase tersebut. Usaha


mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan
tuntutan dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan
meletakan dasar-dasar pembangunan industri dalam menyongsong era
pembangunan jangka panjang.
Hal tersebut diatas dapat digambarkan bahwa banyak permasalahan di
negara ini khususnya mengenai ketenagakerjaan.
Di sini penulis beranggapan bahwa masalah yang timbul mengenai
ketenagakerjaan sangat berhubungan sekali dengan perusahaan yang
memperkerjakan para kaum buruh. Hasil didapatkan adanya sangkaan
perbuatan hukum yang dilakukan pada kaum buruh adalah berasal dari
suatu korporasi sebagai perusahaan yang memperkerjakan. Oleh karena itu
perlu adanya identifikasi lebih khusus mengenai kejahatan korporasi yang di
lakukan oleh korporasi terhadap kaum buruh tersebut.

Ketika perbuatan buruk ini dilakukan oleh korporasi baik sekali maupun
terus menerus, maka korporasi ini dapat dikategorikan telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Guiding Principle of Crime Prevention and
Criminal Justice in the Context of Development and a New International
Economic Order , yang dihasilkan kongres PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Ketujuh

pada

tahun

1985

di

Milan

Italia,

mengingatkan

perlunya

perlindungan khusus terhadap bentuk-bentuk kelalaian (yang dapat terjadi


dalam aktivitas korporasi) yang bersifat kriminal dalam bidang kesehatan
masyarakat (public health), kondisi atau pesyaratan keamanan tenaga kerja
(labour

conditions),

eksploitasi

sumber-sumber

alam

dan

lingkungan

(exploitation of natural resources and environment), serta persyaratan


pengadaan barang dan pelayanan konsumen (the provision goods and
services of consumers). Peninjauan kembali atas perbuatan yang dinyatakan
dilarang dan merupakan tindak pidana korporasi merupakan hal yang perlu
karena

perubahan

nilai-nilai

menyebabkan

sejumlah

perbuatan

yang

sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak dicela dan tidak dituntut


pidana berubah menjadi perbuatan yang harus dicela dan dipidana.
Kejahatan korporasi terhadap buruh atau tenaga kerja adalah yang
berupa perbuatan-perbuatan yang mengabaikan keamanan dan keselamatan
kerja buruh, karena itu berarti mengabaikan apa yang menjadi kepentingan
dari para buruh yang bersangkutan. Buruh yang setiap hari bekerja dalam
lingkungan

kerja

tertentu,

dengan

debu

yang

berterbangan,

asap

pengecoran dalam produksi yang selalu dihirup, suara gemuruh dari mesinmesin

penggilingan

dan

sebagainya,

dalam

waktu

tertentu

akan

menimbulkan penurunan kualitas kesehatan buruh.


Akibat perbuatan dari korporasi tersebut dapat menimbulkan kerugian
yang cukup besar, tidak adil kiranya bila yang diminta pertanggungjawaban
pidana hanya kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut sedangkan
hal itu diketahui orang yang melakukan perbuatan tersebut demi untuk
mencari keuntungan korporasi terkecuali orang yang melakukan bukan untuk
3

tujuan

korporasi.

Oleh

karena

itu,

diperlukan

juga

meminta

pertanggungjawaban dari korporasi akibat perbuatan melawan hukum


tersebut.
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan
oleh korporasi sekiranya belum ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Wetbook van Strafrecht (KUHP WvS) Indonesia. Namun, dalam
Konsep KUHP 2004 telah memuat mengenai hal tersebut. Aturan tentang
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan korporasi saat ini hanya
ditemukan dalam aturan khusus diluar KUHP, yakni dalam undang-undang.
Seperti Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura, UndangUndang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak pidana Pencucian uang, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UndangUndang Nomor 20 tahun 2001, Undang-Undang Nomor 06 tahun 1984
tentang Pos, Undang-Undang Nomor 05 tahun 1984 tentang Perindustrian,
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UndangUndang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada undang-undang
tersebut telah menetapkan subjek hukum lain selain manusia yaitu korporasi
sebagai pelaku dalam tindak pidana.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis diuraikan

diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut:


1.

Bagaimana bentuk kejahatan korporasi?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan korporasi?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Kerangka Konseptual

Kejahatan korporasi tidak termasuk di dalamnya crimes against


corporation, yang berorientasi pada kepentingan individual yang merugikan
korporasi. Dengan kata lain corporate crimes are offences committed by
corporate officials for their corporations and the offences of the corporation
themselves for corporate gain (Dunfee, 1998). Contoh penyuapan pejabat
pemerintah, pencemaran lingkungan, penggelapan pajak, produksi yang
5

membahayakan konsumen, persaingan usaha yang tidak fair, dll. Bahaya


yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi yang dilakukan oleh non-state
actors memang tidak bersifat state centric security threat, tetapi
merupakan bahaya terhadap human security, baik individul, kelompok
maupun masyarakat. Dalam hal ini kemungkinan yang dapat menjadi korban
kejahatan korporasi adalah : perusahaan saingan (spionase industri,
persaiangan yang tidak jujur), Negara (penggelapan pajak) , karyawan
(lingkungan kerja yang tidak sehat), konsumen (produksi makanan beracun) ,
masyarakat (kejahatan lingkungan) dan pemegang saham yang tidak
bersalah.2
Korporasi sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang
diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek
hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Ketika subjek hukum itu diberi hak
maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau
sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum tidak
mempunyai haknya. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai korporasi
sebagai suatu badan hukum, ada baiknya menyimak beberapa pendapat di
bawah ini:
Sudikno Mertokusumo, menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan
hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan
tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban.
Setiawan,

menjelaskan rechtspersoon adalah

subjek

hukum

yang

memiliki hak dan kewajiban sendiri, sekalipun bukan manusia pribadi. Ia


mewujudkan dirinya dalam bentuk badan atau organisasi yang terdiri atas
sekumpulan pribadi manusia yang bergabung untuk suatu tujuan tertentu
serta memiliki kekayaan tertentu.

Muladi, Pertanggungjawaban pidana korporasi(coorporite criminal responsibility)

Jadi, dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian secara


umum bahwa korporasi sebagai badan hukum merupakan sekumpulan dari
orang-orang yang membentuk suatu organisasi tertentu dengan tujuan
tertentu, memiliki harta kekayaan, serta mempunyai hak dan kewajiban.
Menurut David J. Rachman, ia mengatakan bahwa secara umum
korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu:
1.

Merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum

khusus.
2.

Memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas.

3.

Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis

tertentu.
4.

Dimiliki oleh pemegang saham.

5.

Tanggung

jawab

pemegang

saham

terhadap

kerugian

korporasi

biasanya sebatas saham yang dimilikinya.[5]


Korporasi adalah badan hukum atau gabungan beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar; kumpulan
orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun
bukan badan hukum.[6] Sedangkan dalam Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan
dan Perdagangan korporasi diartikan sebagai:
Suatu kesatuan menurut atau suatu badan susila yang diciptakan
menurut undang-undang sesuatu negara yang menjalankan suatu usaha
atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk
untuk selama-lama atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai
nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di
muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut
kontrak dan akan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat
melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya
7

suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah


pemerintah atau partikelir.[7]

Untuk lebih jelas mengetahui korporasi sebagai subjek hukum dalam


peraturan perundang-undangan, penulis mencoba memuatnya dalam bentuk
tabel[8] dibawah ini.
No Undang-Undang (UU)

Penyebutan

Subjek

Korporasi
1

Undang-Undang Nomor 13Korporasi adalah kumpulan


tahun

2010

tentangorang

Holtikultura

yang

dan/atau

kekayaan

terorganisasi,

yang

berbadan hukum ataupun


tidak

berbadan

hukum

(Pasal 1 angka 25)


2

Undang-Undang Nomor 08Korporasi


tahun

2010

tentangsekumpulan orang dan/atau

Pencegahan
Pemberantasan

adalah

dankekayaan

yang

Tindakterorganisasi,

baik

pidana Pencucian uang

merupakan
maupun

badan
bukan

hukum
badan

hukum (Pasal 1 angka 10)


3

Undang-Undang Nomor 15Korporasi


tahun

2003

Pemberantasan
Pidana Terorisme

adalah

tentangsekumpulan orang dan/atau


Tindakkekayaan

yang

terorganisasi
merupakan
maupun

baik
badan

bukan

hukum
badan

hukum (Pasal 1 angka 3)

Undang-Undang Nomor 31Korporasi


tahun

1999

adalah

tentangsekumpulan orang dan/atau

Pemberantasan

Tindakkekayaan

yang

Pidana Korupsi Jo. Undang-terorganisasi


Undang

Nomor

20

tahunmerupakan

2001

maupun

baik
badan

hukum

bukan

badan

hukum (Pasal 1 angka 1)


5

Undang-Undang Nomor 06Dilakukan oleh atau atas


tahun 1984 tentang Pos

nama

badan

perseroan,

hukum,

perserikatan

orang lain, atau yayasan


(Pasal 19 ayat (3))
6

Undang-Undang Nomor 05Korporasi


tahun

1984

Perindustrian

tentangsecara

tidak

disebut

eksplisit,

tetapi

dalam Pasal 21 ayat (1) Jo.


Pasal 1 angka 7 disebut
subjek tindak pidana berupa
perusahaan

industri.

Perusahaan industri adalah


badan

usaha

melakukan

yang

kegiatan

di

bidang usaha industri.


7

Undang-Undang Nomor 23Hanya


tahun

2002

Perlindungan Anak

disebutkan

setiap

tentangorang. Setiap orang adalah


orang

perseorangan

atau

korporasi (Pasal 1 angka 16)


8

Undang-Undang Nomor 44Hanya


tahun
Pornografi

2008

disebutkan

setiap

tentangorang. Setiap orang adalah


orang

perseorangan

korporasi
9

baik

atau
yang

berbadan hukum maupun


yang tidak berbadan hukum
(Pasal 1 angka 3)
9

Undang-Undang Nomor 11Hanya


tahun

2008

Informasi

dan

disebutkan

setiap

tentangorang. Setiap orang adalah


Transaksiorang

Elektronik

perseorangan,

warga

negara

warga

baik

Indonesia,

negara

asing,

badan

hukum

maupun

(Pasal 1 angka 21)

Dilihat dari tabel di atas, masih ditemukannya penyebutan istilah


korporasi yang bermacam-macam atau belum seragam. Penulisan istilah
korporasi mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika. Hal ini
dipengaruhi

oleh

constituendum dalam

Konsep
Pasal

KUHP
146

(baru)

yang

1991/1992

menyatakan

sebagai ius

korporasi

adalah

kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan


badan hukum atau bukan.
Menurut I Gede Widhiana Suarda, ia mengatakan korporasi dapat
dijadikan subjek hukum pidana internasional dengan alasan:
1.

Korporasi dapat dijadikan sarana untuk mencari keuntungan dan pada


akhirnya

digunakan

sebagai

sumber

dana

suatu

kejahatan

internasional. Artinya, keuntungan suatu korporasi ditujukan untuk


mendanai kejahatan internasional, seperti terorisme, kejahatan perang,
genosida, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi tersebut pada
umumnya berstatus legal serta menjalankan usaha sebagaimana
layaknya korporasi legal pada umumnya.

10

2.

Selain

digunakan

sebagai

sarana

untuk

mendanai

kejahatan

internasional, korporasi dapat dijadikan sebagai tempat atau sarana


untuk

mencuci

uang

(money

laundering)

hasil-hasil

kejahatan

internasional, misalnya mencuci uang korupsi, perdagangan narkotika


dan sebagainya. Artinya korporasi dapat didirikan secara legal serta
melakukan kegiatan dengan legal pula, tetapi itu hanya sebagai kedok
untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana internasional yang
dilakukannya.
3.

Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana internasional, baik


secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contohnya adalah
ketika terjadi pembantaian etnis (genosida) di Rwanda, ternyata ada
beberapa korporasi, baik yang secara langsung maupun tidak langsung
ikut berperan dalam mengobarkan semangat pembantaian tersebut.
Dalam masa pembantaian tersebut beberapa media massa Rwanda
telah ikut memainkan peran penting memuluskan kejahatan yang
dilakukan.karena itu, wajar apabila korporasi dapat dijadikan sebagai
subjek hukum pidana internasional.

4.

Perkembangan dalam teori hukum (dan hukum pidana khususnya)


telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum sebagaimana
manusia

atau

individu.

Hampir

semua

negara

di

dunia

telah

menempatkan korporasi juga sebagai subjek hukum dalam sistem


hukum pidananya, termasuk Indonesia. Memang pada awal kemunculan
fenomena korporasi sebagai subjek hukum pidana telah ditentang dan
dikritik banyak orang. Namun demikian saat ini, keberadaan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana atau sebagai subjek hukum pidana sudah
tidak terbantahkan lagi.
5.

Dari

sisi

praktik

penegakan

hukum

pidana

internasional

telah

menunjukan bahwa suatu organisasi pernah ditetapkan oleh Mahkamah


Internasional

(Mahkamah

Nuremberg)
11

sebagai

organisasi

yang

terlarang. Mahkamah Nuremberg telah menetapkan 6 organisasi yang


terlibat dalam Perang Dunia II sebagai organisasi kejahatan dan
menbebaskan 2 organisasi dari tuduhan. Dalam konteks ini keterlibatan
suatu organisasi dapat saja mengarah pada suatu korporasi. Apabila
mengacu pada doktrin dalam hukum pidana tentang ruang lingkup
korporasi, yang menetapkan ruang lingkup korporasi dalam arti luas:
korporasi adalah kumpulan baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak

berbadan hukum, maka

suatu organisasi

(sekalipun

tidak

berbadan hukum) dapat saja dikualifikasikan sebagai suatu korporasi


yang terlibat dalam suatu kejahatan internasional. Oleh karena itu,
organisasi atau korporasi tersebut semestinya dapat dijadikan subjek
hukum internasional sekaligus dipidana atas dasar hukum pidana
internasional[9]

B.

Kerangka Teoritis
Korporasi

ada

karena

keberadaanya

memang

diperlukan.

Ada

beberapa terori yang mencoba menjelaskan mengapa korporasi perlu ada.


Terdapat dua aliran utama yang menjelaskan mengapa korporasi perlu ada
yakni pertama,

penjelasan

yang

lebih

bertumpu

pada

pendekatan

kontraktual yang terdiri dari tiga teori, yaitu teori neo institusi biaya
transaksi (transaction cost theory), teori agensi (agency theory), dan teori
kontrak yang tidak lengkap (incomplete contract). Kedua, pendekatan yang
berbasis pada teori kompetensi. Pada dasarnya, pendekatan kompetensi
menjadi alternatif dari pendekatan kontraktual yang menjadi pendekatan
utama dalam analisis organisasi. Dengan kata lain, pendekatan berbasis
kompetensi bersifat heterodoks, sementara pendekatan kontraktual lebih
bersifat ortodok.[10]

12

Dasar

kesalahan

perusahaan

yang

dapat

diindikasikan

sebagai

kejahatan korporasi dapat terlihat dari kelalaian, keserampangan, kelicikan


dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Untuk lebih mendalami lagi,
Agus Budianto mengatakan bahwa terdapat dua model mengenai kejahatan
korporasi. Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau
yang

berhubungan

dengan

suatu

perusahaan

yang

dipersalahkan;

dan Kedua, perusaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui


karyawan-karyawannya.[11] Bila

seorang

yang

cukup

berkuasa

dalam

struktur korporasi, atau dapat mewakilkan korporasi melakukan suatu


kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan
korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
Namun, korporasi tidak dapat dipersalahkan atas suatu kejahatan yang
dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki
korporasi tersebut.
Dalam usaha meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, telah
melahirkan sejumlah konsep yang menguraikan perkembangan pemikiran
tentang pertanggungjawaban subjek hukum korporasi dengan pembagian
pentahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister: tahap
pertama ditandai dengan adanya usaha-usaha agar perbuatan pidana yang
dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon);
tahap kedua yaitu pada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai
dengan pengakuan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh
korporasi; dan tahap tiga terjadi pada masa setelah perang dunia kedua,
dimana

tanggung

jawab

pidana

langsung

dapat

dimintakan

kepada

korporasi.[12]
Selain itu, menurut C.M.V. Clarkson ia mengatakan bahwa masih
terdapat tujuh konsep yang merupakan perkembangan dari diskursus
doktrin-doktrin mengenai tanggung jawab pidana korporasi. Tujuh konsep
tersebut adalah identification doctrine, aggregation doctrine, reactive
corporate fault, vicarious liability, management failure model, corporate
13

mens rea doctrine,dan specific corporate offences.[13] Barda Nawawi Arief,


dalam bukunya yang berjudul Sari Kuliah Perbandingan Hukum hanya
menyebutkan empat teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu
doktrin pertanggung-jawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau
teori Identifikasi (identification theory), doktrin pertanggungjawaban pidana
pengganti (vicarious liability), doktrin pertanggungjawaban pidana yang
ketat menurut undang-undang (strict liability), dan doktrin/teori budaya
korporasi (company culture theory).[14]
Menurut identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam
struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan
dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat
dihubungkan

dengan

korporasi.

Korporasi

dapat

diidentifikasi

dengan

perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam


kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu
korporasi dan individu. Namun, suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas
suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah
dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan
oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam
ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi
tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan
atau kesalahan oleh pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan atau
kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan otaknya sebuah
korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun
bersama-sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan
bahwa korporasi tidak dapat berbuat atau melakukan sesuatu kecuali
melalui manusia yang mewakili mereka. Namun, terdapat keberatan yang
cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan
korporasi-korporasi

besar

dimana

kemungkinannya

sangat

kecil

seorang senior melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindakan


pidana dengan disertai mens rea.
14

Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka
berat, sangat kecil kemungkinan seorang pegawai senior akan secara
langsung tangannya berlumuran dengan darah. Pada korporasi dengan
struktur organisasi yang sangat besar dan kompleks, hampir mustahil bagi
pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individuindividu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah uang, waktu
dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa jadi tidak
sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa tertentu,
bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk
menebarkan asap kabut di sekitar daerah operasional internalnya. Lebih
penting lagi, meskipun penyelidikan dilakukan secara layak, seringkali
terungkap bahwa kesalahan tidak terletak pada individu tertentu tetapi lebih
pada korporasi itu sendiri.
Aggregation doctrine merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan
tanggung jawab pidana untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang
muncul dalam identification doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana
tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu,
perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang
relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan secara keseluruhannya
tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan
apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin ini
mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak
mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan
niat dan doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung
jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Namun, pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru
doktrin ini tidak efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal
memberikan peringatan lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang
diharapkan akan dilakukan oleh korporasi agar mereka tidak terkena resiko
tanggung jawab pidana. Doktrin ini bukan menemukan seseorang yang pada
15

korporasi diidentifikasi, malah menemukannya pada beberapa orang. Doktrin


ini mengabaikan kenyataan bahwa esensi yang sebenarnya dari kesalahan
mungkin bukan yang dilakukan oleh orang orang-orang melainkan fakta
bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi atau kebijakan untuk
mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan yang secara
kumultatif menjadi suatu tindak pidana.
Reactive

corporate

fault merupakan

suatu

pendekatan

berbeda

tentang tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana yang diusulkan oleh


Brent Fisse dan Braithwaite. Mereka mengemukakan bahwa suatu perbuatan
yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama sebuah
korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan
korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang
bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas
kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk
menjamin kesalahan tersebut tidak terulang kembali.[15]
Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka
tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi.
Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan pada korporasi apabila
korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat
kejadian terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan
yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Pendekatan ini
memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu sendiri melakukan
penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang melakukannya.
Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi
seringkali korporasi

ini

sendiri

memiliki

kemampuan

terbaik

untuk

memahami dan menembus struktur organisasinya yang kompleks. Ini juga


merupakan satu pendekatan yang mengakui bahwa satu dari tujuan dari
utama tanggung jawab pidana korporasi adalah untuk memastikan bahwa

16

korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka


yang kurang baik, sehingga mencegah kesalahan tersebut terulang.
Vicarious liability merupakan cara yang sangat umum dalam meminta
korporasi bertanggung jawab secara pidana dan doktrin ini sering digunakan
oleh negara Amerika Serikat. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau
pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaanya dan dengan maksud
untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung
jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak masalah
perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak. Atau
satu korporasi dapat dinyatakan telah menyerahkan kekuasaan untuk
bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan
berdasarkan

itu,

korporasi

harus

dimintai

pertanggungjawaban

atas

perbuatan jahat mereka. Ini yang juga dijadikan alasan bahwa pencegahan
yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada
korporasi tersebut.
Seiring dengan itu Peter Gillies[16] membuat beberapa proposisi yaitu
suatu perusahaan (sepertinya halnya dengan manusia sebagai pelaku/
pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan
yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian
hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. Dan
kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaanya tidaklah
relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai
korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi
petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran hukum
pidana.

(bahkan

dalam

beberapa

kasus, vicarious

liability dikenakan

terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan


dengan instruksi, berdasarkan alasan perbuatan karyawan dipandang
sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaanya).
Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawabannya

17

muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior
di dalam perusahaan.
Management

failure

model merupakan

doktrin

yang

lebih

menitikberatkan kesalahan pada korporasi bukan merupakan kesalahan


korporasi

seutuhnya,

melainkan

kesalahan

tersebut

karena

adanya

kesalahan menajemen. Misalnya, kejahatan pembunuhan tanpa rencana


yang dilakukan korporasi karena ada kesalahan menejemen oleh korporasi
yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut
merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan
dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini dibuat tanpa mengacu ke
konsep mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah
oleh korporasi. Dari pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih
dari perluasan identification doctrine daripada melihat kegagalan dari pihak
individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang
dilihat adalah kegagalan menajemennya.
Corporate mens rea doctrine, pada dasarnya korporasi tidak dapat
melakukan perbuatan jahat. Hanya orang-orang yang ada dalam perusahaan
tersebut mampu melakukan perbuatan jahat. Ide dasar doktrin ini ada
karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas kompleksnya
organisasi korporasi dan dinamika proses secara organisasional, struktur,
tujuan, kebudayaan hirarki yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk
suatu etos yang mengizinkan atau bahkan mendorong dilakukannya sebuah
kejahatan. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini
sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka
dan pekerja, dan mens reanya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan
korporasi.
Poin penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu
di dalam perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan terjadi,
tetapi apakah dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi dengan
18

baik resiko-resiko yang telah nyata. Untuk individu tidak ada pengakuan,
maksud dan perkiraan dapat disimpulkan dari tindakan obyektif. Ini hanya
dapat dilakukan berdasarkan pada apa yang akan dapat diduga oleh
seseorang yang normal, kecuali kehendak tersebut dalam beberapa hal
berbeda dengan orang yang normal.
Specific corporate offences, mengenai hal ini Komisi Hukum Inggris
telah mengusulkan akan satu kejahatan baru yaitu pembunuhan oleh
korporasi corporate killing telah diperkenalkan dalam hukum Inggris.
Kejahatan ini akan merupakan suatu yang terpisah dari perilaku yang
menyebabkan matinya orang atau orang-orang lain karena kelalaian pelaku
yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah
yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti
pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat
definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dapat semata-mata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi
tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh
undang-undang.

Pelanggaran

kewajiban/kondisi/situasi

tertentu

oleh

korporasi ini dikenal dengan istilah strict liability offence. Sedangkan


Doktrin/teori
doktrin/teori

budaya
ini,

korporasi

korporasi

(company

dapat

culture

theory),

dipertanggungjawabkan

menurut

dilihat

dari

prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya. Oleh karena itu teori budaya
ini,

sering

juga

disebut

teori

model/sistem

atau

model

organisasi

(organizational or system model). Kesalahan korporasi didasarkan pada


internal decision-making struktur.[17]

BAB III
19

PEMBAHASAN
A.

Kejahatan Korporasi

Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan lama yang


saat ini melanda hampir seluruh negara di dunia, yang menimbulkan
kerugian secara meluas di masyarakat. Karakteristik kejahatan korporasi
berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya. Secara umum karakteristik
kejahatan korporasi sebagai berikut:
1.

Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup


oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian
profesional dan sistem organsiasi yang kompleks;

2.

Kejahatan

tersebut

sangat

kompleks

(complexity)

karena

selalu

berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurianserta seringkali


berkaitang dengan sebuah yang ilmiah, teknologis, financial, legal,
terorganisirkan, dan melibatkan banyak orang dan berjalan bertahuntahun;
3.

Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang


semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

4.

Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti


polusi dan penipuan;

5.

Hambatan

dalam

penditeksian

dan

penuntutan

(detection

and

prosecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara


aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan;
6.

Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan


kerugian dalam penegakan hukum;

20

7.

Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku
tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundangundangan, tetapi perbuatan tersebut illegal.[18]

Seiring dengan itu, Steven Box mengemukakan bahwa ada lima faktor
yang potensial mempengaruhi korporasi melakukan pelanggaran hukum
dalam mencapai tujuan, yaitu:
a.

Persaingan, seperti penemuan teknologi baru, tenik pemasaran,


struktur

merger

dapat

menghasilkan

perbuatan

memata-matai,

pembajakan, penyuapan, dan korupsi untuk memperoleh pasaran,


merger dan mencaplok;
b.

Pemerintah, yakni melalui peraturan-peraturan baru atau pelaksanaan


yang lebih tegas dari peraturan yang ada dapat menghasilkan tindakan
manipulasi pajak, pemberian dana kampanye pemilihan umum yang
bersifat illegal dan penyuapan kepada pejabat-pejabat pemerintah untuk
memperoleh proyek;

c.

Buruh, yakni aktifitas yang dapat membuat ketegangan oleh gerakan


buruh yang militan dan radikal terhadap masalah upah dan kondisi kerja
sebagai akibat dari pemabayaran buruh di bawah ketentuan minimal,
kondisi tempat kerja yang tidak memperhatikan keselamatan kerja;

d.

Konsumen, seperti permintaan produk yang elastis, terutama sebagai


akibat

adanya

perubahan-perubahan

atau

perlindungan

terhadap

konsumen mendapat perhatian, sehingga praktek korporasi yang


meragukan menjadi tampak. Misalnya iklan yang menyesatkan, label
yang tidak sesuai, produk yang tidak diuji, dan menjual produk yang
telah daluwarsa atau produk palsu; dan

21

e.

Publik, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh meningkatkannya kesadaran lingkungan seperti konservasi udara bersih, lingkungan
pemukiman serta sumber-sumber alam yang lain. Tindakan-tindakan
korporasi yang merugikan publik dapat berupa polusi udara, polusi air
dan tanah, penyuapan dan korupsi.[19]

Secara garis besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi


meliputi:
1.

Kerugian dibidang ekonomi/materi


Meski sulit mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbul-

kan oleh kejahatankorporasi terutama karena tidak adanya badan yang


secara khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi berbeda dengan
kejahatan warungan yaitu kepolisian namun berbagai peristiwa menunjukan
bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar
biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang
ditimbulkan oleh kejahatan warungan, seperti perampokan, pencurian,
penipuan.

Misalnya

perkiraan

yang

dilakukan

oleh Subcommittee

on

Antitrust and Monopoly of the US Senate Judiciary Committee yang diketuai


oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh
kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dolar pertahun, jauh bila
dibandingkan dengan kejahatan warungan yang berkisar sekitar 3-4 miliar.
2.

Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa


Pembicaraan mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan

korporasi umumnya ditujukan pada kerugian di bidang ekonomi, sedangkan


kerugian dibidang kesehatan dan keselamatan jiwa pada kenyataanya
sangat

serius.

Menurut

Geis,

misalnya

setiap

tahunnya

korporasi

bertanggung jawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi
di seluruh dunia.

22

Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat


diakibatkan, baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam
proses produksi, sehingga yang menjadi korban korporasi adalah masyarakat
luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi. Dengan
membandingkan

besarnya

kerugian

yang

ditimbulkan

oleh

kejahatan

korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja pada korporasi) dengan


kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data statistik
kriminal yang dibuat oleh F.B.I, dan data dari The President Report on
Occupational Safety and Health tahun 1973. Reiman menyimpulkan bahwa
kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi
luar biasa besarnya dibandingkan dengan kejahatan warungan, yaitu
100.000

dibandingkan

berbanding

dengan

dengan

9.235

218.385untuk

untuk

kerugian

kematian
fisik.

dan

Sementara

390.000
dalam

hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh F.B.I.


melalui

gambaran crime

of

clocks,

bahwasanya crime

of

clocks bagi

pembunuhan terjadi setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibandingkan


dengan kematian yang terjadi di bidang industri adalah setiap 4,5 menit.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Reiman: In other words, in the time it take for
one murder on the crime clock, six workers have died. Just from trying to
make a living.
Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena
kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi sebagian besar disebabkan
oleh penyakit yang pada umumnya karena kondisi-kondisi diluar kontrol
pekerja, seperti kadarcoal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau
debu tekstil (yang menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat
asbestos (yang dapat menyebabkan kanker).
3.

Kerugian di bidang sosial dan moral


Di samping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak

kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian


23

dibidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan


korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis,
seperti pernyataan dari The Presidents Commission on Law Enforcement
and

Administratiton

of

Justice bahwa

kejahatan

korporasi

merupakan

kejahatan yang paling mencemaskan, bukan saja karena kerugian yang


sangat besar, akan tetapi karena akibat yang merusak terhadap ukuranukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi)
merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan
demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah.[20]
Selain itu menurut Braithwaite, bentuk kejahatan korporasi yang
lainnya adalah pemberian suap dan korupsi yang dilakukan oleh korporasikorporasi besar; yang merupakan bentuk kejahatan yang sangat merusak
karena kesenjangan yang ditimbulkannya. Bentuk kejahatan ini terutama
dilakukannya terhadap penguasa (pemerintah) di negara-negara ketiga
dengan

membujuk

pemerintah

mengikuti

kepentingan

korporasi

(transnasional) untuk melawan kepentingan publik. Dengan demikian


setiap tindakan korupsi politik akan menghasilkan kerusakan politik dan
memperburuk pilihan sosial yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah
yang korup, akibatnya orang-orang yang memiliki prinsip kuat akan
memasuki dunia politik yang menjijikan.
Kerugian yang ditimbulakan oleh kejahatan korporasi di bidang nilainilai sosial lainnya adalah merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya
menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat
pemerintahan dilakukan secara tertutup dan karenanya diupayakan untuk
tidak transparan, sementara keterbukaan (transparansi) merupakan hal yang
penting bagi demokratisasi.
Pengaruh lain yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah
terjadinya perubahan minat (intersse) para pelaku bisnis, yakni dari
efisiensi di bidang produksi ke efisiensi dalam tindakan manipulasi terhadap
24

masyarakat,

termasuk

manipulasi

terhadap

pemerintah

dalam

usaha

mencapai tujuan untuk memperoleh keuntungan yang diinginkan. Hal ini


punya pengaruh cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat
amal kepada penguasa atas beban masyarakat (konsumen) dan cenderung
membuat pemerintah korup.
B.

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi


Melihat masalah yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tersebut,

maka perlulah kiranya mengetahui mengenai pertanggungjawaban pidana


yang

dilakukan

oleh

korporasi

sebagai

subjek

hukum

pidana

yang

kehadirannya sudah ada sejak lama. Untuk itu, ada baiknya menyimak
aturan pertanggungjawaban pidana tersebut dalam ius constitutum dan ius
constituendum. Padaius constitutum, pengaturan hukum mengenai korporasi
dapat dijumpai di undang-undang khusus diluar KUHP dan untuk ius
constituendum, dapat merujuk pada Konsep KUHP 2004. Disana akan
tergambar mengenai aturan pemidanaan korporasi tersebut. Pengaturan
korporasi dalam undang-undang seperti:
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura. Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal
128

dilakukan

oleh

korporasi,

maka

selain

pengurusnya

dipidana

berdasarkan Pasal 124 sampai dengan 128, korporasinya dipidana dengan


pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari
masing-masing tersebut. (Pasal 29 ayat (1)).
Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang. Dikenal istilah baru yakni
Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan
atau

wewenang

sebagai

penentu

kebijakan

Korporasi

atau

memiliki

kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus


mendapat otorisasi dari atasannya (Pasal 1 angka 14).

25

Pasal 6 ayat (1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi,
pidana

dijatuhkan

terhadap

Korporasi

dan/atau

Personil

Pengendali

Korporasi. Dalam penjelasannya Korporasi mencakup juga kelompok yang


terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau
lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan
melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang
ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) menyatakan Pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang,
dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi, dilakukan
dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi, dilakukan sesuai
dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dan, dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) (Pasal 7 ayat
(1)). Selain pidana denda terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau
seluruh kegiatan usaha Korporasi, pencabutan izin usaha, pembubaran
dan/atau pelarangan Korporasi, perampasan aset Korporasi untuk negara
dan/atau pengambilalihan Korporasi oleh negara. (Pasal 7 ayat (2)).
Pasal 9 menyatakan ayat (1) Dalam hal Korporasi tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan
putusan pidana denda yang dijatuhkan. Dan ayat (2) Dalam hal penjualan
Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan
terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda
yang telah dibayar. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi,
26

panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di


tempat pengurus berkantor. (Pasal 82)
Undang-Undang

Nomor

23

tahun

2002

tentang

Perlindungan

Anak. Pasal 90 menyatakan ayat (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82,
Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89
dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus
dan/atau korporasinya. Ayat (2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi
hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan
ditambah

1/3

(sepertiga)

pidana

denda

masing-masing

sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).


Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Pasal 52 ayat (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana
dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Dalam penjelasan ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 37 yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh
pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk, mewakili korporasi,
mengambil

keputusan

dalam

korporasi,

melakukan

pengawasan

dan

pengendalian dalam korporasi, melakukan kegiatan demi keuntungan


korporasi.
Jika dilihat dari rumusan pasal dalam undang-undang diatas, maka
pengaturan mengenai korporasi tidaklah semuanya diatur secara lengkap
dan rinci, hanya sanksi berupa denda yang mempunyai kesamaan.
Sebagai ius constituendum, pengaturan tentang Tanggung Jawab
Pidana Korporasi dalam Konsep RUU KUHP 2004 diletakkan pada Buku I
Bagian II Pertanggungjawaban Pidana Paragraf 6 Korporasi. Pasal-pasal
dalam paragraf ini, yakni sebagai berikut:
27

Pasal 44 berbunyi: Korporasi merupakan subyek tindak pidana.


Pasal 45 berbunyi: Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi
kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan
lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama.
Pasal

46

berbunyi: Jika

pertanggungjawaban

tindak

pidana

pidana

dikenakan

dilakukan
terhadap

oleh

korporasi

korporasi,
dan/atau

pengurusnya.
Pasal 47 berbunyi: Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama
korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang
berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pasal 48 berbunyi: Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi.
Pasal 49 berbunyi: Ayat (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan
pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap
suatu korporasi. Dan Ayat (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.
Pasal 50 berbunyi: Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat
diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,
dapat

diajukan

oleh

korporasi

sepanjang

alasan

tersebut

langsung

berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

28

Menyimak Pasal 44 s/d 50, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung


jawab pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsurunsur. Unsur Pertama : Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup
usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Unsur
Kedua : Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi
korporasi yang bersangkutan. Unsur Ketiga : Pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pengurus korporasi
dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi.
Unsur pertama tersebut menegaskan tentang pelaku tindak pidana.
Dari unsur pertama tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana
tidak harus pengurus korporasi tetapi bisa dilakukan oleh staf atau orangorang yang bertindak untuk kepentingan korporasi. Orang-orang yang
bertindak untuk kepentingan korporasi tersebut bisa karena hubungan kerja
sebagai staf atau sebagai tenaga kontrak, maupun pihak lain yang
berdasarkan suatu perjanjian melakukan suatu tindakan untuk kepentingan
perusahaan.
Sedangkan, dari unsur kedua terlihat tindak pidana tersebut hanya sebatas
lingkup usaha korporasi tersebut. Lingkup usaha ini dapat dilihat dari
anggaran dasar korporasi atau ketentuan lainnya. Unsur ketiga tentang
pihak yang bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang
terjadi.

Menurut

unsur

ketiga

ada

dua

pihak

yang

bisa

dimintai

pertanggungjawaban, yaitu Korporasi dan Pengurusnya. Pengurus disini


dibatasi hanya mereka yang memiliki kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi, bukan mereka yang berada di level bawah (lower level
officer).

29

Menurut penjelasan Pasal 47 Konsep RUU KUHP, ada tiga option tentang
pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana korporasi, yaitu :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu
penguruslah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi

sebagai

pembuat

tindak

pidana

dan

pengurus

yang

bertanggung jawab; atau


c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu
korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja. Penjatuhan pidana kepada korporasi berupa pidana
denda. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
adalah denda Kategori VI, yaitu sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah) (Pasal 77 ayat (5)). Selain denda maksimum, telah pula ditetapkan
denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar Rp.
75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) (Pasal 77 ayat (6)).
Apabila korporasi tidak mampu membayar sanksi pidana denda, maka
sanksi tersebut ditukar dengan pidana pengganti berupa pencabutan izin
usaha atau pembubaran korporasi (Pasal 81). Selain pidana denda, terhadap
korporasi dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan, yaitu berupa
pencabutan segala hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk
melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu (Pasal 88 ayat (2)).

30

Bila merujuk dari ius constitutum dan ius constituendum yang ada diatas
dikaitkan kejahatan korporasi dengan konsep pertanggungjawaban pidana
korporasi. Maka dapat disimpulkan tanggung jawab pidana korporasi hanya
dapat dilakukan apabila memenuhi syarat :
1. Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi;
2. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan yang lainnya;
3. Dalam lingkup usaha korporasi.
Bila dibandingkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam Bab II, yaitu berupa : identification doctrine, aggregation doctrine,
reactive corporate fault, vicarious liability, management failure model,
corporate mens rea, specific corporate offences. Konsep yang paling
mendekati rumusan RUU KUHP adalah vicarious liability.
Dengan menganut doktrin vicarious liability terdapat sejumlah keuntungan,
yaitu :
1. Pelaku tindak pidana tidak harus dilakukan oleh orang penting atau
orang yang menjadi simbol korporasi tersebut seperti yang disyaratkan
dalam identification doctrine atau kesalahan manajemen korporasi
seperti dalam management failure model.
2. Kejahatan yang menjadi tanggung jawab perusahaan adalah kejahatan
riil sebagaimana kejahatan yang sebenarnya terjadi, bukan kejahatan
yang diakibatkan oleh kegagalan korporasi mengambil suatu tindakan
sebagaimana dimaksud oleh reactive corporate fault.

Selain keuntungan tersebut, juga terdapat sejumlah kelemahan, yaitu :

31

1. Vicarious liability sulit diterapkan untuk kejahatan yang di dalamnya


terdapat mens

rea.

Contohnya

adalah

pembunuhan

atau

penganiayaan seperti terdapat dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi :


Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun. Unsur dengan sengaja adalah unsur niat atau mens rea, unsur
tersebut menunjukkan niat si pelaku untuk melakukan suatu tindakan
berupa merampas nyawa orang lain. Dengan demikian vicarious
liability hanya dapat diaplikasikan untuk kejahatan tertentu.
2. Vicarious liability dianggap terlalu inclusive, yaitu perusahaan dapat
dipidana untuk kesalahan yang dilakukan oleh pekerja yang kepadanya
seharusnya tidak harus dipertanggungjawabkan, dalam hal korporasi
mungkin telah melakukan segalanya sesuai dengan kekuasaan yang
dimilikinya untuk mencegah kesalahan tersebut.
3. Vicarious Liability juga sulit diterapkan apabila kejahatan tersebut
terjadi akibat kesalahan policy korporasi sendiri. Misalnya, tidak ada
ketentuan tentang standar kesehatan dan keamanan yang memadai.
Sehingga

apabila

terjadi

kematian

atau

aktivitas

perusahaan

menimbulkan kerugian baik kepada pekerjanya maupun masyarakat


pelakunya tidak dapat diketahui apakah pengurus, staf atau orangorang yang berdasarkan suatu perjanjian melakukan tindakan untuk
kepentingan perusahaan.
4. Di dalam RUU KUHP juga mengadung keraguan, saat kapan seorang
pengurus yang melakukan tindak pidana bertanggung jawab secara
pidana dan saat kapan korporasi bertanggung jawab atas tindak
pidana pengurus.
5. Di dalam RUU KUHP juga tidak ada kejelasan tentang apakah si
pembuat tindak pidana juga dimintai pertanggungjawaban pidana,

32

walaupun atas tindak pidana tersebut korporasi telah mengambil alih


tanggung jawab pidana tersebut.
6. Pasal 50 seolah menganggap tuntutan pidana terhadap korporasi
merupakan the last resort, sehingga harus mendahulukan bidang
hukum yang lain (perdata atau administrasi), karena dianggap
pemidanaan kurang berguna atau tidak memberikan perlindungan
yang maksimal. Tentu saja pendapat seperti ini keliru. Selain itu, pasal
ini menimbulkan persepsi yang salah tentang kejahatan korporasi,
karena dianggap kurang serius atau berbahaya dibandingkan dengan
kejahatan yang lain, padahal dari berbagai pengalaman, terlihat
korban kejahatan korporasi sangat banyak dan terkadang mengalami
penderitaan yang berkepanjangan, misalnya korban pencemaran, lukaluka yang dialami di tempat kerja, serta lain sebagainya.
Beberapa kelemahan terhadap vicarious Liability tersebut dapat dijawab
dengan mengadopsi juga doktrin lainnya, misalnyacorporate mens rea
doctrine.

Doktrin

ini

menganggap personality korporasi

sebagai

badan

hukum adalah fiksi. Karena itu dikatakan bahwa mens rea korporasi bisa juga
dibuat secara fiksi. Indikator niat ini dapat dilihat dari proses organisasi yang
dinamis, struktur, tujuan, budaya dan hirarki yang dapat dikombinasikan dan
menyumbang

terhadap

suatu

etos

yang

mengizinkan

atau

bahkan

mendorong dilakukannya suatu kejahatan.


Dengan menggunakan corporate mens rea doctrine, maka tanggung
jawab

pidana

korporasi

tidak

hanya

dapat

dilakukan

terhadap

kejahatan strict liability tetapi juga terhadap kejahatan lainnya. Selain usulan
di atas, dapat juga diadopsi doktrin specific corporate offences. Berdasarkan
doktrin ini diusulkan agar untuk kejahatan tertentu dibuat secara khusus
unsur-unsur yang specificyang hanya dapat diterapkan kepada perusahaan
saja.

33

BAB IV
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya,


maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai
berikut :
1. Selain orang, korporasi juga termasuk subjek hukum pidana. Sebagai
subjek hukum pidana, korporasi juga dapat diminta pertanggungjawabannya jika melakukan tindak pidana.
2. Pengaturan mengenai korporasi diatur dalam undang-undang dan
konsep RUU KUHP 2004. Sanksi pidananya berupa denda dan besaran
denda

tersebut

disesuaikan

dengan

bersangkutan melakukan tindak pidana.


B.

Saran

34

undang-undang

yang

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar :


1. Dalam

undang-undang

belum

mengatur

secara

rinci

mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karena itu, perlulah


segera diundangkannya RUU KUHP baru sebagai dasar aturan umum
jika aturan khusus tidak mengatur lebih lanjut mengenai korporasi.
2. Pidana denda seharusnya tidak dibatasi dengan jumlah maksimal
ditambah sepertiga atau duapertiga. Jika korporasi mampu membayar
denda maka secara tidak langsung berakhirlah perkara pidananya.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Budianto. 2012. Delik Suap Korporasi Di Indonesia. Cet. Pertama. Karya
Putra Darwati. Bandung.
A.

prasetyo.

2008. Corporate

Governance:

Pendekatan

Institusional.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


Barda Nawawi Arief. 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. Kedua, Citra
Aditya Bakti. Bandung.
I Gede Widhiana Suarda. 2012. Hukum Pidana Internasional: Sebuah
Pengantar. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti, Bandung.
I. S. Susanto. 2012. Kriminologi. Cet. Pertama. Genta Publishing. Yokyakarta.
Sahuri Lasmadi. 2003. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif
kebijakan

Hukum

Pidana

Indonesia.

Universitas Airlangga. Surabaya.


35

Disertasi

Doktor

Pascasarjana

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Ed. Kelima. Cet.


Keempat. Liberty. Yokyakarta.
M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete
Edition). Cet. Pertama. Reality Publisher. Surabaya.
Peraturan Perundang-Undangan
Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
2004.
Republik

Indonesia.

Undang-Undang

Nomor

13

Tahun

2010

tentang

Undang-Undang

Nomor

08

Tahun

2010

tentang

Holtikultura
Republik

Indonesia.

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang


Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Republik

Indonesia.

Undang-Undang

Nomor

23

Tahun

2002

tentang

Perlindungan Anak

[1]

I. S. Susanto, Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yokyakarta,

2011, hal. 126.


[2]

Sahuri

kebijakan

Lasmadi,
Hukum

Pertanggungjawaban
Pidana

Indonesia,

Korporasi

Disertasi

dalam

Doktor

Persfektif

Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal. 18.


[3]

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Kelima,

Cet. Keempat, Liberty, Yokyakarta, 2007, Hal. 41.


[4]

Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 19-20.

[5]

I. S. Susanto, Op. Cit., hal. 148-149.


36

[6]

M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete

Edition), Cet. Pertama, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal. 384.


[7]

Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 21.

[8]

Tabel

ini

tidaklah

memuat

penyebutan

subjek

korporasi

secara

keseluruhan dalam peraturan perundang-undangan, tabel ini dimaksudkan


hanya untuk dijadikan bahan perbandingan antara undang-undang yang satu
dengan undang-undang yang lainnya.
[9]

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar,

Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 160-161.


[10]

A. prasetyo, Corporate Governance: Pendekatan Institusional, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 18-20.


[11]

Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Cet. Pertama, Karya

Putra Darwati, Bandung, 2012, hal. 64.


[12]

Ibid., hal. 65-66.

[13]

Ibid., hal. 67.

[14]

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 246-252.


[15]

Agus Budianto, Op. Cit., hal. 70.

[16]

Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 250.

[17]

Ibid., hal. 251.

[18]

Agus Budianto, Op. Cit., hal. 57.

[19]

Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 107.

[20]

I. S. Susanto, Op. Cit., hal. 163-167.

37

38

Anda mungkin juga menyukai