OLEH
ENDANG TRI PRATIWI
(NIM: 2014240925)
(NIM: 2014240926)
MATERI KELOMPOK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
Akuntansi Manajemen Lanjutan
biaya ini dengan tujuan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
mengelolanya.
A. ENVIRONMENTAL COST OF QUALITY.
1) Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting/EA)
Praktek-praktek akuntansi tradisional seringkali melihat biaya lingkungan sebagai
biaya mengoperasikan bisnis, meskipun biaya-biaya tersebut signifikan, meliputi: biaya
sumberdaya, yaitu mereka yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan
mereka yang terlibat dalam operasi bisnis umum, pengolahan limbah, dan biaya
pembuangan. Biaya reputasi lingkungan, dan biaya membayar premi asuransi resiko
lingkungan.
Dalam banyak kasus, biaya-biaya lingkungan seperti yang berkaitan dengan
sumberdaya alam (energi, udara, air) dimasukkan ke dalam satu jalur biaya operasi
atau biaya administrasi yang diperlakukan independen dengan proses produksi. Juga
biaya lingkungan sering didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi dalam
upaya pemenuhan dengan atau kaitan dengan hukum atau peraturan lingkungan. Hal ini
karena sistem akuntansi cenderung berfokus pada biaya bisnis yang teridentifikasi
secara jelas, bukan pada biaya dan manfaat pilihan alternatif.
Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya lingkungan
yang dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah.
Sedangkan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United
States Environment Protection Agency (US EPA), akuntansi lingkungan merupakan
fungsi yang menggambarkan biaya-biaya lingkungan yang harus diperhatikan oleh
pemangku kepentingan perusahaan di dalam pengidentifikasian cara-cara yang dapat
mengurangi atau menghindari biaya-biaya pada waktu yang bersamaan dengan usaha
memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan mempunyai
pengertian yang sama dengan akuntansi biaya lingkungan yaitu sebagai penggabungan
informasi manfaat dan biaya lingkungan kedalam praktik akuntansi perusahaan atau
pemerintah dengan mengidentifikasikan cara-cara yang dapat mengurangi atau
menghindari biaya perbaikan
Akuntansi Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan
semua biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya
tersebut secara jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan
kualitas
Memotivasi staf untuk mencari cara yang kreatif untuk mengurangi biaya-biaya
f)
lingkungan.
Mendorong perubahan dalam proses untuk mengurangi penggunaan sumberdaya
Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi
tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah
lingkungan.
b) Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
c)
f)
lingkungan dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total.
Pengetahuan mengenai biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah
pada desain ulang proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi,
biaya lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan menjadi
lebih kompetitif.
3) Biaya Lingkungan Perusahaan
Biaya lingkungan adalah biaya yang ditimbulkan akibat adanya kualitas
lingkungan yang rendah, sebagai akibat dari proses produksi yang dilakukan
perusahaan. Biaya lingkungan juga diartikan sebagai dampak, baik moneter atau nonmoneter yang terjadi oleh hasil aktifitas perusahaan yang berpengaruh pada kualitas
lingkungan. Biaya lingkungan juga merupakan pengorbanan untuk menjaga kelestarian
perusahaan. Yang dimaksud lingkungan perusahaan adalah objek di luar perusahaan
yang terdiri dari:
a) Lingkungan alam : Polusi udara dan air, kerusakan alam, biaya kerusakan alam,
b) Lingkungan Ekonomi : Agraris subsistens, agraris komersial, perdagangan dan
c)
masyarakat),
d) Lingkungan politik : Pajak dan pungutan lainnya, kebijakan fiskal dan moneter,
e)
lingkungan alam yang rusak (polusi udara, air, kerusakan tanah), mengakibatkan
naiknya biaya, lingkungan ekonomi yang rusak (kenaikan valuta asing) akan menaikkan
biaya, lingkungan social yang rusak (huru-hara) mengakibatkan biaya produksi naik,
lingkungan politik yang rusak karena adanya pungutan liar, mengakibatkan naiknya
biaya overhead perusahaan, dan lingkungan budaya yang rusak karena pengaruh
narkoba, mengakibatkan produktivitas kerja rendah. Semuanya itu berdampak pada
naiknya biaya dan penurunan pendapatan perusahaan, yang berakibat kerugian.
Bagaimana perusahaan menjelaskan biaya lingkungan tergantung pada bagaimana
perusahaan menggunakan informasi biaya tersebut (alokasi biaya, penganggaran modal,
desain proses/produk, keputusan manajemen lain), dan skala atau cakupan aplikasinya.
Tidak selalu jelas apakah biaya itu masuk lingkungan atau tidak, beberapa masuk zona
abu-abu atau mungkin diklasifikasikan sebagian lingkungan sebagian lagi tidak.
Terminologi akuntansi lingkungan menggunakan ungkapan seperti full, total, true,
dan life cycle untuk menegaskan bahwa pendekatan tradisional adalah tidak lengkap
cakupannya karena mereka mengabaikan biaya lingkungan penting (serta pendapatan
dan penghematan biaya).
4) Model Biaya Kualitas Lingkungan
Dalam model kualitas lingkungan total, keadaan yang ideal adalah tidak ada
kerusakan lingkungan. Kerusakan didefenisikan sebagai degradasi langsung dari
lingkungan, seperti emisi residu benda padat, cair, atau gas ke dalam lingkungan
(misalnya: pencemaran air dan polusi udara), atau degradasi tidak langsung seperti
penggunaan bahan baku dan energi yang tidak perlu.
Biaya lingkungan dapat diklasifikasikan dalam empat kategori:
a) Biaya Pencegahan Lingkungan (environmental prevention costs), adalah biayabiaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah
dan/atau sampah yang dapat merusak lingkungan. Contoh: Evaluasi dan pemilihan
pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi, desain proses
dan produk untuk mengurangi dan menghapus limbah, melatih pegawai,
mempelajari dampak lingkungan, audit risiko lingkungan, daur ulang produk,
pemerolehan sertifikasi ISO 14001.3
b) Biaya Deteksi Lingkungan (environmental detection costs), adalah biaya-biaya
untuk aktivitas yang dilakukan untuk menentukan bahwa produk, proses, dan
aktivitas lain di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau
Biaya lingkungan Private vs Sosial. Satu perbedaan penting antara biaya privat
dan sosial (atau biaya publik). Biaya lingkungan private yang ditanggung oleh
perusahaan atau individu. Contohnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan
untuk mematuhi peraturan EPA atau untuk membersihkan danau yang tercemar.
Biaya lingkungan sosial yang ditanggung oleh masyarakat luas. Contoh ini meliputi
biaya-biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak kepada staf EPA, biaya
ditanggung oleh pembayar pajak untuk membersihkan sebuah danau atau sungai
tercemar, biaya ditanggung oleh individu, perusahaan asuransi dan Medicare karena
masalah
kesehatan
yang
disebabkan
oleh
polutan,
dan
kualitas
hidup
yang
merupakan
upaya
sistematis
untuk
mengukur
dan
a)
air limbah).
b) Pengurangan biaya (Abatement costs). Biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi
atau
menghilangkan
polusi
(misalnya,
mengubah
desain
produk
untuk
lingkungan).
Perbaikan biaya (Remediation costs) (yaitu, pembersihan biaya). Pemulihan di
lokasi (On-site remediation). Biaya untuk mengurangi atau mencegah keluarnya
polutan yang telah dihasilkan dalam proses produksi ke lingkungan (misalnya,
biaya pemasangan scrubber pada cerobong asap untuk menghilangkan polutan
udara tertentu dalam asap). Pemulihan di luar lokasi (Off-site remediation). Biaya
untuk mengurangi atau menghilangkan polutan dari lingkungan setelah mereka
habis (misalnya, biaya pembersihan sungai yang tercemar oleh operasi perusahaan).
Perbedaan antara biaya yang terlihat (visible) dan tersembunyi (hidden) yang
tercantum dalam Tabel 1 adalah salah satu yang penting tapi samar. Perhatikan,
misalnya biaya tambahan (Incremental cost) menggunakan bahan lebih mahal karena itu
menyebabkan kurangnya (atau tidak) ada dampak negatif terhadap lingkungan. Apakah
ini biaya yang terlihat atau tersembunyi? Jawabannya adalah tergantung pada apakah
sistem akuntansi biaya ini telah diukur dan diidentifikasi sebagai biaya lingkungan.
Studi menunjukkan bahwa biaya lingkungan banyak yang tersembunyi, karena sistem
akuntansi tidak mengukur dan mengidentifikasi mereka sebagai biaya lingkungan.
"Kebanyakan sistem akuntansi biaya yang terlihat menumpuk ke dalam kolam biaya
lingkungan, terpisah dari kolam biaya overhead yang lain. Misalnya, banyak pabrik baja
kolam kompilasi biaya terpisah untuk pengolahan air limbah, pemulihan, pembuangan
limbah berbahaya, pengeluaran pengurangan polusi modal, dan penyusutan pada
peralatan pengurangan polusi". Namun, biaya tambahan pabrik bahan baja disebabkan
oleh perubahan dari Sinter untuk mengurangi polusi, dalam menanggapi peraturan
lingkungan yang lebih ketat, biasanya tidak dilaporkan tersendiri oleh sistem akuntansi
sebagai biaya lingkungan. Oleh karena itu, tetap merupakan biaya lingkungan
tersembunyi (hidden).
Mengapa pada titik ini mengenai biaya yang terlihat (visible) dibandingkan
tersembunyi (hidden) begitu penting? Karena banyak pengamat percaya bahwa biaya
yang terlihat dilaporkan oleh sistem akuntansi yang paling mungkin hanya sebagian
kecil dari biaya tersembunyi. Sebuah studi pada industri baja, menyimpulkan bahwa
biaya tersembunyi hampir 10 kali biaya terlihat.
Tabel 1.2 Private Environment Costs
Monitoring
Pengurangan
Perbaikan
Di lokasi (Onsite)
Di luar lokasi
(Off-site)
Visible costs
1.
Memeriksa produk
terkontaminasi
2.
Mengukur kontaminasi
terhadap proses atau mesin
3.
Memverifikasi kepatuhan
vendor dengan standar lingkungan.
Hidden Costs
1.
Inspeksi produk
2.
Tambahan biaya staf
pengadaan untuk memastikan
kepatuhan vendor dengan
standar lingkungan.
4.
Kualifikasi vendor untuk
3.
Incremental material
kepatuhan lingkungan.
costs yang dikeluarkan untuk
5.
Daur ulang bahan, wadah,
menggunakan bahan polusi
atau air.
yang kurang.
6.
Merancang produk dan proses 4.
Incremental direct-labor
untuk mengurangi atau
costs yang dikeluarkan untuk
menghilangkan dampak lingkungan melakukan tugas yang terkait
yang negatif.
untuk mengurangi polusi.
7.
Melakukan analisis dampak 5.
Incremental costs yang
lingkungan.
lebih mahal yang dipasang
semua atau sebagian untuk
mengurangi polusi.
6.
Incremental costs untuk
membeli hybrid kendaraan
(bertenaga listrik dan bensin)
untuk mengurangi polusi
udara.
8.
Instalasi pengurangan polusi 7.
Incremental directatau perangkat eliminasi
labor costs yang dikeluarkan
9.
Membuang limbah beracun untuk
mempertahankan
dengan cara yang ramah lingkungan pemulihan peralatan.
10. Pengobatan limbah beracun
8.
Incremental energy atau
biaya overhead lainnya yang
dikeluarkan
untuk
mengoperasikan
pemulihan
peralatan.
11. Membersihkan lokasi yang
tercemar (misalnya, air, tanah, atau 9.
Incremental directbangunan)
labor costs bagi para pekerja
12. Mempertahankan atau menata yang
digunakan
untuk
tuntutan hukum lingkungan
melakukan
pembersihan
13. Membayar denda EPA
lingkungan tugas.
10. Margin kontribusi yang
hilang pada penjualan yang
hilang
akibat
lingkungan
yang
menguntungkan
reputasinya.
catatan
kurang
atau
Strategi Akhir dari pipa (End of pipe strategy). Dalam pendekatan ini,
perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian membersihkannya
sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber cerobong asap, pengolahan air limbah,
internal.
Strategi pencegahan (Prevention strategy). "Strategi utama untuk memaksimalkan
nilai dari kegiatan pencemaran yang berhubungan dengan melibatkan ... tidak
menghasilkan polutan apapun di tempat pertama. Dengan strategi ini, perusahaan
menghindari semua masalah dengan pihak berwenang dan dalam banyak kasus,
menghasilkan perbaikan laba yang signifikan.
Fokus Environmental Management Accounting untuk suatu perusahaan berbedabeda, tergantung pada tujuannya, informasi apa yang hendak dicapai dalam penerapan
EMA, misalnya untuk manajer suatu departemen akan berfokus terhadap informasi
mengenai EMA yang diterapkan untuk departemennya saja, atau misalnya perusahaan
ingin mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan EMA dalam satu siklus hidup
sebuah produk (Life Cycle Analysis).
EMA yang dikembangkan oleh Burrit et.al mengintergrasikan dua komponen
lingkungan yaitu monetary environmental management accounting (MEMA) dan
physical environmental management accounting (PEMA), lihat Tabel 1.3. Pada Tabel
1.3, dapat dilihat bahwa EMA terbagi dalam dua dimensi waktu yaitu waktu lampau dan
waktu yang akan datang. Tiap dimensi waktu, terbagi lagi dalam informasi yang reguler
dan ad hoc.
EMA adalah kerangka yang komprehensif dalam membahas akuntansi
lingkungan. Dalam hubungan dengan akuntansi lingkungan, ada konsensus utama:
a) Dampak lingkungan terhadap finansial perusahaan (MEMA) dan
b) Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan (PEMA).
Dampak lingkungan pada sistem ekonomi dinyatakan dalam bentuk monetary
environmental information yaitu semua dampak masa lalu, sekarang dan pada waktu
yang akan datang dari aliran uang, misalnya: pengeluaran dan pendapatan karena
produksi bersih, denda karena melanggar aturan lingkungan.
Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan dinyatakan dalam physical
environmental
information.
Pada
tingkat
perusahaan,
physical
environmental
information termasuk semua material dan energi yang dikeluarkan pada masa lalu,
sekarang dan pada waktu yang akan datang yang mempengaruhi sistem ekologi.
Physical environmental information selalu dinyatakan dalam satuan fisik, misalnya:
kilogram atau Jules
Monetary Environmental Management Accounting (MEMA) berkenaan dengan
aspek lingkungan dari aktivitas perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk uang dan
digunakan untuk manajemen internal, misalnya: untuk biaya membayar denda karena
melanggar aturan lingkungan. Dalam bentuk metode, MEMA didasarkan atas akuntansi
manajemen konvensional yang diperluas untuk masalah lingkungan. Hal ini merupakan
alat utama untuk keputusan manajemen internal, juga untuk menelusuri dan
memperlakukan biaya dan pengeluaran yang terjadi karena tindakan perusahaan yang
mempengaruhi lingkungan. MEMA berkontribusi terhadap perencanaan strategis dan
Environmental
Management
Accounting
(PEMA)
menyediakan
EMA dapat menghemat pengeluaran usaha. Dampak dari isu-isu lingkungan dalam
biaya produksi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini digambarkan
sebagai gunung es (ice-berg) yang bisa menenggelamkan laju kapal. EMA dapat
membantu untuk mengidentifikasi dan menganalisa biaya tersembunyi (hidden
cost), misalnya biaya minimisasi limbah yang hanya memasukkan biaya insenerasi
dan pembuangan limbah, namun juga memasukkan biaya material, opearsional,
keputusan dengan informasi penting tentang biaya tambahan yang disebabkan oleh
isu-isu lingkungan. EMA membuka kembali biaya produk dan proses spesifik yang
c)
mempunyai performa lebih baik baik pada sisi ekonomi maupun sisi lingkungan.
d) EMA akan mampu memuaskan semua pihak terkait. Penerapan EMA pada
usaha/kegiatan secara simultan dapat meningkatkan performa ekonomi dan kinerja
lingkungan. Oleh karena itu akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan dan
investor, hubungan baik antara Pemerintah Daerah dan masyarakat sekitar, serta
memenuhi ketentuan regulasi. Usaha/kegiatan berpeluang untuk memenuhi
keuntungan usaha, mengurangi resiko dari berbagai pelanggaran hukum dan
e)
metoda
dan
perangkat
yang
membantu
usaha/kegiatan
dalam
Data dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat
memberikan keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Pencegahan Pencemaran
Design for Environment
Penilaian / Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
Manajemen Supply Chain
Pembelian dengan pertimbangan lingkungan
Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
Evaluasi Kinerja Lingkungan & Benchmarking
Reporting (CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)
tinggi biaya lingkungan, makin tinggi beban biaya perusahaan dan menurunkan laba,
atau mungkin dapat mengakibatkan kerugian. Perhitungan biaya lingkungan disajikan
dalam tabel 1.4, 1.5, dan 1.6.
Tabel 1.4
Laporan Biaya Lingkungan
Biaya Produksi Rp. 20.000, diproduksi 1.000 unit
Jenis Biaya
Biaya Pencegahan :
Pelatihan
Desain produk
Pemilihan peralatan
Rp
60
180
40
280
Biaya Pemeriksaan :
Pemeriksaan proses
Pemeriksaan bahan
Biaya gagal internal :
Biaya produk rusak atau cacat
Biaya pemeliharaan peralatan
Biaya gagal eksternal :
Biaya lingkungan alam (polusi udara, air)
Biaya lingkungan ekonomi ( kerugian valas)
Biaya lingkungan social (huru-hara,
pemogokan)
Biaya lingkungan politik (pungutan liar)
Biaya lingkungan budaya (narkoba)
Biaya kebersihan
Biaya penataan lahan
Biaya klaim kerusakan
Total
1,4
240
80
320
1,6
400
200
600
200
200
200
200
200
200
200
400
1.800
3.000
9
15
Tabel 1.5
Pembebanan Biaya Lingkungan
Jenis Biaya
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit)
Biaya pencegahan (280/1.000 unit)
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit)
Biaya gagal internal (600/1.000 unit)
Biaya gagal eksternal (1.800/1000 unit )
23
Tabel 1.6
Perhitungan Laba-Rugi Berbasis Biaya Lingkungan
(Harga per unit Rp 25, biaya pemasaran dan administrasi 10% dari penjualan)
Keterangan
Pendapatan atas penjualan
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit) = 20
Biaya pencegahan (280/1.000 unit) = 0,028
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit) = 0,032
Biaya gagal internal (600/1.000 unit) = 0,06
Biaya gagal eksternal ( 1800/1000 unit) = 0,18
Laba Kotor
Biaya pemasaran dan administrasi 10 % x 25.000
Laba (rugi) operasi
Ada Biaya
Lingkungan (Rp)
25.000
20.000
280
320
600
1.800
2.000
2.500
(500)
Keterangan Tabel 1.6: Jika perusahaan tidak membayar biaya lingkungan, maka ia
memperoleh laba operasi Rp 2.500, dan jika ia membayar biaya lingkungan ia
menderita kerugian Rp 500. Oleh sebab itu perusahaan harus mengelola biaya
lingkungan serendah-rendahnya agar tidak menderita kerugian.
B. TRIPLE BOTTOM LINE
Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya
konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR
ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi
pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).
1) Profit (Keuntungan)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas
yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan
produktivitas dan melakukan efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh
dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi
aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan
efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin
dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusuf wibisono, 2007).
2) People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)
People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen
untuk
berupaya
memberikan
manfaat
sebesar-besarnya
kepada
masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi
dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai
kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat (Yusuf wibisono, 2007).
3) Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara
yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil
didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
itu, setiap
development, saat ini perusahaan secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang
dikenal dengan sustainability report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi
perusahaan terhadap ekonomi, sosial, lingkungan. Salah satu model awal yang
digunakan oleh perusahaan dalam menyusun suistanability report mereka adalah
dengan mengadopsi metode akuntansi yang dinakaman triple bottom line. Menurut John
Elkington (1997) dalam Solihin (2008) konsep triple bottom line merupakan perluasan
dari konsep akuntansi tradisional yang hanya membuat single bottom line tunggal yakni
hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington
menjelaskan triple bottom line sebagai berikut.
The three lines of the triple bottom line represent society , the economy and the
environment. Societ depend on the global ecosystem, whose hearh represents ultimate
bottom line. The three line are not stable; they are in constant flux, due to social,
political, economic and environmental pressures, cycle and conflicts.
Dari pengertian dan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas
perusahaan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkaitan
dengan masyarakat. Terutama pada aktivitas sosial dan lingkungan sesuai dengan
definisi OCED dan dari John Elkington (1997) dalam Sandra (2011) tersebut bahwa
tidak ada pengembalian secara langsung yang dapat dirasakan oleh perusahaan. Oleh
karena itu pengungkapan TBL sangat penting diungkapkan dalam laporan tahunan
perusahaan.
TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit
Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan
menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas.
Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan
kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang
merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal
dengan global warming.
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni
2009, Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah.
Mereka menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara
ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material
yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan
mungkin saja tuduhan tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia
gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati
karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.
Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa
perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington
tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P
People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur
nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak
digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan
tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu
bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan
yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu
program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa
perusahaan menerapkan program ini karena terpaksa untuk mengantisipasi penolakan
dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan,
hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan
profesi akuntansi tentang penyajian pelaporannonfinansial.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya
yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and
Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah
melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari
strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab
sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski
dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada
kasus program tanggung jawab dipotong lebih dulu.
dengan penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan bahwa profitabilitas
mendukung
keyakinan
kepada
perusahaan
agar
melakukan
pengungkapan
pengungkapan triple bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki
kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good
corporate governance untuk mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang
saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan komunikasi secara transparan
oleh manajemen. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti kepemilikan
institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan triple
bottom line.
8) Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur
independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik
terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu
perusahaan jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan
perusahaan, karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam
aktivitas managemen perusahaan.
Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas
melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi
pengawasan dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.
9) Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat
dilakukan oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme
perusahaan. Salah satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah
pembentukan komite audit. Dasar pembentukan komite audit juga berdasarkan atas
keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5
disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga
orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris
independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan
manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan
komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam
hal ini diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol
manajemen. Sehingga biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih
dapat diminimalkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang
menyatakan bahwa ukuran komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple
bottom line.
Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki
tanggung jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama
kali diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals
With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan
agar dunia usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja
keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga dengan
pengaruh terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana
mereka beroperasi. Disebut triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja
sekaligus: Economic, Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P: ProfitPlanet-People.
Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi
Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR
berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di
mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, dunia
usaha, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia
usaha saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan
melakukan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1)
perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar
keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan,
(2) kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan
menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana
perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti
lingkungan
alam
sekitar
(natural
environment),
hak-hak
pegawai,
DAFTAR REFERENSI
Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia.
Jakarta: Elex Media Computindo.
Elkington, John. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers
Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen, Liming Guan (2009). Cost Management, 6 th
edition. South-Western Cengage Learning. (Hansen, Mowen & Guan)
http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/
Pengaruh Karakteristik Perusahaan, Struktur Kepemilikan, Dan Good Corporate
Governance Terhadap Pengungkapan Triple Bottom Line Di Indonesia Oleh Adhy
Karyo Nugroho