alloanamnesis,
sejak
minggu
yang
lalu
pasien
3. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium;
menit/regular,
RR
TD
100/80
24x/menit,
mmHg,
suhu
39C.
Nadi
140x
Kepala
Struma Diffusa toxica adalah salah satu jenis struma yang disebabkan
oleh sekresi hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak..
Kumpulan limfosit
Jaringan
fibrosa
4. Pemeriksaan Lab
Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati
normal, elektrolit serum normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001
mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan lab ?
NO :
1.
PEMERIKSAAN
Hb = 12 g%
KEADAAN NORMAL
12-15 g%
INTERPRETASI
Normal
2.
WBC = 17.000/mm3
5000-10.000 mm3
Tinggi
3.
Glukosa darah
Normal
4.
Normal
5.
Elektrolit serum
Normal
6.
0.5-5 mIU/L
Rendah
7.
Tinggi
1,0-2,3 ng/dl
menyebabkan
hilangnya
libido
dan
kelebihan
gangguan
siklus
menstruasi
seperti
menorrhagia,
oligomenorrhea.
5. Tambahan
1. Bagaimana etiologi dan factor resiko dari penyakit Nn. SS ?
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan
adalah Graves Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.
a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme
karenasekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh
Graves disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun,
riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun
lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease
memerlukan
dosis
kedua.
Perlu
pula
dipertimbangkan
Moulya
Halisyah
Cempaka
NIM
: 04011381320053
LEARNING ISSUE
I.
Hormon Tiroid
Kelenjar thyroid adalah satu-satunya kelenjar dalam tubuh yang memiliki sel-sel
dengan kemampuan menyerap iodium. Penyerapan iodium yang didapat dari
makanan dibutuhkan untuk pembentukan hormon thyroid, disamping itu juga
diperlukan suatu molekul glikoprotein besar yang dihasilkan oleh retikulum
endoplasma dan badan golgi yang terdapat pada sel-sel folikel thyroid disebut
thyroglobulin, selain itu hormon thyroid sendiri terbentuk dari kombinasi iodium
dengan asam amino thyrosin untuk membuat T3 dan T4.
Tahapan-tahapan pembentukan hormon thyroid:
1.
2.
3.
4.
1)
a)
b)
c)
d)
e)
A. Cara Kerja
Hormon tiroid memiliki fungsi yang berbeda pada target organ yang
berbeda, dengan mekanisme sebagai berikut :
Efek Metabolik Hormon Tiroid
Efek metabolik dari hormon tiroid antara lain :
Termoregulasi
Metabolisme Protein
Dalam dosis fisiologis bersifat anabolik, sedangkan dalam dosis besar
bersifat katabolik.
Metabolisme Karbohidrat
Bersifat diabeto-genik , karena resorpsi intestinal meningkat, sehingga
cadangan glikogen hati menipis.
Metabolisme Lipid
Meski T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah.
Vitamin A
terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung dan
peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada
hipotiroidisme.
d) Efek Simpatik
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah
reseptor adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan
adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa
miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi
katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan
terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan
terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat
membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
e) Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan
hiperkapne normal pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat,
terjadi hipoventilasi, kadangkadang memerlukan ventilasi bantuan.
f) Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan
eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena
hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan
peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2
kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme.
g) Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat
menimbuklan peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan
memperlambat transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini
juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang
pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme.
h) Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang,
meningkatkan resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil,
pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat
menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat,
hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium.
i) Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari
banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan
penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini
dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati
II.
Hipertiroidisme
1. Definisi Hipertiroidisme
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi
normal (Bahn et al, 2011).
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar
hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan
b.
a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena
sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid
keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus
tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan
karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan
mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu
perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan
peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan
antigen. Namun pada Graves Disease sel-sel APC (antigen presenting cell)
menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel
T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T
helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease adalah
HLA. Pada pasien Graves Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam
amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves
Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,
sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut
berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves
disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis Graves disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid
(T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin
receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves disease, kadar TSH
ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada
pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi
normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua
bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves disease
berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita
Graves disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves Disease. Selain itu
TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya
kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006).
Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves disease dapat
berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di
diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas,
ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH
merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid
(T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan
gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk
kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration
digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari
hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat
benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010).
Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma
adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan
tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan
mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai
kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif
dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi
kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk
melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter
merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma
karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara
berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul
yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab
utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.
Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah
dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi
euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan,
dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6
bulan.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter
merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan
termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini,
kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar
T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011).
PATOFISIOLOGI
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroidstimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi
bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1)
bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat
pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar
hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit
ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai
oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak
sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor
alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal
pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut
ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan
memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis
tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan
reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi
kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya,
peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik
sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap betablockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini
tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid
pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi
pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid
bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar
dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya
folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan
termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari
hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
4. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis
yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme,
perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine
radioaktif seperti pada gambar I.