Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS MASALAH

1. Nn. SS, 22 tahun, diantar ke IGD sebuah RS karena penurunan


kesadaran sejak 4 jam yang lalu.
a. Bagaimana penatalaksanaan dari penurunan kesadaran ?
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik,
obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah
Haloperidol. American Psychiatric Association dan Society
of Critical Care Medicine merekomendasikan haloperidol
untuk pengobatan ICU delirium (Jacobi et al). Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra
muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan
2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari
sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik
kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka
haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi
2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi.
Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala
ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.
Disamping haloperidol, obat lain antipsikotik/ neuroleptic
agen (misalnya, risperidol, ziprasidone, quetiapine, dan
olanzapine) terutama dengan afinitas reseptor yang lebih
luas digunakan untuk pengobatan ICU delirium.
2. Dari

alloanamnesis,

sejak

minggu

yang

lalu

pasien

mengalami demam tinggi, batuk pilek, dan sakit tenggorokan,


sering mengalami diare, frekuensi 3-4 kali/hari, tanpa disertai
darah dan lendir.
a. Bagaimana mekanisme dari (berdasarkan kasus)
- sakit tenggorokan
Sepertinya hal ini tidak ada kaitannya dengan hipertiroid Ny. SS.
Melainkan ini merupakan gejala tersendiri yang mengisyartkan bahwa
Ny. SS sedang dalam keadaan infeksi. Keadaan infeksi ini mungkin
saja ini disebabkan oleh oral hygiene yang buruk dari Ny. SS, sehingga
mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan bakteri yang masuk
adalah inflamasi sehingga terjadi sakit tenggorokan. Penurunan daya

tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya


kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan
faktor virulen (lipopolisakaraida=LPS) akan melakukan interaksi
dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Pertama-tama Tonsil yang
bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan
berespons terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons
imunologis dengan mengaktivasi sel-sel mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan gangguan metabolism jaringan ikat sebagai tanda klinis
awal radang pada tonsil.
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya
kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk
disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel
polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari
penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktorfaktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kumankuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan
menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Tonsilitis kronik dapat
menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala yang bisa terjadi
adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan
menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala
sistemik tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri
tenggorok atau merasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan
kadang-kadang seperti benda asing (pancingan) di tenggorok.

Intinya: Sakit tenggorokan biasanya disebabkan adanya infeksi yang


menyebabkan iritasi atau inflamasi pada tenggorokan. Biasanya
disebabkan oleh agen mikroorganisme ataupun polutan seperti debu
dan sebagainya. Hal ini megakibatkan respon nyeri pada ujung saraf
bebas pada tenggorokan sehingga terasa sakit.

3. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium;
menit/regular,

RR

TD

100/80

24x/menit,

mmHg,

suhu

39C.

Nadi

140x

Kepala

exophthalmos (+), Mulut : faring hiperemis, oral hygiene


buruk. Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung :

Takikardia; paru : bunyi nafas normal. Abdomen : dinding


perut lemas; hati dan limpa tidak teraba, bising usus
meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lebab, tremor (+),
reflex patologis (-).
a. Bagaimana mekanisme abnormal dari :
- Faring hiperemis
Oral hygiene yang buruk akan memperbesar peluang terjadinya infeksi
rongga mulut, serta penyakit gigi dan mulut lainnya. Hal ini dibuktikan
dengan faring yang hiperemis, dimana faring hiperemis menunjukkan
terjadinya infeksi. Faring hiperemis terjadi karena vaskularisasi di area
faring tinggi untuk memudahkan transpor leukosit untuk melawan
infeksi. Infeksi yang terjadi inilah yang memungkinkan terjadinya
hipertiroid pada kasus ini.
b. Apa saja klasifikasi dari tingkat kesadaran ?
o Kompos mentis :
Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan.
Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
o Apatis :
Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
o Delirium :
Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik. Gaduh gelisah,
kacau, disorientasi, meronta-ronta.
o Somnolen :
Mengantuk yang masih pulih bila dirangsang. Tidur kembali bila
rangsangan berhenti.
o Sopor (stupor) :
Keadaan mengantuk yang dalam. Dapat bangun dgn rangsangan yg
kuat. Tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik.
o Koma :
Penurunan kesadaran berat. Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
respons terhadap rangsangan nyeri.

c. Bagaimana histopatologi dari struma diffusa ?

Struma Diffusa toxica adalah salah satu jenis struma yang disebabkan
oleh sekresi hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak..

Kumpulan limfosit

Ket : Lymphocytes, plasma cells, macrophages and mast cells


infiltrate extraocular muscles, fat and connective tissue

Jaringan
fibrosa

Menyebakan degenerasi serat otot

Menjadi fibrosis yang meliputi otot

4. Pemeriksaan Lab
Darah rutin : Hb; 12g%; WBC : 17.000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati
normal, elektrolit serum normal. Test fungsi tiroid : TSH 0,001
mU/L (menurun), T4 bebas 7,77 ng/dL (meningkat)
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan lab ?
NO :
1.

PEMERIKSAAN
Hb = 12 g%

KEADAAN NORMAL
12-15 g%

INTERPRETASI
Normal

2.

WBC = 17.000/mm3

5000-10.000 mm3

Tinggi

3.

Glukosa darah

Normal

4.

Fungsi ginjal dan hati

Normal

5.

Elektrolit serum

Normal

6.

TSH = 0.001 mU/L

0.5-5 mIU/L

Rendah

7.

T4 bebas 7,77 ng/dl.

Tinggi
1,0-2,3 ng/dl

b. Apa fungsi dari hormon tiroid ?


1. Meningkatkan metabolisme basal tubuh.
Regulator penting dalam penyediaan O2 dalam tubuh dan enegi dalam
keadaan istirahat. Efek kalorigenik timbul karena mempunyai efek
meningkatkan aktifitas metabolisme maka menghasilkan peningkatan
produksi panas.
2. Efek terhadap pertumbuhan
Mempunyai efek yang umum dan spesifik untuk pertumbuhan,
terutama yaitu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama
kehidupan janin dan beberapa tahun pasca kelahiran.
3. Efek cardiovascular
Meningkat denyut jantung dan kontraksi otot jantung sehingga terjadi
peningkatan cardiac output.
4. Efek Respirasi
Meningkatnya kecepatan metabolisme akan meningkatkan pemakaian
oksigen dan pembentukan karbondioksida, sehingga meningkatkan
kecepatan dan kedalaman pernapasan.

5. Efek pada saluran cerna


Meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan, juga meningkatkan
kecepatan sekresi getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna.
Sehingga sering menimbulkan diare. Bila kekurangan hormon thyroid
menyebabkan konstipasi.
6. Efek pada sistem saraf pusat
Meningkatkan kecepatan berpikir, tetapi juga sering terjadi disosiasi
pikiran dan sebaliknya.
7. Efek terhadap fungsi otot
Menyebabkan otot bereaksi lebih kuat bila sedikit kelebihan hormon
thyroid dan menjadi lemah bila jumlahnya berlebihan karena kelebihan
katabolisme protein. Sedangkan bila kekurangan menyebabkan otot sangat
lamban dan berelaksasi setelah kontraksi.
8.Efek pada fungsi seksual
Kekurangan

menyebabkan

hilangnya

libido

dan

kelebihan

menyebabkan impotensi pada pria. Pada wanita kekurangan hormon thyroid


menimbulkan

gangguan

siklus

menstruasi

seperti

menorrhagia,

oligomenorrhea.

5. Tambahan
1. Bagaimana etiologi dan factor resiko dari penyakit Nn. SS ?
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan
adalah Graves Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.
a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme
karenasekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh
Graves disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun,
riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun
lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease

adalah HLA. Pada pasien Graves Disease ditemukan adanya


perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLADRb1. Pada pasien Graves Disease asam amino pada urutan ke tujuh
puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal,
asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al,
2008).
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat
memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa
folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak
terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2
9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme
jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 37% pasien dengan
nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien
memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound.
Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut,
defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi.
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul
gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves
disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak
sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien
sendiri.
Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma
bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang
ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif
disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan
demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi
pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat.
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular
goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling
umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic
adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon
tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter
ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi

maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor


genetik dan defisiensi iodine.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme
disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis,
kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total
yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme
subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita
hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak
pada pasien overt hyperthyroidism
2. Bagaimana gejala klinis dan mekanisme yang ditimbulkan
dari penyakit Nn. SS ?
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur
metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah
memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu
gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi
panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu
peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga
mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi,
takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme
(Nayak dan Burman, 2006).
Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan
insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien
hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun
demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan
frekuensi defekasi.Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi
berupa oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido (Bahn etal,
2011; Baskin etal, 2002).
Pada pasien Graves disease, gejala klinis juga dapat berupa
inflamasi dan edema di otot mata (Gravesophtalmopathy) dan gangguan
kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves ophtalmopathy dan

myxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada


keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin
pada fibroblast (Weetman, 2000).

3. Bagaimana tindakan preventif untuk penyakit tersebut ?


Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang
ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien
tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau betaadrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi
akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari
sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2)
pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3)
efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih
tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli
endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan
penyebab utama krisis tiroid.
Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk
metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai
kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid
yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi
sehingga

memerlukan

dosis

kedua.

Perlu

pula

dipertimbangkan

pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien


yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan
sindroma McCune-Albright).
Nama:

Moulya

Halisyah

Cempaka
NIM

: 04011381320053

LEARNING ISSUE
I.

Hormon Tiroid
Kelenjar thyroid adalah satu-satunya kelenjar dalam tubuh yang memiliki sel-sel
dengan kemampuan menyerap iodium. Penyerapan iodium yang didapat dari
makanan dibutuhkan untuk pembentukan hormon thyroid, disamping itu juga
diperlukan suatu molekul glikoprotein besar yang dihasilkan oleh retikulum
endoplasma dan badan golgi yang terdapat pada sel-sel folikel thyroid disebut

thyroglobulin, selain itu hormon thyroid sendiri terbentuk dari kombinasi iodium
dengan asam amino thyrosin untuk membuat T3 dan T4.
Tahapan-tahapan pembentukan hormon thyroid:
1.

Semua tahapan-tahapan sintesis hormon thyroid dilakukan oleh


molekul-molekul thyroglobulin didalam koloid. Asam amino thyrosine
kemudian bergabung dengan molekul-molekul thyroglobulin, setelah itu
thyrosine yang mengandung thyroglobulin akan dikirim dari sel-sel folikel
kedalam koloid oleh exocytosis.

2.

Intake iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormon thyroid


didapatkan dari makanan. Thyroid menangkap iodium dari dalam darah dan
mengirimkannya kedalam koloid dengan menggunakan pompa iodium yang
sangat aktif atau dengan mekanisme penjeratan iodida yang sangat
bertenaga, karena energi dibutuhkan untuk membawa protein yang berada
diluar membran sel-sel folikel. Hampir sebagian besar iodium didalam
tubuh digerakkan berlawanan dengan derajat konsentrasinya agar dapat
terperangkap didalam thyroid dengan tujuan untuk mensintesis hormon
thyroid.

3.

Didalam koloid iodium secara cepat berikatan dengan molekul


thyroglobulin. Pengikatan satu iodium dengan tyrosine menghasilkan
Monoiodotyrosine (MIT). Pengikatan dua iodium dengan tyrosine
menghasilkan diiodotyrosine (DIT).

4.

Proses coupling (bergandengan) muncul antara molekul tyrosine


iodinisasi untuk membentuk hormon thyroid. Coupling antara dua DIT
menghasilkan tetraiodothyronine (T4) keempat iodium membentuk hormon
thyroid. Coupling satu MIT dan satu DIT menghasilkan triiodothyronine
(T3).
Karena semua reaksi diatas timbul didalam molekul thyroglobulin
semua produk/hasil tetap berada didalam thyroglobulin. Thyroid hormon
tetap berada dalam bentuknya didalam koloid sampai hormon-hormon
tersebut berpisah dan disekresikan. Hal ini diperkirakan bahwa persediaan
hormon thyroid normalnya terdapat didalam koloid untuk memenuhi
kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.

Pelepasan hormon-hormon thyroid kedalam sirkulasi sistemik


membutuhkan proses yang jauh lebih rumit/kompleks karena ada dua
alasan yaitu sebelum dilepaskan T4 dan T3 tetap terikat didalam molekul
thyroglobulin. Kedua, hormon-hormon tersebut disimpan pada bagian
extraselular, yaitu lumen folikel. Sebelum dapat masuk kedalam aliran
darah hormon-hormon thyroid harus mengalir melalui ruang interstisial,
harus ditransport secara lengkap melewati sel folikel, yaitu dengan cara selsel folikel merusak sendiri sebagian kecil koloid, memecah molekul
thyroglobulin hingga menjadi beberapa komponen dan mengeluarkan T3
dan T4 bebas kedalam darah.
Kelenjar thyroid normalnya memproduksi sekitar 80% T4 dan 20%
T3, tetapi bagaimanapun hampir semua thyroxine (T4) akan diubah
menjadi triiodothyronin (T3) didalam jaringan. Secara kualitatif fungsi
kedua hormon sama, tetapi keduanya berbeda dalam kecepatan dan intesitas
kerjanya. Triiodothyronin kira-kira 4x lebih kuat daripada thyroxine.
Pengaturan sekresi hormon thyroid diatur oleh TSH (Thyroid
stimulating hormon) yang dikenal dengan thyrotropin, yaitu salah satu hormon
dari kelenjar hipofisis anterior. Untuk menjaga kestabilan kadar hormon
thyroid dalam tubuh, maka antara hormon thyroid dan TSH mepunyai
mekanisme efek umpan balik (negative feedback mechanism), dimana bila
terjadi peningkatan kadar hormon thyroid di dalam tubuh maka sekresi TSH
oleh hipofisis akan menurun/dihambat. Sekresi TSH sendiri diatur oleh
TRH (thyroid releasing hormone) yang dihasilkan oleh hypothalamus.
Sehingga sekresi TRH dan TSH secara tidak langsung mempengaruhi
pengeluaran hormon thyroid.(2,5)

1)
a)
b)

c)

d)

e)

A. Cara Kerja
Hormon tiroid memiliki fungsi yang berbeda pada target organ yang
berbeda, dengan mekanisme sebagai berikut :
Efek Metabolik Hormon Tiroid
Efek metabolik dari hormon tiroid antara lain :
Termoregulasi
Metabolisme Protein
Dalam dosis fisiologis bersifat anabolik, sedangkan dalam dosis besar
bersifat katabolik.
Metabolisme Karbohidrat
Bersifat diabeto-genik , karena resorpsi intestinal meningkat, sehingga
cadangan glikogen hati menipis.
Metabolisme Lipid
Meski T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah.
Vitamin A

Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon


tiroid.
2) Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan
suatu lag time berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang
penuh. Aksi genomik ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada
pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan produksi panas
dan konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan
aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor beta-adrenergik
yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak genomik, seperti penurunan
dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan dari transpor glukosa
dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan
berikut ini.
a) Efek pada Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada
janin manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak
mengkonsentrasikan I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari
deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi dalam
plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin.
Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya
sendiri. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya
sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan pematangan skeletal
jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan
dwarfisme/cebol).
b) Pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal
Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian
melalui stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien,
dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan kecepatan metabolisme
basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan
kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga
menurunkan kadar dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan
pembentukan radikal bebas anion superoksida. Hal ini dapat berperan
pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme kronik.
c) Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan
menghambat rantai berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot
jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam
retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung;
mengubah isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan
reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian,
hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata

terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung dan
peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada
hipotiroidisme.
d) Efek Simpatik
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah
reseptor adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan
adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa
miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi
katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan
terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan
terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat
membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
e) Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan
hiperkapne normal pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat,
terjadi hipoventilasi, kadangkadang memerlukan ventilasi bantuan.
f) Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan
eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena
hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan
peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2
kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme.
g) Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat
menimbuklan peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan
memperlambat transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini
juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang
pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme.
h) Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang,
meningkatkan resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil,
pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat
menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat,
hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium.
i) Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari
banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan
penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini
dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati

adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada


hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi
normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme
serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok.
j) Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis
hati demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian,
hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis
dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek
yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari
reseptor low-density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol
menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga
meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar
kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.
k) Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak
hormon dan obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari
kortisol adalah sekitar 100 menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada
pasien hipertiroid, sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid. Kecepatan
produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi
adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi
yang normal. Namun, pada seorang pasien dengan insufisiensi adrenal,
timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon tiroid dari hipotiroidisme
dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal. Ovulasi dapat terganggu
pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan infertilitas,
yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin
serum meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme,
kemungkinan suatu manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini
akan kembali normal dengan terapi T4.

II.

Hipertiroidisme

1. Definisi Hipertiroidisme
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi
normal (Bahn et al, 2011).
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar
hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan

kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada jaringan-jaringan tubuh


yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi
hormon tiroid dalam berbagai proses metabolisme tubuh (Bartalena, 2011).
2. Faktor Risiko
a.

Terjadinya hipertiroidismeMenurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang


untuk terkena hipertiroidisme sebagai berikut:
1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah
menjalani operasi kelenjar tiroid.
2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan
gangguan hormonal.
3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti amiodarone.
6) Berusia lebih dari 60 tahun.

b.

Kambuh (relapse)Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme


terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 70% (Bartalena,
2011). Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi satu tahun setelah
pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun setelahnya. Secara umum faktor-faktor
risiko terjadi kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
1) Berusia kurang dari 40 tahun.
2) Ukuran goiter tergolong besar.
3) Merokok.
4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir
pengobatan dengan obat anti tiroid.
5) Faktor psikologis seperti depresi.
3. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves Disease,
toxic adenoma, dan multinodular goiter.

a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena
sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid
keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus
tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan
karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan
mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu
perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan
peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan
antigen. Namun pada Graves Disease sel-sel APC (antigen presenting cell)
menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel
T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T
helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease adalah
HLA. Pada pasien Graves Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam
amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves
Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,
sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut
berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves
disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis Graves disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid
(T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin
receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves disease, kadar TSH
ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada
pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi
normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua
bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves disease
berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita
Graves disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves Disease. Selain itu
TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya
kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006).
Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves disease dapat
berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di

Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi


pada pasien Graves disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan
obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine
radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien
misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves disease perlu
mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk
mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.
Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme
dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat
memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel
tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh
kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008).
Sekitar 2 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena
hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 37% pasien
dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien
memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound.
Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi
asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi.
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala
atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves disease. Pada
sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan
pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri.
Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma
bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang
ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai
rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu
dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk
memberikan tatalaksana terapi yang tepat.
Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah
dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang
rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar
tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan
Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan
adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas,
ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH
merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid
(T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan
gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk
kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration
digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari
hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat
benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010).
Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma
adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan
tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan
mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai
kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif
dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi
kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk
melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter
merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma
karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara
berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul
yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab
utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.
Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah
dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi
euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan,
dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6
bulan.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter
merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan
termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini,
kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar
T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011).

Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan


hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH
ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal.
Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan
multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis
dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism.
Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama
dengan pengobatan overt hyperthyroidism.

PATOFISIOLOGI
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroidstimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi
bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1)
bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat
pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar
hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit
ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai
oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak
sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor

alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal
pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut
ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan
memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis
tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan
reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi
kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya,
peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik
sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap betablockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini
tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid
pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi
pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid
bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar
dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya
folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan
termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari
hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

4. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis
yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme,
perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine
radioaktif seperti pada gambar I.

Anda mungkin juga menyukai