Anda di halaman 1dari 51

AUDIOMETRI SUBJEKTIF PADA ANAK

REFERAT AUDIOLOGI

Oleh :

Muhamad Sidik Hasanudin


131421110005

Pembimbing Utama:
dr. Sally Mahdiani, SpTHT-KL, M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................I
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................II
DAFTAR TABEL..................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN.....................................4
2.1 Anatomi Telinga.................................................................................................4
2.2 Fisiologi Pendengaran......................................................................................11
BAB III PERKEMBANGAN FUNGSI PENDENGARAN DAN
PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK.............................................15
3.1 Perkembangan Fungsi Pendengaran pada Anak..............................................15
3.2 Pemeriksaan Pendengaran pada Anak dan Bayi Baru Lahir............................20
3.3 Pemeriksaan Pendengaran Objektif dan Subjekif pada Anak..........................22
BAB IV PEMERIKSAAN AUDIOMETRI SUBJEKTIF PADA ANAK.............25
4.1 Behavioral Observation Audiometry (BOA)...................................................26
4.2 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)........................................................32
4.3 Conditioned Play Audiometry (CPA)...............................................................34
4.4 Tes Daya Dengar (Modifikasi).........................................................................35
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................41

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Auditorius Perifer..............................................................

Gambar 2.2 Struktur Telinga Tengah................................................................

Gambar 2.3 Tulang-tulang Pendengaran..........................................................

Gambar 2.4 Telinga Tengah Merupakan Transformator Impedans Serta


Kompensasi Perbedaan Tekanan Tetap (Tekanan Udara)............

Gambar 2.5 Potongan Melalui Kokhlea. Sel Rambut Dalam Organ Korti
Mengubah Energi Mekanik (Getaran) Menjadi Energi Listrik.....

Gambar 2.6 Persarafan Telinga Dalam............................................................. 11


Gambar 3.1 Peranan Fungsi Pendengaran Terhadap Proses Bicara................. 16
Gambar 3.2 Tes Pendengaran pada Anak......................................................... 23
Gambar 4.1 Contoh Ruangan Pemeriksaan BOA............................................. 27
Gambar 4.2 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)...................................... 31
Gambar 4.3 Contoh Pemeriksaan CPA............................................................. 33

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kemampuan Bicara dan Bahasa pada Anak .................................... 19
Tabel 3.2 Pemeriksaan Pendengaran Objektif dan Subjektif pada Anak.......... 23
Tabel 4.1 Kemampuan Auditorik pada Anak.................................................... 26
Tabel 4.2 Index Tingkah Laku Auditori pada Bayi, Stimuls dan Level Respon 27
Tabel 4.3 Kuesioner Modikasi Tes Daya Dengar. Umur kurang atau sampai
3 bulan.............................................................................................. 36
Tabel 4.4 Kuesioner Modikasi Tes Daya Dengar. Umur lebih dari 3 bulan
sampai 6 bulan.................................................................................. 36

BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan pada anak-anak usia dibawah 15 tahun dideskripsikan oleh
World Health Organization (WHO) sebagai anak-anak yang mempunyai ambang
pendengaran (telinga yang lebih baik, tanpa alat bantu dengar) 31 dbHL yang
diukur menggunakan rata-rata ambang dengar nada murni pada frekuensi 500 Hz,
1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz.1
Gangguan dengar terjadi pada 6% populasi dunia, diperkirakan oleh World
Health Organization (WHO) sebanyak 62 juta orang usia <15 tahun akan
mengalami gangguan dengar dan 50% kejadian gangguan dengar ini dapat
dicegah.1,

Djaelantik dkk melakukan penelitian di Bandung dengan hasil

prevalensi gangguan dengar 12% pada kedua telinga. Prevalensi gangguan dengar
di Indonesia dilaporkan sebesar 4,29,2%.4,5 Penyebab gangguan dengar adalah

5
sumbatan serumen sebanyak 13,2%; otitis media serosa 0,3%; perforasi membran
timpani yang kering 2,6%; dan otitis media supuratif kronik (OMSK) sebanyak
3,2%.3
Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat
ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi
respons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara
(delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada suara/bunyi.
Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan usia
anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat.4
Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak.
Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama
kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang
sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini
gangguan pendengaran sampai habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan
otak masih berlangsung.4
Pemeriksaan pendengaran terhadap anak untuk menilai pendengaran dapat
dilakukan secara objektif dan subjektif. Jenis pemeriksan subjektif meliputi
Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry
(VRA), Conditioned Play Auidometry (CPA) dan Pure tone Audiometry (PTA).
Tes objektif meliputi timpanometri, Otoacoustic Emission (OAE), Brain Evoked
Response Audiometry (BERA) dan Audiometry Steady State Respons (ASSR).
Tipe pemeriksaan yang digunakan tergantung dari usia yang akan diperiksa,
tingkah laku dan kecurigaan diagnostik.5

6
Pemerikaan pendengaran harus disesuaikan dengan usia perkembangan
anak. Untuk usia sekolah (5-18 tahun) atau usia 4 tahun hingga remaja,
pemeriksaan pendengaran yang menjadi standar baku emas adalah audiometri
nada murni yang dapat mengukur amang dengar mulai dari frekuensi 125 8.000
Hz dan mempunyai sensitivitas 92% dan spesifitas 94%.5
Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometri
nada murni karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang
bersifat frekuensi spesifik. Kelemahan pemeriksaan audiometri nada murni adalah
besarnya faktor subjektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan
membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien, akibatnya pemeriksaan
audiometri nada murni tidak dapat dilakukan pada pasien berusia dibawah 5
tahun.4
Skrining pendengaran harus dapat dilakukan dengan cara yang cepat dan
hemat biaya dalam memisahkan orang yang diperiksa ke dalam kelompok yang
harus dirujuk atau tidak. Kelompok yang harus dirujuk memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut di pelayanan kesehatan yang lebih memadai seperti rumah sakit
dengan dokter spesialis terutama dokter spesialis THT.6
Kegagalan dalam mendeteksi dini gangguan dengar dapat mengakibatkan
gangguan dalam hal berbicara dan berbahasa, performa akademis, ketidakmampuan menyesuaikan diri secara personal-sosial dan kesulitan emosional
sepanjang hidup yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.6
Pada referat ini akan dibahas pemeriksaan audiometri subjektif pada anak,
tujuan, teknis pelaksanaan dan bagaimana interpretasinya.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN

2.1 Anatomi Telinga


2.1.1 Telinga luar
Telinga bagian luar memiliki 2 bagian utama, yaitu daun telinga (auricle)
dan liang telinga (Canalis Acusticus Externus / CAE). Daun telinga yang berlekuk
terdiri dari beberapa bagian, yaitu helix, antihelix, tragus, antitragus, konka, fossa
triangularis, fossa skafoid yang berfungsi untuk mengumpulkan sumber bunyi dan
membantu menetukan lokasi suara. Daun telinga terdiri dari jaringan otot, kulit
dan tulang rawan. Liang telinga (CAE) memiliki panjang sekitar 25 mm pada
bagian posterosuperior dan area membran timpaniyang berbentuk oblik pada
bagian anteroinferior mempunyai panjang sekitar 30 mm. CAE berhubungan
dengan membran timpani pada bagian medial dan berbentuk seperti huruf S. CAE
terbagi atas 2 bagian, yaitu 1/3 luar, yang merupakan tulang rawan dengan lapisan
epitel kulit dan submukosanya mengandung kelenjar apokrin, sebasea, pembuluh
darah dan sel-sel rambut yang berfungsi untuk menghasilkan serumen, sedangkan
2/3 bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisioleh kulit tipis yang
melekat pada periosteum. Bagian dalam ini tidak mengandung sel rambut maupun
lapisan kelenjar. Lapisan epitel kulit pada CAE merupakan kelanjutan dari lapisan
epidermal (skuamosa), yang melapisi membran timpani (MT) bagian luar.7

Gambar 2.1 Sistem Auditorius Perifer.8

Secara fisiologi, fungsi dari aurikula adalah untuk menyalurkan gelombang


suara dari luar ke dalam kanalis akustikus eksterna. Bentuk yang berlekuk-lekuk
dari aurikula membuat respon frekuensi suara yang masuk menjadi berbeda-beda,
bergantung pada posisi vertikal dimana suara di mulai. Informasi ini digunakan
oleh otak untuk melokalisir sumber suara dalam ruang tiga dimensi.8
2.1.2. Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tulang-tulang
pendengaran, struktur saraf, resesus fasialis dan sinus timpani.

9
Ligamen superior
maleus

ANTERIOR

Inkus
Kepala maleus
Ligamen
posterior
inkus

Ligamen antrior maleus

Otot tensor
timpani
Korda
timpani
Kanalis akustikus
eksternus
Otot stapedius
Membran timpani
Posterior

Stapes

Tangkai maleus

Gambar 2.2 Struktur telinga tengah.8

Tulang-tulang

pendengaran

membentuk

jalur

transmisi

untuk

menghantarkan energi suara dari membran timpani, pembatas telinga luar dengan
telinga tengah, menuju tingkap lonjong di kokhlea. Adapun fungsi telinga tengah
dibagi dalam dua kategori:8
1. Penyesuaian impedans antara udara dari luar dengan cairan (endolimfe dan
perilimfe) di kokhlea.
2. Refleks akustik dari sistem otot dalam telinga tengah.
Dalam kondisi ini, kerapatan dan kekakuan tulang-tulang pendengaran
mempengaruhi respon frekuensinya. Secara keseluruhan, aksi telinga tengah
sebagai penyaring suara dengan transfer energi maksimal lebih dari 1000-10000
Hz. Perubahan kerapatan dan kekakuan telinga tengah mengatur respon
frekuensinya dapat diamati secara klinis. Sebagai contoh, kontraksi otot stapedius

10
dan tensor timpani melalui lengkung refleks yang diperantarai oleh suara keras
(>80 dBSL). Aksi ini bertujuan untuk melindungi telinga dalam (kokhlea) dari
kerusakan, terutama pada frekuensi rendah.7-9
Otot stapedius dilekatkan ke bagian posterior dari leher stapes dan
merupakan otot paling kecil dalam tubuh. Kontraksi refleks mengikuti stimulus
suara akustik yang menyebabkan kaki stapes bergerak ke arah luar dan belakang
dari tingkap lonjong. Aksi ini membatasi gerakan dari osikular dan melemahkan
getaran dari kaki stapes, sehingga mengurangi gerakan cairan dalam telinga
tengah (kokhlea). Aksi ini dianggap sebagai mekanisme melindungi telinga dalam
dari kerusakan akibat suara keras, khususnya pada frekuensi rendah.7
Telinga tengah mengamplifikasi getaran suara dengan dua cara:7-9
1. Permukaan membran timpani yang luas dibandingkan dengan permukaan
stapes yang kecil (14:1), memberikan peningkatan amplitudo getaran.
2. Daya pengungkit dari lengan maleus dan inkus memberikan suatu
peningkatan amplitudo getaran (1,3:1,0). Selanjutnya, terjadi peningkatan
total antara 20-30 dB.

11
Kepala maleus
Sendi inkudomalear
Prosesus brevis maleus

Prosesus brevis inkus

Leher maleus

Korpus inkus

Prosesus lateral

Prosesus longus inkus

Prosesus anterior

Kepala stapes

Manubrium maleus

Krus posterior

umbo
Prosesus lentikular

Lempeng kaki
stapes

Sendi inkudostapedial

Krus anterior

Gambar 2.3 Tulang-tulang pendengaran.8


Refleksi > 99%
Gelombang suara

Gelombang suara

Tekanan
negatif
tetap

Gambar 2.4 Telinga tengah merupakan transformator impedans serta


kompensasi perbedaan tekanan tetap (tekanan udara). a) tanpa adanya tulangtulang pendengaran pada telinga tengah, lebih dari 99% suara akan direfleksikan
pada permukaan cairan di telinga dalam. b) impedans diubah oleh perbedaan luas
area antara membran timpani dan kaki stapes. Dengan perubahan tekanan tetap
sehingga menghasilkan tekanan negatif di telinga tengah (warna hitam pada b),

12
hubungan tulang-tulang pendengaran ini memelihara fungsi alat konduksi suara
dan proteksi telinga dalam.8
2.1.3. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin
tulang meliputi vestibulum, kanalis semisirkularis dan kokhlea. Labirin
membranosa meliputi utrikulus, sakulus, duktus semisirkularis dan duktus
kokhlearis.8, 9
Kokhlea berbentuk rumah siput yang terbenam dalam tulang temporal
dengan dua tigaperempat (2 ) putaran dan panjang sekitar 31-33 mm. Kokhlea
memiliki lebar pada basis sekitar 1 cm dengan puncak yang lebarnya 5 mm.
Duktus kokhlearis terdiri dari 3 ruangan yang berisi 2 cairan berbeda, yaitu skala
vestibuli, skala media dan skala timpani. Reseptor alat pendengaran pada kokhlea
adalah organ korti dengan komponennya yaitu sel rambut luar dan dalam, sel
penyangga, membran tektoria dan lamina retikularis.8, 9

Cabang
kokhlearis n.
VIII

Membran
Reissner
Skala
timpani

Skala
media

Stria
vaskularis

Skala timpani

Membran
tektoria

Nervus
auditoriu

Organ
korti

Sel rambut

Membran
basalis

13
Gambar 2.5 Potongan melalui kokhlea. Sel rambut dalam organ korti
mengubah energi mekanik (getaran) menjadi energi listrik.8

Transmisi energi akustik dari telinga tengah ke telinga dalam diawali oleh
membran timpani menggerakkan tangkai maleus. Prosesus longus inkus dan
tangkai maleus bergerak bersama-sama, karena sendi maleo-inkus terfiksasi.
Sebaliknya sendi antara inkus dan stapes sangat fleksibel. Selanjutnya, karena
stapes bagian postero-inferiomya melekat, maka gerakan membran timpani akan
menyebabkan stapes menggerakkan fenestra ovalis ke luar-masuk, sehingga
perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran
Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga menimbulkan gerak relatif antara
membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka,
terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
depolarisasi sel rambut yang melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius dilanjutkan ke nukleus
auditorius.7-9
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan
(traveling wave). Karena membran basalis lebih kaku di daerah basis daripada
apeks dan kekakuan tersebut didistribusikan secara terus-menerus, maka traveling
wave selalu bergerak dari basis ke apeks. Amplitudo maksimum membran
basilaris yang dihasilkan oleh suara dengan frekuensi tinggi, amplitudo
maksimumnya jatuh di dekat basal kokhlea, sedangkan gelombang akibat suara

14
dengan frekuensi rendah amplitudonya maksimum jatuh di daerah apeks. Jadi
setiap frekuensi suara menyebabkan corak gerakan yang tidak sama pada
membran basalis sesuai dengan tonotopik organ korti dan ini cara untuk
membedakan frekuensi.7-9

15

Gambar 2.6 Persarafan Telinga Dalam

2.2 Fisiologi Pendengaran


Sistem pendengaran dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu telinga luar,
telinga tengah, telinga dalam dan sistem saraf pendengaran, disertai pusat
pendengaran di otak.7-9
Telinga luar berperan pasif tetapi sangat penting dalam proses
pendengaran. Daun telinga berfungsi mengumpulkan suara dan mengetahui lokasi
datangnya suara, sedangkan kanalis akustikus eksternus karena bentuk dan
dimensinya bersifat resonator, sehingga dapat menambah intensitas bunyi dalam
rentang frekuensi 2 - 4 kHz sebesar 10 - 15 dB.7-9
Telinga tengah dengan tulang pendengarannya membentuk sistem
pengungkit untuk menghantarkan suara dari membran timpani ke fenestra ovale.
Transmisi energi suara melalui telinga tengah ke telinga dalam diawali dengan
membran timpani yang menggerakkan maleus. Lengan maleus dan prosesus inkus
bergerak bersama-sama karena sensi maleoinkus terfiksasi, sebaliknya sensi inkus
stapes sangat fleksibel. Selanjutnya gerakan membran membran timpani akan
menyebabkan stapes bergerak seperti piston di dalam fenestra ovale dan
perubahan tekanan yang diakibatkannya akan dihantarkan melalui perilimfe ke
sekat kohlea, kemudian keluar melalui fenestra rotundum. Transmisi tekanan

16
mengakibatkan sekat kohlea menggelembung ke atas dan ke bawah, serta akan
mengakibatkan sel rambut di dalam organ korti merangsang saraf auditorius.7-9
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan
(traveling wave). Karena membran basilaris lebih kaku di daerah basis daripada
diapeks dan kekakuan tersebut didistribusikan secara terus-menerus, maka
travelingwave selalu bergerak dari basis ke apeks. Amplitudo maksimum
membran basilaris yang dihasilkan oleh suara dengan frekuensi tinggi, amplitudo
maksimumnya jatuh di dekat basal kohlea, sedangkan gelombang akibat suara
dengan frekuensi rendah amplitudo maksimumnya jatuh di daerah apeks.
gelombang akibat suara frekuensi tinggi tidak dapat mencapai apeks kohlea,
gelombang akibat suara frekuensi rendah dapat bergerak di sepanjang membran
basilaris. Jadi setiap frekuensi suara menyebabkan corak gerakan yang tidak sama
pada membran basilaris sesuai dengan tonotopik organ korti. Hal ini merupakan
cara untuk membedakan frekuensi.7-9
Stereosilia sel rambut sangat penting untuk proses mekanotransduksi.
Stereosilia adalah berkas serabut aktin yang membentuk pipa dan masuk ke dalam
kutikular. Membengkoknya stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada
fase depolarisasi mengakibatkan terjadinya pembukaan pintu ion pada puncak
stereosilia, menimbulkan aliran arus K+ ke dalam sel sensoris. Aliran kalium
karena terdapat perbedaan potensial endokohlea +80 mV dan intraseluler negatif
pada sel rambut, sel rambut dalam -45 m V dan sel rambut luar -70 mV. Hal
tersebut menghasilkan depolarisasi intraselular yang menyebabkan kalium

17
mengalir, termasuk kalsium ke dalam sel rambut kemudian pelepasan transmiter
kimia dari ruang presinaps yang berada pada dasar sel ke ruang sinaps dan akan
ditangkap oleh reseptor serabut aferen saraf kohlearis menuju nucleus kohlearis
menghasilkan potensial aksi yang akan diteruskan ke serabut saraf kohlearis
menuju nucleus kohlearis.7-9
Pada saat kohlea mendapat stimulus suara, maka akan terjadi perubahan
gerakan stereosilia yang diakibatkan terjadinya proses traveling wave pada
membran basilaris yang mengakibatkan terjadinya pergerakan sel rambut kohlea
ke arah stereosilia yang paling tinggi (depolarisasi), yang diikuti oleh terbukanya
ion serabut aktin pada puncak stereosilia, sehingga terjadi pemasukan kalium
yang mengakibatkan perubahan potensial intraseluler. Hal ini tercatat sebagai
cochlear microphonic dan summating potential. Kedua hal tersebut akan tercatat
pada berbagai bagian kohlea yang mempunyai frekuensi yang berbeda, potensial
maksimum yang terjadi akan dicatat pada setiap frekuensi yang mencapai titik
maksimal amplitudo. Cochlear microphonic dan summating potential proses
utamanya terjadi pada sel rambut luar. Stimulasi pergerakan stereosilia pada sel
rambut dalam sebagian besar dipengaruhi oleh pergerakan cairan endolimfe yang
diakibatkan oleh pergerakan sel rambut luar. Sedangkan pergerakan membran
basilaris mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap pergerakan sel rambut
dalam. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa cochlear microphonic pada sel
rambut luar dapat mencerminkan keadaan pada kohlea. Kerusakan pada sel

18
rambut luar kohlea secara total akan membuat penurunan sekitar 60 dB, sehingga
pada pemeriksaan OAE tidak akan respon.9
Transmiter yang dilepaskan oleh sel rambut kohlea sampai saat ini masih
belum diketahui secara pasti jenisnya. Pada daerah aferen saraf kohlearis yang
dengan sel rambut dalam diketahui adanya reseptor glutamat dalam yang banyak.
Sedangkan pada daerah serabut saraf eferen yang berhubungan dengan sel rambut
luar diketahui banyak mengandung asetilkolin. Diketahui pula bahwa banyak
transmiter lain pada serabut eferen sel rambut luar berfungsi sebagai modulator
terjadinya pelepasan asetilkolin.9

BAB III
PERKEMBANGAN FUNGSI PENDENGARAN DAN
PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK

3.1 Perkembangan Fungsi Pendengaran pada Anak


Fungsi pendengaran sangat berpengaruh terhadap perkembangan berbicara
dan berbahasa sehingga timbul komunikasi verbal. Komunikasi dapat dilakukan
melalui jalur auditorius dan jalur visual. Jalur auditorius ditandai dengan adanya
bicara dan tanda-tanda akustik sedangkan jalur visual dilakukan melalui
pembacaan bibir (lip reading) dan tanda pragmatik (mimik lawan bicara).

19
Pada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea dengan fungsi
menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Pada saat yang
sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang dewasa walaupun
masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia gestasi 30 minggu terjadi
pneumatisasi dari timpanum, demikian juga dengan liang telinga luar yang terus
berkembang sampai usia 7 tahun. Perkembangan auditorik berhubungan erat
dengan perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami pematangan
dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan
terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka
upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi dapat
dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.4

Fungsi persepsi pendengaran meliputi:10


1. Kesadaran akan adanya suara dan kemampuan melakukan integrasi dengan
rangsangan dari organ sensorik lainnya.
2. Kemampuan membandingkan atau membedakan, misalnya suara ibu, ayah
atau suara yang berasal dari mainannya.
Peranan fungsi pendengaran terhadap proses berbicara meliputi:10
1. Merupakan jalur masuk informasi pendengaran yang menyebabkan anak dapat
mempelajari bahasa yang dipakai di lingkungannya.

20
2.

Merupakan jalur umpan balik suara (auditory feedback), yaitu terdengarnya


suara yang diucapkan pembicara ke telinganya sendiri, dapat digunakan untuk
memantau pola suara atau kata-kata yang diucapkannya dengan cara
mengoreksi keadaan otot-otot bicara ketika anak sedang berbicara (motoric
feedback).

Gambar 3.1 Peranan fungsi pendengaran terhadap proses bicara10


Perkembangan fungsi pendengaran pada anak meliputi :10
1. Frequency processing:
a. Frequency selectivity, yaitu membedakan suara yang penting didengar
dengan suara lainyang mengganggu (background noise).
b. Frequency discrimination, yaitu membedakan 2 jenis frekuensi yang
didengar dalam waktu yang berurutan.
2. Temporal processing, yaitu memantau perubahan gelombang suara sepanjang
waktu, seperti interupsi, fluktuasi energi dan perubahan lamanya suara.

21
3. Binaural processing yang bertujuan untuk melokalisasi suara.
4. Perceptual organizationof complex sound, yaitu mengenal dengan benar jenis,
pola dan asal sumber suara.

Ambang dengar untuk proses perkembangan bicara pada anak adalah:10


1. 0 15 dB : Normal
2. 16 25 dB : Minimal
3. 26 40 dB : Ringan
4. 41 55 dB : Sedang
5. 56 70 dB : Sedang-Berat
6. 71 90 dB : Berat
7. Diatas 90 dB : Sangat berat.
8.
9. Mendengar suara tidak berarti memahami suara yang didengar. Hal ini
berarti tes deteksi suara tidak menilai kemampuan pemahaman jenis suara atau
arti kata-kata. Karena itu selain tes deteksi suara, diperlukan pula tes fungsi
persepsi bicara. Terdapat 4 respon kemampuan persepsi bicara, yaitu :11
1. Deteksi, yaitu kemampuan untuk membedakan ada tidaknya stimulus bicara.
2. Diskriminasi, yaitu kemampuan untuk menilai kesamaan dan perbedaan antara
2 atau lebih stimulus. Keterampilan yang didapat berbeda secara akustik,
karakteristik, intensitas atau lamanya/durasi. Misalnya 2 kata ini sama atau
berbeda : kuku dengan kaku

22
3. Recognition, yaitu mengenal objek atau kata. Respon anak dapat berupa
menunjuk, menulis atau mengulang kata-kata yang diberikan, misalnya dapat
menunjukkan mana mata, rambut dan lain-lain.
4. Pemahaman, yaitu kemampuan mengerti arti stimulus bicara berdasarkan ilmu
bahasa. Untuk menunjukkan bahwa anak mengerti, anak tadi hanya
mengulang kata akan tetapi harus ditunjukkan dengan tanda bahwa anak
mengerti, misalnya dengan pertanyaan atau instruksi, misalnya, Apakah
yang suka dimakan oleh kelinci?
10.

Menurut protokol ASHA, usia 5-24 bulan dapat dilakukan penilain


perkembangan anak, skrining fungsi pendengaran, tes fungsi pendengaran.
Pada masa tersebut merupakan awal berkembangnya bahasa dan fungsi
mendengar. Maka pada umur tersebut dapat dilakukan auditory
integration scale. Tes yang dapat dilakukan pada usia tersebut yaitu
Audiometri tutur (untuk menilai ambang speech awareness atau speech
reception threshold) dan speech reception test ( NU-CHIPS, WIPI, PSI).11

11.
13. Usia
15. Neon
atus
17. 2 - 3
bulan
19. 4 - 6
bulan

12. Tabel 3.1 Kemampuan bicara dan bahasa dan anak4


14. Kemampuan
16. menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur
(gurgles)
18. tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo
20. mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan. ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa..,
da..da) - memberi respons terhadap suara marah atau
bersahabat - belajar menangis dengan suara yang bervariasi
sesuai kebutuhan

23
21. 7 - 11
bulan

23. 12 18
bulan
25. 24 35
bulan
27. 36 47
bulan
29.
30.
31.
32.

22. menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung


arti, seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu
meniru suara (echolalia) - mengerti kata perintah
sederhana : kesini - mengerti nama obyek sederhana :
sepatu, cangkir
24. - menjawab pertanyaan sederhana - mengerti instruksi
sederhana, menunjukkan bagian tubuh dan nama mainan
26. - kata yang diucapkan antara 150 -300 kata - volume dan
pitch suara belum terkontrol -mengenali warna, mengerti
konsep besar - kecil, sekarang - nanti
28. - jumlah kata yang diucapkan mencapai 900 1.200 kata
-memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas
meja - mulai bertanya kenapa dan bagaimana?

24
33.

3.2 Pemeriksaan pendengaran pada anak dan bayi baru lahir


34.
Skrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan

populasi bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan


pendengaran (Pass/lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin mengalami
gangguan pendengaran (Refer/tidak lulus). Skrining pendengaran bukan diagnosis
pasti karena selain kelompok Pass/lulus dan kelompok Refer/tidak lulus masih
ada 2 kelompok lain, yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya
pendengaran normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada
gangguan pendengaran). Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan
jelas kepada pihak orang tua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu. Hasil
skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu unit/kelompok masyarakat
atau fasilitas kesehatan (RS, puskesmas, praktik dokter, klinik, balai kesehatan ibu
dan anak/BKIA) harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana
pemeriksaan pendengaran yang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi
pendengaran dan wicara.4
35.
36. Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat
dikelompokkan menjadi:4
I. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing
screening)
II. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based hearing
screening). Skrining pendengaran biasanya dilakukan pada saat bayi
melakukan imunisasi di Puskesmas, klinik atau rumah sakit.

25
37.
38. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing
screening) dikelompokan menjadi :
39. 1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
40. 2. Targeted Newborn Hearing Screening
41.
42. 1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
43.

Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor

risiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan


pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah
sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki
sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan
OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer
(tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA otomatis) pada
usia 1-3 bulan. Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan
berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi
telinga tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan
pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory
Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh
informasi ambang dengar pada masing-masing frekuensi; hal ini akan
membantu proses pengukuran alat bantu dengar yang optimal. Berdasarkan

26
tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi pendengaran sudah harus dimulai
pada usia 6 bulan.4
44.
45. Kriteria UNHS antara lain:4
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
sehingga kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcome yang baik.
4. Cost-effective.
46. Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %
47.
48.

2. Targeted Newborn Hearing Screening


49.
Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang

mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Kelemahan metode


ini adalah sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak mempunyai faktor risiko.
Model ini biasanya dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan
Perinatologi.4
50.
51. 3.3 Pemeriksaan Objektif dan Subjekif pada Anak
52.

Pemeriksaan

pendengaran

terhadap

anak

untuk

menilai

pendengaran dapat dilakukan secara objektif dan subjektif. Jenis pemeriksan


subjektif

meliputi

Behavioral

Observation

Audiometry

(BOA),

Visual

27
Reinforcement Audiometry (VRA), Conditioned Play Auidometry (CPA) dan Tes
Daya Dengar Modifikasi (TTD modifikasi). Tes objektif meliputi timpanometri,
Otoacoustic Emission (OAE), Brain Evoked Response Audiometry (BERA) dan
Audiometry Steady State Respons (ASSR). Tipe pemeriksaan yang digunakan
tergantung dari usia yang akan diperiksa, tingkah laku dan kecurigaan diagnostik.5
53.
Pemerikaan pendengaran harus disesuaikan dengan usia
perkembangan anak. Untuk usia sekolah (5-18 tahun) atau usia 4 tahun hingga
remaja, pemeriksaan pendengaran yang menjadi standar baku emas adalah
audiometri nada murni yang dapat mengukur amang dengar mulai dari frekuensi
125 - 8.000 Hz dan mempunyai sensitivitas 92% dan spesifitas 94%.5
54.

Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah

audiometri nada murni karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran


yang bersifat frekuens spesifik. Kelemahan pemeriksaan audiometri nada murni
adalah besarnya faktor subjektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif)
dan membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien, akibatnya
pemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada pasien berusia dibawah 5
tahun.4
55.
56.

Tabel 3.3 Pemeriksaan objektif dan subjektif pada anak4

57. Pemeriksaan
objektif
(Elektrofisiologis)
60. OAE (mulai 2 hari)
61. BERA
62. Timpanometri
63. ASSR

58. Pemeriksaan subjektif


59. (Behavioral)
64.
65.
66.
67.

Behavioral Observation Test


Behavioral Observation Audiometry (0 6 bulan)
Visual Reinforcement Audiometry (7 -30 bulan)
Conditioned Play Audiometry (30 bulan 5
tahun)

28
68.

70.
71.

69. Tes Daya Dengar /TDD modifikasi

29
72.

73. Gambar 3.2 Tes pendengaran pada anak10

30

74.BAB IV
75.PEMERIKSAAN AUDIOMETRI SUBJEKTIF PADA ANAK
76.

77.

Pemeriksaan

pendengaran

harus

disesuaikan

dengan

usia

perkembangan deorang anak. Untuk usia sekolah (5-18 tahun) atau usia lebih dari
4 tahun sampai remaja, pemeriksaan pendengaran yang menjadi standar baku
emas adalah audiometri nada muri yang dapat mengukur ambang dengar mulai
dari 125 Hz 8000 Hz dan mempunyai snsitivitas 92% dan spesifitas 94%. 5 Alat
skrining pendengaran lain yang sederhana seperti kuisioner hanya dapat
mendeteki 50% dari anak dengan gangguan dengar. Tes suara bisik hanya
mempunyai sensitivitas 40% dan spesifitas 83%. Demikian pula dengan tes
garputala 30% dan spesifitas 87%.12, 13
78.

Bila

sarana

pemeriksaan

yang

bersifat

objektif

atau

elektrofisiologis tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subjektif yang


mengandalkan respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi,
antara lain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA),
Conditioned Play Audiometry (CPA) dan Tes Daya Dengar Modifikasi (TTD
modifikasi). Namun bila memungkinkan, tetap dianjurkan untuk mengkonfirmasi
hasilnya dengan pemeriksaan objektif.4 Pemeriksaan BOA, VRA & CPA dapat

31
dilakukan dengan menggunakan earphones, bone conduction implants, alat bantu
dengar atau implan koklea.14
79.
80.
81. 4.1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
82.

Pemeriksaan pendengaran yang subjektif karena respon dari bayi

dan anak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memiliki


kemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas dan spesifitasnya
kurang dibandingkan pemeriksaan objektif seperti OAE dan BERA. Idealnya
dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapat di ruangan biasa tetapi
cukup tenang. Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih objektif, dapat
dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan Behavioral
Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA). Pada
anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga dapat dilakukan untuk
konfirmasi pemeriksaan objektif yang telah dilakukan, terutama bila menghadapi
kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang bersifat frequency spesific.4

85. Usi
a
87. 0 - 4
bula
n

83.
84. Tabel 4.1 Kemampuan auditorik pada anak4
86. Kemampuan Auditorik
88. Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang
terjadi masih bersifat refleks (behavioral responses)
seperti:
89. - Refleks auropalpebral (mengejapkan mata)
90. - Heart rate meningkat
91. - Eye widening (melebarkan mata)
92. - Cessation (berhenti menyusu)
93. - Grimacing (mengerutkan wajah)

32
94. 4 - 7
bula
n

95. 4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih


lemah (belum konsisten)
96. 7 bulan : memutar kepala pada arah horizontal dengan
cepat; namun pada arah bawah masih lemah
98. Memutar kepala dengan cepat; mengidentifikasi sumber
bunyi dengan tepat

97. 7 - 9
bula
n
99. 9 100.
12 bulan : keingintahuan terhadap bunyi lebih
13
besar; mencari sumber bunyi yang berasal dari arah atas
bula
101.
13 bulan : dapat mengidentifikasi bunyi dari semua
n
arah dengan cepat
102.
Tabel 4.2 Indeks Tingkah Laku Auditori pada Bayi, Stimuls dan Level
Respon14, 15

104.
No
103.
Usia

109.
0-6
m
g
g
117.
6
m
g
g
4
b
l
n
125.
4-7
b
l
n

105.
(d

110.
50-

118.
50-

126.
40-

106.
Nada
mu
rni
wa
rbl
ed
(d
BH
L)

107.
Spe
e
c
h
(
d
B
H
L
)

108.

Respon

112.
406
0

113.
- Eye widening (melebarkan
mata)
114.
- Refleks auropalpebral
(mengejapkan mata)
115.
- Bangun dari tidur
116.
- Terkejut

119.
70

120.
47

121.
Eye widening (melebarkan
mata)
122.
Refleks auropalpebral
(mengejapkan mata)
123.
Mata menoleh
124.
Bayi terdiam

127.
51

128.
21

129.
memutar kepala pada arah
horizontal; masih lemah (belum
konsisten)

111.
78

33
130.
7-9
b
l
n
135.
9-13
b
l
n
140.
131
6
b
l
n
145.
162
1
b
l
n
150.
212
4
b
l
n

131.
30-

132.
45

133.
15

134.
memutar kepala pada arah
horizontal dengan cepat; namun
pada arah bawah masih lemah

137.
38

138.
8

139.
memutar kepala pada arah
horizontal dan bawah dengan cepat;
namun pada arah atas masih lemah

142.
32

143.
5

144.
memutar kepala pada arah
horizontal, bawah dan atas dengan
cepat

146.
25

147.
25

148.
5

149.
memutar kepala pada arah
horizontal, bawah dan atas dengan
cepat

151.
25

152.
26

153.
3

154.
memutar kepala pada arah
horizontal, bawah dan atas dengan
cepat

136.
25-

141.
25-

155.
156.

Tujuan BOA yaitu menentukan ambang pendengaran berdasarkan

unconditioned responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk


menilai bayi/anak 0 - 6 bulan.
157.
158.

Persyaratan BOA:4

Pemeriksaan di ruang kedap suara

Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa

34

Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang pandangan

Stimulus : Audiometer + loud speaker

Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter


159.
160.

Langkah-langkah BOA:14

1. Anak duduk diantara 2 pengeras suara. Lebih baik pada ruangan yang kedap
suara. Apabila anak tidak mau dipisahkan dari orang tuanya, anak dapat
diletakan dipangkuan orang tuanya. Orang tua diintruksikan untuk tidak
memicu anak untuk bergerak, akan lebih baik bila anak duduk di kursi kecil
atau kursi tinggi untuk membatasi pergerakannya.
2. Untuk menjaga ruang tes tetap sunyi, suara percakapan dan suara lain harus
minimal. Anak dialihkan perhatiannya dengan melihat gambar atau bermain
dengan mainan yang tidak bersuara. Audiologist mengarahkan aktifitas anak.
3. Stimulus (tutur, warbled tone, atau nada sederhana) diperdengarkan pertama
kali pada 0 dbHL. Apabila tidak ada respon (perubahan tingkah laku) yang
terlihat, intensitas dinaikan setiap 10 dB hingga timbul respon. Prosedur ini
diulang 2-3 kali. (misal terjadi respon pada 30 dB, maka pada 30 dB diulang
2-3 kali). Ketika menggunakan stimulus nada murni, digunakan 500 dan 2000
Hz untuk pertama kali. Apabila anak masih kooperatif, frekuensi pada 1000
dan 4000 Hz juga di tes pada anak tersebut.
4. Perubahan perilaku termasuk menolehkan kepala atau melokalisasi smber
bunyi, memulai aktifitas atau berhenti beraktifitas, melebarnya mata atau

35
mengedip, meningkat / menurunan frekuensi menyusui, meningkatnya
respirasi, mengeluarkan suara atau mencari sumber bunyi, Interval waktu
antar stimulus harus bervariasi untuk menghindari pola. Penting untuk
melihat anak antara stimulus untuk menentukan seberapa sering perubahan
perilaku terjadi tanpa adanya stimulus. Apabila ragu anak tersebut berspon
atau tidak, intensitas harus dinaikan dan perubahan perilaku lebih jelas
apabila anak berespon.
5. Untuk menghindari kelelahan, tes harus dilakukan secepat mungkin, apabila
tidak ada respon ynag terlihat pada intensitas rendah, stimulus yang intens
harus dilakukan untuk merangrang respon kaget.
161.
162.

Keterbatasan BOA yaitu tidak dapat menentukan threshold

(ambang pendengaran). Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA,


tetapi menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya
(misalnya bertepuk tangan).4

163.
164.
165.

Gambar 4.1 Contoh ruangan pemeriksaan BOA

36
166.

Tes Ewing, merupakan tes distraksi dengan mengamati respons

anak berupa menolehnya kepala tanpa conditioning dengan menggunakan 6 jenis


stimulus yang diberikan pada jarak 1 m di belakang anak :16
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bunyi : psss-psss untuk menggambarkan suara frekuensi tinggi


Suara frekuensi rendah : uuh- uuh
Suara sendok dan cangkir ( white noise )
Suara remasan kertas ( frekuensi 6000 Hz )
Suara bel (frekuensi puncak 2000 Hz )
Mainan giring-giring ( frekuensi puncak 4000 Hz )

167.
168.

Pada prinsipnya ada 4 jenis stimulus yang dipakai untuk refleks

orientasi bayi terhadap suara:16


Suara manusia atau kata-kata ( live voice )
Bunyi alat musik : perkusi ( genderang ) ,bel, triangle
Alat tiup : 120-1900 Hz
Suara-suara yang mudah dikenal : bunyi decak mulut, ketukan pintu, remasan
kertas atau plastik
169.
170.

Noise maker sederhana yang dapat dipakai untuk tes BOA:16

Bola ping-pong diisi 6 butir beras panjang, 40 dB, 10 cm dibelakang telinga

anak diberi tangkai untuk pegangan ; tangkai diputar2 secara perlahan


Terompet 100 dB, 10 cm dibelakang telinga anak
Plastik diremas-remas, 40 dB, 10 cm dibelakang telinga
Menggesek tepi cangkir dengan sendok 4000 Hz
Mengetuk dasar cangkir dengan sendok 900 Hz
Suara mulut sssss 4000 Hz
Suara mulut oe-oe-oe 250 Hz
171.
172. Audiometri skrining medan bebas
173.
Audiometri skrining medan bebas mengadaptasi pada fungsi dasar
BOA, dengan tambahan sesuai kebutuhan klinis di lapangan. Perbedaannya adalah

37
alat ini meggunakan pengeras suara (speaker) terpisah yang diletakan statis di
depan, kanan dan kiri pasien dengan azimut 45 derajat. Tujuannya agar membatasi
reaksi dari pasien yang hanya akibat stimulus suara, bukan karena gangguan
visual pergerakan alat atau pemeriksa.17
174.
Audiometri skrining medan bebas ini telah digunakan dalam
penelitian Hartanto dkk pada 86 anak yang menderita otitis media. Pada hasil
penelitian disebutkan bahwa tingkat ketepatan audiometri skrining medan bebas
hampir sama dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan dengar
pada anak-anak sekolah dasar yang menderita otitis media.18
175.
Pada dasarnya sistem tersebut memberikan stimulus suara dengan
frekuensi dan intensitas tertentu melalui pengeras suara kepada pasien bayi/balita,
kemudian dokter/pemeriksa mengamati ada tidaknya reaksi pesien terhadap
stimulus.17
176.

Stimulus suara yang diberikan pada alat ini yaitu suara warble

(modulasi frekuensi / FM). Suara warble dengan empat frekuensi penting yaitu
500, 1000, 2000 dan 4000 Hz ememiliki frekuensi spesifik dan merupakan
stimulus utama dalam menetukan sensitivitas pendengaran. Masing-masing
stimulus suara dapat dibunyikan di pengeras suara kanan atau kiri dan dalam dua
pilihan intensitas yaitu 30 dB atau 60 dB.17
177.
Audiometri skining bebas ini memiliki kelemahan tidak dapat
secara

tepat

memberikan

intensitas

dalam

pemeriksaan.

Faktor

yang

mempengaruhinya adalah posisi pasien, akustik ruang periksa, sampai bahan dan
banyaknya perabot serat orang di dalam ruangan. Tes ini juga sulit menetukan
secara terpisah sensitivitas teliga kanan atau kiri karena terjadi cross hearing pada

38
pendengaran binaural. Walaupun terdapat banyak kendala dalam pemeriksaan
medan bebas, namun harus dipastikn memiliki petunjuk kerja yang baik untuk
mendekati keadaan ideal sebaik-baiknya.17
178.
Sistem audiometri skrining medan bebas merupakan suatu sistem
dengan biaya terjangkau, sehingga dirancang memiliki bentuk yang sederhana,
ringkas namun dapat diandalkan. Untuk memudahkan penggunaan, catu daya
yang digunakan adalah 3 baterai AAA sehingga memiliki spesifikasi berdaya
rendah agar pengoperasian alat dapat bertahan lama. Audiometer skrining bebas
dikalibrasi keluaran intensitas suara dengan Sound Level Meter (SLM) kelas-1
merk RION tipe NL-31 di ruang emi Anechooic Laboratorium Bangunan dan
Akustik Teknik Fisik FTI ITB. Posisi keika pengukuran adalah speaker alat
audiometer diletakkan posisi 45O menghadap SLM dengan ketinggian yang sama
dengan jarak satu meter. Pada titik acuan didapatkan intensitas yang dihasilkan
alat ini adalah 60 dBHL (3 dB) dan 30 dBHL (3 dB). Alat ini mempunyai
sensitivitas 90,9% dan spesifitas 68,4%.17
179.
180. 4.2 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
181.
VRA bertujuan untuk menentukan ambang pendengaran bayi 7-30
bulan dengan menilai conditioned response (respons yang telah dilatih terlebih
dahulu). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambang
pendengaran. Keterbatasan : karena stimulus berasal dari pengeras suara
(loudspeaker), maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang
lebih baik.4
182.

Prosedur pemeriksaan yaitu, bayi dilatih terlebih dahulu untuk

memberikan respons khusus (misal memutar kepala) terhadap stimulus bunyi

39
dengan kekerasan bunyi (intensitas ambang dengar yaitu stimulus terkecil yang
masih menghasilkan respons.4
183.
185. Gambar
4.2
Visual
Reinforcement Audiometry (VRA)
Keterangan Gambar 8 S : Speaker;
VR : Visual reinforcer; P : Orang
tua( memangku bayi); I : Bayi; A :
Pemeriksa; TA : Observer4

184.
186. Langkah-langkah VRA :14
1. Ruangan tes diatur dengan meletakan speaker berwarna hitam di sudut
ruangan. Di dalam speaker tersebut dapat muncul ilumiasi cahaya yang
bergerak (misal pergerkan boneka menabuh gendang yang mengeluarkan
cahaya dan suara).
2. Anak didudukan sendirian pada kursi atau pangkuan orang tua diantara dua
speaker. Anak dialihkan perhatiannya dengan melihat gambar atau bermain
dengan mainan yang tidak bersuara.
3. Stimulus (tutur, warbled tone, or nada sederhana) diperdengarkan pertama
kali pada 70 dbHL diatas perkiraan ambang dengar anak dan kotak yang
mengandung mainan diberikan cahaya. Perhatian anak dialihkan dengan
melihat mainan tersebut. Kondisi ini berlanjut terus dan stimulus auditori
berganti-ganti diantara speaker dengan stimulus auditori dan visual
ditampilkan secara simultan untuk jangka waktu 3-4 detik.
4. Apabila anak terkondisikan, stimulus auditori ditampilkan tanpa rangsang

40
visual. Mainan yang bercahaya di dalam kotak pengeras suara, hanya sebagai
hadiah untuk anak apabila terdapat rangsang. Prosedur ini terus berlangsung
dengan intensitas stimulus semakin menurun hingga anak tidak berespon.
187.
188.

4.3 Conditioned Play Audiometry (CPA)


189.
VRA bertujuan untuk menilai ambang pendengaran berdasarkan

respons yang telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap


stimulus bunyi. Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat
diperoleh ambang pada masing-masing frekuensi (frequency-specific) dan masingmasing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan derajat
ganggguan pendengaran. Dilakukan untuk anak usia 30 bulan - 5 tahun.4
190.
Prosedur Pemeriksaan yaitu, terlebih dahulu anak dilatih
memberikan respons melalui kegiatan bermain, misalnya memasukkan sebuah
balok ke dalam kotak; bila anak mendengar suara dengan intensitas (kekerasan
bunyi) tertentu. Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas
terkecil di mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara
diganti dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception
threshold (SRT).4
191.
192. Langkah-langkah CPA :14
1. Dengan bantuan pemeriksa, anak memegang benda misalnya balok,
berdekatan dekat dengan telinga namun tidak sampai menyentuh.
2. Stimulus auditori yang telah diketahui di atas ambang anak diberikan dan
pemeriksa mengarahkan tangan anak untuk membuat respon seperti
menjatuhkan balok dalam suatu kontainer. Pada awalnya stimulus dapat
diberikan intensitas tinggi dari headset portabel. Hadiah diberikan bila anak

41
dapat berespon.
3. Kondisi ini berlanjut terus sampai anak memperlihatkan perilaku (jatuhnya
balok pada kontainer atas keinginan sendiri).
4. Earphone digunakan pada anak dan tes dilanjutkan dengan 500 dan 2000 Hz
untuk yang pertama, kemudian 1000 dan 4000 Hz untuk setiap telinga.
193.
194.

195.
196.

Gambar 4.3 Contoh pemeriksaan CPA.

4.4 Tes Daya Dengar (Modifikasi)


197.
Tes daya dengar (TDD) merupakan pemeriksaan subjektif untuk

deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan
kuesioner bersuaraan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar)
bayi atau anak terhadap stimulus bunyi.19, 20
198.
Pertanyaan berbeda untuk setiap kelompok usia. Untuk tiap
kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok penilaian
kemampuan; (1) Ekspresif, (2) Reseptif dan (3) Visual; masing-masing terdiri dari
3 pertanyaan dengan jawaban Ya atau Tidak.4
199.
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan
mana anak tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok
usianya, sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.19, 20

42
200.

Stimulasi dini pada usia 0-3 bulan didapat bayi terutama melalui

pendengaran. Kemampuan daya dengar harus diketahui sedini mungkin karena


adanya gangguan pendengaran akan mempengaruhi perkembangan anak terutama
kemampuan bicara dan bahasa. Deteksi dini dan intervensi segera sebelum bayi
berusia 6 bulan akan memberikan hasil yang baik.19, 20
201.
Alat yang digunakan yaitu kuesioner modilkasi ttd dan alat tulis,
alat peraga seperti bel (lonceng), sendok, cangkir, bola dan pensil berwarna. 19, 20
Adapun cara melakukan tes daya dengar alah sebagai berikut:19, 20

Tes daya dengar ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang


dipilih sesuai dengan umur anak. Jawaban yang sesuai dengan
tes yaitu:
o Ya

: anak dapat melakukannya dulu maupun sekarang.

o Tidak : anak tidak dapat melakukannya dulu maupun sekarang


dan anda tidak yakin bahwa anak dapat melakukan hal tersebut.
202.

Cara menilai TDD modifikasi adalah sebagai berikut:19, 20

Tes Daya Dengar menilai kemampuan bicara anak dalam 3 bidang, yaitu
kemampuan ekspresif, kemampuan reseptif dan kemampuan visual.

Semua kemampuan tersebut dinilai dan diberi jawaban ya atau tidak.

Anak harus bisa melakukan seluruh kemampuan tersebut, sesuai kelompok


umur masing-masing.

43

Bila anak tidak dapat melakukan sesuai kelompok umur maka coba menilai
anak dengan tes sesuai kelompok umur di bawahnya, cari sampai diketahui
anak masuk kelompok umur mana yang sesuai.

Anak yang dicurigai menderita gangguan dengar, tidak dapat melakukan


kemampuan ekspresif dan reseptif sesuai umur, tetapi kemampuan visualnya
masih normal.

Anak dengan retardasi mental atau autism tidak dapat melakukan seluruh tes
sesuai umur.

Tuliskan hasil tes daya dengar pada kartu data tumbuh kembang anak.

Bila semua jawaban ya berarti tidak ditemukan kelainan pada daya dengar
(kode N/Normal).

Bila ada minimal satu jawaban tidak berarti hati-hati ada gangguan pada
daya dengar anak (kode HTN/Hati-hati Tidak Normal) dan tes dapat diulang
sebulan kemudian untuk dilihat kemajuannya.

Bila semua jawaban tidak berarti mungkin terdapat gangguan lain dengan
atau tanpa ada gangguan pada daya dengar anak (kode GTN)/ Ada Gangguan
lain dan Tidak Normal.

Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah tidak
dengan kemampuan visual masih normal berarti terdapat kelainan pada daya
dengar (kode TN/ Tidak Normal).

44

Anak dengan kode HTN, GTN dan TN tetap dicatat pada kemampuan mana
anak tidak bisa mengerjakan, dan bila dilakukan tes di bawah usianya, sampai
usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.
204.

203.
Tabel 4.3 Kuesioner Modikasi TDD. Umur kurang atau
sampai 3 bulan.19, 20

205. 206.
N

Daftar pertanyaan

207.
Y

208.
Ti

209. 210.
1

Kemampuan ekspresif

211.

212.

213. 216.
Apakah bayi dapat mengatakan aaaaa, ooooo?
214. 217.
Apakah bayi menatap wajah dan tampak
215.
mendengarkan anda, lalu berbicara saat anda diam?
Apakah anda dapat seolah-olah berbicara dengan bayi
anda?
220. 221.
Kemampuan reseptif
2

218.

219.

222.

223.

224. 225.
Apakah bayi kaget bila mendengar suara (seperti
berkedip-kedip, napas lebih cepat)?
226.
Apakah bayi kelihatan menoleh bila anda
berbicara disebelahnya?
229. 230.
Kemampuan visual
3

227.

228.

231.

232.

233. 234.
Apakah bayi anda tersenyum?
235.
Apakah bayi anda kenal dengan anda, seperti
tersenyum lebih cepat pada anda dibandingkan orang lain
238.

236.

237.

240.

239.
Tabel 4.4 Kuesioner Modikasi TDD. Umur lebih dari 3 bulan sampai 6
bulan.19, 20

241. 242.
N

Daftar pertanyaan

243.
Y

244.
Ti

245. 246.
1

Kemampuan ekspresif

247.

248.

254.

255.

258.

259.

249. 252.
Apakah bayi dapat tertawa keras?
250. 253.
Apakah bayi dapat bermain menggelembungkan
251.
mulut seperti meniup balon?
256. 257.
Kemampuan reseptif

45
2
260. 261.
Apakah bayi memberi respons tertentu, seperti
menjadi lebih riang bila anda datang?
262.
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku
orang tuanya, bunyikan bel di samping tanpa terlihat bayi,
apakah bayi menoleh ke samping?
265. 266.
Kemampuan visual
3

263.

264.

267.

268.

269. 270.
Pemeriksa menatap mata bayi sekitar 45 cm, lalu
gunakan mainan untuk menarik pandangan bayi ke kiri,
kanan, atas dan bawah. Apakah bayi dapat mengikutinya?
271.
Apakah bayi berkedip bila pemeriksa melakukan
gerakan menusuk mata, lalu berhenti sekitar 3 cm tanpa
menyentuh mata?
274.

272.

273.

275.

Bila anak menderita salah satu kelainan yang tersebut di bawah ini

sebaiknya anak tersebut dirujuk ke pusat kesehatan yang memiliki alat


pemeriksaan pendengaran objektif, seperti OAE (Otoacoustic Emission) dan
BERA (Brain Evoked Response Audiometry). Kelainan tersebut antara lain
kelainan anatomi kepala dan leher, sindrom tertentu, palsi serebral, retardasi
mental dan autism. Anak dengan gangguan pendengaran pada umumnya
menggunakan isyarat penglihatan lebih baik. Misalnya anak masih bisa bermain
dengan teman sepermainan, masih dapat disuruh dengan menggunakan bahasa
tubuh atau dengan peragaan sebelumnya. Hal ini dapat membedakannya dengan
retardasi mental atau autism. Kelainan anatomi pada kepala serta leher serta
kecurigaan terhadap sindrom tertentu dapat dilihat pada pemeriksaan sik.19, 20
276.
277.
278.

46
279.
280.
281.

47

282.
283.

BAB V
KESIMPULAN

284.
285.
286.

3.1 Kesimpulan
Gangguan pendengaran pada anak bisa bisa merupakan

suatu kelainan kongenital ataupun suatu kelainan yang didapat. Gangguan


pendengaran pada anak ini jika tidak cepat dideteksi dan ditangani bisa
mengakibatkan

gangguan

perkembangan

pada

anak

khususnya

perkembangan bicara dan belajarnya.


287.

Pemeriksaan gangguan pendengaran ini bisa dilakukan

semenjak anak masih bayi, tidak perlu menunggu anak bisa bicara. Anak
yang mengalami faktor resiko memiliki gangguan pendengaran serta
keterlambatan dalam bicara dan belajar sapatutnya dicurigai memiliki
gangguan pendengaran sehingga merupakan suatu indikasi untuk
melakukan pemeriksaan pendengaran.
288.

Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan

menjadi dua, yaitu jenis pemeriksan subjektif meliputi Behavioral Observation


Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA), Conditioned Play
Auidometry (CPA) dan Pure tone Audiometry (PTA), tes objektif meliputi
timpanometri, Otoacoustic Emission (OAE), Brain Evoked Response Audiometry

48
(BERA) dan Audiometry Steady State Respons (ASSR). Tipe pemeriksaan yang
digunakan tergantung dari usia yang akan diperiksa, tingkah laku dan kecurigaan
diagnostik. Namun bila memungkinkan, tetap dianjurkan untuk mengkonfirmasi
hasilnya dengan pemeriksaan objektif.
289.

290.
292. 1.

DAFTAR PUSTAKA
291.

Olusanya BO, Somefun AO, Swanepoel DW. 2008. The Need for

Standardization of Methods for Worldwide Infant Hearing Screening: A


Systematic Review. The Laryngoscope.118(10):1830-6.
293. 2.

World Health Organization. Regional Office for South East Asia.

2007. Situation review and update on Deafness, hearing loss and


intervention programmes. Proposed plans of action for preveniion and
alleviation of hearing impairement in countries of the south east asia region.
New Delhi.
294. 3.

Djaelantik B. 2000. Magnitude and Etiology of Hearing

Impairement in The General Population of Bandung Area, Indonesia.


Preliminary Report of a WHO-PDH Multicentre Study.
295. 4.

Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan

RI. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit.
Jakarta.

49
296. 5.
hearing

Halloran DR, Hardin JM, Wall TC. 2009. Validity of pure-tone


screening

at

well-child

visits.

Arch

Pediatr

Adolesc

Med.163(2):158-63.
297. 6.

Harlor ADB, Bower C, Practice Co, Medicine A, Otolaryngology

Head tSo, Surgery N. 2009. Hearing Assessment in Infants and Children:


Recommendations Beyond Neonatal Screening. Pediatrics.124(4):1252-63.
298. 7.

Khariwala SS, Weber PC. 2014. Anatomy and Physiology of

Hearing. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, Bailey BJ, penyunting. Bailey's
Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 5: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins.
299. 8.

Probst R, Grevers G. 2006. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-

Step Learning Guide.Edisi ke 2. New York: Thieme.


300. 9.

Lee KJ. 2012. Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery,

Tenth Edition.Edisi.: McGraw-Hill Education.


301. 10.

Bashiruddin J. 2014. Perkembangan bicara dan bahasa pada anak.

Pada Continuing Professional Development Program (CPDP IX) Course and


Workshop. Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran & Perkembangan
Berbicara pada Anak. Kelompok Studi Neurotologi PP PERHATI-KL &
departemen THT FKUI-RS DR. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
302. 11.

Abiratno SF. 2014. Tes fungsi persepsi wicara pada anak. Pada

Continuing Professional Development Program (CPDP IX) Course and


Workshop. Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran & Perkembangan

50
Berbicara pada Anak. Kelompok Studi Neurotologi PP PERHATI-KL &
departemen THT FKUI-RS DR. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
303. 12.

Cunningham M, Cox EO. 2003. Hearing assessment in infants and

children:

recommendations

beyond

neonatal

screening.

Pediatrics.111(2):436-40.
304. 13.

Boatman DF, Miglioretti DL, Eberwein C, Alidoost M, Reich SG.

2007. How accurate are bedside hearing tests? Neurology.68(16):1311-4.


305. 14.

Shoup AG, Roeser RJ. 2007. Audilogic Evaluation of Special

Populations. Dalam: Roeser RJ, Valente M, Hosford-Dunn H, penyunting.


2007. Audiology: Diagnosis.Edisi ke 2. New York: Thieme. h. 315-34.
306. 15.

Gelfand SA. 2011. Assessment of Infant and Children. Dalam:

Gelfand SA, penyunting. Essentials of Audiology.Edisi ke 3. New York:


Thieme. h. 261-80.
307. 16.

Faisa S. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Anak. Melalui:

http://hearing.kasoem.co.id/pendengaran/32-deteksi-dini-gangguanpendengaran-pada-anak-1-?showall=1. Journal [serial on the Internet]. Date.


308. 17.

Yusup PA. 2009. Perancangan dan implemetasi audiomter skrining

bebas untuk anak balita. (tesis). Bandung. Institut Teknologi Bandung.


309. 18.

Hartanto WW. 2011. Tingkat ketepatan audiometer skrining medan

bebas untuk mendeteksi gangguan dengar pada ana-aak sekolah dasar yang
menderita otitis media. (tesis). Bandung. Program pasca sarjana Universitas
Padjadjaran.

51
310. 19.

Andriani R, Sekartini R, Suwento R, Batubara JR. 2010. Peran

Instrumen Modifikasi Tes Daya Dengar sebagai Alat Skrining Gangguan


Pendengaran

pada

Bayi

Beresiko

Tinggi

Usia

0-6

Bulan.

Sari

Pediatri.12(3):174-83.
311. 20.

Fatmawaty. 2005. Tes daya dengar sebagai uji tapis terhadap

kemungkinan gangguan pendengaran pada anak dengan keterlambatan


bicara (disertasi). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
312.
313.

Anda mungkin juga menyukai