pengertian hukum itu sendiri. Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi
Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya
menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu
perjanjian internasional. 26 Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian
perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie 27
adalah :
Treaty as an international agreement concluded between states in written
form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instruments and what ever its
particular designation.
Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara
dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam
instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama
yang diberikan padanya.
Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian
internasional dengan rumusan yang lebih luas 28, yaitu :
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibatakibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.
Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang
digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi
untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu 29 :
26
ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The
International Law Commission, Vol. III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina
Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231.
27
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd
edition, 1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.
28
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung,
2003, hlm. 84.
a. an international agreement;
b. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);
c. in written form;
d. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
e. whatever form.
Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang
digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional,
yaitu :
a. An International Agreement
Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik
internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum
internasional atau permasalahan lintas negara.
Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian
internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter
internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral,
multilateral, regional ataupun universal.
b. Subject of International Law
Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi
internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat
internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.
29
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat
dibuat di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional.
Subjek hukum internasional adalah :
1.
Negara;
2.
Organisasi Internasional;
3.
4.
Tahta Suci/Vatican;
5.
Pemberontak/Belligerent.
c. In Written Form
Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi
Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian
yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang
tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement
seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969. 30
d. Governed by International Law
Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang
sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam
pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional
(International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan
30
internasional
lain
seperti
kebiasaan
internasional
yang
sudah
32
8. Modus Vivendi
Istilah ini digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat
sementara dan informal.
9. Agreed Minutes atau Summary Records atau Record of Discussion
Istilah ini digunakan untuk suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga
pemerintah tentang hasil akhir atau hasil sementara (seperti draft suatu
perjanjian bilateral) dari suatu pertemuan teknis.
Secara garis besar, bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional dapat
dibedakan menjadi 33 :
1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini,
perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara
pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara;
2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai
untuk perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis;
3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara (inter-states). Perjanjian
ini dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negaranegara;
4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri
negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing;
5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara wakilwakil departemen pemerintah khusus.
33
34
Pembedaan ini diikuti juga oleh para sarjana hukum Inggris dan Amerika. Misalnya
J.G. Starke, Introduction to International Law, 1967. Lihat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
S.H. LLM., Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Bandung, 1977, hlm. 86.
35
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 122.
36
I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16.
perundingan
terhadap
masalah
yang
harus
diselesaikan.
Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri ataupun duta
besar. Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, negara juga dapat menunjuk
seseorang untuk dapat mewakili negara tersebut dalam melakukan tahapan
Pertama
adalah
perkembangan
internal
yaitu
reformasi
faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran instrumen asing seperti
perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang sedang bereformasi. 37
Di kalangan pakar hukum Indonesia sendiri, persoalan yang lebih teknisyuridis juga belum mencapai titik kesepakatan. Apakah berlakunya perjanjian
internasional di level internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di
hukum nasional ? Pro dan kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di
perdebatan publik antara para pakar hukum dari berbagai bidang. Kementerian
Luar Negeri yang paling terkena dampak akibat ketidakseragaman pemahaman
publik tentang perjanjian internasional telah berusaha mempertemukan berbagai
kelompok pakar dari berbagai disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum
internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion (FGD) 38, guna
memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan referensi.
Diskusi ini setidaknya berhasil menginventarisasi berbagai pemikiran yang hidup
di kalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang status perjanjian
internasional dalam hukum nasional.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional
dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat
penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu
pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan
37
Makalah disampaikan oleh Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH, MA pada seminar
Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI Kajian Kritis
terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 2014, hlm. 1.
38
Sejak tahun 2006, Kementerian Luar Negeri menggelar rangkaian Focussed Group
Discussion (FGD) yang dihadiri oleh pakar hukum tata Negara dan hukum internasional guna
membahas tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional, yaitu di FH
Universitas Andalas, FH UI, FH Unair dan FH Unpad. Ibid., hlm. 3.
dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundangundangan yang jelas pula.
Pada konteks Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional
yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan hanya melihat
perjanjian internasional terbatas sebagai perjanjian antara subjek hukum
internasional negara dengan negara. Dengan demikian, rumusan awal dari UUD
1945 tersebut tidak mencakup perjanjian internasional antara negara dan
organisasi internasional serta perjanjian antara organisasi internasional dengan
organisasi internasional. 39
Hukum, doktrin dan praktik Indonesia tentang status perjanjian
internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia belum berkembang dan
acap kali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian
internasional di dalam kerangka ketidakjelasan. Ini merupakan akibat dari
ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan
hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam
dunia praktik dalam menjawab tentang status perjanjian internasional dalam
sistem hukum Republik Indonesia. 40
Menurut Damos Dumoli Agusman, dalam tataran praktis, di kalangan
pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pemikiran yang dapat
dipetakan sebagai berikut :
39
Rumusan Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen dan ayat (1) pasal tersebut setelah
amandemen kiranya equivalent dengan pengertian Perjanjian Internasional berdasarkan Pasal 2
ayat (1) Konvensi Wina 1969.
40
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori dan Praktik
Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 95.
Sebagai bukti atas hal tersebut, bisa dilihat definisi hukum internasional
yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja 42 yang menyatakan bahwa :
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
1). Negara dengan negara;
2). Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan
negara satu sama lain.
Definisi di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional bukan hanya
dapat dibentuk oleh negara namun juga dapat dibuat oleh subjek-subjek yang
bukan negara.
Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki sebuah peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian
Internasional dalam rangka mendukung penyelenggaran hubungan luar negeri
yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih kuat
yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
yang mana memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian internasional, yaitu
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 43
Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
juga memberikan definisi Perjanjian Internasional, yaitu :
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
42
44
itu,
keberadaan
hukum
kebiasaan
internasional
(customary
international law) menjadi semakin penting mengingat semakin luas upaya untuk
mengkodifikasi dan mengunifikasi hukum kebiasaan internasional ke dalam
bentuk perjanjian internasional. Keadaan ini menumbuhkan positivisme baru di
ranah hukum internasional dan negara sebagai subjek hukum internasional perlu
untuk memperhatikan perkembangan tersebut. Dengan perkembangan ini,
masyarakat internasional masih merupakan subjek hukum internasional yang
utama. Namun, tentunya hal yang perlu diperhatikan adalah peran dan status
negara sebagai subjek hukum internasional mengalami penipisan pengaruh.
Indonesia sebagai subjek hukum internasional perlu juga memperhatikan
perkembangan tersebut dengan baik, mengingat baik secara langsung maupun
tidak langsung, norma baru hukum internasional yang menyangkut kepentingan
bersama dan diwujudkan dalam perjanjian internasional akan sulit untuk
dihindarkan.
47
sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga
hukum transformasi untuk mengkonversikan hukum internasional ke dalam
hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
prosedur konversi ini. Pengikatan-pengikatan diri suatu negara ke suatu perjanjian
(misalnya melalui ratifikasi) harus dilanjutkan dengan proses transformasi melalui
pembuatan
legislasi
nasional.
Dengan
dikonversikannya
kaidah
hukum
internasional ini ke dalam hukum nasional, maka kaidah tersebut akan berubah
karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan
perundang-undangan nasional. Karena sistem yang terpisah maka tidak
dimungkinkan adanya konflik di antara kedua hukum ini.
Aliran Monisme
Menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian
dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang
lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Pengikat diri
suatu negara kepada suatu perjanjian (misalnya dengan ratifikasi) merupakan
inkorporasi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional dan tidak dibutuhkan
legislasi nasional yang sama untuk memberlakukannya dalam hukum nasional.
Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama, maka legislasi
yang dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional.
Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional
akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional. Mengingat ini
merupakan kesatuan sistem maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara
hukum nasional dan hukum internasional.