Anda di halaman 1dari 31

Tinjauan Pustaka

II-1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Sejak zaman sebelum masehi pewarnaan bahan tekstil telah dikenal di negerinegeri tua misalnya Mesir, India dan China. Pada umumnya pewarnaan dalam
tekstil dikerjakan dengan zat pewarna yang berasal dari alam, misalnya dari
tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun mineral. Pemakaian pewarna alam tersebut
sangat sulit karena harus didahului dengan pengerjaan-pengerjaan pendahuluan
agar dapat menempel dengan baik. Saat ini pemakaian zat warna alam semakin
sedikit, sedangkan hampir semua zat warna terpenuhi dari produksi zat warna
sintetik. (Isminingsih & Djufri 1982)
Dalam industri tekstil zat warna banyak digunakan terutama pada saat pencelupan
atau pencapan. Zat warna biru seperti CIRB 5 banyak digunakan untuk pewarnaan
jeans dan berbagai produk lainnya. Konsentrasi warna biru yang umum digunakan
untuk proses pewarnaan di industri tekstil berada pada rentang 100-120 ppm.
Nilai ini diperoleh dari hasil pengukuran konsentrasi warna biru yang digunakan
pada PT. Grantex (Handayani 2001). Sekitar 50% zat warna akan diserap bahan
dan sisanya akan di daur ulang atau dibuang sebagai limbah yang pada akhirnya
masuk dalam lingkungan sekitar (Crespi dan Huertas, 1987, dikutip dari
Sudarjanto, 1998)
Limbah cair dari industri tekstil pada umumnya berasal dari proses pengkanjian,
proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, pewarnaan, pencetakan
dan proses penyempurnaan (Potter, 1994).
Industri pencelupan dan penyempurnaan tekstil merupakan industri yang
menghasilkan limbah cair yang mengandung bahan-bahan organik dan an organik
yang berupa partikel-partikel dengan ukuran yang bervariasi dan berada dalam
bentuk koloidal, padatan tersuspensi serta padatan terlarut.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-2

Maka untuk menangani pencemaran yang ditimbulkan dari industri tekstil,


terutama pencemaran yang disebabkan oleh zat warna adalah dengan
mengolahnya secara fisika, kimia, biologi atau gabungan dari ketiga proses
pengolahan.
Secara umum penyisihan zat warna yang terkandung dalam air buangan dapat
dilakukan dengan 3 proses yaitu :
1. Pengolahan secara fisik
Pengolahan secara fisik bertujuan untuk menurunkan kandungan suspended
solid atau memisahkan bahan pencemar yang memiliki ukuran partikel yang
relatif besar. Contoh pengolahan secara fisik adalah adsorpsi, sedimentasi,
filtrasi, dan grit chamber.
2. Pengolahan secara kimia
Cara pengolahan limbah cair yang saat ini telah dilakukan oleh pabrik tekstil
yang paling banyak secara kimia, yaitu koagulasi menggunakan bahan kimia.
Koagulasi merupakan suatu cara kimia tertua yang dikenal untuk
membersihkan air, yaitu untuk menghilangkan padatan tersuspensi baik yang
kasar maupun halus atau koloid. Pada koagulasi dilakukan penambahan bahan
kimia ke dalam air yang akan diolah sehingga partikel-partikel padat yang
halus akan digabungkan secara fisika kimia menjadi gumpalan yang mudah
untuk dipisahkan secara fisika kimia menjadi gumpalan yang mudah untuk
dipisahkan dengan cara diendapkan, disaring atau diapungkan. Bahan kimia
(koagulan) yang banyak digunakan adalah ferosulfat, kapur alum, PAC dan
polielektrolit (Winiati dkk., 1995).
3. Pengolahan secara biologi
Pengolahan secara biologi merupakan alternatif yang sangat penting dalam
stabilisasi air limbah industri. Pengolahan ini umumnya digunakan untuk
menghilangkan

bahan-bahan

organik

terlarut

dan

koloidal,

yang

membutuhkan biaya yang cukup mahal untuk menghilangkan apabila


dilakukan secara fisika-kimia biasa. Proses lumpur aktif merupakan proses

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-3

aerobik yang berlangsung dalam reaktor dengan pencampuran sempurna


dilengkapi dengan umpan balik (resirkulasi) lumpur dan cairannya (Winiati
dkk., 1995).
2.2 Tekstil
2.2.1 Proses Produksi Industri Tekstil
Proses produksi yang berlangsung dalam industri tekstil sangat bervariasi
tergantung pada bahan baku tekstil yang akan dipergunakan dan kualitas tekstil
yang diharapkan. Serat diproses untuk menghasilkan produk akhir. Proses ini
meliputi pengambilan kotoran dari wol dan kapas (debu, pasir dan minyak),
pengambilan impurities (sizing, bahan-bahan kimia yang mengotori), pewarnaan
serat dengan zat warna (dyeing), dan finishing untuk mendapatkan hasil tertentu.
Secara garis besar, proses pembuatan tekstil dibedakan menjadi dua, yaitu proses
kering dan proses basah (Siregar, 2005). Adapun yang dimaksud proses basah
adalah suatu proses yang banyak melibatkan air. Sedangkan proses kering adalah
suatu proses yang tidak melibatkan air.
Pada akhir proses produksi dalam indusri tekstil, zat warna, bahan kimia serta air
yang digunakan tersebut hanya sebagian kecil saja yang terserap kain. Sedangkan
sisa-sisa bahan kimia, zat warna, dan air berpotensi menjadi air buangan yang
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan khususnya perairan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke badan air penerima. (Djufri et
al., 1976)
Proses Penghilangan kanji (desizing):
Bertujuan untuk menghilangkan kanji yang menempel pada kain grey hasil
penenunan. Kanji yang terdapat pada grey dapat menghalangi masuknya zat-zat
kimia yang dipakai pada proses-proses berikutnya seperti proses pemasakan,
penggelantangan, pencelupan, pencapan dan penyempurnaan. (Nurhasan, 1980)

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-4

Pemasakan (Scouring)
Pemasakan ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat pada serat kecuali selulosa.
Proses ini menggunakan soda kaustik, detergen, sabun, dan lain-lain.
Merserisasi
Merupakan proses pencelupan kain ke dalam larutan soda (NaOH 20% - 25%)
dalam tekanan. Proses ini bertujuan untuk mengembangkan serat sehingga
memperbaiki penampakan, kemampuan menyerap warna, dan kekuatan.
Proses Pewarnaan
Proses ini bertujuan untuk pemberian warna pada bahan atau serat secara
menyeluruh dan permanent, sehingga diperoleh bahan atau kain yang berwarna.
Proses Pencetakan/Pencapan
Maksud dari proses ini adalah pemberian warna secara tidak merata pada bahan
sehingga menimbulkan corak-corak atau motif tertentu pada bahan atau kain.
Dalam proses ini menggunakan berbagai macam zat warna reaktif dan pigmen.
Proses Akhir (Proses Penyempurnaan dan Making up)
Proses penyempurnaan bertujuan untuk memenuhi persyaratan dari penggunaan
dan sifat-sifat tertentu dari bahan sesuai dengan yang dikehendaki, atau
mendapatkan kualitas kain yang baik (permukaan kain yang licin, rata, dan
berkilau). Sedangkan proses making up meliputi beberapa proses yaitu inspecting
(pemeriksaan cacat kain), folding( melipat kain dalam bentuk lebar dengan ukuran
1 yard tiap lipatannya), rolling (penggulungan kain dengan panjang tertentu),
screen dyer (pengeringan dan pencapan merk perusahaan), packing ( pengemasan
kain dengan plastik dan kardus kemudian dikirim kepada pemesan).

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-5

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-6

2.2.2 Sumber dan Karakterisrik Air Buangan Industri Tekstil


Pada kenyataannya di lapangan tidak ada pabrik tekstil yang memilki air limbah
persis sama. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh : bahan kimia yang
digunakan, jumlah zat yang dipakai, tingkat produksi, tingkat keahlian dan
pengalaman operator.
Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung
dari jenis dan besar-kecilnya industri, pengawasan pada proses produksi, derajat
penggunaan air, derajat pengolahan air limbah yang ada.(Sugiharto, 1987). Ratarata penggunaan air untuk industri texstil adalah pada proses penggelantangan
200-300 m3 dan pada proses pencelupan 30-60 m3 (Metcalf dan Eddy, 1979
dikutip dari Sugiharto 1987).
Penggunaan zat kimia seperti alkali, asam, kanji, oksidator, reduktor, elektrolit,
zat warna, polimer sintetik dan panas menyebabkan air limbah industri tekstil
bersifat alkali atau asam, COD dan BOD tinggi, berwarna, berbusa, berbau dan
panas. Tingkat pencemaran yang ditimbulkan bergantung pada bermacam bahan
yang digunakan (Pramilaksono., 1998).

Padatan total (total solid)

Jumlah zat padat yang tertinggal apabila air buangan yang diuapkan pada suhu
103 oC - 105 oC. Padatan ini dapat digolongkan menjadi padatan tersuspensi,
koloid, dan terlarut. Baku mutu limbah cair tekstil menurut SK. Gub. Jabar
No : KEP-06/KEPDA TK I JABAR/1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Industri, kandungan padatan tersuspensi dalam air limbah
pabrik tekstil sebesar 50 mg/L, sedangkan menurut Kep-51/MENLH/10/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri sebesar 60 mg/L

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-7

Suhu

Pada umumnya suhu air buangan yang dihasilkan dari proses produksi tekstil
lebih tinggi dari suhu badan air penerima, khususnya pada saat proses
pencelupan, suhu air bilasan bisa mencapai 90 C (Nemrow, 1997).

Warna

Warna air buangan industri tekstil terutama disebabkan oleh sisa-sisa zat
warna yang tidak terpakai dan juga berasal dari kotoran-kotoran yang berasal
dari serat alam. Air buangan tekstil yang berwarna dapat menyebabkan
penurunan kandungan oksigen dalam air. Penurunan kandungan oksigen
dalam waktu yang lama membuat air berwarna hitam dan berbau.

Bau

Bau yang ditimbulkan dari air buangan merupakan tanda adanya pelepasan
gas yang berbau, misalnya senyawa hydrogen sulfida (H2S). gas ini timbul
dari hasil penguraian zat organik yang mengandung belerang atau senyawa
sulfat dalam kondisi kurang oksigen sehingga terjadi proses anaerob

BOD (Biochemichal Oxygen Demand)

BOD adalah banyaknya oksigen yang diperlukan untuk menguraikan zat-zat


organik secara biokimia oleh mikroorganisme. Bahan organik dalam air
buangan tersusun dari karbon, oksigen, dan sedikit unsur-unsur lainnya,
seperti belerang, nitrogen. Mikroorganisme mempunyai potensi untuk bereaksi
dengan oksigen. Oksigen tersebut dipergunakan oleh mikroorganisme untuk
respirasi sehingga dapat menguraikan senyawa organik. Oleh karena itu, lamakelamaan kadar oksigen dalam air buangan akan berkurang dan air buangan
akan menjadi bertambah keruh dan berbau, karena terjadinya suasana anaerob
pada lingkungan air. Baku mutu limbah cair tekstil menurut SK. Gub. Jabar
No : KEP-06/KEPDA TK I JABAR/1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Industri, kandungan BOD dalam air buangan dari industri

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-8

tekstil sebesar 60 mg/L,sedangkan menurut Kep-51/MENLH/10/1995 tentang


Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri sebesar 85 mg/L.

COD (Chemical Oxygen Demand)

COD merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk menguraikan zatzat organik dalam air, sehingga parameter COD mencerminkan banyaknya
senyawa organik dalam air yang dapat dioksidasi secara kimia. Oksidator yang
umum digunakan adalah kalium dikromat. Baku mutu limbah cair tekstil
menurut SK. Gub. Jabar SK. Gub. Jabar No : KEP-06/KEPDA TK I
JABAR/1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri,
kandungan COD dalam air buangan dari industri tekstil sebesar 150 mg/L,
sedangkan menurut Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri sebesar 250 mg/L

pH

Fluktuasi pH yang sangat besar merupakan karakteristik negatif dari air


buangan industri tekstil. Variasi pH ini terutama disebabkan oleh berbagai
jenis warna yang digunakan pada proses pencelupan. Baku mutu limbah cair
tekstil menurut SK. Gub. Jabar No : KEP-06/KEPDA TK I JABAR/1999
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, pH dalam air
buangan dari industri tekstil sebesar 6 9, sama dengan Kep51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri
sebesar 6 - 9

Lemak dan minyak lemak

lemak dan minyak dalam air buangan industri biasanya ditemukan mengapung
diatas permukaan air. Lemak dan minyak sering terdapat dalam industri tekstil
yang berasal dari serat suatu zat-zat tambahan pada proses pengolahan.
Berdasarkan Kep 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair untuk
industri kadar maksimum minyak dan lemak sebesar 5,0 mg/L, sedangkan

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-9

menurut SK. Gub Jabar No : KEP-06/KEPDA TK I JABAR/1999 tentang


Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri 3.0 mg/L.

Buih

Ada surfaktan yang terlarut dalam air akan menimbulkan buih pada air
limbah. Dalam pemakaiannya senyawa-senyawa tersebut terkumpul pada
permukaan membentuk gelembung-gelembung

buih yang stabil. Jenis

surfaktan sintetik dengan sebutan alkil benzena sulfonat (ABS) yang sangat
sukar dipecahkan oleh mikroorganisme. Tetapi surfaktan jenis linier alkil
sulfonat (LAS) dapat terurai oleh mikroorganisme (Pramilaksono, 1998).

2.3 Zat Warna


Zat warna merupakan hal terpenting dalam proses pewarnaan pada industri tekstil.
Pada umumnya pewarnaan bahan tekstil berasal dari zat-zat warna yang berasal
dari alam yang membutuhkan waktu lama dan tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dalam pembuatannya. Selain itu sifat-sifat warna tersebut kurang baik,
dimana kadarnya tidak tetap, warnanya sangat terbatas, sulit dalam pemakaiannya,
dan sifat ketahanannya kurang baik. (Djufri et al., 1976)
Karena sifat-sifat warna dari alam kurang baik, maka banyak industri tekstil
beralih kepada bahan pewarna sintesis. Senyawa yang digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan warna sintesis adalah senyawa aromatik seperti hidrokarbon
aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa yang mengandung
nitrogen. (Isminingsih & Djufri, 1982)
Zat warna sintesis diperoleh dengan cara melakukan aromatisasi senyawa alifatik
yang berantai panjang, antara lain dengan penyusunan ulang, oksidasi dan
pembentukan cincin. (Isminingsih & Djufri, 1982)

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-10

2.3.1 Penggolongan Zat Warna


Pada saat ini zat warna yang umum digunakan adalah zat warna sintesis, dimana
zat warna disusun dari senyawa organik yang tidak jenuh yaitu senyawa aromatik.
Molekul zat warna merupakan ikatan dari senyawa organik yang tidak jenuh
dengan gugus auksokrom yang mengaktifkan kerja kromofor dan memberikan
daya ikat pada serat yang diwarnai. (Isminingsih & Djufri, 1982)
Kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Berbagai
jenis kromofor yang sering digunakan adalah :

Gugus azo

-N=N

Gugus nitroso

- NO

Gugus nitro

- NO2

Gugus karbonil

C=O

Gugus Antrakinon
O

Gugus auksokrom adalah gugus yang mengaktifkan kerja kromofor dan


memberikan daya ikat terhadap serat yang diwarnainya, terbagi menjadi dua
golongan yaitu :

Golongan kation : -

NH2

NH Me

N Me2

Golongan anion : -

SO3H-

Laporan Tugas Akhir

OH-

COOH-

Tinjauan Pustaka
II-11

Zat warna meliputi berbagai jenis satuan kimia dan sistem penggolongannya
didasarkan pada Colour Index (C.I) yang menggolongkan zat warna atas dua
golongan, yaitu :
1. Berdasarkan struktur molekul (C.I Constitution Number), terdiri atas nitroso,
nitro, azo, azoat dan lain-lain.
2. Berdasarkan cara pewarnaan (C.I Generic Name), maka zat warna tersebut
dapat digolongkan sebagai berikut :
Zat warna asam
Zat warna ini merupakan garam natrium dari asam-asam organik misalnya
asam sulfonat atau asam karboksilat. Zat warna ini dipergunakan dalam
suasana asam dan memiliki daya serap langsung terhadap serat-serat protein
atau poliamida.

Zat warna basa


Sering juga disebut zat warna kation karena bagian yang berwarna mempunyai
muatan positif. Warna-warnanya cerah tetapi daya tahan lunturnya kurang
baik. Zat warna ini mempunyai daya serap langsung terhadap serat-serat
protein.

Zat warna direk


Zat warna ini mempunyai zat warna asam yakni merupakan garam asam-asam
organik dan dapat mencelup secara langsung serat-serat selulosa misalnya
kapas dan rayun. Golongan zat warna ini memiliki macam warna yang cukup
banyak tetapi tahan luntur warnanya kurang baik.

Zat warna mordan


Zat warna ini tidak mempunyai daya serap terhadap serat-serat tekstil tetapi
dapat bersenyawa dengan oksida-oksida logam yang dipergunakan sebagai
mordan, membentuk senyawa yang tidak larut dalam air. Zat warna mordan
asam dipergunakan untuk mewarnai serat wol seperti halnya zat warna asam,
tetapi memiliki tahan luntur yang baik.

Zat warna kompleks logam


Zat warna kompleks logam merupakan perkembangan dari zat warna mordan.
Dalam pencelupan dengan zat warna mordan timbul kesukaran karena

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-12

terjadinya perubahan warna yang diakibatkan oleh senyawa-senyawa logam.


Untuk mengatasi kesulitan tersebut, zat warna kompleks logam dibuat dengan
mereaksikan khrom dengan molekul-molekul zat warna.

Zat warna belerang


Zat warna ini merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung
belerang pada sistem kromofornya dengan gugusan sampingan yang berguna
dalam pencelupan. Zat warna ini terutama digunakan pada serat-serat selulosa
untuk mendapatkan tahan luntur warna terhadap pencucian, tetapi dengan
biaya yang rendah. Warna-warna yang dihasilkan oleh zat warna ini biasanya
suram.

Zat warna bejana


Zat warna bejana ini tidak larut dalam air tetapi dapat dirubah menjadi
senyawa leuco yang larut dalam air dengan penambahan senyawa reduktor
(natrium dhidrosulfit dan natrium hidroksida). Serat-serat selulosa mempunyai
daya tahan terhadap senyawa leuco tersebut yang setelah diserap oleh serat
dapat dirubah menjadi bentuk pigmen yang tidak larut lagi dalam air dengan
menggunakan senyawa oksidator.

Zat warna dispersi


Zat warna ini sedikit larut dalam air tetapi mudah didispersikan atau
disuspensikan dalam air. Zat warna ini dijual dalam bentuk bubuk ataupun
pasta. Zat warna dispersi digunakan untuk mewarnai serat-serat yang
hidrofob.

Zat warna reaktif


Zat warna ini dapat bereaksi dengan selulosa atau protein sehingga
memberikan tahan luntur yang baik. Reaktifitas zat warna ini bermacammacam sehingga sebagian dapat digunakan pada suhu rendah sedangkan yang
lain harus digunakan pada suhu tinggi.

Zat warna pigmen


Zat warna ini tidak larut dalam air dan tidak mempunyai daya serap terhadap
serat tekstil. Dalam pemakaiannya zat warna ini dicampur dengan resin

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-13

sebagai pengikat, sehingga zat warna tersebut menempel pada serat dengan
pertolongan resin.

Zat warna oksidasi


Pada prinsipnya suatu senyawa dengan berat molekul rendah dicelupkan dan
kemudian dioksidasikan dalam serat dalam suasana asam untuk membentuk
molekul berwarna yang lebih besar dan tidak larut. Zat warna ini biasanya
memiliki tahan gosok yang kurang baik.

Zat warna naftol


Zat warna naftol adalah zat warna yang terbentuk didalam serat pada saat
pencelupan, dan merupakan hasil reaksi komponen senyawa naftol dengan
senyawa garam-naftol yang merupakan garam diazonium. Zat tersebut
mempunyai warna yang cerah, tetapi biasanya memiliki tahan gosok yang
kurang baik.

2.3.2 Zat Warna Reaktif


Zat warna reaktif pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 yaitu Procion MX
(ICI) dan Cibacron (CIBA), yang selanjutnya diikuti oleh Procion H (ICI),
Remazol (HOESCHST), Levalfic (BAYER), Primazin (BASF), Drimarene
(SANDOZ) dan lain-lain (Karyana., 1998).
Zat warna reaktif pada dasarnya merupakan hasil rekayasa yang gemilang dalam
desain struktur molekul zat warna sintetis, karena mampu memberikan kombinasi
berbagai sifat unggul yang diinginkan ahli celup seperti corak warnanya luas dan
cerah, mudah rata dan ketahanan luntur warnanya yang tinggi (Karyana.,1998).
Zat warna reaktif banyak digunakan oleh industri tekstil, karena dapat
dipergunakan untuk mencelup serat selulosa, serat-serat wol, sutra dan poliamida
buatan. Zat warna reaktif mempunyai berat molekul yang kecil sehingga kilapnya
akan lebih baik dari zat warna lain (Djufri et al., 1976).

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-14

Menurut reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu :
Golongan I adalah zat warna reaktif yang mengadakan reaksi substitusi
dengan serat dan membentuk ikatan pseudo eter, misalnya zat warna Procion,
Cibacron, Drimaren dan Levafix.
Golongan II adalah zat warna reaktif yang mengadakan reaksi adisi dengan
serat dan membentuk ikatan eter, misalnya zat warna Remazol, Remalan dan
Primazan.
Menurut cara pemakaiannya, zat warna reaktif dapat di bagi menjadi dua cara
yaitu :

Pemakaian secara dingin yaitu untuk zat warna reaktif yang mempunyai
kereaktifan tinggi, misalnya Procion M dengan sistem reaktif dikhloro triazin.

Pemakaian secara panas yaitu untuk zat warna reaktif yang mempunyai
kereaktifan rendah, misalnya Remazol dengan sistem reaktif vinil sulfon.

Pada umumnya struktur zat warna reaktif yang larut dalam air mempunayi bagianbagian dengan fungsi-fungsi tertentu dan dapat digambarkan sebagai berikut :
(Rasjid, 1976)
S K P R - X
Keterangan :
S

= Gugus pelarut, misalnya gugusan asam sulfanoat dan karboksil.

= Kromofor, misalnya sistem-sistem yang mengandung gugus azo,


antrakinon
dan ftalosianin.
= Gugus penghubung antara kromofor dan sistem yang reaktif, misalnya

gugus amina, sulfoamina dan amida.


R

= Sistem yang reaktif, misalnya triazin, pirimidin dan vinil.

= Gugus reaktif yang mudah terlepas dari sistem yang reaktif, misalnya
gugus khlor dan sulfat.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-15

Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakinon
dengan berat molekul yang kecil agar daya serap terhadap molekul serat tidak
besar sehingga zat-zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan.
Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat
warna terhadap asam dan basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagian dari zat
warna dan mudah lepas sehingga bagian zat yang berwarna mudah bereaksi
dengan serat (Djufri., 1976).
2.3.3 Zat warna Colour Index Reaktif Blue (CIRB) 5
Zat warna yang digunakan pada penelitian ini yaitu warna biru (CIRB 5) dengan
nama dagang Cibacron. Zat warna Colour Index Reactive Blue (CIRB) 5
merupakan salah satu zat warna reaktif yang banyak digunakan oleh industri
tekstil sebagai pewarna jeans, kain katun, dan berbagai produk tekstil lainnya.
Adapun Struktur kimia CIRB 5 dapat dilihat pada gambar berikut :

CIRB 5 berupa gugus antrakinon yang ditandai dengan ikatan O = O pada struktur
molekul zat warna tersebut. Sedangkan bagian-bagian dari fungsi susunan CIRB 5
adalah sebagai berikut :

Gugus asam sulfonat (SO3Na) sebagai gugus pelarut.

Gugus antrakinon sebagai kromofor.

Amina (NH) sebagai gugus penghubung.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-16

Vinil adalah sistem reaktif yang ditandai dengan cincin hidrokarbon aromatik
berantai.

SO3Na adalah gugus ausokrom yang menempel pada sistem yang reaktif
(vinil).

Gugus klor (CI) sebagai gugus reaktif yang mudah terlepas dari sistem yang
reaktif

2.3.4 Dampak Limbah Warna Tekstil Terhadap Lingkungan


Keberadaan industri tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya, karena
dampaknya yang mencemari lingkungan . Dalam upaya menarik perhatian
konsumen, maka produk tekstil diberi motif/corak dan warna tertentu, sehingga
sebagian besar industri penyempurnaan basah tekstil menggunakan zat warna
untuk produknya. Industri tekstil biasanya menghasilkan limbah berwarna yang
berasal dari proses pewarnaan, pembilasan/pencucian kain/kapas. Selain warna,
kandungan lainnya yang terdapat dalam limbah tekstil antara lain adalah fenol,
minyak dan lemak, krom, Fe, COD dan BOD tinggi, dan sebagainya. Di antara
karakteristik-karakteristik tersebut, warna merupakan masalah yang masih
mendapatkan perhatian cukup besar. Hal ini disebabkan karena warna yang
mencemari badan air dapat menganggu proses fotosintesis. Selain itu, limbah
berwarna juga mengganggu nilai estetika. Limbah warna yang mencemari badan
air dapat mengurangi intensitas cahaya matahari ke dalam air, sehingga dapat
menggangu proses fotosintesis.
2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah akumulasi partikel-partikel terlarut dari suatu solven (pelarut)
pada suatu permukaan adsorbent. Karena adsorpsi merupakan fenomena fisis yang
menyangkut permukaan suatu material, maka adsorbent yang baik harus berupa
struktur berpori yang memiliki permukaan cukup luas (Mohajit., 2001).
Proses adsorpsi dapat terjadi pada batas permukaan dua fasa (dikutip dari
Furqon.,2006) :

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-17

1. Cair dan gas, contohnya adsorpsi campuran gas klor dalam air.
2. Cair dan cair, contohnya adsorpsi deterjen dalam air pada permukaan emulsi
3. Cair dan padat, contohnya adsorpsi zat warna dalam air dengan arang.
Untuk selanjutnya digunakan istilah adsorbat untuk zat yang diadsorpsi dan
adsorben untuk zat yang mengadsorpsi.
Terdapat dua metode adsorpsi, yaitu adsorpsi secara fisika (physisorption) dan
adsorpsi secara kimia (chemisorption). Kedua metode terjadi ketika molekul
dalam fase cair melekat pada permukaan zat padat sebagai akibat gaya tarik pada
permukaan zat padat (adsorben) untuk mengatasi energi kinetik molekul pencemar
pada fase cair (adsorbat).
Adsorpsi fisika adalah proses interaksi antara adsorben dengan adsorbat yang
diakibatkan gaya tarik antar molekul atau gaya van der Waals. Gaya van der
waals adalah suatu gaya lemah yang timbul karena adanya gaya tarik menarik
antara senyawa dipol yang memiliki muatan berlawanan. Adsorpsi fisika bersifat
reversibel artinya dapat balik. Reversibilitas tergantung pada kekuatan gaya tarik
antara molekul adsorbat dan molekul adsorben.
Chemisorption tejadi ketika senyawa kimia dihasilkan oleh reaksi antara molekul
adsorbat dan molekul adsorben. Proses ini membentuk suatu lapisan molekul yang
tebal dan bersifat irreversibel. Untuk membentuk senyawa kimia diperlukan
energi dan energi juga diperlukan untuk membalikan proses ini, sehingga proses
Chemisorption bersifat irreversibel (Cheremisinoff, 1978).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Daya Adsorpsi (dikutip dari Furqon., 2006) :
a) Ukuran partikel : pada pemakaian fasa cair, perpindahan adsorbat dari fasa
larutan ke partikel adsorben melalui proses berikut :

Pindahnya adsorbat dari fasa larutan permukaan partikel adsorben. Molekul


adsorbat harus melalui film, lapisan pelarut yang mengelilingi adsorben,
dikenal sebagi difusi film.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-18

Adsorbat harus dipindahkan ke suatu bagian yang bisa menyerap pada bagian
pori.

Partikel adsorbat harus dapat terikat (terserap) oleh adsorben.

Gambar 2.2 Konsep molekul dalam pori-pori karbon (Cheremisinoff 1978).


b) Luas permukaan : umumnya makin luas permukaan makin banyak adsorpsi
yang terjadi
c) Volume pori : menentukan kapasitas/banyaknya adsorpsi.
d) pH : pH saat terjadinya adsorpsi mempunyai pengaruh yang kuat pada
adsorpsi. Hal ini disebabkan pH mempengaruhi terjadinya ionisasi ion
hidrogen dan ion ini sangat kuat teradsorpsi.
e) Agitasi (pengadukan) : adsorpsi akan semakin baik dengan pengadukan yang
semakin cepat karena menjadikan lapisan pelarut yang mengelilingi adsorben
menjadi semakin tipis.
f) Suhu : Adsorpsi merupakan proses endotermik, tingkat adsorpsi akan
meningkat pada suhu tinggi dan menurun pada suhu rendah.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-19

Pengaruh struktur molekul dan faktor lain terhadap kemampuan adsorpsi


(Eckenfelder, 2000) antara lain :

Peningkatan kelarutan zat terlarut suatu materi dalam cairan akan


menurunkan kemampuan adsorpsi

Rantai bercabang lebih mudah diadsorp daripada rantai panjang.


Peningkatan rantai panjang akan menurunkan adsorpsi

Umumnya larutan ber-ion kuat lebih sulit diadsorpsi daripada larutan


yang yang ber-ion lemah.

Jumlah adsorpsi hidrolitik tergantung pada kemampuan hidrolisis untuk


membentuk asam basa yang dapat diadsorpsi. Hidrolisis merupakan reaksi
kimia antara air dengan suatu zat lain menjadi zat baru dimana proses ini
melibatkan pengion air (H2O), khususnya pengaruh ion hidrogen

Molekul besar lebih mudah diadsorp daripada molekul yang kecil dengan
sifat kimia yang sama.

Molekul dengan polaritas rendah lebih mudah diadsorp daripada yang


tinggi. Kepolaran menimbulkan daya tarik kutub berlawanan antara satu
molekul dengan molekul lain, yang disebut ikatan antara molekul. Contoh
molekul yang polar adalah H2O

Pada dasarnya proses adsorpsi akan melibatkan tahapan berikut (Indarti et al,
1996)

Kontak antara fluida dengan padatan adsorban. Pada tahap ini terjadi adsorpsi
fluida ke permukaan padatan adsorben, dan fluida yang diadsorpsi disebut
sebagai adsorbat

Pemisahan fluida yang tidak mengalami adsorpsi

Regenerasi adsorben

Secara umum kecepatan adsorpsi ditunjukan oleh kecepatan difusi zat terlarut
kedalam pori-pori saluran kapiler partikel adsorban. Kecepatan difusi akan

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-20

menurun dengan meningkatnya ukuran partikel dan meningkat dengan kenaikan


konsentrasi zat terlarut dan temperatur (Mohajit, 2001).

Regenerasi
Regenerasi bertujuan untuk menyisihkan materi teradsorpsi dari pori-pori karbon.
Cara-cara regenerasi adalah (Eckenfelder.,2000):

Pemanasan (drying, desorpsi, perlakuan suhu tinggi (650 s/d 980 0 C)

Steam (penguapan)

Penambahan pelarut

Perlakuan asam atau basa

Oksidasi Kimia

Regenerasi akan menyebabkan berkurangnya berat adsorben sekitar 5 s/d 10 %,


namun tergantung dari tipe adsorben dan cara regenerasi (Eckenfelder.,2000)
2.4.1 Adsorben
Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam
yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang
halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam orde 200 1000 m2/g
adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003 0,002 m. Adsorben yang sering
digunakan adalah karbon aktif, silika gel, tanah kelantang, dan alumunium oksida.
(Bernasconi, et al, 1995 dikutip dari Melianti, 2005)
Luas permukaan mempunyai peranan yang penting dalam proses adsorpsi.
Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori
adsorben, menyebabkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian
kecepatan adsorpsi bertambah.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-21

Pada umumnya partikel adsorben tersebut berdiameter antara 0,005 cm 1,27 cm.
salah satu faktor yang paling penting dalam proses adsorpsi adalah luas
permukaan adsorben per satuan berat adsorben. Bila dibandingkan terhadap
ukuran partikel, luas permukaan internal pada pori-pori partikel lebih berpengaruh
pada proses adsorpsi. (Indarti et al, 1996)
Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granular (dengan
ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran
cair). Adsorben yang sudah digunakan dapat diregenerasi kembali. Regenerasi
adsorben dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben
maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. (Bersaconi,
1995 dikutip dari Meliani, 2005)
2.4.2 Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika terjadi bila molekul adsorbat terikat tanpa disertai reaksi pada
permukaan adsorben.
Adsorpsi fisika
Berbagai ciri adsopsi fisika antara lain (Indarti et al, 1996):
1. gas terkondensasi pada permukaan padatan pada tekanan relatif rendah dan
pada temperatur yang bersangkutan
2. panas kondensasi nilainya

lebih besar bila dibandingkan terhadap panas

penguapan (latent)
3. proses padat berlangsung secara reversibel (dapat balik)
4. temperatur adsorpsi relatif rendah.
2.4.3 Adsorpsi kimia
Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi antara molekul adsorbat dengan
molekul adsorben.
Ciri-ciri adsorpsi kimia antara lain (Indarti et al, 1996) :

Gaya adsorpsi dikenal sebagai activated adsorption

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-22

Panas reaksi yang dibebaskan, umumnya relatif lebih besar bila


dibandingkan terhadap panas adsorpsi fisika

Proses yang berlangsung tidak reversibel dan berlaku untuk semua gas

Gaya adesif nilainya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan adsorpsi
fisik

Laju adsorpsi relatif cepat dan digunakan untuk berbagai reaksi kimia
yang melibatkan katalis

2.4.4 IsothermAdsorpsi
Adsorpsi isoterm adalah hubungan keseimbangan antara konsentrasi dalam fase
fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Untuk zat
cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa, seperti bagian per
sejuta (parts per millions, ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan
sebagai massa yang teradsorpsi per satuan massa adsorben semula. Hubungan
ekuilibrium antara berat jenis, adsorpsi dan konsentrasi zat terlarut, adsorbat
dengan temperatur disebut adsorpsi isoterm (Benjamin, 2002).
Banyaknya adsorbat/zat yang diserap dapat ditentukan oleh karakteristik adsorben
juga ditentukan oleh karakteristik dan temperatur dari adsorbat. Karakteristik
penting dari adsorbat tersebut meliputi : kelarutan, struktur molekul, berat
molekul, kepolaran, kandungan hidrokarbon. (Metcalf & Eddy, 2004)
2.4.4.1 Isotherm Freundlich
Persamaan Freundlich Isoterm sering digunakan dalam penerapan praktis, karena
umumnya memberikan korelasi yang memuaskan. Freundlich Isoterm merupakan
suatu hubungan yang dinyatakan sebagai berikut (Metcalf & Eddy, 2004) :
X / M = Kf . Ce1/n............................. (2.1)
Dimana :

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-23

X/M

= jumlah adsorbate (X) yang diadsorpsi per unit berat adsorben (M),
(mg/g)

Ce

= konsentrasi adsorbat pada kondisi setimbang (mg/L)

kf

= X/M, jumlah adsorbat yang terserap oleh adsorben pada log Ce = 0

= konstanta empiris

Persamaan Freundlich dapat dilinierisasikan sehingga data percobaan dapat diplot


untuk menemukan parameter Kf dan n. Persamaan tersebut adalah (Metcalf &
Eddy, 2004) :
Log (X/M) = Log Kf + 1/n Log Ce..............(2.2)
Apabila data percobaan log (X/M) diplot terhadap log Ce, akan membentuk garis
lurus. Perpotongan dengan sumbu Y menyatakan nilai log Kf dan kemiringan dari
garis lurus menyatakan nilai 1/n.
Nilai (X/M) secara teoritis dapat dihitung dengan rumus (Brown, et al, 2000
dikutip dari Nelda 2006) :
M (qe qo) = V (Co-Ce).............................(2.3)
Dimana tipikal qo = 0
M*qe = V (Co Ce)....................................(2.4)
Dimana : M * qe = X
Maka :
X = V (Co Ce)...(2.5)
Sehingga :
qe = [V(Co Ce)] / M = X/M..(2.6)
Dimana :
Co = Konsentrasi awal adsorbat (mg/L)
Ce = Konsentrasi adsorbat pada kondisi equilibrium (mg/L)

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-24

M = Berat adsorben (g)


qe = konsentrasi adsorbat pada media pada kondisi equilibrium (mg/g)
qo = Konsentrasi awal adsorbat pada media (mg/g)
X = Jumlah adsorbat yang diikat oleh adsorben (mg)
V = Volume kerja (Liter)
Garis persamaan Freundlich (Connel & Miller, 1995 dikutip dari Nelda 2006) :
Log X/M

1/n

Log Kf
Log Ce
Persamaan Freundlich berasumsi bahwa adsorpsi terjadi secara multi-layer pada
permukaan adsorben dan adsorpsi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi.
2.4.4.2 Isotherm Langmuir
Isoterm Langmuir dikembangkan dari teori adsorpsi berdasarkan konsep
kesetimbangan dalam satu lapisan monolayer (Mohajit.,2001)
Adsorpsi Langmuir Isoterm dapat digunakan untuk bermacam-macam bahan
campuran adsorpsi yang dapat dipakai dalam pengolahan air. Keuntungan dari
adsorpsi Langmuir Isoterm adalah bahwa persamaan ini sangat sederhana.
(Montgomery, 1985)
Ciri-ciri adsorpsi Langmuir Isoterm adalah (Montgomery, 1985) :
1. Daya dari adsorpsi adalah independent
2. Reversibility dalam ikatan

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-25

3. Hanya untuk satu lapis (monolayer)

Persamaan Langmuir Isoterm merupakan suatu hubungan yang dinyatakan


sebagai berikut (Alam, et al, 2000 dikutip dari Nelda 2007) :

X
Qm * b * Ce
=
M
1 b * Ce

Dimana :
X / M = Jumlah adsorbat (X) yang diadsorpsi per unit berat adsorben (M), (mg/g)
Qm

= Kapasitas maksimum adsorbent yang mengadsorp adsorbat (mg/g)

= Konstanta empiris

Ce

= Konsentrasi adsorbat pada kondisi equilibrium

Persamaan Langmuir dapat dilinierisasikan sehingga data percobaan dapat diplot


untuk menemukan parameter 1/Qmb dan 1/Qm. Persamaan tersebut adalah (Alam,
et al, 2000) :
Ce
1
1

* Ce
( X / M ) Qm * b Qm

Apabila data percobaan Ce (X/M) diplot terhadap Ce, akan membentuk garis
lurus. Perpotongan dengan sumbu Y menyatakan nilai 1/(Qm*b) dan kemiringan
dari garis lurus menyatakan nilai 1/Qm.
Garis persamaan Langmuir :
Ce/(X/M)
1/Qm

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-26

1/(Qm * b)

Ce

2.5 Sumber Batubara


Batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami proses pembusukan,
pemampatan dan proses perubahan sebagai akibat bermacam-macam pengaruh
fisika dan kimia. Proses pembentukan Batubara dari sisa tumbuh-tumbuhan
menjadi gambut, kemudian Batubara muda sampai Batubara tua terjadi dalam dua
tahap yaitu tahap biokimia dan geokimia (Nuroniah et all., 1995)
1. Tahap Biokimia
Tahap biokimia merupakan tahap awal dari proses pembatubaraan. Pada tahap
ini terjadi proses pembusukan sisa-sisa tanaman yang disebabkan oleh
bekerjanya bakteri anaerobik. Karena produk utama proses ini adalah gambut,
maka tahap awal pembatubaraan ini sering disebut juga penggambutan
(peatification).
2. Tahap Geokimia
Dengan naiknya kedalaman timbunan sisa tanaman, maka aktivitas bakteri
aerobik digantikan oleh aktivitas bakteri anaerobik. Sampai kedalaman lebih
dari 10 m aktivitas aktivitas bakteri berkurang dan bahkan hilang sama sekali.
Proses yang terjadi kemudian adalah proses geokimia, proses inilah yang
disebut proses pembatubaraan (coalification) dimana pada proses ini terjadi
perubaan gambut menjadi lignit, sub bitumous, bituminous dan akhirnya
antrasit sampai meta antrasit.
Tingkat pembatubaraan (pematangan) bahan organik dipengaruhi oleh :

Temperatur

Lamanya waktu pemanasan

Tekanan

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-27

2.5.1 Komponen komponen Dalam Batubara


1) Air (Moisture)
Air yang terkandung dalam batubara terdiri dari :

Air bebas (free moisture) adalah air yang terikat secara mekanik dengan
batubara pada permukaan, dalam retakan atau kapiler dan mempunyai tekanan
uap

normal.

pengeringan

Kadarnya
dan

dipengaruhioleh

pembasahan

selama

bermacam-macam
penambangan,

kondisi

transportasi,

penyimpanan, benefikasi dan lain-lain.

Air lembab/kelengasan (moisture in air dried sample) adalah air yang terikat
secara fisika dalam batubara pada struktur pori-pori sebelah dalam, dan
mempunyai tekanan uap lebih rendah daripada tekanan normal. Kadar air
lembab bertambah besar dengan turunnya rank batubara.

2) Abu (Ash)
Abu di dalam batubara atau bisa juga disebut mineral matter terjadinya di dalam
batubara dapat sebagai inherent atau juga extraneous mineral matter.
Inherent mineral matter adalah berhubungan dengan tumbuhan asal
pembentukan batubara, mineral matter ini tidak dapat dihilangkan atau di cuci
dari batubara.
Extraneous mineral matter berasal dari tanah penutup atau lapisan-lapisan
yang terdapat diantara lapisan batubara, biasanya terdiri dari Slate, Shale,
Sandstone, Clay atau Limestone. Mineral matter ini dapat dikurangi sewaktu
pencucian batubara. Mineral matter atau abu dalam batubara terutama
dikomposisikan dari senyawa Si, Al, Mg, Na, K dalam bentuk silikat, oksida,
sulfida, sulfat dan pospat. Sedangkan unsur seperti As, Cu, Pb, Ni, Zn dan
Uranium terdapat sangat sedikit sekali (Trace element).
3) Zat Terbang (Volatile matter)
Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti H2, CO, metan dan
uap-uap yang mengembun seperti gas CO2 dan H2O.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-28

4) Karbon Padat (Fixed Carbon)


Karbon padat adalah karbon yang terdapat pada batubara yang berupa zat padat.
Jumlahnya ditentukan oleh kadar air, abu dan zat terbang.
Kadar karbon padat adalah : 100 % - % (air+abu+VM).

5) Unsur-unsur yang ada dalam Batubara


Unsur-unsur yang ada dalam batubara adalah terdiri dari karbon (C), hidrogen
(H), oksigen (O), belerang (S), dan nitrogen (N).
2.5.2 Industri industri yang menghasilkan Fly Ash Batubara
Industri-industri tekstil
Industri pertambangan
PLTU, dll
2.5.3 Pemanfaatan Fly Ash Batubara Media Adsorpsi
Fly ash Batubara
Sisa hasil pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan
fly ash dan bottom ash (5-10%). Persentase abu (fly ash dan bottom ash) yang
dihasilkan adalah fly ash (80-90%) dan bottom ash (10-20% ). ( Sumber PJB
Paiton ). Berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun, abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) dikategorikan
sebagai limbah B3.
Fly ash atau abu terbang adalah limbah dari hasil pembakaran dari PLTU atau
industri yang menggunakan bahan bakar batubara. Abu terbang ini berbentuk
partikel halus, bulat, tidak porous dan mempunyai sifat pozolan yaitu sifat bahan
yang dalam keadaan halus dapat bereaksi dengan kapur aktif dan pada suhu kamar
(24o-27o C) dan tidak larut dalam air. Kapur aktif adalah hasil reaksi antara kapur
tohor dengan air dan membentuk hidrat. Sifat abu batubara dari segi komposisi

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-29

kimia banyak mengandung silica amorf (>40%). Sampel Fly ash Batubara
didapatkan dari Pt Sud Chemi Indonesia

yaitu perusahaan pertambangan

Bentonit. Batubara tersebut berasal dari daerah Ombilin, Sumatera Barat dengan
kadar karbon padat 46,22% (Rukmat et all.,1992).

Sumber

Fly ash didapat dari pembakaran Batubara yang ditangkap dari :


-

Electrostatic Precipitator

Fabric Filter Baghouse

Cyclone

Abu terbang mempunyai mutu beragam tergantung pada :

Mutu dan efisiensi batubara yang digunakan

Kehalusan Batubara

Sifat Material

a. Sifat Fisik
-

Halus

Partikel serbuk

Berbentuk bulat

Padat

Kebanyakan bening (amorphous) di alam

Luas permukaannya antara 170-1000 m2/kg

Rata rata diameter partikel : 0.094 mm

Warna bervariasi mulai dari coklat, abu, hitam, tergantung dari jumlah
karbon yang tidak terbakar pada abu tersebut, makin terang warnanya
kadar karbonnya rendah.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-30

2.6 Hasil Penelitian Terdahulu


Penelitian yang dilakukan oleh Riyantiningsih Tanzis (2002), tentang
pencemaran zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil, dimana dilakukan
penyisihan zat warna asam, dispersi, direk dan reaktif oleh fly ash batubara,
didapat kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi zat warna 50 ppm oleh fly ash
batubara terhadap zat warna asam dengan kapasitas adsorpsi sebesar 22.17
mg/g dan penurunan zat warna sebesar 78.81%, zat warna dispersi dengan
kapasitas adsorpsi sebesar 1.24-10.64 mg/g dan penurunan zat warna sekitar
39-69.28%, zat warna direk dengan kapasitas adsorpsi sebesar 1.45-14.47
mg/g dan penurunan zat warna sebesar 66-77.91%, dan zat warna reaktif
dengan kapasitas adsorpsi sebesar 3.05-14.51 mg/g dan penurunan zat warna
sekitar 65-78.67%.

Penelitian yang dilakukan oleh Yamada et all (2003), tentang pencemaran zat
warna yang dihasilkan dari industri tekstil, dimana dilakukan penyisihan zat
warna secara langsung terhadap zat warna Methylene blue (MB) dan
Rhodamine blue (MB) oleh fly ash batubara didapat kapasitas adsorpsi oleh
fly ash batubara terhadap Methylene blue adalah 2.0 x 10-5 mol/g

dan

terhadap Rhodamine blue oleh fly ash batubara adalah 1.6 x 10-6 mol/g.

Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et all., (2004) tentang pencemaran zat
warna yang dihasilkan dari industri tekstil, dimana dilakukan penyisihan zat
warna secara langsung terhadap zat warna Methylene blue

oleh fly ash

batubara di dapat kapasitas adsorpsi oleh fly ash batubara terhadap Methylene
blue 5.718 mg/g.

Laporan Tugas Akhir

Tinjauan Pustaka
II-31

Laporan Tugas Akhir

Anda mungkin juga menyukai