II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Sejak zaman sebelum masehi pewarnaan bahan tekstil telah dikenal di negerinegeri tua misalnya Mesir, India dan China. Pada umumnya pewarnaan dalam
tekstil dikerjakan dengan zat pewarna yang berasal dari alam, misalnya dari
tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun mineral. Pemakaian pewarna alam tersebut
sangat sulit karena harus didahului dengan pengerjaan-pengerjaan pendahuluan
agar dapat menempel dengan baik. Saat ini pemakaian zat warna alam semakin
sedikit, sedangkan hampir semua zat warna terpenuhi dari produksi zat warna
sintetik. (Isminingsih & Djufri 1982)
Dalam industri tekstil zat warna banyak digunakan terutama pada saat pencelupan
atau pencapan. Zat warna biru seperti CIRB 5 banyak digunakan untuk pewarnaan
jeans dan berbagai produk lainnya. Konsentrasi warna biru yang umum digunakan
untuk proses pewarnaan di industri tekstil berada pada rentang 100-120 ppm.
Nilai ini diperoleh dari hasil pengukuran konsentrasi warna biru yang digunakan
pada PT. Grantex (Handayani 2001). Sekitar 50% zat warna akan diserap bahan
dan sisanya akan di daur ulang atau dibuang sebagai limbah yang pada akhirnya
masuk dalam lingkungan sekitar (Crespi dan Huertas, 1987, dikutip dari
Sudarjanto, 1998)
Limbah cair dari industri tekstil pada umumnya berasal dari proses pengkanjian,
proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, pewarnaan, pencetakan
dan proses penyempurnaan (Potter, 1994).
Industri pencelupan dan penyempurnaan tekstil merupakan industri yang
menghasilkan limbah cair yang mengandung bahan-bahan organik dan an organik
yang berupa partikel-partikel dengan ukuran yang bervariasi dan berada dalam
bentuk koloidal, padatan tersuspensi serta padatan terlarut.
Tinjauan Pustaka
II-2
bahan-bahan
organik
terlarut
dan
koloidal,
yang
Tinjauan Pustaka
II-3
Tinjauan Pustaka
II-4
Pemasakan (Scouring)
Pemasakan ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat pada serat kecuali selulosa.
Proses ini menggunakan soda kaustik, detergen, sabun, dan lain-lain.
Merserisasi
Merupakan proses pencelupan kain ke dalam larutan soda (NaOH 20% - 25%)
dalam tekanan. Proses ini bertujuan untuk mengembangkan serat sehingga
memperbaiki penampakan, kemampuan menyerap warna, dan kekuatan.
Proses Pewarnaan
Proses ini bertujuan untuk pemberian warna pada bahan atau serat secara
menyeluruh dan permanent, sehingga diperoleh bahan atau kain yang berwarna.
Proses Pencetakan/Pencapan
Maksud dari proses ini adalah pemberian warna secara tidak merata pada bahan
sehingga menimbulkan corak-corak atau motif tertentu pada bahan atau kain.
Dalam proses ini menggunakan berbagai macam zat warna reaktif dan pigmen.
Proses Akhir (Proses Penyempurnaan dan Making up)
Proses penyempurnaan bertujuan untuk memenuhi persyaratan dari penggunaan
dan sifat-sifat tertentu dari bahan sesuai dengan yang dikehendaki, atau
mendapatkan kualitas kain yang baik (permukaan kain yang licin, rata, dan
berkilau). Sedangkan proses making up meliputi beberapa proses yaitu inspecting
(pemeriksaan cacat kain), folding( melipat kain dalam bentuk lebar dengan ukuran
1 yard tiap lipatannya), rolling (penggulungan kain dengan panjang tertentu),
screen dyer (pengeringan dan pencapan merk perusahaan), packing ( pengemasan
kain dengan plastik dan kardus kemudian dikirim kepada pemesan).
Tinjauan Pustaka
II-5
Tinjauan Pustaka
II-6
Jumlah zat padat yang tertinggal apabila air buangan yang diuapkan pada suhu
103 oC - 105 oC. Padatan ini dapat digolongkan menjadi padatan tersuspensi,
koloid, dan terlarut. Baku mutu limbah cair tekstil menurut SK. Gub. Jabar
No : KEP-06/KEPDA TK I JABAR/1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Industri, kandungan padatan tersuspensi dalam air limbah
pabrik tekstil sebesar 50 mg/L, sedangkan menurut Kep-51/MENLH/10/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri sebesar 60 mg/L
Tinjauan Pustaka
II-7
Suhu
Pada umumnya suhu air buangan yang dihasilkan dari proses produksi tekstil
lebih tinggi dari suhu badan air penerima, khususnya pada saat proses
pencelupan, suhu air bilasan bisa mencapai 90 C (Nemrow, 1997).
Warna
Warna air buangan industri tekstil terutama disebabkan oleh sisa-sisa zat
warna yang tidak terpakai dan juga berasal dari kotoran-kotoran yang berasal
dari serat alam. Air buangan tekstil yang berwarna dapat menyebabkan
penurunan kandungan oksigen dalam air. Penurunan kandungan oksigen
dalam waktu yang lama membuat air berwarna hitam dan berbau.
Bau
Bau yang ditimbulkan dari air buangan merupakan tanda adanya pelepasan
gas yang berbau, misalnya senyawa hydrogen sulfida (H2S). gas ini timbul
dari hasil penguraian zat organik yang mengandung belerang atau senyawa
sulfat dalam kondisi kurang oksigen sehingga terjadi proses anaerob
Tinjauan Pustaka
II-8
COD merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk menguraikan zatzat organik dalam air, sehingga parameter COD mencerminkan banyaknya
senyawa organik dalam air yang dapat dioksidasi secara kimia. Oksidator yang
umum digunakan adalah kalium dikromat. Baku mutu limbah cair tekstil
menurut SK. Gub. Jabar SK. Gub. Jabar No : KEP-06/KEPDA TK I
JABAR/1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri,
kandungan COD dalam air buangan dari industri tekstil sebesar 150 mg/L,
sedangkan menurut Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri sebesar 250 mg/L
pH
lemak dan minyak dalam air buangan industri biasanya ditemukan mengapung
diatas permukaan air. Lemak dan minyak sering terdapat dalam industri tekstil
yang berasal dari serat suatu zat-zat tambahan pada proses pengolahan.
Berdasarkan Kep 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair untuk
industri kadar maksimum minyak dan lemak sebesar 5,0 mg/L, sedangkan
Tinjauan Pustaka
II-9
Buih
Ada surfaktan yang terlarut dalam air akan menimbulkan buih pada air
limbah. Dalam pemakaiannya senyawa-senyawa tersebut terkumpul pada
permukaan membentuk gelembung-gelembung
surfaktan sintetik dengan sebutan alkil benzena sulfonat (ABS) yang sangat
sukar dipecahkan oleh mikroorganisme. Tetapi surfaktan jenis linier alkil
sulfonat (LAS) dapat terurai oleh mikroorganisme (Pramilaksono, 1998).
Tinjauan Pustaka
II-10
Gugus azo
-N=N
Gugus nitroso
- NO
Gugus nitro
- NO2
Gugus karbonil
C=O
Gugus Antrakinon
O
Golongan kation : -
NH2
NH Me
N Me2
Golongan anion : -
SO3H-
OH-
COOH-
Tinjauan Pustaka
II-11
Zat warna meliputi berbagai jenis satuan kimia dan sistem penggolongannya
didasarkan pada Colour Index (C.I) yang menggolongkan zat warna atas dua
golongan, yaitu :
1. Berdasarkan struktur molekul (C.I Constitution Number), terdiri atas nitroso,
nitro, azo, azoat dan lain-lain.
2. Berdasarkan cara pewarnaan (C.I Generic Name), maka zat warna tersebut
dapat digolongkan sebagai berikut :
Zat warna asam
Zat warna ini merupakan garam natrium dari asam-asam organik misalnya
asam sulfonat atau asam karboksilat. Zat warna ini dipergunakan dalam
suasana asam dan memiliki daya serap langsung terhadap serat-serat protein
atau poliamida.
Tinjauan Pustaka
II-12
Tinjauan Pustaka
II-13
sebagai pengikat, sehingga zat warna tersebut menempel pada serat dengan
pertolongan resin.
Tinjauan Pustaka
II-14
Menurut reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu :
Golongan I adalah zat warna reaktif yang mengadakan reaksi substitusi
dengan serat dan membentuk ikatan pseudo eter, misalnya zat warna Procion,
Cibacron, Drimaren dan Levafix.
Golongan II adalah zat warna reaktif yang mengadakan reaksi adisi dengan
serat dan membentuk ikatan eter, misalnya zat warna Remazol, Remalan dan
Primazan.
Menurut cara pemakaiannya, zat warna reaktif dapat di bagi menjadi dua cara
yaitu :
Pemakaian secara dingin yaitu untuk zat warna reaktif yang mempunyai
kereaktifan tinggi, misalnya Procion M dengan sistem reaktif dikhloro triazin.
Pemakaian secara panas yaitu untuk zat warna reaktif yang mempunyai
kereaktifan rendah, misalnya Remazol dengan sistem reaktif vinil sulfon.
Pada umumnya struktur zat warna reaktif yang larut dalam air mempunayi bagianbagian dengan fungsi-fungsi tertentu dan dapat digambarkan sebagai berikut :
(Rasjid, 1976)
S K P R - X
Keterangan :
S
= Gugus reaktif yang mudah terlepas dari sistem yang reaktif, misalnya
gugus khlor dan sulfat.
Tinjauan Pustaka
II-15
Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakinon
dengan berat molekul yang kecil agar daya serap terhadap molekul serat tidak
besar sehingga zat-zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan.
Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat
warna terhadap asam dan basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagian dari zat
warna dan mudah lepas sehingga bagian zat yang berwarna mudah bereaksi
dengan serat (Djufri., 1976).
2.3.3 Zat warna Colour Index Reaktif Blue (CIRB) 5
Zat warna yang digunakan pada penelitian ini yaitu warna biru (CIRB 5) dengan
nama dagang Cibacron. Zat warna Colour Index Reactive Blue (CIRB) 5
merupakan salah satu zat warna reaktif yang banyak digunakan oleh industri
tekstil sebagai pewarna jeans, kain katun, dan berbagai produk tekstil lainnya.
Adapun Struktur kimia CIRB 5 dapat dilihat pada gambar berikut :
CIRB 5 berupa gugus antrakinon yang ditandai dengan ikatan O = O pada struktur
molekul zat warna tersebut. Sedangkan bagian-bagian dari fungsi susunan CIRB 5
adalah sebagai berikut :
Tinjauan Pustaka
II-16
Vinil adalah sistem reaktif yang ditandai dengan cincin hidrokarbon aromatik
berantai.
SO3Na adalah gugus ausokrom yang menempel pada sistem yang reaktif
(vinil).
Gugus klor (CI) sebagai gugus reaktif yang mudah terlepas dari sistem yang
reaktif
Tinjauan Pustaka
II-17
1. Cair dan gas, contohnya adsorpsi campuran gas klor dalam air.
2. Cair dan cair, contohnya adsorpsi deterjen dalam air pada permukaan emulsi
3. Cair dan padat, contohnya adsorpsi zat warna dalam air dengan arang.
Untuk selanjutnya digunakan istilah adsorbat untuk zat yang diadsorpsi dan
adsorben untuk zat yang mengadsorpsi.
Terdapat dua metode adsorpsi, yaitu adsorpsi secara fisika (physisorption) dan
adsorpsi secara kimia (chemisorption). Kedua metode terjadi ketika molekul
dalam fase cair melekat pada permukaan zat padat sebagai akibat gaya tarik pada
permukaan zat padat (adsorben) untuk mengatasi energi kinetik molekul pencemar
pada fase cair (adsorbat).
Adsorpsi fisika adalah proses interaksi antara adsorben dengan adsorbat yang
diakibatkan gaya tarik antar molekul atau gaya van der Waals. Gaya van der
waals adalah suatu gaya lemah yang timbul karena adanya gaya tarik menarik
antara senyawa dipol yang memiliki muatan berlawanan. Adsorpsi fisika bersifat
reversibel artinya dapat balik. Reversibilitas tergantung pada kekuatan gaya tarik
antara molekul adsorbat dan molekul adsorben.
Chemisorption tejadi ketika senyawa kimia dihasilkan oleh reaksi antara molekul
adsorbat dan molekul adsorben. Proses ini membentuk suatu lapisan molekul yang
tebal dan bersifat irreversibel. Untuk membentuk senyawa kimia diperlukan
energi dan energi juga diperlukan untuk membalikan proses ini, sehingga proses
Chemisorption bersifat irreversibel (Cheremisinoff, 1978).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Daya Adsorpsi (dikutip dari Furqon., 2006) :
a) Ukuran partikel : pada pemakaian fasa cair, perpindahan adsorbat dari fasa
larutan ke partikel adsorben melalui proses berikut :
Tinjauan Pustaka
II-18
Adsorbat harus dipindahkan ke suatu bagian yang bisa menyerap pada bagian
pori.
Tinjauan Pustaka
II-19
Molekul besar lebih mudah diadsorp daripada molekul yang kecil dengan
sifat kimia yang sama.
Pada dasarnya proses adsorpsi akan melibatkan tahapan berikut (Indarti et al,
1996)
Kontak antara fluida dengan padatan adsorban. Pada tahap ini terjadi adsorpsi
fluida ke permukaan padatan adsorben, dan fluida yang diadsorpsi disebut
sebagai adsorbat
Regenerasi adsorben
Secara umum kecepatan adsorpsi ditunjukan oleh kecepatan difusi zat terlarut
kedalam pori-pori saluran kapiler partikel adsorban. Kecepatan difusi akan
Tinjauan Pustaka
II-20
Regenerasi
Regenerasi bertujuan untuk menyisihkan materi teradsorpsi dari pori-pori karbon.
Cara-cara regenerasi adalah (Eckenfelder.,2000):
Steam (penguapan)
Penambahan pelarut
Oksidasi Kimia
Tinjauan Pustaka
II-21
Pada umumnya partikel adsorben tersebut berdiameter antara 0,005 cm 1,27 cm.
salah satu faktor yang paling penting dalam proses adsorpsi adalah luas
permukaan adsorben per satuan berat adsorben. Bila dibandingkan terhadap
ukuran partikel, luas permukaan internal pada pori-pori partikel lebih berpengaruh
pada proses adsorpsi. (Indarti et al, 1996)
Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granular (dengan
ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran
cair). Adsorben yang sudah digunakan dapat diregenerasi kembali. Regenerasi
adsorben dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben
maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. (Bersaconi,
1995 dikutip dari Meliani, 2005)
2.4.2 Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika terjadi bila molekul adsorbat terikat tanpa disertai reaksi pada
permukaan adsorben.
Adsorpsi fisika
Berbagai ciri adsopsi fisika antara lain (Indarti et al, 1996):
1. gas terkondensasi pada permukaan padatan pada tekanan relatif rendah dan
pada temperatur yang bersangkutan
2. panas kondensasi nilainya
penguapan (latent)
3. proses padat berlangsung secara reversibel (dapat balik)
4. temperatur adsorpsi relatif rendah.
2.4.3 Adsorpsi kimia
Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi antara molekul adsorbat dengan
molekul adsorben.
Ciri-ciri adsorpsi kimia antara lain (Indarti et al, 1996) :
Tinjauan Pustaka
II-22
Proses yang berlangsung tidak reversibel dan berlaku untuk semua gas
Gaya adesif nilainya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan adsorpsi
fisik
Laju adsorpsi relatif cepat dan digunakan untuk berbagai reaksi kimia
yang melibatkan katalis
2.4.4 IsothermAdsorpsi
Adsorpsi isoterm adalah hubungan keseimbangan antara konsentrasi dalam fase
fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Untuk zat
cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa, seperti bagian per
sejuta (parts per millions, ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan
sebagai massa yang teradsorpsi per satuan massa adsorben semula. Hubungan
ekuilibrium antara berat jenis, adsorpsi dan konsentrasi zat terlarut, adsorbat
dengan temperatur disebut adsorpsi isoterm (Benjamin, 2002).
Banyaknya adsorbat/zat yang diserap dapat ditentukan oleh karakteristik adsorben
juga ditentukan oleh karakteristik dan temperatur dari adsorbat. Karakteristik
penting dari adsorbat tersebut meliputi : kelarutan, struktur molekul, berat
molekul, kepolaran, kandungan hidrokarbon. (Metcalf & Eddy, 2004)
2.4.4.1 Isotherm Freundlich
Persamaan Freundlich Isoterm sering digunakan dalam penerapan praktis, karena
umumnya memberikan korelasi yang memuaskan. Freundlich Isoterm merupakan
suatu hubungan yang dinyatakan sebagai berikut (Metcalf & Eddy, 2004) :
X / M = Kf . Ce1/n............................. (2.1)
Dimana :
Tinjauan Pustaka
II-23
X/M
= jumlah adsorbate (X) yang diadsorpsi per unit berat adsorben (M),
(mg/g)
Ce
kf
= konstanta empiris
Tinjauan Pustaka
II-24
1/n
Log Kf
Log Ce
Persamaan Freundlich berasumsi bahwa adsorpsi terjadi secara multi-layer pada
permukaan adsorben dan adsorpsi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi.
2.4.4.2 Isotherm Langmuir
Isoterm Langmuir dikembangkan dari teori adsorpsi berdasarkan konsep
kesetimbangan dalam satu lapisan monolayer (Mohajit.,2001)
Adsorpsi Langmuir Isoterm dapat digunakan untuk bermacam-macam bahan
campuran adsorpsi yang dapat dipakai dalam pengolahan air. Keuntungan dari
adsorpsi Langmuir Isoterm adalah bahwa persamaan ini sangat sederhana.
(Montgomery, 1985)
Ciri-ciri adsorpsi Langmuir Isoterm adalah (Montgomery, 1985) :
1. Daya dari adsorpsi adalah independent
2. Reversibility dalam ikatan
Tinjauan Pustaka
II-25
X
Qm * b * Ce
=
M
1 b * Ce
Dimana :
X / M = Jumlah adsorbat (X) yang diadsorpsi per unit berat adsorben (M), (mg/g)
Qm
= Konstanta empiris
Ce
* Ce
( X / M ) Qm * b Qm
Apabila data percobaan Ce (X/M) diplot terhadap Ce, akan membentuk garis
lurus. Perpotongan dengan sumbu Y menyatakan nilai 1/(Qm*b) dan kemiringan
dari garis lurus menyatakan nilai 1/Qm.
Garis persamaan Langmuir :
Ce/(X/M)
1/Qm
Tinjauan Pustaka
II-26
1/(Qm * b)
Ce
Temperatur
Tekanan
Tinjauan Pustaka
II-27
Air bebas (free moisture) adalah air yang terikat secara mekanik dengan
batubara pada permukaan, dalam retakan atau kapiler dan mempunyai tekanan
uap
normal.
pengeringan
Kadarnya
dan
dipengaruhioleh
pembasahan
selama
bermacam-macam
penambangan,
kondisi
transportasi,
Air lembab/kelengasan (moisture in air dried sample) adalah air yang terikat
secara fisika dalam batubara pada struktur pori-pori sebelah dalam, dan
mempunyai tekanan uap lebih rendah daripada tekanan normal. Kadar air
lembab bertambah besar dengan turunnya rank batubara.
2) Abu (Ash)
Abu di dalam batubara atau bisa juga disebut mineral matter terjadinya di dalam
batubara dapat sebagai inherent atau juga extraneous mineral matter.
Inherent mineral matter adalah berhubungan dengan tumbuhan asal
pembentukan batubara, mineral matter ini tidak dapat dihilangkan atau di cuci
dari batubara.
Extraneous mineral matter berasal dari tanah penutup atau lapisan-lapisan
yang terdapat diantara lapisan batubara, biasanya terdiri dari Slate, Shale,
Sandstone, Clay atau Limestone. Mineral matter ini dapat dikurangi sewaktu
pencucian batubara. Mineral matter atau abu dalam batubara terutama
dikomposisikan dari senyawa Si, Al, Mg, Na, K dalam bentuk silikat, oksida,
sulfida, sulfat dan pospat. Sedangkan unsur seperti As, Cu, Pb, Ni, Zn dan
Uranium terdapat sangat sedikit sekali (Trace element).
3) Zat Terbang (Volatile matter)
Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti H2, CO, metan dan
uap-uap yang mengembun seperti gas CO2 dan H2O.
Tinjauan Pustaka
II-28
Tinjauan Pustaka
II-29
kimia banyak mengandung silica amorf (>40%). Sampel Fly ash Batubara
didapatkan dari Pt Sud Chemi Indonesia
Bentonit. Batubara tersebut berasal dari daerah Ombilin, Sumatera Barat dengan
kadar karbon padat 46,22% (Rukmat et all.,1992).
Sumber
Electrostatic Precipitator
Cyclone
Kehalusan Batubara
Sifat Material
a. Sifat Fisik
-
Halus
Partikel serbuk
Berbentuk bulat
Padat
Warna bervariasi mulai dari coklat, abu, hitam, tergantung dari jumlah
karbon yang tidak terbakar pada abu tersebut, makin terang warnanya
kadar karbonnya rendah.
Tinjauan Pustaka
II-30
Penelitian yang dilakukan oleh Yamada et all (2003), tentang pencemaran zat
warna yang dihasilkan dari industri tekstil, dimana dilakukan penyisihan zat
warna secara langsung terhadap zat warna Methylene blue (MB) dan
Rhodamine blue (MB) oleh fly ash batubara didapat kapasitas adsorpsi oleh
fly ash batubara terhadap Methylene blue adalah 2.0 x 10-5 mol/g
dan
terhadap Rhodamine blue oleh fly ash batubara adalah 1.6 x 10-6 mol/g.
Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et all., (2004) tentang pencemaran zat
warna yang dihasilkan dari industri tekstil, dimana dilakukan penyisihan zat
warna secara langsung terhadap zat warna Methylene blue
batubara di dapat kapasitas adsorpsi oleh fly ash batubara terhadap Methylene
blue 5.718 mg/g.
Tinjauan Pustaka
II-31