Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes
Disusun oleh :
Laila Azizah, S. Ked
(20090310199)
HALAMAN PENGESAHAN
MANAJEMEN PERIOPERATIF HIPERTIROID
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh:
Laila Azizah, S. Ked
20090310199
Maret 2015
Mengetahui,
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan
jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit
yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit
Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000
pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun
secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar
tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada
tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya
yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi
diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan
Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus
2.5%) (Djokomoeljanto, 2010).
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis
(80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5%
karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi
terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan
dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada
2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi
antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci, et al.,
2008).
Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang
meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang
meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan
defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukupan sel atas
hormon tiroid dan bukan kadar normal hormone tiroid dalam darah. Ada
beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone
yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan atas
tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III
di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di
otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang
dapat dihambat oleh PTU (Djokomoeljanto, 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan sternohyoid, terletak
di anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar ini terdiri dari lobus kanan dan kiri
di anterolateral dari laring dan trakea. Kedua lobus ini disatukan oleh bagian yang
menyatu yang disebut isthmus, di cincin trakea kedua dan ketiga. Kelenjar tiroid
dikelilingi oleh suatu fibrous capsule tipis, yang membuat septa kedalam kelenjar.
Jaringan ikat padat menempel pada cricoid cartilage dan superior tracheal ring. Dari
external ke capsule adalah loose sheath yang dibentuk oleh visceral portion dari lapisan
pretracheal di kedalaman cervical fascia.
cervical fascia, dan membagi kedalam cabang anterior dan superior yang menyuplai
bagian anterosuperior dari kelenjar. Arteri inferior
utama dari kelenjar ini. Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi
berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormon-hormon tiroid. Selain itu
di ruang interstitium antar folikel terdapat sel sekretorik jenis lain, yaitu sel C yang
mengeluarkan hormon kalsitonin yang berperan dalam metabolisme kalsium.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid akan segera berikatan dengan
beberapa protein plasma. Hanya sedikit (kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4)
yang tetap berada dalam bentuk bebas, sedangkan sebenarnya hanya hormon bebas yang
memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan suatu efek. Terdapat tiga protein
plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. Thyroxine-binding Globulin: mengikat 55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi.
2. Albumin: 10% T4 dan 35% T3.
3. Thyroxine-binding prealbumin: mengikat sisas 35% T4.
Hormon tiroid diatur oleh sumbuh hipotalamus-hipofisis-tiroid. Thyroidstimulating hormone, hormon tropik tiroid dari hipofisis anterior adalah regulator
fisiologis terpenting bagi sekresi hormon tiroid. Hampir semua langkah dalam
pembentukan dan pengeluaran hormon tiroid dirangsang oleh TSH. TSH juga
bertanggung jawab untuk mempertahankan integritas struktural kelenjar tiroid. Bila
stimulasi terhadap TSH berlebihan, kelenjar tiroid akan mengalami hipertrofi
(peningkatan ukuran setiap sel folikel) dan hiperplasia (peningkatan jumlah sel
folikel), demikian pula sebaliknya tanpa adanya TSH, kelenjar tiroid akan mengalami
atrofi dan sekresinya berkurang.
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) dari hipotalamus secara tropik akan
merangsang pengeluaran TSH yang akhirnya merangsang pengeluaran T3 dan T4.
Inhibisi terutama berlangsung di tingkat hipofisis anterior dengan mekanisme umpan
balik negatif. Mekanisme ini akan mempertahankan stabilitas sekresi hormon tiroid.
Sebanyak 40 g
kembali ke ECF
(nilai ini merepresentasikan jumlah hormon yang disimpan, dan iodinated thyrosine
untuk melindungi organisme dan dari tidak adanya Iodine)
Dari storage pool ini, 75 g hormonal Iodide (sebagai T3 dan T4) dilepaskan kedalam
sirkulasi
Membentuk circulating pool dari sekitar 600 g hormonal Iodide (sebagai T3 dan T4)
75 g iodine
dalam hormonal
iodide bentuk T3
dan T4 diambil
dan
dimetabolisme
oleh jaringan.
60 g iodide
dikembalikan ke
iodide pool
15 g dari hormonal
dikonjugasikan
dengan glucoronide
atau sulfate diliver dan
dieksresikan melalui
feces
2.4.1 Definisi
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang
hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid
dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis.
2.4.2 Pengaturan Faal Tiroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormon)
Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat sistem
hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.
2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit ( dan ). Sub unit sama seperti
hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG) dan
penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit adalah khusus untuk
setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor
dipermukaan sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai
kenaikan trapping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya
adalah produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormon.
Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya hormon
bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping berefek
pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi
kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut fenomena
Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap yodium
sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada penyakit
tiroid autoimun.
2.4.3 Fungsi Hormon Tiroid
Efek metabolik hormon tiroid adalah
1. Kalorigenik.
sebesar 10-20 mmHg dan tekanan diastolic secara bersamaan akan menurun (Tengadi A.K,
et.all 2008).
Sistem Respirasi
Meningkatnya kecepatan metabolism meningkatkan pemakaian oksigen dan
pembentukan karbon dioksida. Efek ini mengaktifkan semua mekanisme yan meningkatkan
kecepatan dan kedalaman pernapasan (Tengadi A.K., et.all 2008)
Sistem Pencernaan
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan nafsu makan yang berujung pada
peningkatan asupan makanan. Selain itu juga meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan motilitas saluran cerna yang berujung pada kejadian diare. Kekurangan
hormone tiroid menimbulkan konstipasi. (Tengadi A.K. et.all, 2008).
Sistem Saraf Pusat
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan aktivitas otak, juga dapat menimbulkan
disosisasi pikiran. Penderita hipertiroid cenderung cemas dan tampak cenderung
psikoneuritik seperti komplek ansietas (Tengadi A.K.et.all 2008)
Sistem Muskuler
Sedikit peningkatan hormone tiroid menyebabkan otot bereaksi dengan kuat, namun
bila hormone ini berlebih, otot-otot menjadi lemah oleh karena metabolism protein menjadi
berlebihan. Tremor otot merupakan salah satu gejala khas hipertiroid, timbul tremor halus
pada ototo, timbul dengan frekuensi 10-15 kali per detik. Tremor ini disebabkan
bertambahnya kepekaan sinaps saraf di daerah medulla yang mengatur tonus otot. Tremor ini
cara untuk memperkirakan pengaruh hormon tiroid pada sistem saraf pusat. (Tengadi A.K et
all, 2008).
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Lid
lag bermanifestasi sebagai gerakan kelopak mata yang relatif lebih lambat terhadap gerakan
bola matanya sewaktu pasien diminta perlahan-lahan melirik ke bawah. Jaringan orbita dan
otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, el mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan
eksoftalmoa (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokular
dapat hebat sekali dan pada kasus yang ekstrim penglihatan dapat terancam. Penyakit Graves
agaknya timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien ini ditemukan
antibodi imunoglobulin (IgG). Antibodi ini agaknya bereaksi dengan reseptor TSH atau
membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi tersebut dapat merangsang
fungsi troid tanpa tergantung dari TSH hipofisis yang dapat mengakibatkan hipertiroid>
Imunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI) mungkin diakibatka karena suatu kelainan
imunitas yang bersifat herediter, yang memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat
bertahan, berkembangbiak dan mensekresi imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap
beberapa faktor perngsang. Respon imun yang sama bertanggungjawab atas oftalmopati yang
ditemukan pada pasien-pasien tersebut.
Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai
komplikasi goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme timbul secara
lambat dan manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakit Graves. Penderita mungkin
mengalami aritmia dan gagal jantung yang persisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat
pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah dan pengecilan otot.
Biasanya ditemukan goiter multinoduler pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan
pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita Goiter nodular toksik
mungkin memperlihtkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktifitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada
manifestasi dramatis oftalmopati infiltrasi seperti yang terlihat pada penyakit Graves.
Hipertiroidisme pada pasien dengan goiter multi nodular sering dapat ditimbulkan dengan
pemberian iodin (efek jodbasedow ).
Penanganan goiter nodular toksik cukup sukar. Penangan keadaan hipertiroid dengan
hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal tampaknya akan
menjadi terapi pilihan. Nodul toksik dapat dihancurkan dengan
131
akan tetap ada, dan nodul-nodul yang lain akan tetap menjadi toksik, sehingga dibutuhkan
dosis ulangan.
Gejala
Angka
Subyektif
Dispnoe deffort +1
Palpitasi
+2
Lelah
+2
Tahan terhadap
-5
suhu panas
Tahan dingin
+5
Keringat banyak +3
Nervous
+2
Tangan basah
+1
Nafsu makan
+3
bertambah
Nafsu makan
-3
berkurang
Berat badan
-3
naik
Berat badan
+3
turun
Fibrilasi atrium +3
Gejala
Ada
Tidak
+3
+2
+2
-3
-2
-
Lid Retraction
+2
Lid Lag
Hiperkinesis
Tangan panas
Nadi
+1
+4
+2
-2
-2
-3
80-90 x/menit
>90 xmenit
+3
Obyektif
Tiroid Teraba
Bising tiroid
Eksoftalmus
<80x/menit
20 : hipertiroid
Keterangan: Lid Lag adalah palpebra superior tertinggal waktu melirik ke bawah
Tabel 3. Penilaian index Wayne
Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :
Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan
cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik. Hal ini
karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh hormon tiroid, sehingga lamban pulih (lazy
pituitary). Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat eksofalmometer Herthl.
Karena hormon tiroid berpengaruh
mengalami tirotoksikasi pada 3-6 bulan paska melahirkan dan memiliki kecenderungan untuk
kambuh pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Manifestasi utama pada hipertiroid adalah kehilangan berat badan, diare, kulit yang
lembab-hangat, kelemahan otot-otot besar, abnormalitas menstruasi pada wanita, osteopenia,
kondisi gugup, tidak tahan terhadap suhu panas, takikardia, tremor, aritmia jantung, prolaps
mitral valvula, dan hingga gagal jantung. Ketika fungsi tiroid dalam kondisi yang tidak
normal, hal yang paling mengacam jiwa adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler.
Apabila terdapat diare yang berat, keadaan dehidrasi harus segera dikoreksi saat
preoperatif. Anemia ringan, trombositopenia, peningkatan enzim alkaline fosfatase,
hiperkalsemia, kelemahan otot dan tulang keropos seringkali muncul pada keadaan
hipertiroid. Kelainan pada ototo yang ditimbulkan kondisi hipertiroid biasanya melibatkan
otot-otot bagian proksimal dan belum pernah ada laporan kejadian paralisis otot pada otot
pernapasan.
Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun denga kondisi hipertrioid, gejala yang
muncul seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya dan hal ini mendominasi
gejala klinik pasien-pasien ini. Beberapa tanda yang muncul akibat gangguan fungsi jantung
ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler, fibrilasi atrium (10 %) sampai kepada gagal
jantung. (Roizen M. et Fleisher L,2010)
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk menurunkan level
hormon tiroid dan memberikan counter (perlawanan balik) terhadap tanda dan gejala yang
muncul, terutama yang dapat mengancam jiwa. Penanganan medis hipertiroid menggunakan
obat-obatan yang menghambat sintesis hormon (misalnya : obat propylthioruacil,
methimazole) atau obat-obatan yang menghambat pelepasan hormon (misalnya potasium,
sodium iodida), atau obat yang melawan overaktivitas dari adrenergik seperti propanolol.
Meskipun -adrenergik antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan
ini menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi sel-sel
kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak
menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total sekarang mulai berkurang
penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien dengan goiter multinodul yang toksik
ataupun adenoma toksik soliter (Morgan, 2006).
Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti pasien-pasien
lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada anamnesis serta
waktu paruh yag pendek. Apabila akan dilakukan pembedahan darurat (emergency), sirkulasi
yang hiperdinamik dapat dikontrol dengan menggunakan titrasi esmolol (Morgan, 2006).
Obat antagonis -adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol denyut jantung.
Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang pemberiannya untuk pasienpasien dengan kondisi gagal jantung kongestif (CHF). Meski demikian, menurunkan denyut
jantung dapat meningkatkan fungsi pompa jantung itu sendiri. Kemudian, pasen hipertiroid
yang memiliki laju ventrikel yang cepat dan dalam kondisi CHF serta membutuhkan
pembedahan segera, dapat diberikan esmolol yang dipandu dengan perubahan pulmonary
artery wedge pressure. Jika dosis kecil esmolol (50 g/kg) yang diberikan tidak memperparah
kondisi gagal jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan.(Roizen M et
Fleisher L, 2010).
Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada pasien
yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik, karena keadaan
eksoftalmus pada penyakit Graves
ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik indirek dan obat-obat lain yang
menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya kemungkinan peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat menjadi obat induksi pilihan di mana
obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi
hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon hipotensi selama
induksi anestesi.
Kedalaman anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau
stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel.
Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati, karena
keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan dengan peningkatan insiden miopati dan
miastenia gravis.
sadar dengan fiberoptik dapat dipertimbangkan apabila ada bukti obstruksi jalan napas
ataupun deviasi maupun penyempitan. (Barash et all., 2009)
Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk mencapai
kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah peningkatan
respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan. Apabila menggunakan anestesi
regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada larutan anestesi lokal. (Barash et all, 2009)
Postoperatif
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai tiroid
(thyroid storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan kesadaran (agitasi,
delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24 jam setelah pembedahan
tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi
maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase,
atau keadaan asidosis metabolik maupun respiratorik.
Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau
propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit),
propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric tube)
diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi faktor yang mempresitipasi
(misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam) direkomendasikan untuk mencegah
komplikasi supresi kelenjar adrenal yang muncul.
Tiroidektomi subtotal dihubungkan dengan beberapa komplikasi pembedahan. Cedera
pada nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara serak (jika unilateral) atau afonia
dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi segera setelah
ekstubasi dalam, meskipun hal ini jarang diperlukan. Kegagalan gerak dari satu atau dua pita
suara memerlukan intubsi dan eksplorasi luka. Formasi hematom dapat menyebabkan airway
compromise dari kolapsnya trakhea pada pasien dengan trakheomalasia. Hipoparatiroid dari
terpotongnya kelenjar paratiroid yang tidak disengaja dapat menyebabkan hipokalsemia
dalam 12-72 jam. (Morgan, 2006). Pasien yang menjalani subtotaltiroidektomi juga beresiko
mengalami hipotiroid paska pembedahan dengan insidensi sebanyak 60%. Sedangkan untuk
pasien yang menjalani total tiroidektomi, sebagian besar akan mengalami hipotiroid paska
pembedahan (Crisaldo S et Mercado A.,2005)
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipertiroid adalah kumpulan gejala klinis akibat peningkatan hormon tiroid bebas
dalam plasma/sirkulasi darah yang ditandai dengan peningkatan metabolisme dan
keadaan hiperdinamik yang mana memerlukan perhatian dari seorang ahli anestesi
dalam mencegah serta menangani komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif harus ditunda sampai kondisi pasien eutiroid.
3. Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan menjalani
pembedahan darurat dapat segera dilakukan dengan sebelumnya mempersiapkan
pasien secepat mungkin untuk dikontrol/dikurangi hiperaktivitas adrenergik yang ada,
yang dilanjutkan durante operasi sampai pengawasan post operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Barash et al., 2009, Endocrine Function, Handbook of Clinical Anesthesia, 6th Edition,
Lippincott Williams & Wilkins, p 783-786
Bolaji et al., 2011, Anesthesia Management for Thyroidectomy in a Non-Euthyroid Patient
Following Cardiac Failure, Nigeria Journal of Clinical Practice, Vol 14, p 482-485)
Braunwald, et all. Harrisons Principles of Interal Medicine. Ed 15th. McGraw-Hill. New
York, USA. 2001.
Cole DJ, Schlunt M, 2004, Preoperative Evaluation and Testing, Adult Perioperative
Anesthesia The Requisites in Anesthesiology, Mosby Elsevier, p 71-73
Crisaldo S et Mercado A.,2005, Clinical Outcome During The Peri-operative
(Thyroidectomy) Period of Severely Hyperthyroid Patients with Normalized Preoperative Free-T4 Levels: Importance of I-131 Therapy as a part of Pre-operative
Preparation, World Journal of Nuclear Medicine, p 235-238
Farling, PA,2000, Thyroid Disease, British Journal of Anesthesia 85 (I) : 15-28
Morgan GE, 2006, Anesthesia for Patient With Endocrine Disease, Clinical Anesthesiology,
4th edition, McGraw-Hill, p 807-808
Roizen M. et Fleisher L.,2010. Millers Anesthesia. 7th Edition. Churcill Livingstone,
Philadelphia, Sec IV chapter 35 p 1086-1087
Sjamsuhidajat, et all. Buku Ajar Ilmu Bedah-de Jong. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2010.
Susan,H. Et Noorily M.D.,2007, Hyperthyroidism, Decision Making In Anesthesiology, 4th
Edition, Mosby Elsevier, p 188-189
Tjokroprawito A et al, 2007, Hipertiroid, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo, Surabaya, p
86-92
Wilson LM et Price SA, 2000, Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, EGC, p 1070-1075