Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

MANAJEMEN PERIOPERATIF HIPERTIROID


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes

Disusun oleh :
Laila Azizah, S. Ked
(20090310199)

SMF ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2015

HALAMAN PENGESAHAN
MANAJEMEN PERIOPERATIF HIPERTIROID
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:
Laila Azizah, S. Ked
20090310199

Telah disetujui dan dipresentasikan


tanggal

Maret 2015

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan
jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit
yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit
Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000
pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun
secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar
tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada
tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya
yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi
diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan
Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus
2.5%) (Djokomoeljanto, 2010).
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis
(80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5%
karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi
terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan
dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada
2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi
antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci, et al.,
2008).
Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang
meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang
meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan
defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukupan sel atas
hormon tiroid dan bukan kadar normal hormone tiroid dalam darah. Ada

beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone
yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan atas
tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III
di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di
otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang
dapat dihambat oleh PTU (Djokomoeljanto, 2010).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan sternohyoid, terletak
di anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar ini terdiri dari lobus kanan dan kiri
di anterolateral dari laring dan trakea. Kedua lobus ini disatukan oleh bagian yang
menyatu yang disebut isthmus, di cincin trakea kedua dan ketiga. Kelenjar tiroid
dikelilingi oleh suatu fibrous capsule tipis, yang membuat septa kedalam kelenjar.
Jaringan ikat padat menempel pada cricoid cartilage dan superior tracheal ring. Dari
external ke capsule adalah loose sheath yang dibentuk oleh visceral portion dari lapisan
pretracheal di kedalaman cervical fascia.

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid


Arteri; kelenjar tiroid memiliki aktivitas vaskular yang tinggi dan disuplai oleh arteri
superior dan inferior. Pembuluh darah ini berada di antara fibrous capsule dan loose
fascial sheath. Biasanya cabang pertama dari arteri eksternal karotid adalah superior tiroid
arteri, turun ke bagian superior kelenjar, menembus lapisan pretracheal di kedalaman

cervical fascia, dan membagi kedalam cabang anterior dan superior yang menyuplai
bagian anterosuperior dari kelenjar. Arteri inferior

tiroid, cabang terbesar dari

thyrocervical trunks dari arteri subclavian, ke bagian posterior secara superomedial ke


carotid sheath untuk mencapai bagian posterior dari kelenjar tiroid. Merekan terbagi
kedalam beberapa cabang yang menembus lapisan pretracheal di kedalaman cervical
fascia dan menyuplai bagian posterioinferior, termasuk ke bagian inferior kelenjar. Kanan
dan superior kiri dan arteri inferior tiroid beranatomosis kedalam kelenjar dan menyuplai
kelenjar.
Vena; Tiga pasang vena tiroid biasanya membentuk tiroid plexus vena di permukaan
anterior kelenjar tiroid dan anterior trachea. Vena superior tiroid bersama arteri superior
tiroid, mereka memperdarahi bagian superior tiroid. Vena middle tiroid tidak disertai
arteri dan memperdarahi bagian medial tiroid. Sedangkan vena inferior tiroid
memperdarahi bagian inferior tiroid. Vena superior dan middle tiroid akan bermuara ke
internal jugular vein sedangkan vena inferior tiroid bermuara ke brachiocephalic vein.
Lymph; pembuluh lymph dari kelenjar tiroid melewati jaringan ikat interlobular,
biasanya didekat arteri. Mereka berkomunikasi dengan suatu jaringan capsular pembuluh
lymphatic. Dari sini, pada mulanya pembuluh ini melewati prelaryngeal, pretracheal, dan
paratracheal lymph nodes. Prelaryngeal mengalir ke superior cervical lymph nodes, dan
pretracheal dan paratracheal lymph nodes mengalir ke inferior deep cervical nodes.
Disamping itu, pembuluh lymph berada di sepanjang vena superior tiroid melewati
langsung ke inferior deep cervical lymph nodes. Beberapa pembuluh lymph mengalir ke
brachiocephalic lymph nodes atau thoracic duct.
Nerve; Saraf dari kelenjar tiroid diturunkan dari superior, middle, dan inferior
cervical (symphatetic) ganglia. Mereka mencapai kelenjar melalui cardia dan superior dan
inferior thyroid periarterial plexuses yang bersama-sama tiroid arteri. Seratnya adalah
vasomotor, bukan secremotor. Mereka menyebabkan konstriksi pembuluh darah. Sekresi
endokrin dari kelenjar tiroid diregulasi secara hormonal oleh kelenjar pituitary.
2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Dalam fisiologi kelenjar tiroid, yang perlu diperhatikan adalah keberadaan sel-sel
sekretorik

utama dari kelenjar ini. Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi

gelembung-gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit fungsional yang


disebut folikel. Folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang bagian sebelah
dalamnya terdapat lumen yang dipenuhi koloid. Koloid ini merupakan suatu bahan yang

berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormon-hormon tiroid. Selain itu
di ruang interstitium antar folikel terdapat sel sekretorik jenis lain, yaitu sel C yang
mengeluarkan hormon kalsitonin yang berperan dalam metabolisme kalsium.

Gambar 2. Histologi Kelenjar Tiroid dengan Pewarnaan


Konstituen utama koloid adalah molekul-molekul besar dan kompleks yang dikenal
sebagai tiroglobulin, yang didalamnya terdapat hormon-hormon tiroid dalam berbagai
tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang mengandung
iodium, yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) yang mengandung 4 atom iodium, dan
triiodotironin (T3) yang mengandung 3 atom iodium. Kedua hormon inilah yang secara
kolektif disebut sebagai hormon tiroid.
Seluruh langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di tiroglobulin yang kemudian
meyimpan hormon-hormon tersebut. Bahan dasar untuk membuat hormon tiroid adalah
tirosin dan iodium yang keduanya diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin
merupakan suatu asam amino yang disintesis dalam jumlah memadai di dalam tubuh,
sedangkan iodium harus diperoleh dari makanan.
Langkah-langkah pembentukan, penyimpanan, dan pengeluaran hormon tiroid yaitu:

1. Sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di koloid. Tiroglobulin


dihasilkan oleh reticulum endoplasma pada sel folikel. Tirosin akan menyatu ke dalam
molekul tiroglobulin saat molekul ini dibentuk. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang
mengandung tirosin di keluarkan ke koloid melalui proses eksositosis.
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan dialirkan ke koloid melalui suatu pompa
iodium yang sangat aktif melawan gradien konsentrasi. Selain untuk sintesis hormon
tiroid, iodium tidak memiliki manfaat lain di tubuh.
3. Di dalam koloid, iodium segera melekat ke sebuah tirosin dan perlekatan ini
menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT).
4. Setelah itu terjadi penggabungan antara molekul tirosin beriodium. Penggabungan dua
DIT menghasilkan tetraiodotironin (T4), sedangkan penggabungan satu MIT dan satu
DIT menghasilkan triiodotironin (T3).
5. Apabila terdapat rangsangan, sel-sel folikel melakukan fagositosis terhadap sebagian
dari koloid untuk memasukan sebagian dari kompleks hormon-tiroglobulin ke folikel.
Kemudian enzim di folikel akan memisahkan hormon tiroid yang aktif secara biologis
(T4 dan T3), serta MIT dan DIT.
6. Hormon-hormon tiroid sangat lipofilik sehingga dengan mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk ke aliran darah. Enzim di folikel akan mengeluarkan
iodium dari MIT dan DIT (tetapi tidak dari T4 dan T3), sehingga iodium yang
dibebaskan dapat didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon tiroid.
Sekitar 90% produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid adalah dalam
bentuk T4, walaupun sebenarnya T3 memiliki aktivitas biologis empat kali lebih poten
daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan akan diubah menjadi T3
melalui pengeluaran satu iodium di hepar dan ginjal. 80% T3 dalam darah berasal dari T4
yang mengalami pengeluaran satu iodium. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon
tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel.

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid akan segera berikatan dengan
beberapa protein plasma. Hanya sedikit (kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4)
yang tetap berada dalam bentuk bebas, sedangkan sebenarnya hanya hormon bebas yang
memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan suatu efek. Terdapat tiga protein
plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. Thyroxine-binding Globulin: mengikat 55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi.
2. Albumin: 10% T4 dan 35% T3.
3. Thyroxine-binding prealbumin: mengikat sisas 35% T4.

Gambar 3. Fisiologis Axis Hipotalamus-hipofisis-tiroid pada manusia

Hormon tiroid diatur oleh sumbuh hipotalamus-hipofisis-tiroid. Thyroidstimulating hormone, hormon tropik tiroid dari hipofisis anterior adalah regulator
fisiologis terpenting bagi sekresi hormon tiroid. Hampir semua langkah dalam
pembentukan dan pengeluaran hormon tiroid dirangsang oleh TSH. TSH juga
bertanggung jawab untuk mempertahankan integritas struktural kelenjar tiroid. Bila
stimulasi terhadap TSH berlebihan, kelenjar tiroid akan mengalami hipertrofi

(peningkatan ukuran setiap sel folikel) dan hiperplasia (peningkatan jumlah sel
folikel), demikian pula sebaliknya tanpa adanya TSH, kelenjar tiroid akan mengalami
atrofi dan sekresinya berkurang.
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) dari hipotalamus secara tropik akan
merangsang pengeluaran TSH yang akhirnya merangsang pengeluaran T3 dan T4.
Inhibisi terutama berlangsung di tingkat hipofisis anterior dengan mekanisme umpan
balik negatif. Mekanisme ini akan mempertahankan stabilitas sekresi hormon tiroid.

2.3. Mekanisme iodine pathway dalam tubuh


Intake iodine melalui air atau makanan ( garam, seafood ) dalam bentuk iodide atau
iodate ion
(contoh: daily intake Iodine = 500 g/day)
Iodate ion kemudian akan diubah menjadi Iodide di lambung
Iodide dengan cepat dan efisien diabsorpsi dari GI tract
Iodide didistribusikan di ECF, juga di air liur (salivary), gastric dan breast secretion
Membentuk Iodide pool di ECF (150 g I-)
Dengan transport
Di uptake oleh kelenjar tirod aktif
(115 g I- / 24 jam)
75g dari I- digunakan untuk
sintesis hormon dan disimpan dlm
TGB
Membentuk thyroid pool (8-10mg)

Sebanyak 40 g
kembali ke ECF

(nilai ini merepresentasikan jumlah hormon yang disimpan, dan iodinated thyrosine
untuk melindungi organisme dan dari tidak adanya Iodine)
Dari storage pool ini, 75 g hormonal Iodide (sebagai T3 dan T4) dilepaskan kedalam
sirkulasi
Membentuk circulating pool dari sekitar 600 g hormonal Iodide (sebagai T3 dan T4)
75 g iodine
dalam hormonal
iodide bentuk T3
dan T4 diambil
dan
dimetabolisme
oleh jaringan.

60 g iodide
dikembalikan ke
iodide pool

15 g dari hormonal
dikonjugasikan
dengan glucoronide
atau sulfate diliver dan
dieksresikan melalui
feces

Gambar 2. Metabolisme Iodine


2.4. Hipertiroidisme

2.4.1 Definisi
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang
hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid
dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis.
2.4.2 Pengaturan Faal Tiroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormon)
Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat sistem
hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.
2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit ( dan ). Sub unit sama seperti
hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG) dan
penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit adalah khusus untuk
setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor
dipermukaan sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai
kenaikan trapping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya
adalah produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormon.
Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya hormon
bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping berefek
pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi
kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut fenomena
Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap yodium
sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada penyakit
tiroid autoimun.
2.4.3 Fungsi Hormon Tiroid
Efek metabolik hormon tiroid adalah
1. Kalorigenik.

T4 dan T3 meningkatkan O2 hampir pada semua jaringan yang metabolismenya


aktif keculai pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus, kelenjar limfe, limpa
dan hipofisis anterior.
Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid disebabkan oleh metabolisme asam lemak
yang dimobilisasi oleh hormon-hormon ini. Di samping itu hormon tiroid
meningkatka aktivitas NaK-ATP ase yang terikat pada membran di banyak
jaringan.
2. Metabolisme protein: Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik.
3. Metabolisme karbohidrat: Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi, dan degradasi insulin meningkat.
4. Metabolisme lipid: T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme,
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
5. Vitamin A: Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid.
Sistem Kardiovaskuler
Meningkatnya metabolism dalam jaringan mempercepat pemakaian oksigen dan
memperbanyak jumlah produk akhir dari metabolism yang dilepaskan dari jaringan. Efek ini
menyebabkan vasodilatasi pada sebagian besar jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran
darah. Yang terutama meningkat adalah kecepatan aliran darah kulit karena meningkatnya
kebutuhan aliran darah untuk pembuangan panas. Akibat peningkatan aliran darah, maka
curah jantung akan meningkat, dan apabila ada kelebihan hormone tiroid maka curah jantung
dapat meningkat 50% atau lebih. Hormon tiroid juga berpengaruh langusng pada eksitabilitas
jantung, yang selanjutnya meningkatkan denyut jantung. Bila sekresi hormon sedikit berubah,
maka meningkatnya aktivitas enzimatik oleh karena meningkatnya produksi hormone tiroid
itu tampaknya meningkatkan kekuatan denyut jantung. Sesungguhnya beberapa penderita
tirotoksikosis yang parah dapat meninggal karena timbulnya dekompensasi jantung sekunder,
akibat kegagalan miokard dan peningkatan beban jantung karena meningkatnya curah jantung
(Tengadi A.K et all 2008).
Tekanan arteri rata-rata biasanya tidak berubah, namun karena meningkatnya isi
sekuncup pada tiap denyut jantung dan kenaikan aliran darah melalui jaringan di antara dua
denyut jantung maka tekanan nadi akan meningkat bersaama dengan kenaikan tekanan

sebesar 10-20 mmHg dan tekanan diastolic secara bersamaan akan menurun (Tengadi A.K,
et.all 2008).
Sistem Respirasi
Meningkatnya kecepatan metabolism meningkatkan pemakaian oksigen dan
pembentukan karbon dioksida. Efek ini mengaktifkan semua mekanisme yan meningkatkan
kecepatan dan kedalaman pernapasan (Tengadi A.K., et.all 2008)
Sistem Pencernaan
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan nafsu makan yang berujung pada
peningkatan asupan makanan. Selain itu juga meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan motilitas saluran cerna yang berujung pada kejadian diare. Kekurangan
hormone tiroid menimbulkan konstipasi. (Tengadi A.K. et.all, 2008).
Sistem Saraf Pusat
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan aktivitas otak, juga dapat menimbulkan
disosisasi pikiran. Penderita hipertiroid cenderung cemas dan tampak cenderung
psikoneuritik seperti komplek ansietas (Tengadi A.K.et.all 2008)
Sistem Muskuler
Sedikit peningkatan hormone tiroid menyebabkan otot bereaksi dengan kuat, namun
bila hormone ini berlebih, otot-otot menjadi lemah oleh karena metabolism protein menjadi
berlebihan. Tremor otot merupakan salah satu gejala khas hipertiroid, timbul tremor halus
pada ototo, timbul dengan frekuensi 10-15 kali per detik. Tremor ini disebabkan
bertambahnya kepekaan sinaps saraf di daerah medulla yang mengatur tonus otot. Tremor ini
cara untuk memperkirakan pengaruh hormon tiroid pada sistem saraf pusat. (Tengadi A.K et
all, 2008).

2.4.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter miltinodular
toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi
reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular toksik ada
hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.
Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang penyebabnya
tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15% pasien graves
mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-kira 50% keluarga pasien
dengan penyakit graves mempunyai autoantibodi tiroid yang beredar dalam darah. Wanita
terkena kira-kira 5 kali lebih banyak dari pada pria. Penyakit ini terjadi pada segala umur
dengan insidensi puncak pada kelompok umur 20-40 tahun.

Penyebab Umum Hipertiroid


Graves Disease (penyebab paling sering)
Goiter multinoduler
Intake hormon tiroid yang berlebihan
Tabel 1. Penyebab umum hipertiroid
Penyakit Graves biasanya terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat puluh tahun
dan lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Terdapat predisposisi familial pada
penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya.
Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama, tiroidal dan ekstratiroidal dan
keduannya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hipeplasia kelenjar
tiroid dan hipertiroidisme akibat sekeresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi berupa hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar dan tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan turun, sering dsertai nfsu makan meningkat, palpitasi,
takikardi dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien
ditandai oleh mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Lid
lag bermanifestasi sebagai gerakan kelopak mata yang relatif lebih lambat terhadap gerakan
bola matanya sewaktu pasien diminta perlahan-lahan melirik ke bawah. Jaringan orbita dan
otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, el mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan
eksoftalmoa (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokular
dapat hebat sekali dan pada kasus yang ekstrim penglihatan dapat terancam. Penyakit Graves
agaknya timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien ini ditemukan
antibodi imunoglobulin (IgG). Antibodi ini agaknya bereaksi dengan reseptor TSH atau
membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi tersebut dapat merangsang
fungsi troid tanpa tergantung dari TSH hipofisis yang dapat mengakibatkan hipertiroid>
Imunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI) mungkin diakibatka karena suatu kelainan
imunitas yang bersifat herediter, yang memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat
bertahan, berkembangbiak dan mensekresi imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap
beberapa faktor perngsang. Respon imun yang sama bertanggungjawab atas oftalmopati yang
ditemukan pada pasien-pasien tersebut.

Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai
komplikasi goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme timbul secara
lambat dan manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakit Graves. Penderita mungkin
mengalami aritmia dan gagal jantung yang persisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat
pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah dan pengecilan otot.
Biasanya ditemukan goiter multinoduler pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan
pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita Goiter nodular toksik
mungkin memperlihtkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktifitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada
manifestasi dramatis oftalmopati infiltrasi seperti yang terlihat pada penyakit Graves.
Hipertiroidisme pada pasien dengan goiter multi nodular sering dapat ditimbulkan dengan
pemberian iodin (efek jodbasedow ).
Penanganan goiter nodular toksik cukup sukar. Penangan keadaan hipertiroid dengan
hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal tampaknya akan
menjadi terapi pilihan. Nodul toksik dapat dihancurkan dengan

131

I, tapi goiter multi nodulat

akan tetap ada, dan nodul-nodul yang lain akan tetap menjadi toksik, sehingga dibutuhkan
dosis ulangan.

Adenoma Toksik (Penyakit Plummer). Adenoma fungsional yang mensekresi T3


dan T4 berlebihan akan menyebabkan hipertiroidisme. Lesi-lesi ini mulai sebagai nodul
panas pada scan tiroid, pelan-pelan bertambah dalam ukuran dan bertahap mensupresi
lobbus lainnya. Pasien yang khas adalah individu tua ( biasanya lebih dari 40 tahun) yang
mencatat pertumbuhan akhir-akhir ini dari nodul tiroid yang telah lama ada. Terlihat gejalagejala penurunan berat badan, kelemahan, napas sesak, palpitasi, takikardi dan intoleransi
terhadap panas. Pemeriksaan fisisk mnunjukn adanya nodul berbatas jelas pada satu sisi
dengan sangat sedikit jaringan tiroid pada sisi lainnya. Pemeriksaan laboratorium biasanya
memperlihatkan TSH tersupresi dan kadar T3 serum sangat meningkat, dengan hanya
peningkatan kadar tiroksin yang boder-line. Scan menunjukkan bahwa nodul ini panas.
Penanganan diberikan propil tiourasil 100mg tiap 6jam atau metimazol 10 mg tiap 6 jam
diikuti oleh lobektomi unilateral atau dengan iodin radioaktif.
Karsinoma tiroid, terutama karsinoma folikular dapat mengkonsentrasi ion
radioaktif. Terdapat beberapa kasus kanker tiroid metastatik yang disertai hipertiroidisme.
Gambaran klinis terdiri dari kelemahan, penurunan barat badan, palpitasi, nodul tiroid tetapi
tidak ad oftalmopati. Scan tubuh dengan 131I menunjukkkan daerah-daerah dengan ambilan
yang biasanya jauh dari tiroid, contoh tulang atau paru. Terapi dengan dosis besar ion
radioaktif dapat menhancurkan deposit metastasik.
Krisis Tiroid adalah suatu keadaan klinis hipertiroidisme hyang paling berat dan mengancam
nyawa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma
multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus : infeksi, operasi, trauma, zat
kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres, emosi, penghentian obat-obat antitiroid, terapi
I131, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/stroke, palpasi
tiroid terlalu kuat
2.4.5 Diagnosis
Pada hipertiroid diagnosis dapat ditegakkan dengan manifestasi klinis yang ada dan
beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan T3, T4, dan TSH. Manifestasi
klinis dari hipertiroid dapat dilihat berdasarkan indeks Wayne dan New Castle.
Gejala dan tanda hipertiroid tampak pada tabel dalam penilaian dengan indeks Wayne.
Hasil dari penilaian dengan indeks Wayne adalah jika kurang dari 11 maka eutiroid, 11
sampai 18 adalah normal, dan jika lebih dari 19 adalah hipertiroid.

Gejala

Angka

Subyektif
Dispnoe deffort +1
Palpitasi
+2
Lelah
+2
Tahan terhadap
-5
suhu panas
Tahan dingin
+5
Keringat banyak +3
Nervous
+2
Tangan basah
+1
Nafsu makan
+3
bertambah
Nafsu makan
-3
berkurang
Berat badan
-3
naik
Berat badan
+3
turun
Fibrilasi atrium +3

Gejala

Ada

Tidak

+3
+2
+2

-3
-2
-

Lid Retraction

+2

Lid Lag
Hiperkinesis
Tangan panas
Nadi

+1
+4
+2

-2
-2

-3

80-90 x/menit

>90 xmenit

+3

Obyektif
Tiroid Teraba
Bising tiroid
Eksoftalmus

<80x/menit

20 : hipertiroid

Keterangan: Lid Lag adalah palpebra superior tertinggal waktu melirik ke bawah
Tabel 3. Penilaian index Wayne
Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :

Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan
cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik. Hal ini
karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh hormon tiroid, sehingga lamban pulih (lazy
pituitary). Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat eksofalmometer Herthl.
Karena hormon tiroid berpengaruh

terhadap semua sel/organ maka tanda kliniknya

ditemukan pada organ kita.


Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan berikut :
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila timbul
infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
2. EKG
3. Foto thoraks
2.5 Manajemen Preoperatif pada Hipertiroid
Keadaan hipertiroid biasanya disebabkan oleh kondisi pembesaran multinoduler
diffuse pada Graves disease (yang dihubungka dengan kelainan pada kulit, mata atau
keduanya). Namun, kondisi dapat muncul juga pada keadaan kehamilan, tiroiditis, adenoma
tiroid, koriokarsinoma, atau TSH-secreting pituitary adenoma. Lima persen wanita hamil

mengalami tirotoksikasi pada 3-6 bulan paska melahirkan dan memiliki kecenderungan untuk
kambuh pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Manifestasi utama pada hipertiroid adalah kehilangan berat badan, diare, kulit yang
lembab-hangat, kelemahan otot-otot besar, abnormalitas menstruasi pada wanita, osteopenia,
kondisi gugup, tidak tahan terhadap suhu panas, takikardia, tremor, aritmia jantung, prolaps
mitral valvula, dan hingga gagal jantung. Ketika fungsi tiroid dalam kondisi yang tidak
normal, hal yang paling mengacam jiwa adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler.
Apabila terdapat diare yang berat, keadaan dehidrasi harus segera dikoreksi saat
preoperatif. Anemia ringan, trombositopenia, peningkatan enzim alkaline fosfatase,
hiperkalsemia, kelemahan otot dan tulang keropos seringkali muncul pada keadaan
hipertiroid. Kelainan pada ototo yang ditimbulkan kondisi hipertiroid biasanya melibatkan
otot-otot bagian proksimal dan belum pernah ada laporan kejadian paralisis otot pada otot
pernapasan.
Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun denga kondisi hipertrioid, gejala yang
muncul seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya dan hal ini mendominasi
gejala klinik pasien-pasien ini. Beberapa tanda yang muncul akibat gangguan fungsi jantung
ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler, fibrilasi atrium (10 %) sampai kepada gagal
jantung. (Roizen M. et Fleisher L,2010)
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk menurunkan level
hormon tiroid dan memberikan counter (perlawanan balik) terhadap tanda dan gejala yang
muncul, terutama yang dapat mengancam jiwa. Penanganan medis hipertiroid menggunakan
obat-obatan yang menghambat sintesis hormon (misalnya : obat propylthioruacil,
methimazole) atau obat-obatan yang menghambat pelepasan hormon (misalnya potasium,
sodium iodida), atau obat yang melawan overaktivitas dari adrenergik seperti propanolol.
Meskipun -adrenergik antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan
ini menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi sel-sel
kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak

direkomendasikan untuk pasien hamil dan dapat

menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total sekarang mulai berkurang
penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien dengan goiter multinodul yang toksik
ataupun adenoma toksik soliter (Morgan, 2006).
Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti pasien-pasien
lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada anamnesis serta

pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk mengidentifikasi kelainan fungsi tiroidnya.


Gejala dan tanda yang harus menjadi perhatian utama pasien hipertiroid adalah terkait dengan
fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan goiter yang besar memiliki problem potensial
terkait dengan jalan napasnya. Sehingga, pada pasien ini, penilaian jalan napas menjadi hal
utama yang harus dinilai dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala kesulitan napas
misalnya positional dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan dengan beberapa derajat dari
disfagia. Pasien juga dapat menunjukkan gejala sumbatan pada vena cava terutama pada
kasus goiter retrosternal. Beberapa penilaian lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian
jarak tiromental, derajat protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi
struktur faring. (Farling PA,2000)
Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya. Selain itu juga
dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati, manifestasi sistem saraf pusat ( misal
: kondisi gugup), tanda-tanda di mata, tanda dehidrasi, maupun adanya kehamilann maupun
kehamilan mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di antaranya pemeriksaan
EKG, profil darah tes fungsi pembekuan darah,CT scan leher, foto rontgen dada (terutama
pada pasien goiter). Pasien juga harus dinilai apakah akan menjalani pembedahan elektif atau
pembedahan emergency. (Susan,H et Noorily MD, 2007 )
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk tindakan
tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan klinis dan kimiawi
yang eutiroid. Penilaian preoperatif harus termasuk penilaian terhadap fungsi tiroid. Nadi
isitirahat yang direkomendasikan adalah 85 kali/menit. Benzodizepin adalah pilihan yang
baik untuk sedasi preoperatif.(Morgan, 2006). Meski demikian, beberapa berpendapat bahwa
pemberian sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan terutama pada pasien yang memiliki
goiter yang besar yang mengganggu airway. Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan
langsung dengan kondisi hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napasnya.(Roizen M. et
Fleisher L, 2010). Preparasi cepat dibutuhkan untuk pasien yang akan menjalani pembedahan
darurat. Preparasi cepat ini dilakukan dengan memberikan kombinasi beta-bloker,
kortikosteroid, thionamid, iodium dan asam iopanoic (mengandung iodium dan penghambat
pelepasan hormon tiroid). Wanita yang akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa
dapat dalam keadaan hipertiroid dan memiliki resiko terjadi badai tiroid. (Susan,H et Noorily
MD,2007)
Obat antitiroid dan antagonis -adrenergik dilanjutkan sampai pagi hari operasi.
Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting karena kedua obat ini memiliki

waktu paruh yag pendek. Apabila akan dilakukan pembedahan darurat (emergency), sirkulasi
yang hiperdinamik dapat dikontrol dengan menggunakan titrasi esmolol (Morgan, 2006).
Obat antagonis -adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol denyut jantung.
Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang pemberiannya untuk pasienpasien dengan kondisi gagal jantung kongestif (CHF). Meski demikian, menurunkan denyut
jantung dapat meningkatkan fungsi pompa jantung itu sendiri. Kemudian, pasen hipertiroid
yang memiliki laju ventrikel yang cepat dan dalam kondisi CHF serta membutuhkan
pembedahan segera, dapat diberikan esmolol yang dipandu dengan perubahan pulmonary
artery wedge pressure. Jika dosis kecil esmolol (50 g/kg) yang diberikan tidak memperparah
kondisi gagal jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan.(Roizen M et
Fleisher L, 2010).
Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada pasien
yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik, karena keadaan
eksoftalmus pada penyakit Graves

meningkatkan resiko abrasi kornea sampai dengan

ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik indirek dan obat-obat lain yang
menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya kemungkinan peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat menjadi obat induksi pilihan di mana
obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi
hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon hipotensi selama
induksi anestesi.
Kedalaman anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau
stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel.
Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati, karena
keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan dengan peningkatan insiden miopati dan
miastenia gravis.

Hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestesia seperti tidak

berubahnya minimum alveolar concetration. (Morgan, 2006). Meski demikian, terkadang


kebutuhan dosis anestesi intravena diperlukan. (Susan H et Noorily MD, 2007). Untuk
menumpulkan respon hemodinamik saat melakukan intubasi dapat diberikan lidokain,
fentanyl atau kombinasi keduanya yang diberikan sebelum intubasi. (Bolaji et all, 2011).
Pasien dengan goiter yang besar dan mengalami obstruksi jalan napas dikelola seperti pasienpasien lain yang mengalami gangguan jalan napas. (Roizen M et Fleisher L, 2010). Kesulitan
intubasi meningkat kejadiannya pada pasien dengan goiter. Induksi inhalasi atau intubasi

sadar dengan fiberoptik dapat dipertimbangkan apabila ada bukti obstruksi jalan napas
ataupun deviasi maupun penyempitan. (Barash et all., 2009)
Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk mencapai
kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah peningkatan
respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan. Apabila menggunakan anestesi
regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada larutan anestesi lokal. (Barash et all, 2009)
Postoperatif
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai tiroid
(thyroid storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan kesadaran (agitasi,
delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24 jam setelah pembedahan
tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi
maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase,
atau keadaan asidosis metabolik maupun respiratorik.
Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau
propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit),
propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric tube)
diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi faktor yang mempresitipasi
(misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam) direkomendasikan untuk mencegah
komplikasi supresi kelenjar adrenal yang muncul.
Tiroidektomi subtotal dihubungkan dengan beberapa komplikasi pembedahan. Cedera
pada nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara serak (jika unilateral) atau afonia
dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi segera setelah
ekstubasi dalam, meskipun hal ini jarang diperlukan. Kegagalan gerak dari satu atau dua pita
suara memerlukan intubsi dan eksplorasi luka. Formasi hematom dapat menyebabkan airway
compromise dari kolapsnya trakhea pada pasien dengan trakheomalasia. Hipoparatiroid dari
terpotongnya kelenjar paratiroid yang tidak disengaja dapat menyebabkan hipokalsemia
dalam 12-72 jam. (Morgan, 2006). Pasien yang menjalani subtotaltiroidektomi juga beresiko
mengalami hipotiroid paska pembedahan dengan insidensi sebanyak 60%. Sedangkan untuk
pasien yang menjalani total tiroidektomi, sebagian besar akan mengalami hipotiroid paska
pembedahan (Crisaldo S et Mercado A.,2005)

BAB III
KESIMPULAN

1. Hipertiroid adalah kumpulan gejala klinis akibat peningkatan hormon tiroid bebas
dalam plasma/sirkulasi darah yang ditandai dengan peningkatan metabolisme dan
keadaan hiperdinamik yang mana memerlukan perhatian dari seorang ahli anestesi
dalam mencegah serta menangani komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif harus ditunda sampai kondisi pasien eutiroid.
3. Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan menjalani
pembedahan darurat dapat segera dilakukan dengan sebelumnya mempersiapkan
pasien secepat mungkin untuk dikontrol/dikurangi hiperaktivitas adrenergik yang ada,
yang dilanjutkan durante operasi sampai pengawasan post operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Barash et al., 2009, Endocrine Function, Handbook of Clinical Anesthesia, 6th Edition,
Lippincott Williams & Wilkins, p 783-786
Bolaji et al., 2011, Anesthesia Management for Thyroidectomy in a Non-Euthyroid Patient
Following Cardiac Failure, Nigeria Journal of Clinical Practice, Vol 14, p 482-485)
Braunwald, et all. Harrisons Principles of Interal Medicine. Ed 15th. McGraw-Hill. New
York, USA. 2001.
Cole DJ, Schlunt M, 2004, Preoperative Evaluation and Testing, Adult Perioperative
Anesthesia The Requisites in Anesthesiology, Mosby Elsevier, p 71-73
Crisaldo S et Mercado A.,2005, Clinical Outcome During The Peri-operative
(Thyroidectomy) Period of Severely Hyperthyroid Patients with Normalized Preoperative Free-T4 Levels: Importance of I-131 Therapy as a part of Pre-operative
Preparation, World Journal of Nuclear Medicine, p 235-238
Farling, PA,2000, Thyroid Disease, British Journal of Anesthesia 85 (I) : 15-28
Morgan GE, 2006, Anesthesia for Patient With Endocrine Disease, Clinical Anesthesiology,
4th edition, McGraw-Hill, p 807-808
Roizen M. et Fleisher L.,2010. Millers Anesthesia. 7th Edition. Churcill Livingstone,
Philadelphia, Sec IV chapter 35 p 1086-1087
Sjamsuhidajat, et all. Buku Ajar Ilmu Bedah-de Jong. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2010.
Susan,H. Et Noorily M.D.,2007, Hyperthyroidism, Decision Making In Anesthesiology, 4th
Edition, Mosby Elsevier, p 188-189
Tjokroprawito A et al, 2007, Hipertiroid, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo, Surabaya, p
86-92
Wilson LM et Price SA, 2000, Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, EGC, p 1070-1075

Anda mungkin juga menyukai