Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN MODEL CORE

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA
(Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI pada Salah Satu SMA Negeri
di Kota Bandung)
Arsinah Rokhaeni 1)
Tatang Herman 2)
Asep Syarif Hidayat 2)

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan eksperimen yang difokuskan pada peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa dengan menerapkan model CORE dalam
pembelajaran matematika. Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini
diantaranya adalah kemampuan koneksi matematis yang masih rendah sehingga
diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
koneksi matematis siswa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan model CORE lebih baik
daripada siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan metode ekspositori serta memperoleh informasi
tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan
model CORE. Penelitian ini menggunakan Pretest and Posttest Control Group
Design. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI program IPA di salah satu
SMA Negeri di kota Bandung. Indikator kemampuan koneksi matematis yang
diukur dalam penelitian ini adalah, mengenali representasi ekuivalen dari konsep
yang sama, mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke
prosedur representasi lain yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkaitan
antar topik matematika dan keterkaitan di luar matematika, dan menggunakan
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pokok bahasan yang dijadikan sebagai
bahan ajar dalam penelitian ini adalah statistika. Instrumen yang digunakan adalah
tes kemampuan koneksi matematis siswa, angket siswa, lembar observasi, dan
jurnal harian siswa. Berdasarkan hasil pengolahan secara statistik, diperoleh
kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh model pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa
yang
memperoleh pembelajaran konvensional dan sebagian besar siswa menunjukkan
sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan
model CORE yang telah dilakukan.
Kata kunci: model pembelajaran CORE (Connecting Organizing Reflecting
Extending), kemampuan koneksi matematis.

Keterangan:

1)
2)

Alumnus Jurusan Pendidikan Matematika UPI


Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Matematika UPI

1. Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dewasa ini
semakin pesat, sehingga memungkinkan diperolehnya informasi yang melimpah
dengan cepat dan mudah. Agar dapat bertahan pada keadaan yang selalu berubah
dan kompetitif ini, setiap orang dituntut untuk memiliki kemampuan memperoleh,
memilih, dan mengelola informasi, kemampuan untuk dapat berpikir kritis,
sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan untuk bekerja sama secara efektif. Hal
tersebut tercantum dalam standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
pada mata pelajaran matematika tahun 2007. Sikap dan cara berpikir seperti ini
dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika, khususnya di bangku sekolah merupakan proses
belajar-mengajar yang di dalamnya memuat unsur mendidik yang sangat kental.
Sehingga, ketika siswa sudah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, siswa
diharapkan dapat memiliki dan mengaplikasikan kemampuan dan nilai-nilai
matematika dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika

siswa mengenyam

pendidikan di bangku kuliah maupun ketika siswa sudah berada di dunia kerja.
Menurut Suherman, dkk. (2001: 59) salah satu fungsi matematika sekolah
adalah sebagai pembentukan pola pikir dan pengembangan penalaran untuk
mengatasi berbagai permasalahan, baik masalah dalam mata pelajaran ataupun
dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat tersebut senada dengan Coernellius (dalam
MDUOLQD, 2MM4: 2M) \DQJ
PHQJHPXNXNDQ EDKZD, TXMXDQ SHPEHODMDUDQ
matematika di sekolah diantaranya adalah untuk memberikan perangkat dan
keterampilan yang perlu untuk penggunaan dalam dunianya, kehidupan sehariKDUL, GDQ GHQJDQ PDWD SHODMDUDQ ODLQ. PHQGDSDW-pendapat tersebut juga sejalan
dengan Davis (dalam Marlina, 2004: 21) \DQJ PHQ\DWDNDQ EDKZD TXMXDQ
pembelajaran

matematika

salah

satunya

memberikan

sumbangan

pada

permasalahan sains, teknik, filsafat, dan bidang-ELGDQJ ODLQQ\D.


Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum
di Indonesia menyiratkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai yaitu: (1)
Kemampuan

pemecahan

masalah

(problem

solving);

(2)

Kemampuan

berargumentasi (reasoning); (3) Kemampuan berkomunikasi (communication);


(4) Kemampuan membuat koneksi (connection); dan (5) Kemampuan representasi
(representation). Kelima hal tersebut oleh NCTM (1999) dikenal dengan istilah
standar proses daya matematis (mathematical power process standards), di mana
kemampuan-kemampuan ini juga termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat
tinggi (high-order mathematical thinking).
Salah satu komponen dari berpikir matematis tingkat tinggi (high-order
mathematical thinking) adalah koneksi matematis. Menurut House dan Coxford
(Darhim, 2008: 9)

koneksi matematis merupakan pengaitan antar topik

matematika, matematika dengan mata pelajaran lain atau topik lain, serta
pengaitan matematika dengan kehidupan. Koneksi matematis bertujuan untuk
membantu persepsi siswa dengan cara melihat matematika sebagai bagian yang
terintegrasi dengan kehidupan. Tujuan pembelajaran koneksi matematis di sekolah
dapat dirumuskan ke dalam tiga bagaian yaitu memperluas wawasan pengetahuan
siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan
sebagai materi yang berdiri sendiri, serta mengenal relevansi dan manfaat
matematika dalam konteks dunia nyata.
Berdasarkan uraian di

atas, dapat dikatakan

secara umum bahwa

kemampuan berpikir tingkat tinggi, khususnya kemampuan koneksi matematis,


sangat penting dimiliki oleh siswa. Tetapi sayangnya, menurut hasil survey yang
dilakukan oleh Programme for International Student Assesment bahwa Indonesia
menduduki peringkat 58 dari 65 negara partisipan (PISA, 2009). Penelitian
tersebut mengemukakan bahwa kemampuan siswa dalam menerapkan konsepkonsep matematika ke dalam masalah-masalah yang

berkitan (yang dikenal

dengan istilah koneksi matematis) sangat rendah. Hasil dari penelitian itu
menunjukkan bahwa 69% siswa Indonesia hanya mampu mengenali tema
masalah, tetapi tidak mampu menemukan keterkaitan antara tema masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki. Keterkaitan yang dimaksud di sini adalah
koneksi antara tema masalah dengan segala pengetahuan yang ada.
Rendahnya kemampuan koneksi matematis siswa dapat berpengaruh pada
prestasi belajar siswa. Menurut Wahyudin (dalam Rahman, 2010: 4), penyebab

rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran matematika diantaranya karena


proses pembelajaran yang belum optimal. Pada proses pembelajaran, umumnya
guru hanya sibuk sendiri menjelaskan apa yang telah dipersiapkan sebelumnya,
sedangkan siswa hanya sebagai penerima informasi. Akibatnya, siswa hanya
mengerjakan apa yang dicontohkan oleh guru, tanpa tahu makna dan pengertian
dari apa yang ia kerjakan. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki
kemampuan mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, mengenali
hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi lain
yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkitan antar topik matematika dan
keterkaitan topik di luar matematika, dan menggunakan matematika dalam
kehidupan sehari-hari.

Keempat kemampuan

tersebut merupakan indikator

kemampuan koneksi matematis dalam pembelajaran

matematika. Dengan

demikian, kemampuan koneksi matematis siswa harus dikembangkan agar


kemampuan koneksi matematis siswa dapat meningkat.
Faktor-faktor yang
pembelajaran

membuat

mempengaruhi keberhasilan siswa


para

praktisi

dan

peneliti

dalam proses

pendidikan

untuk

mengembangkan teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran yang digunakan di


lapangan diantaranya kegiatan pembelajaran yang berpusat pada guru dan
kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada kegiatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa, keaktifan siswa dalam pembelajaran diharapkan dapat
meningkatkan daya ingat siswa terhadap materi yang disampaikan. Berdasarkan
hasil penelitian, diungkapkan bahwa pada umumnya manusia mampu mengingat
20 % dari apa yang dibaca, 30 % dari apa yang didengar, 40 % dari apa yang
dilihat, 50 % dari apa yang dikatakan, 60 % dari apa yang dikerjakan dan 90 %
dari apa yang dilihat, didengar, dikatakan dan dikerjakan (Rose dan Nicholl, 2009:
192).
Saat ini terdapat beragam metode pembelajaran yang berpusat pada siswa
dan sedang dikembangkan dalam bidang pendidikan matematika secara khusus
untuk menjawab segala kebutuhan siswa akan pendidikan tersebut. Salah satunya
adalah metode diskusi. Berdasarkan hasil penelitian, strategi belajar yang
diberikan

dengan

menonjolkan

aktivitas

diskusi

dapat

mempengaruhi

perkembangan pengetahuan siswa (Jacob, 2005: 13). Jacob menambahkan bahwa


dengan diskusi, siswa dapat mengkoneksikan diri untuk balajar,

dapat

meningkatkan berpikir berpikir reflektif dan dapat memperluas pengetahuan


siswa.
Model CORE merupakan salah satu model pembelajaran dengan metode
diskusi. Model CORE mencakup empat proses, yaitu Connecting Organizing
Reflecting Extending (Calfee et. al, dalam Jacob, 2005: 13). Dalam Connecting,
siswa

diajak

untuk

pengetahuannya

dapat

terdahulu.

menghubungkan
Organizing

pengetahuan

membantu

mengorganisasikan pengetahuannya. Reflecting, siswa

siswa

baru

dengan

untuk

dapat

dilatih untuk

dapat

menjelaskan kembali informasi yang telah mereka dapatkan. Terakhir yaitu


Extending atau proses memperluas pengetahuan siswa, salah satunya dengan jalan
diskusi.
Model pembelajaran CORE siswa dapat menjembatani siswa untuk
mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, mengenali hubungan
prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi lain yang
ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkitan antar topik matematika dan
keterkaitan topik di luar matematika, dan menggunakan matematika dalam
kehidupan sehari-hari,

sehingga dapat mempengaruhi kemampuan

koneksi

matematis siswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik melaksanakan suatu penelitian
GHQJDQ MXGXO Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan maka hipotesis yang akan diuji
dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa
yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model CORE lebih baik dari pada
siswa yang mendapat pembelajaran mengunakan model ekspositori.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuasi
eksperimen yang

menelaah penerapan model CORE dalam pembelajaran

matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dan

bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat dan perlakuan yang dilakukan
terhadap variabel bebas kemudian dilihat hasilnya

pada variabel terikat.

Pembelajaran dengan model CORE sebagai variabel bebas dan variabel terikatnya
adalah kemampuan koneksi matematis siswa.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest-PostestControl Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA
Negeri 6 Bandung dan dipilih sampel secara acak diperoleh kelas XI IPA 5
sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA 4 sebagai kelas eksperimen kemudian
kedua kelompok tersebut mendapatkan tes awal dan tes akhir.
Adapun instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah instrumen penelitian yang berbentuk tes adalah tes kemampuan koneksi
matematis, sedangkan instrumen penelitian yang berbentuk non-tes adalah angket
siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa.
Pengolahan tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan
menggunakan uji statistik terhadap kemampuan awal koneksi matematis siswa,
kemampuan akhir koneksi matematis siswa, dan indeks gain untuk mengetahui
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis pada kedua kelas. Data yang
diperoleh melalui angket siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa diolah
dan dianalisis untuk mengetahui respons siswa terhadap model pembelajaran
CORE.
3. Hasil Penelitian
Hasil rata-rata tes awal untuk kelas eksperimen adalah 31,875; sedangkan
rata-rata tes awal untuk kelas kontrol adalah 34,575. Setelah dilakukan uji
normalitas, didapat bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas
kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan
awal koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari populasi berdistribusi
normal. Karena kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, maka
disimpulkan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah
menguji homogenitas kedua sampel. Berdasarkan uji homogenitas diperoleh nilai

Sig sebesar 0,686. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan
bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol dan eksperimen
memiliki varians yang homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap
kesamaan dua rata-rata. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh nilai
Sig sebesar 0,262. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan
bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas
kontrol adalah sama.
Langkah pengujian statistik selanjutnya dilakukan terhadap peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa, yaitu

dengan melakukan pengujian

terhadap kemampuan akhir koneksi matematis dan peningkatan kemampuan


koneksi matematis siswa. Peningkatan kemampuan koneksi matematis dalam
penelitian ini digambarkan oleh indeks gain kemampuan koneksi matematis yang
telah diolah.
Hasil rata-rata tes akhir untuk kelas eksperimen adalah 70,875; sedangkan
rata-rata tes akhir untuk kelas kontrol adalah 58,675. Setelah dilakukan uji
normalitas, didapat bahwa kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas
kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan
akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Karena kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal,
maka disimpulkan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah
menguji homogenitas kedua sampel. Berdasarkan uji homogenitas diperoleh nilai
Sig sebesar 0,286. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan
bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol dan eksperimen
memiliki varians yang homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap
perbedaan dua rata-rata. Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata diperoleh nilai
Sig sebesar 0,001. Nilai ini kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan bahwa
kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
adalah berbeda.
Rata-rata indeks gain kelas eksperimen sebesar 0,591 dan kelas kontrol
sebesar 0,383. Dengan deskripsi data tersebut, dapat dilihat bahwa ternyata

terdapat perbedaan rata-rata indeks gain pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Setelah dilakukan uji normalitas, didapat bahwa kemampuan akhir koneksi
matematis siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan
untuk kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena salah satu sampel berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal, maka disimpulkan bahwa kemampuan
akhir koneksi matematis siswa berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah menguji perbedaan dua ratarata non parametrik. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh nilai Sig
sebesar 0,000. Nilai ini kurang dari 0,05; sehingga dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan model
pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model
pembelajaran ekspositori.
Hasil pengolahan data angket, dan pedoman wawancara menunjukkan
bahwa sebagian besar siswa memberikan respons baik terhadap pembelajaran
matematika dengan menggunakan model pembelajaran CORE.
4. Penutup
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada seluruh tahapan
penelitian yang dilakukan di kelas XI SMA Negeri 6 Bandung, dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya
dengan

model

pembelajaran

CORE

lebih

baik

daripada

siswa

yang

pembelajarannya dengan model pembelajaran ekspositori dan sebagian besar


siswa menunjukkan respons yang baik terhadap pembelajaran matematika dengan
menggunakan model pembelajaran CORE.
Adapun saran bagi yang hendak menerapkan model pembelajaran CORE
antara lain: jika melaksanakan penelitian dalam jangka waktu yang agak lama,
diusahakan untuk mengemas pembelajaran sedemikan sehingga siswa tidak
merasa bosan, namun masih dalam koridor yang

sejalan dengan

model

pembelajaran yang digunakan; jika menggunakan model ini dalam penelitian,


sebaiknya peneliti selalu mengarahkan baik pertanyaan maupun jawaban siswa

agar waktu yang digunakan saat diskusi kelas lebih efektif; siapkan rencana lain
kemudian

siapkan pula

perlengkapan

yang dibutuhkan dalam rencana

pembelajaran yang dibuat. Misalkan, jika kita merencanakan menggunakan


infokus dalam menyajikan materi pengantar dalam proses pembelajaran, siapkan
pula perlengakapan yang dibutuhkan jika mati listrik ataupun perlengkapan tidak
dapat digunakan yaitu dengan menggunakan karton sebagai alat bantu visual
dalam penyampaian materi pembelajaran; pembelajaran yang dilakukan pada
bulan ramadhan dibutuhkan pengalokasian waktu yang lebih efektif, dikarenakan
waktu untuk satu jam pembelajaran disediakan lebih sedikit dari waktu
pembelajaran seperti biasanya

(selain bulan

ramadhan); untuk penelitian

selanjutnya mengenai penggunaan model pembelajaran CORE dapat dilakukan


pada materi, indikator, dan kompetensi matematis yang berbeda dengan subjek
penelitian yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA
Arini, S. (2010). Penerapan Model Computer-Based Learning dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan
Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Baharuddin. dan Wahyuni, E.N. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Darhim. (2008). Pembuktian, Penalaran, dan Komunikasi Matematika. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Permendiknas tentang Pelaksanaan
Standar
Isi.
Jakarta:
depdiknas.
[On
line]
Tersedia:
http://palembang.bpk.go.id/web/files/2009/10/Lampiran-Permen-Dik-NAsNo.14-Thn.2007-Standar-Isi-untuk-Program-Paket-A-B-C.pdf .
[12 April
2011].
Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE dalam Pembelajaran Logika
dengan Pendekatan Reciprocal Teaching bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung
dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Piloting FPMIPA UPI. tidak
diterbitkan.
Justicia, M. (2010). Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika
dengan Pendekatan Katerampilan Metakognitif untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Logis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Kusumah, Y.S. (2003). Desain dan Pengembangan Bahan Ajar Matematika
Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer. Makalah dalam Seminar
Nasional Pendidikan MIPA IMSTEP-JICA. Bandung: FPMIPA UPI.
Kusumah, Y.S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi ComputerBased Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical
Thinking. Bandung: UPI Press.
Marlina, D. (2004). Pembelajaran Matematika Melalui Penyusunan Peta Konsep
Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Skripsi
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
NCTM. (1999). Standar Evaluation Standars 9-12. [On line]. Tersedia: http:
//www.sunysb.edu/pep/docs/NCTM Prof Stds Eval. Pdf. [12 April 2011].

Nurhasanah, L. (2009). Meningkatkan Kompetensi Strategis (Strategic


Competence) Siswa SMP Melalui Model PBL (Problem Based Learning).
Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
PISA. (2009). Pisa Country Profiles. [On line]. Tersedia: //www.pisa.oecd.org.
[12 April 2011].
Priyatno, D. (2009). 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta:
Andi.
Rahman, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif dan Self-concept Siswa. Tesis pada PPS UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Rose, C., dkk. Penerjemah: Dedi Ahimsa. (2009). Accelerated Learning for The
Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI. Bandung: Nuansa.
Ruseffendi, E. T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Bidang Eksakta
dan Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.
Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:
IKIP Bandung Press.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika.
Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Setiawan, A. (2008). Implementasi Model Pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs) Sebagai Upaya untuk Meningkatkan
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.
Skripsi UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E., dkk. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi
Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: JICA UPI.
Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Hands Out
Perkuliahan Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2003). Berpikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana Dikembangkan Pada Siswa SD dan SM dan Mahasiswa Calon
Guru. Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya FKIP Unsri. Palembang,
20-21 Agustus 2003.
Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada
Siswa
Sekolah
Menengah.
[On
line].
Tersedia:
http:
//www.docstoc.com/docs/62326333/Pembelajaran-Matematika [12 April
2011]
Suzanna, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran
dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Tresnawati, Y. (2006). Penerapan Model CORE dengan pendekatan
Keterampilan Metakognitif pada Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Skripsi Pendidikan
Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Tusniawati. (2007). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terstruktur
terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA. Skripsi Jurusan
Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam
Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis pada
PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Yulianti, K. (2004). Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) pada
Pembelajaran Barisan dan Deret dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan
Koneksi Matematik. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung:
tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai