ABSTRAK
Penelitian ini merupakan eksperimen yang difokuskan pada peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa dengan menerapkan model CORE dalam
pembelajaran matematika. Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini
diantaranya adalah kemampuan koneksi matematis yang masih rendah sehingga
diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
koneksi matematis siswa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan model CORE lebih baik
daripada siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan metode ekspositori serta memperoleh informasi
tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan
model CORE. Penelitian ini menggunakan Pretest and Posttest Control Group
Design. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI program IPA di salah satu
SMA Negeri di kota Bandung. Indikator kemampuan koneksi matematis yang
diukur dalam penelitian ini adalah, mengenali representasi ekuivalen dari konsep
yang sama, mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke
prosedur representasi lain yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkaitan
antar topik matematika dan keterkaitan di luar matematika, dan menggunakan
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pokok bahasan yang dijadikan sebagai
bahan ajar dalam penelitian ini adalah statistika. Instrumen yang digunakan adalah
tes kemampuan koneksi matematis siswa, angket siswa, lembar observasi, dan
jurnal harian siswa. Berdasarkan hasil pengolahan secara statistik, diperoleh
kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh model pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa
yang
memperoleh pembelajaran konvensional dan sebagian besar siswa menunjukkan
sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan
model CORE yang telah dilakukan.
Kata kunci: model pembelajaran CORE (Connecting Organizing Reflecting
Extending), kemampuan koneksi matematis.
Keterangan:
1)
2)
1. Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dewasa ini
semakin pesat, sehingga memungkinkan diperolehnya informasi yang melimpah
dengan cepat dan mudah. Agar dapat bertahan pada keadaan yang selalu berubah
dan kompetitif ini, setiap orang dituntut untuk memiliki kemampuan memperoleh,
memilih, dan mengelola informasi, kemampuan untuk dapat berpikir kritis,
sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan untuk bekerja sama secara efektif. Hal
tersebut tercantum dalam standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
pada mata pelajaran matematika tahun 2007. Sikap dan cara berpikir seperti ini
dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika, khususnya di bangku sekolah merupakan proses
belajar-mengajar yang di dalamnya memuat unsur mendidik yang sangat kental.
Sehingga, ketika siswa sudah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, siswa
diharapkan dapat memiliki dan mengaplikasikan kemampuan dan nilai-nilai
matematika dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika
siswa mengenyam
pendidikan di bangku kuliah maupun ketika siswa sudah berada di dunia kerja.
Menurut Suherman, dkk. (2001: 59) salah satu fungsi matematika sekolah
adalah sebagai pembentukan pola pikir dan pengembangan penalaran untuk
mengatasi berbagai permasalahan, baik masalah dalam mata pelajaran ataupun
dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat tersebut senada dengan Coernellius (dalam
MDUOLQD, 2MM4: 2M) \DQJ
PHQJHPXNXNDQ EDKZD, TXMXDQ SHPEHODMDUDQ
matematika di sekolah diantaranya adalah untuk memberikan perangkat dan
keterampilan yang perlu untuk penggunaan dalam dunianya, kehidupan sehariKDUL, GDQ GHQJDQ PDWD SHODMDUDQ ODLQ. PHQGDSDW-pendapat tersebut juga sejalan
dengan Davis (dalam Marlina, 2004: 21) \DQJ PHQ\DWDNDQ EDKZD TXMXDQ
pembelajaran
matematika
salah
satunya
memberikan
sumbangan
pada
pemecahan
masalah
(problem
solving);
(2)
Kemampuan
matematika, matematika dengan mata pelajaran lain atau topik lain, serta
pengaitan matematika dengan kehidupan. Koneksi matematis bertujuan untuk
membantu persepsi siswa dengan cara melihat matematika sebagai bagian yang
terintegrasi dengan kehidupan. Tujuan pembelajaran koneksi matematis di sekolah
dapat dirumuskan ke dalam tiga bagaian yaitu memperluas wawasan pengetahuan
siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan
sebagai materi yang berdiri sendiri, serta mengenal relevansi dan manfaat
matematika dalam konteks dunia nyata.
Berdasarkan uraian di
dengan istilah koneksi matematis) sangat rendah. Hasil dari penelitian itu
menunjukkan bahwa 69% siswa Indonesia hanya mampu mengenali tema
masalah, tetapi tidak mampu menemukan keterkaitan antara tema masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki. Keterkaitan yang dimaksud di sini adalah
koneksi antara tema masalah dengan segala pengetahuan yang ada.
Rendahnya kemampuan koneksi matematis siswa dapat berpengaruh pada
prestasi belajar siswa. Menurut Wahyudin (dalam Rahman, 2010: 4), penyebab
Keempat kemampuan
matematika. Dengan
membuat
praktisi
dan
peneliti
dalam proses
pendidikan
untuk
dengan
menonjolkan
aktivitas
diskusi
dapat
mempengaruhi
dapat
diajak
untuk
pengetahuannya
dapat
terdahulu.
menghubungkan
Organizing
pengetahuan
membantu
siswa
baru
dengan
untuk
dapat
dilatih untuk
dapat
koneksi
matematis siswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik melaksanakan suatu penelitian
GHQJDQ MXGXO Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan maka hipotesis yang akan diuji
dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa
yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model CORE lebih baik dari pada
siswa yang mendapat pembelajaran mengunakan model ekspositori.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuasi
eksperimen yang
bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat dan perlakuan yang dilakukan
terhadap variabel bebas kemudian dilihat hasilnya
Pembelajaran dengan model CORE sebagai variabel bebas dan variabel terikatnya
adalah kemampuan koneksi matematis siswa.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest-PostestControl Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA
Negeri 6 Bandung dan dipilih sampel secara acak diperoleh kelas XI IPA 5
sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA 4 sebagai kelas eksperimen kemudian
kedua kelompok tersebut mendapatkan tes awal dan tes akhir.
Adapun instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah instrumen penelitian yang berbentuk tes adalah tes kemampuan koneksi
matematis, sedangkan instrumen penelitian yang berbentuk non-tes adalah angket
siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa.
Pengolahan tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan
menggunakan uji statistik terhadap kemampuan awal koneksi matematis siswa,
kemampuan akhir koneksi matematis siswa, dan indeks gain untuk mengetahui
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis pada kedua kelas. Data yang
diperoleh melalui angket siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa diolah
dan dianalisis untuk mengetahui respons siswa terhadap model pembelajaran
CORE.
3. Hasil Penelitian
Hasil rata-rata tes awal untuk kelas eksperimen adalah 31,875; sedangkan
rata-rata tes awal untuk kelas kontrol adalah 34,575. Setelah dilakukan uji
normalitas, didapat bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas
kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan
awal koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari populasi berdistribusi
normal. Karena kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, maka
disimpulkan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah
menguji homogenitas kedua sampel. Berdasarkan uji homogenitas diperoleh nilai
Sig sebesar 0,686. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan
bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol dan eksperimen
memiliki varians yang homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap
kesamaan dua rata-rata. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh nilai
Sig sebesar 0,262. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan
bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas
kontrol adalah sama.
Langkah pengujian statistik selanjutnya dilakukan terhadap peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa, yaitu
terdapat perbedaan rata-rata indeks gain pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Setelah dilakukan uji normalitas, didapat bahwa kemampuan akhir koneksi
matematis siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan
untuk kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena salah satu sampel berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal, maka disimpulkan bahwa kemampuan
akhir koneksi matematis siswa berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah menguji perbedaan dua ratarata non parametrik. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh nilai Sig
sebesar 0,000. Nilai ini kurang dari 0,05; sehingga dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan model
pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model
pembelajaran ekspositori.
Hasil pengolahan data angket, dan pedoman wawancara menunjukkan
bahwa sebagian besar siswa memberikan respons baik terhadap pembelajaran
matematika dengan menggunakan model pembelajaran CORE.
4. Penutup
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada seluruh tahapan
penelitian yang dilakukan di kelas XI SMA Negeri 6 Bandung, dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya
dengan
model
pembelajaran
CORE
lebih
baik
daripada
siswa
yang
sejalan dengan
model
agar waktu yang digunakan saat diskusi kelas lebih efektif; siapkan rencana lain
kemudian
siapkan pula
perlengkapan
(selain bulan
DAFTAR PUSTAKA
Arini, S. (2010). Penerapan Model Computer-Based Learning dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan
Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Baharuddin. dan Wahyuni, E.N. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Darhim. (2008). Pembuktian, Penalaran, dan Komunikasi Matematika. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Permendiknas tentang Pelaksanaan
Standar
Isi.
Jakarta:
depdiknas.
[On
line]
Tersedia:
http://palembang.bpk.go.id/web/files/2009/10/Lampiran-Permen-Dik-NAsNo.14-Thn.2007-Standar-Isi-untuk-Program-Paket-A-B-C.pdf .
[12 April
2011].
Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE dalam Pembelajaran Logika
dengan Pendekatan Reciprocal Teaching bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung
dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Piloting FPMIPA UPI. tidak
diterbitkan.
Justicia, M. (2010). Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika
dengan Pendekatan Katerampilan Metakognitif untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Logis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Kusumah, Y.S. (2003). Desain dan Pengembangan Bahan Ajar Matematika
Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer. Makalah dalam Seminar
Nasional Pendidikan MIPA IMSTEP-JICA. Bandung: FPMIPA UPI.
Kusumah, Y.S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi ComputerBased Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical
Thinking. Bandung: UPI Press.
Marlina, D. (2004). Pembelajaran Matematika Melalui Penyusunan Peta Konsep
Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Skripsi
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
NCTM. (1999). Standar Evaluation Standars 9-12. [On line]. Tersedia: http:
//www.sunysb.edu/pep/docs/NCTM Prof Stds Eval. Pdf. [12 April 2011].