PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan
bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus
(Ribu)
Semua kasus (%)
Sputum positif
Afrika
2354 (26)
1000
350
149
Amerika
370 (4)
165
43
19
Mediteranian timur
622 (7)
279
124
55
Eropa
472 (5)
211
54
24
Asia Tenggara
2890 (33)
1294
182
81
Pasifik Barat
2090 (24)
939
122
55
Global
8797 (100)
2887
141
63
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus
baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex
C. BIOMOLEKULER M.Tuberculosis
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap
upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis
TB. Ada juga yang menggolongkan antigenM. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil
pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan
sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen
protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock
protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan
elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).
BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni,
yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1.
Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3.
Menyebar dengan cara :
a.
Perkontinuitatum,
menyebar
ke
sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan
c.
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
B
TUBERKULOSIS POSTPRIMER
.
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40
tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak
di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1.
Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2.
Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya
akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
3.
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya
jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti
tersebut akan menjadi:
meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan
seperti yang disebutkan di atas
memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).
BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A
TUBERKULOSIS PARU
.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan
tuberkulosis aktif
2.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan.
b.
Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c.
Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d.
Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e.
Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan
kategori 2 dengan pengawasan yang baik
f.
Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
B
TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
.
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening,
selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat
dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
BAB IV
DIAGNOSIS
A
GAMBARAN KLINIK
.
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi
dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah
paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1.
Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas
lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2.
Gejala sistemik
- Demam
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun
3.
Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
Gambar 3. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
Pemeriksaan Bakteriologik
a.
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura,liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
b.
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada
gelas
objek
(difiksasi)
sebelum
dikirim
ke
laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim
ke
laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identiti pasien
yang
sesuai
dengan
formulir
permohonan
pemeriksaan
laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen
dahak
dapat
dikirim
dengan
kertas
saring
melalui
jasa
pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
c.
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring
sebanyak +
1
ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak
mengandung
bahan
dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang
terbuka
dengan
menggunakan
lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi,
termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara
- Mikroskopik
- Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa
: pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens:
pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA Teknik ini merupakan salah satu uji
serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi
menetap
dalam
waktu
yang
cukup
lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang
akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna
pada
sisir
dan
dapat
dideteksi
dengan
mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para
klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi
yang
terdeteksi.
e. Uji
serologi
yang
baru
/
IgG
TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis.Uji IgG berdasarkan
antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi lainnya
akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat diterima untuk
diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk
mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang lain
1.
Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
2.
Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh
melalui
biopsi
atau
otopsi,
yaitu
:
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans
thoracal
needle
aspiration/TTNA,
biopsi
paru
terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3.
Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.
4.
Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat
besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif.
BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan
4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2.
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat
Kemasan
- Obat
tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
- Obat
kombinasi
dosis
tetap
(Fixed
Dose
Combination
FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis
OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Oba Dosis
t
(Mg/Kg
BB/Har
i)
R
8-12
H
4-6
Z
20-30
E
15-20
Dosis yg dianjurkan
2.
3.
4.
5.
Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
Perbaikan
manajemen
obat
karena
jenis
obat
lebih
sedikit
Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif
Fase lanjutan
2 bulan
4 bulan
BB
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
150/75/400/275
150/75/400
150/150/500
150/75
150/150
30-37
2
2
2
2
2
38-54
3
3
3
3
3
55-70
4
4
4
4
4
>71
5
5
5
5
5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO
merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B
. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan
tuberkulosis
dibagi
TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan
obat
yang
dianjurkan
:2
RHZE
/
4
atau
:2
RHZE/
atau
2
RHZE
/
Paduan
ini
dianjurkan
a. TB
paru
BTA
(+),
kasus
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
: 6 RHE atau
2 RHZE/ 4R3H3
TB paru kasus kambuh
menjadi:
RH
6HE
4R3H3
untuk
baru
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan
pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit
paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji
resistensi terhadap OAT.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji
resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Tabel 4. Ringkasan paduan obat
Katego Kasus
Keterangan
ri
I
- TB paru BTA +,
BTA - , lesi luas
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
II
- Kambuh
- Gagal pengobatan
II
III
IV
- Kronik
IV
- MDR TB
lini 2 atau H
pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi
dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1.
Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami
efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi
dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2.
Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah :
- Sindrom
flu
berupa
demam,
menggigil
dan
nyeri
tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom
kulit
seperti
gatal-gatal
kemerahan
Efek
samping
yang
berat
tetapi
jarang
terjadi
ialah
:
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman
TB
pada
keadaan
khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus
segera
dihentikan
dan
jangan
diberikan
lagi
walaupun
gejalanya
telah
menghilang
- Sindrom
respirasi
yang
ditandai
dengan
sesak
napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti
dan tidak perlu khawatir.
3.
Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi
juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.
4.
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah
dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila
dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5.
Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan
menetap
(kehilangan
keseimbangan
dan
tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada
kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging
dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak
syaraf pendengaran janin.
Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping
Kemungkinan
Penyebab
Minor
Tatalaksana
OAT diteruskan
Rifampisin
Obat
malam
tidur
Nyeri sendi
Pyrazinamid
Beri
aspirin
/allopurinol
INH
Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100
mg perhari
Rifampisin
Beri
penjelasan,
tidak perlu diberi
apa-apa
Mayor
diminum
sebelum
Hentikan obat
Beri
antihistamin
Streptomisin
Streptomisin
dihentikan
Gangguan
keseimbangan Streptomisin
(vertigo dan nistagmus)
Streptomisin
dihentikan
Hentikan
semua
OAT sampai ikterik
menghilang
dan
boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah
dan
confusion Sebagian besar OAT
(suspected drug-induced preicteric hepatitis)
Hentikan
semua
OAT dan lakukan
uji fungsi hati
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan etambutol
termasuk Rifampisin
Hentikan rifampisin
Kelainan sistemik,
syok dan purpura
D
. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat,
pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada
larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya
atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang
menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun
2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti
tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat
resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti
kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang
tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti
obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai
berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1.
2.
3.
Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam
Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB
yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif
memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena
satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten
dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid
dan proteonamid biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten
terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan
amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin,
amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua fluorokuninolon. Itulah
sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan
moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang.
- Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada
dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin,
amoksilin+ as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2,
yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600 800 mg (obat dapat diberikansingle dose atau 2
kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan
- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-HIV, konversi hanya
didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu kunci penting mencegah
resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam
menjamin keteraturan berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB
Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB
Dosis
harian
Aktiviti
antibakteri
Aminoglikosid
a. Streptomisin
b. Kanamisin atau
amikasin
c. Kapreomisin
15 mg/kg
Bakterisid
menghambat
organisme yang
multiplikasi aktif
20-30
5-7.5
Thiomides
(Etionamid
protionamid)
10-20
mg/kg
Bakterisid
4-8
Pirazinamid
20-30
mg/kg
Bakterisid pada
pH asam
7.5-10
Ofloksasin
7.5-15
mg/kg
Bakterisid
mingguan
2.5-5
Etambutol
15-20
mg/kg
Bakteriostatik
2-3
Sikloserin
10-20
mg/kg
Bakteriostatik
2-4
PAS asam
10-12 g
Bakteriostatik
100
Tingkata
n
Obat
10-15
BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan,
maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
Tanda / gejala meningitis
Sesak napas
Tanda / gejala toksik
Demam tinggi
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral antidiabetes (sulfonil urea),
sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka
konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada
daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV,
misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto
toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7
berikut.
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini
Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3)
(CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis
Sering positif
Sering negatif
TB ekstra pulmonal
Jarang
Umum/ banyak
Mikobakterimia
Tidak ada
Ada
Tuberkulin
Positif
Negatif
Foto toraks
Adenopati
mediastinum
Efusi pleura
Ada
Tidak ada
Ada
Pengobatan
OAT
pada
TB-HIV:
- Pada
dasarnya
pengobatannya
sama
dengan
pengobatan
TB
tanpa
HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka
waktu
yang
tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapat
resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi
antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal
sehingga
konsentrasi
obat
rendah
dalam
serum
- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan
rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pengobatan TB-HIV
h sel CD4
Keterangan
200/mm3
Mulai terapi TB
Dianjurkan ART:
Mulai ART segera setelah terapi EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur tanpa
TB dapat ditoleransi (antara 2 kontrasepsi efektif.
minggu hingga 2 bulan)
EFV dapat diganti dengan:
b,c.d
Paduan yang mengandung EFV
- SQV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
- SQV/ r 1600/200 4 kali
sehari (dalam formula soft
gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
ABC
00-350/mm3
Mulai terapi TB
Pertimbangan ART
-
Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase intensif (mulai lebih dini
dan bila penyakit berat):
Paduan yang mengandung EFV:b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau
- Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak menggunakan
rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP
50 mm3
tidak
Mulai terapi TB
mungkin Mulai terapi TB
Tunda ART
Perimbangan ART
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya tanda lain dari
imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa
memandang
CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r
(400/400
mg
2
kali
sehari)
dan
ABC
(300
mg
2
kali
sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai pengganti EFV bila tidak ada
pilihan
lain.
Rejimen
yang
mengandung
NVP
adalah
d4T/3TC/NVP
atau
ZDV/3TC/NVP
d. Paduan
yang
mengandung
EFV
adalah
d4T/3TC/EFV
dan
ZDV
/
3TC
/
EFV
e. Kecuali
pada
HIV
stadium
IV,
mulai
ART
setelah
terapi
TB
selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART
diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali Didanosin
(ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan inhibitor
protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai
37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 9. Obat ART
Golongan Obat
Dosis
Nukleosida RTI (NsRTI)
Abakavir (ABC)
Didanosin (ddl)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)
Zidovudin (ZDV)
300 mg 2x/hari
Nukleotida RTI
TDF
300 mg 1x/hari
Efavirenz (EFV)
600 mg 1x/hari
Nevirapine (NVP)
Indinavir/ritonavir (IDV/r)
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
Nelfinavir (NFV)
1250 mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir (SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E
maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru
H. HEPATITIS IMBAS OBAT
Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan
.
Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
.
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
.
Bila
gejal
klinis
(-),
Laboratorium
terdapat
kelainan:
Bilirubin
>
2 OAT
Stop
SGOT,
SGPT > 5
kali
:
OAT
stop
SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium kembali normal
(bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila
klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN
Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama pengobatan OAT dapat diberikan 9 12 bulan. Paduan
OAT
yang
diberikan
adalah
:
2RHZE
/
7-10
RH.
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan kebutuhan intervensi operasi dan menurunkan
kematian, pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari
selama 3-6 minggu.
BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan
maupun
setelah
selesai
pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis
adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang
DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1.
Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2.
Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3.
Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed
Therapy)
4.
Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5.
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar
Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan
yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan
pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan
berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang
efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian
juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program
A. Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Petugas kesehatan
Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit,
selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :
Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat
mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat
pengunjung rumah sakit dll
Cara memberikan penyuluhan
.
Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
.
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk
penatalaksanaan selanjutnya
.
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
.
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur,
leaflet dll)
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan
TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk
itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03).
Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan pasien tersebut
harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada organ yang penyakitnya
paling berat
. Contoh formulir terlampir
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
ALUR
DIAGNOSIS
P2TB