Anda di halaman 1dari 127

AKUNTANSI

PEMERINTAH
BERBASIS
AKRUAL
KONSEP, PEMIKIRAN, DAN
IMPLEMENTASI
DI
INDONESIA

MODU
L

201
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Sang Khalik atas perkenanNya, modul
Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual: Konsep, Pemikiran dan Implementasi

di

Indonesia ini dapat diselesaikan dengan segenap kemampuan yang ada. Modul ini
diharapkan mampu memerkaya wacana tentang konsep dan implementasi Akuntansi
Pemerintahan Berbasis Akrual.
Modul ini merupakan rangkaian tulisan para dosen dari berbagai universitas negeri di
Indonesia sebagai bagian kegiatan dari program State Accountability Revitalitation (STAR)ADB Loan Nomor 2929-INA, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Indonesia. Modul ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para peserta khususnya dalam
memahami konsep dan pemikiran akuntansi akrual sektor publik sekaligus sebagai bahan
diseminasi mengenai implementasi akuntansi akrual sektor publik.
Kami berharap, modul ini bermanfaat bagi mahasiswa (khususnya mahasiswa jurusan
akuntansi pemerintah), para praktisi akuntansi pemerintah dalam meningkatkan kualitas
transparansi

dan

akuntabilitas

keuangan

publik,

serta

para

pembaca

pada

umumnya.Akhirnya, penyusun mengucapkan terimakasih kepada BPKP atas kesempatan


yang

diberikan

untuk

mengikuti kegiatan

Customized

International

Study

and

Benchmarking Course on Public Sector Accrual Accounting at Massey University New


Zealand. Mengingat tak ada gading yang tak retak, kami menerima kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi peningkatan kualitas modul.
Desember 2013
Penyusun:
Ardianto
Arief Surya Irawan
Islahuddin
Muhammad Ichsan
Ni Putu Sri HartaMimba
RatnaAyuDamayanti

Univ. Airlangga
Univ. GadjahMada
Univ. Syiah Kuala
Univ. Indonesia
Univ. Udayana
Univ. Hasanuddin

SAMBUTAN PENANGGUNGJAWAB STAR-BPKP


Puji syukur kami panjatkan bahwa atas perkenan Tuhan yang Maha Kuasa, modul
Berbasis Akrual: Konsep, Pemikiran dan Implementasi di
Akuntansi Pemerintahan
Indonesia ini dapat diselesaikan oleh para dosen yang menjadi peserta dalam Customized
Benchmarking Course on Public Sector Accrual Accounting at
International Study and
Massey University New

Zealand pada bulan Oktober 2013. Kami memberikan apresiasi

yang tinggi kepada para penyusun modul ini khususnya dosen dari Universitas Airlangga,
Kuala, Universitas Indonesia, Universitas
Universitas Gadjah Mada, Universitas Syiah
Udayana dan Universitas Hasanuddin.

Kami berharap modul ini mampu memberikan tambahan wawasan akademis terkait
konsep dan implementasi akuntansi akrual sektor publik di Indonesia bagi para mahasiswa,
2013 dan
praktisi, dan pembaca pada umumnya, khususnya mahasiswa karya STAR
seterusnya. Kami yakin

bahwa modul ini dapat memberi sumbangan ilmiah bagi

pengembangan akuntansi sektor publik yang harus diimplementasikan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di Indonesia sebagaimana diamanatkan PP Nomor 71/10, PMK Nomor
213/PMK.05/2013, dan Permendagri Nomor.64/2013.
ini

Terima kasih kami ucapkan kepada para penyusun modul dan editor. Semoga modul
dapat menjadi sumbangan berharga dari program State Accountability

Revitalitation(STAR)-ADB

Loan Nomor 2929-INA Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) bagi pengembangan akuntansi sektor publik di Indonesia.

Desember 2013
PENANGGUNGJAWAB STAR-BPKP

Justan R Siahaan
n

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................

SAMBUTAN PENANGGUNGJAWAB STAR-BPKP............................................

ii

DAFTAR ISI............................................................................................................... iii


KONSEP DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI PEMERINTAH BERBASIS
AKRUAL (APBA)
Akuntansi Akrual Dan Penerapannya Di Sektor Publik: Sebuah
Agenda
Pembaruan: Ratna Ayu Damayanti......................................................................

Analisis Manfaat Dan Kelemahan: Penggunaan Basis Anggaran Dan


Basis Akuntansi: Ardianto....................................................................................

18

Transisi Dari Akuntansi Berbasis Akrual Menuju Penganggaran Berbasis


Akrual:Arief Surya Irawan..................................................................................

24

Manfaat Basis Akrual Akuntansi Pemerintahan: Pondasi Manajemen Biaya


Entitas Pemerintahan: Muhammad Ichsan ..........................................................

28

FAKTOR KUNCI SUKSES IMPLEMENTASI APBA


Kajian Variabel-Variabel Kesuksesan Penerapan Basis Akrual Dalam
Sistem Akuntansi Pemerintahan: Muhammad Ichsan .........................................

44

Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Tinjauan Perspektif


Manajemen Sumber Daya Manusia: Ni Putu Sri Harta Mimba .........................

65

Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam Penerapan


Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual: Strategi Pengembangandan
Pelatihan:Arief Surya Irawandan Islahuddin..................................................

73

Analisis Pengaruh Implementasi Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual


(APBA) Atas Entitas Pelaporan Keuangan Pemerintah:
Arief Surya Irawan............................................................................................

79

ISU-ISU AKUNTANSI KHUSUS DALAM IMPLEMENTASI APBA


Akuntansi Akrual Sektor Publik dan Isu-isu Diseputarnya:
Ratna Ayu Damayanti..........................................................................................

88

Akuntansi Akrual Terkait Aset Tetap (Disesuaikan Untuk Memahami PP 71


Tahun 2010): Ardianto ........................................................................................
iii

112

AKUNTANSI AKRUAL DAN PENERAPANNYA


DI SEKTOR PUBLIK: SEBUAH AGENDA PEMBARUAN
Ratna Ayu Damayanti
Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan akuntansi akrual dan kesesuaian penerapan
akuntansi akrual pada sektor publik. Fenomena adopsi akuntansi akrual oleh sektor publik di seluruh dunia telah
terjadi selama 20 tahun terakhir. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan.
Paper ini menyoroti perkembangan akuntansi akrual, debat argumen pendukung dan penentang akuntansi akrual,
serta isu-isu akuntansi akrual. Penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi akrual merupakan konsep yang lebih
baik dibandingkan basis kas, akan tetapi akuntansi akrual masih membutuhkan perbaikan mendasar agar sesuai
dengan karakteristik sektor publik. Adopsi akuntansi akrual memiliki risiko yang besar sehingga membutuhkan
perencanaan yang baik untuk menghindari kegagalan.
Kata Kunci: akuntansi akrual, sektor publik

ABSTRACT

The purpose of this paper is to describe the development of accrual accounting and the suitability of
the application of accrual accounting in the public sector. The phenomenon of accrual accounting adoption by
the public sector around the world has taken place over the last 20 years. In this study, researcher used data
collection techniques such as library research. This paper highlights the development of accruals accounting,
debates around supporting and opponents arguments, and issues in accruals accounting. The findings of this
paper explained that accrual accounting is a better concept than cash basis, but accrual accounting still
requires fundamental improvements to match the characteristics of the public sector. The adoption of accrual
accounting has a greater risk that requires good planning to avoid failure.
Keyword: accrual accounting, public sector

PENDAHULUAN
Di kehidupan sehari hari masyarakat sangat akrab dengan keberadaan organisasi
sektor publik di sekitar lingkungannya. Institusi pemerintah seperti dinas pendidikan,
puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari organisasi sektor publik. Dinas,
badan dan institusi tersebut menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat semata mata
untuk kesejahteraan masyarakat dengan prinsip nirlaba bukan seperti sektor swasta yang
memiliki tujuan untuk mendapatkan laba.
Mahmudi (2010:34) mengatakan organisasi sektor publik sering digambarkan tidak
produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, kurang inovasi dan kreativitas serta
berbagai kekurangan lainnya. Gambaran ini sesungguhnya sangat merugikan mengingat fakta
bahwa organisasi sektor publik mengelola uang yang sangat besar dari masyarakat. Buruknya

pengelolaan organisasi sektor publik memunculkan kritik keras sehingga mendorong terjadinya
reformasi manajemen sektor publik. Reformasi sektor publik tidak hanya terjadi di negara
negara maju, tetapi beberapa negara berkembang dan negara tertinggal secara aktif terus
melakukan reformasi lembaga publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik yang paling
popular adalah konsep New Public Management yang disingkat NPM.
Pada sektor swasta, akuntansi memiliki peranan yang sangat penting. Perkembangan
akuntansi di sektor ini sangat pesat dan bergerak dinamis mengikuti perkembangan
perekonomian dibandingkan dengan akuntansi sektor publik. Akuntansi sendiri telah berperan
untuk menghasilkan sumber informasi yang kemudian digunakan untuk proses pengambilan
keputusan ekonomi yang lebih baik. Informasi yang dihasilkan akuntansi menjadi alat untuk
mengukur sejauh mana efisensi dilakukan dan sebagai alat pertanggungjawaban.
Perkembangan akuntansi yang sangat pesat di sektor swasta tidak diikuti sektor publik.
Lahirnya konsep New Public Management menyebabkan reformasi akuntansi di sektor publik.
Dimulailah masa di mana prinsip prinsip akuntansi yang ada di sektor swasta diadopsi oleh
sektor publik.
Djamhuri

dan

Mahmudi

(2006:318)

menarik

kesimpulan

tentang hubungan

antara konsep New Public Management dengan reformasi akuntansi di organisasi sektor
publik sebagai berikut :
The implication of adopting New Public Management model is the need to
conduct a series of reform in public sector, i.e. accounting, budgeting reform, financial
management reform, audit reform, as well as institutional reform. The migration to
accrual accounting from cameral (cash basis) accounting and single entry is one
form of public sector accounting reform.
Sedangkan menurut Bunea dan Cosmina (2008:1) menggambarkan hubungan New
Public Management dengan reformasi akuntansi di sektor publik sebagai berikut:
New Public Management is focused on efficiency, as governments around the world are
being asked to do more with less and to be fully accountable to the community for
resources entrusted to them. Accounting plays a crucial role in New Public
Management developments as the means by which measurements are
made,
achievements are documented, and negotiations take place. (ditebalkan untuk
penegasan)
McKendrick (2007:2) menjelaskan bahwa akuntansi akrual telah menyebar ke banyak
negara seiring dengan perkembangan New Public Management. Hal ini merupakan bagian dari
bentuk adopsi proses dan teknik manajemen swasta ke manajemen sektor publik.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa reformasi di bidang akuntansi merupakan
bagian dari konsep New Public Management. Akuntansi pada sektor publik menjadi alat
pengukuran untuk menentukan apakah sektor publik telah mencapai efisiensi. Salah

satu

reformasi akuntansi di sektor publik adalah perubahan basis akuntansi. Perubahan basis
akuntansi dari akuntansi kas ke akuntansi akrual merupakan salah satu ciri adopsi konsep
New Public Management oleh sektor publik.
Akuntansi akrual sendiri merupakan konsep yang sangat popular digunakan di sektor
swasta, karena akuntansi akrual dianggap memberikan benefit
penggunanya.

Akuntansi

akrual

yang

besar

kepada

memberikan informasi yang lebih bisa diandalkan karena

mampu memberikan informasi tentang kewajiban dan hak yang akan diterima di masa depan
sehingga keputusan ekonomi dapat diambil lebih baik. Akuntansi akrual telah menjadi
asumsi dasar dalam kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan dengan International
Financial Reporting Standards (IFRS). Basis akrual menjelaskan bahwa transaksi yang
mempengaruhi keuangan perusahaan dicatat pada saat terjadi bukan didasarkan pada saat
menerima atau mengeluarkan uang (Kieso et al, 2011:51). Contoh lain adalah Ikatan Akuntan
Indonesia (2009:5) melalui Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.1 (Revisi 2009)
paragraf 21 mewajibkan perusahaan untuk menyusun laporan keuangan atas dasar akrual.
Adanya regulasi ini menjelaskan bagaimana krusialnya konsep akuntansi akrual di sektor
bisnis.
Organisation for Economic Co-operation and Development (2002:2) menjelaskan
bahwa penggunaan basis akuntansi akrual yang menjadi tren di berbagai Negara saat ini tentu
sangat terkait dengan tujuan dan manfaat dari penggunaanya itu sendiri. Penggunaan basis
akrual merupakan salah satu ciri dari praktik manajemen keuangan modern (sektor publik)
yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih transparan mengenai biaya (cost)
pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di dalam pemerintah dengan
menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekadar memperhatikan kas. Secara umum, basis
akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu melakukan reformasi manajemen
publik seperti New Zealand yang pertama kali menerapkan laporan keuangan dan anggaran
berbasis akrual di dunia sejak tahun 1990. Tujuan kunci akuntansi akrual adalah untuk
meminta pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output) dan/atau hasil (outcome)
dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Dalam konteks ini, para
manajer diminta agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan
output/outcome yang dihasilkannya, tidak sekadar dari sisi pengeluaran kas. Karena itu, hanya

basis akrual yang memungkinkan

untuk

mengakui

semua

biaya,

dengan

demikian

dapat mendukung pengambilan keputusan oleh para manajer organisasi sektor publik secara
efisien dan efektif.
Berbagai dorongan untuk mereformasi akuntansi pada sektor publik juga hadir

dari

berbagai lembaga internasional. Dalam Beberapa tahun terakhir sampai sekarang organisasi
global seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan International federation of
Accountants (IFAC) aktif mempromosikan adopsi manajemen dan teknik sektor swasta ke
sektor publik (Roob dan Newberry, 2007:743). Dengan banyaknya dukungan dan dorongan
dari lembaga lembaga penting tidak mengherankan jika akuntansi akrual diadopsi oleh sektor
publik. Setiap negara sekarang berusaha untuk melakukan perubahan sistem akuntansi di sektor
publik, misalnya Indonesia yang secara bertahap merubah sistem basis kas menjadi sistem
akrual mulai tahun 2003 sampai tahun 2014. Meskipun
akrual

sendiri

terlihat

baik,

konsep

akuntansi

masih memiliki banyak perdebatan dari beberapa pihak. Carlin (2005:1)

mengatakan :
Debates about the adoption of accrual accounting and financial reporting techniques
by the public sector have been so widespread over the last decade that they may be
labelled, without risk of inaccuracy, peripatetic. Questions as to whether accrual based
techniques should be adopted by public sector entities are largely passe in the
antipodes where they have penetrated every layer of the public sector over the past
decade.
Konsep akuntansi akrual masih diperdebatkan karena banyak yang berfikir bahwa
sektor publik dan sektor swasta harus memiliki sistem yang berbeda karena memiliki
karakteristik yang berbeda. Beberapa kritik lain mengatakan bahwa akuntansi akrual
merupakan usaha untuk membuat sektor publik menjadi institusi yang neoliberal. Hal ini
diungkapkan oleh Ellwood dan Newberry (2006:1) yang menyimpulkan bahwa paper suggest
that in both countries, accrual accounting, as developed, also provides a means to reduce
the governments role to that of procurer of services and enforcer of rules set by others, thus
advancing a controversial privatisation and trade liberalization agenda which is consistent
with neo-liberal principles.
Selain itu argumen bahwa akuntansi akrual dapat memberikan akuntabilitas yang lebih
baik juga mendapatkan tantangan dari beberapa ahli yang menyatakan bahwa tidak semua
sektor publik cocok dengan akuntansi akrual dan justru akuntansi akrual sendiri yang
mengaburkan informasi akuntabilitas. Beechy (2007:1) memberikan argumen terkait
akuntabilitas yang disediakan akuntansi akrual sebagai berikut The argument of this paper is

that the use of full accrual accounting actually obscures operating accountability and
transparency in some types of organizations.
Beberapa argumen di atas memberikan keraguan terhadap konsep akuntansi

akrual

sendiri. Keraguan ini hadir karena anggapan bahwa ketika sektor publik mengadopsi
teknik-teknik yang ada di sektor swasta maka sektor publik akan berfikir seperti sektor swasta.
Perubahan pola berfikir sektor publik ini sangat ditakuti karena secara prinsip sektor publik
dan swasta tidak sama.
Adopsi teknik teknik ini secara umum mendorong sektor publik untuk menjadi
efisien. Tuntutan untuk menjadi efisien membuat sektor publik melakukan konsep privatisasi.
Contoh reformasi di sektor publik dapat di lihat dari Negara New Zealand seperti yang
dijelaskan Roob dan Newberry (2007:743) The creation of State Owned Enterprises occurred
at an early stage (19851986) in New Zealands public

sector

reforms.

An

extensive

programme of privatization followed, against mounting public opposition that culminated in a


changed electoral system.
Privatisasi ini sejalan dengan ideologi neoliberal yang ingin mengurangi peran
pemerintah dalam proses produksi. Ideologi neoliberal berusaha agar swasta mendominasi
perekonomian. Ini tentu sangat berbahaya mengingat ideologi ini dapat menyebabkan
kerusakan sistem perekonomian. Beberapa Negara berkembang biasanya didorong oleh ahli
dan teknokrat yang didukung oleh
membuat

IMF

untuk

melakukan

reformasi,

teknokrat

ini

perbaikan didasarkan dengan proposal yang sesuai dengan ideologi bukan sains

ekonomi (Stiglitz:2003).
Konsep neoliberal ini

ternyata juga disebarkan melalui lembaga lembaga

internasional yang getol untuk mempromosikan konsep akuntansi akrual. Kelsey dalam
Ellwood

dan

Newberry

(2007:1)

mengatakan.

The economic policy underlying the

structural adjustment and reform programmes advocated by such key supra-national agencies
as the OECD, the International Monetary Fund (IMF), the World Bank and its allied agencies,
and credit rating agencies is distinctively neo-liberal.
Melihat uraian di atas terlihat bahwa masih terjadi perdebatan yang cukup rumit
mengenai konsep New Public Management dan turunannya yaitu akuntansi akrual. Konsepkonsep ini masih diperdebatkan sehingga penulis berusaha untuk
perkembangan

teori

akuntansi

akrual

mencoba

mengurai

dan berusaha melihat bagaimana akuntansi akrual

diterapkan di sektor publik.


Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut: 1)

Untuk

mengetahui

perkembangan

akuntansi

akrual

terkait

kemunculan dan proses penerapannya di sektor publik. 2)


pendukung dan penentang teori akuntansi akrual 3)

dengan

latar belakang

Untuk mengetahui perdebatan

Untuk mengetahui isuisu akuntansi

akrual di sektor publik


Jenis studi ini tergolong dalam studi pustaka atau literatur (Library Research) berupa
pencarian fakta dengan

interpretasi yang

tepat. kajian pustaka merupakan penampilan

argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir
peneliti mengenai suatu masalah/topik kajian. Menurut Sangadji dalam Akbar (2012:54),
Pengertian penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan
literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari
penelitian terdahulu.
HUBUNGAN NEW PUBLIC MANAGEMENT DAN PENERAPAN AKUNTANSI
AKRUAL
Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa kita dapat menarik benang merah antara New
Public Management dengan akuntansi akrual. New Public Management telah mereformasi
pengelolaan keuangan sektor publik dengan menggunakan pendekatan pendekatan yang ada
pada sektor swasta dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan sektor
publik. Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan sebuah alat pengukuran kinerja dan
pertanggungjawaban.
Akuntansi yang berperan sebagai alat pengukuran kinerja dan pertanggungjawaban juga
mengalami sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah penerapan sistem akrual yang
merupakan adopsi dari sektor swasta menggantikan sistem kas. Upping dan Oliver (2011:1)
menjelaskan sebagai berikut :
New Public Management (NPM) is a management philosophy which focuses on the
change in management practices of the public sector towards more private sector
practices, with accountability focusing on results rather than processes. NPM
introduces a new imperative for efficiency and transparency into all elements
of the public sector. One important element of this change can be seen in the
accounting practices with a move from cash to accrual accounting, together with the
adoption of management accounting techniques to measure and control activities.
Sedangkan Bunea dan Cosmina (2008:1) menjelaskan bahwa konsep New Public
Management

yang

berfokus

pada

efisiensi

memaksa

seluruh

pemerintahan

yang

mengadopsinya untuk bekerja lebih keras dan bertanggungjawab secara akuntabel kepada

masyarakat mengenai sumber daya yang digunakan, sehingga akuntansi memainkan peranan
penting dalam perkembangan New Public Management berkaitan dengan pengukuran kinerja
penggunaan sumber daya.
Oleh karena itu akuntansi khususnya akuntansi akrual merupakan konsep yang ada
akibat munculnya New Public management hal ini diperkuat oleh Watkins dan Edward (2007:
34) yang menjelaskan bahwa Accounting is seen within this domain as an integral component
of what is now termed New Public Management. Lebih lanjut Coonnely and Hyndmen
menjelaskan The move from cash to accruals accounting by many governments is viewed as
an aspect of an ongoing New Public Management agenda designed to achieve a more businesslike and performance-focused public sector.
Dari uraian di atas tentu sangat jelas konsep akuntansi akrual adalah sebuah
konsep turunan dari New Public Management karena akuntansi akrual merupakan bentuk
sistem manajemen sektor privat yang diadopsi ke sektor publik sebagai alat pengukuran
kinerja. Bahkan Pentingnya akuntansi akrual terhadap New
diungkapkan

oleh

Liekerman

(2003:3)

Public

Management

yang menjelaskan bahwa pemerintah yang

mengadopsi New Public Management maka dalam bidang akuntansi harus juga menjalankan
akuntansi akrual. Tanpa akuntansi akrual maka adopsi New Public Management akan berjalan
kurang lancar.
PERKEMBANGAN AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK
Pada tahun 1980-an terjadi fenomena perubahan gaya manajemen di sektor
akibat

stagnansi ekonomi

yang

menghantam

beberapa

publik

negara seperti New Zealand,

Australia dan Inggris. Fenomena perubahan ini popular disebut New Public Management. Apa
yang memotivasi perubahan? Alasan utamanya adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap
kinerja Pemerintah yang dianggap tidak efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya
pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ketidakpuasan ini dipicu oleh keadaan utang pemerintah
yang terus meningkat, pajak lebih tinggi, dan turunnya pertumbuhan ekonomi. Dalam banyak
kasus pemerintah diminta untuk mereview perannya dalam kegiatan dan operasi serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Pemerintah diinginkan untuk berbuat lebih banyak
dengan diiringi tuntutan agar manajer sektor publik menjadi lebih akuntabel (Buhr, 2010:12).
Konsep New Public Management mulai diterapkan di Inggris pada tahun 1979 di
masa pemerintahan Perdana Menteri Margareth Tacther sebagai bentuk perbaikan dari konsep
administrasi publik tradisional yang terlihat tidak berjalan efisien. Bentuk reformasi yang

dilakukan Margareth Tacther adalah melakukan pengurangan jumlah kota, mengurangi biaya
dan meningkatkan pelayanan (Gruening, 2001:2). Stagnansi ekonomi yang dihadapi New
Zealand mendorong mereka untuk melakukan inovasi. Inovasi yang dilakukan adalah
menjalankan privatisasi dan desentralisasi di sektor publik. Sedangkan Australia pada tahun
1980-an juga mengalami kesulitan ekonomi yang sangat rumit sehingga pada tahun 1983
Perdana Menteri Australia saat itu Robert Hawke telah mendukung gagasan pengelolaan
berdasarkan hasil (output) dengan memulai reformasi manajemen keuangan di sektor publik
untuk mencapai tujuan ini. Atas dasar ini pula Australia melakukan privatisasi, restrukturisasi
pemerintah dan evaluasi program dilakukan untuk mencapai tujuan ini (Janet dan Robert,
2007:15).
Watkins dan Edward (2007: 34) menjelaskan salah satu konsep yang diturunkan dari
New Public Management adalah adopsi gaya manajemen sektor privat ke

sektor publik.

Kebutuhan transparansi, akuntablitas dan penilaian kinerja dalam sistem New Public
Management mendorong penggunaan Akuntansi Akrual. Sektor privat sudah sangat familiar
menggunakan akuntansi akrual, sedangkan

sektor

publik

baru

mengenal

penggunaan

akuntansi akrual pada tahun 1992 ketika New Zealand menjadi Negara pertama yang
mengadopsi akuntansi akrual sebagai basis pelaporan keuangan. Dalam pemilihan basis
akuntansi, akuntansi kas masih mendominasi di seluruh dunia. Akan tetapi tren yang terjadi
adalah perubahan secara bertahap dari akuntansi kas menuju akuntansi akrual. International
Federation of Accountants (2010:1) merekomendasikan akuntansi akrual akan mendorong
transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan keuangan sektor publik.
Pemerintah memberikan pelayanan publik tanpa memprioritaskan keuntungan. Tujuan
utama dari akuntansi dan penganggaran pemerintah adalah menjelaskan kualitas barang dan
jasa publik yang diberikan kepada warganya. Sebelumnya pemerintah tidak perlu melaporkan
biaya operasi dan penerimaan kepada masyarakat dengan model yang sama sebagaimana sektor
swasta melaporkannya kepada para pemegang saham. Tujuan akuntansi penganggaran
pemerintah lebih sederhana karena hanya berfokus pada pengendalian input. Pengelolaan
keuangan pemerintah menekankan bahwa dana harus digunakan secara ketat sesuai dengan
anggaran yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Penerapan akuntansi

berbasis kas pada

akuntansi dan penganggaran pemerintah konsisten dengan kebutuhan manajemen sektor


publik

sehingga basis ini banyak diadopsi. Situasi mulai berubah pada 1990-an ketika

munculnya peristiwa yang memicu kekhawatiran dan gencarnya implementasi New Public
Management. Peristiwa yang memicu ini antara lain keinginan untuk mengatasi kesulitan

fiskal atau krisis utang, keharusan menjaga kredibilitas dan reputasi sektor publik sebagai
sektor ekonomi yang modern atau canggih, adanya tuntutan perubahan oleh organisasiorganisasi internasional, tekanan dari otoritas audit nasional, dan tuntutan masyarakat agar
adanya peningkatan akuntabilitas dan kinerja pemerintah dalam rangka mendukung efektifitas
dan efisiensi (Shi, 2005:7).
Lebih

lanjut

Shi menjelaskan

serangkaian

reformasi

di

sektor

publik mulai

dilakukan. Salah satu bentuk reformasi adalah reformasi penyediaan barang publik dengan
memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi. Masuknya sektor swasta meningkatkan
permintaan informasi akuntansi yang lebih transparan dan akurat dari pemerintah, kemudian
hal ini mendorong pemerintah untuk menyajikan informasi yang cukup memudahkan
perhitungan dan perbandingan biaya. Konversi ke basis akrual dalam akuntansi sektor publik
membantu pengukuran biaya yang lebih akurat. Reformasi lain terfokus pada orientasi
anggaran berbasis kinerja, output dan outcome dengan pendekatan manajemen pengeluaran
publik. Akuntansi akrual diyakini menjadi instrumen penting dan bermanfaat untuk
pemeriksaan efisiensi dan efektivitas biaya pemerintahan.
Penggunaan akuntansi akrual merupakan salah satu ciri dari praktik manajemen
keuangan modern (sektor publik) yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih
transparan mengenai biaya (cost) pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan di dalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekadar
basis kas. Secara umum, akuntansi akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu
melakukan

reformasi manajemen

publik.

Tujuan kuncinya

adalah

untuk

meminta

pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output), hasil (outcome) dan pada saat
yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Para manajer di sektor publik diminta
agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan output/outcome
yang dihasilkannya, tidak sekadar dari sisi pengeluaran kas. Dengan demikian akuntansi
akrual dapat mendukung pengambilan keputusan oleh para manajer secara efisien dan efektif
(Organisation for Economic Co-operation and Development, 2002:11).
Salah satu faktor yang mendorong adopsi akuntansi akrual adalah ketidakpuasan
banyaknya

kekurangan

yang

dimiliki

oleh

basis

dan

kas. Meskipun memiliki banyak

keterbatasan, akuntansi berbasis kas memiliki beberapa kelebihan sehingga masih banyak
digunakan oleh sektor publik di beberapa Negara. Kelebihan itu adalah sederhana, lebih
murah dan mudah untuk dipahami oleh non-akuntan (Buhr, 2010:12). Akan tetapi trend dan
tuntutan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi mendorong akuntansi akrual untuk diadopsi oleh

sektor publik. Akuntansi akrual menjadi sangat popular dengan dukungan berbagai organisasi
internasional seperti Bank Dunia, Organization of Economic and Development, International
Monetary Fund dan Lembaga Pemeringkat Kredit (Ellwood, 2007:1).
Negara - negara yang mengadopsi akuntansi akrual membutuhkan waktu yang sangat
lama. Mengapa dibutuhkan waktu begitu lama untuk berubah? Jones

dalam

Buhr

(2012:12) menjelaskan tentang kurangnya kebutuhan komparatif laporan keuangan antar


sektor publik untuk menilai kinerja. Hal ini dikarenakan masingmasing pemerintah memiliki
kemampuan untuk menetapkan kebijakan keuangan dan akuntansi sesuai keinginannya. Selain
itu, dulu akuntansi pada sektor publik hanya dilihat sebagai alat pertanggungjawaban bukan
sebagai alat pengambilan keputusan sehingga keunggulan akuntansi kas yang sangat sederhana
menyebabkan pemerintah enggan untuk pindah ke akuntansi akrual.
Memperkenalkan akuntansi akrual mendapatkan tantangan dalam proses adopsinya
sehingga membutuhkan pendekatan bertahap (Treasury, 2005:40). Perlu diketahui bahwa tidak
ada perubahan mendadak dari kas ke akrual. Perubahan basis akuntansi dilakukan bertahap
melalui basis kas, basis kas yang dimodifikasi, basis akrual dimodifikasi, dan terakhir basis
akrual. Kas yang dimodifikasi berbeda dari basis kas dalam akhir tahun penyesuaian dilakukan
untuk beberapa non-cash item seperti piutang dan utang. Akrual Modifikasi berbeda dari
akuntansi berbasis akrual dalam aset modal tidak diakui sebagai aset melainkan sebagai
pengeluaran secara penuh dalam periode di mana mereka dibeli.
PERBANDINGAN PENERAPAN AKUNTANSI AKRUAL DI BEBERAPA NEGARA
Pada bagian ini kita akan melihat contoh penerapan akuntansi akrual di sektor publik.
Penulis akan memperlihatkan penerapan akuntansi akrual di New Zealand, Fiji dan Nepal. New
Zealand mewakili kesuksesan penerapan akuntansi akrual

sedangkan

Fiji

dan

Nepal

mewakili kegagalan penerapan akuntansi akrual.


New Zealand menjadi negara pertama yang sepenuhnya melaksanakan akuntansi akrual
baik

di tingkat

nasional

dan

lembaga.

Reformasi

akuntansi akrual di New Zealand

merupakan paling komprehensif di antara semua negara. Perubahan adalah bagian dari
gelombang reformasi tahun 1980-an sebagai akibat dari kesulitan fiskal negara. Reformasi ini
bertujuan untuk mencapai efisiensi. Untuk mencapai tujuan ini New Zealand menjalankan tiga
kebijakan yaitu memisahkan fungsi komersial dari operasi pemerintah lainnya, menguatkan
garis pertanggungjawaban menteri dan eksekutif dan merancang anggaran dan sistem
manajemen keuangan untuk meningkatkan pengukuran kinerja sektor publik.

Tiga kebijakan ini mempengaruhi adopsi akuntansi akrual di New Zealand.


Departemen Keuangan New Zealand sudah mulai mempersiapkan akuntansi
tahun 1987. Public Finance Act
pelaporan

akuntansi

akrual

untuk

penganggaran

keuangan. Undang-undang juga mendefinisikan atribut dari manajemen

fiskal yang baik, dan


undang

pada

diundangkan pada tanggal 1 Juli 1989. Undang-undang

tersebut yang menjelaskan penggunakan metode


dan

akrual

memastikan

pemerintah

memenuhi

kriteria

tertentu.

Undang-

ini menciptakan insentif bagi para politisi untuk mengejar kebijakan dalam

kepentingan jangka panjang negara, bukan sesuai kepentingan politis jangka pendek (Ruth R,
1996:5).
Pada tahun 1992

New Zealand berhasil membuat

laporan

keuangan dengan

akuntansi akrual di seluruh entitas pemerintah. New Zealand butuh tiga tahun untuk
menerapkan akuntansi akrual dan empat tahun untuk menghasilkan laporan keuangan
konsolidasi untuk seluruh pemerintah (Beerson B,2011:17). Secara keseluruhan, reformasi
keuangan di New Zealand menghasilkan perubahan positif yaitu peningkatan akuntabilitas,
kinerja keuangan yang lebih baik, mencapai efisiensi dan pengurangan staf.
Lebih lanjut Beerson menjelaskan bahwa New Zealand adalah pelopor dalam adopsi
akuntansi akrual. Sebagai pelopor tentu New Zealand harus mampu merumuskan konsep
akuntansi akrual ini tanpa berpanduan dari negara negara lain. Oleh karena itu terdapat
beberapa tantangan yang dialami oleh New Zealand dalam mengadopsi akuntansi akrual yaitu
biaya implementasi yang cukup besar dan kualitas informasi yang belum langsung dirasakan
manfaatnya. Akuntansi akrual memerlukan biaya implementasi yang besar. Perubahan basis
akuntansi memaksa seluruh departemen di New Zealand mengganti sistem informasi keuangan
mereka hanya dalam waktu dua tahun. Selain itu terdapat risiko pengambilan keputusan yang
buruk di awal implementasi. Hal ini diakibatkan pemerintah belum terbiasa menggunakan
informasi akuntansi akrual. Sejak konversi ke akuntansi akrual volume dan kompleksitas
laporan pemerintah kepada parlemen telah meningkat. Kompleksitas laporan keuangan
menyebabkan parlemen membutuhkan saran analitis independen dari para ahli yang tentu akan
memakan waktu dan biaya.
Akuntansi akrual merupakan salah satu bagian dari paket reformasi keuangan New
Zealand yang berperan penting dalam peningkatan akuntabilitas, efisiensi dan kinerja
pemerintah. Tetapi dalam menilai perbaikan ini tidak boleh mengabaikan bentuk reformasi
keuangan lainnya dan mengutamakan akuntansi akrual sebagai faktor tunggal. International
Federation of Accountant Public Sector Comitte (1996:19) menjelaskan New Zealand telah

menikmati manfaat dari penerapan akuntansi akrual, karena telah melakukan pendekatan yang
komprehensif dalam menerapkan strategi pemerintah, meningkatkan kualitas keputusan dan
memungkinkan pengawasan yang efektif oleh parlemen.
Sementara itu Menurut Digitaki dalam Tickell (2010:74) Fiji mencoba mengadopsi
akuntansi akrual pada tahun 1994, Departemen Keuangan menanggapi dengan mencoba untuk
memperkenalkan akuntansi akrual, bersama dengan banyak reformasi sektor publik lainnya.
Sebuah kantor proyek akuntansi akrual didirikan pada tanggal 14 November 1994 setelah
kabinet memberikan persetujuan untuk menerapkan sistem akuntansi akrual. Pengenalan
akuntansi akrual di departemen pemerintah dibutuhkan untuk menyediakan manajemen suatu
sistem informasi manajemen yang lebih efisien dan akurat dibanding sistem keuangan secara
tunai.
Pada tahun 1994 pemerintah Fiji menetapkan proses adposi akuntansi akrual melalui
dua tahap. Tahap pertama akuntansi akrual dilaksanakan oleh tiga Departemen (kehutanan,
kelautan dan keuangan) sebagai pilot project. Tahap kedua adalah implementasi secara penuh
di seluruh departemen. Departemen pilot project menyediakan informasi anggaran akrual
bulan

Maret

1995

dan menyelesaikan migrasi tanggal 1 Januari 1996. Departemen yang

tersisa menyediakan informasi anggaran akrual pada Maret 1996 dan menyelesaikan migrasi
tanggal 1 Januari 1997. Akan tetapi rencana ini tidak berjalan dengan mulus karena sampai
tahun 1999 Fiji belum dapat mengadopsi akuntansi akrual. Proyek ini terhenti pada tahun 1999
akibat gejolak politik. Tickell (2010:75) menjelaskan bahwa faktor kegagalan Fiji disebabkan
oleh: 1) penerapan akuntansi akrual yang tergesagesa tanpa perencanaan yang baik. 2)
pengembangan sistem informasi akuntansi yang kurang baik. 3)

terlalu bersandar dengan

konsultan internasional. 4) kemampuan tenaga akuntansi yang rendah


Setelah

perbaikan

sistem

implementasi pada tahun 2004. Pemerintah Fiji berusaha merencanakan kembali

model

implementasi

mengalami
yang baik

kegagalan

pemerintah

melalui pengembangan

Fiji

melakukan

komprehensif untuk mengatasi faktor

kegagalan pada percobaan sebelumnya. Fiji memulai proyek adopsi akuntansi meningkatkan
kemampuan akuntan dan membuat pilot project yang lebih kecil. Usaha usaha ini relatif
membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga adopsi akuntansi akrual berjalan lambat.
Contoh kegagalan penerapan akuntansi akrual dapat dilihat di Nepal. Nepal merupakan
salah satu negara yang kurang mampu secara ekonomi. Keadaan ini menyebabkan Nepal sering
menerima bantuan dana dari lembaga internasional. Lembaga internasional berharap dana ini
dapat dipertanggungjawabkan dengan baik sehingga memaksa Nepal untuk mengadopsi

akuntansi
penerapan

akrual.

Adhikari

akuntansi

akrual

dan
di

Mellemfik

Nepal

(2011:136) menjelaskan kegagalan

diakibatkan

oleh ketidakmampuan lembaga

internasional dalam melihat rendahnya kemampuan sumber daya manusia dan kurangnya
motivasi dari pemerintah. Kurangnya motivasi
akrual

bukan

pemerintah

karena

adopsi

akuntansi

berdasarkan keinginan sendiri melainkan pemaksaan dari organisasi

internasional.
KESIMPULAN
Paper ini menyimpulkan bahwa akuntansi akrual merupakan salah satu bagian dari
paket reformasi keuangan negara dan daerah yang berperan penting dalam peningkatan
akuntabilitas, efisiensi dan kinerja pemerintah. Tetapi dalam menilai perbaikan ini kita tidak
boleh mengabaikan bentuk reformasi keuangan lainnya dan hanya mengutamakan akuntansi
akrual sebagai faktor tunggal. Beberapa negara telah menikmati manfaat lebih dari penerapan
akuntansi akrual karena telah melakukan pendekatan yang komprehensif untuk menerapkan
strategi pemerintah, meningkatkan kualitas keputusan dan memungkinkan pengawasan yang
efektif oleh Parlemen.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, C. 2012. Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat (Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat
yang Secara Efektif). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Program Sarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Hasanuddin.
Adhikari, P and Mellamvik, F. 2011. The Rise and Fall of Nepalese Central
Government. Journal of Accounting in Emerging Economies vol 1. 12: 123-143.
Anwar, S. 2007. Budgeting and Budgetary Institutions, Public Sector Governance and
Accountability. Washington: World Bank.
Athukorala, L. 2003. Accrual Budgeting and Accounting in Government and its Relevance for
Development member Countries. Manila: Asian Development Bank.
Barton, D. 2004. How to Profit from Defence: A Study in The Misaplication of Business
Accounting to the Public Sector in Australia. Financial Accountability and Management.
10: 281-304.
Bastian, I. 2009. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta.
Beechy, T.H. 2007. Does Accrual Accounting Enhance Accountability. The Inovation
Journal: The Public Sector Inovation Journal Volume 12, 1:1-18.

Blondal,

J.

2003.

Accrual Accounting

and

Budgeting:

Key

Issues

and

Recent

Developments. OECD Journal on Budgeting,3 : 43-131.


Bovaird, T. Loffer, E.2003. Public Management and Governance. New York: Routledge.
Buhr, N. 2010. From Cash to Accrual and Domestic to International Government Accounting
Standard Setting in Last 30 Years. Makalah Disajikan pada Sixth Accounting History
International Conference, Welington. 19 Agustus.
Carlin, M. T. 2005. Debating the Impact of Accrual Accounting and Reporting in the Public
Sector. Financial Accountability and Management, 3: 309- 336.
Christensen, T et al.2007. Organization Theory and The Public Sector, Instrument,
culture and Myth. New York: Routledge.
Connolly, C. Hyndman, N. 2010. Accrual Accounting in public sector : a road not always
taken. Makalah disajikan pada seminar Institute of Public Administration. IPA. Rome,
28-30 November.
David, P. 4 November 2009. Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT KIMIA FARMA Tbk.
Hal 1.
Djamhuri, A. dan Mahmudi. 2006. New Public Mananagement, accounting reform and
institutional perspective of public sector accounting in indonesia. Jurnal Bisnis dan
Akuntansi,3:301-321.
Drechsler, Wolfgang, 2005, The Rise and Deinise of the New Public Management, postautistic

econoinics

review,

Issue

No.

33,

Online

(http://www.paecon.net!PAEReview/issue33/Drechsler33.htm diakses 20 januari 2013).


Economic and Social Council United Nations, 2003, Revitalizing public administration as a
strategic action for sustainable human development:an overview, New York :
Economic and Social Council United Nations.
Ellwood, S. Newberry, S. 2006. Public Sector accrual Accounting Institutionalising NeoLiberals Principles. Accounting, Auditing, Accountability Journal vol 20, 4: 549-573.
Fadly, M. 2012. Implementasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kecamatan Bua
Punrang Kabupaten Luwu. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar. Program Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Halim, A. dan Syam, M. 2011. Akuntansi Keuangan Daerah.Jakarta: Salemba Empat.
Hari, R. 2008. Implementasi Kebijakan Pemberian Dana Subsidi Public Service Obligation
Pada Kereta Rel Listrik JABOTABEK. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Program Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

HM Treasury. 2005. Delivery the Benefit of Accrual Accounting for Whole Public Sector.
London. HM Treasury.
Hood, C. 1991. A Public Management for All Season. Royal Institute Public
Admnistration Journal Volume 69, 1: 1-19.
Hughes, O. 2003. Public Management and Administration an Introduction (3rd Edition).
New York: Palgrave Macmillan.
Hughes, J. 2009. International Public Sector Accounting Stadards. Dalam F.B.Bogui (ed),
Handbook of Govermental Accounting (hlm.491-519). New York: CRC Press.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Jakarta:
Salemba Empat.
Ismawati.K.2011.Accrual

Accounting

dalam

New

Public

Management,

http://unsa.ac.id/ejournal/indekx.php/smoothing/article/view/820/246,

(online),

diakses

11

Desember 2012).
International Public Sector Accounting Board. 2011. International Public Sector Accounting
Standards. London: International Public Sector Accounting Board.
International

Organization

of

Supreme

Audit

Institution.1995.

Accounting Standard

Framework. Vienna: International Organization of Supreme Audit Institution.


Janet, V. dan Robert, B. 2007. The New Public Service. New York: M.E. Sharpe
Kieso, D et al. 2011. Intermediate Accounting IFRS Edition. Danvers: John Wiley & Sons.
Likierman, A., 2003. Planning and controlling UK public expenditure on a resource
basis, Public Money & Management 23, 45-50.
Lynn, L. 2006. Public Management Old and New. New York: Routledge.
Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja sektor Publik (edisi 2). Yogyakarta : Unit Pemerbit
dan Percetakan Sekolah tinggi Ilmu Manajemen YKPN
Mahsun, M et al. 2011. Akuntansi Sektor Publik (edisi 3).Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Marti, C. 2006. Accrual Budgeting: Accounting Treatment of Key Public Sector Items and
Implications for Fiscal Policy, 1: 45-65.
Mckendrick, J. 2007. Moderrnization of the Public Sector Accounting System in Central and
Eastern European Countries : The Case of Romania. International Public Management
Review,8 :165-185.
Memorandum Pembahasan Penerapan Basis Akrual dalam Akuntansi Pemerintahan di
Indonesia. 2006. Jakarta: Komite Standar Akuntansi Pemerintah.

Nawawi, Z. 2010. Perkembangan Ilmu Administrasi Publik dan Isu isu Kontemporer
Administrasi Negara di Indonesia. Palembang: Program Pasca Sarjana Universitas
Sjakhyakirti.
Nordiawan, D. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
Organisation for economic Co-Operation and Development. 2002. Accrual Accounting and
Budgeting. Makalah disajikan dalam Twenty-third Annual Meeting of OECD Senior
Budget Officials, OECD, Washington DC, 3-4 Juni.
Prayudi. 15 Januari 2007. Kebangkrutan Akuntansi Kapitalis. Hal 1.
Ruth, R. 1996. Opening and Balancing the books: the New Zealand experience. Perspectives
Accrual Accounting. 1: 5-11.
Roob,

A.

Newberry,

S.

2007.

Globalization

Govermental

Accounting

and

International Financial Reporting Standards. Sosio-Economic Review, 5: 725-754.


Shi, Y. 2005. Accrual Reform in Public Sector in China. Stanfoed Center for
International Development. 1: 1-46.
Simanjuntak, B. 2010. Moving Towards Accrual Accounting. Makalah Disajikan pada
Regional Public Sector Conference, Jakarta 8 November.
South Asian Federation of Accountants. 2006. A Study Accrual Based Accoutning
for Goverments and Public Sector Entities in SAARC Countries. New Delhi. SAFA.
Stallebrink, Odd. 2007. An Investigation of Discretionary Accruals and Surplus Deficit
Management : Evidance from Swedish Municipalities. Financial Accountabiity &
Management. 18: 441-458.
Stallebrink, odd and Sacco, J. An Austria Perspective on Comercial Accounting Practices in
Public Sector: Accounting Forum vol 27. 3: 339-358.
Stiglitz, J. 6 Juli, 2006. Dont Trust Technocrats. Guardian, hlm 1.
Sunil, J. Kerry, J. New Public Management (NPM), Managerialism, and Value for Money
(VFM) Audit:

A Review of Empirical Literature with Special Reference to Australia.

Paper Presented at Accounting Finance Australia And New Zealand conference in,
Sydney Australia 6-8 juli 2008.
Syarifuddin, 2003. Mencari Bentuk Standar Akuntansi Pemerintahan Daerah. Makalah
Disajikan dalam Seminar Nasional Kontroversi Penerapan Akuntansi
Dalam

Mewujudkan

Good

Pemerintahan

Governance. Ikatan Akuntan Indonesia Cabang

Sulawesi Selatan. Makassar, 17 Juli.


Tickel,

G.

2010.

Cash

to

Accrual

Accounting:

One

Nations

Dilemma.

International Business & Economic Reseach Journal. 11: 71-78.


Upping, P. Oliver, J. 2011. Accounting Change Model for the Public Sector: Adapting Luder's
Model for Developing Countries.

International Review of Business Research Papers

Vol. 7. 1: 364 380.


Vinnari, Erja and Nasi, Salmi. 2008. Creative Acounting in the Public Sector.
Milking Water utilities to Balance Municipal Budgets and Accounts. Financial Accoutability
and Management. 5: 97-116.
Watkins, A. Edward, C. 2007. Accounting, New Public Management and American
Politics: Theoretical Insights into the National Performance Review. Critical
Perspectives on Accounting, 18: 3358.
Wynee, A. 2003. Do Private Sector Financial Statement Provide a Suitable Model for Public
Sector Accounts. Makalah Disajikan pada

European Group of Public Administration

annual conference on Public Law and the Modernising State in, Oeiras Portugal. 3-6
September 2003.
Wynee, A. 2004. Is The Move to Accrual Based Accounting a Real Priority for Public Sector
Accounting. (online), www2.accglobal.com/doc/publicsector/ps_doc009.pdf,

diakses

27 Februari 2013).
Yamamoto, H. 2003. New Public
Policy Papers, 1: 1-31.

Management

Japan

Practice.

Institute International

ANALISIS MANFAAT DAN KELEMAHAN: PENGGUNAAN


BASIS ANGGARAN DAN BASIS AKUNTANSI
Ardianto (Universitas Airlangga)

Abstrak
Artikel ini membahas analisis manfaat dan kelemahan dari penggunaan basis pencatatan yang berbeda antara
penganggaran dan akuntansi. Kajian analisis ini memberikan gambaran trade off yang terjadi antara manfaat
dan kelemahan dalam penggunaan basis yang berbeda-beda tersebut. Sistem penganggaran pada umumnya
terpisah dari sistem akuntansi. Domain penganggaran dianggap sebagai bagian dari sistem akuntansi
manajemen, sedang akuntansi keuangan memiliki sistem terpisah yakni sistem akuntansi keuangan. Tulisan ini
akan memberikan gambaran manfaat dan kelemahan yang terjadi jika kedua kondisi ini dibandingkan, yaitu ketika
penganggaran berbasis kas dengan akuntansi berbasis akrual, dan kondisi penganggaran maupun akuntansi
keduanya berbasis akrual. Pada akhirnya artikel ini memberikan alternatif solusi yang masih terbuka untuk
dikembangkan lebih lanjut, khususnya di dunia akademisi untuk memberikan manfaat di tataran praktis.
Kata kunci: analisis manfaat dan kelemahan, basis anggaran, basis akuntansi

PENDAHULUAN
Dalam PP 71 tahun 2010, dinyatakan bahwa basis untuk akuntansi menggunakan basis
akrual.

Penandingan anggaran dengan realisasinya

dalam praktik di lapangan

masih

diwujudkan dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang saat ini umumnya masih
menggunakan basis kas.

Di lain pihak PP 71 tahun 2010 mensyaratkan untuk menyajikan

Neraca, Laporan Operasional dan Laporan Perubahan Ekuitas dengan basis akrual.

PP 71

tahun 2010 dalam kerangka konseptualnya juga telah menyatakan jika suatu saat anggaran
disusun dengan basis akrual, maka Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

juga harus disusun

dengan basis akrual. (PP 71 tahun 2010 Kerangka Konseptual paragraf 44.)
Basis akrual sektor publik sesungguhnya memiliki tekanan tujuan yang berbeda
dibanding pada sektor swasta. Penekanan di sektor publik lebih diperuntukkan dalam rangka
menghitung biaya layanan atau cost of service yang akan digunakan untuk menilai efisiensi
dan keekonomisan organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuan.

Pada sektor swasta

tekanannya lebih pada penandingan yang tepat antara pendapatan dengan biaya. Pemahaman
atas perbedaan tujuan penerapan akrual basis ini perlu mendapat perhatian karena dalam
praktik penandingan yang tepat antara pendapatan dengan biaya secara teknis tidak mudah
untuk dilakukan dengan tepat. Hal ini disebabkan prosedur formal yang memakan waktu.

Kondisi ini seringkali menghambat kecepatan dalam pengakuan yang pada akhirnya berdampak
pada penandingan antara pendapatan dengan biaya.
Jika dibandingkan dengan praktik di sektor bisnis, sesungguhnya selain perbedaan,
terdapat pula beberapa kesamaan konsep mendasar yang dapat diadopsi jika memang selaras
dengan tujuan pertanggungjawaban keuangan di sektor publik. Hal tersebut antara lain:
1. Format anggaran dan realisasi harus sama sehingga dapat ditentukan varian atau selisih
untuk kepentingan pengendalian.
2. Tujuan penyusunan laporan keuangan adalah untuk pertanggungjawaban keuangan
terhadap stakeholder dan untuk pengambilan keputusan.
3. Keduanya memiliki kerangka dasar akuntansi yang hampir sama.
Saat ini basis yang

umum digunakan dalam penganggaran adalah berbasis kas. Laporan

Realisasi Anggaran dengan demikian juga berbasis kas. Hal ini dapat dipahami dengan fakta
bahwa APBD/N juga masih menggunakan basis kas. Dengan berlakunya PP 71 tahun 2010
menyebabkan Laporan Keuangan Pemerintah akan disajikan dalam basis akrual. Pembahasan
selanjutnya dalam artikel ini adalah melihat manfaat dan kelemahan atas kondisi di mana
penganggaran menggunakan basis kas dan akuntansi menggunakan basis akrual. Ditelaah pula
kondisi ketika anggaran berbasis akrual dengan akuntansi juga berbasis akrual.
PERBANDINGAN ANGGARAN BASIS KAS DENGAN ANGGARAN BASIS AKRUAL
Untuk melihat manfaat dan kelemahan penggunaan basis yang berbeda antara anggaran
dan akuntansi, dapat ditabulasikan sebagai berikut:
Anggaran Basis Kas, Akuntansi Basis Akrual
Manfaat
1.

Anggaran berbasis
kas telah lazim
diterapkan
pada
sektor publik. Tidak
memerlukan
perubahan
paradigma
penganggaran.

2.

Sederhana
pemahaman
anggaran
yang
didasarkan pada kas
dan
hanya
ditandingkan

Kelemahan
1.

2.

Anggaran Basis Akrual, Akuntansi Basis Akrual


Manfaat

Kelemahan

Tidak
dapat 1.Dapat
dilakukan 1. Terdapat kerumitan
ditandingkan antara
pengendalian
atas
menentukan target
anggaran
berbasis
posisi keuangan dan
anggaran
atas
kas dengan realisasi
operasional
pencapaian
posisi
hasil
operasional
organisasi
keuangan dan hasil
maupun
posisi
operasi
di masa
keuangan
yang
depan.
disajikan
dalam
2..Penganggaran tidak 2. Diperlukan
basis akrual.
semata pada arus kas
pemahaman
yang
namun juga terhadap
lebih
atas
Pada dasarnya hanya
hasil akhir
posisi
interpretasi
melihat
apakah
keuangan dan operasi
penyajian
laporan
aliran kas
masuk
dari
sebuah
anggaran
dalam
dan keluar
yang
organisasi sehingga
bentuk
neraca,
dianggarkan
telah

Anggaran Basis Kas, Akuntansi Basis Akrual


Manfaat

Kelemahan

dengan realisasinya.
3.

Anggaran Basis Akrual, Akuntansi Basis Akrual

Anggaran
tidak
disajikan
akrual
sehingga tidak ada
perubahan
dari
praktik
yang 3.
berlaku sebelumnya.
Cost pelaporan lebih
rendah.

4.

dilaksanakan sesuai
rencana
tersebut.
Tidak melihat aspek
efisiensi
atas
aktivitas tersebut.

Manfaat

Kelemahan

dapat diukur efisiensi


pelayanan publik.

Pengendalian
atas
capaian operasional
dan posisi
yang
hendak
dicapai
entitas kurang dapat
dilakukan.

laporan operasional
maupun
laporan
perubahan
ekuitas
pada
saat
akan
menyusun
anggarannya.
3.

Keterserapan
anggaran
kas
sebagai
sebagai
tolok
ukur
keberhasilan
menyebabkan
kecenderungan
menyamakan
anggaran
dengan
realisasi.

Dimungkinkan
terjadi lebih banyak
penyajian laporan,
antara lain anggaran
kas dan realisasinya,
anggaran
Operasional
(LO)
dan
realisasinya,
anggaran
posisi
keuangan
dan
realisasinya dst.

Dalam praktik di sektor bisnis, telah lazim dilakukan penyusunan anggaran kas,
anggaran keuangan (neraca)

dan anggaran operasional (laba rugi) yang selanjutnya

ditandingkan dengan realisasi masing-masing.

Pada dasarnya anggaran ini tidak semata

dilakukan untuk menjustifikasi adanya pengeluaran kas. Anggaran sesungguhnya adalah alat
untuk perencanaan (planning), pengendalian (controlling) dan koordinasi (coordinating).
Anggaran juga tidak sekadar menambahkan atau mengurangi angka dari tahun sebelumnya
pada saat penyusunannya.

Anggaran seharusnya diturunkan dari proses perumusan strategi

menuju perencanaan strategi, selanjutnya menghasilkan sasaran strategis dan program kerja.
Program kerja inilah yang menjadi dasar penyusunan

anggaran. Dengan perbedaan tujuan

sektor bisnis dengan sektor pemerintah, maka yang perlu dikaji adalah manakah yang dapat
diadopsi oleh sektor pemerintah dalam konteks penganggarannya dan manakah yang tidak
perlu.

Apakah anggaran dalam format pelaporan keuangan juga diperlukan, ataukah cukup

anggaran yang berbasis kas saja. Dengan demikian adalah relevan jika analisis perbedaan
basis ini dilakukan.

PERMASALAHAN
Pertanyaan

kunci adalah apakah penganggaran di sektor pemerintah cukup dengan

anggaran kas ataukah perlu

disusun hingga anggaran operasional dan anggaran finansial

(posisi keuangan) yang berbasis akrual.

Beberapa pandangan dapat saja berbeda, namun

perlu diperhatikan tujuan penyusunan laporan keuangan

pada entitas

pemerintah.

Jika

keefektifan, efisiensi dan keekonomian adalah sebuah upaya yang akan dicapai, tentunya dalam
operasi dari sebuah entitas pemerintah juga harus dikendalikan dengan perencanaan yang
mengarah pada pencapaian tujuan organisasi (pemerintah) tersebut.

Laporan atas operasi

entitas pemerintah, yang berdasar PP 71 tahun 2010 dikenal dengan istilah

Laporan

Operasional, seharusnya juga mendapat porsi penganggaran sebelum pelaksanaan operasinya.


Implikasinya adalah anggaran harus disusun dengan basis yang sama dengan laporan
operasional, yang tidak lain menggunakan basis akrual. Kondisi pengendalian ini dapat dicapai
jika basis yang digunakan dalam penganggaran sama dengan basis akuntansi.
Di sisi lain terdapat kelemahan atau hambatan dalam menyamakan basis anggaran
dengan basis akuntansi, antara lain:
1. Akan bertambah upaya (effort) untuk menyajikan laporan. Hal ini disebabkan masingmasing

laporan

akan

ditandingkan

dengan

realisasinya.

Setidaknya

disamping

menggunakan LRA yang berbasis akrual, tentunya untuk pengambilan keputusan terkait
kas, laporan anggaran kas dan realisasinya (Anggaran Cash Flow) juga masih diperlukan
(sulit untuk dapat ditinggalkan).
2. Kebiasaan dalam membaca anggaran berbasis kas dibanding anggaran berbasis akrual di
sektor pemerintahan menyebabkan kemungkinan salah interpretasi bagi pengguna jika
diubah ke basis akrual. Dengan demikian diperlukan upaya pemahaman bagi para pihak
yang berkepentingan (stakeholder).
3. APBN/APBD masih berbasis kas dan tidak mudah langsung merubah ke basis akrual
4. Software atau sistem terkait penyajian laporan harus disesuaikan untuk menghasilkan
penandingan yang setara antara format anggaran (akrual) dan format laporan keuangan
(akrual). Kondisi ini memerlukan penyamaan kode akun dan sebagainya agar setiap pos
yang dilaporkan telah terdapat dalam pos yang dianggarkan. Jika tidak cermat kondisi ini
juga dapat menimbulkan permasalahan teknis.

PP 71 tahun 2010, mensyaratkan entitas pelaporan untuk menyajikan setidaknya 7


jenis laporan sebagai berikut:
1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
2. Laporan perubahan saldo anggaran lebih (SAL)
3. Neraca
4. Laporan Operasional (LO)
5. Laporan Arus Kas (LAK)
6. Laporan Perubahan Ekuitas
7. Catatan atas laporan keuangan (CALK)
Poin 1 dan 2 disebut dengan laporan pelaksanaan anggaran, sedang poin 3 hingga 7 disebut
laporan finansial.
Jika nantinya digunakan

anggaran akrual maka implikasi terhadap penandinganya

adalah dengan pelaporan akuntansi akrual pula. Pada saat itu sesungguhnya analog dengan
melaporkan laporan operasional (berbasis akrual) ditandingkan dengan realisasinya yang juga
berbasis akrual sehingga dihasilkan anggaran selisih lebih/kurang dari operasi. Akibatnya
adalah terdapat anggaran posisi keuangan yang juga menampung anggaran selisih lebih/kurang
pada sisi ekuitasnya.
anggaran

Pada dasarnya terdapat tarik menarik antara perlunya menyusun

yang kompleks namun memberi

manfaat yang optimal atau anggaran yang

sederhana namun terbatas dalam memberikan manfaat.


Dalam lampiran PP 71 tahun 2010 ditunjukkan bahwa berdasar UU no 1 tahun 2004 pasal 70
ayat 2 dinyatakan bahwa pengakuan pendapatan dan belanja pada APBN/APBD menggunakan
basis akrual. Faktanya sebagian besar praktik yang berlaku dalam penganggaran dan pelaporan
pelaksanaan anggaran di Indonesia adalah berbasis kas. ( Halim dan Kusufi, 2012).

Oleh

karena itu, relevan untuk mengkaji penerapan anggaran yang berbasis akrual untuk
ditandingkan dengan laporan realisasi yang berbasis akrual pula. Selanjutnya peran akademisi
diperlukan untuk memperjelas konsep dan analisis lebih lanjut atas manfaat dan biaya setiap
perubahan yang terjadi.
PENUTUP
Komponen penting dari basis akrual pada sistem akuntansi pemerintah adalah adanya
akuntabilitas dan transparansi fiskal (Kara dan Kilic 2011). Dengan demikian tidak dapat

dipungkiri bahwa penerapan basis akrual pada

pelaporan keuangan sudah pada arah yang

benar. Langkah selanjutnya yang tidak kalah penting adalah telaah lebih mendalam kelemahan
dan kekuatan penggunaan sistem penganggaran yang berbeda basis dengan
akuntansinya.

laporan

Jika penganggaran akan diubah ke basis akrual, perlu pula dikaji bagaimana

pengendalian atas arus kas serta implikasi yang lain terkait basis yang digunakan dalam
APBN/D. Kajian mendalam atas permasalahan ini penting untuk dilakukan karena perbedaan
konsep yang ideal dengan praktik seringkali timbul karena pengetahuan manusia yang terus
berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Perbaikan ke arah yang lebih ideal merupakan
kenyataan yang tidak terhindarkan seiring dengan pemahaman yang meningkat atas suatu
konsep yang ideal.
Di sisi lain aspek biaya dan manfaat juga perlu menjadi pertimbangan.

Setiap

perubahan memerlukan biaya, dengan demikian perlu pula ditinjau asas kemanfaatannya.
Apakah perubahan tersebut memberikan manfaat yang lebih besar menjadi fokus kajian pula.
Apapun yang akan digunakan dalam sistem penganggaran seharusnya didukung oleh perangkat
undang-undang/peraturan yang saling mendukung sehingga tidak menimbulkan permasalahan
bagi pengguna peraturan tersebut.
REFERENSI
Iqbal dan Kusufi, dalam Halim dan Kusufi, 2012, Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi
Keuangan Daerah, Salemba 4
Kara, E dan Kilic Y. , 2011 Accounting Recording System on Accrual Basis at Local
Autorities in Turkey, International Journal of Business and Social Science Vol2 no 15
PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
UU no 1 tahun 2004

TRANSISI DARI AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL MENUJU


PENGANGGARAN BERBASIS AKRUAL
Arief Surya Irawan (FEB Universitas Gadjah Mada)

The transition to the accrual basis of accounting


may bring certain advantages in the appropriate context.
In contrast, the cash basis of accounting
has served almost all governments well
over at least the last two hundred years
(Andy Wynne, 2004)

PENDAHULUAN
Dalam proses penyusunan anggaran secara garis besar terdapat dua metode yaitu
metode basis kas dan basis akrual. Metode basis kas dan basis akrual adalah dua representasi
akhir dari gambaran kemungkinan penganggaran. Umumnya, negara-negara di dunia banyak
yang menggunakan metode basis kas dalam aktivitas penganggaran sektor publik. Namun
demikian, saat ini kebanyakan lembaga pemerintah bekerja dengan pola hibrida (hybrid), yaitu
sistem kas dengan komitmen yang merupakan pengejawantahan dari basis akrual. Akan tetapi,
tren menunjukkan anggaran publik memberikan informasi mengenai kos dari aktivitas dan
semakin mengarah menjadi basis akrual.
Mengapa sejumlah negara beralih menggunakan akuntansi akrual? Untuk menjawab
pertanyaan ini, beberapa alasan dapat dikemukakan. Pertama, akuntansi akrual menyediakan
informasi untuk menjalankan organisasi dengan cara lebih efektif dan efisien. Kedua, sistem
akuntansi akrual menciptakan kemungkinan untuk memberikan informasi baru yang
merefleksikan realitas ekonomi dari organisasi. Hal ini akan semakin nyata dengan adanya
dukungan dari sistem manajemen akuntansi. Pada keadaan ini, akuntansi basis akrual mungkin
merupakan instrumen penting untuk meningkatkan akuntabilitas. Ketiga, reformasi akuntansi
akrual mungkin juga dilandasi oleh pengalaman terdahulu dengan organisasi lain.
Informasi arus kas masih penting untuk dalam rangka mengontrol kondisi fiskal dan
untuk identifikasi kebutuhan perbendaharaan sebagai bagian dari ekonomi makro (kebijakan
moneter dan fiskal) dan peraturan penganggaran. Oleh karena itu, negara-negara yang

memperkenalkan penganggaran basis akrual juga menyediakan informasi arus kas agar
memiliki ikhtisar yang lebih lengkap.
EVOLUSI MENUJU AKUNTANSI AKRUAL DAN PENGANGGARAN AKRUAL
Beberapa pakar mengatakan bahwa terdapat evolusi proses penyusunan anggaran dari
basis kas menjadi basis akrual. Tabel di bawah menunjukkan perbandingan luas reformasi
penganggaran dan akuntansi akrual pada 6 negara OECD.
Tabel 1: Akuntansi akrual dan akuntansi pada pemerintahan Pusat/Federal dan Satuan Kerja di enam
negara anggota OECD.
Penganggaran Akrual
Australia

Departemen

Satuan Kerja

Departemen

Satuan Kerja

Kanada
Belanda

Swedia
Inggris Raya

Akuntansi Akrual

Amerika Serikat

X
X

Sumber: Sterck, et.al, 2005

Sterck et. Al (2005) dengan berdasarkan hasil studi reformasi penganggaran dan akuntansi
di atas, telah menyusun tiga skenario terkait dengan evolusi ke arah penganggaran akrual:
a. Skenario 1: Penganggaran basis kas dan akuntansi basis kas
Pada skenario ini dapat ditemui negara yang menggunakan penganggaran dan akuntansi
basis kas dan komitmen, contoh Belanda.
b. Skenario 2: Penganggaran basis kas dan akuntansi basis akrual
Pada skenario ini dapat ditemukan negara yang mengadopsi sistem akuntansi berbasis
akrual, namun belum mengganti metode sistem penganggaran dengan tetap berdasar basis
kas, contoh Amerika Serikat, Kanada dan Swedia.
c. Skenario 3: Penganggaran dan Akuntansi Akrual secara penuh
Pada scenario ketiga, sistem akuntansi basis akrual didukung dengan sistem penganggaran
basis akrual, contoh Australia dan Inggris.

PERBANDINGAN AKUNTANSI AKRUAL DENGAN PENGANGGARAN AKRUAL


Akuntansi akrual fokus pada pencatatan dan pascapelaporan transaksi. Secara teknis,
sebuah pemerintahan dapat mengimplementasikan akuntansi akrual tanpa harus melakukan
perubahan pada kerangka kerja penganggaran berbasis kas yang berlaku termasuk untuk
kementerian maupun lembaga
Penganggaran akrual, mencakup perencanaan basis akrual. Dalam hal ini penganggaran
akrual menggabungkan penganggaran basis kas dengan transaksi- non-kas termasuk aset,
kewajiban dan ekuitas. Sebagai contoh, anggaran akrual akan mencakup anggaran biaya, itemitem non kas seperti depresiasi dan pengelolaan dana pensiun. Hal ini memungkinkan anggaran
akrual menyediakan infomasi terkait implikasi pemanfaatan sumber daya atas aktivitas
pemerintah yang sudah ditetapkan. Peruntukan anggaran untuk pemerintah/DPR juga dapat
dikalkulasi dengan menggunakan basis akrual untuk membayar kos total (full cost) operasi
pemerintah tidak tergantung pada saat kapan pengeluarannya terjadi. Sebaliknya, hal ini akan
menimbulkan isu kompleksitas akuntansi dan manajemen kas yang harus diselesaikan sebelum
basis akrual diimplementasikan.
PENYELARASAN AKUNTANSI AKRUAL DENGAN PENGANGGARAN AKRUAL
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa reformasi akuntansi dan penganggaran
seyogyanya diselaraskan sehingga ada dasar penandingan antara rencana pemerintah dengan
hasil keuangan aktual. Blonde (2004 dalam Halim dan Kusufi, 2012) menyatakan bahwa tanpa
perubahan dalam pengelolaan penganggaran, perubahan ke arah akuntansi berbasis akrual akan
mengalami kegagalan dalam rangka menciptakan perubahan budaya maupun insentif yang pada
akhirnya akan mengurangi kebermanfaatan perubahan tersebut. Pemerintah bisa saja
memutuskan untuk mengadopsi akuntansi berbasis akrual sebagai langkah awal sebelum
mengaplikasikan penganggaran akrual yang cenderung lebih kompleks impelementasinya.
Akumulasi pengalaman implementasi akuntansi akrual dan ketersediaan data historis akan
memberi kontribusi positif pada saat transisi ke penganggaran akrual

TANTANGAN REFORMASI PENGANGGARAN DAN AKUNTANSI BASIS AKRUAL


Penerapan sistem akuntansi dan penganggaran basis akrual memunculkan banyak
tantangan antara lain:

1. Transformasi manajemen berdasarkan kas menjadi berdasar prasyarat akrual


2. Memperoleh perhatian dan meyakinkan anggota parlemen
3. Menghadapi standar persaingan
4. Memutuskan pilihan antara sentralisasi atau desentralisasi sistem software
5. Meningkatkan fungsi finansial
6. Menghadapi tumbuhnya kebutuhan akuntan profesional
7. Mengurangi kompleksitas sistem
PENUTUP
Evolusi menuju akuntansi akrual mengarah kepada implementasi penganggaran akrual
dapat dilakukan dengan 3 skenario yaitu penganggaran kas maupun akuntansi berbasis kas,
penganggaran kas dan akuntansi berbasis akrual atau penganggaran akrual dan akuntansi
berbasis akrual. Apapun metode perubahan yang dipilih tidak mengakibatkan kebutuhan akan
informasi tentang kas menjadi berkurang.
REFERENSI

Ahyaruddin, Muhammad, 2013, Tantangan Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Di


Pemerintahan Indonesia, akhyaruddinmsc.blogspot.com, diakses 20 Januari 2014
Halim, Abdul, dan Syam Kusufi. 2012. Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik,
dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah.
Salemba Empat. Jakarta.
Kahn, Abdul & Stephen Mayers, 2009, Transition To Accrual Accounting, Technical Notes
And Manuals, International Monetary Fund.
Sterck, M., Scheers, B., Conings, Veerie & Boukaeert B., 2005, Linking Budgeting and
Accounting Reforms an International Comparison, presented at 10th biennial CIGAR
Conference

MANFAAT BASIS AKRUAL AKUNTANSI PEMERINTAHAN:


PONDASI MANAJEMEN BIAYA ENTITAS PEMERINTAHAN
Muhammad Ichsan
Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
E-mail :muhammad.ichsan71@ui.ac.id
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk melihat manfaat penerapan akuntansi berdasarkan hasil penelitian pada entitas
pemerintahan yang mempunyai kewajiban dan telah menerapkan akuntansi akrual. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, dipahami bahwa akuntansi akrual jika dilaksanakan dengan baik, apalagi jika diintegrasikan dengan
penerapan sistem akuntansi biaya akan memberikan manfaat dalam: meningkatkan kualitas penggunaan sumber
daya, penguatan akuntabilitas, peningkatan transparansi atas total biaya aktivitas pemerintahan, dan penilaian
secara lebih komprehensif atas pengaruh dari aktivitas pemerintahan terhadap perekonomian.
Penerapan akuntansi pemerintahan akrual di Indonesia, sebenarnya telah mulai dilakukan sejak
pemerintah memberikan penetapan Badan Layanan Umum/BLU (2005). Walaupun masih terdapat pro dan kontra
terhadap penerapan akuntansi pemerintahan akrual, namun dapat dipahami bahwa akuntansi akrual dapat
memberikan manfaat dalam pengelolaan biaya suatu entitas sehingga usaha-usaha untuk melakuan efisiensi dapat
dilakukan. Dari pembahasan contoh kasus diketahui bahwa penerapan akuntansi akrual di entitas pemerintahan
sebaiknya dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan atau menyediakan barang /
pelayanan langsung kepada masyarakat. Entitas pemerintahan tersebut memerlukan suatu sistem akuntansi yang
dapat digunakan untuk menghitung biaya satuan (unit cost). Mengetahui biaya satuan (unit cost) tidak sematamata ditujukan untuk menetapkan nilai biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat, tetapi juga berguna agar
entitas tersebut dapat dikelola secara ekonomis, efisien, efektif, serta meningkatkan aspek kualitas tatakelola
pemerintahan. Dengan mengetahui biaya satuan layanan juga dapat diketahui berapa proporsi yang harus
ditanggung oleh pemerintah melalui APBN.
Kata Kunci

: akuntansi akrual, akuntansi biaya, biaya satuan (unit cost), badan layanan umum, manajemen
biaya, keadilan antar generasi.

PENDAHULUAN
Gelombang perubahan dunia yang dipacu oleh inisiatif penerapan Manajemen Publik
Baru (MPB) / New Public Management (NPM) telah mendorong banyak negara untuk segera
mengambil langkah perubahan. Ini merupakan pilihan yang paling realistis dan paling logis
karena negara menghadapi semakin menguatnya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi
yang lebih baik dalam pengelolaan sumber daya keuangan, yaitu agar pengelolaannya dapat
dilakukan secara ekonomis, lebih efisien, dan semakin efektif.
Dalam dua dasawarsa terakhir, banyak negara melaksanakan reformasi dalam bidang
pengelolaan keuangan negara yang merupakan bagian penting dari inisiatif Manajemen Publik
Baru (MPB) / New Public Management (NPM). Salah satu reformasi yang dilakukan adalah
mengganti atau merubah sistem akuntansi anggaran negara yang semula menggunakan basis
kas (budgetary cash accounting systems) menjadi sistem anggaran dan akuntansi yang berbasis
akrual, yaitu basis akuntansi yang digunakan oleh entitas bisnis.

Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa akuntansi akrual diyakini mempunyai manfaat
yang lebih baik dibandingkan dengan akuntansi kas.Diamond (2002 : 9-10) dalam dokumen
International Monetary Fund (IMF) yang berjudul : Performance Budgeting: Is Accrual
Accounting Required?, menuliskan ada empat manfaat dari akuntansi akrual yaitu :
1.

Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation).

2.

Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability).

3.

Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced


Transparency on Total Resources Costs of Government Activities).

4.

Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan


Terhadap Perekonomian (More Comprehensive View of Governments Impact on The
Economy).
Uraian deskriptif atas berbagai manfaat akuntansi akrual sudah banyak dituliskan.

Namun hasil penelitian atas manfaat dari praktik akuntansi akrual yang telah berjalan di entitas
pemerintahan, terutama di Indonesia, masih sedikit.
Di Indonesia, reformasi pengelolaan keuangan negara telah berjalan lebih dari satu
dasawarsa yaitu sejak ditetapkannya paket undang-undang keuangan negara, yang terutama
adalah Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undangundang (UU) Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan dilaksanakannya
reformasi ini maka pengelolaan keuangan Negara harus dapat dijalankan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) UU Nomor 17 tahun 2003.
Paket perundang-undangan keuangan negara tersebut telah menetapkan bahwa
pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan dengan dukungan penerapan sistem akuntansi
yang baik berpondasikan pada sistem pengendalian internal yang kokoh. Dalam paket
perundang-undangan keuangan negara tersebut juga telah ditetapkan bahwa pelaksanaan sistem
akuntansi akrual paling lambat 5 tahun sejak UU No. 17 tahun 2003 ditetapkan atau pada tahun
2008.
Selama basis akrual belum dilaksanakan, pemerintah menjalankan sistem akuntansi
menggunakan basis akuntansi cash towards accrual. Hal ini didukung Peraturan Pemerintah
(PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) sebagai dasar pelaksanaan sistem akuntansi pemerintahan dengan basis cash towards
accrual.

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan dasar pelaksanaan sistem akuntansi


pemerintahan dengan basis akrual.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan manfaat dari penerapan akuntansi
akrual di entitas pemerintahan berdasarkan hasil penelitian pada suatu entitas pemerintahan di
Indonesia yang telah menerapkan akuntansi akrual. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
mengidentifikasi entitas pemerintahan di Indonesia yang telah melaksanakan akuntansi akrual,
menghitung biaya dari satu pelayanan yang dilaksanakan entitas pemerintahan tersebut, serta
menguraikan manfaat perhitungan biaya pelayanan tersebut dalam peningkatan kualitas
penggunaan sumber daya, penguatan akuntabilitas, peningkatan transparansi atas total biaya
suatu pelayanan, dan penilaian pengaruhnya terhadap kebijakan fiskal.
AKUNTANSI AKRUAL VERSUS AKUNTANSI KAS
Dalam banyak literatur, akuntansi akrual diyakini mempunyai beberapa manfaat yang
lebih baik dibandingkan dengan akuntansi kas, yang oleh Eriotis, Filippos dan Dimitrios (2011
: 155) dikelompokkan dan diikhtisarkan sebagai berikut : (i) it provides a clear picture of the
total cost of government programs, activities and services provided; better measurement of
costs and revenues; enhancement of control process and transparency; (ii) greater focus on
outputs; focus on the long-term impact of decisions; (iii) more efficient and effective use and
management of resources and greater accountability; (iv) reduction and better measurement of
public expenditures; (v) better presentation of the financial position of the public sector
organisations; (vi) better financial management; improvement of performance measurements
and greater comparability of managerial performance between periods and organizations by
calculating indicators on the basis of comprehensive and consistent financial and operational
data; (vii) greater attention to assets and more complete information on public organisations
liabilities through better assets and liabilities management; (viii) better planning for future
funding requirements (ix) helps with make/buy or rent/buy decisions; (x) better decisions on
feasibility of providing services; (Mellett, 2002; and Olsen dkk., 2001; Barrett, 1993; Evans,
1995; Pallot, 2000; Mellor, 1996; Brusca, 1997; Funnel and Cooper, 1998; Ryan, 1998; Chan,
2003; Guthrie, 1998; Jones, 2004; Barzelay, 1992; Moe, 1994; Venieris and Cohen, 2004;
Cohen dkk., 2007; Aucoin, 1995; Pessina and Steccolini, 2007; OECD, 2005; and International
Federationof Accountants - Public Sector Committee, 2000 and 2002, pp. 710).
Diamond, (2002 : 8-9) menyatakan bahwa , an accrual system recognize a financial
flow, which does not result in cash flows e.g., depreciation, transfer, write-off of physical

assets, and accrued interest which were necessary to consider from an efficiency viewpoint,
representing the full costs of providing government services, and which also allowed a wider
assessment of government operations.. Selanjutnya Diamond (2002 : 9-10) menjelaskan
berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan akuntansi akrual, yang utama adalah :
1.

Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation)


Akuntansi kas tidak dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan seluruh biaya
(full costs) dari penyediaan layanan publik. Sementara akuntansi akrual mampu
menyediakan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menghitung seluruh biaya
pelayanan berdasarkan pada biaya seluruh sumber daya yang digunakan (termasuk sumber
daya non kas seperti penggunaan aset tetap/fixed assets). Dengan menggunakan metode
full cost bisa dilakukan analisis efisiensi dan perkiraan kebutuhan dana untuk mengganti
aset yang sekarang digunakan.

2.

Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability)


Akuntabilitas akan semakin baik ketika pertanggungjawaban pengelolaan keuangan tidak
hanya terbatas pada sumber daya kas masuk (cash inflows) dan kas keluar (cash outflows),
tetapi juga terhadap asset selain kas (non cash asset) dan kewajiban (liabilities). Dengan
akuntansi akrual, entitas perlu menentukan secara jelas kinerja pelayanan yang ingin
dicapai dan biaya keseluruhan (full cost) dari pelaksanaan pelayanan tersebut, lebih jauh
definisi yang kinerja yang jelas akan menentukan informasi keuangan dan non keuangan
yang dibutuhkan untuk mengelola organisasi dan mengelola pengeluaran.

3.

Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced


Transparency on Total Resources Costs of Government Activities).
Akuntansi akrual juga mempunyai manfaat yang bersifat umum dalam menyediakan
informasi operasional pemerintahan yang berpotensi untuk meningkatkan transparansi dan
memperbaiki tanggung jawab fiskal (fiscal responsibility). Akuntansi akrual mempunyai
prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) atas aset dan kewajiban serta pendapatan dan
beban.

4.

Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan Terhadap
Ekonomi (More Comprehensive View of Governments Impact on The Economy)
Informasi kas dalam laporan arus kas (cash flow statement) lebih jelas menunjukan
rekonsiliasi antara arus kas bersih terhadap perubahan dalam saldo kas dan bank
sebagaimana disajikan dalam neraca (balance sheet), hal ini akan mengurangi berbagai hal
yang tidak dapat dijelaskan dalam data laporan fiskal. Lebih jauh lagi klasifikasi arus kas

kedalam kelompok aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pembiayan, akan
menyedian informasi yang dapat digunakan untuk menelusuri pengaruh arus kas
pemerintah terhadap aktvitas ekonomi yang terkait.
Mengutip hasil studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), McPhee(2006 : 3) menyampaikan beberapa manfaat dari pelaksanaan
akuntansi akrual yang dapat diperoleh oleh entitas publik, termasuk kemampuan untuk :
1.

Reflect and provide the basis for accountability for the additional flexibility provided to
public sector managers;

2.

Underpin objectives for a more competitive approach to public sector provision;

3.

Facilitate more efficient and effective resource management;

4.

Improve accountability by extending the notion of performance beyond the use and
application of cash; and

5.

Provide a longer term focus on the effect of government and management decisions.
Dukungan terhadap penggunaan basis akrual di Pemerintahan dari waktu ke waktu

semakin meningkat, apalagi jika dikaitkan dengan inisiatif peningkatan kualitas Government
Finance Statistic (GFS). Namun demikian, bukan berarti akuntansi kas tidak dibutuhkan atau
sudah tidak mempunyai dukungan sama sekali. Diamond (2002:4) mengutip dari IFAC (1998)
menjelaskan bahwa masih terdapat pro dan kontra terhadap basis kas yang diikhtisarkan
sebagai berikut :
Pros :

Cons :

Easily comprehended by users;


Allows
judgment
on
compliance
with
budget

appropriations, traditionally
cash-based.
Simple to implement, this case
of compilation,
facilitates

reports being timely, reliable,


and comparable.
Cost are low due to the lower
level of accounting skills
required.

Sumber : IFAC (1998)

Limited scope, not good at showing the impact


of transactions resulting in cash flows outside
the current reporting period.
Cannot meet the demands for information on
assets and liabilities, and impact of current
consumption of the stock of assets held by
government, transactions in kind and arrears.
Focuses solely on cash flows and ignores other
resource flows which may also affect
governments ability to provide goods and
services now and in the future (e.g.
accumulated borrowings and other liabilities).
Limits accountability to use of cash, ignores
accountability for management of assets and
liabilities.

KEADILAN ANTARGENERASI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


Pengelolaan keuangan negara harus dijalankan berdasarkan pada prinsip keadilan, di
mana pihak yang menikmati manfaat yang lebih besar seharusnya dapat memberikan konrtibusi
lebih besar kepada negara. Dalam ilmu akuntansi hal ini dikenal sebagai prinsip keadilan
antargenerasi (intergenerational equity).
Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan pada bagian yang menjelaskan
mengenai peranan pelaporan keuangan di dalam paragraf 25, lampiran I.01 dari PP Nomor 71
tahun 2010, menjelaskan bahwa pelaporan keuangan mempunyai peran untuk menjaga keadilan
antargenerasi (intergenerational equity) yaitu untuk membantu para pengguna dalam
mengetahui kecukupan penerimaan Ppemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai
seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan
akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam
mengelola keuangan negara, pemerintah harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar
aktivitas operasional pemerintahan dan program-program pemerintah saat ini tidak dibiayai
dengan pembiayaan yang akan menjadi beban sangat berat bagi generasi selanjutnya.
Vinnari dan Nasi (2008 : 99) mengutip Robinson (1998) menyampaikan bahwa
pemenuhan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity) sering dianggap sebagai
kriteria kunci untuk menjaga posisi fiskal pemerintah. Keadilan antargenerasi didasarkan pada
prinsip bahwa para pembayar pajak dari generasi tertentu harus membiayai semua pengeluaran
dan memberikan kontribusi dalam pembiayaan aset produktif sebanding dengan berapa banyak
manfaat yang mereka terima dari aset tersebut.
Sebagai sebuah konsep abstrak, prinsip keadilan antargenerasi ini dioperasionalkan
melalui ekuitas antarperiode, yang pada gilirannya mensyaratkan harus adanya kecukupan
pendapatan dari pajak yang dikumpulkan dalam setiap periode fiskal untuk menutupi biaya
yang dikeluarkan dalam penyediaan layanan selama periode tersebut. Hal ini, pada gilirannya,
memerlukan anggaran dan rekening tahunan yang seimbang serta pengendalian penggunaan
ekuitas antar periode dalam pengalokasian anggaran yang tepat, meskipun dalam praktik tetap
menimbulkan kontroversi.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus dapat menghitung dengan baik keseluruhan
biaya dari program yang dijalankan (full program costs) dan keseluruhan biaya atas pelayanan
yang diberikan (full services costs). Untuk itu Pemerintah memerlukan sistem akuntansi yang
dapat menyajikan informasi tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sistem akuntansi yang
berbasis akrual.

AKUNTANSI AKRUAL DAN MANAJEMEN BIAYA


NPM sejatinya mengarahkan dan mendorong agar pengelolaan pemerintahan dijalankan
dengan lebih baik, yaitu lebih ekonomis, lebih effisien dan lebih efektif. Michel(2004 : 3)
menekankan bahwa state and local governments have come under increasing preasures to do
more with less. Hal ini sebagaimana perusahaan-perusahaan di sektor bisnis yang selalu
bersaing untuk menjadi lebih baik yaitu dengan menjadi lebih cepat, lebih murah dan lebih
berkualitas. Eriotis., Filippos dan Dimitrios (2011 : 154) menyatakan bahwa : governments
are implementing numerous market-based and businesslike reforms, broadly known as New
Public Management (NPM), aiming at bringing the public sector in line with the private
sector. NPM digunakan sebagai instrumen untuk memperkenalkan disiplin pasar (market
discipline) kedalam birokrasi publik juga sebagai pendorong perubahan fokus dari akuntabilitas
masukan (input accountability) dan proses (process accountability) menjadi akuntabilitas
keluaran (output accountability) dan hasil (result oriented accountability).
Dalam kaitannya akuntansi akrual dengan NPM, McPhee, (2006 : 2) menyatakan bahwa
accrual accounting, and then accrual budgeting, were important elements in a suite of public
sector reforms directed to improving the efficiency and responsiveness of government services,
and enhancing the accountability for the use of public resources. Akuntansi dan anggaran
akrual merupakan elemen penting yang tepat digunakan dalam melaksanakan reformasi di
sektor publik untuk meningkatkan efisiensi dan responsivitas pelayanan publik, serta
meningkatkan akuntabilitas dari penggunaan sumber daya publik.
Penerapan akuntansi akrual di pemerintahan dapat membantu menyediakan data dan
informasi yang dapat digunakan untuk melakukan efisiensi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan
melakukan manajemen biaya (cost management) dengan sebaik-baiknya, seperti dengan
melakukan analisis biaya (cost analysis) dan perhitungan biaya per program / per layanan (cost
of programs / cost of services).
Vinnari dan Nasi (2008 : 97) berdasarkan hasil penelitian Guthrie dkk., (1999 : 210)
menulis: an increasingly notable element of the NPM movement is the seemingly endless list
of accounting-based, financial management techniques that are being drawn on in the pursuit
of reform dan bahwa : the field of NPFM is replete with jargon terms such as accrual
accounts, performance indicators, delegated budgets, full costs, . . .to name just a few.
Selanjutnya Vinnari dan Nasi (2008 : 97) menyampaikan bahwa upaya untuk
memecahkan masalah keuangan publik telah dilakukan dengan memasukkan serta mengadopsi

model yang berasal dari sektor swasta (lihat misalnya, Hood 1995; dan Gruening, 2001). Hal
ini dikenal dengan Manajemen Publik Baru (MPB)/New Public Management (NPM), yang
menyoroti peran manajemen keuangan dan akuntansi sebagai dasar untuk melakukan
perubahan (reformasi). Dalam kerangka NPM dipahami bahwa akuntansi sektor publik,
khususnya bidang manajemen keuangan dan akuntansi biaya, harus dikembangkan untuk
meniru praktik sektor bisnis.
Sejalan dengan Vinnari dan Nasi, Michel, (2004 : 3) telah menjelaskan bahwa cost
analysis can be an effective weapon in the government finance arsenal to tackle this fiscal
pressure. Cost analysis can help managers identify inefficient programs and find areas of
potential cost savings,.. It can help governments justify fee increases and user fees to recover
the full cost of services.

Selanjutnya Michel, (2004 : 2) menjelaskan bahwa cost analysis

techniques use information to make management decisions. Michel, (2004 : 2 -3) lebih lanjut
menjelaskan bahwa analisis biaya (cost analysis) dapat digunakan untuk:
1.

Evaluating the efficiency of programs;

2.

Setting fees and charges;

3.

Evaluating whether a service should be contracted out or performed in house;

4.

Evaluating the budgetary effect of increasing or decreasing the level of services;

5.

Setting indirect cost rate for federal grant reimbursement and charging enterprise
funds;

6.

Comparing the prices and long term costs of capital equipment; and

7.

Monitoring the implementation of the budget.

ENTITAS PEMERINTAHAN YANG SUDAH MENERAPKAN AKUNTANSI AKRUAL


Waktu penerapan akuntansi berbasis akrual di dalam sistem akuntansi pemerintahan di
Indonesia telah diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 dan Pasal 70
ayat (2) UU No. 1 tahun 2004, yang menetapkan bahwa pelaksanaan sistem akuntansi
pemerintahan berbasis akrual paling lambat dilaksanakan 5 tahun sejak UU No. 17 tahun 2003
ditetapkan atau pada tahun 2008.Tetapi ketentuan tersebut tidak dapat dijalankan jika belum
ada Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang berbasis akrual.
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) berbasis akrual yang dapat digunakan dalam
sistem akuntansi pemerintahan baru ditetapkan dengan PP Nomor 71 tahun 2010. Dan jika kita
mengacu pada penetapan tanggal efektif pelaksanaan

Pernyataan Standar Akuntansi

Pemerintahan (PSAP) berbasis akrual ini, maka dapat diketahui bahwa Pernyataan Standar

Akuntansi Pemerintahan (PSAP) ini berlaku efektif untuk laporan keuangan atas
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran mulai tahun anggaran 2010, dan dalam hal entitas
pelaporan belum dapat menerapkan PSAP ini, entitas pelaporan dapat menerapkan SAP
berbasis kas menuju akrual paling lambat 4 (empat) tahun setelah tahun anggaran 2010 atau
tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut maka secara sekilas diyakini bahwa sebelum tahun 2014
belum ada entitas pemerintahan yang sudah melaksanakan akuntansi berbasis akrual. Sejatinya
tidaklah demikian, sebenarnya telah ada entitas-entitas pemerintahan yang telah menjalankan
sistem akuntansi berbasis akrual, hanya saja entitas ini tidak menggunakan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) namun menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Entitas
pemerintahan tersebut adalah entitas pemerintahan yang diberikan status sebagai Badan
Layanan Umum (BLU).
Dalam Pasal 1 ayat (23) UU Nomor 1 Tahun 2004 disebutkan bahwa BLU adalah
instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Definisi tersebut memberikan penekanan bahwa BLU harus dapat beroperasi / dikelola secara
efisien dan memiliki produktivitas tinggi hingga dapat efektif mencapai tujuannya dalam
memberikan pelayanan kepada publik.
Untuk menunjang kelancaran operasional organisasi, BLU dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan oleh BLU
tersebut. Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU mengatur bahwa imbalan
barang/jasa layanan yang diberikan

atas

ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas

dasar perhitungan biaya per unit layanan. Tarif layanan yang ditetapkan oleh BLU harus
mempertimbangkan aspek-aspek antara lain: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan, (2)
daya beli masyarakat, (3) asas keadilan dan kepatutan, dan (4) kompetisi yang sehat.
Untuk dapat menghitung biaya per unit layanan dan menentukan tarif, maka BLU perlu
menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual sebagai kerangka pelaksanaan sistem akuntansi
biaya. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2008 tentang
Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum, disebutkan bahwa sistem
akuntansi BLU terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan, Sistem Akuntansi Aset Tetap dan
Sistem Akuntansi Biaya. Selanjutnya Pasal 9 PMK Nomor 76/PMK.05/2008 tersebut

menjelaskan bahwa sistem akuntansi biaya di BLU paling sedikit mampu menghasilkan
informasi tentang harga pokok produksi, biaya satuan (unit cost) per unit layanan dan informasi
tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya sesungguhnya).
Berdasarkan data per 27 Mei 2013 yang disajikan dalam laman elektronis Direktorat
Pembinaan

Pengelolaan

Keuangan

Badan

Layanan

Umum,

Direktorat

Jenderal

Perbendaharaan, Kementerian Keuangan (www.ppkblu.depkeu.go.id) diketahui bahwa terdapat


141 entitas pemerintahan yang telah diberikan status sebagai BLU. Pemberian dan penetapan
status BLU dimulai sejak tahun 2005, di mana Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM)
merupakan salah satu entitas pemerintahan pertama yang ditetapkan berstatus BLU.
Dengan adanya entitas pemerintahan yang telah diwajibkan dan mungkin telah banyak
yang berhasil menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual, yaitu entitas pemerintahan dengan
status BLU, maka kita seharusnya dapat mempelajari manfaat dari penerapan akuntansi akrual
tersebut.
PERHITUNGAN BIAYA SATUAN DAN TARIF KAMAR RAWAT INAP KELAS 2 DI
RUMAH SAKIT X
Rumah Sakit Umum yang dimiliki oleh Pemerintah merupakan salah satu entitas
pemerintahan yang dapat diberikan status sebagai BLU. Oleh karena itu maka Rumah Sakit
Umum yang dimiliki oleh Pemerintah merupakan salah satu entitas pemerintahan yang harus
(sudah) menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual dan bahkan diwajibkan untuk
menjalankan sistem akuntansi biaya. Untuk itu kita bisa mengambil pelajaran untuk
mengetahui manfaat penerapan akuntansi berbasis akrual bahkan akuntansi biaya.
Bagian ini diambil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Munteh dan Ichsan (2013)
dengan judul penelitian Analisis Perhitungan Biaya Satuan Layanan Dalam Penetapan Tarif
Badan Layanan Umum Rumah Sakit: Studi Kasus Rawat Inap Umum Kelas II Rumah Sakit X.
Penelitian bertujuan untuk menghitung biaya satuan (unit cost) kamar Rawat Inap Umum Kelas
II Rumah Sakit (RS) X dengan menggunakan metode analisis biaya distribusi ganda (double
distribution cost analysis) berdasarkan data dari laporan keuangan yang disusun dengan
menggunakan basis akrual, kemudian berdasarkan hasil perhitungan biaya satuan (unit cost)
tersebut dilakukan perhitungan tarif layanan.
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit yang berada di bawah Kementerian Kesehatan
RI c.q. Direktorat Jenderal

Bina Upaya Kesehatan dan beroperasi di wilayah Kota Bogor.

Sampai saat dilakukannya penelitian, Rumah Sakit X ini belum pernah menghitung biaya
satuan (unit cost) layanan sebagai dasar penen uan tarif layanan, hal ini mengindikasikan
sistem akuntansi biaya di rumah sakit ini belum dibangun dengan baik. Tarif yang
bahwa

berlaku saat ini dibuat berdasarkan pada tarif rumah sakit sekitar terhadap produk layanan yang
sama, dan ditetapkan pada tahun 2012 berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama Rumah
Sakit X. Tarif untuk layanan kamar rawat inap adalah terdiri dari :
Tabel 1 Tarif Kamar Rawat Inap Non Psikiatri (Umum)

Sumber :Munthe dan Ichsan (2013)


Dari data keuangan tahun 2012, peneliti mendapatkan informasi biaya rumah sakit
selama tahun 2012.Informasi biaya rumah sakit ini adalah informasi yang berasal dari sistem
akuntansi berbasi akrual, sehingga dalam biaya tersebut termasuk beban yang belum dilakukan
pembayarannya dan penggunaan sumber daya yang tidak berupa kas.
Data tersebut kemudian dianalisis untuk ditentukan mana biaya yang berupa biaya
langsung (direct cost), yaitu biaya yang berhubungan langsung dengan objek yang akan diteliti,
yang berupa biaya tidak langsung (indirect cost), yaitu biaya yang tidak
dan mana biaya
berhubungan langsung dengan objek

yang akan diteliti sehingga pembebanannya dilakukan

dengan menggunakan prosedur alokasi biaya. Analisis biaya dilakukan juga untuk mengetahui
bagian dari biaya-biaya tersebut yang merupakan beban dari jenis pelayanan yang lain, seperti
layanan unit penunjang medik.
Berdasarkan hasil analisis biaya, maka dapat diketahui jumlah total biaya yang terkait
dengan penggunaan kamar pada rawat inap umum kelas II, sebagai berikut:
Tabel 2 Jumlah Total Keseluruhan Biaya Kamar Rawat Inap Umu m Kelas II (Full Cost)

Sumber :Munthe dan Ichsan (2013)


Berdasarkan tabel di atas, diperoleh biaya satuan pada Rawat Inap Non Psikiatri
502.909 per hari perawatan, yaitu diperoleh dari total
(Umum) Kelas II adalah sebesar Rp.
biaya Rp. 3.596.303.780 dibagi dengan 7.151 hari perawatan.
tarif pelayanan, Menteri Kesehatan telah menetapkan Peraturan
Untuk perhitungan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 12 tahun 2013 tentang Pola Tarif BLU Rumah Sakit di

Lingkungan Kementerian Kesehatan, yang mengatur bahwa biaya gaji pokok pegawai negeri
sipil (PNS) dan biaya penyusutan tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya untuk biaya
satuan (unit cost) yang akan dijadikan sebagai dasar menghitung tarif.
Tabel 2 Jumlah Total Biaya Kamar Rawat Inap Umum Kelas II
Tanpa Biaya Gaji PNS dan Biaya Penyusutan (Permenkes)

Sumber :Munthe dan Ichsan (2013)


Berdasarkan hal tersebut maka biaya satuan pada Rawat Inap Non Psikiatri (Umum)
Kelas II adalah sebesar Rp. 265.719 per hari perawatan, yang didasarkan pada total biaya Rp.
1.900.156.704 dibagi dengan 7.151 hari perawatan.
pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 582/MENKES/SK/VI/1997
Mengacu
tentang Pola Perhitungan Tarif Rumah Sakit Pemerintah yang menentukan bahwa tarif di Kelas
II merupakan dasar (baseline) yang digunakan untuk melakukan perhit ungan tarif layanan
di kelas perawatan lainnya, dengan kata lain bahwa tarif di kelas II ini dihittung dengan rumus
= 1 x Unit Cost.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jika menggunakan perhitungan biaya satuan (unit
cost) yang dihitung sesuai dengan Permenkes akan diperoleh nilai tarif sebesar Rp. 265.719
berarti terdapat selisih kurang sebesar Rp. 61.719 dari tariff yang saat ini berlaku.
yang
Sedangkan jika menggunakan perhitungan biaya satuan (unit cost) berdasarkan seluruh biaya
(full cost) maka akan diperoleh nilai tarif sebesar Rp. 502.909 yang terdapat selisih kurang
sebesar Rp. 298.909 dari tariff yang saat ini berlaku.

Perhitungan ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:


Tabel 3 Perhitungan dan Perbandingan
Tarif Kamar Rawat Inap Umum Kelas II
Kelas I I
Pola Hitunga Tarif
(Kepmenkes) Baseline Unit
Cost (Permenkes)
Baseline
Unit Cost (Full Cost)

1 x Unit Cost
265.719
502.909

Tarif S aat I ni (SK Dir RS) (a)

204.000

Tarif Berdasarkan Unit Cost (Permenkes) (b)

265.719

Tarif Berdasarkan Unit Cost (Full Cost) (c)

502.909

Selisih :
S elisih a - b

(61.719)

S elisih a - c

(298.909)

Dengan kondisi penetapan tarif di RS X seperti itu, maka RS X sejatinya mengalami


kerugian atau dengan kata lain bahwa pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) harus menyediakan dana untuk menutupi biaya operasional RS X. Hal ini akan
sangat membebanni APBN dan tidak sesuai dengan prinsip BLU.
Di sisi lain pengamatan singkat di lapangan mengindikasikan bahwa terdapat kesalahan
pengelolaan (missmanagement) di RS X, di mana pengelolaan biaya tidak dilakukan dengan
baik. Misalkan terdapat biaya yang pembayarannya ditanggung RS X namun biaya tersebut
mencakup beban yang sebenarnya digunakan bukan untuk operasional RS X tetapi untuk
perumahan karyawan. Jika pengelolaan biaya (cost management) dapat dilakukan dengan baik,
sehingga efisiensi dapat terus dilakukan, maka nilai tarif yang sudah ditetapkan saat ini
mungkin saja adalah tarif yang sesuai dengan unit cost dari layanan tersebut.
MANFAAT INFORMASI AKUNTANSI AKRUAL
Berdasarkan pada penelitian di RS X tersebut maka dapat dipahami bahwa akuntansi
akrual jika dilaksanakan dengan baik dan diintegrasikan dengan penerapan sistem akuntansi
biaya akan dapat memberikan manfaat dalam hal:
1.

Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation).

2.

Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability).

3.

Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced


Transparency on Total Resources Costs of Government Activities).

4.

Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan


Terhadap Ekonomi (More Comprehensive View of Governments Impact on The
Economy).

KESIMPULAN
Penerapan akuntansi akrual oleh Pemerintah Indonesia, sebenarnya telah mulai
dilakukan ketika pemerintah memberikan penetapan BLU untuk pertama kalinya (2005) yang
berarti sudah lebih dari satu windu. Beberapa BLU telah berhasil menjalankan sistem akuntansi
berbasis akrual, bahkan ada yang sudah berhasil menerapkan sistem akuntansi biaya. Dalam
contoh tulisan di atas, RS X belum berhasil menerapkan sistem akuntansi biaya sehingga belum
secara paripurna merasakan manfaat akuntansi akrual untuk kebutuhan pengelolaan biaya.
Walaupun masih terdapat pro dan kontra untuk penerapan akuntansi akrual di
pemerintahan, namun dari tulisan di atas dapat dipahami bahwa akuntansi akrual dapat
memberikan manfaat dalam pengelolaan biaya suatu entitas sehingga usaha-usaha untuk
melakuan efisiensi dapat dilakukan.Walaupun contoh penarapan akuntansi akrual yang sudah
ada saat ini adalah di entitas pemerintahan yang berstatus BLU, namun ini tidak mengurangi
makna bahwa akuntansi akrual dapat memberikan manfaat yang tidak dapat diberikan oleh
akuntansi kas.
Contoh kasus di atas, menunjukkan bahwa penerapan akuntansi akrual pada entitas
pemerintahan yang lainnya sebaiknya dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas
memberikan atau menyediakan barang/pelayanan langsung kepada masyarakat.

Entitas

pemerintahan tersebut memerlukan suatu sistem akuntansi yang dapat digunakan untuk
menghitung biaya satuan (unit cost).
Mengetahui biaya satuan (unit cost) tidak semata-mata ditujukan untuk menetapkan
nilai biaya satuan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Namun juga berguna agar entitas
yang bersangkutan dapat dikelola dengan ekonomis, efisien, dan efektif, serta dapat
meningkatkan aspek kualitas tatakelola pemerintahan. Dengan mengetahui biaya satuan
layanan juga dapat diketahui berapa proporsi yang harus ditanggung oleh Pemerintah melalui
APBN.
SARAN
Penerapan akuntansi akrual di entitas pemerintahan yang lain (selain BLU) sebaiknya
dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan atau menyediakan

barang / pelayanan langsung kepada masyarakat. Entitas pemerintahan tersebut memerlukan


suatu sistem akuntansi yang dapat digunakan untuk menghitung biaya satuan (unit cost). Ini
mungkin dapat menjadi salah satu landasan berpikir untuk menggunakan strategi bertahap
(phased strategy) dalam mengimplementasikan akuntansi akrual.
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan BLU, untuk
mengetahui berapa banyak BLU yang telah berhasil membangun sistem akuntansinya dengan
baik dan benar-benar digunakan dalam pengelolaan organisasi dan pengambilan keputusan.
Penelitian lain juga bisa dilakukan untuk melakuan pemetaan entitas pemerintahan yang lain
baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mempunyai tugas untuk
memberikan atau menyediakan barang/pelayanan langsung kepada masyarakat.
REFERENSI
Buhr, Nola., (2010), From Cash to Accrual and Domestic to International: Government
Accounting Standard Setting in the Last 30 Years, Plenary Speech, 19 August 2010,
Sixth Accounting History International Conference, Wellington, New Zealand.
Colquhoun, Philip., (July 2010), Intergenerational Equit in Municipal Accounting : New
Zealand 1910s, Working Paper Series, Working Paper No. 71, Victoria University of
Wellington, New Zealand.
Diamond, Jack., (2002), Performance Budgeting : Is Accrual Accounting Required?,
International Monetary Fund.
McPhee, Ian., (2006), Financial Management in The Public Sevtor : How Accrual Accounting
Enhances Governance and Accountability, Australian National Audit Office.
Michel, R. Gregory., (2004), Cost Analysis and Activity Based Costing for Government,
Government Finance Officer Association (GFOA).
Munthe, Syahrawi., dan Ichsan, Muhammad., (2013), Analisis Perhitungan Biaya Satuan
Layanan Dalam Penetapan Tarif Badan Layanan Umum Rumah Sakit (Studi Kasus
Rawat Inap Umum Kelas II Rumah Sakit X), Program Studi Magister Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Nikolaos, Eriotis., Filippos, Stamatiadis., dan Dimitrios, Vasiliou., (2011), Assessing Accrual
Accounting Reform in Greek Publik Hospitals : An Empirical Investigation,
International Journal of Economic Sciences and Applied Research 4(1) : 153 183.
Robinson, M., (1998), Accrual Accounting and the Efficiency of the Core Public Sector,
FinancialAccountability & Management, Vol. 14, No. 1, Hal. 2137.

Vinnari, Eija M., dan Nasi, Salme., (2008), Creative Accrual Accounting in The Public Sector :
Milking Water Utilities to Balance Municipal Budgets and Accounts,

Financial

Accountability & Management, 0267-4424.


W L McGuinness, (Agustus 1988), Implementation of Accrual Accounting for Government
Departments.
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
International Monetary Fund, Government Finance Statistics Manual 2001.
www.ppkblu.depkeu.go.id.

KAJIAN VARIABEL-VARIABEL KESUKSESAN


PENERAPAN BASIS AKRUAL
DALAM SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Muhammad Ichsan
Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
E-mail:muhammad.ichsan71@ui.ac.id

ABSTRAK
Dengan ditetapkannya standar akuntansi pemerintahan (SAP) berbasis akrual yang diatur dalam
PP Nomor 71 Tahun 2010 sebagai pengganti dari PP Nomor 24 Tahun 2005, penerapan pemerintahan
akuntansi akrual di Indonesia sudah tidak dapat ditawar lagi. Studi ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran umum variabel-variabel pendorong kesuksesan penerapan akuntansi pemerintahan berbasis
akrual. Hasil studi menunjukkan bahwa setidaknya terdapat empat variabel utama yang harus
diperhatikan agar implementasi akuntansi pemerintahan berbasis akrual dapat dilaksanakan dengan
baik, yaitu: (1) strategi implementasi akuntansi berbasis akrual, (2) prakondisi yang harus disiapkan, (3)
faktor kunci sukses dan (4) pengelolaan isu-isu akuntansi khusus. Dari hasil studi dapat diuraikan lebih
lanjut bahwa terdapat sedikitnya enam komponen prakondisi yang harus disiapkan menjelang
implementasi akuntansi akrual, terdapat setidaknya sepuluh komponen faktor kunci sukses, dan terdapat
setidaknya lima komponen isu-isu akuntansi yang khusus yang harus diperhatikan dan dipahami.
Kata Kunci :

Akuntansi Pemerintahan, Basis Akrual, Strategi Penerapan Basis Akrual, Isu-isu Strategis,
Variabel Kesuksesan Implementasi Basis Akrual

PENDAHULUAN
Krisis keuangan yang menerpa Indonesia pada Tahun 1997 seolah membangunkan
kesadaran bangsa Indonesia dari tidur nyenyak yang panjang. Sehingga bangsa ini mulai
melihat kenyataan bahwa pengelolaan keuangan negara membutuhkan perbaikan segera dan
perubahan yang mendasar yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Keengganan melakukan
perubahan hanya membawa keuangan negara pada tepi jurang kehancuran yang ditandai
dengan semakin melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap mata uang asing.
Tahun 1998 kesadaran akan perlunya perbaikan pengelolaan keuangan negara semakin
membesar hingga munculnya tuntutan pergantian Kepala Pemerintahan, Presiden Soeharto,
yang dianggap lamban dalam memberikan respon dan mengambil keputusan serta
melaksanakan tindakan perbaikan. Gejolak nilai rupiah yang tidak terkendali membuat sektor
riil goyah dan banyak perusahaan harus menurunkan aktivitas operasionalnya bahkan menutup
usahanya. Hal ini akhirnya memicu gejolak sosial yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya,

yang akhirnya memaksa pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto kepada
Wakil Presiden saat itu B.J. Habibie.
Pergantian kepala pemerintahan tersebut merupakan titik awal pelaksanaan reformasi
keuangan negara. Dalam proses reformasi ini perbaikan pengelolaan keuangan Negara terus
dilakukan secara berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik (god governance) dan membangun sistem pengendalian internal (internal control)
yang kokoh.
Merujuk pada pendapat Mardiasmo (2003 : 27) mengenai elemen-elemen dalam
pelaksanaan reformasi pengelolaan keuangan daerah, maka dapat dikatakan bahwa dalam
reformasi pengelolaan keuangan negara, selain reformasi dalam bidang kelembagaan, harus
dilakukan reformasi di bidang lainnya yaitu:
1.

Reformasi Sistem Pembiayaan (financing reform).

2.

Reformasi Sistem Penganggaran (budgeting reform).

3.

Reformasi Sistem Akuntansi (accounting reform).

4.

Reformasi Sistem Pemeriksaan (audit reform).

5.

Reformasi Sistem Manajemen Keuangan (financial management reform).


Sementara Nasution (2008 : 1) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Badan Pemeriksa

Keuangan menuliskan bahwa perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal atau keuangan
negara adalah merupakan bagian terpenting dari penegakan tata kelola atau tata pemerintahan
yang baik (good governance). Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara harus
diwujudkan dalam 5 (lima) tahapan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,
pertama perencanaan dan penganggaran, kedua pelaksanaan anggaran, ketiga akuntansi,
pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran, keempat pengawasan internal dan kelima
pemeriksaan oleh auditor eksternal yang independen.
Dalam kerangka reformasi pengelolaan keuangan negara, pemerintah kemudian
menetapkan paket perundang-undangan keuangan negara yaitu Undang-undang (UU) Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang(UU) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan
dan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara. Salah satu aspek perubahan paling
substansial dalam reformasi pengelolaan keuangan negara yang dituangkan dalam paket
perundang-undangan keuangan negara tersebut adalah diharuskannya pemerintah menyajikan
laporan keuangan (LK), sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara

(APBN)/pengelolaan keuangan daerah (APBD), yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem


akuntansi.
Dalam kaidah ilmu akuntansi pelaksanaan sistem akuntansi harus didasarkan pada
Prinsip-prinsip Akuntansi Berlaku Umum (Generally Accepted Accounting Principles) yang
dituangkan dalam bentuk standar akuntansi. Untuk itu Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun
2003 menyatakan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 51 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa akuntansi digunakan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat/daerah sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Dalam perjalanan reformasi pengelolaan keuangan negara di bidang akuntansi,
pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan yang kemudian telah diganti dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Penggantian PP Nomor
24 Tahun 2005 dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 didasarkan pada ketentuan yang ada dalam
Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004
yang menetapkan bahwa basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan selambatlambatnya dilaksanakan 5 tahun setelah UU Nomor 17 Tahun 2003 ditetapkan atau pada Tahun
Anggaran 2008. Namun demikian, dalam ketentuan tersebut diberikan aturan fleksibilitas
dalam masa transisi yang mengatur bahwa selama basis akrual belum dapat dilaksanakan maka
dapat digunakan basis kas untuk pendapatan dan belanja.
Karena adanya ketentuan masa transisi maka dalam PP Nomor 71 Tahun 2010 dimuat
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang berbasis akrual yang berada di
Lampiran I dan PSAP berbasis kas menuju akrual yang berada di Lampiran II. Memang ada
masa transisi dalam penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan namun masa
transisi tersebut telah ditetapkan batasan waktunya. Dalam bagian tanggal efektif pemberlakuan
PSAP dinyatakan bahwa PSAP berbasis akrual berlaku efektif untuk laporan keuangan atas
pertanggungjwaban pelaksanaan anggaran mulai Tahun Anggaran 2010, namun dalam hal
entitas pelaporan belum dapat menerapkan PSAP berbasis akrual maka entitas pelaporan dapat
menerapkan PSAP berbasis kas menuju akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah Tahun
Anggaran 2010.Berdasarkan hal tersebut maka Tahun 2014 merupakan tahun di mana sistem
akuntansi pemerintahan harus dijalankan dengan menggunakan basis akrual.

Penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan memang sudah menjadi
keharusan karena sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan namun bukan berarti
bahwa penerapan basis akrual akan dapat dengan mudah dilaksanakan tanpa hambatan. Untuk
mengurangi risiko kegagalan implementasi basis akrual maka perlu dilakukan kajian (studi)
terhadap berbagai variable yang dapat mendukung keberhasilan implementasi basis akrual
tersebut.
Studi yang dilakukan ditujukan untuk mendapatan gambaran umum terkait dengan
berbagai variable yang dapat mendukung keberhasilan implementasi basis akrual berdasarkan
pada hasil studi literatur. Saat ini banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari
penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di berbagai negara, baik dalam
sistem akuntansi di pemerintah pusat maupun dalam sistem akuntansi di pemerintah daerah.
Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran agar penerapan basis akrual dalam
sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik.
Terdapat dua kelompok besar Sistem Akuntansi Pemerintahan di Indonesia saat ini,
sesuai dengan struktur pemerintahan dan sejalan dengan arsitektur pengelolaan keuangan
negara, yaitu Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) dan Sistem Akuntansi Pemerintah
Daerah (SAPD). Pengaturan teknis kedua jenis sistem akuntansi tersebut merupakan
tanggungjawab dari dua kementerian yang berbeda di mana SAPP diatur oleh Menteri
Keuangan dan SAPD diatur oleh Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan hal tersebut maka studi ini akan sangat
berguna dan berkaitan dengan pelaksanaan basis akrual, baik pada SAPP maupun SAPD.
Adapun keberhasilan pelaksanaan dari akuntansi akrual ini menjadi tanggung jawab
dari masing-masing entitas pelaporan, baik pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah.
Entitas pelaporan dapat diartikan sebagai unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih
entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyajikan
laporan pertanggungjawaban, berupa laporan keuangan yang bertujuan umum, yang terdiri dari:
(a) Pemerintah pusat; (b) Pemerintah daerah; (c) Masing-masing kementerian negara atau
lembaga di lingkungan pemerintah pusat; (d) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah
pusat/daerah atau organisasi lainnya, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan
organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan.Walaupun entitas pelaporan untuk
sementara masih diperkenankan menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual, entitas
pelaporan diharapkan dapat segera menerapkan SAP Berbasis Akrual.

STUDI LITERATUR
Manfaat Akuntansi Akrual di Sektor Publik
Sudah lebih dari dua dekade isu mengenai penerapan basis akrual dalam sistem
akuntansi pemerintahan terus berkembang. Trend penerapan basis akrual terus meningkat di
berbagai negara walaupun masih ada diskusi dan perdebatan dari para ahli mengenai
keuntungan dan kerugiannya.
Para pendukung penerapan basis akrual menyampaikan bahwa penggunaan basis akrual
di sektor publik akan memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan jika sektor publik
hanya menggunakan basis kas. Basis akrual juga diharapkan menjadi jawaban yang tepat atas
meningkatnya tekanan dari masyarakat agar sektor publik dapat membangun tata kelola
pengelolaan keuangannya dengan lebih baik. Tickell (2010 : 71) mengutip Dickinson (2000)
menjelaskan bahwa This migration from cash-basis accounting to accrual-basis accounting is
the result of calls for greater accountability and transparency in the public sector. Sementara
Blondal (2003 : 45) menyatakan bahwa the objective of moving financial reporting to accruals
is to make the true cost of government more transparent. A further objective for adopting
accruals is to improve decision-making in government by using this enhanced information.
Selanjutnya Tickell (2010 : 71) menuliskan kutipan dari Public Sector Committee (2002) yang
menyatakan : The Public Service Committee (PSC) of the International Federation of
Accountants (IFAC) believes that accrual-based financial statements, rather than cash-based
financial statements, provide the most relevant, reliable, comparable and useful information for
users of financial information.
Rkein (2008 : 16) merujuk pada Aucoin (1990), Barzelay (1992), dan Hood (1991)
menuliskan bahwa dalam pelaksanaan reformasi di sektor publik, yang menjadi trend di dunia
internasional karena dorongan yang terjadi di era New Public Management (NPM), akuntansi
akrual diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam hal menyediakan informasi
keuangan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sektor publik sehingga pengelolaan
keuangan yang ekenomis, efisiens, dan efektif dapat dicapai. Sementara Buhr (2010 : 11)
memberikan perhatian terhadap pengelolaan biaya dengan menyatakan a cash basis of
accounting has its problems. It fails to provide the total cost of government programs and
activities, thereby making it difficult to make decisions about expanding or contracting
programming. Under the cash basis of accounting, significant asset holdings in the form of
tangible capital assets go unreported.

Nasution (2008 : 10) menekankan perlunya perubahan mendasar untuk secara bertahap
menggantikan akuntansi yang berbasis kas dengan akrual. Selanjutnya Anwar Nasution
menjelaskan bahwa dalam sistem akuntansi berbasis akrual dapat diukur biaya pelayanan jasa
pemerintahan, efisiensi serta kinerja pemerintah. Dalam sistem berbasis akrual juga dapat
diketahui kewajiban kontijensi pemerintah karena dicatat komitmen atau hak maupun
kewajiban kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun pengeluaran yang melampaui
masa satu tahun anggaran. Anggaran berbasis akrual akan memungkinkan perencanaan
anggaran jangka panjang yang melebihi satu tahun anggaran.
Beberapa ahli menyampaikan pendapatnya yang masih menyiratkan adanya keraguan
atas penerapan basis akrual secara penuh di sektor publik. Beechy (2007 : 2) menyampaikan
argumentasi bahwa the use of full accrual accounting actually obscures operating
accountability and transparency in some types of organizations. This is particularly true when
the organization has either (or both) of two characteristics: (1) the funding sources do not
correspond with the beneficiaries of the organizations activities, or (2) the organization is
delivering public (collective) goods and/or services rather than private goods/services.
Baboojee (2011) melakukan penelitian dengan judul peningkatan pelayanan melalui
perubahan dari akuntansi kas ke akuntansi akrual.Penelitian ini menyampaikan sebuah
permasalahan/pertanyaan penelitian bahwa apakah penerapan akuntasi akrual merupakan
elemen penting dalam peningkatan pelayanan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh dari penerapan basis akrual terhadap peningkatan layanan. Rkein (2008), melakukan
penelitan terkait dengan akuntansi akrual dan reformasi sektor publik di Australia.

Rkein

menunjukkan bahwa penerapan akuntansi akrual di Australia bersamaan dengan pelaksanaan


kebijakan reformasi di sektor publik. Adopsi dilakukan secara bertahap di mana pertama kali
adopsi dilaksanakan di organisasi yang memberikan pelayanan (business like services) hingga
kemudian diterapkan di seluruh bagian sektor publik. Penelitian tersebut juga menunjukkan
bahwa memang ada manfaat yang diperoleh dari penerapan basis akrual, namun manfaat
penerapan basis akrual belum seluruhnya dapat diperoleh dan penerapan basis akrual di setiap
instansi juga sangat bervariasi.
Trend penggunaan akuntasi akrual di sektor publik tidak serta merta mendorong
terwujudnya suatu desain sistem akrual yang baku. Dees dan Neelissen (2004) melakukan
penelitian dengan membandingkan lima negara yang menjadi pionir dalam menerapkan
anggaran akrual dan akuntansi akrual di pemerintah pusat yaitu Selandia Baru, Australia,
Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia. Di dalam bagian kesimpulan Dees dan Neelissen

menuliskan bahwa desain yang paling optimal dari sistem akrual di sektor publik masih akan
menjadi suatu perdebatan yang hangat di masa mendatang.
Kondisi dan Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi Basis Akrual
Walaupun tidak ada desain baku untuk implementasi basis akrual di sektor publik
namun penelitian atas berbagai pengalaman implementasi basis akrual tersebut telah
menunjukkan adanya suatu kondisi/faktor yang perlu disiapkan agar implementasi basis akrual
dapat dilaksanakan dengan baik. Tickell (2010 : 74) merujuk pada dokumen dari Komite Sektor
Publik di IFAC

(Public Sector Committee) (2002 : 19) menjelaskan bahwa accrual

accounting, while arguably successfully implemented in developed economies, is yet to be


successfully integrated into the accounting systems of many developing economies. This is
despite numerous attempts by some countries. It has been recognised by IFACs Public Sector
Committee that the factors that may influence the nature and speed of the migration to accrual
accounting include:
1.

The system of government and the political environment of the nation,

2.

Whether the reforms are focused solely on changing the reporting framework or
encompassing other wider scale reforms,

3.

Whether the changes are being driven from the top down or bottom up,

4.

The current basis of accounting used by the entity, the capability of existing information
system, and the completeness and accuracy of existing information, particularly in
relation to assets and liabilities,

5.

The basis of accounting to be used in the preparation of budget documents,

6.

The level of political commitment to the adoption of accrual accounting, and

7.

The capacity and skills of the people and organizations responsible for implementing
the changes.
McGuinness (1988 : 48) menyampaikan pendapat bahwa agar berhasil menerapkan

akuntansi basis akrual perlu diperhatikan beberapa faktor kunci (critical success factors) yang
disusun berdasarkan urutan prioritas sebagai berikut:
1.

Commitment to accrual accounting from top management.

2.

A system design which is simple and is tightly controlled so that simplicity of design can
be maintained.

3.

A strong emphasis on staff training to ensure that staff understand accrual accounting
concepts.

4.

High quality planning.

5.

An acknowledgment of project leaders authority and responsibility.

6.

A committed and resourceful project team.


Khan dan Mayes (2009:1213) menyampaikan pandangannya secara ringkas bahwa

terdapat beberapa kondisi penting yang harus disiapkan agar dapat berpindah ke akuntansi
akrual dengan baik, yaitu:
1.

An acceptable cash accounting based system.

2.

Political ownership.

3.

Technical capacity.

4.

Systems.
Sementara Ouda (2008 : 102-106), dengan menggunakan Basic Requirements Model

for Successful Implementation of Accruall Accounting in the Public Sector, menyajikan


prakondisi dan faktor-faktor yang dibutuhkan agar implementasi akuntansi akrual dapat
berhasil dilaksanakan dalam sebuah model persamaan sebagai berikut:
AC (ps)

f (MCC + PBS + PAS + CS + WC +CC + BAC+ SAI + ABC + ITC + IFS)

Keterangan:
AC (ps)
MCC
PBS
PAS
CS
WC
CC
BAC
SAI
ABC
ITC
IFS

= Accounting Change(transition to accrual accounting in the public sector);


= Management Culture Changes(internal management changes/ NPM);
= Political and Bureaucratic Support (legislative, executive and bureaucracy
support);
= Professional and Academic (advisory) Support (in the accounting field);
= Communication Strategy(includes booklet, journal, conferences, seminars,etc);
= Willingness to Change(staff motivation, will, training and qualification);
= Consultation and Co-ordination(an essential step for central guidance
accounting change);
= Budgeting of Adoption Costs(for the whole implementation period);
= Tackling of Specific Accounting Issues(assets identification and valuation,
assets register, reporting entity, opening balances, etc.);
= Accounting and Budgeting Consistency (integration);
= Information Technology Capability; and
= International Financial Support.

Isu-isu UtamaDalam Implementasi Basis Akrual


Implementasi basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan, selain memerlukan
penyiapan kondisi yang dapat mendukung keberhasilan implementasinya, juga perlu
memperhatikan isu-isu yang mungkin muncul. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena isu
implementasi akuntansi akrual mungkin saja akan berbeda bagi setiap entitas (agency). Blondal

(2003 : 45-54) menguraikan beberapa isu penting yang harus diperhatikan ketika akan
berpindah ke basis akrual, yaitu:
1.

Isu Pengakuan atas Aset Tertentu (Key Recognition Issues)


Sektor publik mempunyai beberapa aset berbeda dengan sektor bisnis, seperti:

2.

a.

Aset Warisan Budaya (Heritage Assest).

b.

Aset Militer (Military Assets).

c.

Aset Infrastruktur (Insfrastructure Assets).

d.

Program Jaminan Sosial (Social Insurance Programmes).

Isu Penilaian (Valuation Issues)


Dalam hal ini terdapat isu antara penggunaaan metode penilaian berdasarkan pada nilai
historis (historical cost) ataukah menggunakan nilai saat ini (current value).

3.

Standar Akuntansi (Accounting Standards)


Berkaitan dengan siapa yang menyusun dan menetapkan standar akuntansi serta
seberapa cepat proses adopsi dan adaptasi standar akuntansi internasional.

4.

Isu Implementasi (Implementation Issues)


Terdapat beberapa isu penting yang berkaitan proses implementasi yaitu:
a. Menumbuhkan Perubahan Budaya (Fostering a cultural change).
b. Model Implementasi (Implementation Models).
c. Kebutuhan Komunikasi (Need for Communications).
d. Keahlian Akuntansi (Accountacy Skills).
e. Seleksi Peralatan IT (Selection of IT Equipment).
Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara yang melaksanakan konversi ke

akuntansi akrual, Wynne (2004:12-13) menyampaikan adanya risiko yang cukup signifikan.
Lebih lanjut Wynne (2004:14-15) menyampaikan bahwa terdapat beberapa isu akuntansi yang
harus disepakati sebelum akuntansi akrual diterapkan, terutama pada beberapa isu sebagai
berikut:
1.

Taxation revenues: when should tax revenues be recognised? When the profits are
made? - When the profits are reported? - When the tax is paid?.

2.

Depreciation: how should decisions be made about asset lives? -Should these be a
matter for the asset user or for the Ministry of Finance? -Should adjustments be made
to depreciation that is caused by lack of maintenance or investment to prolong the asset
life?.

3.

Approaches to the recognition and measurement of property, plant and equipment:


there can be disagreement about: - which assets to value - the valuation methodology current, historic or replacement cost and - how often to revalue.

4.

Military assets: should military assets be - capitalised and depreciated (what life?) or treated as revenue expenditure?

5.

Infrastructure assets: should infrastructure assets be capitalised and if so how should


they be valued? - Should land and the structures on it be treated differently? - How
should they be valued and re-valued?.

6.

Natural resources such as mineral reserves and forests: are these to be included in the
accounts and if so on what basis are they to be valued?.
Khan dan Mayes (2009 : 6-11) menjelaskan beberapa isu yang berkaitan dengan proses

transisi ke akuntansi akrual dalam konteks yang lebih luas, yaitu:


1.

Formulating acccounting policies.

2.

Gaps in current International Accounting Standards.

3.

Cash information in an accrual framework.

4.

Alignment of accrual accounting and budgeting.

5.

Budget classification and the charts of accounts.

6.

Opening balance sheet.

7.

Central versus Decentralized Financial Process.

8.

Consolidation Issues.

9.

Controlled and administered items.

Standar Akuntansi Pemerintahan


Sampai saat ini, pemerintah telah dua kali menetapkan standar akuntansi pemerintahan,
pertama adalah PP Nomor 24 Tahun 2005 dengan 11 Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP) yang dengan diawali dengan Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan. Ini merupakan standar akuntansi yang disusun dengan berlandaskan pada
penggunaan basis kas menuju akrual (cash towards accrual). Dalam PSAP ini diatur bahwa
setiap entitas pelaporan harus dapat menyajikan 4 (empat) jenis laporan keuangan pokok dan
terdapat 2 (dua) laporan tambahan yang tidak wajib disajikan.
Kedua adalah PP Nomor 71 Tahun 2010, yang merupakan peraturan yang menetapkan
standar akuntansi pemerintahan yang disusun dengan berlandaskan pada penggunaan basis

akrual (accrual). PSAP berbasis akrual disajikan pada lampiran 1 sampai dengan 12 Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang dengan diawali dengan Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan. Dalam akuntansi akrual ini, entitas pelaporan harus dapat menyajikan
7 (tujuh) jenis laporan keuangan. Dalam PSAP berbasis akrual, laporan keuangan
dikelompokkan ke dalam dua kelompok laporan yaitu laporan pelaksanaan anggaran yang
masih menggunakan basis kas dan kelompok laporan finansial yang sudah menggunakan basis
akrual. Dalam laporan finansial terdapat laporan operasional yaitu laporan pelaksanaan
anggaran yang disajikan dengan menggunakan basis akrual.
PSAP berbasis akrual yang ditetapkan dalam PP Nomor 71 Tahun 2010 merupakan
langkah awal penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. PSAP
basis akrual tersebut tentunya masih akan terus dikembangkan sehingga pejabat pengelola
keuangan pada entitas pelaporan dituntut untuk dapat mengimplementasikan dengan sebaikbaiknya.
Strategi Implementasi Basis Akrual
Asian Development Bank (ADB) dalam dokumen yang berjudul Accrual Budgeting
and Accounting in Government and its relevance for Developing Member Countries
menyajikan bahwa penerapan basis akrual dapat dilakukan dengan dua metode/model/strategi
yaitu metode big bang atau perubahan secara radikal dan metode bertahap. Pilihan atas metode
konversi harus dilakuan secara hati-hati, namun sampai saat ini metode big bang sangat jarang
digunakan.Buhr (2010 : 11) menyatakan It should be noted that there was not necessarily an
abrupt change from cash to accrual. Many governments went through a cash, modified cash,
modified accrual, accrual transition.
Dalam penerapan akuntansi akrual secara bertahap Khan dan Mayes (2009 : 13)
menjelaskan bahwa hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan : (1) implementation
timeframe and sequencing. (2) implementation staging by business areas, dan (3)
implementation staging by sector or size, and pilot studies.Pemilihan strategi dan area
pentahapan sangat penting bagi keberhasilan implementasi akuntansi akrual.
Salah satu keberhasilan dari penerapan akuntansi akrual pada akhirnya dapat dilihat
dalam opini dari hasil pemeriksaan atas laporan keuangan.Nasution (2008 : 49) menyampaikan
bahwa terdapat 6 (enam) langkah (komponen) yang perlu diperhatikan agar laporan keuangan
pemerintah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yaitu:
1.

Sistem pembukuan dan perencanaan anggaran

2.

Sistem aplikasi teknologi komputer (IT related)

3.

Inventarisasi aset dan utang

4.

Jadwal

waktu

penyusunan

laporan

keuangan

dan

pemeriksaan

serta

pertanggungjawabkan anggaran
5.

Quality assurance yang dilakukan oleh pengawas intern

6.

Sumber daya manusia.


Pemilihan strategi implementasi akuntansi akrual harus dilakukan secara hati-hati agar

implementasi akuntansi pemerintahan akrual dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan


risiko kegagalan yang minimal.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pada hasil studi literatur tersebut di atas dapat dipahami bahwa terdapat 4
(empat) variabel keberhasilan penerapan akuntansi akrual di pemerintahan yaitu:
1.

Strategi Implementasi.

2.

PrakondisiYang Harus Disiapkan.

3.

Faktor Kunci Sukses.

4.

Isu-isu Akuntansi.
Pejabat pengelola keuangan di setiap entitas pelaporan dan entitas akuntansi sebagai

pihak yang bertanggung jawab dalam keberhasilan penerapan akuntansi akrual perlu
memahami keempat varibel tersebut di atas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan karakteristik
dari organisasinya sehingga risiko penerapan akuntansi akrual dapat diminimalkan dan
diantisipasi dengan baik.
Strategi Implementasi
Implementasi akuntansi akrual harus dilaksanakan pada Tahun 2014, namun entitas
pelaporan pada umumnya belum mempunyai rencana terkait bagaimana akuntansi akrual ini
akan dilaksanakan bahkan mungkin ada beberapa entitas pelaporan yang belum mengetahui hal
ini. Untuk itu entitas pelaporan perlu segera diberikan pemahaman akan kewajibannya untuk
segera mengimplementasikan akuntansi akrual.
Selaras dengan strategi implementasi akuntansi akrual yang secara nasional
menggunakan metode bertahap, entitas pelaporan bisa menggunakan metode tersebut dalam
membangun sistem akuntansi di entitasnya masing-masing. Berdasarkan hal tersebut,
kementerian sebagai salah satu entitas pelaporan dapat menyusun rencana implementasi Sistem

Aakuntansi Instansinya (SAI) dengan menentukan target waktu lalu menentukan target fokus
penerapan basis akrual. Bagi kementerian/lembaga yang mempunyai Badan Layanan UMUM
(BLU), sebaiknya fokus untuk membangun sistem akuntansi yang baik di BLU lebih dahulu
kemudian dapat dilanjutkan pada entitas akuntansi yang mempunyai infrastruktur dan sumber
daya manusia (SDM) yang paling baik sebagai pilot project. Keberhasilan implementasi
akuntansi akrual di BLU dan pilot project akan sangat membantu dalam konversi seluruh
sistem akuntansi basis kas menuju akrual.
Dalam variabel strategi implementasi akuntansi akrual, pemerintah (pusat) perlu
menetapkan pedoman terkait bagian-bagian mana yang menjadi kewenangan pemerintah dan
bagian-bagian mana yang merupakan kewenangan dari kementerian/lembaga/pemerintah
daerah. Dalam strategi implementasi akuntansi akrual perlu pendekatan top down dan bottom
up, sehingga isu-isu akuntansi yang spesifik disuatu entitas pelaporan dan entitas akuntansi
dapat diakomodasi dan dijalankan dalam sistem akuntansi berbasis akrual.
Prakondisi Yang Harus Disiapkan
Penerapan basis akrual secara bertahap merupakan pilihan paling rasional. Sebelum
implementasi basis akrual dilaksanakan,

setiap entitas pelaporan perlu mempersiapkan

beberapa kondisi yang dapat mendukung keberhasilan implementasi akuntansi akrual, yaitu:
1.

Manajemen perubahan
Perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar seluruh elemen di entitas pelaporan dan
entitas akuntansinya siap menghadapi perubahan. Entitas pelaporan perlu merencanakan
dan melakukan sosialisasi secara periodik kepada seluruh pihak yang berkaitan dengan
pelaksanaan akuntansi akrual untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan
perlunya perubahan basis akuntansi menjadi basis akrual. Perubahan basis akuntansi ini
sebaiknya juga dimasukkan dalam kerangka kerja reformasi birokrasi.

2.

Komitmen pimpinan puncak terhadap akuntansi akrual


Dengan telah ditetapkannya PP 71 Tahun 2010 sebenarnya dukungan politis sudah ada,
yang kemudian perlu dipersiapkan adalah komitmen dari pimpinan dari setiap entitas
pelaporan untuk menerapkan akuntansi akrual. Selain itu, pimpinan dari setiap entitas
pelaporan juga harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk membangun tata kelola dan
sistem pengendalian internal organisasi yang baik.

3.

Entitas sudah mempunyai sistem dan prosedur yang telah berjalan dengan baik dengan
menggunakan basis akuntansi yang mengarah ke basis akrual

Pimpinan dari masing-masing entitas pelaporan perlu memastikan bahwa sistem dan
prosedur operasional keuangan secara umum, khususnya sistem dan prosedur akuntansi
yang selama ini menggunakan basis kas menuju akrual, telah dijalankan dengan baik. Jika
terdapat hal-hal yang masih harus diperbaiki maka segera dilakukan perbaikan, termasuk
perbaikan dalam sistem pengendalian internal.Entitas pelaporan yang hasil pemeriksaan
atas laporan keuangannya masih mendapatkan opini tidak wajar atau tidak memberikan
pendapat, kemungkinan akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam melaksanakan
akuntansi akrual.
4.

Telah mempunyai sistem informasi akuntansi yang baik yang dapat menyajikan laporan
keuangan yang lengkap terutama berkaitan dengan aset dan kewajiban, termasuk
melaksanakan konsolidasi laporan keuangan
Entitas pelaporan yang telah mempunyai sistem informasi akuntansi yang baik dan
menjalankannya

dengan

baik

akan

lebih

cepat

memiliki

kemampuan

untuk

mengimplementasikan akuntansi akrual. Untuk itu, pimpinan dari setiap entitas pelaporan
harus benar-benar memahami dan mayakini bahwa sistem informasi akuntansi yang ada
saat ini, walaupun masih menggunakan basis kas menuju akrual, telah berjalan dengan
baik.
5.

Menyiapkan rencana implementasi akuntansi akrual


Entitas pelaporan harus menyusun rencana implementasi akuntansi akrual dengan sebaikbaiknya.Perencanaan tersebut harus meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan
keberhasilan implementasi akuntansi akrual, seperti penyiapan dan pelatihan sumber daya
manusia, penyusunan sistem dan prosedur berbasis akrual,hingga pembangunan sistem
informasi akuntansi yang berbasis akrual.

6.

Menyiapkan sumber daya manusia yang mempunyai kapasitas dan keahlian akuntansi dan
manajemen organisasi yang memadai untuk melaksanakan perubahan
Entitas pelaporan sebaiknya sudah mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami
akuntansi pemerintahan berbasis akrual dengan jumlah yang memadai. Penyiapan dan
pelatihan sebaiknya dilakukan sejak sebelum implementasi akuntansi akrual tersebut
dilaksanakan.

Faktor Kunci Sukses


Untuk menjaga kontinuitas dan keberhasilan pelaksanaan implementasi akuntansi
akrual, maka pimpinan dari setiap entitas pelaporan harus benar-benar menjaga agar

beberapafaktor kunci sukses dibawah ini dapat dibangun dan dijalankan dengan sebaikbaiknya, yaitu:
1. Kesiapan dan kemauan menerima perubahan
Kesiapan dan kemauan menerima dan melaksanakan perubahan sangat penting dalam
implementasi akuntansi akrual karena akuntansi akrual akan merubah banyak hal dalam
sistem dan prosedur organisasi yang selama ini sudah dijalankan. Terkait jalannya
reformasi birokrasi, sebaiknya perubahan basis akuntansi ini dimasukkan dalam kerangka
kerja reformasi birokrasi dari setiap entitas pelaporan yang bersangkutan.
2. Strategi komunikasi
Pimpinan entitas pelaporan perlu menyiapkan strategi dan saluran komunikasi agar proses,
hasil dan implikasi dari perubahan ke akuntansi akrual dapat dikelola dengan baik.
Komunikasi juga perlu dilakukan dengan asosiasi profesi, praktisi, dan akademisi.
3. Integrasi antara anggaran dan akuntansi
Memperhatikan karakteristik organisasi pemerintahan, implementasi akuntasi akrual
sebaiknya dipandang secara integral dengan sistem anggaran. Integrasi yang baik antara
anggaran dan akuntansi akan mengurangi risiko dan meningkatkan peluang keberhasilan
implementasi akuntansi akrual.
4. Mengelola isu-isu akutansi spesifik dengan baik
Dalam implementasi akuntansi akrual, ada kemungkinan setiap entitas pelaporan
mempunyai isu-isu akuntansi yang spesifik. Untuk itu setiap entitas pelaporan harus
mampu mengidentifikasi isu-isu akuntansi akrual yang ada di entitas pelaporannya.
5. Penanggungjawab implementasi dengan tugas dan kewenangan yang jelas.
Pimpinan dari setiap entitas pelaporan perlu menunjuk atau menegaskan penanggung
jawab pelaksanaan implementasi akuntansi akrual. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran (awareness) dan pemahaman seluruh pihak akan adanya
perubahan basis akuntansi.
6. Konsultasi dan kordinasi yang berkelanjutan
Penanggungjawab implementasi akuntansi akrual harus menjaga agar proses konsultasi dan
koordinasi dalam rangka implementasi akuntansi akrual dapat terus berjalan dengan baik.
Konsultasi dan koordinasi dapat dilakukan dengan pihak eksternal, seperti dengan
penyusun standar akuntansi dan akademisi. Konsultasi, dan koordinasi di internal entitas
pelaporan perlu dilakukan seperti entitas akuntansi yang melakukan konsultasi terkait satu

isu akuntansi kepada penanggungjawab implementasi akuntansi akrual, atau koordinasi


antar entitas akuntansi.
7. Struktur organisasi dan sistem prosedur
Struktur organisasi entitas pelaporan yang ada saat ini sudah dapat menunjang pelaksanaan
sistem akuntansi dengan basis kas menuju akrual. Penerapan akuntansi akrual akan
menyebabkan banyak bagian dalam sistem dan prosedur yang harus dirubah dan
kemungkinan besar akan membutuhkan struktur organisasi yang baru.
8. Kapabilitas teknologi informasi dan komunikasi
Setiap entitas pelaporan sejatinya mengelola sumber daya keuangan yang sangat besar
yang harus dipertnaggungjawabkan penggunaannya. Setiap entitas pelaporan memiliki
sejumlah entitas akuntansi, untuk itu penyiapan aplikasi sistem informasi dan komunikasi
sangatlah penting untuk mendukung keberhasilan proses perubahan ke akuntansi akrual.
Dalam hal ini perlu juga dikelola proses perpindahan dari sistem informasi akuntansi yang
lama ke sistem informasi akuntansi berbasis akrual.Bagi entitas pelaporan yang
mempunyai entitas akuntansi dalam jumlah yang banyak dengan lokasi yang tersebar, hal
ini akan menjadi pekerjaan yang memerlukan perhatian khusus.
9. Kesiapan sumber daya manusia
Entitas pelaporan perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami akuntansi
pemerintahan berbasis akrual dengan jumlah yang memadai, terus memberikan pelatihan
yang berkelanjutan agar sistem akuntansi di entitas pelaporan dan entitas akuntansi dapat
tetap dijalankan, dipelihara dengan baik, dan ditingkatkan sesuai dengan perkembangan
PSAP.
10. Penyediaan sumber daya keuangan
Entitas pelaporan perlu menyediakan sumber daya keuangan yang cukup agar
implementasi akuntansi akrual dalam sistem akuntansi dapat dijalankan dengan baik.
Penyiapan sumber daya keuangan dapat dimasukkan dalam Rencan Kerja dan Anggaran
entitas pelaporan yang bersangkutan dan dikelola secara ekonomis, efisien, dan efektif.
Isu-isu Akuntansi
Beberapa isu akuntansi yang perlu diperhatikan pada saat implementasi basis akrual
adalah sebagai berikut:

1.

Klasifikasi anggaran, kode akun, dan kode barang


Adanya dua kelompok laporan keuangan yang berbeda yaitu laporan pelaksanaan anggaran
yang mengunakan basis kas dan laporan finansial yang mengunakan basis akrual
memunculkan kebutuhan adanya integrasi antara klasifikasi anggaran dengan kode akun,
untuk memudahkan dalam pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan.

2.

Neraca awal
Ada kemungkinan di mana setiap entitas pelaporan harus mengecek kembali kebenaran
dari nilai neraca pada saat awal sistem akuntansi berbasis akrual dilaksanakan.Hal ini
untuk menjaga validitas data yang tercantum dineraca.

3.

Sentralisasi atau desentralisasi pencatatan


Desain sistem akuntansi berbasis akrual perlu disusun dengan tepat sehingga dapat dengan
jelas memisahkan mana pencatatan akuntansi yang dilaksanakan secara desentralisasi di
tiap-tiap entitas akuntansi dan mana transaksi yang dicatat secara terpusat. Jika basis akrual
belum digunakan sepenuhnya maka harus ditentukan jenis transaksi yang sudah harus
dicatat menggunakan basis akrual dan jenis transaksi mana yang masih diperbolehkan
untuk tidak dicatat dengan menggunakan basis akrual.

4.

Konsolidasi laporan keuangan


Adanya kemungkinan bahwa tidak semua entitas akuntansi atau tidak semua jenis transaksi
akan menggunakan basis akrual maka akan memunculkan isu yang berkaitan dengan
konsolidasi laporan keuangan.

5.

Penyusunan kebijakan akuntansi


Setiap entitas pelaporan perlu menyusun kebijakan akuntansi yang sesuai dengan
karakteristik organisasinya dengan merujuk pada PSAP. Dalam implementasi akuntansi
akrual, ada kemungkinan bahwa setiap entitas pelaporan akan mempunyai isu-isu
akuntansi yang spesifik yang berbeda satu dengan yang lain. Untuk itu, setiap entitas
pelaporan harus mampu mengidentifikasi isu-isu akuntansi tersebut agar diatur dalam
kebijakan akuntansi. Beberapa isu yang terkait dengan kebijakan akuntansi yang utama
adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan atas Aset Tertentu
Beberapa entitas pelaporan mungkin mempunyai beberapa aset yang berbeda, seperti:
aset warisan budaya, aset militer, aset infrastruktur, sumber daya alam, sumber daya
laut,dan program jaminan sosial. Untuk itu, entitas pelaporan yang bersangkutan harus

memahami karakteristik aset tersebut dan dapat menetapkan kebijakan akuntansi yang
tepat untuk mengakui aset-aset tersebut dalam laporan keuangannya.
b. Isu Penilaian
Isu penilaian seringkali berada pada pilihan penggunaaan metode penilaian berdasarkan
pada nilai historis (historical cost) atau menggunakan nilai saat ini (current value). Hal
ini menjadi semakin menarik ketika dikaitkan dengan pengakuan atas asset tertentu,
seperti diuraikan pada poin huruf a di atas.
c. Pendapatan
Isu utama yang berkaitan dengan pendapatan dalam akuntansi akrual adalah pendapatan
pajak. Terdapat beberapa pertanyaan: kapan seharusnya pendapatan pajak diakui dalam
sistem akuntansi berbasis akrual?
d. Penyusutan
Pelaksanaan penyusutan dalam sistem akuntansi berbasis akrual akan penuh dengan
tantangan seperti bagaimana dan siapa yang berhak menentukan umur kegunaan aset
tetap, bagaimana dengan aset militer, serta bagaimana menentukan metode penyusutan
yang cocok.
e. Penilaian kembali atas aset
Setiap entitas pelaporan mungkin memiliki aset yang belum diketahui nilainya sehingga
harus dilakukan penilaian kembali tersebut agar dapat dicantumkan di dalam neraca.
Pemilihan metode penilaian akan menjadi arena diskusi yang cukup panjang.
Demikian pembahasan terkait kajian variabel-variabel yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi akuntansi akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Kajian singkat ini masih perlu diperkaya dan diperdalam lagi dengan studi literatur yang lebih
luas dan studi lapangan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian pada bagian studi literatur dapat dipahami bahwa setidaknya
terdapat 4 (empat) variabel utama yang harus diperhatikan agar implementasi akuntansi akrual
dalam SAI di kementerian/lembaga dapat dilaksanakan dengan baik, yaitu: (1) strategi
implementasi SAI berbasis akrual, (2) prakondisi yang harus disiapkan, (3) faktor kunci sukses
dan (4) pengelolaan isu-isu akuntansi yang khusus. Untuk mengelola keempat variabel ini
dengan baik, entitas pelaporan memerlukan pedoman yang jelas dari pemerintah pusat.

Dari kajian prakondisi yang harus disiapkan menjelang implementasi akuntansi akrual,
terdapat 6 (enam) komponen (kondisi) yang harus disiapkan, terdapat 10 (sepuluh) komponen
(kondisi) faktor kunci sukses yang harus dikelola dengan baik, dan terdapat 5 (lima) komponen
yang harus diperhatikan dan dipahami dalam isu-isu akuntansi khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Baboojee, Beerson., (October 2011), Improving service delivery through changing from cash to
accrual accounting: Lessons for South Africa based on a cross-national study, Research
report presented in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of
Development Finance, University of Stellenbosch, Supervisor: Dr. Gavin Woods.
Badan Pemeriksa Keuangan, (2007), Makalah untuk Luncheon Discussion Musyawarah
Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi, Surabaya, Senin, 22 Oktber 2007.
Beechy, Thomas H., (Professor Emeritus of Accounting, Schulich School of Business, York
University), (2007) Does Full Accrual Accounting Enhance Accountability?,The
Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 12(3), 2007, article 4.
Blondal, Jon R., (2003), Accrual Accounting and Budgeting: Key Issues and recent
Development, OECD Journal on Budgeting, Vol. 3, No. 1, OECD, 2003.
Buhr, Nola., (Edwards School of Business University of Saskatchewan Saskatoon, Canada),
(2010), From Cash to Accrual and Domestic to International: Government Accounting
Standard Setting in the Last 30 Years, Plenary Speech Delivered 19 August 2010, Sixth
Accounting History International Conference Wellington, New Zealand
Champoux, Mask., Accrual Accounting in New Zealand and Australia : Issues and Solutions,
Harvard Law School, Federal Budget Policy Seminar, Briefing Paper No. 27.
Dees, Martin. dan Neelissen, Paul., (2004), Five Countries Pioneering Accrual Budgeting and
Accounting in Central Government, International Journal of Auditing,Netherlands Court
of Audit,January 2004.
Fitria, Voni M., (2012) Kajian Atas Variabel Kebutuhan Dasar dan Strategi Persiapan
Pemerintah Bagi Implementasi Akuntansi Basis Akrual Pada Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat, Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi Indonesia Banking School, Jakarta, 2012.
Freeman, Robert J. dan Shoulders, Craig D., (2003) Govermental and Nonprofit Accounting,
7th ed. United States of America, Pearson Education.
Granof, Michael H., (2003), Goverment and Not-for-profit Accounting, 3th ed. United States of
America, John Wiley & Sons.

Jones, Rowan. dan Pendlebury, Maurice., (2000) Public Sector Accounting. 5th ed. England,
Prentice Hall.
Khan, Abdul.danMayes, Stephen., (2009), Transition to Accrual Accounting, Fiscal Affairs
Department, International Monetary Fund, September 2009.
Mardiasmo.,(2002), Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta,
2002.
McGuinness, W.L., (1988), Implementation of Accrual Accounting for Government
Departments, Agustus 1988.
Nasution, Anwar.,(2008), Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi,
Badan Pemeriksa Keuangan RI.
Ouda, Hasan A.G., (2008), Towards a Generic Model for Government Sector Reform: The
New Zealand Experience, International Journal on Government Financial Management.
Public Sector Committee, (2000), Government Financial Reporting: Accounting Issues and
Practices, Study 11, International Federation of Accountants.
Rkein, Ali., (2008), Accrual Accounting and Public Sector Reform: Northern Territory
Experience, A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the degree Of Doctor
of Philosophy, School of Law and Business Faculty of Law, Business and Arts Charles
Darwin University, May 2008.
Simanjuntak, Binsar. H., (205), Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia,
Jurnal Akuntansi Pemerintah, LPKPAP-BPPK Departemen Keuangan RI, Volume 1, Mei
2005.
Tickell, Geofrrey.,(2010), Cash to Accrual Accounting: One Nations Dilemma, International
Business & Economics Research Journal, Indiana University of Pennsylvania, USA,
November 2010, Volume 9, Number 11.
Tjandra, W Riawan., (2006), Hukum Keuangan Negara, PT Grasindo, Jakarta.
Triharta, A.B., (2013), From Cameral Bookkeeping to Accrual (IPSAS) Governmental
Accounting: Indonesian Experience, Policy Discussion on International Public Sector
Accounting Standards, Medan, Indonesia, 28 June 2013.
World Bank, (1998), Public Expenditure Management Handbook, Washington USA.
Wynne, Andy.,(2004), Is The Move to Accrual Based a Real Priority for Public Sector
Accounting?, ACCA.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan


dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat.
www.bpk.go.id
www.depkeu.go.id
www.djbn.depkeu.go.id
www.ifac.org/public-sector
www.imf.org
www.ksap.org
www.perbendaharaan.go.id
www.wordlbank.org

PENERAPAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL


TINJAUAN PERSPEKTIF MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Ni Putu Sri Harta Mimba
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK
Penerapan Akuntansi Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas
laporan keuangan, sesuai amanat Peraturan Perundangan nomor 71/2010. Saat ini, pemerintah daerah mempunyai
beberapa kesulitan dalam menerapkan APBA dengan baik. Tulisan ini fokus pada permasalahan dari perspektif
sumber daya manusia, karena controlable bagi pemerintah daerah untuk mengatasinya. Ada tiga masalah utama,
yaitu: terbatasnya staf dengan pengetahuan akuntansi yang cukup, rotasi staf dalam waktu yang singkat, dan
kemampuan staf dalam pengelolaan aset. Pemerintah daerah bisa mengatasi permasalahan tersebut dengan
memperbaiki sistem perekrutan staf, misalnya staf bagian keuangan harus mempunyai latar belakang akuntansi
sehingga hasil berbagai pelatihan seperti pelatihan APBA juga akan lebih maksimal, pada akhirnya kualitas
pelaporan keuangan akan lebih baik. Mengingat banyaknya peraturan terkait APBA, rotasi staf di pemerintah
daerah tidak dilakukan dalam waktu singkat untuk memberikan kesempatan staf untuk belajar. Pemerintah daerah
juga sebaiknya menerbitkan petunjuk teknis yang jelas tentang pengelolaan aset. Melalui kerjasama dengan BPKP
dan instansi terkait lainnya dalam memberikan pelatihan tentang APBA, diharapkan sumber daya manusia di
pemerintah daerah lebih siap menerapkan APBA paling lambat tahun 2015.
Kata kunci: akuntansi pemerintah berbasis akrual, sumber daya manusia, rotasi staf, pengelolaan aset

PENDAHULUAN
Selama lebih dari dua puluh tahun, banyak negara yang termasuk dalam Less Developed
Countries (LDCs) telah menerapkan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dalam
reformasi sektor publik mereka, seperti di Asia dan Afrika (Betts, 2003; Hope dan Chikulo,
2000; Smith, 2002; Helmsing, 2002). Desentralisasi memungkinkan alokasi pengeluaran
pemerintah yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal (Smith, 2004) dan memungkinkan
penyediaan barang dan jasa

publik (Heady, 2001) yang lebih baik. Sistem desentralisasi

diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah. Mengingat banyak manfaat dari sistem
desentralisasi, sebagian besar lembaga donor internasional mensyaratkan negara-negara yang
mereka danai untuk menerapkan sistem desentralisasi (Irlandia, et al., 2003).
Melalui desentralisasi,

pemerintah pusat mengharapkan pemerintah daerah bisa

meningkatkan akuntabilitas dan kinerja mereka sekaligus sebagai alat yang berharga bagi
pemerintah pusat untuk mengevaluasi pemerintah daerah dan untuk menahan mereka
bertanggung jawab adalah informasi kinerja mereka (Kloot, 1999; Cf Wilkinson, 2005). Untuk

alasan ini, desentralisasi di sebagian besar negara-negara berkembang menyebabkan


permintaan yang lebih tinggi untuk laporan informasi kinerja sektor publik.
Isu desentralisasi menjadi lebih penting di Indonesia karena ada pergeseran dari sistem
pemerintahan terpusat ke sistem terdesentralisasi. Pergeseran ini membawa perubahan
signifikan, di mana pemerintah daerah menerima wewenang, tanggung jawab dan pendanaan
yang lebih besar. Mengingat banyaknya lingkup transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah dan kecepatan pergeseran sistem pemerintahan yang sangat cepat dari sentralisasi ke
desentralisasi (kurang dari 19 bulan), penerapan sistem desentralisasi di Indonesia saat itu
disebut sebagai 'big bang' desentralisasi (Hofman dan Kaiser, 2002). Big bang desentralisasi
memberikan otoritas dan tanggung jawab cukup besar kepada pemerintah di tingkat
kabupaten/kota. Kewenangan mencakup sebelas bidang utama pembangunan, seperti kesehatan
dan pekerjaan umum. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia melaksanakan pemilihan langsung
untuk

bupati/walikota, gubernur dan presiden. Sistem pemilihan langsung ini mendorong

bupati/walikota untuk meningkatkan kinerjanya dan lebih bertanggung jawab kepada pemilih
mereka. Informasi kinerja pemerintah daerah menjadi semakin penting sebagai salah satu dasar
penilaian kinerja bagi pemerintah pusat.
Pemerintah pusat telah melakukan banyak usaha untuk memerangi korupsi di Indonesia
(Sumarto et al., 2003; Henderson dan Kuncoro, 2004). Upaya pemberantasan korupsi ini juga
mendorong kebutuhan informasi kinerja yang lebih transparan karena memiliki peran penting
dalam kontrol manajerial (cf Kloot, 1999:567). Misalnya, pemerintah pusat mengharuskan
pemerintah daerah untuk mengungkapkan laporan akuntabilitas kinerja di media massa
(misalnya surat kabar lokal), yang dikenal sebagai laporan ILPPD (Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah).
Mendekati satu dekade 'big bang' desentralisasi pada tahun 2011, pemerintah pusat telah
memperkenalkan suatu inovasi untuk meningkatkan kualitas laporan kinerja. Pemerintah pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 71/2010 yang menjadi dasar

diberlakukannya

Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual (APBA). Regulasi ini membawa perubahan signifikan
dalam akuntansi pemerintah, dari metode 'kas menuju akrual' ke 'basis akrual. Karena
karakteristik khusus dari organisasi sektor publik di LDC dibandingkan dengan di negara maju,
seperti kemampuan sumber daya manusia yang relatif lebih rendah dalam organisasi sektor
publik serta tingkat korupsi pegawai yang relatif lebih tinggi (Mimba et al., 2007), bagaimana
tantangan dan peluang pemerintah daerah di Indonesia dalam melaksanakan metode akuntansi

akrual terutama dilihat dari perspektif sumber daya manusianya, merupakan topik yang
menarik untuk didiskusikan.
Tujuan dari tulisan ini ada dua. Pertama, untuk membahas pergeseran dari metode
akuntansi

pemerintah berbasis 'kas menuju akrual'

menjadi akuntansi pemerintah berbasis

akrual sesuai amanat peraturan pemerintah nomor 71/2010. Kedua, untuk mengeksplorasi
beberapa komplikasi yang dihadapi staf pemerintah daerah dalam memenuhi laporan keuangan
berbasis akrual. Ketiga, untuk membahas solusi alternatif yang dapat digunakan oleh
pemerintah daerah di Indonesia.
Struktur dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama, tulisan ini membahas
peningkatan peran pemerintah daerah di Indonesia setelah diberlakukannya desentralisasi.
Selanjutnya, akan dibahas beberapa masalah yang dihadapi oleh karyawan pemerintah daerah.
Akhirnya, tulisan ini mengkaji beberapa solusi alternatif yang diusulkan untuk mengurangi
permasalahan yang dihadapi karyawan tersebut.
Di Indonesia, stimulus penting bagi pemerintah daerah untuk memproduksi dan meningkatkan
kualitas informasi kinerja keuangan dan non-keuangan adalah pemerintah pusat, melalui
berbagai peraturan (Instruksi Presiden nomor 9/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 3/2007,
24/2005, 8/2006, dan 60/2006). Peraturan-peraturanini bertujuan memperbaiki kualitas laporan
kinerja organisasi pemerintah. Pada tahun 2010, melalui Peraturan Pemerintah nomor 71/2010,
pemerintah pusat meminta semua organisasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk
menerapkan Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual (APBA).
Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual (APBA)
Sebelum tahun, 2003, setiap organisasi pemerintahan hanya menyampaikan laporan
perhitungan anggaran (PAN atau Perhitungan Anggaran Negara), sebuah memorandum
terhadap PAN, dan laporan tahunan (terdiri dari perencanaan dan realisasi proyek/DIP dan
kegiatan/DIK) ke level legislatif. Pada tahun 2003, pemerintah pusat mengharuskan semua
instansi pemerintahn untuk menyampaikan laporan keuangan yang harus mengikuti standar
akuntansi

pemerintah

melalui

undang-undang

nomor

17/2003).

Undang-undang

ini

mengharuskan penggunaan basis akrual untuk standar akuntansi pemerintah.


Namun, pemerintah pusat menunda pelaksanaan akuntansi pemerintah berbasis akrual
karena saat itu belum memiliki cukup pengalaman dalam menyusun laporan keuangan berbasis
akrual. Alasan lainnya adalah karena infrastruktur yang belum memadai. Untuk menjembatani
hal ini, pada tahun 2005, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 24/2005

tentang metode akuntansi yang berbasis 'kas menuju akrual'. Dalam basis ini,

laporan

keuangan di tingkat pemerintah daerah terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan
arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan di tingkat SKPD atau Biro di
kabupaten/kodya hanya terdiri dari tiga laporan: laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan
atas laporan keuangan.
Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71/2010 sebagai tindak lanjut dari
undang-undang nomor 17/2003, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda
pelaksanaan akuntansi pemerintah berbasis akrual. Penggunaan basis akrual ini telah dimulai
sejak tahun anggaran 2013 oleh pemerintah pusat. Diharapkan semua organisasi pemerintah
termasuk pemerintah daerah, sudah melaksanakan APBA paling lambar akhir tahun 2015.
PERMASALAHAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PELAKSANAAN APBA
Persyaratan untuk menggunakan basis akrual dalam penyusunan laporan keuangan
menyebabkan beberapa komplikasi bagi pemerintah daerah di Indonesia. Penyebab dari
kesulitan tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor internal (e.g. kemampuan sumber daya
manusia yang terbatas) dan faktor eksternal (e.g. pergantian peraturan dari pemerintah pusat
yang relatif sering tentang laporan keuangan, banyaknya peraturan yang tumpah tindih dan
tenggat waktu penyerahan laporan keuangan yang ketat dari pemerintah pusat). Mengingat
faktor eksternal merupakan faktor yang tidak bisa dikontrol bagi pemerintah daerah, tulisan ini
akan fokus pada faktor internal terkait dengan SDM, seperti kemampuan yang terbatas
mengenai akuntansi, rotasi staf dalam waktu singkat, dan pengetahuan staf yang lemah dalam
manajemen aset.
Keterbatasan pengetahuan akuntansi
Umumnya, jumlah staf dari pemerintah daerah sudah mencukupi. Tetapi, jumlah staf
yang memiliki pemahaman akuntansi yang cukup sangatlah terbatas. Banyak dari mereka yang
tidak memiliki pengetahuan akuntansi sebelum direkrut sebagai staf akuntansi. Situasi ini dapat
memberikan penjelasan mengapa berbagai program pelatihan memberikan dampak yang relatif
kecil dalam meningkatkan pengetahuan akuntansi staf pemerintah daerah. Pengimplementasian
basis akrual membutuhkan staf yang memahami dengan baik logika akuntansi. Staf akuntansi
tidak hanya harus tahu anggaran, melainkan juga harus mengerti karakteristik dari setiap
transaksi dan pengaruhnya terhadap akun-akun laporan keuangan.

Rotasi staf dalam waktu singkat


Pada beberapa pemerintah daerah, staf akuntansi biasanya menyelesaikan rotasi dalam
waktu singkat (yaitu kurang dari lima tahun). Keadaan ini membawa kesulitan kepada staf
akuntansi. Umumnya mereka mempunyai waktu yang terbatas untuk beradaptasi dengan situasi
baru dan regulasi yang terkait pelaporan keuangan. Staf akuntansi harus dapat memperbarui
pengetahuan mereka terkait dengan peraturan laporan keuangan melalui pelatihan dan
lokakarya.
Manajemen aset
Beberapa masalah yang dialami staf pemerintah daerah yang terkait dengan aset adalah
penganggaran aset tetap (misalnya penganggaran belanja dalam mendapatkan aset tetap),
penilaian kembali aset (misalnya penyusutan aset tetap), manajemen aset (misalnya daftar aset
tetap),dan penggunaan aset tetap. Rekomendasi yang diberikan oleh auditor eksternal terkadang
tidak bisa menurunkan secara signifikan berbagai masalah yang dihadapi staf terkait
pengelolaan aset tetap. Masalah dalam hal aset tetap bisa dikatakan sebagai salah satu masalah
terpenting yang membuat banyak laporan keuangan pemerintah daerah tidak dapat menerima
opini auditor tertinggi, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Selain itu, permasalahan aset
ini akan menjadi lebih buruk bila bupati/walikota sebagai kepala pemerintah daerah tertinggi
kurang memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan mereka.
ALTERNATIF SOLUSI UNTUK MASALAH SUMBER DAYA MANUSIA
Alternatif solusi yang bisa dilakukan terkait terbatasnya jumlah staf yang memiliki
pemahaman akuntansi yang cukup adalah dengan memperbaiki proses perekrutan untuk staf
baru. Tidak seperti mekanisme perekrutan sebelumnya yang tidak memiliki kriteria khusus
untuk posisi bagian keuangan, mekanisme perekrutan staf nantinya harus memiliki kriteria
khusus. Misalnya, untuk posisi bagian keuangan, calon staf harus memiliki latar belakang
pengetahuan akuntansi. Hal ini bisa diharapkan sebagai titik awal untuk meningkatkan kualitas
laporan keuangan. Dengan kualitas staf bagian keuangan yang lebih baik, diharapkan pelatihan
dan lokakarya terkait dengan peningkatan kualitas pelaporan keuangan (misalnya lokakarya
untuk memperkenalkan APBA) akan lebih efektif. Staf yang mempunyai

pengetahuan

akuntansi yang cukup akan membuat mereka lebih mudah memahami perubahan basis 'cash
towards accrual' ke basis

'accrual'. Secara bertahap, pelatihan pada staf yang sudah

mempunyai latar belakang pengetahuan di bidang akuntansi diharapkan bisa mengurangi secara
signifikan berbagai masalah dalam penyusunan laporan keuangan.
Masalah yang disebabkan oleh adanya rotasi staf dalam waktu singkat,

terkait erat

dengan komitmen bupati/walikota untuk memperbaiki kebijakan rotasi mereka. Lebih khusus
lagi, untuk posisi tertentu yang memerlukan pengetahuan terkini tentang berbagai peraturan
terkait pelaporan keuangan (misalnya kepala bagian keuangan), akan lebih baik jika bupati
/walikota mempertimbangkan untuk menempatkan staf pada posisi yang sama minimal selama
tiga tahun.
Terkait masalah dalam pengelolaan aset, akan lebih baik jika pemerintah pusat
mengeluarkan pedoman yang jelas bagi pemerintah daerah. Selain itu, bupati/walikota harus
memberikan kesempatan staf mereka untuk mengikuti berbagai pelatihan tentang pengelolaan
aset.
Selain beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi
permasalahan sumber daya manusia yang mereka hadapi, pemerintah pusat juga bisa
memegang peranan penting dalam mendorong staf pemerintah daerah agar bekerja dengan
lebih baik. Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah pusat adalah memberikan sanksi
yang tepat bila laporan keuangan yang dihasilkan pemerintah daerah tidak berkualitas ataupun
terlambat dilaporkan. Saat ini sanksi keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
terkait keterlambatan penyampaian laporan keuangan mereka adalah berupa penundaan
pencairan Dana Alokasi Umum (DAU). Mengingat dampak negatif bagi masyarakat setempat,
sanksi pemerintah pusat seharusnya tidak berupa penundaan pencairan dana. Sebaliknya, sanksi
harus dibebankan kepada staf pemerintah daerah yang bertanggung jawab, bukan sanksi kepada
institusi. Sebaiknya, bila ada sanksi, sanksi tersebut harus diberikan kepada bupati/walikota
atau kepala unit keuangan pemerintah daerah. Sanksi yang diberikan kepada staf atau pelaksana
diharapkan membuat mereka lebih memperhatikan pelaporan keuangan dan persyaratan lainnya
yang terkait. Dengan demikian, kualitas laporan keuangan diharapkan lebih baik dan
disampaikan ke pemerintah pusat dengan tepat waktu.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan Akuntansi
Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas
laporan keuangan, sesuai amanat Peraturan Pemerintah nomor 71/2010. Kualitas laporan
keuangan diharapkan meningkat, sehingga transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah

juga bisa meningkat. Saat ini, pemerintah daerah mempunyai beberapa kesulitan dalam
menerapkan APBA dengan baik. Dilihat dari perspektif sumber daya manusia, ada tiga masalah
utama, yaitu: terbatasnya staf dengan pengetahuan akuntansi yang cukup, rotasi staf dalam
waktu yang singkat, dan kemampuan staf dalam pengelolaan aset.
Tulisan ini fokus pada permasalahan tersebut karena umumnya controlable atau masih
dalam kewenangan pemerintah daerah untuk mengatasinya. Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan pemerintah daerah terkait permasalahan sumber daya manusia. Untuk meningkatkan
jumlah staf yang memiliki pengetahuan akuntansi yang cukup, sistem perekrutan staf sebaiknya
diperbaiki dengan mensyaratkan latar belakang pendidikan tertentu, misalnya, untuk bagian
keuangan, semua staf mempunyai latar belakang akuntansi. Dengan demikian, hasil pelatihan
akan lebih maksimal, termasuk pelatihan tentang akuntansi akrual dan pengelolaan aset.
Pemahaman staf yang lebih baik diharapkan bisa meningkatkan kualitas laporan keuangan yang
dihasilkan. Terkait rotasi staf, diharapkan pemerintah daerah melakukan rotasi staf tidak dalam
waktu yang singkat. Staf akan mempunyai waktu cukup untuk belajar, terlebih lagi dengan
banyaknya peraturan dan sistem baru yang harus mereka pelajari, seperti penerapan APBA.
Melalui kerjasama dengan BPKP dan instansi terkait lainnya dalam memberikan pelatihan
tentang APBA, diharapkan semua pemerintah daerah di Indonesia bisa menerapkan APBA
paling lambat tahun 2015.
Selain itu, pemerintah pusat juga bisa memegang peran penting dalam mendorong
pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan mereka dengan memberikan
sanksi yang tepat. Sanksi yang diberikan sebaiknya bukan kepada institusi pemerintah daerah,
melainkan kepada staf yang bertanggung jawab terhadap pelaporan keuangan suatu institusi.
REFERENSI
Betts, I.L. (2003)Decentralization in Indonesia, Internationals Journal for Decision Makers,
5(5), pp.1-9.
th

Heady, F. (2001) Public administration: a comparative perspective, 6 ed. (New York: Marcel
Dekker Inc).
Helmsing, A.H.J. (2002) "Decentralization, enablement, and local governance in low-income
countries", Environment and Planning C: Government and Policy, 20, pp.317-40.
Hofman, B., and Kaiser, K. (2002)The making of the big bang and its aftermath: a political
economy perspective, In: GSU conference, Can Decentralization Help Rebuild
Indonesia?,Georgia State University, 1-3 May 2002.

Hope, K.R. and Chikulo, B.C. (2000) Decentralization, the new public management, and the
changing role of the public sector in Africa, Public Management, 2(1), pp.25-42.
Indonesian Government (2003) State financial management, Law number 17/2003. Jakarta:
The Indonesian Government.
Indonesian Government (2005) Regional government, Government Regulation number
24/2005. Jakarta: The Indonesian Government.
Indonesian Government (2007) Local government reports, Government Regulation number
3/2007.Jakarta: The Indonesian Government.
Indonesian Government (2007) LPPD, LKPJ and ILPPD, Government Regulation number
3/2007. Jakarta.
Indonesian Government (2008) Goverment Regulation number 60/2008. Jakarta.
Indonesian Government (2007) Government Regulation number 59/2007. Jakarta.
Ireland, M., McGregor J.A., and Saltmarshe, D. (2003) Challenges for donor agency countrylevel performance assessment: a review, Public Administration and Development, 23(5),
pp.419-31.
Kloot, L. (1999) Performance measurement and accountability in Victorian local government,
The International Journal of Public Sector Management, 12(7), pp. 565-583.
Mimba N.P.S.H., van Helden G.J., and Tillema, S. (2007) Public sector performance
measurement in developing countries: a literature review and research agenda. Journal of
Accounting and Organizational Change, 3(3), pp. 192-208.
Smith, B. (2002) Decentralisation, in: C. Kirkpatrick, R. Clarke, and C. Polidano (Eds),
Handbook on Development Policy and Management, pp. 389-399 (Cheltenham, UK:
Edward Elgar).
Sumarto, S., Suryahadi, A., and Arifianto, A. (2003) Governance and poverty reduction:
evidence from newly decentralized Indonesia', in Y. Shimomura (Eds), The Role of
Governance in Asia, pp. 27-64 (Singapore, Utopia Press).
Wilkinson, J. (2005) The growth of performance measurement: help or hindrance?,inG.
Drewry, C. Greve, and T. Tanquerel (Eds), Contracts, Performance Measurement and
Accountability in the Public Sector, pp. 11-26 (WashingtonDC: IOS Press).

PERSPEKTIF MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)


DALAM PENERAPAN AKUNTANSI PEMERINTAH BERBASIS
AKRUAL: STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PELATIHAN
Arief Surya Irawan (Universitas Gadjah Mada)
Islahuddin (Universitas Syiah Kuala)
Poin-poin penting

Semua staf yang terlibat dalam transisi perubahan menuju akuntansi berbasis akrual harus memahami
arti
penting dan alasan perubahan, mampu melaksanakan apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka,
mengoperasikan sistem dan prosedur sistem yang baru serta memahami informasi yang dihasilkan.
Entitas pemerintahan perlu menilai dampak perubahan kompetensi yang dibutuhkan pada posisi yang relevan
dan mengembangkan strategi pengembangan termasuk pelatihan dalam rangka meningkatkan keterampilan
yang dibutuhkan.

Beberapa opsi yang dapat dipilih untuk menangani adanya kesenjangan kompetensi meliputi pola
rekruitmen
yang sesuai, kerja sama dengan konsultan maupun perguruan tinggi, pengembangan kursus-kursus eksternal
dan pelatihan bagi staf yang ada.
Perlu kiranya melakukan aktivitas sosialisasi dan pemberian informasi yang dibutuhkan kepada beberapa
kelompok masyarakat seperti politisi atau media dalam rangka edukasi maupun penyadaran akan arti penting
reformasi keuangan.

PENDAHULUAN
Unsur SDM merupakan salah satu elemen penting dalam implementasi APBA.
Beberapa problema yang dihadapi entitas pemerintahan terkait aspek SDM antara lain
rendahnya keterampilan staf, lemahnya pengalaman relevan, fasilitas kurang mendukung,
lemahnya kepemimpinan (leadership) dan lemahnya pola penalti (Harun dan Kamase, 2012).
Secara teknis bahasan ini akan membahas isu-isu terkait dengan sumber daya manusia (SDM)
khususnya dalam hal identifikasi, desain dan sistem pelatihan. Lebih jauh pembahasan juga
akan mencakup capacity building dalam aspek pengembangan SDM, pengembangan
organisasional termasuk kerangka kerja legal-formal.
Sukses tidaknya adopsi akuntansi (berbasis) akrual dan perubahan sistem terkait, tidak
mungkin tercipta tanpa adanya dukungan SDM yang memadai. Pelatihan terkait dengan
manfaat akuntansi akrual dan kesadaran akan arti penting reformasi keuangan negara menjadi
elemen penting dalam keberhasilan implementasi agar tercipta suatu keselarasan tujuan (goal
congruence) antara pemerintah dengan personalia terkait. Pelatihan tersebut perlu dilakukan
dalam setiap level kepemerintahan. Pengembangan strategi pelatihan yang efektif termasuk
pola pelatihan yang sesuai perlu disusun untuk mengantisipasi manajemen risiko dalam masa
transisi. Adapun risiko yang muncul dalam transisi implementasi akuntansi akrual adalah

proses perubahan tidak mampu memenuhi tujuan perubahan, melebihi anggaran yang tersedia
maupun ketertinggalan proses dibandingkan jadwal yang telah ditetapkan.
Dari sisi individu staf terkait, perlu kiranya untuk:
1. Memahami alasan mengapa perubahan harus dilakukan, desain reformasi, pendekatan
implementasi transisi, dan implikasi sebagai akibat reformasi
2. Memahami unsur pragmatis/praktis atas impelementasi reformasi sekaligus mampu untuk
melaksanakan perubahan yang dibutuhkan
3. Mampu mengoperasikan sistem dan prosedur terkait implementasi baik di tingkat pusat
maupun daerah
4. Mampu memanfaatkan informasi yang dihasilkan sistem baru
Lebih jauh, perubahan sistem manajemen keuangan termasuk akuntansi keuangan
membutuhkan adanya perubahan budaya dan pola pikir/paradigma (mind-shift). Sebagai
contoh, pejabat negara diharapkan memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang
lebih besar atas reformasi manajemen keuangan entitas sehingga mereka menyadari kebutuhan
akan sumber daya yang kompeten dan memadai. Oleh karena itu aspek teknikal dan kultural
perlu disampaikan dalam strategi pengembangan komunikasi dan pelatihan.
STRATEGI PENGEMBANGAN PELATIHAN
Adapun strategi pengembangan pelatihan dapat diwujudkan dalam pola berikut:
a. Indentifikasi kelompok yang menjadi sasaran
Identifikasi kelompok sasaran dan strategi pelatihan terkait dengan kelompok tertentu
dimaksudkan agar pelatihan dapat disusun sesuai kebutuhan (customized) termasuk jumlah
peserta pelatihan. Meskipun sifat dan komposisi kelompok sasaran bisa jadi beragam, namun
bisa dikelompokkan dalam contoh berikut:
Kelompok sasaran dalam Pemerintah Pusat:

Politisi dan Legislatif

Badan Pengawas Publik (Public Oversight Bodies)

Central Entities (for example Audit Personnel)

Analis Keuangan/Anggaran (Budget/Finance Analysts)

Kepala Departemen (Heads of Departments/Entities)

Pimpinan Senior (Senior Managers)

Pimpinan Operasional (Operational Managers)

Kepala Bagian keuangan (Finance Managers)

Staf Keuangan (Finance Staff)

Staf Umum (General Staff)

Media

Kelompok sasaran dalam Pemerintah Daerah/Satuan Kerja Perangkat Daerah

Tim Impelementasi Reformasi (Reform Implementation Team)

Pimpinan Senior (Senior Management)

Pimpinan Program (Program Managers)

Kepala Bagian Keuangan

Staf Keuangan dan Administrasi

Auditor Internal

Staf Sistem Informasi

Manajer Aset (Asset Managers)

Selanjutnya, meskipun tujuan pelatihan atas kelompok sasaran di atas bisa saja berbeda, namun
dapat ditarik beberapa tujuan tertentu yaitu:
a) Peningkatan kepedulian pimpinan kunci organisasi pemerintahan terkait peran, maksud,
dan tujuan reformasi
b) Manajemen dan staf lain perlu memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam
konteks reformasi termasuk hubungan antar berbagai bagian/elemen organisasi
b. Identifikasi kebutuhan pelatihan
Untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, perlu kiranya melihat dampak reformasi
terhadap jenis keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior) yang
dapat digabungkan dalam suatu kompetensi yang dibutuhkan dari berbagai posisi
kepemerintahan. Kompetensi di atas akan sangat bermanfaat jika dapat diekspresikan dalam hal
output dan perilaku. Meskipun pengembangan kompetensi butuh waktu, namun eksistensi suatu
kerangka kerja (framework) untuk posisi tertentu pada sektor publik memungkinkan staf
pemerintah untuk mengembangkan kompetensi mereka secara lebih mudah sehingga
memudahkan untuk mengetahui jenis pelatihan yang dibutuhkan. Apabila jenis keterampilan
yang dibutuhkan dalam perubahan sistem telah diidentifikasi selanjutnya dapat dibandingkan
dengan keterampilan dan pengalaman yang ada. Saat entitas berpindah dari basis kas ke basis

akrual, maka terdapat perubahan pada jenis pengetahuan yang dibutuhkan dan pola manajemen
dan operasional entitas.
Perlu dipahami bahwa pelatihan tidak hanya berfokus pada ketrampilan akuntansi
namun harus memiliki setidaknya dua komponen:
1) Komponen teknikal terkait keterampilan dan pengetahuan yang harus dikuasai.
2) Komponen lingkungan/organisasional yang mencakup nilai-nilai (values), kebijakan
(policies) dan praktik (practices) yang ada.
Secara ringkas, seorang peserta pelatihan tidak hanya akan menguasai aspek teknikal
terkait akuntansi akrual dan manajemen informasi tetapi juga memahami alasan implementasi
akuntansi akrual, peraturan-peraturan dan kebijakan terkait, termasuk norma-norma khusus
kepemerintahan. Adopsi akuntansi akrual pada umumnya disertai dengan pendelegasian
tanggung jawab manajemen keuangan kepada para pimpinan program.
Selanjutnya perlu kiranya dilakukan suatu analisis kesenjangan (gap analysis) terkait
keterampilan dan pengetahuan dalam kondisi saat ini dengan persyaratan kompetensi untuk
implementasi perubahan. Apabila kebutuhan di atas dapat diidentifikasi, maka langkah
selanjutnya adalah membuat pertimbangan cara alternatif bagaimana pelatihan akan
dilaksanakan.
c. Strategi pelatihan
Beberapa pilihan strategi untuk menangani kesenjangan antara kondisi saat ini dengan
kompetensi yang dibutuhkan antara lain:
1) Melakukan rekrutmen dari sektor privat.
2) Merekrut dari entitas sektor publik lain.
3) Menggunakan jasa konsultan.
4) Pengembangan melalui studi lanjut bekerja sama dengan universitas.
5) Pelatihan untuk staf yang ada.
6) Seminar dan loka karya (workshop) yang diberikan entitas audit eksternal
d. Sistem pemberian materi pelatihan (delivery system)
Entitas yang akan mengadakan pelatihan SDM perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai
berikut:
1) Topik dan isi.
2) In-house atau eksternal atau dalam bentuk training of trainers (ToT).

3) Metode pemberian materi (dapat berupa gabungan antara pemberian materi oleh
instruktur, perkuliahan berbasis kompter, loka karya maupun magang/on the job
trainings/internships).
4) Waktu pelatihan (perlu dipertimbangkan waktu yang tepat karena jika terlalu awal staf
dapat saja lupa atas apa yang mereka pelajari, oleh karena pemberian pelatihan bisa
dilakukan sebelum dan sesudah implementasi perubahan).
e. Evaluasi dan penilaian
Reviu pasca pelaksanaan pelatihan dapat digunakan sebagai evaluasi efektivitas pelatihan
sekaligus sebagai dasar penilaian kebutuhan pelatihan selanjutnya. Laporan hasil pemeriksaan
(LHP) maupun reviu atas laporan keuangan pemerintah dapat dijadikan sebagai indikasi sejauh
mana pelatihan tambahan dibutuhkan.
f. Pelatihan silang (cross-training)
Dalam mengembangkan strategi pelatihan untuk berbagai kelompok karyawan, entitas perlu
mempertimbangkan adanya pelatihan silang sehingga staf akan lebih menyadari hubungan
antar berbagai aktivitas sekaligus memungkinkan adanya perpindahan staf dari satu area ke
area yang memiliki beban kerja yang lebih tinggi.
g. Pelatihan berkesinambungan (ongoing training)
Pelatihan berkesinambungan terkait pengelolaan manajemen keuangan maupun akuntansi
secara umum sangat dibutuhkan. Sebagai tindak lanjut dari implementasi akuntansi akrual,
entitas akan membutuhkan pengembangan kebijakan dan prosedur terkait untuk mendukung
pengoperasian sistem baru. Kebijakan dan panduan terkini juga merupakan bentuk pelatihan
yang akan membantu staf dalam melaksanakan kewajiban mereka.
SIMPULAN
Semua elemen SDM yang terlibat dalam transisi perubahan menuju akuntansi berbasis
akrual harus memahami arti penting dan alasan perubahan, mampu melaksanakan apa yang
sudah menjadi tanggung jawab mereka, mengoperasikan sistem dan prosedur sistem yang baru
serta memahami informasi yang dihasilkan.
REFERENSI
Harun, H. and Kamase, Haryono P., 2012, Accounting Change and Institutional Capacity: The Case of
Provincial in Indonesia, Australasian Accounting Business and Finance Journal, Vol. 6 Issue 2

International Federation of Accountants (IFAC), 2011, Transition to the Accrual Basis of Accounting:
Guidance for Governments and Government Entities, http://www.ifac.org

ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI AKUNTANSI


PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL (APBA) ATAS ENTITAS
PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH
Arief Surya Irawan
(Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada)

ABSTRAK
Penerapan Akuntansi Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) merupakan program yang telah menjadi keharusan
sejak dilaukan reformasi keuangan negara yang diawali dengan implementasi Undang-undang Nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, ditegaskan melalui Peraturan Perundang-undangan nomor 71/2010, serta diatur
lebih lebih teknis dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 64/2013. Implementasi APBA membutuhkan
perencanaan dan strategi pelaksanaan yang matang dengan mempertimbangkan beragam aspek terkait. Tulisan ini
memberikan analisis terkait implementasi APBA yang dikaitkan dengan pra-kondisi, langkah-langkah
implementasi, dan penyesuaian yang harus dilakukan oleh entitas pelaporan. Pada akhirnya pemerintah dapat
memilih opsi perubahan basis akuntansi menjadi akrual dan opsi apakah akan melakukan perubahan basis
penganggaran. Beberapa implikasi atas implementasi APBA dibutuhkan untuk mendukung kelancaran transisi
mencakup mandat yang jelas, komitmen politik, komitmen pemerintah dan pejabat kunci, sumber daya yang
memadai, struktur manajemen perubahan yang efektif, dukungan kapasitas teknologi informasi dan sistem
informasi yang memadai, serta dan dukungan legislatif
Kata kunci: akuntansi pemerintah berbasis akrual, pra-kondisi, langkah-langkah implementasi, entitas pelaporan
Accrual accounting is not "an end in itself, but
rather, as a means of shifting the emphasis of the
budgetary process away from cash inputs, towards
outputs and outcomes, in the hope that this will
result in greater management efficiencies, and
hence, better outcomes for Governments and the
communities they serve"
(Carlin and Guthrie, 2000)

PENDAHULUAN
Perubahan basis akuntansi dari basis kas menjadi basis akrual diharapkan mampu memberikan
manfaat terkait dengan informasi penentuan cost dalam rangka program penghematan (cost
saving) maupun informasi atas aset sehingga mampu memberikan informasi akurat terkait
peningkatan pendapatan (revenue generating). Implementasi akuntansi berbasis akrual
diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas,

kesinambungan,

memberikan dasar

pengukuran yang lebih baik terkait dampak kebijakan pemerintah, meningkatkan efisiensi dan
efektivitas organisasional dan mendorong peningkatan integritas.

Selanjutnya, informasi yang dihasilkan akan lebih relevan terkait kebijakan ekonomi makro,
khususnya kebijakan fiskal. Kerangka kerja akuntansi berbasis akrual menjadi sangat penting
untuk menentukan kos total (full cost) aktivitas pemerintah secara sistematik yang pada
akhirnya berperan penting dalam pencapaian kerangka kerja manajemen kinerja sektor publik
yang lebih efisien dan efektif.
PRA-KONDISI TERKAIT PENERAPAN APBA
Secara umum, implementasi APBA dapat menjadi salah satu faktor pendukung dalam
menghasilkan perubahan perilaku para pengambil keputusan. Namun, beragam manfaat positif
yang didapat dari implementasi APBA dapat diraih saja perubahan tersebut juga meliputi
berbagai aspek lain termasuk accrual budgeting (Khan dan Meyer, 2009).
Sifat dan kecepatan dari penerapan basis akrual tergantung pada sejumlah faktor. Oleh karena
itu, isu-isu pada masa transisi menuju implementasi basis akrual harus diidentifikasi secara
komprehensif dan dikaji secara mendalam, sebab perubahan tersebut bukan sekadar perubahan
teknis akuntansi akan tetapi mempengaruhi sejumlah faktor lainnya yang harus dipersiapkan.
Isu-isu tersebut antara lain:
Apakah penggunaan basis akrual hanya untuk pelaporan keuangan atau diterapkan dalam
reformasi yang lebih luas, misalnya dalam penganggaran.
Apakah penerapan basis akrual akan dilakukan secara top-down atau bottom-up. Bila
diterapkan secara top-down biasanya penerapan basis akrual dilakukan secara mandatory
(wajib) untuk semua entitas dalam rentang waktu (time frame) yang pasti dan seragam.
Sedangkan bila diterapkan secara bottom-up, harus dilakukan pilot project terlebih dahulu
pada entitas tertentu, untuk meyakinkan bahwa basis akrual dapat dilaksanakan dengan
baik. Penerapan akuntansi akrual dalam jangka waktu pendek (1-3 tahun) akan berisiko
timbulnya reform fatigue yaitu hilangnya semangat dan antusiasme para penyelenggara
akuntansi karena merasa lelah dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus tanpa
merasakan manfaatnya secara langsung. Untuk mengatasi risiko itu disarankan agar
penerapan basis akrual dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu medium (4-6 tahun),
dengan cara:
o Terapkan pada beberapa entitas akuntansi tertentu di Pemerintah Pusat yang sudah
dianggap mapan dalam proses akuntansi, sebagai pilot project;

o apabila pilot project sudah berhasil, maka pengalaman praktik akuntansi akrual ini
dapat ditransfer dan digunakan untuk bahan sosialisasi ke instansi-instansi pemerintah
lain.

Komitmen di level politik untuk menerapkan akuntansi akrual.

Kapasitas dan keahlian orang-orang yang terkait dan/atau bertanggung jawab dengan
adanya perubahan tersebut.

Peraturan Perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan negara yang ada.

Standar akuntansi yang sedang berjalan dan persiapan perubahannya;

Sistem (teknologi) informasi yang sedang berjalan dan persiapan perubahannya.

Kelengkapan dan keakuratan informasi keuangan yang ada, terutama informasi tentang aset
dan kewajiban (utang).
Khan dan Mayes (2009) dalam Transition to Accrual Accounting menyimpulkan beberapa
isu terkait dengan penerapan basis akrual, yaitu:
1. Perumusan kebijakan akuntansi.
Basis kas hanya mencatat transaksi penerimaan dan pembayaran kas, relatif akan mudah
dioperasikan. Pengakuan dan pengukuran/penilaian atas transaksi yang semakin kompleks
menyebabkan persyaratan kemampuan teknis dan judgment lebih tinggi karena
mengandung risiko kesalahan dan salah saji yang tinggi. Isu utama adalah bahwa
pemerintah perlu fokus pada kebijakan akuntansi yang paling tepat dan konsisten dengan
standar akuntansinya.
2. Kesenjangan/gap dengan standar internasional.
Standar akuntansi pemerintah internasional yang diterbitkan oleh The International Public
Sector Accounting Standards Board (IPSASB) dirancang untuk memfasilitasi penerapan
umum pelaporan keuangan pemerintah yang dapat diperbandingkan secara internasional.
3. Informasi kas dalam kerangka kerja akrual.
Penerapan basis akuntansi akrual bukan berarti menghilangkan basis kas, tetapi pengelolaan
kas merupakan bagian yang integral dari kerangka manajemen keuangan berbasis akrual.
Basis akrual yang modern mempunyai fungsi-fungsi untuk mendukung basis akuntansi dan
pelaporan secara kas.

4. Sinkronisasi antara akuntansi akrual dengan anggaran


Banyak pakar berpendapat bahwa konsep akuntansi dan anggaran harus disamakan agar
terdapat basis yang jelas dan transparan dalam pembandingan antara apa yang direncanakan
dan hasil aktual. Akuntansi berkaitan dengan pelaporan transaksi ex-post, sementara
anggaran merupakan perencanaan ex-ante dalam basis akrual. Secara teknik, pemerintah
dapat saja menerapkan basis akuntansi akrual tanpa mengubah kerangka penganggaran
berbasis kas, sehingga dalam pelaporan akuntansi berbasis akrual, pertanggungjawaban
anggaran berbasis kas akan tetap disusun. Sebagai contoh, negara seperti Amerika Serikat
menerapkan pelaporan keuangan/akuntansi berbasis akrual tanpa mengadopsi pola
penganggaran berbasis akrual, sementara Selandia Baru menerapkan basis akrual secara
simultan pada akuntansi dan penganggaran.
5. Klasifikasi anggaran dan akun standar.
Apabila pemerintah menerapkan basis akrual pada akuntansi dan anggaran secara simultan,
akun standar dan klasifikasi anggaran sebaiknya disamakan; namun jika pemerintah
menerapkan basis akrual hanya pada akuntansi saja akan ada perbedaan antara akun standar
dan klasifikasi anggaran.
6. Neraca awal.
Neraca awal dari penerapan basis akrual harus didukung dengan informasi dan
pengungkapan memadai untuk kepentingan audit.
7. Proses keuangan yang tersentralisasi atau terdesentralisasi
Pertimbangan proses keuangan sentralisasi atau desentralisasi menyangkut apakah tingkat
kementerian atau satuan kerja disyaratkan melaporkan secara harian operasinya atau tidak.
Pemerintah perlu menilai skala dan kompleksitas transaksi yang tercakup dalam identifikasi
dan pengukuran atas transaksi akun basis akrual. Untuk negara berkembang, kendala
kapasitas seperti itu tidak mungkin dicapai dalam jangka pendek.
8. Konsolidasi
Baik pola sentralisasi atau desentralisasi pelaporan pemerintah, konsolidasi laporan secara
keseluruhan tetap merupakan titik penting sehingga identifikasi akun entitas untuk
kepentingan eliminasi dapat dilakukan.

LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI APBA


Asian Development Bank (dalam Widjajarso) memberikan rekomendasi implementasi APBA,
yaitu:
1. Kehati-hatian dalam memilih strategi implementasi
Terdapat dua model utama dalam penerapan akrual basis yakni model langsug (big bang)
dan model bertahap (gradual). Pendekatan model big bang dilakukan dalam jangka waktu
yang sangat singkat. Keuntungan pendekatan ini adalah mendukung terjadinya perubahan
budaya organisasi, cepat dan dapat menghindari risiko kepentingan, namun mengandung
kelemahan, seperti beban kerja tinggi, ketiadaan waktu untuk menyelesaikan masalah yang
timbul, dan komitmen politik yang mungkin bisa berubah. Contoh sukses penerapan adalah
di Selandia Baru yang didukung tiga faktor yakni adanya krisis fiskal, dukungan politisi,
dan adanya reformasi birokrasi yang memberikan fleksibiltas kepada SDM. Alternatif lain
yakni pendekatan bertahap, seperti pelaksanaan di pemerintah federal Amerika Serikat.
Keuntungan pendekatan ini adalah antisipasi permasalahan yang mungkin timbul dan cara
penyelesaiannya selama masa transisi, basis kas masih dapat dilakukan secara paralel untuk
mengurangi risiko kegagalan. Sedangkan kelemahannya adalah akan membutuhkan banyak
SDM, perubahan budaya organisasi tidak terjadi, dan hilangnya momentum penerapan basis
akrual.
2. Komitmen politik merupakan salah satu kunci penting.
Komitmen politik dalam penerapan basis akrual bagi negara berkembang menjadi sangat
esensial, sehingga komitmen politik ini diperlukan untuk menghilangkan adanya
kepentingan yang tidak sejalan.
3. Tujuan yang ingin dicapai harus dikomunikasikan
Hasil dan manfaat yang ingin dicapai dengan penerapan basis akrual harus secara intens
dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
4. Perlunya tenaga akuntan yang andal.
Tenaga akuntan yang profesional akan sangat diperlukan didukung pola rekrutmen yang
sesuai dan pelatihan yang cukup.
5. Sistem informasi akuntansi harus memadai
Informasi akuntansi berbasis kas merupakan titik penting dalam perubahan ke basis akrual.
Jika suatu negara belum memiliki sistem akuntansi berbasis kas yang dapat diandalkan,

maka negara tersebut terlebih dahulu berkonsentrasi pada peningkatan sistem dan proses
yang ada, sebelum mempertimbangkan perpindahan ke akuntansi akrual.
6. Badan audit tertinggi harus memiliki sumber daya yang tepat
Badan Audit memegang kunci yang sangat penting dalam penerapan basis akrual baik
sebagai mitra maupun sebagai reviewer proses pelaksanaan dan hasil yang akan diperoleh.
7. Penerapan basis akrual harus merupakan bagian dari reformasi birokrasi
Penerapan basis akrual tidak boleh hanya dilihat sebagai masalah teknik akuntansi saja,
tetapi penerapan ini membutuhkan perubahan budaya organisasi dan harus merupakan
bagian dari reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Informasi yang dihasilkan dengan basis akrual akan menjadi

berharga dan sukses apabila

informasi yang dihasilkan digunakan untuk dasar membuat kebijakan publik yang semakin
baik. Perubahan ini tidak secara otomatis terjadi, tapi perlu secara aktif dipromosikan secara
kontinyu. Khan and Mayes (2009) mendiskusikan kemungkinan rangkaian implementasi
akuntansi akrual termasuk pelaporan keuangan periodik disesuaikan dengan tingkat entitas
(line-entities) maupun pemerintah secara keseluruhan. Salah satu pendekatan yang mungkin
dilakukan pada tahap awal adalah berfokus pada aset-aset keuangan dan kewajiban-kewajiban
keuangan yang cenderung lebih mudah untuk diukur.
IMPLIKASI PENERAPAN APBA
Penerapan APBA di atas memiliki implikasi antara lain:
1. Perubahan kebijakan akuntansi perlu dibuat secara retroaktif dengan menerbitkan kembali
informasi keuangan yang terdahulu sebagai akibat dari perubahan-perubahan kebijakan
akuntansi.
2. Surplus anggaran adalah selisih antara pendapatan dan beban (bukan belanja)
3. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari kebijakan akuntansi memang harus direviu oleh Badan
Audit.
Transisi menuju akuntansi berbasis akrual merupakan mandat perundang-undangan sehingga
menjadi proyek utama pemerintah yang membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang
matang. Transisi akan berjalan dengan lancar dan lebih cepat apabila mencakup beberapa hal di
bawah:

1. Mandat yang jelas


Terdapat sebuah kebutuhan akan mandat yang jelas dari tingkat kepemerintahan yang
sesuai terkait seberapa jauh reformasi keuangan akan dilakukan, jangka waktu yang
diharapkan dan lembaga otoritas pemerintah yang akan menginisiasi perubahan sekaligus
pihak yang akan bertanggung jawab sebagai pengawas perubahan
2. Komitmen politik
Komitmen politik dari berbagai lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat
umumnya dibutuhkan untuk mengawal perubahan pada tahap-tahap awal sekaligus tetap
mendukung apabila perubahan tersebut menemui hambatan pada saat pelaksanaan
3. Komitmen pemerintah pusat dan pimpinan kunci
Komitmen pemerintah dan pimpinan lembaga pemerintahan dibutuhkan karena perubahan
basis akuntansi dan reformasi keuangan melibatkan perubahan pada struktur kekuasaan
(power structure). Pimpinan kunci diharapkan dapat menjadi garda depan perubahan
sekaligus menjadi pihak yang meluruskan jika pelaksanaan perubahan melenceng dari
sasaran awal.
4. Sumber daya yang memadai (SDM dan keuangan)
Beragam keterampilan dibutuhkan untuk mengelola dan melmelihara akuntansi berbasis
akrual. Identifikasi jenis keterampilan yang dibutuhkan dan perencanaan pengembangan
SDM dapat dilihat pada bab sebelumnya.
5. Struktur manajemen proyek yang efektif
Manajemen proyek pada umumnya memecah proyek ke dalam komponen terpisah sehingga
dapat dikelola oleh para individu dengan keterampilan dan pengalaman sesuai. Sebuah
proyek reformasi seyogyanya memiliki:
a) Dokumen kerangka kerja (filosofi)
b) Rencana Implementasi formal
c) Deskripsi tugas dan tanggung jawab yang jelas
d) Indikator Kinerja/Tonggak penting proyek termasuk prosedur pemantauan kinerja
entitas dan individu
e) Proses pengesahan
f) Mekanisme koordinasi dan komunikasi formal
g) Informasi terkait kos/biaya proyek terkait

6. Dukungan kapasitas teknologi dan sistem informasi yang memadai


Adopsi pelaporan keuangan berbasis akrual bersama reformasi di bidang sektor publik lain
sering melibatkan perubahan pada skala sistem informasi
7. Dukungan pihak legislatif
Dukungan legislatif khususnya terkait proses pengesahan perundang-undangan memiliki
beberapa manfaat antara lain kuatnya dukungan DPR atas kebijakan perubahan yang
diambil pemerintah
SIMPULAN
Berdasarkan bahasan-bahasan di atas, simpulan yang dapat diambil antara lain:
1. Basis akrual akan memberikan gambaran informasi yang lebih utuh, akurat, transparan dan
lebih bermanfaat, misalnya informasi biaya terkait aktivitas pemerintah dan proses
pengambilan keputusan pemerintah maupun stakeholders lain.
2. Proses implementasi APBA perlu dirancang secara hati-hati karena mempunyai implikasi
yang tidak dapat dihindari, misal terkait proses penganggaran. Pendekatan penerapan yang
bersifat total dan segera perlu dilakukan agar tidak kehilangan momentum perubahan dari
basis kas ke basis akrual.
3. Terdapat opsi terkait perubahan basis penganggaran dari basis kas ke basis akrual karena
perubahan tersebut tidak serta merta harus diterapkan dalam mengaplikasikan basis
akuntansi akrual.
4. Beberapa implikasi atas implementasi APBA mencakup mandat yang jelas, komitmen
politik, komitmen pemerintah dan pejabat kunci, sumber daya yang memadai yaitu SDM
yang kompeten dan unsur keuangan, struktur manajemen perubahan yang efektif, dukungan
kapasitas teknologi informasi dan sistem informasi yang memadai, dan dukungan legislatif
REFERENSI
Halim, Abdul, dan Syam Kusufi, 2012, Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik
dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah,
Salemba Empat, Jakarta
International Public Sector Accounting Standard Board, 2011, Transition to the Accrual Basis
of Accounting: Guidance for Public Sector Entities, Study 14, 3rd Edition, IFAC, New

York, USA
Kahn, Abdul & Stephen Mayers, 2009, Transition To Accrual Accounting, Technical Notes
And Manuals, International Monetary Fund
Mulyana, Budi, Penggunaan Akuntansi Akrual di Negara-negara Lain: tren Negara-Negara
Anggota

OECD,

kumpulan

file

akuntansi

pemerintahan,

http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Akuntansi-berbasis-akrual.pdf, diakses
20 Januari 2014
Widjajarso, Bambang, Penerapan Basis Akrual Pada Akuntansi Pemerintah Indonesia: Sebuah
Kajian

Pendahuluan,

kumpulan

file

akuntansi

pemerintahan,

http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Akuntansi-berbasis-akrual.pdf, diakses
20 Januari 2014

AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK DAN


ISU-ISU DISEPUTARNYA
Ratna Ayu Damayanti
Universitas Hasanuddin
I believe accounting is not an end
in itself, but an information tool to
enhance [...] the sustainability of
budgetary policies, performance
measurement and the transparency
of the States financial position.
These precepts need to guide
accounting choices and should not
become the exclusive preserve of
technicians.
- Florence Parly,
French Budget Minister

PENDAHULUAN
Selama satu dekade terakhir, seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak
organisasi pemerintahan di belahan dunia ini yang menerapkan sistem akuntansi akrual dalam
pelaporan keuangan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu reformasi
mendasar dari arsitektur manajemen keuangan pemerintahan. Fenomena ini, kemudian, banyak
diperdebatkan baik dalam lingkungan manajemen publik itu sendiri maupun dalam berbagai
literatur akademik, di mana perdebatan tersebut lebih terfokus kepada hal-hal yang teknis.
Sejumlah bukti empiris juga menunjukkan bahwa akuntansi akrual dan pelaporan keuangan
yang diterapkan pada organisasi sektor publik telah memberikan suasana baru bagi penelitian
dalam bidang ini. Oleh karena itu, berkaitan dengan perkembangan tersebut, tulisan ini
membahas perdebatan berkaitan dengan penerapan akuntansi akrual dan pelaporan keuangan di
sektor publik, membahas pandangan para ahli yang membingkai pendekatan dalam perdebatan
tersebut, dan membahas dampak dari reformasi. Tulisan ini juga menunjukkan dampak positif
dalam perubahan kualitas pengambilan keputusan keuangan di sektor pemerintahan, di mana
penerapan akuntansi dan pelaporan keuangan akrual dapat memberikan informasi yang
berkualitas terhadap beberapa keputusan kunci seperti keputusan mengenai outsourcing dan
competitive tendering.
Perdebatan tentang penerapan teknik akuntansi dan pelaporan keuangan akrual telah
demikian menyebar selama dekade terakhir sehingga dapat diberi label sebagai musnahnya

risiko ketidaktelitian, dan perubahan terus bergerak ke arah perbaikan. Fenomena ini
memunculkan pertanyaan apakah teknik berbasis akrual ini harus diadopsi oleh setiap entitas
dalam organisasi sektor publik?, di mana hal ini masih merupakan perdebatan dan
dipertanyakan (Pallot, 1994; English et al., 2000). Masalah serupa yang juga masih menjadi
perdebatan oleh beberapa kelompok kepentingan adalah penerapan secara luas basis akrual
dalam manajemen keuangan dan kerangka pelaporan, misalnya di UK (Likierman, 2000), atau
yang masih berada pada tahap mengumumkan untuk bergerak ke arah basis akrual, misalnya
Hong Kong (Awty, 2002). Jadi, fenomena perdebatan atas penerapan akuntansi akrual di
beberapa negara terjadi mulai dari saat perkenalan sampai dengan akuntansi akrual telah
berlangsung.
Perdebatan di atas telah membawa dampak pada perkembangan literatur tentang
akuntansi akrual dan pelaporan keuangan di sektor publik selama dekade terakhir. Berkaitan
dengan hal di atas, pembahasan literatur telah terpecah menjadi empat topik utama, yaitu,
pertama, topik pembahasan berkaitan dengan pertanyaan mengenai keinginan atau alasan untuk
memperkenalkan akuntansi akrual ke dalam organisasi sektor publik. Topik kedua, adalah
anggapan bahwa adopsi akuntansi akrual sebagai sesuatu yang given (harus diterima), sehingga
pembahasan mengarah pada proses pengadopsian berlangsung (Brorstrom, 1998; Ryan, 1998).
Aliran ketiga dalam literatur berbicara mengenai model dan teknik implementasi akuntansi
akrual. Pertanyaan yang muncul adalah apakah metodologi yang diterapkan pada organisasi
sektor privat juga harus diterapkan pada organisasi sektor publik? Sementara diketahui bahwa
organisasi sektor publik memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor privat. Oleh karena
itu, dalam literatur akademik pembahasan menjadi semakin berkembang yaitu adanya alternatif
lain yang diterapkan dengan menggabungkan perbedaan keduanya sehingga berkembang suatu
model unik dalam ranah ruang publik? Pertanyaan-pertanyaan ini, kemudian berkembang pada
tataran konseptual (Newberry, 2001) dan berkaitan dengan fenomena teknis tertentu seperti
masalah perlakuan akuntansi atas aset yang bernilai budaya, ilmiah dan aset heritage di mana
hal ini akan dipaparkan lebih detail pada pembahasan di bawah ini.
AKUNTANSI AKRUAL: SUATU FENOMENA BARU
Akuntansi dan pelaporan keuangan berbasis akrual bukanlah sebuah hal yang baru,
namun, merupakan suatu fenomena baru ketika diterapkan pada organisasi sektor publik.
Misalnya, di Australia, departemen Postmaster-General telah mempersiapkan rekening
komersial pada organisasinya (termasuk laporan rugi-laba dan laporan neraca) pada tahun

1913, dan terus menggunakan bentuk pelaporan tersebut sepanjang waktu (Standish, 1968
dikutip dalam Carlin, 2003). Namun demikian, pada waktu itu akuntansi berbasis kas masih
lebih unggul dan banyak digunakan daripada akuntansi berbasis akrual dalam model akuntansi
dan pelaporan keuangan pada organisasi sektor publik di seluruh dunia (OECD, 2002).
Pergeseran ke arah struktur berorientasi akrual yang komprehensif atas akuntansi dan
pelaporan keuangan di sektor publik mulai berlangsung di akhir 1980-an, terutama pada negara
Australia dan New Zealand. Yurisdiksi terakhir merupakan negara berdaulat pertama yang
sepenuhnya menerapkan akuntansi akrual pada kedua tingkatan pemerintahan baik nasional
maupun lokal termasuk agensi milik pemerintah. Pada awal 1980-an, menurut informasi IFAC
(1996), telah banyak organisasi pemerintah di New Zealand yang mengadopsi akuntansi akrual
dalam pelaporan keuangannya. Dorongan yang paling signifikan untuk mengadopsi akuntansi
akrual secara keseluruhan dalam organisasi pemerintahan adalah adanya dua peraturan
perundang-undangan, yaitu State Sector Act 1988 (New Zealand) dan Public Finance Act 1989
(New Zealand).
Perdebatan Akuntansi Akrual di Sektor Publik
Pengenalan akuntansi berbasis akrual dan pelaporan keuangan pada berbagai tingkatan
organisasi pemerintah di seluruh dunia bukanlah hasil dari sebuah gerakan yang perlahan.
Namun, merupakan gerakan revolusioner di bidang sektor publik di mana terjadi pro dan kontra
atas gerakan ini, bahkan penerapan akrual secara keseluruhan atau sebagian, perkembangannya
telah cukup baik dan berkelanjutan sampai dengan saat ini. Contoh kecil kelompok yang
mendukung gerakan ini dapat dilihat pada berbagai artikel (seperti, berbagai tulisan yang
mengungkap perubahan standar akuntansi di Australia yaitu AAS 27, 29, dan 31 (AARF, 1991,
1993, 1998); Barrett, 1994; Gillibrand dan Hilton, 1998; Heald dan Georgiou, 1995; IFAC,
1994, 1996, 2002; Rowles, 1993; Talbot, 1998). Di sisi lain, terdapat beberapa contoh artikel
yang mengekspresikan pandangan kritis (lihat Guthrie, 1993, 1998; Jones dan Puglisi, 1997;
McCrae dan Aiken, 1994; Mellett, 1997). Literatur-literatur yang mendukung adopsi akuntansi
dan pelaporan keuangan akrual di sektor publik umumnya ditandai dengan simbol keberhasilan
sistem akrual di sektor privat, sementara kurangnya bukti empiris yang mendukung
keberhasilan tersebut pada organisasi sektor publik (Potter, 1999). Beberapa isu muncul seiring
dengan berjalannya pekerjaan adopsi ini. Pada tingkat yang paling sederhana, beberapa literatur
membenarkan penerapan akuntansi akrual atas dasar tingkat kepercayaan atas informasi yang
diberikan (OECD, 1993). Penulis lain membenarkan pernyataan tersebut dengan berpendapat

bahwa organisasi sektor publik seharusnya mengadopsi akuntansi dan pelaporan akrual dengan
mengacu pada pernyataan bahwa sistem pelaporan berbasis akrual memiliki keunggulan
dibandingkan dengan alternatif sistem lainnya (Mellor, 1996).
Apabila diamati dari beberapa artikel, maka hasil karya pengadopsian ini lebih mirip
sebagai harmonisasi daripada sebuah keseriusan prinsip. Hal ini disebabkan karena sistem
akuntansi akrual dipandang sebagai sesuatu yang baik dalam manajemen publik dan
pelaksanaannya atas dasar perasaan bukan dari suatu pemikiran yang matang (Carlin, 2003).
Dengan demikian, pengadopsian ini merupakan suatu panggilan untuk bertindak, sehingga
pernyataan yang muncul adalah mengapa organisasi sektor publik mengadopsi struktur
pelaporan model baru, dan bukan sebuah penjelasan mengenai bagaimana pengadopsian ini
harus dijalankan ke dalam bentuk praktis, atau pun penjelasan mengenai apa dampak yang
akan diperoleh apabila implementasi telah dilaksanakan.
Pada tingkatan yang lebih luas, tiga argumen utama berkembang dan muncul kembali
dalam implementasi akuntansi akrual dan pelaporan. Hal ini untuk mengantisipasi pernyataan
bahwa pengadopsian akuntansi akrual hanya merupakan struktur retorika. Pertama, adalah isu
yang sering diungkapkan bahwa penerapan pelaporan berbasis akrual dapat meningkatkan
transparansi, baik secara internal maupun eksternal (Denis, 1993; Micallef, 1994; Wong, 1998).
Kedua, sementara isu berkaitan dengan peningkatan transparansi berkembang, ditegaskan pula
bahwa peningkatan transparansi, khususnya transparansi internal dapat mendorong kinerja
organisasi yang lebih luas terutama melalui peningkatan alokasi sumber daya (Ball, 1994;
Likierman, 2000). Argumen ketiga, adalah organisasi yang menggunakan akuntansi berbasis
akrual mampu mengidentifikasikan biaya (full cost) dari berbagai aktivitas pelayanan. Hal ini
dapat membuat organisasi menjadi lebih efisien, alokasi sumber daya yang lebih baik dan
peningkatan kinerja (Evans, 1995).
Setiap argumen yang dikemukakan di atas merupakan sasaran kriti dari para kelompok
yang kontra. Klaim yang menyatakan bahwa akuntansi akrual menawarkan transparansi yang
lebih luas, karena sistem akrual memberikan kepercayaan dan objektivitas dari angka yang
dihasilkan dalam laporan keuangan. Isu yang berkembang pada beberapa literatur, dalam
konteks sektor privat, mengemukakan adanya kerentanan akuntansi (seperti, creative
accounting) dan pelaporan keuangan berbasis akrual yang dapat membingungkan pemakai
sehingga berdampak pada berkurangnya transparansi (Clarke et al., 1997; Jensen, 2001; Schilit,
2002). Di samping itu, belum ada literatur yang menjelaskan bahwa akuntansi akrual bermakna

pada organisasi sektor publik, dan hal ini merupakan tantangan paling mendasar bagi kelompok
yang peduli dengan fenomena ini.
Beberapa penulis, seperti Clarke et al. (1997), Jensen (2001), dan Schilit (2002) telah
berkecimpung dengan isu tersebut ketika mereka mengkonseptualisasikan teknologi akuntansi,
apakah sistem berbasis kas atau akrual, sementara penulis lain bersikap netral dan tidak
berkomentar. Isu tersebut merupakan agenda mendasar yang berada di belakang dari tujuan
akuntansi. Agenda ini menunjukkan bahwa transparansi mungkin saja telah berkurang baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan situasi ini dapat terlihat oleh dunia pada
umumnya. Namun demikian, situasi ini tidak memberikan jawaban secara langsung kepada
masalah yang sedang dihadapi, yakni, apakah pengenalan akuntansi akrual di sektor publik
memiliki dampak dalam meningkatkan transparansi.
Sementara, penulis lain memberikan label atas produk dari sistem pelaporan sektor
publik yang berbasis akrual sebagai suatu praktik yang "menyesatkan" (Barton, 1999).
Pernyataan ini tampaknya ditujukan sebagai kontra argumen pada kelompok optimis yang
berpandangan bahwa pelaporan keuangan berbasis akrual dapat mendorong transparansi.
Namun, apa yang menjadi argumen Barton memiliki pengaruh kecil terhadap sistem pelaporan
berbasis akrual. Argumen Barton ditujukan untuk mengkritisi Australian Accounting Standard
(AAS) 27 yaitu Financial Reporting by Local Governments. Pada standar tersebut dikatakan
bahwa organisasi pemerintah daerah menilai tanah yang digunakan sebagai jalan menurut
persepsi mereka (pemerintah), kemudian melakukan penilaian dan identifikasi aset tersebut
untuk setiap periode pelaporan keuangan. Jadi, pada dasarnya argumen yang dikemukakan
Barton berkaitan dengan hal di atas, dan bukan pada penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual di sektor publik, oleh karenanya tidak berhubungan dengan tingkat transparansi
pemerintah.
Pengamatan serupa dilakukan oleh Walker et al. (1999, 2000) yang merupakan
kontribusi terbaru dengan mengkritisi penggunaan akuntansi biaya saat ini (current cost) pada
GTEs. Kritik mereka menunjukkan adanya penurunan kemampuan penyediaan informasi yang
dihasilkan dalam rangka pengambilan keputusan. Sekali lagi, kritik utama bukan pada
akuntansi dan pelaporan berbasis akrual pada organisasi pemerintahan umumnya, melainkan,
tentang aspek teknis tertentu atas implementasinya. Jadi, ungkapan yang menyatakan bahwa
basis akrual di sektor publik hanya sebuah retorika belaka telah diabaikan selama hampir satu
dekade.

Hal yang sama juga terjadi pada argumen transparansi yang dikaitkan dengan
perbaikan kinerja organisasi, di mana sangat sedikit dukungan empiris. Sementara terdapat
sejumlah literatur yang signifikan membicarakan isu berkaitan dengan sistem dan tehnik
pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik (Bowerman dan Humprhey, 2001; Neale dan
Pallot, 2001; Walker, 2001). Di sisi lain, literatur yang secara kritis dan empiris membahas
dugaan hubungan antara penerapan akuntansi dan pelaporan berbasis akrual dengan
peningkatan kinerja di sektor publik, pada umumnya belum tampak. Sangat terbatasnya
penelitian atau pengamatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini (Carlin dan
Guthrie, 2001). Namun demikian, terdapat sejumlah kecil tulisan publikasi yang menunjukkan
bahwa biaya pelaksanaan akuntansi dan pelaporan berbasis akrual melebihi manfaat yang
diterima (Jones dan Puglisi, 1997), sedangkan Mellet (2002) memberikan wawasan yang lebih
mendalam atas beberapa hal meragukan yang telah dihasilkan dari penerapan teknik-teknik
baru tersebut seperti akuntansi akrual. Namun secara keseluruhan, respon-respon kritis dapat
diredam.
Hal ini semata-mata disebabkan karena sulitnya mengumpulkan bukti empiris
keterkaitan antara reformasi yang terjadi dengan perubahan kinerja dalam lingkungan yang
kompleks (yaitu sektor publik). Penelitian lebih banyak didominasi oleh ruang reformasi
(sebagai hasil dari implementasi berkelanjutan dari tehnik New Public Management) (Carlin,
2002). Kondisi ini semakin parah ketika struktur New Public Financial Management (NPFM)
dan pelaporan yang dikombinasikan dengan struktur administratif baru diperkenalkan.
Akibatnya, sulit untuk mengembangkan benchmarks yang memberikan informasi data tren atau
membuat perbandingan cross sectional yang valid antara reformasi akuntansi akrual dan
peningkatan kinerja karena terlalu banyak reformasi yang terjadi di sektor pemerintahan
(Pallot, 2001). Pada akhirnya, sebagian besar "bukti" yang disebutkan di atas diabaikan dan
hubungan antara akuntansi akrual di sektor publik dengan perbaikan kinerja, lebih didasarkan
pada penekanan opini yang objektif dibandingkan dengan data (misalnya: Richardson, 1994).
Secara efektif tanggapan kritis yang lebih dapat terukur (dibuktikan) adalah keterkaitan
antara implementasi akuntansi akrual dengan perbaikan informasi dalam pengukuran biaya,
yang mengarah kepada keputusan alokasi sumber daya dan kinerja yang lebih baik secara
keseluruhan. Robinson (1998, 22) berpendapat bahwa saran untuk mengadopsi sistem akrual
dapat meningkatkan konseptualisasi biaya atas pelayanan yang diberikan oleh sektor publik,
dan hal tersebut adalah sesuatu yang masuk akal. Argumen ini dimungkinkan karena akuntansi
akrual dapat menggambarkan ukuran biaya dengan menggunakan pertimbangan full accrual

cost. Konsep ini mencakup semua biaya modal dan biaya-biaya yang terkait dan sifatnya
berulang, termasuk biaya penyusutan dan beberapa pengukuran biaya modal yang digunakan
untuk memproduksi barang atau jasa tertentu (Robinson: 1998, 22). Hal ini berarti bahwa biaya
akrual penuh digunakan dalam sistem akuntansi dan pelaporan berbasis akrual, termasuk
penilaian aset (yang memasukkan perhitungan penyusutan dan biaya modal), serta biaya modal.
Argumen ini, kemudian, didukung oleh penulis lain yang menunjukkan, baik secara
empiris dan analitis, bahwa pilihan ini adalah pilihan terbaik, di mana pada saat itu organisasi
pemerintahan menghasilkan keputusan yang berkualitas buruk atas informasi berkaitan proses
investasi dan alokasi sumber daya (Carlin, 2003). Bahkan beberapa pendukung yang sangat
fanatik mengatakan bahwa pengenalan sistem akuntansi akrual di sektor publik adalah suatu
tindakan ideal dan hal ini merupakan argumen yang sangat kuat (Carlin, 2003).
Kritik Akuntansi Akrual di Sektor Publik
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, tampak bahwa jawaban normatif para
pendukung akuntansi akrual dipandang relatif lemah atau belum terjawab dengan memuaskan
(Carlin, 2003). Oleh karena itu, ada baiknya terlebih dahulu kita cermati pertanyaan yang
berkembang di sejumlah besar literatur berkaitan dengan apa yang menjadi dasar utama
pembahasan akuntansi akrual di sektor publik? Untuk itu gambaran tiga studi kasus berbeda
yang bersumber dari beberapa tulisan sebagaimana yang diceritakan oleh Carlin (2003) akan
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Studi kasus pertama berfokus pada argumen yang secara terus-menerus diperdebatkan
pada beberapa jurnal selama dekade terakhir, yaitu berkaitan dengan masalah akuntansi
heritage (warisan) dan sejumlah aset yang serupa. Pada tahun 1981, berawal dari tulisan Robert
Mautz yang mempertanyakan apakah monumen, reserves, taman, jalan, dan infrastruktur fisik
dan sosial lainnya dapat dianggap sebagai kewajiban ataukah aset. Pertanyaan ini didasarkan
pada pandangan bahwa adanya aliran arus kas keluar untuk memelihara dan mempertahankan
aset tersebut dalam rangka memberikan layanan sepanjang waktu (Mautz, 1981). Selama
hampir satu dekade, kontribusi yang ia berikan tidak dikomentari ataupun diperdebatkan dalam
literatur dan hal ini membuatnya kecewa (Mautz, 1988). Selanjutnya, pada awal dekade 1990an, sekelompok kecil penulis mulai memperdebatkan dengan serius pertanyaan yang sulit untuk
dijawab berkaitan dengan perlakuan akuntansi atas aset berupa heritage (warisan), budaya dan
aset yang bersifat ilmiah dalam konteks sektor publik (misalnya: Pallot, 1990). Kontribusi awal
kelompok kecil tersebut lebih menekankan pada perlunya untuk secara berhati-hati

mengevaluasi aset atas heritage, budaya dan aset ilmiah. Dalam hal ini, perlu adanya penilaian
dengan menggunakan kriteria yang berbeda dari kriteria yang umumnya digunakan untuk
mengukur dan mengakui aset keuangan dan fisik konvensional.
Di sisi lain, berkembanglah pandangan yang kontra dengan pendapat di atas. Pandangan
ini menegaskan bahwa aset-aset seperti budaya, aset ilmiah, dan heritage pada organisasi sektor
privat telah lama ada dan penilaiannya dilakukan oleh organisasi kolektor aset. Organisasi ini
telah melakukan penilaian atas aset-aset tersebut dengan cara yang konsisten dengan perlakuan
akuntansi yang lebih konvensional. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada alasan yang
merintangi untuk terus bergerak ke arah akuntansi akrual, karena hambatan atas penilaian aset
dapat dikendalikan dengan menggunakan cara sektor privat (sebagaimana yang sudah terjadi di
New Zealand dan saat ini dalam proses pelaksanaan di New South Wales) (Rowles, 1991).
Selain itu, pendekatan penilaian juga telah menjadi bahan pembahasan dalam discussion paper
yang diterbitkan oleh Australian Accounting Research Foundation pada tahun berikutnya.
Namun demikian, pandangan skeptis atas penyamaan penilaian aset antara sektor privat
dan publik bermunculan, kritik komprehensif atas akuntansi akrual dilakukan oleh Carnegie
dan Wolnizer pada tahun 1995 (Carnegie dan Wolnizer, 1995). Mereka berpendapat bahwa
secara komprehensif heritage, koleksi ilmiah dan budaya tidak memenuhi syarat untuk diakui
sebagai aset. Hal ini disebabkan karena barang-barang tersebut tidak memenuhi definisi atau
kriteria pengakuan atas aset yang ditetapkan dalam kerangka konseptual (Australia). Selain itu,
pengakuan dan penilaian barang-barang ini dapat menjadi permasalahan karena adanya tradeoff atas biaya manfaat dengan informasi keuangan yang disediakan karena pengguna informasi
tidak dapat diidentifikasi. Pada akhirnya, Carnegie dan Wolnizer (1995) berpendapat bahwa
misi pemerintah sehubungan dengan aset budaya, heritage, dan ilmiah hanya sekadar
mengungkapkan bahwa barang tersebut ada dan menguasainya, dan bukan mengganggap
aset tersebut sebagai kegiatan bisnis. Akibatnya, apabila pengakuan dan penilaian aset
tersebut menggunakan gaya komersial (sektor privat) maka akan menghasilkan informasi yang
secara fundamental bertentangan dengan tujuan inti lembaga pemerintahan dalam kaitannya
dengan penyajian laporan keuangan.
Pernyataan Carnegie dan Wolnizer dengan cepat direspon oleh para pegawai
pemerintahan. Mereka berpendapat bahwa pengakuan dan penilaian aset budaya, heritage dan
ilmiah, tidak berhubungan dengan nilai-nilai inti dari organisasi sektor publik. Pengakuan dan
penilaian aset tujuannya adalah untuk mempertahankan dan melanjutkan kelangsungan nilai
dari aset-aset tersebut (Hone, 1997 dikutip dalam Carlin, 2003). Pada dasarnya, informasi atas

penilaian aset ini dibutuhkan (Vic PAEC, 1995 dikutip dalam Carlin, 2003), dan tidak satu pun
definisi atau pengakuan aset berdasarkan kerangka konseptual menyesatkan dalam laporan
keuangan entitas sektor publik, yang merupakan hasil dari penilaian dan penggabungan koleksi
budaya, heritage, dan ilmiah (Micallef dan Peirson, 1997).
Contoh studi kasus kedua yang menjadi pembahasan dalam berbagai literatur adalah
pertanyaan mengenai sesuaikah kerangka konseptual akuntansi sektor privat untuk tujuan
pelaporan keuangan ditransfer tanpa modifikasi ke organisasi sektor publik? Asal-usul dari
perdebatan ini dapat ditelusuri kembali ke dekade akhir 1970-an (Anthony, 1978 dikutip dalam
Carlin, 2003), dan sejumlah literatur yang signifikan membahas pertanyaan di atas yang
diterbitkan pada pertengahan 1990-an, pada akhirnya perdebatan berlanjut terus sampai dengan
sekarang. Dua kelompok pemikir bergabung untuk mengemukakan gagasannya. Pandangan
pemikir pertama bersandar pada pemahaman atas netralitas sektor, gagasan bahwa satu
kerangka konseptual, dan satu organisasi saja yang mengatur akuntansi dan pelaporan di mana
aturan tersebut berfungsi baik untuk sektor privat maupun publik (MacIntosh, 1999;
McGreggor, 1999 ; Micallef dan Peirson, 1997).
Pandangan alternatif dari pemikir berikutnya mengatakan bahwa sifat dari sektor publik
sangat berbeda secara fundamental dengan sektor swasta. Kondisi ini karena pasar di mana
pemerintah beroperasi berbeda, tujuan berbeda, dan sifat dari aset dan kewajiban pemerintah
yang berbeda apabila dibandingkan dengan sektor swasta. Oleh karena itu, seperangkat
peraturan yang berbeda pun seharusnya diterapkan untuk mengatur akuntansi dan pelaporan
keuangan baik di sektor publik maupun di sektor privat (Barton, 1999, 2002; Carnegie dan
Wolnizer, 1999). Sebagaimana perdebatan tentang aset heritage, aset budaya dan ilmiah yang
diulas di atas, perdebatan mengenai kerangka konseptual sektor publik juga menunjukkan
tanda-tanda perseteruan yang sengit (Barton, 2002), tanpa adanya pemecahan sedikit pun.
Gambaran studi kasus ketiga adalah perseteruan berkaitan dengan akrual sebagai alat
retorika. Kumpulan tulisan yang menentang pendapat bahwa pengenalan akuntansi akrual
sektor privat ke dalam sektor publik sebagian besar karena alasan raison d'etre di mana
akuntansi sektor privat secara fundamental berbeda dengan akuntansi sektor publik dan
keduanya tidak dapat dipertemukan. Penulis yang mengadopsi argumentasi ini menunjukkan
bahwa fokus utama akuntansi sektor privat yaitu, profitabilitas, solvabilitas dan struktur modal,
di mana fokus ini tidak relevan dalam setting organisasi publik (Aiken dan Capitanio, 1995;
McCrae dan Aiken, 1994; Ma dan Matthews, 1992). Ketidaksesuaian mendasar dari fokus
utama tersebut menyebabkan teknologi dan teknik akuntansi sektor privat yang diadopsi ke

sektor publik yaitu akuntansi akrual hanyalah sebuah keputusan retorika belaka alih-alih sebuah
kenyataan, sehingga hal ini menjadi agenda yang lebih luas dan perlu diseriusi (Guthrie, 1998).
Pandangan sekilas dari tiga aliran literatur di atas menggambarkan suasana yang tidak
terdamaikan dalam perdebatan mereka menyangkut akuntansi sektor publik dan pelaporan
keuangan. Elemen inti dari masing-masing tingkat perdebatan berakhir tanpa penyelesaian, dan
kurangnya kerangka konseptual yang mereka tawarkan untuk memahami akuntansi akrual di
sektor publik dalam konteks lingkungan organisasi yang baru. Jadi, perdebatan tentang
akuntansi untuk aset budaya, heritage dan ilmiah, kerangka konseptual yang tepat, dan
implementasi retorika vs kenyataan, belum menghasilkan suatu titik temu yang material dalam
memahami pengaruh sistem akuntansi akrual di organisasi sektor publik.
AKUNTANSI AKRUAL DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Bagian ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan kontribusi yang dibuat oleh literatur
sebelumnya. Yaitu perdebatan tentang kerangka konseptual, sifat aset dan kewajiban sektor
publik, ketidaksesuaian antara tujuan dan sasaran organisasi sektor publik dan metode mereka
mengadopsi prinsip keuangan. Saat ini berbagai penelitian telah dilakukan yang menunjukkan
dampak dari manajemen keuangan baru yang diterapkan di sektor publik, mereka
memperlihatkan adanya kemiripan dengan manajemen perusahaan komersial dalam hal sistem
pelaporan, meskipun perbedaan mendasar tetap ada (Newberry, 2001; Newberry, 2002).
Akuntansi berbasis kas dan akrual merupakan dua titik akhir pada spektrum basis
akuntansi dan penganggaran. Di satu pihak basis kas secara tradisional telah diterapkan oleh
negara-negara anggota OECD untuk kegiatan sektor publik mereka. Di pihak lain, dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi tren utama menuju akrual. Sekitar setengah dari negaranegara yang telah menerapkan basis akrual, mengadopsi akrual sebagai sebuah status.
Temuan studi pada umumnya menyatakan bahwa pengunaan akuntansi akrual untuk
pelaporan keuangan lebih besar daripada untuk tujuan penganggaran. Hal ini menjadi gambaran
bahwa beberapa negara sedang bermigrasi ke penganggaran akrual. Dua alasan yang paling
sering dikutip untuk hal ini yaitu, pertama, anggaran akrual diyakini mempunyai risiko atas
kebijakan anggaran. Keputusan politik berkaitan dengan pengeluaran uang, harus disesuaikan
dengan anggaran saat dilaporkan. Hanya pendekatan akuntansi berbasis kas yang
mengakomodasi kebutuhan tersebut. Selain itu, berdasarkan basis akrual proyek-proyek modal
besar, misalnya, dengan alokasi beban penyusutan yang sesuai dan dilaporkan dapat
menimbulkan ketakutan bahwa penyusutan dapat meningkatkan pengeluaran atas proyek-

proyek tersebut. Kedua, agak bertentangan dengan alasan pertama, legislatif sering
menunjukkan resistensi terhadap penerapan penganggaran akrual. Resistensi ini sering
disebabkan oleh rumitnya basis akrual. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa legislatif di
negara-negara yang telah mengadopsi penganggaran akrual umumnya memiliki peran yang
relatif lemah dalam proses anggaran.
Inti permasalahannya adalah penerapan akrual yang hanya untuk pelaporan keuangan
dan tidak untuk anggaran tidaklah dipandang sebagai masalah yang serius. Padahal anggaran
adalah dokumen manajemen kunci di sektor publik dan akuntabilitas didasarkan pada
pelaksanaan anggaran yang disetujui oleh legislatif. Jika anggaran dilaksanakan dengan basis
kas, padahal anggaran adalah dasar yang penting bagi politisi dan pegawai pemerintahan dalam
melaksanakan manajemen strategi di pemerintahan, maka kedua pihak tidak akan mendapatkan
informasi penting dalam membuat keputusan-keputusan manajemen. Oleh karena itu, risiko
yang terjadi adalah pelaporan keuangan yang menggunakan basis akrual hanya menjadi sekadar
latihan teknis murni akuntansi (Blondal, 2003).
Meskipun kekhawatiran di atas terjadi, faktanya semakin banyak negara mengadopsi
akrual hanya untuk pelaporan keuangan mereka. Hal ini biasanya berlangsung pada
kementerian dan lembaga individual yang menjadi pionir dalam mengadopsi akrual untuk
pelaporan mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kementerian dan
lembaga mengadopsi akrual, dan kemudian laporan keuangan untuk seluruh pemerintah
disajikan secara akrual. Tujuan pelaporan keuangan berbasis akrual adalah untuk membuat
biaya penyelenggaraan pemerintahan lebih transparan. Misalnya, dengan menghubungkan
biaya pensiun pegawai pemerintahan selama periode waktu bekerja dengan hak yang
didapatkan setelah pensiun. Selain itu, utang pemerintah yang luar biasa besarnya dapat
dirancang sedemikian rupa, sehingga semua pengeluaran bunga yang dibayarkan sekaligus
pada akhir pinjaman akan teralokasi sepanjang tahun-tahun pinjaman berlangsung.
Tujuan lebih lanjut alasan mengadopsi akrual adalah untuk meningkatkan pengambilan
keputusan dalam pemerintahan dengan menggunakan informasi yang lebih akurat. Hal ini perlu
dilihat dalam konteks yang lebih luas. Negara-negara yang telah mengadopsi akrual, umumnya,
berada di garis depan reformasi manajemen publik. Reformasi ini bertujuan untuk menjamin
pimpinan yang bertanggung jawab atas hasil dan/atau output sekaligus mengurangi fokus
kendali pada input. Dalam konteks ini, diharapkan para pimpinan bertanggung jawab atas
semua biaya yang terkait dengan hasil dan/atau output yang dihasilkan, bukan hanya fokus
pada pengeluaran uang tunai. Hanya akuntansi akrual yang memungkinkan untuk mencatat

semua biaya-biaya tersebut, sehingga mendukung proses pengambilan keputusan yang efektif
dan efisien oleh pimpinan. Singkatnya, ketika para pimpinan diberikan fleksibilitas untuk
mengelola sumber daya mereka sendiri (input), mereka memiliki informasi yang diperlukan
untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, penerapan akrual merupakan bagian tidak
terpisahkan dari reformasi yang lebih luas. Penggunaan akrual untuk pelaporan keuangan akan
menjadi lebih sukses di negara-negara yang telah secara signifikan mengurangi fokus kendali
atas input.
Sejumlah masalah muncul ketika beralih ke akuntansi akrual. Pertama, pemerintah
memiliki beberapa jenis aset dan kewajiban yang tidak ada di sektor privat. Kedua, setelah
memutuskan untuk pindah ke akrual, keputusan itu harus dibuat berkaitan dengan metode
penilaian yang akan digunakan, yaitu biaya historis (historical cost) atau biaya saat ini (current
cost). Ketiga, isu yang berkaitan dengan penentuan standar akuntansi akrual, karena standar
akuntansi internasional sedang dikembangkan.
ISU- ISU TERBARU TENTANG AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK
Sejumlah isu pengakuan muncul ketika akuntansi akrual diterapkan pada sektor publik.
Hal ini disebabkan beberapa jenis aset dan kewajiban sama sekali tidak ada di sektor privat,
termasuk aset warisan (heritage), aset militer, aset infrastruktur dan program asuransi sosial.
1. Heritage Assets
Aset warisan termasuk bangunan bersejarah, monumen dan situs arkeologi, museum,
galeri dan koleksi arsip. Isu-isu yang terkait dengan pengakuan aset tersebut umumnya tidak
terlalu signifikan berdampak pada keuangan fiskal secara keseluruhan. Hal ini umumnya
dimulai dari fakta bahwa akrual dipandang oleh beberapa orang sebagai penetapan "nilai pasar"
pada sesuatu yang nilainya secara inheren budaya dan tidak moneter.
Dari sudut pandang yang lebih teknis, aset warisan sangat berbeda dari jenis lain aset.
Mereka memiliki siklus hidup yang sangat panjang, umumnya, diukur dalam ratusan tahun.
Nilai mereka tidak berkurang dari waktu ke waktu karena keausan (tapi bisa ada biaya
pemeliharaan yang signifikan), bahkan, nilai aset tersebut cenderung meningkat dari waktu ke
waktu. Biaya akuisisi mereka umumnya tidak dikenal dan dalam banyak kasus sama sekali
tidak relevan untuk tujuan penilaian berdasarkan nilai pasar. Akuisisi aset mungkin terjadi
melalui cara-cara non-orthodox, seperti yang disesuaikan selama perang. Aset umumnya tidak

berharga dalam arti apapun, karena penjualan mereka umumnya dilarang oleh hukum. Dan,
menurut sifatnya, mereka tidak memiliki nilai penggantian.
Mendefinisikan apa yang merupakan aset warisan seringkali cukup sulit. Lebih
kompleks lagi ketika bangunan bersejarah memiliki kegunaan ganda: misalnya, kantor-kantor
pemerintah yang terletak di istana sejarah. Haruskah ini diperlakukan sebagai aset normal atau
sebagai aset warisan? Atau haruskah aset dipisahkan sehingga bagian dari nilai bangunan
dihitung sebagai aset normal dan sisanya diperlakukan sebagai aset warisan? Isi museum dan
galeri adalah hal khusus lain. Beberapa negara mengambil pendekatan yang sangat
komprehensif. Misalnya, New Zealand menghargai isi dari arsip nasional dengan penilaian
yang diberikan oleh sebuah rumah lelang internasional.
Isi galeri seni, dalam banyak hal, yang paling berharga dari semua aset warisan, karena
merupakan pasar seni internasional yang hidup. Dalam praktiknya, beberapa negara melakukan
penilaian khusus, sementara negara lainnya tidak. Di samping itu, ada beberapa negara yang
tidak melakukannya untuk koleksi yang telah ada, tetapi melakukannya untuk akuisisi baru.
2. Military Assets
Perlakuan aset militer merupakan masalah unik lainnya di sektor publik. Pandangan
internasional jelas mendukung pengakuan aset militer sebagai aset lainnya. Jika mereka harus
diperlakukan berbeda, maka mendefinisikan apa yang merupakan aset militer perlu diperjelas.
Hal ini perlu dilakukan untuk membedakan antara aset tujuan militer bersifat umum dan aset
militer bersifat khusus. Perlu pula diketahui bahwa aset ini juga rentan terhadap kerusakan dini,
baik

melalui

kerugian

dalam

pertempuran

atau

karena

usang

(misalnya,

musuh

mengembangkan senjata militer yang canggih sehingga menyebabkan aset ini tidak berguna).
Kriteria mendefinisikan apa yang merupakan aset militer tertentu dapat lebih diperketat.
Misalnya, barang-barang pendukung (seperti angkutan militer) dapat dikapitalisasi dan
disusutkan, sedangkan item tempur (seperti jet tempur) tidak akan dikapitalisasi dan
disusutkan.
Amerika Serikat menggunakan pendekatan di atas untuk aset militernya. Mereka
sekarang telah memutuskan bahwa semua properti militer, tetap harus dikapitalisasi dan
disusutkan. Mereka percaya bahwa perubahan itu secara konseptual benar dan akan membantu
manajemen dalam perhitungan biaya penuh untuk memproduksi output. Hal ini juga
menghindari masalah yang terkait dengan pendefinisian apa sebenarnya yang merupakan aset
militer itu? Di samping itu, pandangan bahwa aset militer rentan terhadap kerusakan dini

karena alasan-alasan yang disebutkan di atas dapat diterima. Tapi pendekatan yang diadopsi
adalah untuk depresiasi secara normal dan dicatat sebagai kerugian jika aset tersebut
dihancurkan atau menjadi usang.
Sejumlah isu militer khusus lainnya dapat diidentifikasi. Pertama, sulit untuk
melakukan penelitian di bidang aset militer, terutama bila sistem militer baru sedang
dikembangkan. Hal ini terjadi karena keengganan pihak militer untuk memberikan informasi
dan juga karena mereka sering merahasiakan biaya. Kedua, militer memegang peranan tidak
proporsional dari surplus aset - seperti fasilitas yang dinonaktifkan - yang dicatat sebesar nilai
nihil, tetapi pada dasarnya harus diberikan nilai negatif karena biaya militer tidak bisa di
publikasikan. Ketiga, penggunaan eksklusif atas aset militer yang digunakan untuk komunikasi
dan penggunaan wilayah udara, di mana situasi ini membutuhkan biaya besar bagi pemerintah.
Di samping itu, informasi yang diberikan memiliki nilai komersial yang besar. Timbul
pertanyaan bagaimana, dan jika perlu, kedua isu terakhir dapat secara khusus diperlakukan
dengan menggunakan akuntansi akrual.
3. Infrastructure Assets
Aset infrastruktur adalah kategori sektor publik yang penting. Aset ini meliputi jalan
raya dan aset jaringan lainnya. Aset ini sering memiliki nilai yang sangat tinggi, dan sering
menjadi tanggung jawab pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah daerah).
Isu-isu utama dari aset infrastruktur yang dapat diidentifikasi dari beberapa literatur
sebagaimana uraian Blondal (2003) adalah, pertama, bagaimana dampak dari umur ekonomis
yang sangat panjang dalam menentukan metode penyusutan yang sesuai. Dalam konteks ini,
ada contoh kasus di mana aset tersebut tidak didepresiasikan, melainkan hanya menyatakan
bahwa aset tersebut dipertahankan sedemikian rupa. Kedua, isu berkaitan dengan pengakuan
aset infrastruktur yang dihubungkan dengan kebutuhan untuk belanja pemeliharaan atas aset
tersebut, di mana pengeluaran ini sering diabaikan oleh pihak pemerintah. Ketiga, seringkali
sangat sulit untuk memperkirakan biaya akuisisi asli dari aset tersebut jika metode biaya
perolehan digunakan. Hal ini baik karena usia tua dan kesulitan dalam memisahkan investasi
awal dan biaya pemeliharaan. Keempat, adalah isu berkaitan dengan pemilihan metode
penilaian (biaya perolehan vs nilai saat ini) memiliki dampak yang sangat tinggi atas aktiva
tersebut.

4. Social Insurance Programmes


Perlakuan program asuransi sosial, seperti program pensiun hari tua di sektor publik,
adalah masalah yang sangat kontroversial di lingkungan akuntansi akrual. Hal yang perlu
ditekankan di sini adalah program ini tidak merujuk pada perlakuan atas program pensiun
pegawai pemerintah, tetapi program ini merupakan kewajiban kontrak di mana perlakuan atas
kewajibannya harus jelas.
Ada dua pemikiran tentang hal ini: mereka yang berpendapat bahwa program asuransi
sosial diperlakukan sebagai kewajiban bagi pemerintah dan mereka yang berpendapat bahwa
bukan sebagai kewajiban. Pada dasarnya, program-program ini merupakan kewajiban yang
sangat besar bagi pemerintah di masa depan, terutama dalam keadaan jumlah populasi usia tua
yang besar. Pengalaman sejarah dan politik berkaitan dengan program ini menunjukkan bahwa
pemerintah tidak hanya memperlakukannya sebagai kewajiban, tetapi juga sebuah
penghormatan.
Walaupun pandangan ini memiliki dasar kuat, namun, tidak ada satu negara pun yang
menerima konsep ini. Artinya, tidak ada kasus di mana program asuransi sosial diperlakukan
sebagai kewajiban. Alasan untuk ini bermacam-macam, dan yang paling menarik adalah
program ini bukan merupakan transaksi kontrak, apabila di kemudian hari pemerintah ingin
mengurangi tingkat tunjangan yang dibayarkan di masa depan, maka orang-orang yang merasa
dirugikan dengan kebijakan pemerintah dapat mengajukan ke pengadilan untuk mencari ganti
rugi atas kehilangan manfaat ini. Perlu dicatat bahwa program ini merupakan transfer
pendapatan yang dibiayai oleh pajak yang wajib, dan bahwa tingkat keuntungan sering
berhubungan tidak langsung atau bahkan tidak proporsional dengan tingkat pajak yang
sebenarnya dibayar.
Intinya, secara umum dapat diterima bahwa pengalaman sejarah dan politik telah
menunjukkan bahwa pemerintah menghormati "janji" mereka kepada para pensiunan. Namun,
dengan jumlah populasi orang tua yang besar, reformasi diperlukan untuk menjamin
keberlanjutan program ini. Kewajiban yang diakui berdasarkan tingkat manfaat saat ini, akan
menghambat reformasi tersebut. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bagaimana
penerapan akrual dapat berpengaruh terhadap perilaku.
Pendapat kontra dari para ahli akan hal ini adalah informasi tambahan program jaminan
sosial sangat dibutuhkan. Mereka berpendapat bahwa pemerintah memiliki komitmen jangka
panjang yang sama pentingnya, misalnya, di bidang kesehatan dan pendidikan. Mengapa

program asuransi sosial yang diberikan perlakuan khusus? Hal ini menimbulkan pertanyaan
konseptual mendasar tentang ruang lingkup model akuntansi.
5. Valuation issues
Pendekatan tradisional untuk penilaian adalah berdasarkan harga historis. Namun
demikian, terjadi gerakan yang berkembang untuk mengadopsi pendekatan harga saat ini
(current cost) untuk penilaian. Secara konseptual, valuasi dengan menggunakan harga saat ini
umumnya dipandang sebagai superior, namun pertimbangan praktis sering menyebabkan
kelanjutan/adopsi dari pendekatan biaya historis. Namun, ada masalah terlepas dari pendekatan
yang diadopsi.
Pendekatan historis atas penilaian aset didasarkan pada biaya akuisisinya setelah
dikurangi penyusutan. Hal ini tampak sebagai pendekatan yang lebih objektif karena
didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan untuk aset tersebut. Selain itu, akan lebih
mudah penanganannya dari sudut pandang praktis. Masalah dengan pendekatan harga historis,
adalah bahwa nilai-nilai aset menjadi out-of-date, di mana nilainya semakin berkurang dengan
berjalannya waktu sejak akuisisi. Masalah utama lainnya adalah inkonsistensi dalam perlakuan
aset individu, baik antara entitas dan dalam entitas itu sendiri. Sebagai contoh, dua bangunan
yang identik dapat dinilai sangat berbeda jika mereka dibeli pada waktu yang berbeda. Masalah
selanjutnya - terutama dalam konteks sektor publik - adalah catatan tidak lengkap sehingga
biaya akuisisi tidak diketahui.
Valuasi dengan menggunakan nilai saat ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah di
atas. Dengan sifatnya, metode ini lebih relevan, karena informasi tidak out-of-date. Karenanya,
metode ini dipandang sebagai indikator yang lebih baik untuk mengetahui sumber daya yang
ada dalam suatu entitas dan dasar yang lebih baik untuk mengevaluasi kinerja suatu entitas. Hal
ini terutama terjadi ketika menghitung biaya yang sebenarnya dikeluarkan atas layanan yang
diberikan (seperti aliran informasi dari neraca ke laporan laba-rugi dalam bentuk depresiasi).
Valuasi dengan menggunakan harga saat ini juga nilainya jauh lebih besar untuk analisis
ekonomi. Penggunaan metodologi valuasi saat ini sangat membutuhkan banyak pertimbangan
profesional dalam membuat penilaian.
Ada beberapa metodologi berbeda yang dapat digunakan dalam menerapkan valuasi
berdasarkan harga saat ini, yaitu, biaya penggantian yang disusutkan, nilai penggunaan dan
nilai realisasi bersih. Masing-masing metode memiliki masalah mereka sendiri. Biaya
penggantian terdepresiasi mengasumsikan bahwa orang akan membeli aset yang sama di masa

depan dengan harga yang sama, di mana hal tersebut kemungkinan besar tidak terjadi.
Sementara nilai penggunaan, metodologi ini sangat tergantung pada niat manajemen. Ketika
pendekatan ini diadopsi dalam lingkungan non-kompetitif, suatu entitas dapat meningkatkan
biaya sehingga arus kas dari aset bertambah. Akibatnya, nilai aset akan meningkat. Masalah
dengan pendekatan nilai realisasi bersih, terjadi misalnya pada aset khusus, di mana harga pasar
mungkin tidak ada atau mungkin harga tersebut tidak akurat.
Kesulitan lebih lanjut dengan valuasi menggunakan harga saat ini adalah hasilnya dapat
berfluktuasi secara signifikan dari tahun ke tahun, menciptakan keuntungan ketika nilai naik,
tapi kerugian ketika nilai turun. Hal ini dapat memiliki dampak besar pada surplus defisit
(bottom line) yang dilaporkan pemerintah. Apakah politisi bersedia untuk menerima bahwa
bottom line pemerintah dapat ditentukan oleh fluktuasi seperti itu? Juga, akan berbahaya dan
merusak disiplin fiskal, apabila keuntungan dari fluktuasi tersebut digunakan untuk
meningkatkan pengeluaran lainnya? Padahal keuntungan tersebut bukanlah sebuah keuntungan
yang nyata dalam bentuk penerimaan uang. Hal ini yang menjadi sorotan yaitu perubahan
perilaku karena adopsi akuntansi akrual dan berakibat kurang baik.
ISU AKUNTANSI AKRUAL DAN PERILAKU APARATUR NEGARA
Pelaksanaan akuntansi akrual dalam pemerintahan adalah perubahan yang besar,
terutama jika hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat maksimal dalam
proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas kepada pengguna eksternal. Pengalaman
pemerintah New Zealand, memberikan begitu banyak pelajaran baik di tingkat makro maupun
mikro yang sulit untuk dibedakan secara jelas.
Mungkin pelajaran yang paling penting adalah akuntansi akrual dapat diwujudkan
secara penuh pada negara tersebut. Tidak ada penghalang teoritis fundamental bagi pemerintah
untuk mencegah pelaksanaan akuntansi akrual. Sebaliknya, ada banyak bahan rekomendasi
bagi pengembangan akuntansi akrual dalam pemerintahan saat ini, untuk diterapkan dalam
konteks mendorong kinerja manajemen.
Sebuah pertanyaan dapat dikemukakan berkaitan dengan penerapan akuntansi akrual
yaitu apakah praktik akuntansi akrual membawa perubahan yang signifikan bagi perilaku
pimpinan dan pegawai pemerintah dalam melayani kepentingan warganya? Tentu saja, untuk
mengetahui hal itu perlu penelitian empiris yang harus diuji. Salah satu pendapat yang menarik
diungkapkan oleh Bunea dan Cosmina (2006:2) yang menyatakan bahwa sistem akuntansi
akrual tujuannya bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan terciptanya perubahan

mentalitas dalam proses anggaran yang semula sangat kaku. Karenanya, setiap reformasi
dianggap berhasil apabila membawa perubahan dalam perilaku orang-orang yang ditargetkan.
Secara umum, Khan dan mayes (2009:4) berpendapat bahwa akuntansi akrual dapat
membantu menghasilkan perubahan perilaku bagi para pengambil keputusan anggaran dan
pimpinan. Misalnya, informasi akuntansi akrual yang diterima oleh anggota dewan dapat
digunakan sebagai instrumen pengawasan dan mengevaluasi kinerja pemerintah secara
komprehensif. Pertanyaan pun dapat diajukan oleh dewan kepada pemerintah berkaitan dengan
alokasi penggunaan sumber daya publik termasuk aset modal, kebijakan pemerintah tentang
kewajiban jangka panjang seperti pensiun. Dalam hal ini kinerja keuangan pemerintah bukan
hanya sekadar realisasi program. Dengan cara ini, sistem akuntansi akrual dapat memfasilitasi
perubahan sikap dan perilaku dari para aparatur karena mereka merasa diawasi dan dievaluasi
secara ketat oleh dewan (legislatif), sehingga akan muncul perubahan kebijakan pemerintah
yang menguntungkan masyarakat secara substansial.
Pendapat ini didukung oleh Simanjuntak (2010) yang menjelaskan bahwa informasi
akuntansi akrual mendorong partisipasi masyarakat dalam memantau penyelenggaraan
pemerintahan. Misalnya, laporan keuangan yang diaudit oleh auditor menjadi milik publik.
Masyarakat dapat mengakses informasi tersebut dalam rangka memantau pelaksanaan
kebijakan pemerintah dalam alokasi sumber daya. Masyarakat dapat memberikan masukan,
pendapat atau kritik berdasarkan laporan keuangan. Lebih lanjut, Simanjuntak menjelaskan
bahwa akuntansi akrual akan meminimalkan potensi korupsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, karena adanya kewajiban sistem pelaporan keuangan dan didukung oleh sistem
pemeriksaan. Menurut Norman (1994, p.081), hal ini memberikan pelajaran bahwa:
Accounting is important and exciting when it generates information that is used by
decision makers. Conversely, without decision-makers demanding and using accrual
information then the implementation effort is far less likely to succeed.
Sementara itu, permintaan informasi akuntansi akrual cenderung meningkat, sesuai
dengan tren reformasi administrasi manajemen publik. Dalam hal ini, pengembangan informasi
akrual harus dilihat sebagai bagian integral dari reformasi ini dan bukan merupakan kegiatan
mandiri. Pada tingkat operasional sejumlah pelajaran dapat diamati (Norman: 1994, par.082):
1.

Komitmen sangat penting. Hal ini memerlukan pemahaman yang jelas, bahwa akuntansi
akrual tidak akan membawa manfaat pada dirinya sendiri, melainkan memberikan
informasi yang bernilai tambah, dan dapat membawa manfaat pada peningkatan kualitas
keputusan. Pelajarannya adalah, komitmen didasarkan pada harapan palsu tidak akan

memberikan hasil yang baik. Lebih baik bersikap skeptis, daripada percaya kemudian
murtad. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil maksimal dibutuhkan komitmen yang
kuat pada setiap tingkatan organisasi pemerintah dalam melaksanakan akuntansi akrual. Di
samping itu, biaya untuk menerapkan sistem akuntansi akrual dibandingkan dengan sistem
akuntansi kas relatif tidak berbeda secara signifikan.
2.

Trade-off terjadi dan karena itu diperlukan pemahaman bersama tentang tujuan utama
untuk menyelesaikan trade-off. Contoh pada negara New Zealand, treasury membuat
keputusan untuk tidak terlibat dalam pelatihan pimpinan bagian keuangan untuk
menghindari kooptasi treasury terhadap bagian keuangan dan penerapan konsep baru
(sistem akrual). Karenanya, tuntutan untuk mencapai pemahaman bersama atas tujuan
utama adalah keputusan yang tepat.

3.

Mengidentifikasi dan menanggapi risiko besar dalam organisasi. Sebagai contoh, di New
Zealand pengaturan meliputi spesifikasi output pemerintah, identifikasi semua aset di
lingkungan organisasi, mendefinisikan pelaporan entitas pemerintah dan menghilangkan
penumpukan pekerjaan pemerintahan.

4.

Memanfaatkan keuntungan dari kesuksesan yang telah dicapai oleh akuntansi akrual di
sektor privat. Misalnya, dengan memanfaatkan software akuntansi berdasarkan GAAP
yang telah tersedia bagi sektor privat, serta tenaga terampil dan ahli yang telah tersedia di
mana ke semua unsur tersebut dapat digunakan dalam rangka mendukung reformasi
manajemen keuangan di sektor publik.
Pandangan lain yang menjelaskan bahwa akuntansi akrual membawa dampak

perubahan perilaku karena mendorong prinsip neoliberalisme dalam penyelenggaraan negara.


Ellwood dan Newberry (2007:550) menjelaskan bahwa Inggris dan New Zealand
memperlihatkan gejala dari tripod besi neo-liberal yang jelas yaitu, kebijakan moneter anti
inflasi, disiplin fiskal pada tingkatan makro untuk mencapai anggaran berimbang, dan
reformasi tingkatan mikro melalui liberalisasi perdagangan dan memperluas peran sektor
bisnis. Upaya untuk mengurangi peran pemerintah akan konsisten dengan keinginan untuk
memperluas peran sektor bisnis. Reformasi neo-liberal ini dilakukan dengan melaksanakan
privatisasi pada kegiatan-kegiatan pemerintah. Privatisasi dimulai dari infrastruktur berbasis
industri dengan alasan untuk mengurangi utang pemerintah. Privatisasi ini menyebabkan
kegiatan ekonomi didominasi oleh sektor privat. Pada awalnya privatisasi ini ditoleransi tetapi
setelah itu kebijakan privatisasi dikritik karena memperlihatkan gejala neoliberalisasi.

Lebih lanjut, mereka juga menjelaskan bahwa privatisasi ini didukung oleh akuntansi
akrual yang dikembangkan di sektor publik Inggris dan New Zealand. Akuntansi akrual
memberikan informasi terkait kinerja pemerintah yang mendorong penilaian efisiensi dan
efektivitas. Informasi ini digunakan sebagai landasan untuk melakukan privatisasi jika ada
kegiatan pemerintah yang dinilai tidak efektif dan efisien. Penilaian akuntansi akrual terkadang
memberikan gambaran bahwa kegiatan pemerintah tidak berjalan efisien sehingga perlu
dilaksanakan privatisasi dalam rangka mencari efisiensi melalui keterlibatan sektor privat.
Penilaian efisiensi dan efektivitas oleh akuntansi akrual selalu dijadikan alasan yang ampuh
bagi aparatur pemerintahan untuk memuluskan privatisasi. Selain itu, akuntansi akrual
menyebabkan pengetatan keuangan dan penganggaran menyebabkan pengurangan layanan
yang diberikan pada masyarakat. Pemerintah cenderung untuk berfokus pada laporan keuangan
tetapi mengabaikan pelayanan kepada masyarakat. Akuntansi akrual yang telah dikembangkan
di organisasi sektor publik ternyata memiliki dampak pada keputusan mengistimewakan, yaitu
memajukan aspek privatisasi agenda neo-liberal. Apalagi dengan fakta bahwa akuntansi akrual
aktif dikembangkan oleh organisasi yang erat kaitannya dengan paham neoliberalisme seperti
IMF dan Worldbank. Tujuan dasar akuntansi pemerintahan seharusnya adalah perlindungan
uang rakyat dan pengelolaan pemerintahan yang efisien dan efektif, bukan sebagai alat yang
dijadikan alasan untuk melemahkan pemerintah melalui pengurangan peran pemerintah.
KESIMPULAN
Penerapan sistem baru manajemen keuangan publik (NPFM) umumnya dianggap
sebagai suatu kesuksesan. Pada awal pelaksanaan terdapat ketidakpuasan dan hal ini umum
terjadi bagi sekelompok orang yang status quo. Komitmen pimpinan politik dan manajemen
senior yang terus berlangsung mendorong sebagian besar pimpinan sektor publik untuk
menyambut dan melaksanakan perubahan. Penekanan pada biaya, serta isu berkaitan dengan
keputusan dan pertimbangan akuntansi yang laporannya dapat disalahartikan, dapat
mengakibatkan kegagalan pada sebagian material. Komentar ini bersumber dari survey yang
digambarkan di atas terhadap pimpinan sektor publik.
Selain itu, hal yang dapat disimpulkan dari tulisan di atas adalah pengenalan metode
akuntansi sektor privat dinilai lebih positif dengan sedikit pandangan negatif dibandingkan
bentuk lain dari perubahan sektor publik. Perubahan sistem keuangan dipandang oleh pemakai
sebagai suatu disiplin yang dibutuhkan dalam rangka profesionalisme manajemen sektor
publik. Di sisi lain, kelompok lainnya menganggap skeptis perubahan tersebut, karena sistem

baru mengidentifikasikan biaya modal, membedakan antara sistem akuntansi kas dan akrual,
serta penentuan biaya overhead (biaya tidak langsung) untuk setiap unit aktivitas.
Implementasi sistem baru manajemen keuangan publik dipandang berhasil pada negara
New Zealand. Hal ini disebabkan karena masing-masing elemen sistem keuangan di
pemerintahan memperkuat unsur-unsur lainnya dalam memberikan pendekatan yang
komprehensif, seperti penerapan strategi perencanaan keuangan pemerintah, memfasilitasi
pengambilan keputusan yang berkualitas bagi pimpinan sektor publik, dan memungkinkan
terlaksananya pengawasan yang efektif oleh dewan (perwakilan masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, M., dan Capitanio, C., 1995. Accrual Accounting Valuations and Accountability in
Government: A Potentially Pernicious Union. Australian Journal of Public
Administration. Vol. 54. No. 4: 564 575.
Anthony, R., 1978. Financial Accounting in Nonbusiness Organisations An Exploratory
Study. Financial Accounting Standards Board. Connecticut.
Australian Accounting Research Foundation (AARF), 1991. Australian Accounting Standard
AAS 27: Financial Reporting by Local Governments. AARF. Melbourne.
Australian Accounting Research Foundation (AARF), 1993. Australian Accounting Standard
AAS 29: Financial Reporting by Government Departments. AARF. Melbourne. Australian
Accounting Research Foundation (AARF), 1998. Australian Accounting Standard
AAS 31: Financial Reporting by Governments. AARF. Melbourne.
Awty, A., 2002. Hong Kong Moves On. Australian CPA. February: 50 51.
Ball, I., 1994. Reinventing Government: Lessons Learned From the New Zealand Treasury.
The Government Accountants Journal. Vol. 43: 19 25.
Barrett, P., 1994. Success in Managing Accrual Accounting More Gain than Pain. ASCPA
Seminar. Canberra.
Barton, A., 1999. Land Under Roads A Financial Bonanza or Fools Gold?. Australian
Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 9 15.
Barton, A., 2002. Public Sector Accounting: A Common Reporting Framework? A Rejoinder.
Australian Accounting Review. Vol. 12. No.3: 41 45.
Blondal, J.R., 2003.
Accrual Accounting and Budgeting: Key Issues and Recent
Developments. OECD Journal on Budgeting. Vol. 3. No. 1. ISSN 1608-7143.
Bowerman, M., dan Humphrey, C., 2001. Should Non-Financial Performance Information be
Audited? The Case of Public Service Agreements in UK Government. Australian
Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 35 43.
Brorstrom, B., 1998. Accrual Accounting, Politics and Politicians. Financial Accountability &
Management. Vol. 14. No. 4: 319 333.
Bunea, C. B., dan Cosmina, 2006. Arguments for Introducing accrual based accounting in
Public Sector. (online). (http://mpra.ub.muenchen.de/18134/I/MPRA Paper:18134).
diakses 8 Desember 2012.

Carlin, T., dan Guthrie, J., 2001. The New Business of Government Budgeting: Reporting NonFinancial Information in Victoria. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 17
26.
Carlin, T., 2000. Measurement Challenges and Consequences in the Public Sector. Australian
Accounting Review. Vol. 11. No. 2: 63 72.
Carlin, T., 2002. Linkage and Legitimisation A Decade of Public Sector Financial
th

Management Reforms in Australia. Proceedings of 7 Annual Asia Pacific Decision


Sciences Institute Conference. July. Bangkok.
Carlin, T., 2003. Accrual Accounting & Financial Reporting in the Public Sector: Reframing
the Debate. Macquarie Graduate School of Management (MGSM) Working Paper: 22.
November.
Carnegie, G., dan Wolnizer, P., 1995. The Financial Value of Cultural, Heritage and Scientific
Collections: An Accounting Fiction. Australian Accounting Review. Vol. 5. No. 1: 31
47.
Carnegie, G., dan Wolnizer, P., 1999. Unravelling the Rhetoric About the Financial Reporting
of Public Collections as Assets. A Response to Micallef and Peirson. Australian
Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 16 21.
Clarke, F., Dean, G., dan Oliver, K., 1997. Corporate Collapse Regulatory, Accounting and
Ethical Failure. Cambridge University Press. Cambridge.
Dennis, J., 1993. Financial Reporting by the Government in Canada. CMA Magazine.
November.
Ellwood, S., dan Newberry, S., 2006. Public Sector accrual Accounting Institutionalising NeoLiberals Principles. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 20. No. 4:
549 573.
English, L., Guthrie, J., dan Carlin, T., 2000. Transformation of Public Sector Financial
rd

Management: Reflection on the Victorian Experience Downunder. EAA 23 Annual


Congress. Munich. Germany.
Evans, M., 1995. A Change for the Better?. Accountancy. Vol. 115. February: 92 94.
Gillibrand, A., dan Hilton, B., 1998. Resource Accounting and Budgeting: Principles, Concepts
and Practice the MOD Case. Public Money & Management. Vol 18. No. 2: 21 28.
Guthrie, J., 1993. Australian Public Sector Accounting: Transformations and Managerialism.
Accounting Research Journal. Vol. 6. No. 2: 15 25.
Guthrie, J., 1998. Application of Accrual Accounting in the Australian Public Sector Rhetoric
or Reality. Financial Accountability & Management. Vol. 14. No. 1: 1 19.
Heald, D., dan Georgiou, G., 1995. Resource Accounting: Valuation, Consolidation and
Accounting Regulation. Public Administration. Vol 73 (4): 63 71.
International Federation of Accountants (IFAC), 1994. Implementing Accrual Accounting in
Government: The New Zealand Experience. IFAC Occasional Paper 1. IFAC. New
York.
International Federation of Accountants (IFAC), 1996. Perspectives on Accrual Accounting.
IFAC Occasional Paper 3. IFAC. New York.

International Federation of Accountants (IFAC), 2002. Resource Accounting Framework of


Accounting Standard Setting in the UK Central Government Sector. IFAC Occasional
Paper 7. IFAC. New York.
Jensen, M., 2001. Corporate Budgeting is Broke, Lets Fix It. Harvard Business Review.
November. 94 101.
Jones, S., dan Puglisi, N., 1997. The Relevance of AAS 29 to the Australian Public Sector: A
Case for Doubt?. Abacus. Vol. 33. No. 1: 115 132.
Khan, A., dan Mayes, S., 2009. Transition to Accrual Accounting. (online). (http:// http://blogpfm.imf.org/files/fad-technical-manual-2.pdf). diakses 10 Desember 2013.
Likierman, A., 2000. Changes to Managerial Decision-Taking in U.K. Central Government.
Management Accounting Research. Vol 11: 253 261.
Ma, R., dan Matthews, R., 1992. Whats Wrong with ED 55. Financial Forum. November.
ASCPA. Melbourne.
MacIntosh, I., 1999. Public Sector Accounting Standard Setting in the Next Century. The
Standard. No. 3. AAAR and AASB.
Mautz, R., 1981. Financial Reporting: Should Government Emulate Business?. Journal of
Accountancy. August: 53 60.
Mautz, R., 1988. Monuments, Mistakes and Opportunities. Accounting Horizons. June: 123
128.
McCrae, M., dan Aiken, M., 1994. AAS 29 and Public Sector Reporting: Unresolved Issues.
Australian Accounting Review. Vol. 4. No. 2: 65 72.
McGregor, W., 1999. The Pivotal Role of Accounting Concepts in the Development of Public
Sector Accounting Standards. Australian Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 3 8. Mellett, H.,
1997. The Role of Resource Accounting in the U.K Governments Quest for Better
Accountin. Accounting and Business Research. Vol. 27. No. 2: 157 168.
Mellett, H., 2002. The Consequences and Causes of Resource Accounting. Critical
Perspectives on Accounting. Vol. 13: 231 254.
Mellor, T., 1996. Why Governments Should Produce Balance Sheets. Australian Journal of
Public Administration. Vol. 55. No. 1: 78 81.
Micallef, F., dan Peirson G., 1997. Financial Reporting of Cultural, Heritage, Scientific and
Community Collections. Australian Accounting Review. Vol. 7. No. 1: 31 37.
Micallef, F., 1994. A New Era in Reporting by Government Departments. Australian
Accountant. March: 33 34.
Neale, A., dan Pallot, J., 2001. Frontiers of Non-Financial Performance Reporting in New
Zealand. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 2: 27 34.
Newberry, S., 2001. Public Sector Accounting: A Common Reporting Framework?. Australian
Accounting Review. Vol. 11. No. 1: 2 7.
Newberry, S., 2002. The Conceptual Framework Sham. Australian Accounting Review. Vol.
12. No. 3: 47 49.
Norman, R., 1994. Re-invented Government - the New Zealand Experience. Public Sector
Committee Occasional Paper 1. October. Wellington.

OECD, 1993. Accounting for What? The Value of Accounting to the Public Sector. Occasional
Papers on Public Management. Paris.
OECD, 2002. Accrual Accounting and Budgeting Key Issues and Recent Developments.
Paris.
Pallot, J., 1990. The Nature of Public Assets: A Response to Mautz. Accounting Horizons.
June: 79 85.
Pallot, J., 1994. The Development of Accrual-Based Accounts for the Government of New
Zealand. Advances in International Accounting. Vol. 7: 289 310.
Pallot, J., 2001. A Decade in Review: New Zealands Experience With Resource Accounting
and Budgeting. Financial Accountability & Management. Vol. 17. No. 4: 383 400.
Parly, F., 2000. Accrual Accounting and Budgeting. Major International Symposium on
Accrual Accounting and Budgeting. 13-14 November. Paris.
Potter, B., 1999. The Power of Words: Explaining Recent Accounting Reforms in the
Australian Public Sector. Accounting History. Vol. 4. No. 2: 43 72.
Richardson, R., 1994. Opening and Balancing the Books: The New Zealand Experience. The
Parliamentarian. October: 244 246.
Robinson, M., 1998. Accrual Accounting and the Efficiency of the Core Public Sector.
Financial Accountability & Management. Vol 14. No. 1: 21 37.
Rowles, T., 1991. Infrastructure and Heritage Asset Accounting. Australian Accountant. July:
69 73.
Rowles, T., 1993. Comment: In Defence of AAS 27. Australian Accounting Review. Vol.3. No.
2: 61 64.
Ryan, C., 1998. The Introduction of Accrual Reporting Policy in the Australian Public Sector
An Agenda Setting Explanation. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol.
11. No. 5: 518 539.
Schilit, H., 2002. Financial Shenanigans: How to Detect Accounting Gimmicks & Fraud in
nd

Financial Reports. 2 Ed. McGraw-Hill. New York.


Simanjuntak, B., 2010. Moving Towards Accrual Accounting. Makalah Disajikan pada
Regional Public Sector Conference. 8 November. Jakarta.
Talbot, C., 1998. Output and Performance: Time to Open Up the Debate. Public Money &
Management. Vol. 18. No. 2: 4 5.
Walker, R., 2001. Reporting on Service Efforts and Accomplishments on a Whole of
Government Basis. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 4 16.
Walker, R., Clarke, F., dan Dean, G., 1999. Reporting on the State of Infrastructure by Local
Government. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 12. No. 4: 441
58.
Walker, R., Clarke, F., dan Dean, G., 2000. Use of CCA in the Public Sector: Lessons Learned
From Australias Experience with Public Utilities. Financial Accountability &
Management. Vol. 16. No. 1: 1 32.
Wong, S., 1998. Full Speed Ahead How to Move Forward Full Accrual Accounting for
Capital Assets. CMA Magazine. October: 18 22.

AKUNTANSI AKRUAL TERKAIT ASET TETAP


(DISESUAIKAN UNTUK MEMAHAMI PP 71 TAHUN 2010)
Ardianto
Universitas Airlangga
KONSEP AKRUAL PADA PENCATATAN ASET TETAP
Pencatatan dengan sistem akrual adalah pencatatan suatu transaksi pada saat terjadinya
(dapat

berupa

pendapatan/beban/piutang/utang/pengakuan

didasarkan semata atas penerimaan/pengeluaran kas.

beban

penyusutan),

bukan

Pencatatan dengan basis akrual dapat

meningkatkan pengukuran kinerja suatu entitas karena terjadi penandingan yang tepat antara
pendapatan dan beban. Basis akrual juga memberikan manfaat dalam menghitung beban
pelayanan per unit yang lebih akurat.

Penggunaan basis akrual dengan demikian tidak hanya

untuk pengukuran kinerja dalam arti surplus atau defisit pada laporan operasional saja, namun
juga untuk penghitungan unit cost pelayanan publik. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena
sektor pemerintahan bukanlah organisasi profit yang diukur kinerjanya semata-mata berdasar
laba. Efektifitas, efisiensi dan keamanan asset adalah faktor yang penting untuk diperhatikan.
Dengan penerapan basis akrual termasuk dalam

hal pencatatan asset yang tercermin dari

penyusutannya akan memberikan informasi beban atas pemanfaatan asset yang dikonsumsi
pada periode tertentu.

Hal ini akan memberikan kontribusi pada pembebanan biaya yang

akurat atas pelayanan yang diberikan pada periode tersebut.


Konsep akrual

memiliki implikasi penandingan yang tepat antara pendapatan dan

beban. Nilai perolehan aset tetap

tidak dapat langsung ditandingkan seluruhnya secara

langsung dengan pendapatan dalam rangka mengukur kinerja. Diperlukan alokasi sistematis
sepanjang masa manfaat asset atas nilai perolehan asset tersebut setelah dikurangi dengan
nilai sisa untuk menentukan bagian dari aset tetap yang dapat ditandingkan secara periodik.
Alokasi ini dikenal dengan istilah penyusutan asset. Basis akrual antara lain terimplementasi
dengan adanya penyusutan asset sebagaimana yang diatur dalam SAP pada PP 71 tahun 2010.
Terdapat beberapa isu yang penting terkait penyusutan aset tetap di pemerintahan yang
harus mendapat perhatian:
1.

Masalah estimasi masa manfaat.


Bagaimana

kebijakan dalam menentukan masa manfaat asset.

Diperlukan kebijakan

akuntansi untuk menetapkan masa manfaat asset berdasarkan klasifikasi asetnya.Secara

konsep, seharusnya masa manfaat asset tergantung pada jangka waktu aset direncanakan
digunakan.

Jika tidak ada rencana pembatasan jangka waktu pemakaian, maka

kemampuan asset tersebut member manfaat ekonomi bagi entitas menjadi

dasar masa

manfaat. Pada PP 71/2010 klasifikasi aset tetap adalah:


a.

Tanah;

b.

Peralatan dan Mesin;

c.

Gedung dan Bangunan;

d.

Jalan, Irigasi, dan Jaringan;

e.

Aset Tetap Lainnya; dan

f.

Konstruksi dalam Pengerjaan.

Kebijakan akuntansi harus mengatur tentang bagaimana estmasi masa manfaat pada setiap
klasifikasi aset tetap tersebut untuk keperluan perhitungan penyusutan aset tetap. (Kecuali
tanah dan konstruksi dalam pengerjaan) tidak disusutkan, sebagaimana yang diatur pada
par 57 sbb: Selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan, seluruh aset tetap dapat
disusutkan sesuai dengan sifat dan karakteristik aset tersebut.
Perlu ditelaah secara periodik apakah masa manfaat yang ditetapkan untuk penyusutan
asset masih relevan atau ada perubahan. Jika ada perubahan estimasi maka perlu dilakukan
penyesuaian sesuai aturan tentang perubahan estimasi dalam PSAP 10.
2.

Masalah perolehan aset tetap dan nilai yang akan disusutkan.


Dalam pengelolaan aset tetap di Pemerintahan, aset tetap dicatat berdasarkan harga
perolehan. Jika informasi harga perolehan tidak diketahui/didapatkan, maka dapat dicatat
berdasarkan harga wajar asset yang diterima tersebut (SAP Par 24).
Perolehan aset tetap telah diatur dengan jelas pada PSAP no 7 paragraf 23 PP 71 tahun
2010 lampiran I. Menurut SAP tersebut dinyatakan bahwa pada awalnya Aset tetap dicatat
berdasarkan perolehannya.

Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui

sebagai suatu aset dan dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya
berdasarkan biaya perolehan.

harus diukur

Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset

tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh. Untuk keperluan
penyusunan neraca awal, biaya perolehan asset tetap adalah sebesar nilai wajar asset
pada saat penyusunan saldo awal tersebut dilakukan. Untuk periode selanjutnya setelah
proses berjalan, jika diperoleh asset baru, maka harus dicatat sebesar nilai perolehan atau
harga wajar bila harga perolehan tidak ada.

Kebijakan akuntansi harus mencakup bagaimana metode dalam penilaian asset yang
diperoleh tanpa nilai (misal donasi), sehingga nilai wajar asset dapat diketahui. Secara
umum yang dimaksud dengan nilai wajar adalah adalah nilai tukar aset atau penyelesaian
kewajiban antar fihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar.
Definisi ini masih sangat umum.Diperlukan pedoman teknis dalam penentuan nilai wajar.
Terkait penilaian aset, dinyatakan dalam SAP bahwa secara umum penilaian kembali aset
tetap tidak diperkenankan dalam SAP. Aset tetap adalah komponen yang signifikan pada
pemerintahan. Kesalahan dalam penilaian Aset sesungguhya dapat berdampak material.
Dilema yang terjadi adalah jika dilakukan penilaian, maka akan menimbulkan biaya
penilaian yang besar dan dapat masih tetap berisiko terhadap ketidak akuratan atas
penilaiannya. Jika aset tetap tidak dinilai kembali ketika nilai sudah tidak wajar, maka
sesungguhnya hal ini juga memiliki implikasi

terhadap relevansi laporan. Alternatif

solusinya adalah perlu dipertimbangkan untuk pengungkapan atas nilai wajar aset tetap
jika nilai asset telah menunjukkan nilai yang tidak wajar dan nilai wajar tersebut dapat
diukur dengan andal.
3.

Masalah estimasi nilai sisa asset yang akan disusutkan. Niai sisa aset sangat penting dalam
menentukan besarnya nilai tersusutkan. Jika dalam menghitung besarnya penyusutan
periodik tidak mempertimbangkan nilai sisa,

maka pada akhir masa manfaat nilai buku

aset akan nol. Hal ini tdaklah realistis. Sebagai ilustrasi, jika sebuah kendaraan disusutkan
5 tahun tanpa nilai sisa, maka pada akhir tahun ke lima

nilai buku kendaraan akan

menjadi nol. Hal ini menjadi sangat tidak realistis. Dengan memberikan nilai sisa misal
pada kasus tersebut diberikan nilai sisa sebesar Rp. 30.000.000,- maka pada akhir masa
manfaat masih terdapat nilai residu yang layak. (meskipun nilai ini pun masih berpotensi
tidak sama dengan harga pasar saat itu, namun setidaknya lebih mendekati pada realitas
nilai wajar dibanding jika sama sekali tidak memiliki nilai). Alternatif solusinya adalah
dengan memberikan nilai residu pada saat menghitung formula penyusutan.
4.

Masalah manajemen aset


Permasalahan manajemen aset terkait sistem pengelolaan aset daerah. Permasalahan akrual
basis sesungguhnya mendorong upaya pembenahan sistem yang dapat mendukung
penacatatan akrual. Sebagai contoh ketika jasa pelayanan sebuah RSUD telah dilakukan,
maka pendapatan harus diakui meskipun uang belum diterima. Dalam praktik seringkali
karena kendala sistem maka pengakuan pendapatan ini menunggu hasil verifikasi pihak
ketiga, yang hasilnya tidak langsung diketahui pada periode yang sama. Dengan demikian

beban sudah terjadi periode saat ini, namun pendapatan dimungkinkan baru dicatat
beberapa periode yang akan datang.

Alternatif solusi perlu dilakukan analisis terhadap

sistem yang berlaku, khususnya terkait pengendalian operasi dan informasi. Pengendalian
operasi akan mencakup upaya melihat gap sistem yang ada dengan yang seharusnya ada.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian antara lain
efisiensi dan security dari operasi. Di lain pihak

perlunya memastikan

efektifitas,

pengendalian informasi memerlukan

validitas dalam penginputan data aset tetap yang mencakup pula akurasi, kelengkapan, dan
juga terkait pembaruan dalam data aset tetap.
Pokok Pokok Pengaturan Aset tetap Di Entitas Pemerintahan Berdasar PP 71 Tahun
2010.
Terdapat perubahan akuntansi aset tetap dari PP nomor 24 tahun 2005 menjadi PP
nomor 71 tahun 2010, yaitu:
1.

Perubahan penyajian perolehan aset tetap donasi dari Laporan Realisasi Anggaran ke
Laporan Operasional.

2.

Perubahan nilai penyusutan dari diinvestasikan dalam aset tetap menjadi beban penyusutan
dalam Laporan Operasional.
Jika diringkas,

standar akuntansi pemerintahan

(PP 71 tahun 2010)

mengatur

pencatatan asset tetap sebagai berikut:


1.

Perolehan asset
Aset tetap diakui pada saat manfaat ekonomi masa depan dapat diperoleh dan nilainya
dapat diukur dengan handal. Untuk dapat diakui sebagai aset tetap harus dipenuhi kriteria
sebagai berikut :
a.

Berwujud;

b.

Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;

c.

Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal;

d.

Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas; dan

e.

Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.

Apabila perolehan aset tetap memenuhi kriteria aset donasi, maka perolehan tersebut
diakui sebagai pendapatan operasional (paragraph 48).
2.

Pemanfaatan asset
Pengeluaran setelah perolehan awal suatu asset tetap yang memperpanjang masa manfaat
atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomi di masa yang akan datang dalam

bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja, harus ditambahkan
pada nilai

tercatat aset yang bersangkutan. Nilai penyusutan

untuk masing-masing

periode diakui sebagai pengurang nilai tercatat aset dalam neraca dan menjadi beban
penyusutan dalam laporan operasional (paragraph 54). Aset tetap disajikan berdasarkan
biaya perolehan aset tetap tersebut dikurangi akumulasi penyusutan.

Apabila terjadi

kondisi yang memungkinkan penilaian kembali, maka aset tetap akan disajikan dengan
penyesuaian pada masing-masing akun aset tetap dan akun ekuitas.
Tanah yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah tidak diperlakukan secara khusus, dan
pada prinsipnya mengikuti ketentuan

seperti yang diatur pada pernyataan tentang

akuntansi aset tetap.


Aset bersejarah diatur dengan pernyataan yang tidak mengharuskan pemerintah untuk
menyajikan aset bersejarah (heritage assets) di neraca namun aset tersebut

harus

diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.


3.

Penghapusan aset
Suatu aset tetap dieliminasi dari neraca ketika dilepaskan atau bila aset secara permanen
dihentikan penggunaannya dan tidak ada manfaat ekonomi masa yang akan datang.

Aset

tetap yang secara permanen dihentikan atau dilepas harus dieliminasi dari Neraca dan
diungkapkan dalam Catatan atas Laporan

Keuangan.

Aset tetap yang dihentikan dari

penggunaan aktif pemerintah tidak memenuhi definisi aset tetap dan harus dipindahkan ke
pos aset lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya.
Tujuan Pelaporan Aset Tetap
1.

Tujuan Penyajian Aset Tetap di Neraca


Pelaporan atas aset tetap dapat menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para

pengguna

dalam menilai

posisi aset tetap sehingga dapat memahami kapasitasnya untuk

menghasilkan manfaat di masa depan. Secara umum pelaporan aset tetap dapat meningkatkan
akuntabilitas dan membantu dalam membuat keputusan.

2.

Komponen Aset Tetap


ASET TETAP
Tanah

xxx xxx

Peralatan dan Mesin

xxx xxx

Gedung dan Bangunan

xxx xxx

Jalan, Irigasi, dan Jaringan

xxx xxx

Aset Tetap Lainnya

xxx xxx

Konstruksi dalam Pengerjaan

xxx xxx

Akumulasi Penyusutan

(xxx)

Jumlah Aset Tetap

XXXXX

Untuk keperluan penyusunan neraca awal, biaya perolehan asset tetap adalah sebesar
nilai wajar asset

pada saat

penyusunan saldo awal tersebut dilakukan.

Untuk periode

selanjutnya setelah proses berjalan, jika diperoleh asset baru, maka harus dicatat sebesar nilai
perolehan atau harga wajar bila harga perolehan tidak ada. Secara umum keberadaan Standar
Akuntansi Pemerintahan ini telah memperjelas arah teknis penyusunan laporan keuangan di
pemerintahan, bahkan format laporan telah diberi ilustrasi, namun transformasi dari non akrual
menuju akrual masih menghadapi persoalan yang harus segera di atasi.
SEKILAS TENTANG

TANTANGAN DALAM

PENERAPAN

AKUNTANSI

AKRUAL
PP no 71 tahun 2010 telah menunjukkan

upaya dalam peningkatan akuntabilitas

terhadap publik oleh instansi pemerintah. Dalam penerapannya dimungkinkan terdapat kendala
kendala yang memerlukan solusi sistemik, antara lain disebabkan:
1.

Perdebatan antara substance over form atau form over substance. Prosedur baku dalam
akuntansi di sektor pemerintahan seringkali menyebabkan pencatatan tertunda karena
menunggu penyelesaian dokumen resmi. Hal ini menyebabkan pengakuan tertunda yang
berdampak tidak sempurnanya pengakuan secara real time. Di lain pihak, keberadaan
dokumen yang sah untuk mendukung pencatatan juga diperlukan dalam untuk menjaga
ketertiban administrasi publik dan untuk kepentingan pengendalian.

2.

Sistem akuntansi yang memerlukan perubahan dalam desain sistem memerlukan waktu
transisi dan sangat tergantung pada pemahaman SDM terkait penyusunan sistem tersebut.

3.

Belum semua jenis transaksi yang mendukung pelaporan akrual telah diatur dalam SAP.
Masih terdapat pertimbangan kesederhanaan untuk kepentingan agar segera dapat
diterapkan.

4.

SDM di daerah mungkin masih belum siap dalam proses pencatatan dengan akrual,
kebiasaan lama yang berbasis kas menuju akrual menyebabkan proses perubahan berjalan
lamban.

5.

Sinkronisasi

makna

dalam

definisi/istilah-istilah

akuntansi

dalam

berbagai

peraturan/perundangan. Dalam hal ini memerlukan pemahaman yang kuat baik konsep
maupun aspek kebahasaan.

Perbedaan interpretasi atas definisi yang dimaksudkan dalam

berbagai peraturan/perundangan akan berdampak hingga di tataran operasional.


Saat ini pengelolaan keuangan pemerintah daerah sedang menghadapi tantangan yang
besar. Peraturan Pemerintah no 71 tahun 2010 sedang diuji implementasinya di lapangan.
Target telah di depan mata dengan kewajiban penerapan penuh pada tahun 2015. PP nomor 71
Tahun 2010 yang merupakan pengganti PP nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP masih perlu
mendapat dukungan pemikiran dan solusi terkait berbagai permasalahan khususnya terkait
masalah pengakuan dan sistem akuntansinya.
Beberapa

pendapat berbeda muncul terkait penerapan akuntansi akrual pada entitas

pemerintahan. Sebagian berpendapat bahwa pendekatan akrual hanya cocok ketika entitas akan
mengukur kinerjanya (profitabilitas), sedangkan pemerintah bukan lembaga berorientasi profit
sehingga penerapan akuntansi akrual dianggap tidak sesuai. Pandangan lain justru sebaliknya,
mereka menyatakan bahwa akuntansi akrual sangat mendesak. Penerapan akuntansi akrual
tidaklah semata untuk pengukuran kinerja. Akuntansi akrual diperlukan di sektor publik, karena
diperlukan dalam pengukuran unit cost atas pelayanan publik. Pengukuran sangatlah penting,
karena jika suatu aktivitas pelayanan publik tidak diukur, maka aktivitas pelayanan tersebut
tidak dapat dikelola dengan baik.

Terlepas adanya pro dan kontra atas penerapan akrual,

dengan dikeluarkannya PP Nomor 71 Tahun 2010, sesungguhnya yang lebih penting adalah
bagaimana penerapan akuntansi akrual dapat dilakukan secara efektif sehingga meminimalkan
cost dan menghasilkan kualitas laporan keuangan pemerintahan yang lebih baik, sehingga
pengambilan keputusan menjadi lebih baik.
Pembahasan solutif
Permasalahan

sesungguhnya saat ini adalah belum siapnya di tataran

aplikasi di

lapangan karena belum siapnya kebijakan akuntansi yang akan digunakan untuk penerapan PP

nomor 71 Tahun 2010. Keberadaan standar akuntansi tidak serta merta dapat diaplikasikan di
tataran praktik, hal ini karena standar akuntansi pada dasarnya masih bersifat umum, sehingga
diperlukan kebijakan-kebijakan akuntansi yang spesifik untuk implementasi di lapangan.
Sebagai ilustrasi, ketika di lapangan terjadi pertanyaan atas nilai kapitalisasi asset, seringkali
masih terdapat benturan antara perlunya penetapan angka spesifik untuk kepraktisan atau
perlunya keleluasaan dalam membuat pertimbangan atas hakekat pengeluaran tersebut.
Kemampuan SDM dalam membuat pertimbangan (judgment) menjadi permasalahan tersendiri.
Perlukah diatur secara spesifik dalam kebijakan akuntansi terkait materialitas, ataukah
diperlukan penjelasan atas konsep kapitalisasi, bahwa yang dapat dikapitalisasi ke aset adalah
setiap pengeluaran yang akan memberikan manfaat ekonomi lebih dari satu periode akuntansi.
Akibat adanya tambahan manfaat ekonomi tersebut, pengeluaran selayaknya diakui sebagai
aset agar dapat disusutkan untuk penandingan yang wajar antara pendapatan dan beban.
Terdapat dilema antara kepraktisan dengan kebenaran filosofis atas sebuah konsep akuntansi.
Dalam rancangan kebijakan akuntansi perlu dicari alternatif untuk mengakomodasi keduanya.
Kebijakan akuntansi dapat

menyatakan tingkat materialitas tertentu sekaligus memberikan

batasan kapan sebuah pengeluaran dapat dikapitalisasi ke aset.


Pada entitas akuntansi yang dikonsolidasikan pada entitas pelaporannya, penggunaan
standar akuntansi yang berbeda seringkali dapat menimbulkan permasalahan. Salah satu upaya
penting yang harus dilakukan adalah memastikan seluruh proses dalam pelaksanaan
implementasi PP 71 tahun 2010

telah dilakukan secara benar sejak awal proses

implementasinya. Kegagalan yang terjadi ketika implementasi telah berlangsung lama, akan
mengakibatkan konsumsi sumber daya yang sangat besar dan menyebabkan kerugian yang
tidak kita harapkan.
Peningkatan kebutuhan sumber daya dalam pengembangan sistem akibat perubahan
peraturan memang tidak dapat dihindari, namun jika setiap entitas dapat mencegah terjadinya
kesalahan dalam implementasi akuntansi akrual sejak awal tahap implementasinya, maka
efisiensi dan efektifitas dapat dicapai. Sebagai ilustrasi, merombak sistem kodifikasi akun
(chart of account) yang salah dan membangun kembali sistem kodifikasi yang benar tentu
akan lebih mahal dibanding mencegah kesalahan tersebut terjadi. Biaya atas kesalahan yang
terjadi sesungguhnya termasuk pula biaya atas dampak keputusan yang salah yang diambil
akibat kesalahan informasi yang disajikan. Atas dasar argumen tersebut, maka dapat dinyatakan
bahwa upaya pencegahan kesalahan adalah faktor penting dalam strategi implementasi PP 71

Tahun 2010. Dengan demikian pembahasan selanjutnya adalah bagaimana upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah kesalahan implementasi sejak awal proses implementasinya.
Upaya strategisnya adalah mempercepat koordinasi antar entitas dan departemen terkait
khususnya dalam menghasilkan sarana dalam implementasi PP 71 tahun 2010. Keberanian
membuat keputusan atas kebijakan akuntansi untuk mendukung akuntansi akrual sangat
diperlukan. Makin lama proses penyusunan prasarana untuk penerapan akuntansi akrual akan
makin meningkatkan risiko kegagalan pencapaian target implementasi penuh di tahun 2015.
Langkah strategis selanjutnya adalah meningkatkan kapasitas SDM yang menguasai bidang
akuntansi untuk ditempatkan pada pos yang tepat.

Langkah selanjutnya adalah kaderisasi

sumber daya manusia yang memiliki kompetensi akuntansi yang akan ditempatkan di sektor
pemerintahan. Perencanaan dalam penempatan staf di bidang akuntansi harus terencana, rotasi
staf akuntansi yang tidak terencana akan menyebabkan sistem yang sedang dalam tahap
pengembangan berubah menjadi tahap kritis karena staf pengganti belum menguasai
bidangnya.

Tidak kalah penting adalah komunikasi antara penyusun sistem informasi

akuntansi berbasis akrual dengan pengguna sistem tersebut. Jika digunakan media software
dalam implementasi sistem,

menjadi penting mencegah kesalahan dalam komunikasi saat

sistem informasi tersebut berada dalam tahap desain. Keberhasilan implementasi tidak hanya
menjadi tanggungjawab bidang akuntansi, karena ketika sistem akuntansi disusun, peran
desainer dan programmer ikut menentukan keberhasilan sistem tersebut. Beberapa kesalahan
mendasar akibat kesalahan komunikasi bahkan seringkali tidak disadari hingga laporan
keuangan dihasilkan dan menjadi dasar pengambilan keputusan.
Aspek keperilakuan perlu mendapatkan perhatian. Setiap perubahan akan dapat diikuti
dengan baik manakala terdapat keyakinan dari pelaku perubahan, bahwa sistem yang baru akan
dapat diimplementasikan. Makin tidak jelas arah implementasi sebuah sistem yang baru, akan
menyebabkan keraguan akan keberhasilan sistem yang baru tersebut bagi para pelakunya. Hal
ini selanjutnya dapat makin menyulitkan penerapan sistem yang baru.
akuntansi akrual secara penuh

Penerapan sistem

merupakan hal yang relatif baru bagi sebagian besar entitas

pemerintah daerah. Perlu diyakinkan bahwa sarana untuk implementasi berupa pedoman
kebijakan akuntansi yang jelas telah disiapkan dengan baik. Hal ini
keberhasilan implementasinya di masa depan.

juga menjadi penentu

Benchmarking pada negara lain

yang telah

berhasil menerapkan sistem akuntansi pemerintahan yang berbasis akrual adalah langkah yang
sangat strategis untuk meningkatkan motivasi dan keyakinan bahwa sesungguhnya kita mampu
untuk menjadi lebih baik dan setara dengan bangsa lain di dunia.

Pendidikan akuntansi berperan penting dalam mensukseskan implementasi PP nomor


71 Tahun 2010. Pengetahuan konsep akuntansi akrual yang memadai diperlukan bagi sumber
daya manusia yang akan menjadi ujung tombak implementasi akuntansi akrual ini.
Pengetahuan konseptual diperlukan ketika terjadi perdebatan di lapangan.

Dengan

pengetahuan konseptual yang makin matang dapat dihasilkan pemahaman yang makin dalam
atas filosofi yang mendasari sebuah standar akuntansi dan kebijakan akuntansi yang akan
dipilih. Pemahaman yang mendalam atas filosofi yang mendasari sebuah standar akuntansi
dapat memberikan kemampuan prediksi atas kemungkinan perubahan yang akan terjadi di
masa depan. Program bea siswa S2 terhadap staf di pemerintahan pada berbagai perguruan
tinggi saat ini diharapkan dapat menjadi pemicu akselerasi dalam implementasi PP 71 Tahun
2010.

SDM diharapkan tidak hanya loyal, namun juga memiliki kompetensi di bidangnya.

Dengan keseragaman kompetensi pada berbagai

instansi maupun departemen, diharapkan

memudahkan dalam koordinasi. Makin banyak SDM memiki kompetensi di bidang akuntansi
diharapkan implementasi sistem akuntansi akrual dapat diterapkan dengan lebih efektif.
Beberapa standar mungkin dapat berubah seiring dengan perubahan lingkungan.
Dengan pendidikan akuntansi maka setiap perubahan akan dapat dihadapi dengan mudah oleh
setiap

individu yang berpengetahuan, karena kemampuannya

dalam adaptasi yang tinggi

berbekal pengetahuan dan kemampuan prediksi yang dimilikinya. Pendidikan akuntansi


diharapkan dapat berdampak multiplier jika pengetahuan yang didapatkan mahasiswa (staf
pemerintahan yang tugas belajar) dibagi kepada lingkungan di mana staf tersebut bekerja.
Dosen pengajar juga perlu terus di tingkatkan kompetensinya. Masih diperlukan peningkatan
khususnya pengalaman
daerah negara lain.

dosen dalam melihat penerapan akuntansi akrual di pemerintahan


Dengan mengetahui bagaimana aplikasi sistem akuntansi akrual

negara-negara yang telah melaksanakan sistem tersebut,

di

pendidik akuntansi dapat

membagikannya dalam proses pembelajaran kepada mahasiswa. Integrasi antara pengetahuan


konsep dan pengalaman praktis tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk mendesain
perkuliahan agar tujuan pembelajaran tercapai.
SIMPULAN
Penerapan akuntansi akrual sebagaimana diatur dalam PP nomor 71 Tahun 2010 masih
memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Namun demikian, terdapat beberapa langkahlangkah strategis untuk mengatasinya. Salah satu poin penting yang diusulkan dalam makalah

ini adalah perlunya mencegah kesalahan dalam implementasi akuntansi akrual sedini mungkin
dengan menyiapkan langkah-langkah antisipatif sebagai berikut:
1.

Mempercepat koordinasi antar entitas dan departemen terkait khususnya dalam


menghasilkan sarana dalam implementasi PP 71 tahun 2010.

2.

Meningkatkan kapasitas SDM yang menguasai bidang akuntansi untuk ditempatkan pada
pos yang tepat.

3.

Kaderisasi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi akuntansi yang akan
ditempatkan di pemerintah daerah.

4.

Perencanaan yang baik dalam penempatan staf di bidang akuntansi.

5.

Peningkatan efektifitas komunikasi antara penyusun sistem informasi akuntansi berbasis


akrual dengan pengguna sistem tersebut

6.

Perhatian terhadap aspek keperilakuan, antara lain dengan meningkatkan keyakinan para
pelaku tentang keberhasilan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di masa depan.

7.

Peningkatan peran dunia pendidikan akuntansi khususnya dalam memberikan kontribusi


peningkatan kompetensi pelaku implementasi PP 71, Tahun 2010.
Berdasarkan poin-poin tersebut di atas pendidikan akuntansi menjadi suatu keharusan

bagi staf pemerintah daerah

yang akan ditempatkan sebagai ujung tombak implementasi

akuntansi akrual berdasar PP nomor 71 Tahun 2010. Salah satu upaya yang telah dilakukan saat
ini adalah terbentuknya kerjasama BPKP dengan Perguruan Tinggi melalui Program STAR
(State Accountability Revitalization). Kerjasama dan koordinasi antar departemen diharapkan
menjadi strategi yang tepat untuk mengantisipasi dan mengawal penerapan PP 71 Tahun 2010.
Upaya tersebut dapat meningkatkan kemampuan para

pengelola keuangan di sektor

pemerintahan daerah, serta kementrian/lembaga. Sebagai penutup tidak ada kata terlambat
untuk keberhasilan penerapan PP nomor 71 Tahun 2010. Antisipasi adalah kata yang tepat
untuk menghadapi kesalahan yang tidak diharapkan.
REFERENSI
PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
PP 24 tahun 205 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Makalah Ardianto untuk BPKP-persyaratan program
Course- New Zealand.

Accrual Basis International Short

Anda mungkin juga menyukai