Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

KARSINOMA NASOFARING
D:\ALL LOGO\unsyiah.jpg
http://itess2013.files.wordpress.com/2013/08/sponsor3.jpg
Oleh :
Dian Hidayati
Farah Agriana
Fadhillah Idris
Ica Rizky Yanda
Rica Afdalia
Khairul Fahmi

Pembimbing:
dr. Benny Kurnia, Sp. THT-KL

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA/ RSUDZA
2015

KEPALA LEHER

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan dan kesehatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul Karsinoma Nasofaring . Shalawat dan salam
semoga senantiasa Allah curahkan ke pangkuan baginda Rasulullah SAW yang
telah mengantar umatnya dari alam kebodohan ke alam penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Tugas tinjauan kepustakaan dan presentasi kasus ini merupakan salah satu
kewajiban dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr.
Benny Kurnia, Sp. THT-KL yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini dan kepada rekan-rekan dokter muda
yang telah memberi dorongan kepada penulis dalam penyelesaian tugas ini.

Banda Aceh, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................
................... ii
DAFTAR ISI .....................................................................
.............................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................
....................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................
.................... v
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................
............ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................
........ 2
2.1 Karsinoma Nasofaring ......................................................
............... 2
2.2.1 Definisi ................................................................
....................... 2
2.2.2 Epidemiologi ............................................................
.................. 2
2.2.3 Etiologi ................................................................
....................... 3
2.2.4 Patogenesis .............................................................
.................... 5
2.2.5 Manifestasi Klinis .......................................................
................ 6
2.2.6 Diagnosis ................................................................
.................... 8
2.2.7 Histopatologi ............................................................
.................. 9
2.2.8 Stadium ..................................................................
................... 12
2.2.9 Tatalaksana .............................................................
.................. 12
2.2.10 Prognosis ..............................................................
.................. 14
BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................
............. 15
BAB IV ANALISIS KLINIS DAN PEMBAHASAN ................................ 24
BAB V KESIMPULAN ...............................................................
............... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................

.................... 27

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium .............................................
.................... 19

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Karsinogenesis karsinoma nasofaring .................................
............... 6
Gambar 2.2 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated...........................
........... 10
Gambar 2.3 Undifferentiated Carcinoma ..........................................
.................. 11
Gambar 2.4 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma ............................
...... 11

BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang


tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring.1 Kejadian KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang
dijumpai penderita dibawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45
54
tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Kanker
nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa
kejadian di Amerika Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 kelahiran.1
Di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) menempati urutan ke-5 dari 10
besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh pada bidang Telinga, Hidung
dan Tenggorokan (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher di Indonesia
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal (18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi
anatomi tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.3 Dari data laporan profil KNF di
Rumah Sakit dr. Umum Zainoel Abidin Banda Aceh, pada tahun 2013 sekitar
19%. KNF menempati urutan kelima dari sepuluh daftar penyakit terbanyak THT
yang terdapat di ruang rawat THT.
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur
berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya.
Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak
terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis
,
stadium, dan terapi dari kanker tersebut.4
Diagnosis menentukan prognosis penderita namun cukup sulit dilakukan
karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit-langit terletak dibawah
dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.(3,4,11)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

2.2.1. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang terjadi pada lapisan epitel di
nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang bervariasi dan serin
g
tampak pada fossa Rosenmuller.6

2.2.2. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring


Kejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar
kurang dari satu per 100.000 penduduk per tahun, namun relatif tinggi di Cina
Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Perbandingan laki-laki dan perempuan
2,2:1. Karsinoma nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid.7
Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000
jiwa per tahun, tertinggi di provinsi Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina
sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa per tahun. Pada tahun 2002, tercata
t
80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh dunia dengan sekitar 50.000
kematian, yang menjadikan kanker paling sering nomor 3 di dunia dan kanker no
4 paling sering di Hong Kong. Di Cina karsinoma nasofaring meningkat setelah
umur 20 tahun dan menurun setelah umur 40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50
tahun.7
Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,
Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus.
Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan
daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.
Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun.8 Dari data
laporan profil KNF di Rumah Sakit dr. Umum Zainoel Abidin Banda Aceh, pada
tahun 2013 sekitar 19%. KNF menempati urutan kelima dari sepuluh daftar
penyakit terbanyak THT yang terdapat di ruang rawat THT.

Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding


pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang
masih produktif (30 - 60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun.9

2.2.3. Etiologi Karsinoma Nasofaring


Etiologi karsinoma nasofaring ini masih belum diketahui secara pasti.
Secara umum, karsinoma nasofaring terjadi sebagai akibat pengaruh genetik dan
lingkungan, seperti zat karsinogen dan infeksi virus Epstein-Barr (EBV).

a. Infeksi Virus Epstein Barr


Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960
dalam biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan viru
s
DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang
saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,
mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom
DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin
sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi
limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada pasien
yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti.3
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun
sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid
virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig
A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga
terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif.
Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak
berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non
keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak
berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.8

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring


adalah virus Epstein-Barr, Karena pada semua pasien karsinoma nasofaring
didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr yang cukup tinggi. Titer ini lebih ting
gi
dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ
tubuh lainnya bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.9

b. Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring.

c. Faktor Makanan
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan
risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin
meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak
mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring.Potensi karsinogenik ikan asin didukung dengan
penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan garam tidak efi sien
sehingga terjadi akumulasi nitrosamine, yang dikenal karsinogen pada hewan. Enam
puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara rutin makanan
fermentasi yang diawetkan. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging,
ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. Delapan puluh delapan persen penderita karsinoma nasofarin
g
mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara rutin.
Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 pasien
KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin
semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga
terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti
Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin

juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan,
dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi. Beberapa penelitian
juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang
dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur
dewasa.8
d. Faktor lingkungan

Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker.


Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan
diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030. Rokok mempunyai lebih
dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang meningkatkan risiko
terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar
60% karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko
karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok.
Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai risiko besar terkena
karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok
selama minimal 15 tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain
(47%). Merokok lebih dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma
nasofaring.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran
kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal
di rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil
bakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun
meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring.

2.2.4. Patogenesis
EBV berperan dalam patogenesis dari karsinoma nasofaring, dimana pada
awalnya infeksi dari virus ini menyebabkan perubahan sel displasia grade rendah
pada nasofaring. Sel displasia grade rendah ini sudah terjadi akibat faktor
predisposisi seperti diet, suesptibilitas genetik dan lain-lain. Dengan infeksi
dari

EBV serta pengaruh gangguan kromosom berkembang menjadi kanker invasif.


Metastasis dari tumor ini dipengaruhi oleh adanya mutasi p53 dan ekspresi
berlebihan dari kaderin.
Gambar 2.1 karsinogenesis karsinoma faring

2.2.5. Manifestasi Klinis


Gejala pada karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi: 6
a. Gejala hidung

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat
terjadi epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya
jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadangkadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
b. Gejala telinga

Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya


dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba eustakhius. Pasien mengeluh rasa
penuh ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma
nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa
penyebab yang jelas, tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru
menyadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.

c. Gejala mata dan saraf

Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa


lubang, sehingga gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanju
t.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, dan
VI sehingga gejala klinis pasien adalah gangguan oftalmologi seperti diplopia at
au
keterbatasan gerakan bola mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang
sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,XI,XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare. Dapat pula terjadi sindrom
retroparotidian,yaitu terjadi akibat kelumpuhan N.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi
kelumpuhan ialah :
a. N.IX :Kesulitan menelan karena gangguan pengecap pada sepertiga
belakang lidah.
b. N.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi.
c. N.XI:Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus,
serta hemiparesis palatum mole.
d. N.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.
Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa
kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak
tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.
d. Gejala di leher

Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe
leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan
pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga
kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping.
Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditegakkan dengan:
a. Anamnesis

Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium


dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan
tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium
lanjut, kecurigaan pada penyakit mudah timbul dan sering ditemukan pembesaran
kelenjar limfe leher, gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase
jauh
yang sangat berat.12
b. Pemeriksaan Nasofaring

Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta.


Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller,
biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius. Pemeriksaan nasofaring
secara konvensional dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior. Pemeriksaan
yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang
fleksibel maupun yang kaku.6
c. Serologi

Virus Epstein Barr diduga sebagai salah satu faktor yang berperan dalam
timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini.
Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah
immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV)
spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early
antigen / EA). IgA EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi
tetapi tingkat spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan
lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi lebih spesifik dan
titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium
lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring.
Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2
(non keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma),
sedangkan pada tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau
pun kalau ada dalam titer yang rendah.10

d. Biopsi nasofaring

Obat anastesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring.


Melalui tuntunan rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter, daerah yang
dicurigai diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui
tuntunan nasofaringoskopi kaku dengan cunam yang terdapat dalam perangkat ini.
Eksplorasi nasofaring bisa juga dilakukan dengan anastesi umum.8
e. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma


bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring,
menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang
tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah CT scan nasofaring. Pada
karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi
dengan CT scan. pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya yang belum terlalu luas. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan suatu sarana pemeriksaan diagnostik yang terbaru dan canggih yang
tidak menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan medan magnit dan
gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Bone Scintigraphy, jika dicurigai
adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang
dicurigai pada bone scantigraph.10

2.2.7. Histopatologi
Menurut WHO terdapat 3 bentuk histopatologi Karsinoma Nasofaring
yaitu11
WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi
a. Tipe WHO 1

Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1


mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, selsel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak
keratin baik di dalam dan di luar sel.

b. Tipe WHO 2

Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini
paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel
berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma
sel transisional.
c. Tipe WHO 3

Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel


kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu
disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan
variasi spindel.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitive.

Gambar 2.2. Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated

Gambar 2.3. Undifferentiated Carcinoma

Gambar 2.4. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma.

2.2.8. Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC
(Union International Centre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.


T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0: Tidak ada pembesaran kelenjar
N1: Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2: Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral/bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3: Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,
yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0: Tidak ada metastase jauh
M1: Terdapat metastase jauh.
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan:
Stadium 0
T1s
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0

Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
N2
M0

T2a
N1
M0

T2b
N0,N1
M0
Stadium III
T1
N2
M0

T2a,T2b
N2
M0

T3
N2
M0
Stadium IVa
T4

N0,N1,N2
M0
Stadium IVb
semua T
N3
M0
Stadium IVc
semua T
semua N
M1

2.2.9. Tatalaksana
Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan
radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan
memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah
sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan
sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Disamping itu KNF
dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis
regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium.
Prognosis KNF stadium lanjut biasanya buruk dengan angka harapan hidup 5
tahun hanya 25-30% pada regimen tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi
dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar
terapi KNF stadium lanjut. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi
kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang
mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang
masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum
penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah
lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.8

Stadium I : radioterapi
Stadium II&III: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm: kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.

Jenis-jenis obat sitostatika yang digunakan pada tumor kepala leher ialah1:
a. Anti metabolit : kerjanya dengan menghambat biosintesa purin dan
pirimidin. Misalnya: methotrexate, 5-fluorouracil, bleomycin.
b. Alkilating agent, seperti: cyclophosphamide yang mengubah struktur DNA
sehingga dapat menahan replikasi sel.
c. Golongan antibiotik, seperti: dactinomycin dan doxorubicin yang mengikat
dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA sehingga dapat
menyebabkan kegagalan replikasi DNA dan translasi RNA.

d. Inhibitor mitosis : termasuk alkaloid vinka seperti vincristin, vinblastin,


vindesine yang kerjanya dengan menahan pembelahan sel dan mengganggu
filamen mikro pada kumparan mitosis.
Kontraindikasi kemoterapi:
a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil
(trimester I), septikemia, koma.
b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila
tumor tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan
umum buruk, gangguan organ tertentu seperti ginjal, hati, jantung, sumsum
tulang, metastase ke otak, resisten terhadap obat anti kanker yang diberikan.

2.2.10. Prognosis
Prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan
stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%
untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.9

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S
Umur : 37 tahun
Alamat : Lhoksemawe
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
No. RM : 0-13-23-17
Tanggal Masuk : 19 Maret 2015
Pemeriksaan : 21 Maret 2015

3.2 Anamnesis

Keluhan utama
Sulit menelan

Keluhan tambahan
Terdapat benjolan di leher dan muntah darah.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan sulit menelan yang dirasakan sejak 2 tahun
lalu. sulit menelan dirasakan terus menerus dan memberat selama 2 bulan terakhir
.
Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan yang terdapat pada leher sebelah
kanannya, benjolan tidak terasa sakit. Ukurannya sebesar buah kedondong.
Benjolan semakin lama semakin membesar dan sekarang ukurannya kira-kira
sebesar buah apel. Pasien juga mengatakan memiliki riwayat muntah darah
berwarna merah segar sebanyak 2 kali dan jumlah darah yang keluar kira-kira
seperempat aqua gelas. Pasien juga mengeluhkan telinga terasa berdengung pada

sebelah kanan dan suara terasa jauh. Pasien menyangkal adanya gangguan pada
mata dan tidak ada nyeri kepala. Pasien sudah pernah menjalani kemoterapi siklus

pertama. Setelah kemotrapi pasien mengeluhkan keadaannya terasa lebih


membaik.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat hepatitis dan tidak memiliki riwayat hipertensi
dan DM.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit yang
sama.
Riwayat pengobatan
Pasien pernah mencoba pengobatan alternative tetapi tidak ada perbaikan.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien suka mengkonsumsi ikan asin dan terasi,

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Compos mentis


Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 kali/ menit
Pernafasan : 20 kali/ menit
Suhu : 36,60 C

Status Lokalis
1. Telinga

Dekstra
Sinistra
preauricular
Tragus sign (-)
Tragus sign (-)

CAE
Lapang
Lapang
Serumen
Tidak ada
Tidak ada
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Membrane timpani
Intake
Intake
Refleks cahaya
Arah jam 5
Arah jam 7
retroauricular
Fistel (-), abses (-)
Fistel (-), abses (-)

2. Hidung ( Rhinoskopi anterior)

Dekstra
Sinistra
Mukosa
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Konka inferior
eutrofi
eutrofi
Septum nasi
Deviasi (-)
Deviasi (-)
Pasase udara
Lancar
Lancar

3. Orofaring

Dekstra
Sinistra
Tonsil
T2 hiperemis
T2 hiperemis
Kripta
Melebar
Melebar
Detritus
Tidak ada
Tidak ada
Perlengketan
Tidak ada
Tidak ada
Sikatrik
Tidak ada
Tidak ada

Faring
Dekstra
Sinistra
Mukosa
Hiperemis
Hiperemis
Granul
Ada
Ada
Bulging

Tidak ada
Tidak ada
Reflex muntah
Tidak ada
Tidak ada
Arkus faring
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)

4. Lidah
Terdapat leukoplakia (candidiasis) pada bagian kanan.

5. maksilofasial

Dekstra
Sinistra
Simetris
Kanan lebih menonjol
Dalam batas normal
Parese N. kranialis
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Ada
Tidak ada
Hematom
Tidak ada
Tidak ada

6. Leher
Ditemukan massa dengan ukuran 10 cm x 5 cm x 2 cm dengan konsistensi keras
pada leher, dan terpasang trakeostomi.

7. KGB
Pembesaran KGB
Dekstra
Sinistra
Upper jugular
Teraba KGB 2,3,4,5
soliter berukuran 10 cm x
6 cm x 3 cm teraba keras

berbatas tidak tegas.


Tidak nyeri tekan dan
tidak hiperemis
Negative
Mid jugular
Negative
Negative
Lower jugular
Negative
Negative
Sub mandibula
Sulit di nilai
Negative
Sub mental
Negative
Negative
Supra klavikula
Negative
Negative

Foto Klinis Pasien

3.4 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium
Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium
No
Jenis Pemeriksaan
17 Maret 2015
1
Hemoglobin
10.4 gr/dl
2
Hematokrit
30 %
3
Eritrosit
3.7 x106/mm3
4
Leukosit
5.1 x103/mm3
5
Trombosit
309 x103/mm3

6
Ureum
11 mg/dL
7
Creatinin
0.38 mg/dL

No
Jenis Pemeriksaan
20 Maret 2015
1
Bilirubin Total
1.06 mg/dl
2
Bilirubin direct
0.6 mg/dl
3
Bilirubin Indirect
0.46 mg/dl
4
SGOT
35 u/l
5
SGPT
17 u/l

b. CT Scan

Kesimpulan
1. Massa di nasofaring meluas ke orofaring
2. Multipel pembesaran kelenjar di paraservikal kanan kiri dan colli posterior
3. Tak tampak perluasan masa ke intracranial
Hasil FNAB
1. Haemorrhagic smear

3.5 Diagnosis Banding


1. Karsinoma Nasofaring T2N3M0
2. Angiofibroma Nasofaring Belia
3. limfanedopati

3.6 Diagnosis Kerja

Karsinoma Nasofaring T2N3M0

3.7 Tatalaksana
a. Medikamentosa
IVFD RL 20 gtt/i
Clinimix
Duragesic 25 mg
Sucralfat syr 3x CI
Nistatin drop
B. kemoradiasi

3.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad malam


Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Menurut teori keluhan yang dirasakan pada karsinoma nasofaring sangat
bervariasi. Pada leher dapat ditemukan adanya gangguan aliran pembuluh limfe,
sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan di sana karena
memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak
langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel
tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan
tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang
lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.6
Sesuai dengan teori di atas, pasien mengeluhkan sulit menelan yang
dirasakan sejak 2 tahun lalu. sulit menelan dirasakan terus menerus dan memberat
selama 2 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan yang terdapat
pada leher sebelah kanannya, benjolan tidak terasa sakit. Ukurannya sebesar buah
kedondong. Benjolan semakin lama semakin membesar dan sekarang ukurannya
kira-kira sebesar buah apel. Pasien juga mengatakan memiliki riwayat muntah
darah berwarna merah segar sebanyak 2 kali dan jumlah darah yang keluar kirakira seperempat aqua gelas. Pasien juga mengeluhkan telinga terasa berdengung
dan suara terasa jauh. Pasien sudah pernah menjalani kemoterapi siklus pertama.
Setelah kemotrapi pasien mengeluhkan keadaannya terasa lebih membaik.
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta.
Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller,
biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius. Pemeriksaan nasofaring
secara konvensional dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior. Pemeriksaan
yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang
fleksibel maupun yang kaku. Pada pasien ditemukan massa dengan ukuran 10 cm
x 5 cm x 2 cm dengan konsistensi keras pada leher.6
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT Scan.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah CT scan nasofaring. Pada

karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi


dengan CT scan. pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya yang belum terlalu luas. Hasil tampak massa di nasofaring meluas ke
orofaring, multipel pembesaran kelenjar di paraservikal kanan kiri dan colli
posterior, tak tampak perluasan masa ke intracranial.10
. Pada kasus ini, pasien sering mengkonsumsi ikan asin . Paparan non-viral
yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma nasofaring
adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai
7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi.8
Pada pasien telah dilakukan kemoterapi siklus pertama. Terapi standar
KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai
regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5
tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar pasien datang
dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan
keadaan umum yang jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang
berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh.
Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Kombinasi kemoterapi dan
radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi
KNF stadium lanjut. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang
atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang
mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang
masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum
penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah
lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.8,9
Stadium I : radioterapi
Stadium II&III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.
Prognosis pada pasien adalah dubia at malam. Prognosis (angka bertahan
hidup 5 tahun) pada pasien karsinoma nasofaring dari stadium awal dengan
stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%
untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.9

BAB V
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang


tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring. Untuk menegakkan diagnosis pada karsinoma nasofaring dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Prognosis (angka
bertahan hidup 5 tahun) pada pasien karsinoma nasofaring dari stadium awal
dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II,
38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.

DAFTAR PUSTAKA
1. National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers
Version 2.2013. NCCN; 2013. Diakses tanggal 08 Juni 2014
http://oralcancerfoundation.org/treatment/pdf/head-and-neck.pdf

2. American cancer society. Nasopharyngeal cancer. American Cancer Society;


2013. Diakses tanggal 08 Juni 2014
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf

3. Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

4. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur


Med. 2001; 33: 235-8.

5. Cottrill CP, Nutting CM. Tumors at The Nasopharynx. In: Principles and
Practice of Head and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 193
214.

6. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir.


Cermin Dunia Kedokteran. 2004; 144: 16-9.

7. Satyanarayana, K [Editor]. Epidemiological and etiological factors associated


with nasopharyngeal carcinoma. ICMR bulletin, Vol.33 no.9; 2003.

8. Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer


Research. 2004; 10: 803-21.

9. Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung


tenggorok pada kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7.

10. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of


oncology. 2002; 13: 1007-15

11. Lee A W M, Ko W M, dkk. Nasopharyngeal carcinoma-time lapse before


diagnosis and treatment. HKMJ. 1998; 4: 132-6.

Anda mungkin juga menyukai