disusun oleh :
Anggi Mayangsari
190110130014
R. Bernancy Greacya
190110130070
Serawanti Deliana
190110130090
190110130130
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
1. Ego Kreatif
Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas atas masalah baru
pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan hambatan atau konflik pada suatu fase, ego
tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu
faktualisasi, universalitas dan aktualitas.
a.
Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode yang dapat dicocokkan
atau diverifikasi dengan metode yang sedang digunakan pada suatu peristiwa. Dalam hal ini, ego
berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang dikemas dalam bentuk
data dan fakta.
b. Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang dikemukakan oleh
Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of reality yang menggabungkan pandangan
semesta/alam dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan praktis.
c.
Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk berhubungan dengan
orang lain demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, ego merupakan realitas masa kini yang
berusaha mengembangankan cara baru untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi,
menjadi lebih efektif, progresif, dan prospektif.
Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada individu
bersifat tak sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan pengalaman yang
akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan tiga aspek yang saling
berhubungan, yaitu body ego, ego ideal dan ego identity, yang umumnya akan mengalami
perkembangan pesat pada masa dewasa meskipun ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase
kehidupan.
a.
Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh atau fisiknya sendiri.
Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain.
b. Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna. Individu
cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal dibanding dengan
orang lain.
c.
Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri yang
penyesuaian dari masyarakat (Berk, 2003). Berikut adalah delapan tahapan perkembangan
psikososial menurut Erik Erikson (Berk, 2003):
1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan,
jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan
untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah
terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya
dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha
mengambil keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang
tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impulsimpulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya
otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang
diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini,
maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan
mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.
3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut
mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa
percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila
anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah
memiliki tujuan dalam hidupnya.
4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari
menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan
ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang
diperoleh. Keterampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak
mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih temanteman sebaya akan merasa inferior.
5. Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang
dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak anak dianggap dewasa tetapi
di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak
mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber
perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi.
Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas,
begitupun sebaliknya.
6. Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain
secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan
menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego
yang diperoleh adalah cinta.
7. Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah, 30-65 tahun)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang
telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan
generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan
menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil
mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan
bila individu tidak sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti.
8. Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat
makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian
saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun.
Apabila individu sukses melewati faase ini maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan
apabila mengalami kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa
putus asa.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan:
1. Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial.
2. Erikson memandang ego sebagai struktur kepribadian yang otonom, serta berfokus pada
kualitas ego yang muncul di setiap periode perkembangan.
3. Tahap perkembangan lebih kompleks karena mengembangkan teori insting Freud. Namun
Erikson tidak memusatkan seks sebagai hal yg mendasari manusia.
4. Menekankan bahwa perubahan pada setiap tahap perkembangan sangat penting sehingga
individu berusaha semampu mungkin untuk melewatinya.
Kekurangan
1. Nilai ilmiah penelitian yang dilakukan Erikson tidak begitu akurat. Observasi dan analisis
penelitian hanya dilakukan secara subjektif seperti halnya tokoh psikoanalisis yang lain.
LAWRENCE KOHLBERG
1. Biografi Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg tumbuh besar di Bronxville, New York, dan memasuki Akademi
Andover di Massachussets, sekolah menengah atas swasta yang mahal dan menuntut
kemampuan akademis tinggi. Dia tidak langsung melanjutkan keperguruan tinggi namun pergi
membantu pemulangan orang-orang Israel, bekerja sebagai insinyur tingkat dua di pesawat
angkut yang membawa pelarian dari Eropa melewati blockade Inggris ke Israel. Setelah itu, pada
1948, Kohlberg masuk ke Universitas Chicago di mana dia lulus tes penerimaan dengan angka
yang sangat tinggi sehingga hanya mengambil sedikit saja mata kuliah untuk memperoleh gelar
sarjana mudanya. Dalam kuliah ini memang dicapai hanya dalam waktu setahun. Dia tinggal
Chicago sebentar untuk mengejar gelar sarjananya di dalam psikologi yang awalnya dia ingin
mengambil psikologi kimia. Namun segera dia menjadi tertarik kepada piaget dan mulai
mewawancarai anak-anak dan remaja tentang masalah-masalah moral. Semua hasil penelitiannya
itu ditulis dalam disertasi doktoralnya (1958), rancangan pertama dari teori pentahapan psikologi
yang baru. Kohlberg mengajar di Universitas Chicago dari tahun 1962 sampai 1968, dan di
Universitas Harvard dari tahun 1968 sampai ajal menjemputnya ditahun 1987.
2. Pengertian Perkembangan Moral
Pengertian perkembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari
potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang
baru (Reni Akbar Hawadi : 2001). Helden (1977) dan Richards (1971) berpendapat moral adalah
suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan
lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Kita telah
mengetahui arti dari kedua suku kata yaitu perkembangan dan moral maka selanjutnya yaitu kita
mulai memahami arti dari gabungan dua kata tersebut Perkembangan Moral Santrock (1995)
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak
berkenaan dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok
sosial.
3. Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan
pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-bangan yang memiliki urutan pasti dan
berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang
mendasari perilaku moral (moral behavior).Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari
tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang
diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang
merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat
teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang
semula diteliti Piaget,yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui
tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan
bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan,walaupun ada dialog yang mempertanyakan
implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral
dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakantindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama.
Level
Rentang Usia
: Ditemukan
Tahap
pada Tahap
Hukuman
: Orang
Moralitas
anak-anak
prakonvension
al
obedience)
membuat
keputusan
tanpa
mempertimbangkan
kebutuhan
and
yang
lebih
bila
mereka
pelanggaran
tersebut
ketahuan
orang
lain.
menerima
Mereka
(Exchange
of memuaskan
favors)
mungkin
mencoba
kebutuhan
orang
akan
memijat
salah
berdasarkan
: Ditemukan
Moralitas
konvensional
tingkat
(good
membuat
melakukan
keputusan
tindakan
tertentu
semata-mata
untuk
menyenangkan
terutama
SMU
tidak
(Tahap
biasanya
muncul
sebelum
Mereka
masa SMU)
orang
lain,
tokoh-tokoh
yang
sangat
peduli
terjaganya
pada
hubungan
mempertimbangkan
tata
(Law
keteraturan).
yang
menyediakan
kehidupan
begitu,
tersebut.
mereka
peraturan
itu
sebagaimana
kebutuhan
masyarakat
berubah-ubah,
Moralitas
postkonvensio
: Jarang
Sosial
memahami
(Social peraturan-peraturan
contract).
nal
bahwa
yang
merupakan
representasi
persetujuan
banyak
mengenai
perilaku
dianggap
tepat.
ada
dari
individu
yang
Peraturan
bermanfaat
untuk
melindungi
individu,
hak-hak
alih-alih
sebgai
merupakan
juga
hukum.
memahami
yang
mengakomodasi
tidak
lagi
kebutuhan
orang,
penghargaan
hanya manusia,
komitmen
pada
yang
norma-normadan
melampaui
peraturan-
yang
bertentangan
prinsip-prinsip
etis
mereka sendiri.
5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Moral.
Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah factor yang berhubungan
dengan
perkembangan rasio dan rationale, isu dan dilema moral, dan perasaan diri.
dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia memerlukan refleksi
yang mendalam mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu,
perkembangan
moral
bergantung
pada
perkembangan
kognitif
(Kohlberg,
mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu
terhadap orang lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat
diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi(induction)
(M.L.Hoffman,1970,1975).
berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat
ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu dengan kata
lain, ketika anak menghadapi situasi yang menimbulkan disequilibrium. Upaya untuk membantu
anak-anak yang menghadapi dilemma semacam itu, Kohlberg menyarankan agar guru
menawarkan penalaran moral satu tahap diatas tahap yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg
(1969) percaya bahwa dilema moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral
anak, tetapi hanya setahap demi setahap. Dia berteori bahwa cara anak-anak melangkah dari satu
tahap ke tahap berikut ialah dengan berinteraksi dengan orang-orang lain yang penalarannya
berada satu atau paling tinggi dua tahap di atas tahap mereka.
Perasaan Diri.
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berpikir bahwa
sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka memiliki
pemahaman diri yang tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narfaez
& Rest,1995). Lebih jauh, pada masa remaja, beberapa anak muda mulai mengintegrasikan
komitmen
terhadap
nilai-nilai
moral
terhadap
identitas
mereka
secara
keseluruhan
Kritik lain terhadap karya Kohlberg ialah bahwa anak-anak yang masih muda sering
dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang lebih canggih daripada tahap yang
diusulkan teori (Rest,Edwards & Thoma,1997). Akhirnya, Turiel (1998)telah berpendapat bahwa
anak-anak yang masih muda menarik perhatian antara aturan-aturan moral, seperti tidak boleh
berdusta dan mencuri, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, dan aturan-aturan sosialkonvensional, seperti tidak boleh mengenakan piyama ke sekolah, yang didasarkan pada
konsensus dan etiket sosial.
Keterbatasan terpenting teori Kohlberg ialah bahwa hal itu berkaitan dengan penalaran
moral alih-alih dengan perilaku aktual (Arnold, 2000). Banyak orang pada tahap yang berbeda
berperilaku yang sama, dan orang-orang pada tahap yang sama sering berperilaku dengan cara
yang berbeda (Walker & Henning, 1997). Selain itu, konteks dilemma moral berperan penting.
Thoma dan Rest (1999) dan Rest et al. (1999) berpendapat bahwa penjelasan tentang perilaku
moral harus memerhatikan penalaran moral tetapi juga kemampuan menafsirkan dengan tepat
apa yang terjadi dalam situasi sosial, motivasi mempunyai perilaku yang bermoral, dan
kemampuan sosial yang perlu untuk benar-benar melakukan suatu rencana tindakan moral.
KONSEP DIRI
Konsep diri itu sendiri memiliki pengertian sebagai bagaimana persepsi, keyakinan,
perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri. Definisi lainnya adalah pemaknaan
individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya. Oleh karena itu, dapat
ditarik kesimpulan dari kedua definisi diatas, konsep diri adalah bagaimana seseorang melihat
dirinya sendiri, baik dari apa yang dirinya lihat maupun apa yang orang lain lihat.
Konsep diri itu sendiri memiliki 3 komponen, yaitu :
a. Perceptual/physical : citra seseorang mengenai penampilannya, seperti kecantikan,
keindahan, dan sebagainya.
b. Conceptual/psychological : konsep tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan masa
depan, serta kualitas adaptasinya, seperti confidence, independence, courage.
c. Attitudinal : perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya, serta keberadaan dirinya
sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan
kepenghinaannya.
Ketika seseorang telah beranjak dewasa, ketiga komponen ini akan terkait dengan aspek-aspek
keyakinan, komitmen, aspirasi, nilai-nilai, dan sebagainya terhadap jalan hidup yang dipilih dan
dijalaninya.
Jika dilihat dari sisi pendidikan, ada yang disebut dengan Academic (Scholastic) SelfConcept. Konsep diri ini merupakan konsep diri yang berkaitan dengan bagaimana seorang siswa
memandang kompetensi yang dimilikinya. Ada kaitan antara konsep diri ini dengan prestasi
akademis siswa. Dengan pengalaman belajar positif dapat menunjang konsep diri dan ini akan
meningkatkan prestasinya, namun pengalaman belajar negatif justru menurunkan konsep diri
seorang siswa yang dapat menurunkan prestasinya pula.
Berikut akan dijelaskan bagaimana hirarki dari konsep diri siswa dari Berliner.
Hirarki ini menjelaskan tentang bagaimana dengan adanya perubahan tingkah laku belajar dapat
menyebabkan perubahan prestasi. Oleh karena itu, terdapat perubahan konsep diri yang
berkorelasi dengan prestasi.
masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku
dan pengalamannya. Namun, jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang
tanpa hentihentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).
Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi mengenai
kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu pengetahuan adalah untuk
menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih. Oleh karena itu, dalam psikologi
kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama
karakteristik kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang
membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan
taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi Big Five Personality.
Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak
mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami
manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan
untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan
penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999).
Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian
tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu
sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental
Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya
dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005). Big Five Personality
atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan
pendekatan yang lebih sederhana.
2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri
dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut.
Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut:
1. Neuroticism (N)
2. Extraversion (E)
3. Openness to New Experience (O)
4. Agreeableness (A)
5. Conscientiousness (C)
Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi
OCEAN (Pervin, 2005).
Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1. yang didapat
dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism berlawanan dengan Emotional
stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah,
dan tegang. Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari
aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat
interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain. Yang terakhir
Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan kemampuan mengendalikan
dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial (Pervin, 2005).
Tabel 1.
Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah
Karakteristik dengan skor
tinggi
rendah
penyesuaian Vs
ketidakstabilan emosi.
Kuatir, cemas, emosional,
Mengidentifikasi
tak beralasan
kebutuhan/keinginan yang
berlebihan, dan respon coping
yang tidak sesuai.
Extraversion (E) Mengukur
talkative, person-oriented,
optimis, menyenangkan,
stimulasi, kapasitas
kesenangan.
analitis.
terang.
tindakan.
Conscientiousness (C)
Mengukur tingkat keteraturan
Teratur, dapat dipercaya,
tekun.
ketergantungan, dan
kecendrungan untuk menjadi
malas dan lemah
Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big Five terdiri dari 6
(enam) faset atau subfaktor.
Faset-faset tersebut adalah:
1. Extraversion terdiri dari:
1. Gregariousness (suka berkumpul).
2. Activity level (level aktivitas).
3. Assertiveness (asertif).
4. Excitement Seeking (mencari kesenangan).
5. Positive Emotions (emosi yang positif).
6. Warmth (kehangatan).
2. Agreeableness terdiri dari:
1. Straightforwardness (berterusterang).
2. Trust (kepercayaan).
3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain).
4. Modesty (rendah hati).
5. Tendermindedness (berhati lembut).
6. Compliance (kerelaan).
3. Conscientiousness terdiri dari:
1. Self-discipline (disiplin).
2. Dutifulness (patuh).
3. Competence (kompetensi).
4. Order (teratur).
5. Deliberation (pertimbangan).
6. Achievement striving (pencapaian prestasi).
4. Neuroticism terdiri dari:
1. Anxiety (kecemasan).
2. Self-consciousness (kesadaran diri).
3. Depression (depresi).
4. Vulnerability (mudah tersinggung).
5. Impulsiveness (menuruti kata hati).
6. Angry hostility (amarah).
5. Openness to new experience terdiri dari:
1. Fantasy (khayalan).
2. Aesthetics (keindahan).
3. Feelings (perasaan).
4. Ideas (ide).
5. Actions (tindakan).
6. Values (nilai-nilai).
perlakuan (treatment) yang secara optimal efektif diterapkan untuk siswa yang berbeda tingkat
kemampuannya. Terdapat langkah-langkahpembelajaran ATI, yaitu :
a.
Treatment Awal
Pemberian perlakuan awal terhadap siswa dengan menggunakan aptitude testing.
Perlakuan pertama ini dimaksudkan untuk menentukan dan menetapkan klasifikasi kelompok
siswa berdasarkan tingkat kemampuan, dan sekaligus untuk mengetahui potensi kemampuan
masing-masing siswa dalam menghadapi informasi/pengetahuan atau kemampuan-kemampuan
baru.
b.
Pengelompokan siswa
Pengelompokan siswa yang didasarkan pada hasil aptitude testing. Siswa di dalam kelas
diklasifikasi menjadi tiga kelompok, yang terdiri dari kelompok siswa yang berkemampuan
tinggi, sedang dan rendah. Atau kelompok cepat, sedang dan lambat.
c.
Memberikan treatment
Kepada tiap-tiap kelompok yang telah terbentuk diberikan treatment yang dipandang
Achievement Test
Di akhir setiap pelaksanaan siklus dilakukan penilaian prestasi belajar setelah diberikan
perlakuan treatment pembelajaran kepada siswa dengan klasifikasi yang telah terbentuk (tingi,
sedang dan rendah), tentunya mengacu pada prosedur tindakan penelitian yang dirancang
sebelumnya.Kemudian untuk mengetahui seberapa jauh terjadi peningkatan prestasi belajar atau
optimalisasi prestasi belajar melalui pengembangan pembelajaran model ATI, dilakukan
pengukuran melalui presentase.
Exceptionality
Anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi kemampuan yang
mengakibatkan perlunya pembelajaran khusus atauSpecial Education.
Siswa yang tergolong exceptionality memiliki ciri/perbedaan antara lain :
Cara memproses informasi secara mental, cara mempersepsi informasi, cara menyelesaikan
masalah, kemampuan menulis atau berbicara, cara berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,
Emotional Problem
Dari ciri-ciritersebutdapatdihasilkan 2 golongan, yakni :
a
b
3
4
5
MENTAL RETARDATION
Kemunduran fungs iumum yang ditunjukan dari deficit perilaku adaptif dan timbul
selama periode perkembangan (antara konsepsi dan dewasa awal/18 tahun)
Golongan
Educable
Trainable (moderate)
IQ
50-70
35-50
Tujuan Pendidikan
Basic social skill, survival skill
Independent living skill, vocational
skill
Self care/social adaptation
Hiperaktif
Kurang koordinasi dan keseimbangan
Kurang memberikan atensi
Disorganisasi
Kurang dalam menindaklanjuti dan menyelesaikan tugas
Kinerja tidak merata
Learning Disabilities
Learning Disabilities menunjukkan beberapa disfungsi kognitif secara khusus atau suatu
permasalahan mengenai aspek pembelajaran disebabkan oleh adanya gangguan dalam salah satu
atau lebih dari proses psikologis dasar yang diperkirakan berkaitan dengan disfungsi dalam SSP.
Terdapat ciri-ciri Learning Disabilities, yaitu :
Adanya gangguan dalam salah satu (atau lebih) dari proses psikologis dasar yang
matematika
Adanya hambatan dalam persepsi, brain injury, DMO
Masalah tidak disebabkan faktor mendasar lain seperti mental retardation, emotional
disturbance, atau karena lingkungan kebudayaan yang kurang menunjang atau
menguntungkan
Adanya perbedaan besar antara potensi untuk belajar dan tingkat prestasi nyatanya
Terdapat pula beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada literatur dan hasil riset
(Harwell, 2001), yaitu :
1. Faktor keturunan/bawaan
2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau prematur
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu yang merokok,
menggunakan obat-obatan (drugs), ataumeminum alkohol selama masa kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma kepala, atau pernah
tenggelam.
5. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak dengan kesulitan belajar
biasanya mempunyai sistem imun yang lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium, arsenik, merkuri/raksa,
dan neurotoksin lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Berk, L. (2003). Child Development. Berlin: Pearson Education, Inc.
Boeree, C. G. (1997). Personality Theories: An Introduction oleh Dr. C. George Boeree.
Psychology Department Shippensburg University.
Dworetzky, J. P. (1990). Introduction to Child Development. New York: West Publishing
Company.
Feist, J. & Feist, G. (2008). Theories of Personality (Edisi keenam). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Friedman, H. S. & Schuctack M. W. (2006). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern (edisi
ketiga). Jakarta: Erlangga.
Gage, N.L and Berliner, David C.1998.Educational Psychology.USA : Houghton Mifflin
Company.Madani,
Interaction).Diakses
Warta.2013.Proses
dari
Pembelajaran
ATI
(Aptitude
Treatment
http://www.wartamadani.com/2013/05/konsep-
Erma.2010.Kesulitan
Belajar.Magistra.[No.73].Diakses
dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=253132&val=6820&title=KESULITAN%20BELAJAR pada tanggal 7 April 2015
pukul 23.05 WIB.