JENIS BAYGON
Oleh (Farmasi D) :
Lisa Dewi Purnama Rizki
(201210410311018)
Erlinda Hesti P
(201210410311077)
Yogik Zainul A
(201210410311153)
Navisa
(201210410311193)
Fitri Lailatul
(201210410311234)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. PATOFISIOLOGIS
Insektisida ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim
asetilkolinesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan asetilkolin yang dilepaskan
oleh susunan saraf pusat, gangglion autonom, ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujungujung saraf motorik. Hambatan asetilkolinesterase menyebabkan tertumpuknya sejumlah
besar asetilkolin pada tempat-tempat tersebut.
Asetilkholin itu bersifat mengeksitasi dari neuron neuron yang ada di post
sinaps, sedangkan asetilkolinesterasenya diinaktifkan, sehingga tidak terjadi adanya
katalisis dari asam asetil dan kholin. Terjadi akumulasi dari asetilkolin di sistem saraf
tepi, sistem saraf pusatm neomuscular junction dan sel darah merah, Akibatnya akan
menimbulkan hipereksitasi secara terus menerus dari reseptor muskarinik dan nikotinik.
Didalam kasus kita ini menyangkut keracunan baygon, perlu diketahui dulu
bahwa didalam baygon itu terkandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan transfluthrin.
Propoxur adalah senyawa karbamat yang merupakan senyawa Seperti organofosfat tetapi
efek hambatan cholin esterase bersivat reversibel dan tidak mempunyai efek sentral
karena tidak dapat menembus blood brain barrier. Gejala klinis sama dengan keracunan
organofosfat tetapi lebih ringan dan waktunya lebih singkat. Penatalaksanaannya juga
sama seperti pada keracunan organofosfat.
Dampak terbanyak dari kasus ini adalah pada sistem saraf pusat yang akan
mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi
kardiovaskuler mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada
miokard dan pembuluh darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat
kardiovaskular di otak. Hipotensi yang terjadi mungkin berat dan bila berlangsung lama
dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme
pengaturan suhu tubuh. Gambaran khas syok mungkin tidak tampak karena adanya
depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, Hipotermia yang terjadi akan memperberat
syok, asidemia, dan hipoksia.
Bila dilihat dari cara kerjanya, maka insektisida golongan fospat organik dan
golongan karbamat dapat dikategorikan dalam antikolinesterase (Cholynesterase
inhibitor insektisida), sehingga keduanya mempunyai persamaan dalam hal cara
kerjanya, yaitu merupakan inhibitor yang langsung dan tidak langsung terhadap enzim
kholinesterase.
Racun jenis ini dapat diabsorbsi melalui oral, inhalasi, dan kulit. Masuk ke
dalam tubuh dan akan mengikat enzim asetilkholinesterase (AChE) sehingga AChE
menjadi inaktif maka akan terjadi akumulasi dari asetilkholin. Dalam keadaan normal
enzim AChE bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh
AChE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi akibatnya akan terjadi
penumpukan AKH ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala gejala berupa
ransangan AKH yang berlebihan yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan
SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
REVERSIBLE INHIBITORS
IRREVERSIBLE INHIBITOR
Water-Soluble
Edrophonium
Insektisida Organophospat
Neostigmine
Isoflurophate
Pyridostigmine
Physostigmine
Pada keracunan IFO, ikatan-ikatan IFO AChE bersifat menetap (ireversibel),
sedangkan keracunan carbamate ikatannya bersifat sementara (reversible). Secara
farmakologis efek AKH dapat dibagi 3 golongan :
a) Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil,
bronkus dan jantung.
b) Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot
pernafasan.
c) SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang (konvulsi)
sampai koma
Kita dapat menduga terjadinya keracunan dengan golongan ini jika :
1. Gejalagejala timbul cepat, bila > 6 jam jelas bukan keracunan dengan insektisida
golongan ini.
2. Gejalagejala progresif, makin lama makin hebat, sehingga jika tidak segera
mendapatkan pertolongan dapat berakibat fatal, terjadi depresi pernafasan dan blok
jantung.
3. Gejalagejala tidak dapat dimasukkan kedalam suatu sindroma penyakit apapun,
gejala dapat seperti gastroenteritis, ensephalitis, pneumonia, dan lain-lain.
4. Dengan terapi yang lazim tidak menolong.
5. Pada pemeriksaan anamnesa ada kontak dengan keracunan golongan ini.
Absorbsi pada mamalia
Absorbsi kedalam tubuh mamalia, berbeda dengan insecta. Bentuk Powder
sangat mudah diabsorbsi oleh kutikula chitin insecta, sangat sedikit mll. Kulit
mamalia. Sedangkan dalam bentu solven minyak sangat mudah diabsorbsi kulit
dan mukosa usus mamalia.
Distribusi :
DDT terdistribusi kesemua jar. tubuh. Terkonsentrasi pada jar. Lemak. Dalam
dosis tinggi yang masuk kedalam tubuh sebagian besar di deposit di Jar. Lemak.
Dengan dosis 1-10 ppm. Konsentrasi maksimun dijumpai dalam waktu 6 bulan.
Ekskresi :
Sangat lambat, apabila diminum sebagian besar diekskresikan bersama feses,
yang diabsorbsi diekskresikan lewat urin dalam waktu 2-4 jam dalam bentuk
Chlorofenil acetic acid (75%)dan sisanya sebagai ester. Sebagian besar disimpan
dalam lemak dan diekskresikan lewat kulit dan lemak susu.
C. GAMBARAN KLINIS
Tanda dan gejala yang mungkin timbul akibat reaksi keracunan adalah
gangguan penglihatan , gangguan pernafasan dan hiper aktif gastrointestinal. Untuk jenis
keracunan akut dan kronis memiliki tanda dan gejala yang berbeda-beda, seperti yang
dijelaskan di bawah ini :
a. Keracunan Akut
Tanda dan gejala timbul dalam waktu 3060 menit dan mencapai maksimum dalam
28 jam.
Keracunan ringan : Anoreksia, sakit kepala, pusing, lemah, ansietas, tremor lidah
dan kelopak mata, miosis, penglihatan kabur.
Keracunan Sedang : Nausia, Salivasi, lakrimasi, kram perut, muntah muntah,
keringatan, nadi lambat dan fasikulasi otot.
Keracunan Berat : Diare, pin point, pupil tidak bereaksi, sukar bernafas, edema
paru, sianons, kontrol spirgter hilang, kejang kejang, koma, dan blok jantung.
b. Keracunan Kronis
Penghambatan
kolinesterase
akan
menetap
selama
26
minggu
(organofospat). Untuk karbamat ikatan dengan AchE hanya bersifat sementara dan
akan lepas kembali setelah beberapa jam (reversibel). Keracunan kronis untuk
karbomat tidak ada.
Gejalagejala bila ada dapat menyerupai keracunan akut yang ringan, tetapi
bila eksposure lagi dalam jumlah yang kecil dapat menimbulkan gejalagejala yang
berat. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan, dan pada penelitian
menunjukkan bahwa segala keracunan mempunyai korelasi dengan perubahan dalam
aktivitas enzim kholinesterase yang terdapat pada pons dan medulla (Bajgor dalam
Rohim, 2001). Kegagalan pernafasan dapat pula terjadi karena adanya kelemahan otot
pernafasan, spasme bronchus dan edema pulmonum.
D. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN
Hal yang pertama kali harus dilakukan dalam kegawatdaruratan dalam
keracunan adalah melakukan survey primer dan sekunder, yaitu meliputi :
1. Survey Primer
a. Resusitasi (ABCD)
Airway
Periksa klancaran jalan napas, gangguan jalan napas sering terjadi pada klien
dengan keracunan baygon, botulisme karena klien sering mengalami depresi
pernapasan seperti pada klien keracunan baygon, botulinun. Usaha untuk
kelancaran jalan napas dapat dilakukan dengan head tilt chin lift/jaw
trust/nasopharyngeal airway/ pemasangan guedal.
Cegah aspirasi isi lambung dengan posisi kepala pasien diturunkan, menggunakan
jalan napas orofaring dan pengisap. Jika ada gangguan jalan napas maka dilakukan
penanganan sesuai BHD (bantuan hidup dasar). Bebaskan jalan napas dari
sumbatan bahan muntahan, lender, gigi palsu, pangkal lidah dan lain-lain. Kalau
perlu dengan Oropharyngealairway, alat penghisap lendir. Posisi kepala
ditengadahkan (ekstensi), bila perlu lakukan pemasangan pipa ETT.
Breathing = pernapasan
Kaji keadekuatan ventilasi dengan observasi usaha ventilasi melalui analisa gas
darah atau spirometri. Siapkan untuk ventilasi mekanik jika terjadi depresi
pernpasan. Tekanan ekspirasi positif diberikan pada jalan napas, masker kantong
dapat membantu menjaga alveoli tetap mengembang. Berikan oksigen pada klien
yang mengalami depresi pernapasan, tidak sadar dan syock. Jaga agar pernapasan
tetap dapat berlangsung dengan baik.
Circulation
Jika ada gangguan sirkulasi segera tangani kemungkinan syok yang tepat, dengan
memasang IV line, mungkin ini berhubungan dengan kerja kardio depresan dari
obat yang ditelan, pengumpulan aliran vena di ekstremitas bawah, atau penurunan
sirkulasi volume darah, sampai dengan meningkatnya permeabilitas kapiler.
Kaji TTV, kardiovaskuler dengan mengukur nadi, tekanan darah, tekanan vena
sentral dan suhu. Stabilkan fungsi kardioaskuler dan pantau EKG
Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran dan GCS, ukuran
dan reaksi pupil serta tanda-tanda vital. Penurunan kesadaran dapat terjadi pada
klien keracunan alcohol dan obat-obatan. Penurunan kesadaran dapat juga
Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari
pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan
berikan oksigen 100% dan jika perlu beri ventilator.
b. Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu
dengan memposisikan kepala pasien ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang
terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades
atau NaCL 0,9% perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang.
c.
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan
aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air kemudian
tutup rapat, cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun minimal
10 menit selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
d. Dekontaminasi gastrointestinal
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan
pemberian sirup ipecac 15 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak
berhasil.
b. Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai
diusus halus dan besar.
c.
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,
atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasilnya paling efektif bila kumbah
lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi
kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung
sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk
mencegah aspirasi pnemonia.
3. Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit
jumlahnya. Salah satu antidotum yang bisa digunakan adalah Atropin sulfat (SA) yang
bekerja menghambat efek akumulasi AKH pada tempat penumpukannya.
Atropin (antagonis muskarinik)
Meringankan gejala gangguan pada gastrointestinal yang ditandai dengan spasme otot
polos (antispasmodic); menghambat peristaltik usus dan lambung.
Farmakologi
Aksi onset IV : cepat
T eliminasi : 2-3 jam
Absorbsi
: lengkap
Distribusi
: terdistribusi secara luas dalam badan, menembus plasenta, masuk dalam air
susu, menembus sawar darah otak.
Metabolisme : hepatic
Ekskresi
: urin
Terapi
: injeksi intra vena 2 mg, diulangi tiap 10-15 menit sampai atropinisasi penuh
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Nur. 2008. Buku Panduan Pelatihan BC & TLS (Basic Cardiac & Trauma Life
Support). Jakarta : EMS 119
Blantan, Kamanti Indriyani. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Keracunan Insektisida. (Online : http://id.scribd.com/doc/94941402/ASKEP-IntoksikasiBaygon) Diakses tanggal 30 Mei 2014
Isma.
2012.
Asuhan
Keperawatan
Pada
Kasus
Intoksikasi.
(Online
http://keperawatan-wn.blogspot.com/2012/10/asuhan-keperawatan-pada-kasus.html) Diakses
tanggal 30 Mei 2014
Sahid, Abdul. 2013. LP dan Askep Klien Keracunan IFO Baygon. (Online :
http://abuzzahra1980.blogspot.com/2013/07/lp-dan-askep-klien-keracunan-ifo-baygon.html)
Diakses tanggal 30 Mei 2014
Zasika,
Hartas.
2011.
Keeacunan
Baygon.
(Online