Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TUTORIAL

BLOK XII
Perawatan pada Gigi Anak
Modul 5
Tutor
drg. Susi, MKM

Oleh :
Kelompok 6
Ketua

: Silmi Gusdayuni

(1210342023)

Sekretaris 1

: Annesha Metly

(1210342003)

Sekretaris 2

: Audia Tria Putri

(1210342031)

Anggota

: Hilmiy Mefida Darfi

(1210341009)

Cytha Nilam Chairani

(1210342018)

Roni Fitarsa

(1210342022)

Nurul Ikhsan

(1210342040)

Athika Khairunnisa

(1210343003)

Asti Finda An-nissa

(1210343015)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS ANDALAS
2013/2014

Skenario 5
KASUSNYA KOMPLIKASI
Bandel (7 thn) terjatuh pada saat bermain sepeda bersama teman-temannya. Gigi depannya
terbentur aspal sampai copot dan berdarah. Orang tua Bandel dengan panik segera membawa Bandel
ke Rumah Sakit terdekat agar dokter gigi langsung melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan
diketahui bahwa gigi 11 avulsi dan 21 mengalami fraktur setengah mahkota. Dokter gigi meminta
keluarga untuk mencari gigi yang hilang untuk replantasi dan pada gigi 21 dilakukan perawatan
apeksogenesis.
Seminggu kemudian Bandel bersama orang tuanya datang untuk kotrol dan orang tua Bandel
meminta dokter gigi untuk melakukan pemeriksaaan secara menyeluruh pada gigi Bandel karena
mereka khawatir masih banyak gigi anaknya yang harus menerima perawatan dari dokter gigi. Dari
riwayat gigi terdahulu, Bandel mengalami rampan karies dan serng minum susu dari botol sebelum
tidur. Ditambah lagi kebiasaan Bandel yang suka makan makanan yang manis dan jarang sikat gigi.
Dokter gigi memaklumi dan melakukan pemeriksaan pada seluruh gigi di rongga mulut Bandel.
Orangtua Bandel setuju meskipun kurang mengerti perbedaan semua perawatan tersebut.
Bagaimanakah saudara menjelaskan ini?
TERMINOLOGI
1.Apeksogenesis
Suatu perawatan pulpa gigi vital yang akarnya masih terbuka
2.Replantasi
Penempatan gigi kembali ke dalam socketnya setelah terlepas baik secara traumatik maupun
sengaja
3.Rampan Karies
Jenis karies yang meluas dengan cepatdan mengenai beberapa gigi serta menimbulkan rasa sakit
4.Avulsi
Keluarnya gigi dari socketnya akibat trauma
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa saja klasifikasi traumatik injury pada anak?
2. Apa saja indikasi dan kontraindikasi apeksogenesis?
3. Bagaimanakah indikator keberhasilan dari prosedur apeksogenesis?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya rampan karies?
5. Bagaimana pencegahan dan perawatan dari ramapn karies dan minum susu dari botol?
6. Apakah ada hubungan antara rampan karies, bad habbit dan avulsi gigi?
7. Apa saja faktor-faktor penyebaba terjadinya karies botol?
8. Kenapa gigi bisa avulsi dan apa saja faktor penyebabnya?
9. Bagaimana perawatan pada gigi avulsi, waktu yang tepat untuk replantasi dan apa saja syaratsyaratnya?

ANALISA MASALAH
1. Menurut Elis & Davey, traumatik injury dapat dibagi menjadi 2 :
a.Secara langsung : gigi secara langsung terkena penyebab trauma, contohnya fraktur pada gigi
akibat kecelakaan
b.Secara tidak langsung
Contohnya fraktur akar/ fraktur enamel
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV

:
:
:
:

Kelas V
Kelas VI
Kelas VII
Kelas VIII
Kelas IX

:
:
:
:
:

Fraktur enamel
Fraktur mahkota mengenai dentin
Fraktur mahkota mengenai dentin dan pulpa sudah terbuka
Trauma pada gigi menyebabkan gigi non vital dengan atau
tanpa kehilangan mahkota
Avulsi
Fraktur pada akar
Trauma yang menyebabkan gigi berpindah tempat
Trauma yang menyebabkan kerusakan mahkota sangat banyak
Semua kerusakan gigi sulung akibat trauma gigi anterior

Tindakan yang dapat dilakukan jika terjadi traumatik injury :


- Penenangan emosi si anak
- Pemerikasaan Intraoral
- Menanyakan informasi penting kepada orang tua
- Penyelamatan gigi yang injury
2. Indikasi dan kontraindikasi apeksogenesis
Indikasi :
a. Dapat digunakan untuk gigi yang mahkotanya masih dapat direstorasi
b. Gigi pada masa pertumbuhan dimana foramen apikal belum sempurna
c. Gigi dengan hanya pulpa koronal yang rusak
Kontraindikasi :
a. Gigi avulsi/replantasi
b. Gigi goyah
c. Gigi dengan karies yang tidak dapat diperbaiki lagi
d. Terdapat fraktur pada margin gingiva
e. Terdapat fraktur yang besar yang menyebabkan retensi radikular
3. Indikator keberhasilan prosedur apeksogenesis
Apeksogenesis dikatakan berhasil apabila tidak ada gejala terjadinya penyakit pulpa atau
periapikal dan hasilnya dapat dilihat melalu rontgen foto setelah beberapa bulan tindakan
dilakukan . Ciri dari prosedur apeksogenesis yang gagal antara lain tidak terjadi penutupan di
apikal, terdapat pembengkakan pada sinus dan adanya kontaminasi bakteri.
4. Mekanisme rampan karies
Biasanya rampan karies terjadi pada anak usia dibawah 6 th yang suka meminum susu / minuman
yang manis sebelum tidur. Glukosa yang merupakan jenis fermentable karbohidrat di dalam susu

akan difermentasikan oleh mikroorganisme di rongga mulut. Proses fermentasi akan


menghasilkan asam yang merusak enamel dan menjadi awal mula terjadinya rampan karies
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya rampan karies yakni,
a. Faktor herediter OH buruk
b. Faktor sistemik Diabetes melitus dan penyakit sistemik lain
c. Faktor psikologis
d. Faktor predsposisi Tingginy kadar gula yang dikonsumsi
5. Pencegahan dan perawatan dari ramapn karies dan minum susu dari botol
- Jika rampan karies sudah terjadi maka secara lokal dapat diberikan obat-obatan untuk
diminum dan dilskukan penumpatan sementara dengan Zinc Oxide Eugenol
- Hindari pemberian minuman manis dan meminimalkan pemberian botol/dot susu, gunakan
dot sejarang mungkin dan pilih dot yng bersih
- Perbaiki pola usuh pada anak, contohnya ; membersihkan gigi anak sebelum tidur
6. Bad habbit berhubungan dengan rampan karies dimana bad habbit secara tidak langsung
mempengaruhi kebersihan rongga mulut.Bad habbit tidak ada hubungannya dengan avulsi karena
avulsi biasanya terjadi karena trauma/ penyakit sistemik.
7. Penyebab karies botol
- Konsumsi ASI/susu formuls pada anak dan tidak dibersihkan sebelum tidur air susu
tergenang di rongga mulut gigi anterior rahang bawah ditutupi lidah gigi rahang atas
lebih rentqn terkana karies botol
8. Penyebab gigi avulsi pada anak anak :
- Kecelakaan lalu lintas
- Kecelakaan olahraga
- Penyakit sistemik
- Kerusakan jaringan prenatal
- Perkelahian
9. Replantasi merupakan prosedur perawatan untuk gigi avulsi, keberhasilan replanatasi bergantung
pasa kecepatan gigi diganti ke dallam socketnya.
Setelah gigi avulsi :
- 19-20 menit serat-serat periodontal mulai berkurang
- lebih dari 2 jam gigi di luar rongga mulut yang tidak disimpan di media menjadi non vital
Media yang baik untuk menyimpan sementara gigi yang avulsi :
- Larutan HBBS, larutan ini mengandung fluouride dan dapat menyimpan gigi selama 24 jam
- Susu murni
- Air , gigi tidak boleh disimpan di air lebih dari 15 menit
- Saliva, gii yang lepas diapitkan pada pip dan gusi, prosedur ini tidak diarankan pad anak-anak
karena ada resiko gigi tertelan
Proses replantasi :
- Sebelum gigi direplantasi , periksa terlebih dahulu apakah ada bagian gigi yang fraktur

Jangan mengkuratase atau mensterilkan gigi karena akan menghilangkan serabut periodontal
di akar gigi
Bersihkan debris di akar gigi dengan lembut dengan spon bersih
Ketika akan memasukkan gigi ke dalam socket, hanya boleh memegang mahkota gigi
Lakukan splinting deng soft arch wire dan menggunakan teknik etsa
Splinting dimaksudkan untuk memungkinkan gerakan fisiologis gig sebelum penyembuhan
Fiksasi akan memkan waktu sekitar 7-10 hari untuk kontrol

SKEMA

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang rampan karies, NBC, dan bad habbit
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang traumatik injury
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang avulsi dan replantasi
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang apeksogenesis
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang perawatan gigi anak

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang rampan karies, NBC, dan bad habbit
a. Rampant Caries
o Secara harafiah: The American Heritage; Dictionary of English Dictionary, Rampant:
perkembangan/ pertumbuhan yg tidak terkontrol / tidak terkendali --> secara sederhana
rampant caries: perkembangan karies yg tidak terkontrol.
o Menurut Massler: tipe karies yang muncul secara mendadak, menyebar luas dan memburuk
secara cepat --> melibatkan jar. pulpa dan melibatkan bagian gigi yg biasanya dianggap imun
karies.
Rampan karies dapat ditemui pada :
- gigi sulung bayi yang selalu mengidap dot berisi susu formula
- gigi sulung anak-anak yang mengkonsumsi susu/miinuman manis sebelum tidur
- gigi permanen remaja sering makan kudapan kariogenik dan minuman manis diantara
waktu makan
- dijumpai pad arongga mulut denga produksi saliva berkurang secara drastis
- karies pada orang dewasa, biasanya pada bukal dan lingual gigi
Etiologi
Instrinsik
gigi dalam proses amelogenesis kelainan struktur gigi
Ekstrinsik
produksi, aliran, viskositas saliva rendah. Penyebab
emosional/psikologis, keadaan imunitas dan radiasi
konsumsi fermentable KH jumlah dalm jumlah banyak
susunan gigi pada lengkung rahang
alat2 dental & restorasi yg menyebabkan retensi makanan

nya

karena

gangguan

Mekanisme
Rampan karies terjadi karena perpaduan dari 4 faktor yakni gigi, saliva, mikroorganisme, dan
waktu. Prosesnya kurang lebih sama dengan karies biasa namun waktu terjadinya lebih cepat
karena enamel ggigi sulung lebih tipis dibanding gigi permanen.
Susu formula/minuman manis/makan kariogenik(sukrosa dan glukosa) menempel pada gigi
fermentasi oleh mikroorganisme rongga mulut melalui proses glikolisis terbentuk asam
hasil fermentasi larutnya enamel (demineralisasi) karies
b. Nursing Bottle Caries
Early Childhood Caries yg melibatkan hampir seluruh gigi dgn pola tertentu, berhubungan
dgn pemberian susu / cairan yg mengandung gula dengan frekuensi tinggi secara tidak tepat.
Etiologi --> pola pemberian susu botol yg tidak tepat
o Saat tidur siang/malam --> anak ditidurkan + minum susu/ minuman yg mengandung gula
dalam botol --> tertidur --> cairan menggenangi gigi anak (gigi anterior bawah terlindung
lidah)

o Cairan yg mengandung KH --> media yg sangat baik u/ MO acidogenik.


o Aliran saliva saat tidur --> pembersihan cairan diperlambat

Pola
Karies pada gigi anterior RA --> gigi M1 RA dan M1 RB (gigi I dan M1 RA umumnya
terkena paling parah). Pada kasus tertentu melibatkan C RB dan M2. Gigi I RB pada
umumnya tidak terkena / hanya terkena ringan karena terlindungi lidah dan bibir bawah.

Tahap2 Nursing Bottle Caries


- Tahap awal: warna opak yg merupakan proses demineralisasi pada daerah servikal
- Tahap karies: lesi meluas ke dentin, mengakibatkan perubahan warna permukaan labial,
lingual, dan proksimal disertai rasa ngilu.
- Tahap lesi dalam
- Tahap karies terhenti (arrested Caries)
Pencegahan Rampant Caries dan Nursing Bottle Caries
- Membiasakan anak minum susu dari gelas. Anak2 lepas dari penggunaan botol susu pd
usia 12-14 bulan.
- Membersihkan gigi dengan kapas yang dibasahi air hangat pada bagian gigi dan mulut
yang terkena susu (pada bayi)
- Mendidik dan membiasakan anak menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur
- Aplikasi fluor (pasta gigi, aplikasi oleh drg)
- Pemeriksaan berkala ke drg setiap 6 bulan sekali sejak umur 1 tahun
c. Bad Habbit
1. Digit Sucking
Definisi: Digit-sucking habit merupakan kebiasaan menghisap jari (satu atau beberapa
jari) dengan mulut yang umum terjadi pada anak-anak karena memberikan efek
ketenangan (Shelov dan Hannemann, 1997).
Etiologi: Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kebiasaan ini seperti jenis kelamin
bayi, tipe pemberian makanan (ASI atau mengedot botol susu), lamanya pemberian
makanan, faktor sosial-ekonomi, terpisah oleh orangtua, kesehatan umum dan psikologis.
2. Tongue Thrusting
Definisi: Tongue thrusting adalah suatu kondisi lidah berkontak dengan gigi saat proses
menelan. Tulley (1969) mengatakan bahwa keadaan tongue thrusting adalah gerakan maju
dari ujung lidah di antara gigi untuk memenuhi bibir bawah selama menelan dan berbicara.
Tongue thrusting adalah pola oral habits terkait dengan bertahannya pola menelan yang
salah selama masa kanak-kanak dan remaja, sehingga menghasilkan gigitan terbuka dan
penonjolan segmen gigi anterior.
Etiologi: Etiologi tongue thrust dapat dibagi ke dalam 4 jenis yaitu (1) genetik atau
herediter; (2) learned behavior (habit atau kebiasaan); (3) maturasional; (4) fungsional.
Tongue thrust dapat dibagi menjadi 4 jenis :

, (1) tipe fisiologis, meliputi bentuk normal pola menelan tongue thrust anak-anak; (2) tipe
habitual, tongue thrust merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan bahkan setelah
dilakukan koreksi maloklusi; (3) Fungsional, mekanisme tongue thrust merupakan
perilaku adaptif untuk membentuk oral seal; (4) Anatomis, individu dengan lidah besar
atau terjadi perbesaran (enalrgement) dapat memiliki postur lidah ke depan.
3. Mouth Breathing
Definisi: Chopra (1951) mendefinisikan mouth breathing sebagai kebiasaan bernapas
melalui mulut daripada hidung. Chacker (1961) mendefinisikan mouth breathing sebagai
perpanjangan atau kelanjutan terpaparnya jaringan mulut terhadap efek pengeringan dari
udara inspirasi. Sassouni (1971) mendefinisikannya sebagai kebiasaan bernapas melalui
mulut daripada hidung (Singh, 2007).
Etiologi: Mouth breathing dapat disebabkan secara fisiologis maupun kondisi anatomis,
dapat juga bersifat transisi ketika disebabkan karena obstruksi nasal. True mouth breathing
terjadi ketika kebiasaan tetap berlanjut ketika obstruksi telah dihilangkan (Kohli, 2010).
Beberapa tipe mouth breathing dalam tiga kategori menurut Finn (1962):
a. Tipe Obstruktif. Tipe ini adalah anak yang bernafas melalui mulut karena adanya
hambatan, seperti (a) rinitis alergi, (b) polip hidung, (c) deviasi atau penyimpangan
septum nasal, dan (d) pembesaran adenoid.
b. Tipe Habitual. Tipe habitual adalah anak yang terus menerus bernafas melalui mulutnya
karena kebiasaan, walupun obstruksi sudah dihilangkan.
c. Tipe Anatomis. Tipe anatomi merupakan anak yang mempunyai bibir atas yang pendek
atau lips incompetent sehingga tidak memungkinkan menutup bibir dengan sempurna
tanpa adanya tekanan
4. Bruxism
Definisi: Bruxism adalah istilah yang digunakan untuk mengindikasikan kontak nonfungsional gigi yang meliputi clenching, grinding, dan tapping dari gigi dapat terjadi
selama siang hari atau malam hari dan berlangsung secara sadar dan tidak sadar. terjadi
dalam kondisi sadar dengan adanya ketidaknormalan fungsi pada otak (Singh, 2007 ;
Rosenthal, 2007; Herrera dkk., 2006). Menurut Rao (2008) bruxism terjadi sekitar 15%
pada anak-anak dan orang dewasa. Bruxism dapat menyebabkan beberapa komplikasi
dental, oral, maupun fasial. Kondisi ini sering merupakan sumber sakit kepala, kerusakan
gigi yang membutuhkan perawatan restoratif, penyebab kegagalan implan, dan bahkan
rasa sakit pada leher dan TMJ (Rosenthal, 2007; Herrera dkk., 2006).
Etiologi: Nadler (1957) membagi etiologi bruxism menjadi empat yaitu (1) faktor lokal,
suatu gangguan oklusal ringan, usaha yang dilakukan pasien tanpa sadar untuk
memperbanyak jumlah gigi yang berkontak atau reaksi atas adanya iritasi lokal, (2) faktor
sistemik, gangguan gastrointestinal, defisiensi nutrisi dan alergi atau gangguan endokrin
telah dilaporkan menjadi salah satu faktor penyebab, (3) faktor psikologis, tekanan emosi
yang tidak dapat di tunjukan oleh pasien seperti rasa takut, marah, dan penolakan, perasaan
tersebut disembunyikan dan secara tidak sepenuhnya sadar diekspresikan melalui berbagai
cara seperti menggeretakkan gigi, (4) faktor pekerjaan, seperti para pembuat arloji, orangorang yang suka mengunyah permen karet, tembakau atau benda-benda lain seperti pensil
atau tusuk gigi. (Singh, 2007; Ghom and Mhaske, 2009; Rao 2008).
5. Lip Sucking
Definisi: Lip sucking adalah kebiasaan menahan bibir bawah dibelakang gigi anterior atas
dan menekan bibir bagian dalam oleh gigi anterior bawah dengan terus-menerus.
Fukumitsu dkk., 2003. Lip sucking merupakan pengganti kebiasaan menghisap jari
(Gartika, 2008). Kebiasaan ini juga dapat terjadi dalam bentuk lip wetting (Karacay dkk.,

2006). Etiologi: Beberapa hal yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk menggigit bibir
adalah kemunduran mental, psikosis, gangguan karakter, sindrom genetik, dan neuropati
sensori congenital (Karacay dkk., 2006). Lip sucking dalam beberapa kasus merupakan
suatu aktivitas kompensasi yang timbul karena overjet berlebihan sehingga menimbulkan
kesulitan menutup bibir pada saat deglutisi (Singh, 2003).8
6. Cheek Biting
Definisi: Cheek biting adalah kebiasaan menggigit bagian dalam pipi secara spontan.
Pasien yang menderita cheek biting biasanya tidak dapat mengendalikan diri setiap kali
mulai menggigit pipi. Kebanyakan penderita tidak menyadari bahwa kebiasaan ini dapat
meyebabkan kerusakan serius pada mukosa pipi bagian dalam sampai terjadi perlukaan
yang menimbulkan nyeri yang sangat mengganggu (Khan, 2010). Dalam sebuah survei
yang melibatkan 23.616 orang dewasa kulit putih Amerika dari Minnesota, jumlah kasus
keratosis akibat cheek biting adalah 1,2 kasus per 1000 individu. (Flaitz,2009). Etiologi:
Beberapa penyebab cheek biting menurut Anonim (2011), yaitu: (a) gigi yang tajam atau
runcing, (b) erupsi gigi bungsu, (c) iatrogenic, dan (d) penyebab lain seperti stress
(kecemasan), efek samping dari teeth grinding, kelainan TMJ, kelainan penutupan rahang,
dan disfungsi otot.
7. Masochitic Habit
Definisi: Masochitic habit atau sering juga disebut self-injurious behaviour adalah
kebiasaan yang menyebabkan penderita akan memperoleh kesenangan dari rasa sakit yang
dialaminya. Hal ini mungkin menyenangkan bagi penderita, namun dapat dirasakan
sebagai rasa sakit bagi orang lain (Singh, 2007). Masoschitic habit adalah semua kebiasaan
yang dapat membahayakan fisik seseorang serta dilakukan dengan sengaja dan hanya
melibatkan dirinya sendiri. Masoscitic habit yang memiliki hubungan erat dengan
perkembangan dan pertumbuhan oklusi adalah kebiasaan menggigit kuku (nail biting).
Etiologi: Kebiasaan ini lebih sering dilakukan dalam keadaan sadar. Masoscitic habit
sering dilakukan lebih dari satu kali (multipel). Hal yang mendorong pelaku masoschitic
habit sangatlah tidak masuk akal dan terkadang aneh, perilaku ini terkadang sangat
berbahaya dan harus segera membutuhkan pertolongan (Simeon dan Favazza, 2001).
8. Postural Habit
Definisi: Postural habit adalah kebiasaan yang dilakukan secara tidak sengaja dan bersifat
konstan (Yamaguchi dan Sueishi, 2003). Kebiasaan seperti chin propping dan menggigitgigit pensil dapat menimbulkan temporo-mandibular dysfunction (TMD). Kebiasaan
tersebut mengakibatkan beban pengunyahan pada gigi yang terlalu besar, hiperaktivitas
otot, ketegangan otot-otot pendukung sendi temporomandibula, pengecilan otot rahang,
dan rasa sakit di sekitar rahang
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang traumatik injury
Klasifikasi fraktur menurut Ellis (1961) terdiri dari enam kelompok dasar:
a. Fraktur email.
Fraktur mahkota sederhana, tanpa mengenai dentin atau hanya sedikit mengenai dentin.
b. Fraktur dentin tanpa terbukanya pulpa.
Fraktur mahkota yang mengenai cukup banyak dentin, tapi tanpa mengenai pulpa.
c. Fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa.
Fraktur mahkota yang mengenai dentin dan menyebabkan pulpa terbuka.
d. Fraktur akar.
e. Luksasi gigi.
f. Intrusi gigi

Klasifikasi menurut Ellis dan Davey


Ellis dan Davey (1970) menyusun klasifikasi trauma pada gigi anterior menurut banyaknya
struktur gigi yang terlibat, yaitu :
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin tetapi belum
melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan terbukanya
pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau tanpa
kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi.
Kelas 8 : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi yang menyebabkan fraktur
mahkota yang besar tetapi gigi tetap pada tempatnya dan akar tidak mengalami
perubahan.
Kelas 9: kerusakan pada gigi sulung akibat trauma pada gigi depan.
Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO) dan modifikasi oleh Andreasen.
- Fraktur email
Meliputi hanya email, fraktur tidak menyeluruh atau retak pada email.
- Fraktur mahkota yang melibatkan email dan dentin tanpa terbukanya pulpa.
Fraktur sederhana yang mengenai email dan dentin, pulpa tidak terbuka.
- Fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa.
- Fraktur yang rumit yang mengenai email dan dentin dengan disertai pulpa yang terbuka.
- Fraktur akar.
- Fraktur akar yang hanya mengenai sementum, dentin, dan pulpa. Juga disebut fraktur akar
horizontal.
- Fraktur mahkota-akar.
- Fraktur gigi yang mengenai email, dentin, dan sementum akar. Bisa disertai atau tidak dengan
terbukanya pulpa.
- Luksasi.
- Intrusi atau ekstrusi
- Avulsi.
- Injuri lain, seperti laserasi jaringan lunak.
Klasifikasi ini dimodifikasi oleh Andreasen (1981)
- Fraktur mahkota-akar yang tidak rumit tanpa terbukanya pulpa.
-

Fraktur mahkota-akar yang rumit dengan terbukanya pulpa.

Konkusi (concussion), injuri pada struktur pendukung gigi yang bereaksi terhadap perkusi.

Subluksasi, suatu injuri pada struktur pendukung gigi dengan kegoyahan abnormal tetapi
tanpa pemindahan gigi.

Luksasi lateral, pemindahan gigi pada arah lain daripada ke aksial, diikuti oleh fraktur soket
alveolar

Konkusi, subluksasi, lateral luksasi

Klasifikasi fraktur mahkota gigi menurut World Health Organization(WHO) dengan nomor kode
yang sesuai dengan klasifikasi Penyakit Internasional (International Classification of
Diseases) tahun 1995, sebagai berikut:1
- Infraksi enamel. Sebuah fraktur tidak utuh atau retaknya enamel tanpa kehilangan substansi
giginya.
- Fraktur enamel. Sebuah fraktur dengan hilangnya substansi gigi yang mengenai enamel.
- Fraktur enamel-dentin. Sebuah fraktur dengan hilangnya substansi gigi yang melibatkan
enamel dan dentin tanpa terbukanya pulpa.
- Fraktur mahkota yang mengenai enamel dan dentin, dengan terbukanya pulpa.
- Fraktur akar. Sebuah fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa.
- Fraktur mahkota-akar. Sebuah fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan sementum dengan
atau tanpa terbukanya pulpa.
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization(WHO) dalam Application of
International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology diterapkan baik gigi sulung
dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak
rongga mulut yaitu sebagai berikut :
A. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa.
1. Retak mahkota (enamel infraction) (N 502.50), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna
pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.
2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (N 502.50), yaitu suatu
fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture) (N 502.51), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture) (N 502.52), yaitu fraktur
yang mengenai email, dentin, dan pulpa.
B. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar.
1. Fraktur mahkota-akar , yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin, dan sementum.
Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar yang
kompleks (complicated crown-root fracture) dan fraktur mahkota-akar yang tidak
melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks
(uncomplicated crown-root fracture
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa tanpa melibatkan
lapisan email.
3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket
labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan atau
tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula atau maksila
yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.
C. Kerusakan pada jaringan periodontal.

1. Concusion , yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi
lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan
posisi gigi.
2. Subluxation ,yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma pada
jaringan pendukung gigi.
3. Luksasi ekstrusi (partial displacement) (N 503.20), yaitu pelepasan sebagian gigi ke luar
dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang.
4. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial,
palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar
gigi tersebut. Trauma gigi yang menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota
bergerak ke arah palatal.
5. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan
kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat
lebih pendek.
6. Avulsi (hilang atau ekstrartikulasi) (N 503.22) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar dari
soket.
D. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut
1. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda
tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya jaringan
epitel dan subepitel.
2. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan
menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya
daerah mukosa.
3. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau
goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.
Klasifikasi menurut Andreasen.
Andreasen juga mengklasifikasikan injuri pada tulang pendukung dan injuri pada mukosa mulut.
Secara garis besar fraktur gigi digolongkan menurut penyebabnya sebagai berikut:
a)Fraktur Spontan
Merupakan jenis fraktur yang diakibatkan oleh adanya tekanan pengunyahan.Pada hal ini
elemen-elemen enamel gigi mengalami atrisi dan aus karena adanya gesekan pada saat
mengunyah. Keadaan ini bisa menyebabkan gigi mengalami fraktur. Fraktur spontan lebih
sering terjadi pada gigi molar satu bawah.
b)Fraktur Traumatik
Fraktur traumatik terjadi akibat adanya benturan keras yang bersifat tiba-tiba. Fraktur
traumatik biasanya tidak terjadi pada bayi dibawah umur 1 tahun karena pengaruh aktivitas
yang dilakukannya. Penyebab fraktur yang sering terjadi adalah benturan akibat kecelakaan
atau karena dipukul. Berdasarkan bagian yang mengalami fraktur, fraktur traumatrik
dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

- Fraktur Mahkota
Fraktur mahkota merupakan jenis fraktur yang terjadi pada bagian enamel hingga ke bagian
tulang gigi dengan atau tanpa patahnya sebagian elemen. Dalam hal ini, yang termasuk dalam
jenis fraktur ini adalah jenis fraktur Ellis 1 dan Ellis 2.
Fraktur mahkota juga dapat dibagi menjadi:

a. Infraksi Mahkota: Pada jenis ini, pada beberapa kasus fraktur yang terjadi tidak membentuk
suatu patahan, namun hanya berupa garis retak saja yaitu sekitar 10-13%. Retak biasa
mencapai dentin hingga pulpa.
b. Fraktur Mahkota Tanpa Komplikasi: Merupakan fraktur yang terjadi pada sebagian email,
dan dentin. Fraktur ini biasanya terjadi pada gigi anterior dan patah pada bagian sudut
mesial maupun sudut distal. Biasanya jenis fraktur ini tidak menimbulkan rasa sakit,
namun apabila fraktur terjadi hingga mencapai dentin, maka rasa sakit akan terasa
terutama pada saat makan maupun karena perubahan suhu. Rasa sakit pada saat
mengunyah juga bisa terjadi karena jaringan periodontal juga mengalami kerusakan.
c. Fraktur Mahkota dengan Komplikasi: Pada jenis fraktur ini, bagian besar mahkota dan
tulang gigi patah sehingga pulpa terbuka dan mengalami pendarahan kapiler. Rasa sakit
biasanya timbul pada saat mengunyah dan jika terjadi perubahan suhu. Sekitar 4%
penderita fraktur gigi mengalami fraktur jenis ini.
- Fraktur Akar
Fraktur akar terjadi pada daerah sekitar akar gigi. Diagnosis fraktur dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan foto rontgen untuk mnegetahui kondisi gigi yang mengalami fraktur.
Klasifikasi menurut Heithersay dan Morile.5,2
Heithersay dan Morile (1982) menganjurkan suatu klasifikasi fraktur subgingival berdasarkan
pada tinggi fraktur gigi dalam hubungannya terhadap berbagai bidang horizontal periodonsium,
sebagai berikut:
Kelas 1 : Dengan garis fraktur tidak meluas di bawah tinggi ginggiva cekat.
Kelas 2 : Dengan garis fraktur meluas di bawah tinggi gingiva cekat, tetapi tidak di bawah tinggi
krista alveolar.
Kelas 3 : Dengan garis fraktur meluas di bawah tinggi krista alveolar.
Kelas 4 : Dengan garis frakturnya terdapat di dalam sepertiga koronal akar, di bawah tinggi krista
alveolar.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang avulsi dan replantasi
Penyebab Gigi Avulsi
Avulsi pada gigi permanen biasanya terjadi pada anak lelaki usia 7-10 tahun. Penyebab yang
khas biasanya karena kecelakaan bersepeda, bermain skateboard dan olahraga-olahraga lain.
Pada usia 7-10 tahun, akar pada gigi permanen belum sepenuhnya matur, struktur jaringan
periodontal masih longgar dan hubungan akar dengan tulang alveolar masih lemah, serta tulang
alveolar relatif lunak. Berbeda dengan orang dewasa yang memiliki akar yang sudah matur,
jaringan periodontal yang kuat, serta tulang alveolar yang kuat sehingga lebih cenderung
mengalami fraktur gigi daripada avulse (King dan Henretig, 2008).
Gutmann dan Gutmann (1995) memaparkan penyebab gigi avulsi adalah: (1) Kecelakaan lalu
lintas; (2) Perkelahian; (3) Jatuh; (4) Kecelakaan olahraga; (5) Kerusakan jaringan periodontal;
dan (6) Penyakit sistemik, seperti diabetes melitus
Perawatan Gawat Darurat Gigi Avulsi
Perawatan yang disarankan untuk gigizxc avulsi menurut Weine (2004) dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu perawatan darurat pada daerah yang terkena trauma, perawat darurat di tempat
praktek dokter gigi, dan penyelesaian perawatan endodontic.

a. Tindakan darurat di tempat kejadian


Kerusakan yang terjadi pada attachment apparatus akibat trauma tidak dapat dicegah, tetapi dapat
diminimalisasi. Tindakan utama yang dilakukan dimaksudkan untuk meminimalkan nekrosis
yang terjadi di ligamentum periodontal, sementara gigi lepas dari rongga mulut.
Gigi yang mengalami avulsi harus cepat dikembalikan pada soketnya atau sering disebut dengan
istilah replantasi. Faktor yang paling penting untuk memastikan keberhasilan dari replantasi
adalah kecepatan gigi tersebut dikembalikan ke dalam soketnya. Sangat penting untuk mencegah
agar gigi yang avulsi tidak kering. Kondisi gigi yang kering akan menyebabkan hilangnya
metabolisme fisiologis normal dan morfologi sel-sel ligamentum periodontal. Oleh karena itu
waktu yang diperlukan untuk mengembalikan gigi pada soketnya tidak boleh lebih dari 15-20
menit. Apabila dalam jangka waktu tersebut gigi tidak dapat dikembalikan pada soketnya, maka
gigi harus cepat disimpan dalam media yang sesuai sampai pasien bisa ke klinik gigi untuk
replantasi. (Trope, 2002).
Orang tua, guru, atau orang dewasa lain yang bertanggungjawab sebaiknya secepat mungkin
menempatkan kembali gigi yang mengalami avulsi ke soketnya. Pengembalian ini sangat
membantu proses penyembuhan pasien. Bahkan bila gigi tersebut sudah terkontaminasi, karena
tercampur lumpur atau terkena kotoran hewan, cobalah meminta orang dewasa untuk
mengembalikan gigi tersebut ke soket, tanpa disterilisasi terlebih dahulu, tidak boleh dibersihkan
dengan sabun atau detergen. Gigi harus dibersihkan di bawah air yang mengalir sehingga kotoran
hilang, tetapi tidak boleh ada jaringan gigi yang hilang (Weine, 2004).
Setelah dibersihkan, jika dibutuhkan, gigi dengan lembut dan cepat dikembalikan ke dalam
soketnya dengan memegang hanya pada bagian mahkotanya saja. Dokter gigi harus segera
dihubungi dan pasien harus datang ke tempat praktek dokter gigi secepat mungkin. Handuk kecil
atau sesuatu yang lembut bisa diletakkan pada bagian oklusal atau incisal gigi yang telah di
replantasi dan ditahan supaya gigi tetap pada soketnya selama perjalanan menuju tempat praktek
dokter gigi (Weine, 2004). Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan replantasi, sebaiknya
gigi diletakkan pada suatu media untuk menyimpan gigi atau transport medium dan di bawa ke
tempat praktek dokter gigi. Media yang bisa digunakan adalah Hanks Balanced Salt
Solution(HBSS), Via span, saliva, susu, dan air.
HBSS merupakan media yang paling sering digunakan. 85,3% gigi yang avulsi berhasil
dilakukan replantasi dengan menyimpan gigi pada media tersebut. HBSS terdiri dari sodium
klorid, glukosa, potassium klorida, sodium bikarbonat, sodium fosfat, kalsium klorid, magnesium
klorid, dan magnesium sulfat. HBSS mampu menjaga dan mempertahankan sel-sel jaringan
perodiontal yang menempel pada gigi. Via span digunakan karena mampu menjaga vitalitas
fibroblas. Saliva digunakan sebagai media, sebab saliva merupakan cairan yang kerap berkontak
dengan gigi dan bagian dari rongga mulut. Gigi yang avulsi dapat diletakan di dalam rongga
mulut atau di dasar lidah. Tetapi teknik ini sebaiknya digunakan pada orang dewasa atau remaja,
sebab jika dilakukan pada anak-anak dikhawatirkan gigi tersebut akan tertelan. Susu terdiri dari
berbagai macam antigen yang dapat melawan reaksi negatif . Air adalah media yang dapat
digunakan kapan pun dan di mana pun. Air mampu menurunkan kecepatan kematian jaringan
periodontal.
b. Tindakan yang dilakukan di klinik gigi
Emergency visit

Tujuan dari emergency visit (tindakan darurat) adalah untuk mereplantasi gigi dengan
kerusakan sel yang seminimal mungkin karena akan menyebabkan inflamasi dan
memaksimalkan jumlah sel ligamen periodontal yang memiliki potensi untuk meregenerasi
dan memperbaiki kerusakan pada permukaan akar (Trope, 2002).
Diagnosis and Treatment Planning
Pemeriksaan gigi yang avulsi
Pemeriksaan Soket dan Tulang Alveolar
Pemeriksaan soket dilakukan untuk meyakinkan bahwa kondisinya masih bagus dan
memungkinkan untuk dilakukan replantasi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menekan
(palpasi) pada permukaan fasial dan palatal dari soket. Selanjutnya, soket dibersihkan dengan
larutan salin dan ketika gumpalan darah dan debris yang berada di dalamnya sudah bersih,
periksa dinding soket apakah terjadi abses atau kolaps. Penting juga dilakukan pemeriksaan
tulang alveolar untuk mengetahui apakah terjadi fraktur atau tidak (Trope, 2002). Dianjurkan
pula untuk melakukan pemeriksaan radiografis pada soket dan daerah sekitarnya termasuk
jaringan lunak. Three vertical angulation diperlukan untuk mendiagnosis fraktur horizontal
pada akar gigi (Trope, 2002).
Tahap kedua adalah perawatan gawat darurat saat pasien sudah di tempat praktek dokter gigi.
Pada tahap ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
Ketika pasien sampai di tempat praktek, gigi diletakkan di gelas yang berisi larutan saline
(sedikit garam dimasukkan pada air akan menghasilkan salinitas sekitar 0,7%). Seperti
prosedur pada umumnya, perlu dilakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat kesehatan
psien, periksa area gigi dan lakukan rontgen gigi secepat mungkin. Apabila gigi sudah
dikembalikan ke soketnya, dan tempatnya sudah sesuai, nyaman, maka gigi tersebut tinggal di
splinting saja (Weine, 2004).
Apabila gigi belum direplantasi, dokter gigi tidak boleh mengkuretase gigi atau mensterilisasi
bagian akar atau soket gigi. Gigi dipegang sepanjang waktu pada bagian mahkotanya saja
dengan sponge yang telah diberi saline. Buang dengan lembut debris pada permukaan akar
dengan sponge basah. Irigasi soket dengan saline dan jangan membuat akses untuk kavitas,
jangan memotong bagian akar serta jangan sampai terjadi apikal penestrasi (Weine, 2004).
Secepat mungkin, gigi avulsi direplantasi pada soket dengan sponge. Cek gigi tesebut dengan
rontgen. Lakukan splinting dengan soft arch wire dan dengan etsa asam. Pasien diberi
informasi untuk mengkonsumsi makanan lunak dahulu (tidak boleh makan makanan seperti
apel, cangkang udang/kepiting, sandwich tertentu). Makanan yang dianjurkan seperti ice
cream, ice milk, hamburger yang lunak (Weine, 2004). Teknik splinting memungkinkan
gerakan fisologis gigi selama selama penyembuhan dan akan mengurangi insidensi ankylosis.
Teknik splinting yang direkomendasikan adalah fiksasi semi-rigid selama 7-10 hari (Trope
2002)

Gigi yang mengalami avulsi perlu dilakukan perawatan endodontik. Penyelesaian perawatan
endodontic tersebut meliputi:
- Satu minggu setelah replantasi, siapkan akses kavitas, lakukan saluran akar debridement
dan preparasi berdasarkan panjang akar dari foto rontgen yang telah dilakukan sebelumnya,
lalu tumpat dengan tumpatan sementara seperti ZOE. Pada gigi dengan apikal yang belum
tertutup sempurna, maka tidak dilakukan ekstirpasi karena pulpa tersebut akan mengalami
revitalisasi untuk melanjutkan perkembangan apikal. Bila pulpa tersebut kemudian menjadi
nekrosis, maka canal debridement dan prosedur apeksifikasi dapat dilakukan. Untuk
mencegah ankilosis, ambil splin pada akhir perawatan.
- Dua minggu setelah replantasi, tempatkan pasta kalsium hidroksida pada saluran akar
untuk mencegah dan mengurangi eksternal resorpsi. Bila pasta kalsium hidroksida
ditempatkan terlalu cepat, sebelum ligamen periodontal mengalami regenerasi, hal ini dapat
meningkatkan resorpsi.
Setelah ligamen periodontal dan apek terlihat terbentuk kembali pada pemeriksaan radiograf,
di mana biasanya memakan waktu 3-6 bulan, buka kembali gigi tersebut. Bersihkan kembali
dinding saluran akar dengan sedikit preparasi dan isi dengan gutta-percha dan sealer. Inisial
kontrol pada bulan pertama, kemudian dilanjutkan setiap tiga bulan. Eksternal resorpsi
biasanya
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang apeksogenesis
APEKSOGENESIS
Apeksogenesis merupakan salah satu perawatan pada gigi permanen muda dengan
mempertahankan pulpa yang vital dan atau menyingkirkan pulpa yang terinflamasi reversibel
dengan bertujuan agar pembentukan akar dan pematangan apeks dapat dilanjutkan. Perawatan
apeksogenesis hampir sama dengan perawatan pulpotomi vital pada gigi sulung, namun
apeksogenesis di indikasikan untuk gigi yang dalam masa pertumbuhan dengan foramen apical
yang belum tertutup sempurna, adanya kerusakan pada pulpa koronal sedangkan pulpa
radicularnya dalam keadaan sehat.
Namun juga terdapat kontraindikasi dalam perawatan apeksogenesis yaitu pada gigi yang
mengalami avulsi dan replantasi atau sangat goyang, pada gigi yang fraktur mahkota dan akar
yang berat sehingga dibutuhkannya pada intraradikuler, gigi dengan fraktur akar yang horizontal
yang berada dekat dengan gingival, serta gigi karies yang tidak dapat ditumpat lagi.

Gambar 1. Apeksogenesis pada gigi permanen muda, terlihat ujung akar yang terbuka ketika
perawatan awal apexogenesis
Ada beberapa tindakan yang termasuk kedalam apeksogenesis, diantaranyaprotective liner,
indirect pulp treatment, direct pulp cap, partial pulpotomy for carious exposure, partial
pulpotomy for traumatic exposures (Cvek pulpotomy).
Pada protective liner, diindikasi pada gigi dengan pulpa normal, ketika karies disingkirkan dan
akan dilakukan pemasangan restorasi, bahan protective liner diletakkan pada daerah terdalam
preparasi untuk meminimalkan injuri pada pulpa, mendukung penyembuhan jaringan, dan/atau
meminimalkan sensitivitas pasca perawatan. Dengan tujuan untuk memelihara kevitalan gigi,
mendukung penyembuhan jaringan, dan memfasilitasi pembentukan dentin tersier.7
Untuk apeksogenesis dengan indirect pulp treatment dapat dilakukan dengan indikasi gigi
permanen dengan diagnosa pulpa normal atau pulpitis tanpa keluhan atau dengan diagnosa
pulpitis reversibel. Penegakan diagnosanya dilakukan dengan pemeriksaan radiografi dan
pemeriksaan klinis dan prognosis gigi dapat sembuh dari gangguan karies. Tujuannya yaitu
restorasi akhir harus dapat menjaga bagian interna gigi termasuk dentin dari kontaminasi
lingkungan oral. Kevitalan gigi harus dipertahankan. Tidak ada gambaran resorpsi interna atau
eksterna atau perubahan patologis lainnya. Gigi dengan akar yang belum sempurna akan
melanjutkan perkembangan akarnya dan apeksogenesis. Sedangkan direct pulp cap diindikasi
pada gigi dengan lesi karies kecil atau terpapar karena tindakan mekanis dengan pulpa yang
normal. Tujuannya agar vitalitas gigi dapat dipertahankan.
Pulpotomi parsial yang disebabkan oleh karies atau trauma, dapat diindikasi pada gigi permanen
muda dengan karies pulpa terbuka dan perdarahan pulpa dapat dikontrol dalam beberapa menit
setelah penyingkiran jaringan pulpa yang terinflamasi. Gigi harus vital dengan diagnosis pulpa
normal atau pulpitis reversibel. Tujuan partial pulpotomy ini agar pulpa yang tertinggal
diharapkan tetap vital setelah pulpotomi parsial. Seharusnya tidak ada tanda klinis yang
merugikan atau keluhan seperti sensitif, sakit, atau pembengkakan. Tidak ada perubahan
radiografis atau perubahan patologis lainnya. Dan proses apeksogenesis tidak akan terganggu.
Kerusakan pada gigi permanen muda lebih banyak disebabkan oleh karies yang luas dan fraktur
akibat traumatik injuri. Pada keadaan ini, jaringan pulpa bagian koronal biasanya telah rusak dan
tidak bisa dipertahankan lagi. Jaringan pulpa bagian koronal yang terinfeksi dan mengalami
inflamasi ireversibel dibersihkan agar vitalitas pulpa radikular dapat dipertahankan, sehingga
dapat terjadi apeksogenesis atau penutupan bagian apeks dan terbentuk jembatan dentin.
Perawatan ini disebut dengan pulpotomi.

BAHAN Ca(OH)2 DALAM PERAWATAN APEKSOGENESIS


Kalsium hidroksida adalah garam dasar putih, berkristal,mudah larut yang terpisah menjadi ion
kalsium dan ion hidroksil dalam larutan dan kandungan alkali yang tinggi (pH 11). Bahan ini
digunakan dalam bentuk Setting dan Nonsetting pada kedokteran gigi. Codman ialah yang
pertama menggunakan kalsium hidroksida karena sifat antimikrobanya dan kemampuannya
merangsang pembentukan jaringan keras.
Terdapat beberapa teori bagaimana kalsium hidroksida merangsang pembentukan jaringan keras.
Termasuk kandungan alkali yang tinggi (pH 11), yangmenghasilkan lingkungan menguntungkan
untuk pengaktifan alkalin fosfatase, suatu enzim yang terlibat dalam mineralisasi.4,6 Ion kalsium
mengurangi permeabilitas bentuk kapiler baru dalam jaringan yang diperbaiki, menurunkan
jumlah cairan intersel dan meningkatkan konsentrasi ion kalsium yang diperoleh dari pasokan
darah di awal mineralisasi. Hal ini dapat memiliki dua efek pada mineralisasi, dapat memberikan
sumber ion kalsium untuk mineralisasi, dan dapat merangsang aktivitas kalsium
pyrophosphatase, yang mengurangi tingkat ion pyrophosphatase penghambat mineralisasi dalam
jaringan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kalsium hidroksida membentuk jembatan dentin ketika
ditempatkan berkontak dengan jaringan pulpa. Kalsium hidroksida harus berkontak dengan
jaringan untuk terjadinya mineralisasi. Permulaannya, zona nekrotik dibentuk berbatasan dengan
bahan, dan tergantung pada pH bahan kalsium hidroksida, jembatan dentin langsung dibentuk
berlawanan dengan zona nekrotik atau zona nekrotik diresorbsi dan diganti dengan jembatan
dentin. Pembatas ini tidak selalu sempurna. Ion kalsium dalam kalsium hidroksida tidak menjadi
tergabung dalam bentuk jaringan keras.4,6
Perawatan kalsium hidroksi juga telah menunjukkan penurunan efek bakteri dihubungkan dengan
lipopolisakarida (LPS). Hal ini dapat menghidrolisis lipid dari bakteri LPS dan dapat
mengeliminasi kemampuan LPS menstimulasi produksi nekrosis tumor faktor alpha pada
monosit darah perifer. Aksi ini menurunkan kemampuan bakteri merusak jaringan. Kemampuan
untuk mencegah penetrasi bakteri ke dalam pulpa mempengaruhi pertahanan pulpa secara
signifikan. Untuk efek antimikroba dari kalsium hidroksida berhubungan dengan kemampuan
bahan membunuh bakteri yang ada dan mencegah bakteri masuk lagi dari rongga mulut ke dalam
pulpa. Sifat antimikroba dari kalsium hidroksida berasal dari beberapa faktor. pH yang tinggi
menghasilkan lingkungan yang tidak baik untuk pertumbuhan bakteri. Ada tiga mekanisme
kalsium hidroksida merangsang lisis bakteri, ion hidroksil menghancurkan phospholipids
sehingga membran sel dihancurkan, adanya kadar alkali yang tinggi merusak ikatan ion sehingga
protein bakteri dirubah, dan ion hidroksil bereaksi dengan DNA bakteri, menghambat replikasi.
Kalsium hidroksida diindikasikan untuk gigi permanen anak-anak yang melibatkan pulpa dengan
apeks akar yang belum terbentuk sempurna. Jika perawatan membutuhkan radiopaqsity, gigi
permanen anterior pada anak dengan apeks terbuka lebar yang mengalami fraktur saat olahraga
atau kecelakaan, atau gigi posterior dengan apeks terbuka yang juga memiliki pembukaan karies
kecil yang asimtomatik, dapat digunakan kalsium hidroksida.
TEKNIK PERAWATAN APEKSOGENESIS DENGAN BAHAN Ca(OH)2
Pulpotomi konvensional pada gigi anterior dengan fraktur mahkota mengenai pulpa lebih dari 24
jam dan dalam keadaan apeks terbuka, dapat digolongkan ke dalam indikasi apeksogenesis.
Sebelum melakukan perawatan apeksogenesis, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan

radiografi untuk memastikan keadaan gigi baik secara fisiologis dan patologis sehingga dapat
dilakukan perawatan.
Untuk gigi yang akan dilakukan perawatan apeksogenesis harus dilakukan anestesi lokal terlebih
dahulu karena keadaan pulpa yang masih vital, lalu lakukan pemasangan isolator karet dan
desinfektan pada area kerja dengan antiseptik. Buat arah masuk ke kamar pulpa dengan bur steril
dengan pendingin air secara terus menerus, dimana semua atap pulpa dibuang tidak boleh ada
dentin yang menggantung ataupun tanduk pulpa yang tertinggal.
Bagian koronal pulpa di ambil dengan ekskavator yang besar, tajam, dan steril atau bisa juga
dengan menggunakan kuret periodontal. Pengangkatan jaringan dilakukan pada jaringan pulpa
yang lunak. Untuk gigi anterior dengan morfologi kamar pulpa yang kecil dan saluran akar yang
tidak jelas, diperlukan suatu bur untuk mengangkat jaringan pulpa bagian mahkota. Dan sepertiga
dari servikal harus diambil, usahakan sebanyak mungkin jaringan yang tertinggal dalam saluran
akar untuk memungkinkan maturasi seluruh pulpa.
Setelah selesai pengangkatan jaringan pulpa, lakukan irigasi secara perlahan dengan air steril
untuk membersihkan sisa dentin yang tertinggal, pendarahan yang terjadi dapat dikendalikan
dengan meletakan kapas basah steril diatas potongan pulpa. Ketika pendarahan berhenti, kamar
pulpa disterilkan.
Sediakan kalsium hidroksida dalam bentuk pasta yang dibuat dengan air atau pasta komersial
yang terdiri dari kalsium hidroksida dan methyl cellulose (pulpdent) kemudian aplikasikan pada
pulpa yang telah di amputasi. Padatkan dan tekan pada pulpa dengan menggunakan gulungan
kapas steril. Dapat juga menggunakan kalsium hidroksida yang dalam bentuk pasta cepat
mengeras (dycal). Pengisian dengan kalsium hidroksida pada pulpa paling tidak 1 sampai 2 mm,
lalu aplikasikan suatu bahan dasar semen (seng-oksida-eugenol atau seng fosfat), lalu tutup
dengan restorasi sementara atau restorasi akhir bisa dengan bahan resin komposit atau GIC.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang perawatan gigi anak
Karies dan cedera akibat trauma pada gigi masih sangat umum ditemukan pada anak dan
perawatan kerusakan yang luas yang ditimbulkannya masih merupakan bagian utama dari praktik
kedokteran gigi anak. Tujuan utama perawatan operatif pada anak adalah mencegah meluasnya
penyakit gigi dan memperbaiki gigi yang rusak sehingga dapat berfungsi kembali secara sehat,
sehingga integritas lengkung geligi dan kesehatan jaringan mulut dapat dipertahankan
(Whitworth & Nunn, 1997).
Perawatan pulpa pada gigi sulung dapat dianggap upaya preventif karena gigi yang telah dirawat
dengan berhasil dapat dipertahankan dalam keadaan nonpatologis sampai saat tanggalnya yang
normal. Dengan demikian, lengkung geligi dapat dipertahankan dalam keadaan utuh, fungsi
pengunyahan dipertahankan, infeksi dan peradangan kronis dapat dihilangkan sehingga
kesehatan jaringan mulut yang baik dapat dipertahankan. Untuk mencapai tujuan ini, telah
dikembangkan beberapa perawatan endodontik konservatif sebagai perawatan alternatif selain
pencabutan gigi (Budiyanti, 2006). Salah satu perawatan pulpa konservatif pada gigi sulung
adalah pulpotomi.
Definisi Pulpotomi
Pulpotomi adalah pembuangan pulpa vital dari kamar pulpa kemudian diikuti oleh penempatan
obat di atas orifise yang akan menstimulasikan perbaikan atau memumifikasikan sisa jaringan
pulpa vital pada akar gigi (Curzon et al.,1996). Pulpotomi disebut juga pengangkatan sebagian
jaringan pulpa. Biasanya jaringan pulpa di bagian mahkota yang cedera atau mengalami infeksi

dibuang untuk mempertahankan vitalitas jaringan pulpa dalam saluran akar (Bence, 1990,
Welbury, 2001). Pulpotomi bertujuan untuk melindungi bagian akar pulpa, menghindari rasa
sakit dan pembengkakan, dan pada akhirnya untuk mempertahankan gigi (Kennedy, 1992).
Pulpotomi dapat dipilih sebagai perawatan pada kasus yang melibatkan kerusakan pulpa yang
cukup serius namun belum saatnya gigi tersebut untuk dicabut. Pulpotomi juga berguna untuk
mempertahankan gigi tanpa menimbulkan simtom-simtom khususnya pada anak-anak (Koch dan
Poulsen, 2001).
Keuntungan dari pulpotomi antara lain (1) dapat diselesaikan dalam waktu singkat satu atau dua
kali kunjungan, (2) pengambilan pulpa hanya di bagian korona hal ini menguntungkan karena
pengambilan pulpa di bagian radikular sukar, penuh ramikasi dan sempit, (3) iritasi obat obatan
instrumen perawatan saluran akar tidak ada, dan (4) jika perawatan ini gagal dapat dilakukan
pulpektomi (Tarigan, 1994).
Pulpotomi dapat dibagi 3 bagian yaitu : (1) pulpotomi vital, (2) pulpotomi devital/ mumifikasi
(devitalized pulp amputatio), dan (3) pulpotomi non vital/ amputasi mortal. Pulpotomi vital atau
amputasi vital adalah tindakan pengambilan jaringan pulpa bagian koronal yang mengalami
inflamasi dengan melakukan anestesi, kemudian memberikan medikamen di atas pulpa yang
diamputasi agar pulpa bagian radikular tetap vital. Pulpotomi vital umunya dilakukan pada gigi
sulung dan gigi permanen muda. Pulpotomi gigi sulung umunya menggunakan formokresol atau
glutaraldehid (Andlaw dan Rock, 1993; Kennedy, 1992).
Pulpotomi devital atau mumifikasi adalah pengembalian jaringan pulpa yang terdapat dalam
kamar pulpa yang sebelumnya di devitalisasi, kemudian dengan pemberian pasta anti septik,
jaringan dalam saluran akar ditinggalkan dalam keadaan aseptik. Untuk bahan devital gigi sulung
dipakai pasta para formaldehid (Tarigan, 1994).
Pulpotomi non vital (mortal) adalah amputasi pulpa bagian mahkota dari gigi yang non vital dan
memberikan medikamen/ pasta antiseptik untuk mengawetkan dan tetap dalam keadaan aseptik.
Tujuan dari pulpotomi non vital adalah untuk mempertahankan gigi sulung non vital untuk space
maintainer (Andlaw dan Rock, 1993; Kennedy, 1992).
Indikasi dan Kontraindikasi Pulpotomi
Indikasi Pulpotomi
Secara umum Indikasi perawatan pulpotomi adalah perforasi pulpa karena proses karies atau
proses mekanis pada gigi sulung vital, tidak ada pulpitis radikular, tidak ada rasa sakit spontan
maupun menetap, panjang akar paling sedikit masih dua pertiga dari panjang keseluruhan, tidak
ada tanda-tanda resorpsi internal, tidak ada kehilangan tulang interradikular, tidak ada fistula,
perdarahan setelah amputasi pulpa berwarna pucat dan mudah dikendalikan (Budiyanti, 2006).
Selain itu indikasinya adalah anak yang kooperatif, anak dengan pengalaman buruk pada
pencabutan, untuk merawat pulpa gigi sulung yang terbuka, merawat gigi yang apeks akar belum
terbentuk sempurna, untuk gigi yang dapat direstorasi (Bence, 1990, Andlaw dan Rock, 1993).
Secara terperinci, untuk masing-masing jenis pulpotomi adalah sebagai berikut.
a. Pulpotomi Vital
1) Gigi sulung dan gigi tetap muda vital, tidak ada tanda tanda gejala peradangan pulpa
dalam kamar pulpa.
2) Terbukanya pulpa saat ekskavasi jaringan karies / dentin lunak prosedur pulp capping
indirek yang kurang hati hati, faktor mekanis selama preparasi kavitas atau trauma gigi
dengan terbukanya pulpa.
3) Gigi masih dapat dipertahankan / diperbaiki dan minimal didukung lebih dari 2/3 panjang
akar gigi.
4) Tidak dijumpai rasa sakit yang spontan maupun terus menerus.

5) Tidak ada kelainan patologis pulpa klinis maupun rontgenologis.


b. Pulpotomi Devital
1) Gigi sulung dengan pulpa vital yang terbuka karen karies atau trauma.
2) Pada pasien yang tidak dapat dilakukan anestesi.
3) Pada pasien yang perdarahan yang abnormal misalnya hemofili.
4) Kesulitan dalam menyingkirkan semua jaringan pulpa pada perawatan pulpektomi
terutama pada gigi posterior.
5) Pada waktu perawatan pulpotomi vital 1 kali kunjungan sukar dilakukan karena
kurangnya waktu dan pasien tidak kooperatif.
c. Pulpotomi Non-vital
1) Gigi sulung non vital akibat karies atau trauma.
2) Gigi sulung yang telah mengalami resorpsi lebih dari 1/3 akar tetapi masih diperlukan
sebagai space maintainer.
3)
Gigi sulung yang telah mengalami dento alveolar kronis.
4) Gigi sulung patologik karena abses akut, sebelumnya abses harus dirawat dahulu.
Kontraindikasi Pulpotomi
Secara umum kontraindikasi pulpotomi adalah sakit spontan, sakit pada amlam hari, sakit
pada perkusi, adanya pembengkakan, fistula, mobilitas patologis, resorpsi akar eksternal
patologis yang luas, resorpsi internal dalam saluran akar, radiolusensi di daerah periapikal dan
interradikular, kalsifikasi pulpa, terdapat pus atau eksudat serosa pada tempat perforasi, dan
perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dari pulpa yang terpotong (Budiyanti, 2006). Selain
itu, kontraindikasinya adalah pasien yang tidak kooperatif, pasien dengan penyakit jantung
kongenital atau riwayat demam rematik, pasien dengan kesehatan umum yang buruk,
kehilangan tulang pada apeks dan atau di daerah furkasi (Kennedy, 1992; Andlaw dan Rock,
1993).
Prosedur Perawatan Pulpotomi
Prosedur pulpotomi meliputi pengambilan seluruh pulpa bagain korona gigi dengan pulpa
terbuka karena karies yang sebagaian meradang, diikuti dengan peletakkan obat-obatan tepat
di atas pulpa yang terpotong. Setelah penempatan obat, selanjutnya dapat dilakukan
penumpatan permanen. Pada gigi sulung, prosedur pulpotomi dapat dilakukan dalam satu kali
kunjungan (Budiyanti, 2006).
Pada gigi sulung, prosedur pulpotomi dapat dilakukan dalam satu kali kunjungan jika dibantu
dengan penggunaan anastesi lokal. Dalam hal ini tekniknya merupakan amputasi pulpa vital
(Kennedy, 1992). Prinsip dasar perawatan endodontik gigi sulung dengan pulpa non vital
adalah untuk mencegah sepsis dengan cara membuang jaringan pulpa non vital,
menghilangkan proses infeksi dari pulpa dan jaringan periapikal, memfiksasi bakteri yang
tersisa di saluran akar (Mathewson & Primosch,1995).
Langkah-langkah perawatan pulpotomi vital formokresol satu kali kunjungan.
(1). Ekskavasi karies
(2). Buang atap kamar pulpa
(3). Buang pulpa di kamar pulpa dengan ekskavator,
(4). Pemotongan pulpa di orifis dengan bor bundar kecepatan rendah
(5). Pemberian formokresol selama 5 menit
(6). Pengisian kamar pulpa dengan campuran zinc oxide dengan formokresol dan eugenol,
(7). Gigi yang telah di restorasi
Perawatan pulpotomi dinyatakan berhasil apabila kontrol setelah 6 bulan tidak ada keluhan,
tidak ada gejala klinis, tes vitalitas untuk pulpotomi vital (+) dan pada gambaran radiografik

lebih baik dibandingkan dengan foto awal. Tanda pertama kegagalan perawatan adalah
terjadinya resorpsi internal pada akar yang berdekatan dengan tempat pemberian obat. Pada
keadaan lanjut diikuti dengan resorpsi eksternal (Budiyanti, 2006).
Pada molar sulung, radiolusensi berkembang di daerah apeks bifurkasi atau trifurkasi,
sedangkan pada gigi anterior di daerah apeks atau di sebelah lateral akar (Camp et al., 2002).
Apabila infeki pulpa sampai melibatkan benih gigi pengganti, atau gigi mengalami resopsi
internal atau eksternal yang luas, maka sebaiknya dicabut (Whitworth & Nunn, 1997).
Perawatan pulpa dengan pulp capping diindikasikan untuk gigi-gigi vital dan gigi-gigi dengan
karies yang dalam (indirect) atau pada pulpa yang terbuka karena faktor mekanis misalnya
terbuka saat melakukan pengeburan (direct). Bahan yang digunakan adalah calsium
hidroksida. Bahan ini dapat merangsang pembentukan dentin sekunder atau jembatan dentin.
Pada dasarnya prognosis untuk kasus dengan perawatan pulp capping adalah buruk, kecuali
diameter pada gigi yang terlibat tidak lebih besar dari ujung jarum. Selain itu, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa lebih baik langsung dilakukan pulpotomi pada pulpa yang
terbuka disebabkan karena penyebaran bakteri dalam kamar pulpa yang diragukan sudah
menyebar jauh.

Kepustakaan
KIDD, Edwin A.M. 1991. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya . Jakarta : EGC
Angus Cameron.Widmer. 2008. Handbook of Pediatric Dentistry, , Elsevier, Toronto
Cappel, David.P. 2008. Prevention in Clinical Oral Health Care . Elsevier, Texas
Merniati Sherly Eulama, S.Kp.G. Preventif Dentisry
Shan Lal, DDS.2001. Jounal of Preventif Dental Materials

Anda mungkin juga menyukai