OLEH:
KELOMPOK 2
Ida Ayu Putu Chandra Dewi
1108505002
1108505046
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring kemajuan jaman, kecantikan dan kesehatan kian menjadi penting
bagi banyak manusia. Kecantikan telah menjadi sebuah komoditas bisnis yag
sangat menjanjikan, dimulai dari usaha oenjualan produk kecantikan, perawatan
kulit, perawatan rambut, kuku, ubuh dan lain sebagainya. Dalam zaman serba
komersil ini citra cantik merupakan sebuah komoditas yang dapat dibuat sesuai
persepsi sesuai industri kecantikan. Menjadi cantik dan tetap awet muda adalah
dambaaan setiap orang terutama para wanita. Apapun dilakukan agar tetap
menarik dan cantik, termasuk salah satunya dengan kosmetika. Menurut istilah
popular, kosmetika adalah bahan yang dipoleskan, disemprotkan atau digosokkan
pada tubuh sehingga dapat memberikan kesegaran, kehalusan, kelembutan,
kebersihan dan keharuman bagi pemakainya. Kosmetika adalah suatu yang dapat
memodifikasi aspek pada kulit dan rambut yang bisa bersifat perawatan atau
bentuk keindahan.
Penggunaan kosmetik di kalangan masyarakat khususnya masyarakat
Indonesia masih sangat banyak bahkan merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.08.11.07331
tahun 2011 tentang metode analisis kosmetika, kosmetika adalah bahan atau
sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar), atau gigi dan
membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, dan
mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM RI, 2011).
Kosmetik yang diproduksi dan diedarkan harus memenuhi persyaratan
mutu yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan serta Peraturan
Peksanaannya, baik untuk bahan yang digunakan maupun cara pembuatannya
serta terdaftar dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM RI, 2003).
Salah satu jenis kosmetik yang sering digunakan masyarakat adalah krim
pelembab yang merupakan kosmetik yang berguna untuk melembabkan wajah.
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan
obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim mempunyai
konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak
dalam air. Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri
dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau
alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air. Dalam
kehidupan sehari-hari krim sering digunakan masyarakat dalam jangka waktu
yang lama, sehingga untuk membuat produk kosmetik (krim) yang lebih tahan
lama, sering ditambahkan bahan pengawet ke dalam kosmetik. Pengawet yang
umum ditambahkan ke dalam kosmetik yaitu senyawa asam 4-hidroksibenzoat
(paraben) termasuk metil paraben (MP), etil paraben (EP), propil paraben (PP)
dan butyl paraben (BP) karena sifatnya yang tidak memiliki bau atau rasa yang
jelas, tidak menghasilkan perubahan warna, praktis pH netral dan tidak
menyebabkan pengerasan atau mengeruhkan. Namun penggunaan pengawet ini
dapat membahayakan konsumen karena potensi mereka untuk menginduksi alergi
dan dermatitis apabila jumlah yang dipakai melebihi jumlah yang diijinkan (Soni
et al., 2002; Casoni, 2010).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan suatu analisis kandungan
senyawa paraben dalam kosmetik (krim) dengan metode analisis yang sesuai
untuk memperoleh hasil yang akurat dan optimal. Analisis paraben yang perlu
dilakukan mencakup uji kualitatif dan uji kuantitatif, sebab penggunaan paraben
dalam sediaan kosmetik tidak boleh lebih dari persyaratan yang telah ditetapkan.
Menurut Keputusan BPOM RI Nomor: HK.00.05.42.1018, kadar untuk bahan
pengawet golongan 4-hidroksibenzoat beserta esternya (metil-, etil-, propil-, dan
butil-) yang memiliki sifat sebagai anti jamur tidak boleh melebihi 0,4% (asam)
untuk ester tunggal dan 0,8% (asam) untuk ester campuran (BPOM RI, 2008).
Sehingga pada penelitian ini uji kualitatif dan uji kuatitatif senyawa paraben
dalam kosmetik krim dilakukan dengan metode KLT-Spektrofotodensitometer.
1.2 Tujuan
1.2.1
1.2.2
1.2.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kosmetik
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
mukosa mulut terutama dimaksudkan untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan, memperbaiki bau badan, melindungi atau memelihara
tubuh pada kondisi baik (BPOM RI, 2003). Kosmetik bukan suatu obat yang
dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit, jika salah
dalam
penggunaan
akan
menimbulkan
efek
samping
yang
berbahaya
(Wasitaatmadja, 1997).
Penggolongan kosmetik dibagi antara lain menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI, menurut sifat modern atau tradisionalnya, dan menurut
kegunaannya bagi kulit.
1.
2.
a. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern
(termasuk antaranya adalah cosmedics).
b. Kosmetik tradisional:
1) Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan
alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun temurun.
2) Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar
tahan lama.
3) Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-benar
tradisional dan diberi zat warna yang menyerupai bahan tradisional.
3.
menghasilkan
penampilan
yang
lebih
menarik
serta
e. Krim yang Mengandung Zat Makanan (Nourishing Cream or Skin Food Cream)
Tidak memberi makan kulit tetapi hanya untuk lubrikasi, mengurangi
hilangnya kelembaban kulit dan tidak menghilangkan kerut secara permanen. Isi
terpenting adalah lanolin, white germ oil, sun flower oil atau corn oil.
(Wasitaatmadja, 1997)
2.3. Bahan Pengawet (Preservative) pada Kosmetik
Bahan pengawet yang biasa digunakan dalam kosmetik bertujuan untuk
membuat kosmetik lebih tahan lama selama proses distribusi dan penyimpanan.
Adapun senyawa yang sering digunakan antara lain metil paraben (metil 4hidroksibenzoat), etil paraben (etil 4-hidroksibenzoat), propil paraben (propil 4-
Panjang
Gelombang
Gambar 2. Spektrum UV Metil Paraben
dalam Larutan Etanol 257 nm
(A11=1075a) (Moffat et al., 2005)
Metil paraben digunakan secara luas sebagai pengawet dengan aktivitas
antimicrobial dalam kosmetik dan formulasi sediaan farmasi. Metil paraben dapat
digunakan tersendiri atau dikombinasikan dengan ester paraben lain atau agen
antimicrobial lainnya. Dalam kosmetik, metil paraben merupakan bahan pengawet
yang paling sering digunakan (Rowe et al., 2009).
2.4.2. Etil Paraben (Etil 4-Hidroksibenzoat)
Etil paraben dengan nama kimia Etil 4-hidroksibenzoat memiliki rumus
kimia C9H10O3 dan berat molekul 166,18 g/mol. Pemeriannya berupa serbuk
kristalin yang berwarna putih, tak berbau atau hampir tidak berbau. Kelarutan etil
paraben yaitu larut dalam 1500 bagian air, dalam 2 bagian etanol, 1,2 bagian
aseton, 10 bagian kloroform, dan dalam 3,5 bagian eter (Depkes RI, 1979).
Konstanta disosiasi (pKa) yaitu 8,3 pada 25 C dengan koefisien partisi log P
(oktanol/air) sebesar 2,5 (Moffat et al., 2005).
dalam aseton, alkohol, eter, kloroform, propilen glikol, dan sukar larut dalam
gliserin (Depkes RI, 1979). Koefisien partisi log P (oktanol/air) sebesar 3,57
(Masten, 2005). Berat jenis butil paraben yaitu 0,819 g/cm 3 dengan jarak lebur 6871 0C (Rowe et al., 2009).
gerakan pelarut pengembang atau campuran analit (Mulja dan Suharman, 1995).
Dalam KLT, fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun
(descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Lapisan yang memisahkan pada metode Kromatografi Lapis Tipis, yang
terdiri atas bahan berbutir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa pelat
gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa
larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah plat atau lapisan ditaruh di
dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase
gerak),
pemisahan
terjadi
selama
perambatan
kapiler
(pengembangan).
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 m. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel
fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik
kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Fase diam pada KLT merupakan
lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng
kaca, plat aluminium, atau plat plastik (Gandjar dan Rohman, 2007).
Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab
dan bebas dari uap. Untuk itu biasanya plat KLT yang akan digunakan diaktifasi
terlebih dahulu selama 30 menit di dalam pengering pada 110oC dengan posisi
tegak di dalam rak pengering. Ini bertujuan untuk bila dilihat dalam sinar jatuh
dan sinar lewat, lapisan yang kering mempunyai wajah yang seragam dan
membentuk ikatan yang baik dengan penyangga. Selain itu kadar air mempunyai
pengaruh terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).
Adsorben yang dapat digunakan diklasifikasi berdasarkan sifat kimia atau
dari ikatannya. Penjerap yang umum ialah silika gel, alumina, kieselgur, selulosa
dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silika gel ini menghasilkan perbedaan
dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Selain itu
harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai
kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahannya (Stahl, 1985).
Untuk fase diam yang polar dapat digunakan fase gerak dari non polar sampai
paling polar. Untuk fase diam yang non polar (sistem fase balik) biasanya
digunakan fase gerak larutan berair, metanol, asetonil, dan isopropanol. Sistem
pelarut yang paling sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya
elusi campuran kedua pelarut ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimal atau sempurna. Berikut ini adalah
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:
1.
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
2.
Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2 sampai 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti
juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar
seperti dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil benzen akan
meningkatkan harga Rf secara signifikan.
4.
Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masingmasing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
(Gandjar dan Rohman, 2007)
Pemilihan fase gerak didasarkan pada keterpisahan senyawa-senyawa dalam
analit yang didasarkan pada nilai Rf dan hRf. Nilai Rf diperoleh dari membagi
jarak pusat kromatografik dari titik awal dengan jarak pergerakan pelarut dari titik
awal. Perhitungan nilai hRf ditunjukkan dengan persamaan dibawah ini.
Pada analisis kualitatif, KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku.
Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua
senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada
kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan
menggunakan lebih dari 1 fase gerak dan jenis pereaksi semprot (Gandjar dan
Rohman, 2007). Keterulangan harga Rf sangat dipengaruhi oleh perbedaan
kondisi proses pemisahan senyawa tertentu dibandingkan kondisi yang telah
dibakukan sekal, meskipun dalam hal ini harga Rf bukanlah harga absolut seperti
pada konstanta fisik lain (titik didih, titik lebur, dan lain-lain). Beberapa faktor
yang mempengaruhi penentuan harga Rf ini antara lain kualitas adsorben (ukuran
partikel, pH dan kemurnian), ketebalan lapisan adsorben (untuk ketebalan 0,25-3
mm), kejenuhan bejana, teknik pengembangan, suhu (mempengaruhi kapasitas
adsorpsi dari adsorben sehingga suhu pada saat pengukuran Rf harus
dicantumkan), dan kualitas pelarut (kromatogram bisa sangat beragam untuk
kualitas pelarut yang berbeda, karena itu untuk penentuan harga Rf harus selalu
digunakan pelarut segar) (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Densitometer atau Thin Layer Chromato Scanner makin banyak digunakan
secara luas. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan
interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT.
Interaksi radiasi elektromagnetik dengan joda pada plat KLT yang ditentukan
adalah absorpsi, transmisi, pantulan (refleksi) pendar fluor atau pemadaman
pendar fluor dari radiasi semula. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis
kuantitatif analit-analit dengan kadar yang sangat kecil yang perlu dilakukan
pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja dan Suharman, 1995).
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.
Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi
atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang
diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan
fosforesensi (Sherma and Fried, 1994). Pemadaman flouresensi indikator F-254
dapat terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV
sebagai noda hitam (Mulja dan Suharman, 1995).
bahwa
parameter
tersebut
memenuhi
persyaratan
untuk
Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian
antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang
diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai
simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi).
Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau
ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika
dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam
interval waktu yang pendek. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika
dikerjakan pada kondisi yang berbeda (Harmita, 2004). Jika hasil analisis
adalah x1, x2, x3, x4,......xn, maka nilai simpangan bakunya (SD) dapat
dihitung sesuai dengan persamaan 2.1 berikut ini:
SD
x x
n 1
............................................................................
....(2.1)
Keterangan:
SD
= simpangan baku
= jumlah sampel
SD
100% ..................................................................................
.....(2.2)
Keterangan:
KV
= koefisien variasi
Sy
y1 y 1
N 2
...........................................................................
............(2.3)
Keterangan:
y1
(1 = a+bx)
N
(3)
LOD
= slope
.............................................................................................(2.4)
LOQ
10 Sy
slope
............................................................................................(2.5)
Keterangan: Sy = simpangan baku residual
(Harmita, 2004).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
Gelas beaker
Gelas ukur
Neraca analitik
Pipet ukur
Pipet tetes
Corong gelas
Sendok tanduk
Batang pengaduk
Ballfiller
Labu ukur
Penangas air
Botol Vial
Lap
Kertas perkamen
Aluminium foil
Kertas saring Whatman
Spektrofotodensitometer
CAMAG
Botol vial
Syringe
Chamber
3.1.2. Bahan
Sampel krim
N-Heksana
Diklorometan
Asam asetat
Aseton
Etil asetat
TLC aluminium sheets silica gel 60 GF 254 ukuran10 x 10 cm
= 2 mg/mL
M2
= 200 g/mL
V2
= 25 mL
Ditanya
: V1 =........?
Perhitungan
:
V1 . M1
= V2. M2
= 2,5 mL
C2. V2
200 g/mL . V1
= 50 ng/L. 5 mL
200 g/mL . V1
= 50 g/mL. 5 mL
V1
= 1,25 mL
Pembuatan:
Untuk membuat larutan seri paraben dengan konsentrasi
50 ng/L, maka dipipet 1,25 mL larutan seri paraben 200 g/mL
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan
aseton-etil asetat (1:10) v/v ad 5 mL, digojog hingga homogen.
Pembuatan Larutan Seri paraben Konsentrasi 100 ng/L
Diketahui:
C2. V2
200 g/mL . V1
= 100 ng/L. 5 mL
200 g/mL . V1
= 100 g/mL. 5 mL
V1
= 2,5 mL
Pembuatan:
Untuk membuat larutan seri paraben dengan konsentrasi
100 ng/L, maka dipipet 2,5 mL larutan seri paraben 200 g/mL
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan
C2. V2
200 g/mL . V1
= 150 ng/L. 5 mL
200 g/mL . V1
= 150 g/mL. 5 mL
V1
= 3,75 mL
Pembuatan:
Untuk membuat larutan seri paraben dengan konsentrasi
150 ng/L, maka dipipet 3,75 mL larutan seri paraben 200 g/mL
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan
aseton-etil asetat (1:10) v/v ad 5 mL, digojog hingga homogen.
Pembuatan Larutan Seri paraben Konsentrasi 250 ng/L
Diketahui:
C2. V2
200 g/mL . V1
= 250 ng/L. 5 mL
200 g/mL . V1
= 250 g/mL. 5 mL
V1
= 6,25 mL
Pembuatan:
Untuk membuat larutan seri paraben dengan konsentrasi
250 ng/L, maka dipipet 6,25 mL larutan seri paraben 200 g/mL
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan
aseton-etil asetat (1:10) v/v ad 5 mL, digojog hingga homogen.
3.2.4. Preparasi Sampel
Ke dalam beaker gelas 50 mL ditimbang 1 g sampel krim
pelembab wajah. Sebanyak 40 mL aseton-etil asetat (2:1) ditambahkan ke
dalam beaker glass kemudian diaduk pada suhu 40C diatas penangas air.
Sampel diaduk hingga larut atau tersuspensi. Sampel dibiarkan dingin
mencapai suhu ruang kemudian disaring dengan kertas saring. Filtrat
ditampung dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian
ditambahkan aseton-etil asetat (2:1) hingga volume 50 mL. Larutan ini
yang kemudian ditotolkan pada plat KLT aluminium sheets silika gel 60
GF 254.
3.2.4
BAB IV
Rf
AUC
Standar 1
(100 ng)
0,48
2972,3
Standar 2
(200 ng)
0,48
6593,9
Standar 3
(300 ng)
0,47
8787,8
Standar 4
(400 ng)
0,47
8997,7
Standar 5
(800 ng)
0,48
9960,0
Sampel 1
0,47
3462,0
Sampel 2
0,47
3539,7
Sampel 3
0,47
2697,5
Tabel 4.2 Hasil pembacaan propil paraben pada panjang gelombang 255 nm
Track
Rf
AUC
Standar 1
(100 ng)
0,58
2466.9
Standar 2
(200 ng)
0,58
5689.8
Standar 3
(300 ng)
0,59
7540.8
Standar 4
(400 ng)
0,59
7728.3
Standar 5
(800 ng)
0,59
8507.0
Sampel 1
0,61
1523.5
Sampel 2
0,61
1417.7
Sampel 3
0,61
1003.3
4.2 Perhitungan
4.2.1 Kurva Kalibrasi Standar Metil Paraben
Tabel 4.3 Nilai AUC standar seri pada 255 nm
Larutan
Standar 1
Standar 2
Standar 3
Konsentrasi (ng)
100
200
300
AUC
2972,3
6593,9
8787,8
y = 29.078x + 302.5
AUC sampel I
= 3462,0
AUC sampel II
= 3539,7
= 2697,5
- Sampel I (plat)
y = 29,078x + 302.5
x bobot krim
x 25 gram
= 0,023 gram
=
Sampel II
Penotolan
Kadar sampel
x 100%
= 0,092%
= 111,32 ng/6 uL
= 18,55 ng/uL
= 18,55 ug/mL
= 18,55 ug/mL x 50 mL
= 927,5 ug
x bobot krim
x 25 gram
= 0,023 gram
=
Sampel III
Penotolan
Kadar sampel
x 100%
= 0,092%
= 82,36 ng/6 uL
= 13,73 ng/uL
= 13,73 ug/mL
= 13,73 ug/mL x 50 mL
= 686,5 ug
x bobot krim
x 25 gram
= 0,017 gram
=
x 100%
= 0,068%
= 0,084%
Kadar Rata-
Kadar (x)
x-x
(x-x)2
8 x 10-3%
6,4 x 10-5%
I
II
0,092%
rata (x)
0,084%
0,092%
0,084%
8 x 10-3%
6,4 x 10-5%
III
0,068%
0,084%
-0,016
2,56 x 10-4%
(x-x)2
Standar Deviasi (SD) =
3,84 x 10-4%
x"
n 1
3,84 x 10-4%
3 1
= 0,014%
CV =
SD
100%
x"
0,014%
Konsentrasi (ng)
AUC
Standar 1
Standar 2
Standar 3
100
200
300
2466.9
5689.8
7540.8
y = 25.37x + 158.6
AUC sampel I
= 1523.5
AUC sampel II
= 1417.7
= 1003.3
- Sampel II (plat)
y = 25,37x + 158,6
1417,7= 25,37x + 158,6
1259,1 = 25,37x
x = 49,62
- Sampel III (plat)
y = 25,37x + 158,6
1003,3= 25,37x + 158,6
844,7 = 25,37x
x = 33,29
x bobot krim
x 25 gram
= 0,011 gram
=
Sampel II
Penotolan
x 100%
= 0,044%
= 49,62 ng/6 uL
= 8,27 ng/uL
Kadar sampel
= 8,27 ug/mL
= 8,27 ug/mL x 50 mL
= 413,5 ug
x bobot krim
x 25 gram
= 0,01 gram
=
Sampel III
Penotolan
Kadar sampel
x 100%
= 0,04%
= 33,29 ng/6 uL
= 5,55 ng/uL
= 5,55 ug/mL
= 5,55 ug/mL x 50 mL
= 277,5 ug
x bobot krim
x 25 gram
x 100%
= 0,02%
= 0,035%
Sampel
Kadar (x)
I
II
III
Kadar Rata-
(x-x)2
x-x
0,044%
rata (x)
0,035%
9 x 10-3%
0,04%
0,035%
5 x 10-3%
0,02%
0,035%
-0,015%
(x-x)2
Standar Deviasi (SD) =
x"
n 1
= 0,012%
CV =
SD
100%
x"
0,012%
= 100 ng
Konsentrasi II = 200 ng
Konsentrasi III = 300 ng
Persamaan regresi linier : y = 29.078x + 302.5
Ditanya : y =.......?
Jawab
I.
y = 29.078x + 302.5
y = (29.078 x 100) + 302.5
y = 3210,3
II.
y = 29.078x + 302.5
y = (29.078 x 200) + 302.5
y = 6118,1
III.
y = 29.078x + 302.5
y = (29.078 x 300) + 302.5
y = 9025,9
(y-y)2
100
200
2972,3
y
3210
y-y
6593,9
6118
475,9
225625
300
8787,8
9025
-237,2
56263,84
-237,7
56501,29
(y-y)2
338390,13
Sy
) = ...?
Jawab :
Sy
Sy
Sy
x
x
y"
n 2
338390,13
3 2
= 581,71
Sy
Diketahui :
= 581,71
LOD =
=
3 Sy x
Slope (b)
3 581,71
29,078
= 60,01 ng
10 Sy x
LOQ =
Solpe (b)
=
10 581,71
29,078
= 200,05 ng
4.2.6 Perhitngan LOD dan LOQ Propil Paraben
-
= 100 ng
Konsentrasi II = 200 ng
Konsentrasi III = 300 ng
Persamaan regresi linier : y = 25.37x + 158.6
Ditanya : y =.......?
Jawab
I.
y = 25.37x + 158.6
y = (25.37 x 100) + 158.6
y = 2695,6
III.
y = 25.37x + 158.6
y = (25.37 x 300) + 158.6
y = 7769,6
(y-y)2
100
200
2466.9
y
2695
y-y
5689.8
5232
457,8
209580,84
300
7540.8
7769
-228,2
52075,24
-228,1
52029,61
(y-y)2
313685,69
Sy
) = ...?
Jawab :
Sy
Sy
Sy
x
x
y"
n 2
313685,69
3 2
= 560,07
Sy
= 560,07
3 Sy x
Slope (b)
3 560,07
25,37
= 60,22 ng
LOQ =
=
10 Sy x
Solpe (b)
10 560,07
25,37
= 220,76 ng
BAB V
PEMBAHASAN
dan ditambahkan
sampel
telah
ditotolkan
maka
tahap
selanjutnya
adalah
mengembangkan sampel tersebut dalam chamber yang telah jenuh. Selama proses
pengelusian, chamber ditutup rapat untuk menjaga kestabilan fase gerak yang ada
di dalamnya. Chamber harus tertutup rapat dan sedapat mungkin menggunakan
sedikit fase gerak (akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng hingga
ketinggian yang ditentukan) untuk memaksimalkan dan efesiensi proses
pengelusian (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase diam silica gel yang bersifat polar
akan menjerap fase gerak yang bersifat nonpolar yang nantinya mampu
menggerakkan senyawa yang bersifat nonpolar sehingga terjadi pergerakan
senyawa dari titik asalnya. Pergerakan senyawa ini diakibatkan oleh adanya
perbedaan afinitas dan pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending). Prinsip pemisahan kromatografi lapis tipis didasarkan pada afinitas
kepolaran senyawa yang akan dielusi, dimana fase diam yang bersifat polar akan
mengelusi senyawasenyawa yang non polar naik bersama fase gerak yang
digunakan, sedangkan senyawasenyawa polar akan tertahan pada fase diamnya.
Setelah proses pengelusian plat selanjutnya dilakukan scanning dengan
spektrofotodensitometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 255 nm.
Pemilihan panjang gelombang tersebut karena kedua analit yaitu metil paraben
dan propil paraben memiliki absorbansi yang cukup baik dan tidak saling
mengganggu secara pengukuran di panjang gelombang tersebut (Rajagopal and
Agrawal, 2011.). Dari hasil scanning plat dengan spektrodensitometer diperoleh 2
puncak pada tiap seri penotolan campuran standar metil paraben dan propil
paraben dan penotolan sampel seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Dari hasil
pemisahan kedua senyawa dapat dikatakan bahwa telah terjadi pemisahan yang
cukup baik antara metil paraben dan propil paraben. Dalam perhitungan tidak
dilakukan penghitungan resolusi pemisahan. Walaupun demikian secara visual
telah dapat terlihat pemisahan kedua senyawa yang cukup baik.
Dari kedua puncak yang terbentuk kemudian ditentukan puncak yang
merupakan metil paraben dan propil paraben. Hal tersebut dilakukan dengan
membandingkan spektrum spot yang diukur pada panjang gelombang 255 nm
dengan spektrum standar yang terdapat di library. Faktor similaritas antara
spektrum spot dan standar standar dilihat untuk mengetahui kedekatan antara
kedua spektrum tersebut. Faktor similiaritas yang baik adalah menghasilkan nilai
> 0,97. Kedua puncak yang telah terpisah menghasilkan nilai Rf yang berbeda.
Puncak metil paraben menghasilkan Rf sebesar 0,47-0,48 sedangkan propil
paraben meenghasilkan Rf sebesar 0,58-0,61. Nilai Rf ini sedikit berbeda dari
acuan jurnal yang dipakai dimana Rf metil paraben dan propil paraben yang
dihasilkan adalah 0,50 dan 0,61 (Rajagopal and Agrawal, 2011). Hal tersebut
terjadi karena banyak faktor diantaranya perbedaan kondisi daerah dan kondisi
laboratorium maupun perbedaan alat dan bahan yang digunakan. Selain itu, acuan
fase gerak pada pustaka tidak dapat digunakan seluruhnya karena terdapat
keterbatasan pelarut di laboratorium sehingga harus mengganti pelarut tersebut
dengan sifat kepolaran yang serupa. Pelarut yang diganti adalah pelarut heptan
menjadi n-heksan dimana kedua pelarut ini memiliki sifat kepolaran yang
berdekatan.
Dari data konsentrasi dan nilai AUC seri metil paraben dan propil paraben
dibuat persamaan regreasi linier untuk menentukan kadar dari metil paraben dan
propil paraben dalam sampel. Persamaan regresi untuk metil paraben adalah y =
29,078x + 302.5 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9803. Sedangkan
persamaan regresi untuk propil paraben adalah y = 25,37x + 158,6 dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,9762. Dari nilai koefisien korelasi tersebut, seri
konsentrasi metil paraben dan propil paraben menghasilkan linearitas yang baik
dan valid karena berada pada nilai lebih besar dari 0,95. Dengan nilai linearitas
yang baik tersebut, persamaan regresi yang dihasilkan dapat digunakan untuk
menetapkan kadar dari sampel.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan permasaan regresi diperoleh
kadar metil paraben dan propil paraben pada sampel krim adalah pada sampel I
sebesar 0,092% dan 0,044%; pada sampel II sebesar 0,092% dan 0,04%; dan pada
sampel III sebesar 0,068% dan 0,02%. Dari hasil tersebut didapat kadar rata-rata
metil paraben dan propil paraben adalah 0,084% dan 0,035%. Kadar yang didapat
telah memenuhi persyaratan sesuai yang tercantum dalam Peraturan Kepala
BPOM RI Nomor: HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik yaitu penggunaan
bahan pengawet dalam kosmetik adalah < 0,4% sehingga kosmetik tersebut aman
untuk digunakan. Namun terdapat penyimpangan dalam nilai koefisien variasi
yang didapat. Nilai koefisien untuk metil paraben dan propil paraben adalah
16,67% dan 34,28%. Nilai tersebut sangat jauh dari syarat yaitu tidak boleh
melebihi 2%. Hasil yang tidak memenuhi syarat koefisien variasi menandakan
hasil yang didapat tidak presisi. Nilai koefisien variasi yang tidak sesuai tersebut
diduga akibat penotolan sampel pada sampel III tidak mencapai 6 uL. Penotolan
yang dilakukan kemungkinan hanya mencapai 2-4 uL karena dari pola hasil yang
didapat sampel I dan sampel II memiliki hasil yang mirip namun tidak pada
sampel III. Dengan berbedanya nilai tersebut maka rata-rata kadar analit menjadi
tidak sesuai dengan kadar sebenarnya dan menghasilkan koefisien variasi yang
tidak memenuhi syarat. Nilai LOD dan LOQ untuk metil paraben adalah 60,01 ng
dan 200,05 ng sedangkan untuk propil paraben adalah 60,22 ng dan 220,76 ng.
Nilai LOD dan LOQ menunjukkan bahwa agar metil paraben dan propil paraben
dapat terdeteksi kadar minimal untuk metil paraben dan propil paraben adalah
pada kadar LOD dan untuk dapat ditentukan kadarnya, kadar minimal metil
paraben dan propil paraben adalah pada kadar LOQ.
BAB VI
KESIMPULAN
6.1
Sampel krim pemutih yang diuji secara kualitatif dengan metode KLT
menandakan teridentifikasi senyawa golongan paraben, yang ditandai
dengan harga Rf metil paraben untuk sampel I, II, dan III pada panjang
gelombang maksimum 255 nm adalah sama yakni 0,47. Sedangkan harga Rf
propel paraben untuk sampel I, II, dan III pada panjang gelombang
6.2
6.3
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
BPOM RI. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745. Cited: 15 Januari 2012.
Available at: http://husinrm.files.wordpress.com/2008/02/kosmetik.pdf
Casoni, Dorina. 2010. Determination of the Lipophilicity of Some Food Additives
by Chromatographic Methods (tesis). Cluj-Napoca: Babes-Bolyai
University,
Cluj-Napoca
Faculty
of
Chemistry
and
Chemical
Engineering.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes R.I. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.3: Hal. 117 135.
Iswari, T. R, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.
Kusmardiyani, Siti dan Asari Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Pusat
Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati.
Masten, Scott A. 2005. Butyl Paraben, Review of Toxicological Literature. North
Carolina: National Toxicology Program (NTP), National Institute of
Environmental Health Sciences (NIEHS).
Moffat, Antonym C., M. David Osselton, and Brian Widdop. 2005. Clarke`s
Analysis of Drugs and Poisons. Third editions. London: The
Pharmaceutical Press.