Dokter Keluarga
Anthony Hadi Wibowo
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
NIM 102010012 / Kelompok C7
2 July 2013
Jl. Krendang Timur Gang 6, RT 08 / RW 03 No. 156, 11260, Jakarta Barat
No. Handphone: 08999311660. Email: bo0gle_m0ogle@hotmail.com
Pendahuluan
Lepra (morbus Hansen) adalah penyakit infeksi kronis yang melibatkan sistem saraf
pusat, kulit, mata, dan membran mukosa. Penyakit ini endemis dibanyak negara di Asia,
Afrika, Kepulauan Pasifik, Amerika Latin, selatan Eropa, dan Timur Tengah. Sekuele mayor
dari lepra adalah deformitas fisik yang melibatkan ekstremitas, wajah, dan mata karena
kerusakan saraf sensorik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae dan reaksi imun
timbul karena organisme tersebut. Deformitas yang terbentuk berlanjut setelah infeksi
menjadi inaktif dan pasiennya tidak lagi infeksius.
Setiap penyakit menular memiliki ciri yang sama dimana secara epidemiologi
didapatkan determinan agent, host, dan lingkungan. Promosi, pencegahan, pengobatan,
proteksi, dan rehabilitasi dengan pendekatan dokter keluarga yang baik sangat diperlukan
untuk memutuskan penularan akibat pasien tersebut dan dampak pada lingkungannya. Oleh
karena itu, pencarian kasus dan penatalaksanaan yang komprehensif, kolaboratif, kontinu,
koordinatif, mengutamakan pada pencegahan, berorientasi pada keluarga dan masyarakat,
serta dengan evidence based medicine sangat diperlukan.1
Epidemiologi
Masalah epidemiologi penyakit lepra masih belum terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M leprae (agent) masih hidup
beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun,
rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun
dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau
menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum jelas.
M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikro, lebar 0,2 0,5 mikro, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan social-ekonomi dan lingkungan, varian genetic yang berhubungan dengan
kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Penyakit
kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak halhal yang belum jelas diketahui sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para
ilmuwan untuk pemecahannya. Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam
mempelajari sifat-sifat M leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih
dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M leprae jauh
lebih banyak ( sampai 1013 per gram jaringan) dibandingkan dengan penderita yang
mengandung 107 , daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada
orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan kurang
lebih 11,39%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
2
penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya
kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis
dan subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah. Makin rendah social
ekonomi, makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor social ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M leprae yang mengakibatkan variasi
gambaran klinis (spectrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini juga disebabkan
oleh faktor genetic yang berbeda.
Pada tahun 1991 Wold Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai program kesehatan msyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi
kusta tahun 2000 (EKT 2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir
ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar
pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara,
sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus
kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008
sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di pulau Jawa,
Sulawesi, Maluku dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja
tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motoric dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan
yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.
Transmisi. M.leprae dipercaya ditularkan melalui orang ke orang dengan kontak
dekat. Tetapi, masih diperdebatkan bagaimana transmisi yang sebenarnya terjadi. Hanya 1530% pasien dengan gejala klinik lepra yang hidup di area endemik mempunyai riwayat kontak
dekat dengan orang dan barang-barang rumah tangga orang yang terkena lepra.
Bagaimanapun karena masa inkubasi yang panjang dan indolen, pajanan ini sulit dikenali.
Kebalikannya dengan tuberkulosis, tempat primer infeksi di traktus respiratorius
belum pernah didokumentasikan. Akan tetapi banyak ahli percaya bahwa infeksi terbanyak
ditularkan melalui kontak dengan sekresi hidung. Akhir-akhir ini peneliti menggunakan PCR
untuk mengamplifikasi M.leprae, mengkonfirmasi kehadiran organisme di sekret hidung dan
peralatan rumah tangga kasus-kasus lepra.
3
Lingkungan yang padat dan status ekonomi populasi yang rendah adalah faktor
penting transmisi M.leprae dan perkembangan gejala klinisnya. Penelitian prospektif di
Malawi yang terakhir menemukan bahwa insidens lepra lebih rendah pada orang yang tidak
tinggal didaerah padat dan mempunyai level edukasi yang lebih tinggi. Meningkatkan standar
kehidupan mungkin berperan penting dalam hilangnya lepra dari beberapa negara, seperti
Norwegia, dimana lepra endemis pada abad 19 dan awal abad 20.
Mungkin kerentanan genetik merupakan salah satu faktor penting yang
berkontribusi pada resiko dan tipe lepra yang timbul setelah pajanan. Beberapa penelitian
tentang distribusi human lymphocyte antigen (HLA) pada pasien lepra ditemukan asosiasi
yang signifikan dengan haplotipe HLA yang pasti. Beberapa penelitian mengubungkan
kerentanan lepra dengan gen NRAMP1.
Tergantung pada lokasi geografisnya, prorporsi dari kasus lepra multibasiler dan
pausibasiler pada populasi berbeda sangat bervariasi. Proporsi yang tinggi dari kasus tipe
lepromatosa di temukan pada Asia Tenggara daripada Afrika, dimana kebanyakan kasusnya
bertipe tuberkuloid. Apakah perbedaan ini disebabkan karena perbedaan host (seperti faktor
genetik atau nutrisi), faktor epidemiologi yang mempengaruhi rute atau umur saat pajanan,
ukuran dari inokulum, atau karena perbedaan strain dari M.leprae di area berbeda di dunia
belum diketahui. Bagaimanapun strain M.leprae, hanya punya sedikit perbedaan genetik.
Ketidakmampuan untuk mengkultur organisme dan kurangnya model binatang yang baik
yang mengembangkan penyakit yang mirip dengan yang ada di manusia telah mengalami
investigasi dari pertanyaan ilmiah yang penting tadi.1-3
Surveilans
Data tentang penyakit menular yang pernah terjadi di suatu daerah merupakan hasil
dari system pengamatan (surveilans) yang dilakukan oleh petugas di daerah tersebut. Data ini
penting untuk mengetahui bahwa di daerah tersebut pada masa yang lalu pernah mengalami
kejadian luar biasa. Daerah itu dapat berupa rumah sakit, sekolah, industry, pemukiman
transmigrasi, kota, kabupaten, kecamatan, desa, atau negara.
Pengamatan
epidemiologis
penyakit
menular
ialah
kegiatan
yang
teratur
mengumpulkan, meringkas, dan analisis data tentang insidensi penyakit menular untuk
mengidentifikasikan kelompok penduduk dengan risiko tinggi, memahami cara penyebaran
dan mengurangi atau memberantas penyebarannya. Setiap kasus harus dilaporkan dengan
jelas dan lengkap meliputi diagnosis, mulai timbulnya gejala, dan variable demografi seperti
5
nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan asal data (dokter, rumah sakit, puskesmas, sekolah,
tempat kerja, dan lain lain).
Dengan mengadakan analisis secara teratur, kita dapat memperoleh berbagai informasi
tentang peyakit musiman atau kecenderungan jangka panjang, perubahan daerah penyebaran,
kelompok penduduk risiko tinggi yang dirinci menurut umur, jenis kelamin, suku, agama,
sosial ekonomi, dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Pengamatan
epidemiologis secara garis besar dapat dilakukan secara aktif dan pasif.
Surveilans aktif ialah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk
mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relative singkat dan dilakukan oleh petugas
kesehatan secara teratur seminggu sekali atau 2 minggu sekali untuk mencatat ada atau
tidaknya kasus baru penyakit tersebut.
Surveilans pasif ialah pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana
pelayanan di daerah. Dari data yang diperoleh dapat diketahui distribusi geografis tentang
berbagai penyakit menular, penyakit rakyat, perubahan perubahan yang terjadi, dan
kebutuhan tentang penelitian sebagai tindak lanjut.
Jadi, yang dimaksud dengan pengamatan epidemiologis adalah kegiatan yang
dilakukan secara rutin dan teratur berupa pencatatan lengkap hasil pengamatan tentang ada
tidaknya kasus baru penyakit tertentu atau adanya peningkatan jumlah kasus baru untuk
memantau perubahan yang terjadi pada penyakit yang mempunyai risiko menimbulkan
wabah. Umumnya, pengamatan epidemiologis dilakukan pada : penyakit yang dapat
menimbulkan wabah, penyakit kronis, penyakit endemis, penyakit baru yang dapat
menimbulkan masalah epidemiologis, dan penyakit yang dapat menimbulkan epidemic ulang.
Secara garis besar, tujuan pengamatan epidemiologi adalah untuk mengetahui
distribusi geografis penyakit endemis dan penyakit yang dapat menimbulkan epidemic
(malaria, gondok, kolera, dan campak), mengetahui periodisitas suatu penyakit, untuk
menentukan apakah peningkatan insidensi suatu penyakit yang terjadi disebabkan kejadian
luar biasa atau karena periodisitas penyakit tersebut, mengetahui situasi penyakit tertentu,
memperoleh gambaran epidemiologis tentang penyakit tertentu, melakukan pengendalian
penyakit, mengetahui adanya letusan ulang penyakit yang pernah menimbulkan epidemic, dan
khusus untuk influenza adalah untuk mendeteksi adanya tipe baru virus influenza karena ada
dugaan timbulnya pandemic influenza dengan virus influenza tipe baru.4,5
Untuk surveilans epidemiologi penyakit kusta, agar dapat berjalan dengan baik, maka
diperlukan pengetahuan klinis mengenai penyakit kusta, dimana cardinal signnya adalah: 4,5
6
1. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak
berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
2. Penebalan syaraf tepi.
3. Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol benjol kecil
berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan
biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan
perdarahan.
4. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang
terkena. Kadang kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan
tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini.
Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut.
5. Penyakit kusta terdapat dalam bermacam macam bentuk. Bentuk leproma
mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini
menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.
6. Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan syaraf yang
mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya
mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan tuberkuloid ada bentuk
peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah ubah.
7. Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam waktu yang cukup
lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga dapat ditularkan melalui udara
pernapasan dari penderita yang selaput hidungnya terkena. Tidak semua orang yang
berkontak dengan kuman penyebab akan menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja
yang kemudian tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami.
Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun. Gejala awal penyakit ini
biasanya berupa kelainan kulit seperti panau yang disertai hilangnya rasa raba pada kelainan
kulit tersebut. 4,5
Dokter Keluarga
Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat banyak upaya yang harus dilaksanakan. Salah
satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup penting adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2,
yaitu pelayanan kesehatan personal atau pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan
7
masyarakat yang sangat penting fungsinya dan strategis sekali dalam pembangunan sosial.
Dalam SKN tahun 2004 disebutkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan individu
menerapkan konsep dokter keluarga kecuali di daerah yang sangat terpencil yang masih
dipadukan dengan pelayanan puskesmas.
Paradigma baru pembangunan kesehatan, yaitu paradigma sehat sangat membutuhkan
model pendekatan pelayanan dokter keluarga. Hal itu karena paradigm sehat menekankan
upaya pemeliharaan kesehatan yang mengutamakan pelayanan kesehatan promosi dan
preventif agar keluarga dan anggotanya dapat terus terjaga kesehatannya serta mengurangi
beban sosial ekonomi yang dikeluarkan untuk berobat.6-14
Dokter keluarga ialah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dengan ciri ciri
sebagai berikut : 6-14
1. Pelayanan kesehatan lini pertama
Artinya memberikan pelayanan pada strata pertama, yaitu di tengah tengah pemukiman
masyarakat sehingga mudah dicapai.
2. Pelayanan kesehatan/ medis yang bersifat umum
Artinya memberikan pelayanan untuk masalah kesehatan atau penyakit yang tergolong
umum dan bukan spesialistik.
3. Bersifat holistic dan komprehensif
Holistic artinya tidak dibatasi pada maslah biomedis pasien saja tetapi juga dengan
melihat latar belakang social budaya pasien yang mungkin berkaitan dengan penyakitnya.
Komprehensif artinya tidak hanya terbatas pada pelayanan pengobatan atau kuratif saja,
tetapi meliputi aspek lainnya mulai dari promotif-preventif hingga rehabilitative.
4. Pemeliharaan kesehatan yang berkesinambungan
Artinya pelayanan kesehatan dilakukan terus menerus kepada pasien maupun
keluarganya guna memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain,
hubungan dokter pasien lebih kontinu.
5. Pendekatan keluarga
Artinya lebih menekankan keluarga sebagai unit sasaran pelayanan kesehatan daripada
perorangan.
Ruang lingkup pelayanan dokter keluarga mencakup bidang amat luas sekali. Jika
disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam : 6-14
1. Kegiatan yang dilaksanakan
9
5 Levels of preventions
Usaha pencegahan penyakit dalam 5 tingkatan yang dapat dilakukan pada masa
sebelum sakit dan pada masa sakit. Leavell dan clark dalam bukunya Preventive Medicine
for the doctor in his community15
Usaha-usaha pencegahan itu adalah : 15
A. Masa sebelum sakit
1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health promotion)
2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific protection).
B. Pada masa sakit
3.
Mengenal dan mengetahui jenis pada tingkat awal, serta mengadakan pengobatan yang
tepat dan segera. (Early diagnosis and treatment).
4.
5.
Rehabilitasi (Rehabilitation).
10
11
Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
12
Pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca mata, sarung tangan, sepatu,
dll)
Pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam, dan kasar)
Pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih
sendi bila mulai kaku
Penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka,
mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat.
Bila ada kelemahan otot maka perlu latihan secara aktif; tetapi bila kekuatan otot sudah
tidak ada atau hampir hilang, dapat dilakukan latihan secara pasif.
Pertahankan ROM (range of movement) sendi sendi tangan dengan latihan ROM baik
pasif maupun aktif. Bila telah timbul kontraktur harus dilakukan latihan peregangan.
Gambar
1.
Pencegahan
Kecacatan
pada
Penderita
Kusta15
13
Gambar 2.
Perawatan
Mata, Tangan,
dan Kaki pada
Kusta15
Penderita
14
Penderita kusta yang terlambat di diagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama
reaksi reversal, lesi kulit multiple dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki
risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit,
lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan
keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju,
memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan
tersebut harus diperisksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan
lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan
menjadi berlanjut.
Cara terbaik untuk melaksanakan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu
untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda
yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus, setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering
dan pecah.
Fisioterapi dengan alat gerak artificial dan bedah rekonstruksi membantu dalam
mengembalikan fungsi biologik pasien agar dapat tetap berproduksi sehat dalam hidupnya.
2. Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita. Hal ini
sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.
Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus menerus,
melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita.
Upaya ini dapat berupa:
1. Memberikan bimbingan sosial.
2. Memberikan peralatan kerja.
16
Rehabilitasi karya
Tidak semua penderita kusta bila sembuh dapat kembali bekerja pada pekerjaan
semula, apalagi bila penderita telah terlanjur mengalami cacat fisik. Walaupun telah
diupayakan rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita
tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal adanya
stigma dan leprofobi akan menyebabkan penderita / mantan penderita kerap kali menghadapi
kendala sosial, sehingga perlu mengganti jenis pekerjaan untuk memungkinkan mencari
nafkah bagi diri dan keluarganya. Adanya hilang rasa (anestesi) pada palmar dan plantar
menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat
kembali melakukan pekerjaan yang lama (setelah mendapat terapi okupasi), atau dapat
melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan, dan pengalaman
bekerja sebelumnya.
Di samping itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi
risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
Program pemasyarakatan merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita
dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri.
17
Rumah Sehat
Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi kehidupan
setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah setelah bekerja
seharian, namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun
kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus
berwujud rumah mewah dan besar, namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah
yang sehat dan layak dihuni. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah
dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi
lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan
setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Kesehatan adalah faktor utama
sebagai parameter penilaian kelayakan sebuah hunian, sebelum faktor bentuk dan gaya
arsitektur dari sebuah rumah. Ada yang mengatakan bahwa rumah adalah tujuan akhir
manusia. Penilaian terhadap rumah sebagai tujuan akhir dari manusia ini tentunya sangat
dipengaruhi oleh kesehatan. Rumah yang sehat akan mampu mendukung kesehatan
penghuninya, begitulah hubungannya. Dikarenakan manusia adalah makhluk biopsikososial,
rumah yang sehat harus mampu memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Seluruh fungsi dari
rumah sehat haruslah berjalan semestinya. Berikut akan kita bahas bagaimana syarat syarat
rumah yang menjadikan kesehatan penghuninya terdukung. Kita akan melihatnya dari segi
fisiologis (bio/fisik), psikologis, dan sosiologis.16-17
Fisiologis
Sebuah rumah tentunya harus memiiki manfaat bagi penghuninya. Hal pertama yang
harus dilindungi adalah dari segi fisik, baik melindungi penghuni dari kecelakaan maupun
penyakit yang mengganggu kesehatannya. Sekarang marilah kita lihat syarat rumah yang
harus meningkatkan kesehatan fisik penguninya. Kita akan melihatnya dari 4 sisi, yaitu
bangunan rumah itu, ruangan rumah, ekologinya (lingkungan), dan fasilitas yang ada di
rumah itu. 16-17
1. Bangunan
Perkembangan pembangunan dewasa ini ditandai dengan peningkatan macam macam bahan bangunan dan munculnya bahan bangunan baru. Keadaan tersebut
18
memungkinkan
berbagai
ragam
alternatif
pemilihan
bahan
bangunan
guna
Bahan bangunan
Anorganik: batu alam, tanah liat,
Contoh bahan
Batu kali, kerikil, pasir, kapur, tras
tras, dsb.
Organik; kayu, bambu, dedaunan,
sebagainya. Tentu saja manfaat bangunan juga harus dapat melindungi penghuni dari
hujan, panas, dingin, pencemaran udara, kebisingan, dan penyakit menular. Bangunan
harus bisa menjadi tempat berlindung yang aman.
Sedikit informasi untuk atap, atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah
perkotaan maupun di pedesaan. Di samping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis
juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri.
Namun demikian banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu maka atap
daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan, walaupun sebenarnya tidak
memenuhi syarat secara penuh. Pembuatan atap dengan atap rumbai dan daun kelapa harus
dapat melindungi dengan baik, jadi buatlah secara tebal, tertata rapi, dan baik. Atap seng
maupun asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan
suhu panas di dalam rumah.
Bahan dinding bangunanpun haruslah yang mampu mengalirkan uap air. Makin
kecil pori-pori bahan bangunan makin besar daya mengisap air, dan makin besar pori-pori
makin mudah dapat diisi dengan air. Hal ini berarti bahwa air bisa masuk ke dalam bahan
bangunan melalui gravitasi (misalnya oleh atap yang bocor), oleh tekanan angin (misalnya
pada tepi dinding atau atap yang terekena angin kencang), oleh kapilaritas (pada retak
plesteran dinding atau kelembapan tanah yang tidak kedap air). Bahan bangunan yang
higroskopis (misalnya batu merah) kadang-kadang dapat mengikat banyak air. Air yang
ada di dinding ini harus mudah menguap. Kelebihan kelembapan apapun dalam iklim
tropis lembap, akan menumbuhkan cendawan kelabu (aspergillus) yang mempengaruhi
kesehatan penghuni karena mengakibatkan alergi bronkitis dan asma.
2. Ruang
Selain bangunan yang harus dapat melindungi, ruangan di dalam rumah harus
dapat mencegah penularan penyakit dan mendukung kesehatan penghuninya. Kita akan
melihat syarat ruang yang baik dimulai dari komponen, kemudian ventilasi, pencahayaan,
luas bangunan rumah, dan tata ruangnya. 16-17
a. Komponen
Komponen rumah yang mudah untuk dirawat sangatlah penting. Sebab, semakin
sering dan mudah kita merawat dan membersihkannya, maka sumber penyakit tidak
akan ada di rumah itu. Untuk lantai, saat ini ada berbagai jenis lantai rumah. Lantai
rumah dari semen atau ubin, keramik, atau cukup tanah biasa yang dipadatkan. Syarat
20
yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada
musim hujan. Lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang basah dan
berdebu merupakan sarang penyakit. Selain lantai, dinding dan langit langit serta
ruang dapur juga harus diperhatikan. Dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus
kedap air dan mudah dibersihkan. Langit langit harus mudah dibersihkan dan
komponennya kuat sehingga tidak rawan kecelakaan. Sedangkan ruang dapur harus
memiliki sarana pembuangan asap karena dapur menghasilkan asap pembakaran dari
proses memasak.
b. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat
racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Namun, perhatikan bahwa udara yang
masuk ke dalam rumah tidaklah berasal dari tempat pembuangan dan pembakaran
limbah serta kamar mandi/WC.
Kurangnya ventilasi juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan
naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban
akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri
penyebab penyakit). Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran
udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam
kelembaban (humidity) yang optimum. Luas ventilasi alamiah yang permanen
minimal haruslah 10% dari luas lantai.
Ada 2 macam ventilasi, yakni :
Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara
alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan
sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karena juga
merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk
itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk
tersebut.
21
c. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu
banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya
matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata.
Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni:
Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20 %
dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam
membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam
ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini disamping
sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun
harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai
(bukan menyinari dinding). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan
dengan genteng kaca.
Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya.
23
sekitar rumahnya, tidak terlalu jauh dari pusat pendidikan, pasar, telah terjangkau jaringan
listrik PLN, dan tempat tempat sumber kebutuhan pokok manusia lainnya.
Lingkungan sekitar rumah juga harus bersih, tidak dekat tempat pembuangan
kotoran/sampah, dan hal hal merugikan lainnya. 16-17
4. Fasilitas
Tentu selain ketiga hal di atas, fasilitas merupakan hal penting yang mendukung
kesehatan penghuninya. Namun, fasiitas yang dipakai dan cara penggunaannya juga harus
benar. Yang terpenting adalah penyediaan air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan
sampah, dan penyediaan listrik. Ada pula fasiitas tambahan lainnya seperti kandang ternak
dan fasilitas fasilitas untuk alat rumah tangga. Berikut penjelasannya.
Pada dasarnya setiap rumah harus disediakan air minum dan memenuhi
persyaratan. Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum agar
dimintakan rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan
contoh air hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya bukan oleh
pihak developer, dan keterangan ini harus tercantum dalam surat statement yang mereka
terbitkan. Untuk menyediakan air minum dengan jumlah yang cukup, dapat diambil
sumber dari : Sumur Pantek/Gali, sumur artesis, PDAM/PAM, mata air, penyaringan dari
air-air sungai/rawa dsb. 16-17
a. Sumur Pantek/Gali
- Dalam hal penyediaan air minum/air bersih diambil dari sumur pantek/gali, maka untuk
setiap sumur gali/pantek, hanya diperbolehkan mensupply maksimum 4 (empat) unit
rumah.
- Dalam pipa/sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut selalu
dapat menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walau-pun pada musim kemarau
(tinggi air minimal 2 m)
- Jarak sumur pantek/gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic tank
harus lebih besar dari 8 m). Untuk sumur gali jarak tersebut agar diambil/diukur dari
dinding sumur ke dinding bagian luar septic tank.
- Pemeriksaan mutu air, cukup dilakukan satu sumur saja pada lokasi yang diperkirakan
terjelek.
b. Sumur Artesis
24
- Debit air harus dapat mensupply kebutuhan setiap penghuni rumah dengan cukup.
Tersedia sentral/pusat reservoir dengan ketinggian yang cukup (4m dari kran rumah
yang tertinggi) dan volume minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah
per hari dari rumah-rumah yang disupply oleh sumur tersebut. Bak reservoir air ini
direncanakan/dihitung oleh tenaga ahli (konstruktur) agar aman dan kuat.
- Lokasi sumur artesis inipun harus jauh dari lokasi pembuangan air kotor ( 25 m).
c. PDAM (PAM) Mengenai kualitas air dan debitnya sudah diatur oleh PAM. Rumah yang
dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa beserta
meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu
adanya testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah
disaring. Debit airnya harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan
baik, maka persyaratan bak reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi.
Tiap rumah agar dipasang meteran air, dan jaringan instalasi distribusinya harus
dilegalisir oleh PAM setempat.
Air limbah yang berasal dari kamar mandi, dapur, dan pembuangan lainnya tidak
boleh dibuang langsung pada saluran yang sama. Masing masing limbah ini harus
dibuang dengan saluran tersendiri, dan hasil pembuangan ini harus ditampung dalam
sebuah bak yang disebut septic tank. Perencanaan saluran juga harus tepat agar saluran
tidak tersumbat. Septic tank haruslah terbuat dari bahan yang tidak tembus air agar limbah
tidak mencemari lingkungan. Selain itu, jarak septic tank dengan sumur penyerapan adalah
minimal 9-10 meter agar sumur tidak tercemar.
Jaringan listrik, bila penyambungan listrik tidak termasuk dalam KPR BTN maka
tanah untuk lokasi trafo harus disediakan dengan luas yang mencukupi. Jaringan listrik
sangatlah penting sebagai sumber energi pendukung aktivitas manusia. Ingat juga untuk
bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi dengan
penangkal petir.
Untuk pembuangan sampah Setiap rumah harus disediakan atau dilengkapi dengan
tempat pengumpulan sampah. Volume bak sampah minimal 100 liter. Apabila memakai
drum/tong yang dapat ditumpahkan, volume minimumnya dapat diambil 50 liter.
25
Apabila psikis dan sosialisasinya terganggu, maka aktivitas dan produktivitasnya pun ikut
terganggu. Psikologis dan sosiologis ini juga dipengaruhi oleh 4 faktor yang sama seperti
fisiologis, yaitu sebagai berikut. 16-17
1.
Bangunan
Bangunan yang telah dibuat dengan kokoh dan sesuai persyaratan, akan
memunculkan rasa nyaman dan aman bagi penghuninya. Bayangkan bila bangunan
mudah roboh atau sangat mudah terbakar. Si penghuni akan merasa was was bila cuaca
sedang buruk. Kemudian bila bangunan mudah bocor juga akan membuat penghuninya
khawatir bila ada hujan deras. Apalagi bila sedang tidur, maka mereka akan terpaksa
bangun dan membereskan kekacauan akibat bocor tersebut. Apabila bahan bangunan itu
menghasilkan zat- zat berbahaya atau berpotensi menimbulkan penyakit pada
penghuninya, secara psikis mereka juga akan merasa takut dan tidak aman hidupnya.
Semua orang tentu tidak ingin sakit. Dengan keadaan rumah yang seperti ini, mereka
akan merasa malu dan tidak percaya diri untuk memperlihatkan rumah mereka pada tamu
yang datang. Hal ini tentu akan mengganggu sosialisasinya juga secara tidak langsung.
2.
Ruang
Adanya pembagian ruang yang berjalan sesuai fungsinya dapat mempengaruhi
psikis dan sosialisasi seseorang. Hubungan antar ruang untuk ruang ruang pribadi
(privat) dan ruang bersama (publik); antara kamar orang tua dan kamar anak; antara
daerah gerak, kerja, suasana ramai, dan tenang harus diselaraskan dengan baik.
Peletakkan tata ruang yang baik juga berpengaruh. Misalnya di depan jendela ruang
kamar menghadap dapur atau tempat cuci baju, maka hal itu akan membuat pemandangan
mata merasa jenuh dan tidak menyenangkan. Sebaliknya apabila di depan jendela kamar
tidur terlihat langsung taman/kebun rumah, maka perasaan orang itu akan lebih nyaman
dan damai. Luas ruangan yang terlalu kecil untuk keluarga beraktivitas juga membuat
mereka menjadi tidak nyaman. Pencahayaan dan ventilasi yang kurang akan membuat
keluarga malas beraktivitas karena keadaan yang tidak mendukung sekaligus tidak juga
merasa nyaman. Begitu pula dengan komponen ruangan yang tidak mendukung, misalnya
dinding atau lantai yang menyerap air. Hal itu membuat jijik dan terlihat kotor.
3.
Ekologis
27
Banyak orang masih melihat kualitas rumah sebagai faktor utama pemilihan rumah.
Namun, penelitian membuktikan bahwa tuntutan mutu lingkungan akan menjadi
pertimbangan utama sebelum pemikiran kualitas rumah. Keterangan tentang kelengkapan
fasilitas umum menjadi penting bagi kredibilitas suatu perumahan dan menjadi patokan
masyarakat dalam menentukan rumah untuk dihuni. Kualitas perumahan yang penting
untuk suatu daerah permukiman bukan hanya penampilan visual alam sekitarnya,
melainkan juga fasilitas umum seperti ruang bermain anak, sekolah, taman kanak
kanak, tempat belanja yang dekat, hubungan lalu lintas yang baik, fasilitas kesehatan,
kemungkinan untuk mengadakan kontak sosial melalui sarana rekreasi, adanya daerah
hijau tempat wisata, dan lain lain yang dapat meningkatkan rasa kenyamanan si
penghuni rumah untuk tinggal di daerah situ. Dengan hal seperti itu, kebutuhan untuk
bersosialisasi dan rasa nyaman serta aman menjadi terpenuhi.
4.
Fasilitas
Keadaan rumah yang tidak memiliki sumber air bersih yang dekat akan membuat
mereka merasa malas untuk beraktivitas, karena nantinya akan kotor dan jauh lagi untuk
membersihkan tubuh. Dan apabila tubuh kotor namun jarang membersihkan karena
sumber air bersih yang sulit terjangkau, orang orang akan menghindari kita untuk
bersosialisasi karena tubuh kita yang berbau tidak sedap dan kotor.
Tidak adanya listrik di perumahan akan melambankan produktivitas karena tidak
adanya energi pendukung dan pencahayaan, terutama saat malam hari. Seharusnya
mereka masih bisa beraktivitas saat malam hari pula. Mesin mesin yang dipakai untuk
bekerja pun menjadi tidak berfungsi apabila listrik tidak ada. Kemudian apabila rumah
tidak memiliki tempat pembuangan sampah, maka keadaan rumah akan semakin kotor
dan berantakan. Bila pembuangan sampah ke luar rumah secara sembarangan, lingkungan
akan menjadi kotor. Pemandangan yang kotor akan mengurangi pandangan mata. Bila
sampah sudah timbul bau tidak sedap, maka orang akan malas beraktivitas di luar rumah.
Begitu pula halnya dengan kekurangan fasilitas fasilitas lainnya di dalam rumah,
termasuk perabotan rumah tangga yang menjadi standar minimum walaupun
pengaruhnya tidak terlalu besar.
Perilaku Manusia
28
Perilaku baik yang dilakukan penghuni di rumah agar rumah tersebut menjadi sehat
sangat banyak, antara lain 1.) lakukan pembersihan terhadap barang barang yang sudah
tidak terpakai secara berkala. Apabila debu dan kotoran sudah tersingkirkan serta barang
barang tersusun sebagaimana mestinya maka ruangan akan terasa lebih luas dan nyaman, 2.)
pembersihan rutin diperlukan di areal dapur, lantai, dan sudut sudut ruangan yang sering
berdebu ataupun ada sarang laba laba, 3.) membersihkan kamar mandi dan jamban/WC, 4.)
menyapu halaman untuk membersihkan sampah agar tidak menjadi sumber penyakit dan
kecelakaan, 5.) menguras dan menyikat kamar mandi agar bersih dan tidak menjadi tempat
bertelur nyamuk, 6.) membuang sampah di tempat sampah yang tertutup agar tidak dapat
dihinggapi lalat, kecoa, tikus maupun hewan lainnya sebagai pembawa penyakit. Apabila
buang sampah sembarangan di luar rumah, akan merusak lingkungan, dan dampaknyaakan
sangat terasa ketika musim hujan dan banjir, 7.) membuka jendela diwaktu pagi sampai sore
hari agar udara bersih dan segar masuk ke dalam rumah akan mengurangi terjadinya sakit
pernapasan, 8.) tidur dengan menggunakan kelambu dapat menghindari gigitan nyamuk
sehingga dapat terhindar dari penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, 9.) memasang kawat
kasa nyamuk pada lubang angin atau ventilasi untuk mencegah masuknya nyamuk ke dalam
rumah, 10.) menjemur kasur dapat membunuh kuman yang menempel di kasur dan mengusir
atau mencegah bersarangnya kutu busuk, 11.) menyimpan makanan dan minuman ditempat
tertutup dapat mencegah masuknya kotoran debu ke dalam makanan serta mencegah
datangnya serangga seperti lalat dan kecoa serta tikus untuk hinggap atau makan makanan
yang disimpan, 12.) buang air besar dan kencing di jamban/WC akan mengurangi bau dan
menghindari penularan penyakit diare atau mencret, 13.) tidak merokok dalam rumah, 14.)
dan lain-lain. 16-17
29
Kesimpulan
Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak hal, begitu juga dengan penyakit
lepra. Kondisi lingkungan yang buruk, adanya reservoar dan host yang rentan membuat agent
penyakit menular ini mampu menginfeksi host yang rentan tersebut. Penemuan kasus,
controlling, pencatatan, pelaporan kasus yang ada di masyarakat, dan pelayanan kesehatan
yang menyeluruh seperti pada kedokteran keluarga yang baik mampu memutuskan rantai
penularan dan memberantas penyakit tersebut.
Daftar Pustaka
1. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI; 2010.h.73-88.
2. Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Jakarta: FKUI; 2003.h.1-127.
30
3. Nelson KE. Leprosy. In: Maxcy-Rosenau. Last public health & preventive medicine. 15 th
ed. USA: the McGraw-hill Companies, 2008.p. 258-63.
4. Dudiarto E dan Anggraeni D. Pengantar epidemiologi. Ed.II. Jakarta : EGC, 2003.h. 1003.
5. Arias KM, Harkavy LM. Program surveilans rutin untuk fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam Aris KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jakarta: EGC; 2010.h.25-54.
6. Azrul A. Pengantar pelayanan dokter keluarga. Jakarta : Yayasan Penerbit IDI, 1986.
7. World Organization of Family Doctors. The role of the general practitioners/family
physycyans in health care systems, WONCA, 1991.
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas jilid III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI, 1991.h.G-58.
9. Azwar, Azrul
(1995):
Pengantar Administrasi
Kesehatan,
Edisi
Ketiga,
PT.
31