PENDAHULUAN
Kontribusi sektor pertambangan terhadap kerusakan hutan di Indoensia mencapai
10% dan kini melaju mencapai 2 juta ha per tahun. Di Bangka-Belitung luas lahan bekas
pertambangan timah sudah mencapai 400.000 ha yang terdiri dari 65% lahan tandus dan
35% berbentuk telaga-telaga (Sitorus et al. 2008).
Reklamasi terhadap lahan bekas tambang timah tersebut telah dilakukan, pada tahun
1992-2008 perusahaan tambang timah telah mereklamasi sekitar 11.000 ha, pada tahun 2008
seluas 2.000 ha dan selanjutnya direncanakan reklamasi dilakukan seluas 1.600 ha per tahun
(Bisnis Indoensia, 20 Februari 2010).
Selama ini reklamasi lahan bekas tambang dilakukan dengan menanaman tanaman
akasia (A. mangium dan A. auriculiformis), gamal dan sengon (Setiadi, 2004), tanaman
lainnya seperti kelapa, jambu monyet, pisang, pepaya, kacang tanah sayuran. Budidaya
tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha perternakan ayam yang merupakan sumber
bahan organik bagi lahan ini. Namun budidaya pertanian di tailing timah sangat intensif dan
membutuhkan masukan modal yang besar dan tentu sulit untuk dilaksanakan oleh petani
umumnya (Hafizionion. 2008).
Pada dasarnya kegiatan reklamasi harus seimbang dengan pembukaan tambang,
tetapi sering reklamasi lahan yang sudah dilakukan, kembali rusak yang disebabkan oleh
penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat setempat. Hal ini terjadi disebabkan oleh
beberapa hal antara lain hasil penambangan dapat langsung dijual tidak memerlukan waktu
yang panjang dan harga menguntungkan, sedangkan tanaman hasil reklamasi belum
memberikan nilai ekonomi yang berarti bagi masyarakat.
117
Penanaman tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg) di lahan bekas tambang
dinilai merupakan salah satu alternatif utama untuk mengatasi tidak produktifnya lahan
tandus bekas tambang timah tersebut, masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh sisa
penambangan dan sekaligus memecahkan masalah perekonomian masyarakat. Beberapa hal
kenapa tanaman karet berpotensi dikembang di lahan bekas bekas tambang. Pertama,
tanaman karet termasuk tanaman multiguna (multipurpose tree species, MPTS), mempunyai
adaptasi yang tinggi pada lahan-lahan marginal, seperti di lahan yang berbatu di Sulawesi
Selatan. Tanaman karet mempunyai akar tunggang yang dalam secara teoritas lebih mampu
mengatasi masalah kekeringan. Tanaman karet bahkan mampu memberikan produktivitas
yang lebih tinggi pada lahan berpasir dengan bulan kering yang tegas dibandingkan dengan
lahan yang tidak memeiliki bulan kering (Suhendry et al., 1996). Kedua, tanaman karet
mampu memperbaiki sifat tanah melalui pekayaan hara dengan karakter fisiologi
pengguguran daunnya. Selain itu tanaman karet dapat disadap dan menghasilkan getah
hampir setiap hari sehingga menghasilkan pandapatan yang dibutuhkan oleh masyarakat
Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa setiap tahun daun karet dapat
mengembalikan 45-90 kg/ha N, 3-7 kg/ha P, 10-20 kg/ha K dan 9-18 kg/ha Mg. Melalui
pengguguran daunnya, ini merupakan karisteristik tanaman karet. Dengan demikian
diharapkan pemulihan lahan bekas tambang dapat lebih cepat terjadi. Untuk daerah BangkaBelitung tanaman karet bukan tanaman baru, petani sudah sangat mengenal budidaya
118
tanaman ini walaupun belum menggunakan benih unggul, selain itu tanaman karet dapat
dikatakan menghasilkan pendapatan hampir tiap hari sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidup keluarga tani sehari-hari. Selain itu saat ini telah tersedia klon karet penghasil latekskayu, sehingga selain menghasilkan lateks juga menghasilkan kayu untuk memenuhi
kebutuhan kayu pertukangan dan meubiler (Boerhendhy. 2005).
Parameter
pH
Kadar N total (%)
P (ppm)
K (me %)
Timbal (Pb) (ppm)
Sebelum
5,1
0,01
0,15
0,03
12
Sesudah
6,4
0,03
2,29
0,27
10
Pembenahan tanah lahan bekas tambang dapat dilakukan dengan memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biotik. Perbaikan fisik dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan
pembenah tanah seperti bahan organik, mineral dan agens hayati. Bahan organik dapat
berasal dari pupuk kandang, sampah atau tanaman air. Bahan pembenah tanah yang berasal
dari mineral dapat digunakan tanah liat atau zeolit, sedangkan agens hayati dapat diperoleh
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
119
dari perakaran tumbuhan pioner yang tumbuh disekitar lahan bekas tambang atau
menggunakan pupuk hayati yang sudah banyak beredar. Kelebihan menggunakan pupuk
hayati yang berasal dari agens hayati di lokasi penggunaan antara lain bahan pembawanya
dapat disesuaikan dengan konsisi di lapangan dan kemungkinnan besar agens hayati yang
diperoleh sudah beradaptasi dilikungan penggunaannya. Sedangkan kelemahan menggunakan
pupuk hayati yang beredar saat ini antara lain sebagian besar menggunakan bahan pembawa
zeolit yang dapat memasamkan tanah sedangkan lahan bekas tambang pHnya memang
rendah. Selain itu untuk mendatangkan pupuk hayati dari luar daerah akan memerlukan biaya
lebih mahal.
Banyak manfaat dari penggunaan pupuk hayati terutama pada tanah yang
mengandung pasir tinggi, antara lain dapat meningkatkan kemampuan akar tanaman
mengadsropsi air dan unsur hara sampai pada batas minimum yang tersedia dalam tanah,
sehingga tanaman lebih tahan terhadap kekeringan dan efisien dalam memanfaatkan pupuk;
dapat menyerap unsur logam berat yang dapat meracuni tanaman. Pupuk hayati mampu
menambah jumlah mikroba tanah yang diperlukan oleh akar tanaman, 250 kg pupuk hayati
jumlah mikroba yang dihasilkan setara dengan jumlah mikroba yang dihasilkan oleh kompos
sebanyak 5 ton dan 2 ton pupuk kandang. Selain itu pupuk hayati dapat menghemat
penggunaan pupuk N 50%, P 27% dan K 20%.
Arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah
upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi (Sujitno, 2007).
Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi
ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek
ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini
revegetasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek
tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi.
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang
(Direktorat Jenderal rehabilitasi Hutan dan Laha, Departemen Kehutanan., 1977). Menurut
Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan
secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan
pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi
lingkungan melalui perbaikan habitat hewan, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas
air.
Lilit dan tinggi batang utama tanaman karet.
Hasil statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman karet yang ditanam
disekitar lahan bekas tambang mempunyai lilit pangkal batang, lilit batang tinggi 130 cm dan
tinggi cabang mempunyai keragaman yang rendah (Tabel 2).
120
Tabel 2.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Rata2
KK (%)
Lilit pangkal batang, pada ketinggian 130 cm dan tinggi cabang tanaman karet
umur 3 tahun di daerah bekas tambang timah.
Lingkaran pangkal
Batang (cm)
66
54
59
38
60
60
58
60
58
53
64
43
60
54
59
58
56,5
12,67
Lingkaran batang
tinggi 130 cm (cm)
54
42
48
35
48
50
49
48
45
44
46
35
49
43
49
48
45,8
11,20
Tinggi cabang
(cm)
240
290
210
300
280
240
230
280
250
250
250
240
260
240
270
280
256,88
9,35
Ini menunjukkan bahwa tanaman karet yang ditanam di lahan bekas tambang
mempunyai lilit batang yang cukup baik dibandingkan dengan lilit batang beberapa klon
tanaman karet di lahan mineral lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Lilit batang dan laju pertumbuhan beberapa klon tanaman karet
Lilit batang (cm) pada umur
Klon
IRR 39
IRR 42
GT1
2
21.00
24.50
19.90
36.06
29.15
29.05
48.26
50.98
43.39
61.58
51.41
51.20
Laju pertumbuhan
(cm/th)
Pasca
Pra sadap
sadap
13.53
8.97
10.43
4.58
2.03
1.47
Tanaman karet mempunyai adaptasi yang lebih tinggi, penyebaran tanaman karet di
Indonesia hampir di semua wilayah. Pada pengamatan ini juga menunjukkan bahwa tanaman
karet mampu beradaptasi di tanah bekas tambang timah di Bangka-Belitung dan berpotensi
dijadikan tanaman revegetasi pada tanah bekas tambang timah. Menurut Suhendry et al.
(1996) lahan marjinal merupakan lahan di mana sifat tanah dan lingkungan fisik menjadi
faktor pembatas untuk mencapai produktivitas pertanian se-cara optimal. Salah satu tipe
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
121
lahan marjinal adalah tekstur tanah yang mengandung fraksi pasir tinggi dan miskin unsur
hara.
Sifat iklim yang memiliki periode kering yang tegas juga dapat menjadikan lahan
bersifat marjinal. Kedua kondisi tersebut dijumpai di daerah Langga Payung, Kabupaten
Labuhan Batu, Sumatera Utara. Untuk melihat kemampuan tumbuh dan potensi tanaman
karet telah dilakukan evaluasi kemungkinan pengembangan karet di daerah tersebut.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman karet dapat tumbuh baik pada lahan marjinal
di Langga Payung. Klon PR 261 bahkan memiliki pertumbuhan lebih jagur dari rata-rata
pertumbuhan karet di daerah Langkat dan Deli Serdang. Produktivitas karet di daerah ini
cukup tinggi. Klon GT 1 dan PR 261 dapat mencapai produktivitas rata-rata 8 tahun sadap
lebih dari 2.000 kg/ha/th, yang berarti lebih tinggi dari produktivitas karet pada lahan yang
selama ini dianggap sesuai untuk karet. Produktivitas yang tinggi ter-sebut erat kaitannya
dengan tinggi-nya tegakan pohon per satuan luas karena rendahnya gangguan penyakit Jamur
Akar Putih (JAP) dan angin, serta rendahnya intensitas serangan penyakit daun pada daerah
ini. Penanaman karet mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dari lahan marjinal
tersebut. Klon PR 261, BPM 24, RRIM 703, PR 255, PR 300, dan GT 1 dapat
direkomendasikan untuk ditanam pada lahan marjinal dengan tekstur tanah lempung berpasir
sampai pasir berlempung, serta memiliki periode bulan kering yang tegas.
KESIMPULAN
Dari hasil observasi ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tanaman karet yang ditanam di lahan bekas tambang menunjukkan pertumbuhan vegetatif
yang cukup baik
2. Tanaman karet dapat dijadikan salah satu tanaman revegetasi pada lahan bekas tambang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo. S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Boerhendhy. I. 2005. Keragaan klon karet penghasil lateks dan kayu di daerah beriklim
kering. Prosiding lokakarya nasional pemuliaan tanaman karet 2005. Medan: 22-23
Nop. 2005. P; 251-260.
Ferry Yulius., Juniaty Towaha dan Kurnia Dewi Sasmita. 2010. Perbaikan lahan bekas
tambang timah: Studi kasus uji media tanah bekas tambang dengan beberapa macam
kompos untuk budidaya lada. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri. Vol. 1 No. 6. 2010. Hal; 295-308.
Hafizianion. 2008. Kajian Aspek Ekonomi Masyarakat Desa Sekitar Tambang. Fakultas
Kehutanan Unlam. Bajarbaru.
Suhendry, I., S. Ginting., R. Azwar., MZ. Nasution. 1996. Potensi pengembangan tanaman
karet pada tanah marginal beriklim kering. Studi kausu daerah Langga Payung
Sumatera Utara. Warta Puslit Karet. 15 (2): 67:77.
122
Sitorus, SKP., E. Kusumastuti dan L. M. Badri. 2008. Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi
Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep. Jurnal Tanah dan
Iklim. No. 27 . 2008: 57-73.
Setiadi, Y., 2004. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Stidu Ilmu Pengetahuan
Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
123