Oleh :
Roza Kurnia Wahyuningrum.
102011101037
Pembimbing :
Dr. Edi Nurtjahja., Sp. P
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit
tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal
paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1 Penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,2
BAB II
LAPORAN KASUS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tn. A
50 tahun
Laki-laki
Islam
Menikah
Jawa
Krajan, Silo
09 Maret 2015
20 Maret 2015
2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal
10 Maret 2015 di Ruang Sakura RSD dr Soebandi Jember.
2.2.1 KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
2.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sesak nafas dialami sejak 2 bulan terakhir tetapi 1 minggu ini sesak nafas
dirasakan semakin memberat, bahkan untuk ganti baju saja pasien sudah merasa
sesak sekali. Sesak dialami terus-menerus dan tidak memberat dengan cuaca
dingin. Sesak nafas akan berkurang jika dibuat istirahat sehingga untuk tidur
pasien harus menggunakan 2 bantal dan dalam posisi duduk. Riwayat sesak
sebelumnya ada. Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama
dengan dengan penderita. Sesak nafas dirasakan seperti perasaan tidak nyaman
dan susah untuk bernafas, terkadang sesak nafas juga diikuti nyeri dada yang
menjalar ke punggung hingga dagu. Sejak 2 bulan terakhir memang pasien sudah
tidak mampu bekerja sama sekali karena kakinya mulai bengkak hingga tidak kuat
untuk berjalan. Terkadang sesak nafas diikuti perasaan berdebar-debar dan keluar
keringat dingin
Penderita juga mengalami batuk dialami sejak 1 bulan yang lalu,hanya
memberat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, Lendir warna putih.Penurunan
berat badan drastis disangkal, tidak ada,nafsu makan hanya makan sekali dalam
sehari. Nyeri abdomen tidak ada, BAB & BAK lancar. Pasien memang perokok
berat sejak SMP hingga sekarang 1 hari hampir 2 kotak bungkus rokok
dihabiskannya.
Hipertensi disangkal
Diabetes Melitus disangkal
Stroke disangkal
Asma disangkal
Gagal Jantung disangkal
Gagal ginjal disangkal
Disangkal
:
: 85 kg
:165 cm
:31,1
Pernafasan
Kulit
Kelenjar limfe
Otot
dan dada
Tulang
K/L
: a/i/c/d:-/-/-/+
Thorax :
- Cor
Pulmo
Inspeksi
Retraksi
V
FR
:
: tidak terlihat ketertinggalan gerak nafas
: -/D
n n n n
n n
Perkusi
s s
r r r r
s r
s s
s
V Auskultasi
v v v v v
v v
Ronkhi
+ + + + + +
+
+ +
V Wheezing
+ + + + + +
+
+ +
+
Abdomen:
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
: cembung
undulasi (+),
Perkusi
Ekstremitas:
Superior
: akral hangat -/-, edema-/
Inferior
: akral hangat -/-, edema +/+
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.4.1 Hasil Lab
Jenis pemeriksaam
Hemoglobin
LED
9 Maret 2015
16,3
36/52
13 Maret 2015
14,4
105/111
Nilai normal
13,5-17,5
0-15
Leukosit
Hitung jenis
21,8
-/-/-/76/17/7
15,8
6/-/-/61/25/8
Hematokrit
Trombosit
SGOT
SGPT
Albumin
Glukosa sewaktu
Natrium
Kalium
Chlorida
Calsium
Magnesium
Fosfor
Kreatinin serum
BUN
Urea
49,3
336
50
51
2,4
112
136,3
3,93
105,4
3,29
0,77
1,21
1,7
25
54
43,7
345
Foto thorak
EKG
4,5-11
0-4/0-1/3-5/5462/25-33/2-6
41-53
150-450
10-35
9-43
3,4-4,8
<200
135-155
3,5-5,0
90-110
2,15-2,57
0,73-1,06
0,85-1,60
0,6-1,3
6-20
26-43
2.5 RESUME
O
Keadaan umum : lemah
Kesadaran
: composmentis
Tanda- tanda vital :
TD : 140/90
Nadi : 80x/m
RR : 24x/m
Tax : 36,5
k/l:a/i/c/d
: -/-/-/Thorak
:
Cor
: ic tidak tampak, ic
tidak
P
-Infus RL150
Pneumonia+susp
-Aminophilin
asma bronkial
pump 30cc da
+gastritis
akut+hipoalbumi
-Nebulizer
combivent+P
-Dexametaso
- p/o Citirizin
teraba, redup, S1S2
tunggal,
e/g/m=-/-/Pulmo
A
COPD + Susp
Interhist
Ambrox
Antasida
Albumin 20
FR
n n
n
n n n n
n n
Perkusi
s s
r r r r
s r
s s
s
Auskultasi
v v v v v
v v
Ronkhi
+ + + + + +
10
+ +
Wheezing
+ + + + + +
+
Abdomen
Exterimitas
+ +
+
: cembung, BU 9x/m,
soepel,
hipertimpani,nyeri tekan
epigastrium (+)
: akral hangat keempat
ekstremitas dan tidak ada
edema di keempat
ekstermitas
11
A
P
COPD + acute - O2 10 lpm
decompensated
- Infus PZ 5
heart failure+
ischemic heart
Paru:
H
HJantung:
- cedocard 0
syring pum
Pulmo
:
V
- Furosemid 5
FR
n n
n
n n n n
n n
Perkusi
s
s s
r r r r
s r
s s
s
Auskultasi
v v v v v
v v
12
(syring pum
- p/o spironola
1-0-0
Valsarta
-0-0
Simvas
0-0-1
Minias
1-0-0
Albumi
Ronkhi
V Wheezing
-
- -
Exterimitas
Abdomen
- -
- -
: cembung, BU
12x/m,soepel,
hipertimpani, undulasi (-),
nyeri tekan epigastrium (+)
: akral hangat keempat
ekstremitas dan kedua
ekstremitas atas tidak
edema kedua ekstermitas
bawah edema
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema ialah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya(PDPI, 2006 ; Prince, S & Wilson,
L, 2006).
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat (Riyanto, B.S & Hisyam, B, 2007).
Di teliti secara epidemiologi di berbagai Negara seperti di Belanda
angka insidensi PPOK ialah 10 15 % pria dewasa, 5 % wanita dewasa
14
dan 5 % anak anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok
mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada bukan perokok, dimana faal
paru cepat menurun. Perbandingan penderita PPOK pada pria dan wanita
adalah 3 10 : 1. Pekerjaan penderita PPOK sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. (Alsagaff, H & Mukty,
A, 2008).
3.2
Merokok
Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan
dosis-respon antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration
volume 1 second) dengan intensitas merokok (pak per tahun) dan
prevalens PPOK pada subyek perokok lebih tinggi dengan bertambahnya
usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat dijelaskan
karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas
untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan
dengan berapa pak rokok per tahun). Faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam pengaruh rokok terhadap berkembangnya obstruksi
saluran napas (FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
15
Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang
batubara, tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya
PPOK (FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Tabel 1. Etiologi & faktor risiko PPOK (FishmanS, A.P, et al, 2008 ;
Kasper, D.L, et al, 2008).
Faktor Risiko PPOK
Etiologi & faktor risiko
Keterangan
Usia (tua)
Gangguan
ventilasi,
primer
efek
kumulatif merokok
Jenis Kelamin
Kebiasaan merokok
16
tahun
Polusi udara
Pekerjaan
Macam-macam
debu
yang
Diet
Faktor genetic
Berat lahir dan penyakit saluran napas FEV1 rendah pada berat lahir rendah
waktu kanak-kanak
hiperesponsif
ditemukan
pada
Polusi udara
17
Perokok pasif
Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi
paru setelah lahir dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi
pertumbuhan paru. Bahkan perokok pasif berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini terhadap beratnya
penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas (FishmanS, A.P, et
al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Faktor genetik
Defisiensi berat enzim 1 antitripsin (1AT) adalah faktor risiko
genetik untuk terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik
yang lain. Varian lokus protease inhibitor (Pi) yang mengkode 1AT
sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar 1AT normal. S alel
berhubungan dengan penurunan ringan kadar 1AT. Z alel berhubungan
dengan penurunan bermakna kadar 1AT (muncul pada lebih 1%
penduduk Kaukasia). Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat 1AT
turunan hanya 1-2%, tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik
18
berpengaruh
besar
terhadap
kemungkinan
berkembangnya
PPOK
3.3.
PATOFISIOLOGI
Faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahanperubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan
edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (Prince, S & Wilson,
L, 2006 ; Sibernagl, S & Lang, F, 2007).
19
Predisposisi
genetik (defisiensi
alfa 1 anti
Gangguan pembersihan
paru
Hipoventilasi
alveolar
Empisema sentrilobular
Empisema panlobular
20
3.4.
PATOLOGI
Pada kelainan patologi PPOK terdapat bronkitis kronis dan
emfisema Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema : (Kumar, R ,et al, 2007 ; Prince,
S & Wilson, L, 2006)
21
22
3.5.
KLASIFIKASI
23
2.
3.
4.
3.6.
DIAGNOSIS
24
Anamnesis
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
25
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh.
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.
26
Hiperinflasi.
Hiperlusen.
Diafragma mendatar.
27
Uji bronkodilator.
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil.
3.7.
DIAGNOSIS BANDING
PPOK didiagnosis banding dengan : (PDPI, 2006).
Asma.
Pneumotoraks.
3.8.
28
1. Edukasi.
2. Obat obatan.
3. Terapi oksigen.
4. Ventilasi mekanik.
5. Nutrisi.
6. Rehabilitasi.
1.
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif,
inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
3. Mencapai aktiviti optimal.
4. Meningkatkan kualitas hidup.
29
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang
(long acting ).
30
b. Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
31
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : Amoksisilin.
Makrolid.
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat.
Sefalosporin.
Kuinolon.
Makrolid baru.
Perawatan di Rumah Sakit :
- Amoksilin dan klavulanat.
- Sefalosporin generasi II & III per injeksi.
- Kuinolon per oral.
Anti pseudomonas :
- Aminoglikose per injeksi.
- Kuinolon per injeksi.
- Sefalosporin generasi IV per injeksi.
32
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan
N-asetil-sistein.
Dapat
diberikan
pada
PPOK
dengan
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak.
- Memperbaiki aktiviti.
- Mengurangi hipertensi pulmonal.
- Mengurangi vasokonstriksi.
33
- Mengurangi hematokrit.
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri.
- Meningkatkan kualiti hidup.
34
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan
terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan, kadar albumin darah.
- Antropometri, pengukuran kekuatan otot (kekuatan otot pipi).
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
1.
Terapi Farmakologis
a.
Bronkodilator
35
3 golongan :
Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol,
ipratropium
bromid,
oksitroprium bromid.
Metilxantin:
teofilin
lepas
lambat,
bila
Dianjurkan
bronkodilator
kombinasi
daripada
b.
Steroid
-
c.
Eksaserbasi akut.
36
Mukolitik
(mukokinetik,
N-Asetil-
sistein.
Imunoregulator
Vaksinasi
influenza,
pneumokokus.
Terapi Non-Farmakologis
a.
Rehabilitasi
latihan
fisik,
latihan
37
pasien
terus
bernapas
adalah
rendahnya
Nutrisi
d.
Terapi Pembedahan
- Memperbaiki fungsi paru, memperbaiki mekanik paru.
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi.
- Memperbaiki kualiti hidup.
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
Bulektomi.
DERAJAT
KARAKTERISTI
REKOMENDASI PENGOBATAN
38
Semua
Vaksinasi influenza
derajat
Derajat I
Bronkodilator
kerja
singkat
VEP1
Ringan)
Prediksi
80%
bila perlu
b.
Pemberian
antikolinergik
kerja
(PPOK
sedang)
Pengobatan
reguler
Kortikosteroi
dengan d inhalasi bila
bronkodilator:
uji
steroid
positif
Antikoliner
a.
tanpa gejala
gik
kerja
sebagai
lama
terapi
pemeliharaan
b.
LABA
c.
Simptomat
ik
Rehabilitasi
2.
Derajat III
(PPOK
1.
Pengobatan
Kortikosteroi
prediksi
lebih bronkodilator:
39
uji
steroid
Berat)
Antikoliner positif
a.
gejala
gik
kerja
sebagai
atau
lama eksaserbasi
terapi berulang
pemeliharaan
b.
LABA
c.
Simptomat
ik
Derajat IV
2.
Rehabilitasi
1.
lebih bronkodilator:
berat)
b.
LABA
c.
Pengobatan komplikasi
d.
Kortikosteroid
inhalasi
40
Rehabilitasi
3.
Terapi
oksigen
2.
41
Terdapat komplikasi.
3.9.
1.
Gagal napas
42
3. Kor pulmonal.
3.10.
PROGNOSIS
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain (GOLD, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Indonesia; 2011.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease
updated 2012.
3. Duerden Martin. The management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Merec Bulletin 2006; 16:17-20.
4. Wiyono WH, Riyadi J, Yunus F, Ratnawati A, Prasetyo S. The benefit of
pulmonary rehabilitation againts quality of life alteration and functional
capacity of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient assessed
using St Georges respiratory questionnaire (SGRQ) and 6 minute walking
distance test (6 MWD). Med J Indones 2005; 15: 165-72.
43
5.
6.
7.
44