Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM


COPD

Oleh :
Roza Kurnia Wahyuningrum.
102011101037
Pembimbing :
Dr. Edi Nurtjahja., Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
DAFTAR ISI

Halaman sampul ...................................................................................................1


Daftar Isi ...............................................................................................................2
BAB I Pendahuluan ..............................................................................................3
BAB II Laporan Kasus .........................................................................................4

2.1 Identitas Pasien .....................................................................................5


2.2 Anamnesis ..............................................................................................4
2.3 Pemeriksaan fisik ...................................................................................6
2.4 Pemeriksaan penunjang .........................................................................9
2.5 Resume ................................................................................................11
2.6 Diagnosis Kerja ...................................................................................12
2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................12
2.8 Prognosis ..............................................................................................12
2.9 Follow up ..............................................................................................13
BAB III Tinjauan Pustaka ................................................................................17
3.1 Definisi.................................................................................................17
3.2 Etiologi dan faktor resiko .....................................................................18
3.3 Patofisiologi .........................................................................................19
3.4 Patologi ..............................................................................................23
3.5 Klasifikasi ...........................................................................................24
3.6 Diagnosis .............................................................................................25
3.7 Diagnosis Banding ...............................................................................27
3.8 Penatalakaksanaan ................................................................................28
3.9 Komplikasi ............................................................................................37
3.10 Prognosis ............................................................................................37
Daftar Pustaka ...............................................................................................38

BAB I
PENDAHULUAN

PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit
tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal
paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1 Penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Agama
Status perkawinan
Suku
Alamat
Tanggal MRS
Tanggal KRS

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Tn. A
50 tahun
Laki-laki
Islam
Menikah
Jawa
Krajan, Silo
09 Maret 2015
20 Maret 2015

2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal
10 Maret 2015 di Ruang Sakura RSD dr Soebandi Jember.
2.2.1 KELUHAN UTAMA

Sesak nafas
2.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sesak nafas dialami sejak 2 bulan terakhir tetapi 1 minggu ini sesak nafas
dirasakan semakin memberat, bahkan untuk ganti baju saja pasien sudah merasa
sesak sekali. Sesak dialami terus-menerus dan tidak memberat dengan cuaca
dingin. Sesak nafas akan berkurang jika dibuat istirahat sehingga untuk tidur
pasien harus menggunakan 2 bantal dan dalam posisi duduk. Riwayat sesak
sebelumnya ada. Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama
dengan dengan penderita. Sesak nafas dirasakan seperti perasaan tidak nyaman
dan susah untuk bernafas, terkadang sesak nafas juga diikuti nyeri dada yang
menjalar ke punggung hingga dagu. Sejak 2 bulan terakhir memang pasien sudah
tidak mampu bekerja sama sekali karena kakinya mulai bengkak hingga tidak kuat
untuk berjalan. Terkadang sesak nafas diikuti perasaan berdebar-debar dan keluar
keringat dingin
Penderita juga mengalami batuk dialami sejak 1 bulan yang lalu,hanya
memberat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, Lendir warna putih.Penurunan
berat badan drastis disangkal, tidak ada,nafsu makan hanya makan sekali dalam
sehari. Nyeri abdomen tidak ada, BAB & BAK lancar. Pasien memang perokok
berat sejak SMP hingga sekarang 1 hari hampir 2 kotak bungkus rokok
dihabiskannya.

2.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Hipertensi disangkal
Diabetes Melitus disangkal
Stroke disangkal
Asma disangkal
Gagal Jantung disangkal
Gagal ginjal disangkal

2.2.4 RIWAYAT PENGOBATAN

Disangkal

2.2.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Disangkal
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital sign
:
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi
: 100 x / menit
Pernafasan
: 42 x / menit
Suhu aksila
: 37,2 o C
Status gizi
BB
TB
BMI

:
: 85 kg
:165 cm
:31,1

Pernafasan

: sesak (+), batuk (+), pernafasan cuping hidung (+)

Kulit

: pucat (-), turgor kulit <2 detik, sianosis (-)

Kelenjar limfe

: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),

Otot

: menggunakan otot nafas tambahan di leher, perut,

dan dada
Tulang

: tidak ada deformitas

K/L

: a/i/c/d:-/-/-/+

Thorax :
- Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak di ICS V MCL S

Palpasi : ictus cordis tidak teraba di ICS V MCL S


Perkusi: pekak di ICS IV MCL D s/d ICS V MCL S
Auskultasi
-

Pulmo
Inspeksi
Retraksi
V

: S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)

FR

:
: tidak terlihat ketertinggalan gerak nafas
: -/D

n n n n

n n

Perkusi

s s

r r r r

s r

s s
s

V Auskultasi

v v v v v

v v

Ronkhi

+ + + + + +
+

+ +

V Wheezing

+ + + + + +
+

+ +
+

Abdomen:

Inspeksi

Auskultasi

: bising usus (+), 16 x/menit

Palpasi

: soepel, nyeri tekan(-),

: cembung

undulasi (+),

pekak (+) beralih, hepar teraba 2 jari


dibawah arcus costae, tidak teraba
ren, tidak teraba lien.

Perkusi

: timpani-redup, nyeri ketok ginjal (-)

Ekstremitas:

Superior
: akral hangat -/-, edema-/
Inferior
: akral hangat -/-, edema +/+
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.4.1 Hasil Lab
Jenis pemeriksaam
Hemoglobin
LED

9 Maret 2015
16,3
36/52

13 Maret 2015
14,4
105/111

Nilai normal
13,5-17,5
0-15

Leukosit
Hitung jenis

21,8
-/-/-/76/17/7

15,8
6/-/-/61/25/8

Hematokrit
Trombosit
SGOT
SGPT
Albumin
Glukosa sewaktu
Natrium
Kalium
Chlorida
Calsium
Magnesium
Fosfor
Kreatinin serum
BUN
Urea

49,3
336
50
51
2,4
112
136,3
3,93
105,4
3,29
0,77
1,21
1,7
25
54

43,7
345

Foto thorak

EKG

4,5-11
0-4/0-1/3-5/5462/25-33/2-6
41-53
150-450
10-35
9-43
3,4-4,8
<200
135-155
3,5-5,0
90-110
2,15-2,57
0,73-1,06
0,85-1,60
0,6-1,3
6-20
26-43

2.5 RESUME

Laki-laki usia 50 tahun


Sesak napas sejak 2 bulan ini, makin lama makin parah. Sesak berkurang jika
duduk. Tidur dengan 2 bantal. Sesak terjadi terus menerus, tidak dipengaruhi

cuaca dingin. Sesak sudah sering terjadi dan hilang timbul.


Batuk berdahak 2 bulan ini, tidak dipengaruhi cuaca dingin.
Kadang sumer-sumer tidak .
Nafsu makan pasien menurun .
Nyeri dada sejak 2 minggu ini, ditusuk-tusuk, memberat jika pasien menarik
napas dalam, berkurang dengan menahan napas
Pemeriksaan fisik :
Dyspnea (+).
Pulmo : simetris, tidak ada ketertinggalan gerak nafas, sela iga tidak melebar,
FR N/N, perkusi redup/sonor, SD bronkial/vesikuler, rh +/+, wh+/+
Pemeriksaan penunjang:
LED meningkat, leukositosis, hipoalbumin, hiperkalsemi, faal ginjal
meningkat, faal hati meningkat

2.6 DIAGNOSIS KERJA


Dispneu e.c COPD dd pneumonia + hipoalbumin
2.7 PENATALAKSANAAN
O2 nasal 3 lpm
Inf RL 12 tpm
Inj Ceftazidin 2x1 gram
Inj Ranitidin 2x1 amp
P/O ambroxol 3x30mg

Aminophilin bolus 5cc/x


Aminophilin drip 8cc/RL/8 jam
Nebul combivent 3x1 dalam PZ 1cc
2.8 PROGNOSIS
Dubia ad malam

Follow up tanggal 14/3/2015


S
K: sesak, batuk,
nyeri daerah
ulu hati

O
Keadaan umum : lemah
Kesadaran
: composmentis
Tanda- tanda vital :
TD : 140/90
Nadi : 80x/m
RR : 24x/m
Tax : 36,5
k/l:a/i/c/d
: -/-/-/Thorak
:
Cor
: ic tidak tampak, ic
tidak

P
-Infus RL150

Pneumonia+susp

-Aminophilin

asma bronkial

pump 30cc da

+gastritis

kec 2,2 cc/jam

akut+hipoalbumi

-Nebulizer

combivent+P

-Dexametaso

- p/o Citirizin
teraba, redup, S1S2

tunggal,
e/g/m=-/-/Pulmo

A
COPD + Susp

Interhist
Ambrox
Antasida
Albumin 20

FR

n n
n

n n n n

n n

Perkusi

s s

r r r r

s r

s s
s

Auskultasi

v v v v v

v v

Ronkhi

+ + + + + +

10

+ +

Wheezing

+ + + + + +
+

Abdomen

Exterimitas

+ +
+

: cembung, BU 9x/m,
soepel,
hipertimpani,nyeri tekan
epigastrium (+)
: akral hangat keempat
ekstremitas dan tidak ada
edema di keempat
ekstermitas

Follow up tanggal 18/3/2015


S
O
K: sesak, batuk, Keadaan umum : lemah
Kesadaran
: composmentis
kaki kanan
Tanda- tanda vita :
dan kiri
TD : 120/70
Nadi : 86x/m
bengkak
RR : 22x/m
Tax : 36,6
k/l:a/i/c/d
: -/-/-/Thorak
:
Cor
: ic tidak tampak, ic tidak
teraba, redup, S1S2
tunggal, e/g/m=-/-/- /-

11

A
P
COPD + acute - O2 10 lpm
decompensated

- Infus PZ 5

heart failure+
ischemic heart

Paru:

attack+gastritis+ - p/o ambroxo


H
antasida
hipoalbumin
H
noperten
H
metilpre
H
2x1
H
ketokon

H
HJantung:

- cedocard 0

syring pum
Pulmo

:
V

- Furosemid 5
FR

n n
n

n n n n

n n

Perkusi
s

s s

r r r r

s r

s s
s

Auskultasi

v v v v v

v v

12

(syring pum
- p/o spironola
1-0-0
Valsarta
-0-0
Simvas
0-0-1
Minias
1-0-0
Albumi

Ronkhi

V Wheezing
-

- -

Exterimitas

Abdomen

- -

- -

: cembung, BU
12x/m,soepel,
hipertimpani, undulasi (-),
nyeri tekan epigastrium (+)
: akral hangat keempat
ekstremitas dan kedua
ekstremitas atas tidak
edema kedua ekstermitas
bawah edema

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.

DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema ialah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya(PDPI, 2006 ; Prince, S & Wilson,
L, 2006).
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat (Riyanto, B.S & Hisyam, B, 2007).
Di teliti secara epidemiologi di berbagai Negara seperti di Belanda
angka insidensi PPOK ialah 10 15 % pria dewasa, 5 % wanita dewasa

14

dan 5 % anak anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok
mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada bukan perokok, dimana faal
paru cepat menurun. Perbandingan penderita PPOK pada pria dan wanita
adalah 3 10 : 1. Pekerjaan penderita PPOK sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. (Alsagaff, H & Mukty,
A, 2008).

3.2

ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO


Etiologi dan faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok,
hiperresponsif saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanakkanak, pekerjaan, polusi udara di dalam dan di luar rumah, perokok pasif
dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim 1-antitripsin (1AT)
(FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Merokok
Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan
dosis-respon antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration
volume 1 second) dengan intensitas merokok (pak per tahun) dan
prevalens PPOK pada subyek perokok lebih tinggi dengan bertambahnya
usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat dijelaskan
karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas
untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan
dengan berapa pak rokok per tahun). Faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam pengaruh rokok terhadap berkembangnya obstruksi
saluran napas (FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

15

Hiperresponsif saluran napas


Banyak pasien PPOK memperlihatkan hiperresponsif saluran
napas. Beberapa studi longitudinal yang membandingkan respon saluran
napas pada awal studi dengan penurunan fungsi paru memperlihatkan
bahwa ada hubungan signifikan antara peningkatan respon saluran napas
dengan fungsi paru, sehingga hiperresponsif saluran napas adalah faktor
risiko PPOK (FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang
batubara, tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya
PPOK (FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Tabel 1. Etiologi & faktor risiko PPOK (FishmanS, A.P, et al, 2008 ;
Kasper, D.L, et al, 2008).
Faktor Risiko PPOK
Etiologi & faktor risiko

Keterangan

Usia (tua)

Gangguan

ventilasi,

primer

efek

kumulatif merokok
Jenis Kelamin

Laki-laki lebih beresiko dari wanita

Kebiasaan merokok

Berhubungan dengan berapa batang


rokok per-hari dan berapa pak per-

16

tahun
Polusi udara

Di luar ruangan dan di dalam ruangan


(dapur)

Pekerjaan

Macam-macam

debu

yang

menyebabkan hipersekresi mukus :


pekerja tambang batubara, emas dan
cadmium, petani, pemanen gandum,
pekerja pabrik semen dan tekstil.
Status sosial ekonomi

Lebih sering pada sosial ekonomi


rendah

Diet

Makan ikan banyak mengurangi risiko


pada perokok

Faktor genetic

Defisiensi 1-antitripsin adalah risiko


terkuat

Berat lahir dan penyakit saluran napas FEV1 rendah pada berat lahir rendah
waktu kanak-kanak

dan mortalitas karena PPOK tinggi


setelah dewasa, penyakit kronik pada
masa kanak-kanak predisposisi untuk
penyakit kronik setelah dewasa.

Penyakit bronkopulmoner rekuren

Menyebabkan penurunan fungsi paru

Alergi dan hiperresponsif saluran napas

Peningkatan IgE darah dan eosinofil


dan

hiperesponsif

ditemukan

pada

perokok tetapi sebagai faktor risiko


yang signifikan mungkin hanya pada
sebagian perokok

Polusi udara

17

Beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan gejala saluran


napas pada mereka yang tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal
di desa yang mungkin berhubungan dengan peningkatan polusi di
perkotaan. Tetapi hubungan polusi udara dengan obstruksi saluran napas
kronik belum jelas. Di negara berkembang tingginya angka PPOK pada
wanita yang tidak merokok diduga berhubungan dengan polusi udara
dalam ruangan, khususnya berhubungan dengan memasak di dapur
(FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Perokok pasif
Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi
paru setelah lahir dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi
pertumbuhan paru. Bahkan perokok pasif berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini terhadap beratnya
penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas (FishmanS, A.P, et
al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Faktor genetik
Defisiensi berat enzim 1 antitripsin (1AT) adalah faktor risiko
genetik untuk terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik
yang lain. Varian lokus protease inhibitor (Pi) yang mengkode 1AT
sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar 1AT normal. S alel
berhubungan dengan penurunan ringan kadar 1AT. Z alel berhubungan
dengan penurunan bermakna kadar 1AT (muncul pada lebih 1%
penduduk Kaukasia). Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat 1AT
turunan hanya 1-2%, tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik

18

berpengaruh

besar

terhadap

kemungkinan

berkembangnya

PPOK

(FishmanS, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

3.3.

PATOFISIOLOGI
Faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahanperubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan
edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (Prince, S & Wilson,
L, 2006 ; Sibernagl, S & Lang, F, 2007).

19

Asap rokok dan polusi


udara

Predisposisi
genetik (defisiensi
alfa 1 anti

Gangguan pembersihan
paru

Hilangnya septum dan


jaringan ikat
penunjang

Radang bronkus dan


bronkiolus

Obstruksi jalan napas akibat


radang
Lemahnya dinding
bronchial dan kerusaan
alveolar

Hipoventilasi
alveolar

Saluran nafas kecil


kolaps saat ekspirasi
Bronkiolitis
kronik

Empisema sentrilobular
Empisema panlobular

20

Gambar 1. Patogenesis PPOK (PDPI, 2006).

Gambar 2. Patofisiologi PPOK (Prince, S & Wilson, L, 2006 ; Sibernagl, S &


Lang, F, 2007).

3.4.

PATOLOGI
Pada kelainan patologi PPOK terdapat bronkitis kronis dan
emfisema Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema : (Kumar, R ,et al, 2007 ; Prince,
S & Wilson, L, 2006)

21

a) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas


ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat
kebiasaan merokok lama.
b) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.
c) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran
napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa
atau dekat pleura.
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien
PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran
nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan
parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim).
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi
jalan napas (Kumar, R ,et al, 2007 ; Prince, S & Wilson, L, 2006 ;
Sibernagl, S & Lang, F. 2007).

22

Gambar 3. Empisema sentriasianar & empisema panasinar


(FishmanS, A.P, et al, 2008).

3.5.

KLASIFIKASI

23

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat : (GOLD, 2012)
1.

Derajat I: PPOK ringan


Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada
derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi
parunya abnormal.

2.

Derajat II: PPOK sedang


Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP 1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

3.

Derajat III: PPOK berat


Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

4.

Derajat IV: PPOK sangat berat


Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

3.6.

DIAGNOSIS

24

Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak


nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+).
Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dapat
ditegakkan dengan cara : (PDPI, 2006).

Anamnesis

Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit


sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap
aktivitas. (PDPI, 2006).

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala


pernapasan.

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat


badan lahir rendah (BBLR).

Infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi


udara.

Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

Pemeriksaan Fisik, dijumpai adanya : (PDPI, 2006).

Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).

25

Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal


sebanding).
Penggunaan otot bantu napas.
Hipertropi otot bantu napas.
Pelebaran sela iga.
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai.
Penampilan pink puffer atau blue bloater.

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh.

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing.

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.

26

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik.

Pemeriksaan penunjang (PDPI, 2006).

Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:

Hiperinflasi.

Hiperlusen.

Diafragma mendatar.

Ruang retrosternal melebar.

Corakan bronkovaskuler meningkat.

Bulla & jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).

Pemeriksaan faal paru (PDPI, 2006).


Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP).
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %.
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

27

Uji bronkodilator.
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil.

3.7.

DIAGNOSIS BANDING
PPOK didiagnosis banding dengan : (PDPI, 2006).

Asma.

SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis).


Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

Pneumotoraks.

Gagal jantung kronik.

3.8.

Bronkiektasis, destroyed lung.

PENATALAKSANAAN (PDPI, 2006).


Tujuan penatalaksanaan :
Mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang.
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru serta meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

28

1. Edukasi.
2. Obat obatan.
3. Terapi oksigen.
4. Ventilasi mekanik.
5. Nutrisi.
6. Rehabilitasi.

1.

Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif,
inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
3. Mencapai aktiviti optimal.
4. Meningkatkan kualitas hidup.

Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit PPOK :


Ringan

29

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel.


Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok.
Segera berobat bila timbul gejala.
Sedang

Menggunakan obat dengan tepat, program latihan fisik dan pernafasan.

Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini.


Berat

Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi.

Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan.

Penggunaan oksigen di rumah.

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang
(long acting ).

Macam - macam bronkodilator :


- Golongan antikolinergik

30

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai


bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

b. Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu

31

terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan


minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : Amoksisilin.
Makrolid.
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat.
Sefalosporin.
Kuinolon.
Makrolid baru.
Perawatan di Rumah Sakit :
- Amoksilin dan klavulanat.
- Sefalosporin generasi II & III per injeksi.
- Kuinolon per oral.
Anti pseudomonas :
- Aminoglikose per injeksi.
- Kuinolon per injeksi.
- Sefalosporin generasi IV per injeksi.

32

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan

N-asetil-sistein.

Dapat

diberikan

pada

PPOK

dengan

eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak.
- Memperbaiki aktiviti.
- Mengurangi hipertensi pulmonal.
- Mengurangi vasokonstriksi.

33

- Mengurangi hematokrit.
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri.
- Meningkatkan kualiti hidup.

Indikasi terapi oksigen :


- PaO2 < 60mmHg atau Saturasi O2 < 90%.
- Pa O2 diantara 55 - 59 mmHg atau Saturasi O 2> 89% disertai Kor
Pulmonal perubahan P pulmonal, Hematokrit > 55% dan tanda - tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang.
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- Ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik tanpa intubasi.

34

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan
terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan, kadar albumin darah.
- Antropometri, pengukuran kekuatan otot (kekuatan otot pipi).
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
1.

Tatalaksana PPOK stabil (PDPI, 2006).

Terapi Farmakologis
a.

Bronkodilator

Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak


terjangkau.

35

Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan


(gejala intermitten).

3 golongan :
Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol,

terbutalin, formoterol, salmeterol.


Antikolinergik:

ipratropium

bromid,

oksitroprium bromid.
Metilxantin:

teofilin

lepas

lambat,

bila

kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan.

Dianjurkan

bronkodilator

kombinasi

daripada

meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.

b.

Steroid
-

PPOK yang menunjukkan respon


pada uji steroid.

PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi


(derajat III dan IV)

c.

Eksaserbasi akut.

Obat-obat tambahan lain

36

Mukolitik

(mukokinetik,

mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida.


Antioksidan

N-Asetil-

sistein.
Imunoregulator

(imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin.

Antitusif : tidak rutin.

Vaksinasi

influenza,

pneumokokus.

Terapi Non-Farmakologis
a.

Rehabilitasi

latihan

fisik,

latihan

endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial.


b.

Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam


sehari) : pada PPOK derajat IV, Analisa Gas Darah :
PaO2 < 55 mmHg, atau

SaO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia.


PaO2 55-60 mmHg, atau

SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer


karena gagal jantung, polisitemia.
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian
oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien

37

PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi


kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan
normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang
menyebabkan

pasien

terus

bernapas

adalah

rendahnya

konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus


merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif
kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan
muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk
bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat
diberi terapi dengan oksigen tinggi.
c.

Nutrisi

d.

Terapi Pembedahan
- Memperbaiki fungsi paru, memperbaiki mekanik paru.
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi.
- Memperbaiki kualiti hidup.
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

Bulektomi.

Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume


reduction surgey (LVRS) dan transplantasi paru.

Tabel 2. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).

DERAJAT

KARAKTERISTI

REKOMENDASI PENGOBATAN

38

Semua

Hindari faktor pencetus

Vaksinasi influenza

derajat

Derajat I

VEP1 / KVP < 70 % a.

Bronkodilator

kerja

singkat

(SABA, antikolinergik kerja pendek)


(PPOK

VEP1

Ringan)

Prediksi

80%

bila perlu
b.

Pemberian

antikolinergik

kerja

lama sebagai terapi pemeliharaan


Derajat II

VEP1 / KVP < 70 % 1.

(PPOK

50% VEP1 80%

sedang)

Prediksi dengan atau

Pengobatan
reguler

Kortikosteroi
dengan d inhalasi bila

bronkodilator:

uji

steroid

positif
Antikoliner

a.

tanpa gejala

gik

kerja

sebagai

lama
terapi

pemeliharaan
b.

LABA

c.

Simptomat
ik
Rehabilitasi

2.

Derajat III
(PPOK

VEP1 / KVP < 70%;

1.

Pengobatan

Kortikosteroi

30% VEP1 50%

reguler dengan 1 atau d inhalasi bila

prediksi

lebih bronkodilator:

39

uji

steroid

Berat)

Dengan atau tanpa

Antikoliner positif

a.

gejala

gik

kerja

sebagai

atau

lama eksaserbasi
terapi berulang

pemeliharaan
b.

LABA

c.

Simptomat
ik

Derajat IV

VEP1 / KVP < 70%;

2.

Rehabilitasi

1.

Pengobatan reguler dengan 1 atau

VEP1 < 30% prediksi


(PPOK
sangat

lebih bronkodilator:

atau gagal nafas atau


a.

gagal jantung kanan

berat)

Antikolinergik kerja lama


sebagai terapi pemeliharaan

b.

LABA

c.

Pengobatan komplikasi

d.

Kortikosteroid

inhalasi

bila memberikan respons klinis

40

atau eksaserbasi berulang


2.

Rehabilitasi

3.

Terapi

oksigen

jangka panjang bila gagal nafas


4. Pertimbangkan terapi bedah

2.

Tatalaksana PPOK eksaserbasi (PDPI, 2006).


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah:
bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari.
Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila infeksi: diberikan
antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M
catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:

Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.

Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan)


dan antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat : ditambahkan
aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam).

Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.


Steroid intravena: pada keadaan berat.

Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.

41

Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik.

Indikasi rawat inap :

Eksaserbasi sedang dan berat.

Terdapat komplikasi.

Infeksi saluran napas berat.

Gagal napas akut pada gagal napas kronik.

Gagal jantung kanan.

Indikasi rawat ICU :


Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau
ruang rawat.
Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan PaO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik
(invasif atau non invasif).

3.9.
1.

KOMPLIKASI (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).

Gagal napas

42

- Gagal napas kronik.


- Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
2.

Infeksi berulang (80 %) Infeksi S. Pneumonia, H. Influenza.


(Scharschmidt, B.F, 2007).

3. Kor pulmonal.

3.10.

PROGNOSIS
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain (GOLD, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
1.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru


Obstruktif Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di

2.

Indonesia; 2011.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease

updated 2012.
3. Duerden Martin. The management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Merec Bulletin 2006; 16:17-20.
4. Wiyono WH, Riyadi J, Yunus F, Ratnawati A, Prasetyo S. The benefit of
pulmonary rehabilitation againts quality of life alteration and functional
capacity of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient assessed
using St Georges respiratory questionnaire (SGRQ) and 6 minute walking
distance test (6 MWD). Med J Indones 2005; 15: 165-72.

43

5.

Ikalius, Yunus F, Suradi, Rachma Noer. Perubahan kualitas hidup dan


kapasitas fungsional penderita penyakit paru obstruktif kronik setelah

6.

rehabilitasi paru. Majalah Kedokt. Indonesia 2007 : 57.


Seymour JM, Moore L, Jolley JC. Outpatient pulmonary rehabilitation

7.

following acute exacerbations of COPD. Bmj 2010; 65: 423-428.


Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei

kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125.


8. Yunus F. Gambaran penderita PPOK yang dirawat di bagian Pulmonologi
9.

FKUI/SMF paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 2000;20:64-8.


Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.


10. Nanshan Z. COPD vs Asthma making a correct diagnosis. Asia Pasific
COPD Round Table Issue, 2003;5:1-2.
11. American Thoracic Society. Standards for diagnosis and care of patients
with COPD. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:77-120.
12. Mulyono D. Rehabilitasi pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cermin Dunia Kedokteran 1997; 33: 33-36.

44

Anda mungkin juga menyukai