Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan komplek gangguan klinis, kimiawi dan
metabolik yang timbul akibat menurunnya fungsi ginjal secara kronis dimana ciri
utama adalah penurunan laju filtrasi glomerulus.

(1)

Masalah GGK tidak jarang

ditemukan pada anak. Kemajuan yang pesat dalam pengelolaan menjadikan


prognosis penyakit ini membaik sehingga pengenalan dini GGK merupakan masalah
yang penting. (2)
Angka kejadian GGK pada anak sulit untuk menentukan secara pasti pada tahun
1972. American Society of Paediatric Nephrology memperkirakan pada anak yang
berumur dibawah 16 tahun 2,5 4 persejuta penduduk menderita GGK per tahunnya.
Angka kejadian GGK di California Utara adalah 1,6 pasien persejuta penduduk per
tahun. Tetapi angka ini mungkin lebih kecil mengingat yang dilakukan penelitian
adalah pasien dengan gangguan ginjal terminal. Antara tahun 1974-1977 di Swedia
dan Swiss angka kejadian GGK pada anak adalah sekitar 4,5 kasus persejuta
penduduk pertahun. Papadoupoulou menuliskan, pada anak kurang dari 16 tahun
sekitar 1,5 3 persejuta penduduk mengalami GGK. Menurut EDTA (European
Dialysis and Transplantation Association), selama tahun 1981 ditemukan 3 pasien
baru yang menajalani dialisis persejuta anak. Di Indonesia, angka kejadian GGK dan
GGT ini masih belum ada.di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang
menderita penyakit ginjal kronik antara tahun 1986-1988 adalah pasien GGK.(2,3)
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi 2 kategori besar yaitu kronik dan akut.
GGK merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya
berlangsung beberapa tahun. Sebaliknya gagal ginjal akut berkembang dalam
beberapa hari atau beberapa minggu. (4)

B. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan membahas tentang penatalaksanaan kelainan ginjal yang
bersifat kronik yang mencakup definisi, klasifikasi, etiologi, patogenesis, manifestasi
perjalanan klinis, data laboratorium, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.
Selain ini juga sebagai pemenuhan prasyarat untuk mengikuti ujian di Departemen
Anak RS. Margono Soekarjo Purwokerto.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu keadaan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat irreversibel, dengan akibat terjadinya penurunan laju filtrasi
glomerulus. Sedangkan penulis lain menyebutkan GGK sebagai keadaan
kerusakan ginjal yang tidak mampu lagi mempertahankan homeostatis tubuh. (2,9)
B. Klasifikasi
Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah
terjadi penurunan fungsi ginjal, tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi
dari ringan sampai berat. Kebanyakan penulis membuat klasifikasi berdasarkan
persentasi laju filtrasi glomerulus yang tersisa. (2)
Dalam keadaan normal renal plasma flow = 125 ml/menit/1,73 m 2 dan
klirens urea = 48 72 ml/menit/1,73 m2. Pada penilaian uji fungsi ginjal, dipakai
ukuran 1,73 m2 yang sama dengan luas permukaan orang dewasa. (5)
GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu (5) :
1. Gagal ginjal dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal ada
sekitar 50-80% dari normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon
metabolik untuk mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak
gangguan klinis.
2. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala
mulai dengan adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan
kesimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini laju filtrasi glomerulus
(LFG) berada di bawah 89 ml/menit/1,73 m2.
3. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal dibawah 25% dari normal dan telah
menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi
ginjal, anemia hipertensi dan sebagainya, LFG pada tingkat ini telah
berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73 m2.
3

4. Gagal ginjal terminal


Pada tingkat ini fungsi ginjal tinggal 12% dari normal, LFG menurun
sampai < 10 ml/menit/1,73 m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialisis
atau transplantasi ginjal.
Gagal ginjal kronik dibagi dalam 3 fase yaitu :
Fase awal, LFG antara 15-30 ml/menit/1,73 m2.
Fase akhir, LFG antara 5-15 ml/menit/1,73 m2.
Fase terminal, LFG < 5 ml/menit/1,73 m2.
C. Etiologi
Sebab-sebab gagal ginjal kronik pada anak adalah penyakit glomerulus
(40%) abnormalitas perkembangan ginjal dan saluran kemih dengan atau tanpa
obstruksi (20%), penyakit ginjal herediter (15%), pielonefritis dengan nefropati
refluk (15%) dan kelompok gangguan lain (10%) termasuk gangguan
vaskularisasi ginjal, sindroma hemolitik uremik, necrosis papilaris atau
kortical dan lain-lain.

(1,8)

Menurut laporan EDTA (European Dialysis and

Transplantation Association), glomerulonefritis dan pielonefritis merupakan


penyebab tersering timbulnya GGK (24%) diikuti oleh penyakit herediter (15%),
penyakit sistemik (10,5%), hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit vaskuler (3%),
penyakit lainnya (9%) serta yang tidak diketahui etiologinya 7%.
Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat
timbul GGK. GGK yang timbul pada anak dibawah usia 5 tahun sering ada
hubungannya dengan kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia, displasia,
obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang timbul pada
anak

diatas

tahun

dapat

disebabkan

oleh

penyakit

glomerular

(glomerulonefritis, sindroma hemolitik uremik dan kelainan herediter (Sindrom


Alport, Kelainan Ginjal Kistik) (2,6)

D. Patogenesis
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran
fungsi ginjal mencapai kritis, penjelekan sampai ginjal stadium akhir tidak dapat
dihindari. Mekanisme yang tepat, yang dapat mengakibatkan kemudnuran fungsi
secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang dapat memainkan peran
penting mencakup cedera imunologi yang terus menerus; hiperfiltrasi yang
ditengahi secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus;
masukan diet protein dan fosfor; proteinuria yang terus menerus; dan hipertensi
sistemik.
Endapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus
secara terus menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus
yang akhirnya menimbulkan jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting
pada destruksi glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai
cedera ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun, nefron sisanya
mengalami hipertrofi struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya
sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah
sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat
angiotensi II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang
bertahan hidup. Hiperfiltrasi yang bermanfaat pada glomerulus yang masih
hidup ini, yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak
glomerulus dan mekanismenya belum dipahami. Mekanisme yang berpotensi
menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan tekanan
hidrostatik pada integritas dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini
menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan perkembanagan
sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita
peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran
darah glomerulus dan hiperfiltasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensi
mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin II,
dnegan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat
penjelekan gagal ginjal.
5

Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menujukkan bahwa


diet tinggi-protein mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan
cara dilatasi arteriola aferen dan cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendahprotein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian manusia
memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG)
berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa
pembatasan diet protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada
insufisiensi ginjal kronis.
Beberapa

penelitian

yang

kontroversial

pada

model

binatang

menunjukkan bahwa pembatasan fiet fosfor melindungi fungsi ginjal pada


insufisiensi ginjal kronis. Apakah pengaruh menguntungkan ini karena
pencegahan penimbunan garamkalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan
jaringan

atau

karena

penekanan

sekresi

hormon

paratiroid,

yang

berkemungkinan nefrotoksin, masih belum jelas.


Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat
merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis
glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.
Ketika

fungsi

ginjal

mulai

mundur,

mekanisme

kompensatoir

berkembang pada nefron sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang


normal. Namun, ketika LFG turun dibawah 20% normal, kumpulan kompleks
kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara bersama
membentuk keadaan uremia. Manifestasi patofisiologi keadaan uremia ditulis
pada tabel 1.

Tabel 1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis


Manifestasi
Akumulasi produkproduk sampah
nitrogen (azotemia)
Asidosis
Pembuanagn natrium

Retensi natrium

Defek pemekatan urin


Hiperkalemia

Osteodistrofi ginjal

Retardasi pertumbuhan

Anemia

Kecenderungan
perdarahan
Infeksi
Neurologis (kelelahan,
konsentrasi jelek, nyeri
kepala, mengantuk,
kehilangan memori,
bicara tidak jelas,
kelemahan dan kram
otot, kejang-kejang,
neuropati, perifer,

Mekanisme
Penurunan laju filtrasi glomerulus
Pembuangan bikarbonat urin
Penurunan eksresi amonia
Diuresis zat terlarut
Kerusakan tubulus
Adaptasi
tubulus
fungsional
terhadap ekskresi natrium
Sindrom nefrotik
Gagal jantung kongestif
Anuria
Masukan garan secara berlebihan
Kehilangan nefron
Diuresis zat terlarut
Kenaikan aliran darah medula
Penurunan laju filtrasi glomerulus
Asidosis
Masukan kalium yang berlebihan
Hipoaldosteronisme
Penurunan
absorpsi
kalsium
intestinum
Produksi 1,25-hidroksi vitamin D
oleh ginjal terganggu
Hipokalsemia dan hiperfosfotemia
Hiperparatiroidisme sekunder
Defisiensi kalori-protein
Osteodistrofi ginjal
Asidosis
Anemia
Faktor-faktor yang tidak diketahui
Penurunan produksi eritropoetin
Hemolisis ringan
Perdarahan
Penurunan ketahanan hidup eritrosit
Masukan besi tidak cukup
Masukan asam folat tidak adekuat
Penghambat eritropoiesis
Trombositopenia
Defek pada fungsi trombosit
Defek pada fungsi granulosit
Fungsi imun seluler terganggu
Faktor-faktor uremik
Keracunan aluminium

asteriksis)
Ulserasi
saluran Hiperekskresi asam lambung
pencernaan
Hipertensi
Kelebihan beban natrium dan air
Produksi renin berlebihan
Hipertrigliseridemia
Penurunan
aktivitas hipoprotein,
lipase plasma
Perikarditis
dan Belum diketahui
kardiomiopati
Intoleransi glukosa
Resisten insulin jaringan
E. Manifestasi dan Perjalanan Klinis
GGK biasanya timbul perlahan, keluhan awal seringkali tidak jelas /
tidak spesifik, berupa kelemahan, letih, lesu, nyeri kepala, anoreksia dan nausea.
Gejala lebih spesifik adalah poliuria, nokturia, polidipsi, pembengkakan ringan
pada wajah, nyeri tulang dan sendi, hambatan pertumbuhan, kulit yang gatal dan
kering, kram otot, parestesia dan tanda-tanda neuropati sensorik atau motorik.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal kronik dapat terjadi muntah-muntah,
diare, keadaan kacau, mudah memar, edema dan menurunnya volume kemih.
Hipertensi, asidosis, retensi cairan dan anemia dapat menimbulkan gejala-gejala
gagal jantung umumnya terdapat nyeri kepala dan dapat terjadi bangkitan
kejang. (1)
Temuan fisik bervariasi berdasarkan keparahan dan stadium kulit yang
pucat, kuning kecoklatan, hambatan pertumbuhan, kelemahan dan penyusutan
otot, edema, kulit kering atau memar dengan tanda-tanda garukan karena
pruritus, hipertensi sistolik dan diastolik, tanda-tanda kelebihan beban sirkulasi
seperti edema paru, takikardi, takipnea, distensi vena jugularis, cardiomegali,
irama mendua (gallop rythym) dan bising sistolik ejeksi, deformitas tulang
dengan/tanpa nyeri tekan akibat osteodistropi ginjal, nafas uremik yang
karakteristik, lidah berselaput, tanda-tanda neuropati seperti hilangnya reflek
tendon dalam, hilangnya sensasi atau kekuatan otot. Serta retinopati uremik
dengan eksudat, penyempitan vascular dan mungkin juga perdarahan. (1,7,10)
F. Perjalanan Klinis
Gambaran umum perjalanan GGK dapat diperoleh dengan melihat
hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR)

sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar
BUN dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit Ginjal
Kronik. (4)
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium.
Stadium I.
Dinamakan penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan
kemih yang lama/dengan mengadakan tes GFR yang teliti.
Stadium II
Dinamakan insufisiensi ginjal
Dimana > dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25 %
dari normal. Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat di atas batas
normal. Pada stadium kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi
kadar normal pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan
poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini
timbul sebagai respon terhadap stres dan perubahan makan/minum yang tibatiba.
Stadium III
Atau stadium akhir gagal ginjal progresif disebut gagal ginjal stadium akhir atau
uremia.
Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90 % dari massa nefron telah
hancur. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Pada keadaan ini kreatinin
serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respon
terhadap GFR yang mengalami penurunan, penderita mulai merasakan gejalagejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan elektrolit dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan meninggal kecuali kalau mendapatkan pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. (4)

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronis dibagi menjadi 3


stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara
stadium-stadium tersebut. (4)
G. Data Laboratorium
Temuan esensial adalah berkurangnya GRF seperti yang diperlihatkan
penurunan clearence inulin, iotalamat, atau kreatinin dan peningkatan
konsentrasi urea nitrogen darah dan kreatinin serum. Besarnya penurunan GRF
merupakan determinan utama derajat perubahan abnormal lainnya seperti
hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperurikemia, asidosis metabolik, hiperkalemia,
hipoproteinemia, anemia normokromik, berkurangnya daya lekat trombosit,
perpanjangan waktu perdarahan dan isostenuria. (1,7,8,10)
Pemeriksaan radiologis thorak dapat memperlihatkan kardiomegali,
dilatasi aorta, hipertrofi ventrikel kiri, edema paru-paru dan efusi pleura.
Osteodistrofi ginjal paling menyolok pada daerah-daerah dengan pertumbuhan
yang cepat (humerus bagian atas, lutut, pergelangan tangan dan aspek lateral
clavicula). Perubahan berupa demineralisasi trabekulasi kasar, bercak-bercak
erosi, penipisan atau hilangnya cortek akibat hiperparathiroidisme sekunder,
riketsia atau osteomalasia. Osteotis fibrosa, hambatan umur tulang, fokus-fokus
osteosklerosis dan pada kasus lanjut deformitas tulang tertentu pada tempattempat yang menahan beban seperti panggul dan lutut. Erosi sub periosteal tepitepi

falangs

distal

jari

telunjuk

dan

tengah

merupakan

indikator

hiperparatiroidisme pada uremia. (1,4,7,8,10)


H. Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis, selain anamnesa dan pemeriksaan fisik,
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pada penderita yang berkembang gagal ginjal kronis biasanya dideteksi
karena penampilan manifestasi klinis sebelum mulainya insufisiensi ginjal.
Keluhan-keluhan yang muncul mungkin tidak spesifik :

Nyeri kepala
10

Lelah

Kegagalan pertumbuhan

Letargi

Polidipsi

Tidak nafsu makan

Poliuria(1,9)

Muntah

Gejala yang lebih spesifik adalah :


-

poliuria

hambatan pertumbuhan

nokturia

kulit yang gatal dan kering

polidipsia

kram otot

pembengkakan ringan pada

parastesia

tanda-tanda neuropati

wajah
-

sensorik/motorik(1)

nyeri tulang sendi

Adakalanya pemeriksaan fisik secara mengherankan mungkin tidak


mendapatkan nilai, tetapi sebagian besar penderita dengan gejala ginjal kronis
tampak pucat dan lemah dan menderita tekanan darah. (6)
Temuan fisik bervariasi berdasarkan keparahan dan stadium
-

Kulit pucat

Kulit kering/memar dengan pruritus

Hambatan pertumbuhan

Hipertensi

Penyusutan otot

Tanda-tanda kelebihan beban sirkulasi

Edema

Deformitas tulang dengan/tanpa nyeri tekan

Nafas uremi

Hilangnya reflek tendon dalam

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin meliputi :
-

Hb (anemia)

Elektrolit (hiponatremia, hiperkalemia, asidosis)

BUN dan kreatinin (timbunan nitrogen dan tingkat fungsi ginjal)

Kadar Ca2+ dan fosfor

Aktivitas alkali fosfatase (hipokalsemia, hiperfosfatemia, osteodistrofi)

Pemeriksaan periodik kadar Hormon paratiroid yang utuh.

Pemeriksaan roentgenografi tulang dapat menilai dalam mendeteksi bukti


awal adanya osteodistrofi
11

Pemeriksaan roentgenografi dada dan ekokardiografi dapat membantu


sepenuhnya dalam penilaian fungsi jantung (1)

I. Penatalaksanaan
Penanganan. Manajemen anak yang menderita gagal ginjal kronis
mmerlukan pemantauan keadaan klinis penderita secara ketat (pemeriksaan fisik
dan tekanan darah) dan keadaan laboratorium. Pemeriksaan darah yang
dilakukan secara rutin meliputi hemoglobin (anemia), elektrolit (hiponatremia,
hiperkalemia, asidosis), BUN dan kreatinin (timbunan nitrogen dan tingkat
fungsi ginjal), kadar kalsium dan fosfor, dan aktivitas alkali fosfatase
(hipokalsemia, hiperfosfatemia, osteodistrofi). Pemeriksaan periodik jkadar
hormon paratiroid yang utuh dan pemeriksaan roentgenografi tulang dapat
bernilai dalam mendeteksi bukti awal adanya osteodistrofi. Roentgenografi dada
dan ekokardiografi dapat membantu sepenuhnya dalam

penilaian fungsi

jantung. Keadaan nutrisi dapat dimonitor dengan evaluasi kadar albumin, seng,
transferin, asam folat dan besi dalam serum secara periodik. Secara optimal
penderita harus ditatalaksana bersama dengan pusat medis yang mampu
menyediakan pelayanan medis, perawatan sosial, dan dukungan nutrisi ketika
penderita menjelek menjadi gagal ginjal stadium akhir.(12)
Penanganan tersebut adalah dibagi 2 golongan yaitu :
A. Pengobatan konservatif
1.

Manajemen Dietetik pada GGK(11)


Peranan diit pada anak dengan gagal ginjal kronik adalah bertujuan untuk
mencukupi nutrien yang diperlukan guna kebutuhan-kebutuhan hidup dan
melanjutkan pertumbuhan tanpa melampaui batas-batas kemampuan
ginjalnya.
-

Mencukupi kebutuhan kalori .


Jumlah kalori untuk anak dengan GGK tidak boleh dikurangi, justru
harus diberikan nutrisi dengan kalori yang adekuat, artinya intake kalori
minimal sama dengan kalori anak normal yaitu 40-120 kkal/kgbb/hari
sesuai dengan usia dan berat badan.
12

Mencukupi kebutuhan protein (1)


Bila kelebihan BUN sekitar 80 mg/dL (30 mmol/L urea); pada penderita
dapat timbul rasa mual, muntah dan tidak ada nafsu makan. Gejalagejala ini akibat timbunan produk-produk buangan nitrogen dan dapat
diperingan dengan pembatasan masukan diet protein. Karena anak pada
GGK terus menerus membutuhkan masukan protein
untuk pertumbuhan. Protein diberikan dengan dosis

yang cukup
1,5

gr/kgBB/hari dan harus terdapat protein yang mempunyai nilai biologis


tinggi yang melalui metabolisme diubah terutama menjadi asam amino
yang dapat digunakan bukannya menjadi sampah nitrogen, protein yang
bernilai biologis tinggi tersebut adalah protein telur dan susu, diikuti
daging, ikan dan unggas.
2.

Manajemen air, elektrolit dan vitamin pada GGK(11)


Natrium
2 hal penting yang memerlukan perhatian dalam masalah Natrium
pada Gagal Ginjal Kronik adalah :
a. Ekskresi Natrium menjadi berkurang sekali dengan menurunnya fungsi
ginjal.
b. Ada kemungkinan terjadi sodium loss pada penderita gagal ginjal kronik
yang mendapat diit pantang garam secara mendadak.
Umumnya diit rendah garam pada gagal ginjal kronik tanpa
hipertensi ataupun sembab adalah 2 gram (80 mEq) Na perhari, tetapi
bila timbul hipertensi dan atau sembab, jumlah Natrium dalam diit
harus dikurangi menjadi 1 mEq/kg/hari dan harus lebih diperketat lagi
menjadi 0,2 mEq/kg/hari bila penderita mengalami oliguria/anuria. Untuk
perbandingan perlu dicatat bahwa 1 gram garam dapur sebanding dengan
400 mg Na+ atau 17 mEq Na+. Dalam menghitung jumlah intake Natrium,
tidak boleh dilupakan untuk juga memperhitungkan jumlah Natrium dalam
obat-obatan, yang diterima penderita. Misalnya, penicillin mengandung

13

1,7 mEq Na+ dalam setiap juta unitnya dan 1 tablet effervescent Calcium
(Sandoz) mengandung 13 mEq Na+.
Air
Kecuali pada keadaan anuria, penderita gagal ginjal kronik boleh
minum air secara ad libitum dimana rasa haus akan mengatur kebutuhan
yang diperlukan.
Tetapi bila kecepatan filtrasi glomerulus menurun sampai di bawah
10 ml/min/ 1,73 M2 atau timbul oliguria (200 ml/m 2/hari), kelebihan intake
air akan mudah menimbulkan keracunan air dan hiponatremia. Maka pada
keadaan demikian, intake air harus mulai dibatasi .
Jumlah air yang diperkenankan adalah jumlah insensible water
losses (400 ml/m2/hari) + volume urine .
Pengawasan yang baik cukup dengan melihat kenaikan berat badan
dan kadar natrium plasma.
Kalium
Kebanyakan anak dengan gagal ginjal kronik tetap mempunyai kadar
kalium yang normal. Barulah kemudian bila kegagalan memasuki tahap
termilan muncullah bahaya-bahaya hiperkalemia.
Pada keadaan demikian, semua jenis makanan yang mengandung K +
harus dikeluarkan dari diit. Intake K+ adalah : sayur-sayuran yang berwarna
hijau, buah-buahan, kacang-kacangan, buah coklat, kembang gula, soda,
daging an beberapa jenis antibiotika .
Bila kadar K+ serum melampaui 5,5 mEq/1 diperlukan exchange
resin (Kayexalate 0,5-1 gram/kg/hari). 1 gram resin akan mengeluarkan
1 mEq K+ dan menggantinya dengan 1 mEq Na+ atau Calcium. Kadar K+
serum harus dimonitor dan perubahan-perubahan EKG harus selalu diawasi
untuk mencegah terjadinya akibat-akibat hiperkalemia.

Calcium, Phosphat dan Vitamin D


14

Dalam usaha mencegah terjadinya renal osteodystrophy penderita


ginjal kronik perlu mendapatkan calcium yang cukup, vitamin D dan
dihindarkan dari keadaan hyperphosphatemia .
Penurunan keseimbangan Calcium antara lain disebabkan anorexia,
adanya pembatasan intake produk susu (sebagai sumber Calcium) dan
menurunnya absorbsi Calcium dalam saluran pencernaan .
Seperti kita ketahui transpor aktif calcium dalam saluran pencernaan
makanan diatur oleh 1,25 (OH)2 cholecalciferol yang dihasilkan oleh cortex
renalis. Dengan penurunan fungsi ginjal tampak pula penurunan kadar
Calcium plasma. Ditambah pula dengan dibatasinya intake protein yang
berarti dibatasinya pula intake dari jenis produk susu berarti pengurangan
intake calcium. Oleh karena itu perlu ditambahkan dalam diit suplemen
Calcium sebesar 500-1.000 mg/m2/hari. Hipotesa trade off dari Bricker
mengatakan bahwa pada setiap penurunan fungsi ginjal akan selalu diikuti
oleh berkurangnya ekskresi phosphat melalui ginjal dan meningkatnya
kadar phosphat dalam serum. Keadaan tersebut mengakibatkan penurunan
kadar Calcium plasma yang akan merangsang kelenjar parathyroid untuk
mengeksresi reabsorbsi Calcium ginjal dan menurunkan reabsorbsi
Phosphat meningkatkan akibatnya kadar Calcium dan Phosphat dalam
plasma menjadi normal kembali. Tetapi kesemuanya itu memunyai
konsekwensi

yaitu

terjadinya

hyperparathyroidisme

sekunder

dan

demineralisasi tulang.
Dengan cara mengurangi intake Phosphat sesuai dengan derajat
penurunan fungsi ginjal, rangsangan pada kelenjar parathyroid tidak terjadi
sehingga renal osteodystrophy akibat hiperparathyroidisme dapat dicegah.
Jenis-jenis produk susu (diary product) banyak mengandung Phosphat. Jadi
diit rendah protein juga berguna untuk mengurangi intake Phosphat. Intake
Phosphat dapat pula dikurangi dengan cara menghambat absorbsi Phosphat
dalam saluran pencernaan makanan yaitu dengan memberikan alumina gel
sebagai pengikat Phosphat (11).

15

Vitamain

diubah

menjadi

bentuk

aktifnya

(1,25-

dihidroksikolkalsiferol) oleh 1-hidroksilasi dalam ginjal. Dengan adanya


destruksi ginjal yang berat, konversi insufisiensi mengakibatkan defisiensi
vitamin D. Terapi vitamin D terindikasi (1) pada penderita yang menderita
hipokalsemia menetap meskipun pengurangan fosfor serum di bawah
6 mg/dl (1,90 mmol/L) dan penambahan suplemen kalsium oral, dan
(2) pada penderita dengan osteodostrofi serum dan kadar hormon paratiroid
serta bukti roentgenografi adanya rakitis. Terapi dapat diawali dengan satu
kapsul (0,25 g) per hari dari bentuk aktif dihidroksi vitamin D (Rocaltrol,
Roche Laboratories, Nutley, NJ) atau 0,05-0,20 mg/24 jam larutan
dihidroktakisterol (Larutan DHT Oral, Roxane Laboratories, Columbus,
OH), yang dimetabolisasi menjadi bentuk aktifnya dalam hati. Dosis
vitamin D secara progresif ditingkatkan sampai kadar kalsium serum dan
aktivitas alkali fosfatase normal, hormon paratiroid utuh kurang dari dua
kali normal, dan terlihat penyembuhan rakitis secara rontgenografik. Dosis
vitamin D kemudian harus dikurangi sampai kadar awal (1).
3.

Asidosis pada Gagal Ginjal Kronik (1)


Asidosis pada Gagal Ginjal Kronik. Asidosis berkembang pada
hampir semua anak yang menderita insufisiensi ginjal dan tidak perlu
diobati kecuali kalau bikarbonat serum turun di bawah 20 mEq/L (mmol/L).
bicitra (1 ml = 1 mEq dari dasar) atau tablet natrium bikarbonat (325 dan
650 mg, 325 mg sama dengan 4 mEq basa) dapat digunakan untuk
menaikan bikarbonat serum di atas 20 mEq/L (mmol).

4.

Osteodistrofi ginjal (1)


Osteodistrofi

ginjal

biasanya

terjadi

bersama

dengan

hiperfosfatemia, hipokalsemia dan kenaikan kadar hormon paratiroid dan


aktivitas alkali fosfatase serum. Pada umumnya, kadar fosfor serum
meningkat ketika LFG turun di bawah 30 % normal. Hipofastemia dapat
dikendalikan dengan formula fosfat rendah (Similac PM 60/40) dan dengan
16

mempertinggi ekskresi tinja menggunakan kalsium bikarbonat oral, suatu


antasida yang secara kebetulan juga mengikat fosfat dalam saluran
intestinum. Biasanya dosis berkisar antara 1-4 sendok teh (Tritalac, 3M
Company, St Paul, MN) atau tablet (Os-Cal 500 Tablets, Marion
Laboratories, Kansas City, MO; TUMS kekuatan reguler, Smith Kline
Beecham, Pittsburgh, PA) bersama dengan setiap kali makan dan sebelum
tidur. Karena aluminium dapat diabsorbsi dari saluran pencernaan, terutama
pada anak kecil dan menyebabkan keracunan aluminium (demensia,
osteomalasia), antasida aluminium harus sejarang mungkin digunakan,
dengan pemantauan periodik terhadap kadar aluminium serum.
Hipokalsemia dapat akibat dari hiperfosfatemia, masukan diet yang
tidak cukup, dan penurunan absorbsi kalsium intestinum yang disebabkan
oleh defisiensi bentuk vitamin D aktifnya (1,25-dihidroksikolkalferol). Jika
kalsium serum tetap rendah setelah koreksi fosfor serum, maka dapat
diberikan penambahan kalsium oral (sirup Neo-Calglucon, Dorsey
Pharmaceuticals, East Hanover, NJ; Tablet Os-Cal, Marion Laboratories,
Kansas City, MO; TUMS kekuatan reguler, Smith Kline Beecham,
Pittsburgh, PA) dengan dosis 500-2.000 mg/24 jam.
5.

Anemia pada GGK (1)


Anemia pada Gagal Ginjal Kronik. Anemia lazim dijumpai pada
gagal ginjal kronik dan terutama merupakan akibat tidak adekuatnya
produksi eritropoetin karena kegagalan ginjals, tetapi masukan diet besi dan
asam fosfat yang tidak adekuat tidak boleh diabaikan. Pada sebagian besar
penderita, kadar hemoglobin akan stabil antara 6-9 g/dl (60-90 g/L); terapi
transfusi tidak terindikasi, karena hal ini akan menekan produksi
eritropoetin lebih lanjut. Jika hemoglobin turun di bawah 6 g/dL (60 g/L),
10 mL.kg sel darah merah terpampat harus diberikan secara hati-hati
(volume sedikit mengurangi risiko kelebihan beban sirkulasi). Masalah
anemia telah dikurangi dengan pemasukan terapi eritropoetin manusia
rekombinan. Eritropoetin bisa diberikan secara subkutan pada penderita
17

pradialis dan penderita dialisis peritoneum, dan secara intravena pada


penderita yang sedang mengalami hemodialisis. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan kadar hemoglobin dalam kisaran 10-11 g/dl. Keuntungan
terapi eritropoetin diringkas dalam tabel 2.
Tabel 2. Manfaat Terapi Eritropoetin Manusia Rekombinan
Manfaat
Menghindari transfusi darah
Berkurangnya rensititasi
terhadap antigen
histokompabilitas
Berkurangnya permainan
terhadap penyakit ineksi
Memperbaiki nafsu makan
Meninggikan kesegaran fisik
Menambah aktivitas selama
siang hari
Memperbaiki tidur
Memperbaiki kesehatan
6.

Kemungkinan Komplikasi
Desintensi lesi
Terapi besi yang paling
diperlukan
Hipertensi
Kejang-kejang
Berkurangnya klirens alat
dialisis
Penjedalan pada jalan masuk
vaskuler

Hipertensi pada GGK(1)


Hipertensi pada Gagal Ginjal Kronis. Keadaan gawat darurat pada
hipertensi harus diobati dengan nifedipine oral (0,25-0,5) mg/kg) atau
pemberian intravena dari diazoksid adalah 1-3 mg/kg, sampai dengan
maksimum 150 mg; diberikan dalam 10 detik dengan injeksi manual. Bila
hipertensi berat disertai dengan kelebihan beban sirkulasi, 2-4 mg/kg
furosemid dapat juga diberikan pada kecepatan 4 mg/menit. Natrium
nitroprusid harus digunakan dengan sangat hati-hati pada insufisiensi ginjal,
karena adanya kemungkinan akumulasi tiosianat yang toksik.
Penanganan hipertensi yang membandel dapat meliputi kombinasi
pembatasan garam (2-3 g/24 jam), furosemid (1-4 mg/kg/24 jam),
propranolol (Inderal, Ayerst Laboratories, New Work, NY; 1-4 mg/kg/24
jam), hidralasin (Apresoline, CIBA Pharmaceutical Company, Summit, NJ;

18

1-5 mg/kg) dan nifedipin (Pfizer Labs, New York, NY; 0,2-1,0 mg/kg/24
jam). Minoksidil dan kaptopril seharusnya hanya digunakan pada penderita
yang tekanan darahnya tidak cukup terkendali dengan cara-cara yang
disebutkan di atas dan harus diberikan dengan petunjuk ahli nefrologik
anak. Kaptopril dapat menimbulkan hiperkalemia.

7.

Dosis obat pada GGK(1)


Dosis Obat pada Gagal Ginjal Kronik. Karena banyak obat yang
diekskresikan oleh ginjal, pemberiannya pada penderita dengan insufisiensi
ginjal harus diubah untuk memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan
risiko toksisitas .

B. Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak dan remaja sangat bervariasi dan tergantung
dari status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun
hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG mencapai 5 ml/menit/1,73 m 2
dan hasilnya akan lebih baik daripada LFG < 5 ml/menit/1,73m 2 yang
disertai manifestasi klinis yang berat. (2,7,8,10)
C.

Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginjal
tahap akhir (end stage renal failure). Indikasi transplantasi ginjal adalah
pasien gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat atau mengalami
kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan yang optimal. (2,7,8,10)

J. Prognosis
Prognosis gagal ginjal kronik pada anak telah mengalami perbaikan
dramatis. Saat ini hanya sedikit anak-anak yang meninggal karena uremia.
Walaupun demikian, suatu proporsi penderita anak yang cukup bermakna masih
belum dapat mencapai rehabilitasi fisik dan emosional yang lengkap.

19

BAB III
KESIMPULAN

GGK adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel
dengan akibat terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus.
Klasifikasi GGK dalam arti luas menunjukkan bahwa pada anak telah terjadi
penurunan fungsi ginjal, tetapi beratnya fungsi ini bervariasi dari ringan sampai
berat. Dalam keadaan normal renal plasma flow = 125 ml/menit/1,73 m2 dan Klerens
urea 48-72 ml/menit/1,73 m2. GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu gagal ginjal dini,
insufisiensi ginjal kronik, gagal ginjal kronik, gagal ginjal terminal.
Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan
glomerulonefritis kronik. Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan
usia saat timbulnya GGK.
Dua adaptasi penting penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap
ancaman ketidakseimbangan cairan elektrolit sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan saluran beban kerja ginjal yaitu
terjadinya peningkatan kecepatan filtrasi beban solut dan reabsorbsi tubulus dalam
setiap nefron meskipun GFR untuk saluran massa nefron yang terdapat dalam ginjal
turun dibawah nilai normal.
GGK biasanya timbul perlahan-lahan, keluhan awal seringkali tidak jelas atau
tidak spesifik. Dengan berlanjutnya gagal ginjal kronik keluhan semakin jelas dan
gejala yang timbul lebih spesifik. Temuan fisik bervariasi berdasarkan keparahan dan
stadium. Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium
yaitu stadium penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan stadium akhir gagal
ginjal progresif (gagal ginjal stadium akhir atau uremia).
Penatalaksanaan GGK secara garis besar dapat dibagi dalam, yaitu
pengobatan konservatif, Dialisis dan Transplantasi ginjal. Pengobatan konservatif
bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai
faktor pemberat dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Bergstein Jerry. M, Gagal Ginjal Kronik (Uremia Kronik) dalam Behrman RE,
Vaughan V.C. (editor), Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, terjemahan, edisi 12, Cet.
I, Penerbit EGC, Jakarta, 1992 : 128-131.
2. Sekarwana Nanan, Gagal Ginjal Kronik dalam (Ikatan Dokter Anak), Alatas H,
Tambunan T, Trihono P.P. (editor), Buku Ajar Nefrologi Anak, jilid 2, Jakarta,
1996 : 465-485.
3. William H.E, William H.W, Jessie G.R, Paisley W. John. (editor), Chronic Renal
Failure, Gellis S. Sydney, Kagan M. Benjamin in Current Paediatric Therapy,
edisi 11, 1993 : 370-372.
4. Wilson M. L, Price A. S, Gagal Ginjal Kronik, Wijaya Caroline. (editor), Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4, Buku 2, EGC, Jakarta : hal 812-817.
5. Latief A. Napitupulu P. Pudjindi A. Ghozali U.M. Putra TS. Nefrologi, Hassan R.
Alatas H. (editor), Buku II, Cetakan VII, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta 1997 : hal 810.
6. Harrington R, Zimmerman W, Chronic Renal Failure in, Sons and John Willey
(editor), Phathophysiology Series, USA, 1982 : hal 185-209.
7. Barrat M.T., Baillod A Rosemarie, Chronic Renal Failure and Reguler Dialysis in
Pediatric Urology, Johnson JH, Williams Inner D. (editor), 2 nd edition, 1978 : 3746.
8. Mansjour A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Ika W, Setiowulan W, Gagal Ginjal
Kronik, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Buku 1, FKUI, Jakarta, 1999 : hal
531-533.
9. Brenner M. Barry, Lazarus M, Chronic Renal Failure in Pathophysiology and
Clinical Considerations, Nelson (ed.), Philadelphia, Saunders, 1983 : 1155-1165.
10. Sjaifullah Noer, R.H. Sardjito DJ, Darto Saharso, Peranan Gagal Ginjal Kronik,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak F.K. Unair/R.S. Dr. Soetomo, Surabaya 1985.

21

Anda mungkin juga menyukai