Anda di halaman 1dari 14

Blok 17 : Neuropsikiatri

TUGAS JURNAL
PENYAKIT PARKINSON

OLEH:

Tannia Rizkyka Irawan


H1A012059
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
NUSA TENGGARA BARAT
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
Pada episode stroke tahap akut sekitar 30-50 % pasien mangalami disfagia
atau kesulitan menelan. Pasien dalam keadaan stroke rawan mengalamai dehidrasi,
malnutrisi, serta resiko pneumonia aspirasi pun dapat ditemukan. Oleh karena itu,
angka mortalitas, komplikasi, dan morbiditas nya lebih tinggi pada pasien dengan
disfagia dibandingkan dengan yang tidak mengalami disfagia. Berdasarkan
kepentingan prognosis pasien di masa depan, maka perlu dilakukan deteksi dini pada
stroke yang menyebabkan disfagia serta perlunya penanganan nutrisi yang adekuat
pada pasien (Foley et al, 2013).

BAB II
ISI
Definsi Stroke
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tandatanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global),
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan
kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Mahmuda, 2014).
Stroke dibagi menjadi dua yakni Stroke Infark dan Stroke Hemoragik sekitar
2/3 kasus stroke merupakan kasus stroke infark. Stroke infark trombotik adalah stroke
yang disebabkan oleh karena adanya oklusi pembuluh darah yang disebabkan oleh
karena adanya thrombus (Asriningrum et al. 2011) sedangkan Stroke infark emboli
adalah iskemia otak yang disebabkan oleh emboli (Asriningrum et al. 2011). Untuk
strokehemoragk juga dibagi menjadi dua yakni Perdarahan Sub Arachnoid (PSA) dan
Perdarahan Intraserebral (PIS)
Epidemologi
Stroke adalah penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Di Amerika terdapat sekitar 700.000 kasus stroke setiap tahunnya, 600.000
diantaranya stroke infark dan 100.000 lainnya stroke perdarahan. Belum ada angka
pasti penderita stroke di Indonesia (Asriningrum et al. 2011).
Perdarahan Intraserebral terjadi 10-15 % dari kejadian stroke. Insidesnsinya
10-20 kasus per 100.000 penduduk di dunia, dan meningkat dengan bertambahnya
usia. Sering kali pada laki-laki (Margono & Djohan, 2011), sedangkan perdarahan
subarachnoid (PSA) menyerang 5% dari semua kasus stroke dan menyerang hampir
30.000 penduduk Amerika tiap tahun. Studi internasional yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan insiden PSA bervariasi di tiap Negara , mulai dari 2 kasus per 10.000
penduduk Cina hingga 22,5 kasus per 100.000 penduduk Finlandia. Insiden PSA
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian PSA serig kali terjadi pada
rentang usia 40-50 tahun. Akan tetapi PSA juga bia terjadi pada usia anak-anak dan
lanjut usia. Bila ditinjau dari jenis kelamin, PSA 1,6 kali lebih sering terjadi pada
wanita. Berbagai studi menduga bahwa perbedaan jenis kelamin terkait dengan

perbedaan status hormonal. Ras Amerika berkulit hitam lebih beresiko mengalami
PSA dibandingkan mereka yang berkulit putih (Margono & Wardah, 2011).
Angka Mortalitas PSA sangat tinggi sekitar 25-50 % . Speuluh persen
penderita PSA meninggal sebelum mendapatkan perawatan di rumah sakit. Bahkan
beberapa studi meneyebutkan bahwa 25% penderita PSA meninggal dalam 24 jam
pertama (Margono & Wardah, 2011).
Etiologi
Secara umum, penyebab stroke adalah trauma dan gangguan organik. Namun
beberapa faktor risiko terjadinya stroke, baik hemoragik maupun non hemoragik.
Kelompok faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan kelompok faktor
risiko yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang
normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini antara lain
usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga, serta riwayat serangan
transient ischemic attack atau stroke sebelumnya (Hinkle, 2007) Kelompok faktor
risiko yang dapat dimodifikasi merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat
dimodifikasi, yang meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit
jantung, merokok, alkohol, obesitas, dan penggunaan kontrasepsi oral (Trent, 2011;
Nuartha 2011). Maka dari itu diperlukan nya terapi non farmakologi yakni terapi
nutrisi pada pasien dengan stroke guna mewujudkan pola hidup dan asupan makanan
yang baik.

Tujuan Diet Stroke


Diet stroke bertujuan untuk memberikan makanan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi pasien dengan memperhatikan keadaan dan komplikasi
penyakit.Memperbaiki keadaan stroke seperti disfagia, pneumonia, kelainan
ginjal, dan dekubitus serta mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Almatsier, 2010).
Manfaat Diet Stroke
Diet stroke adalah diet khusus yang diberikan kepada pasien stroke. Diet yang
diberikan ada empat macam yaitu diet stroke I, IIA, IIB dan IIC. Melalui diet
stroke ini diharapkan mampu memperbaiki keadaan stroke seperti disfagia,

dekubitus, dan kelainan penyakit lainnya, memberikan makanan secukupnya


untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien, mencegah komplikasi, mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit, mempercepat tingkat kesembuhan pasien,
serta memperbaiki keadaan malnutrisi yang ada (Almatsier, 2010).
Syarat Diet Stroke(Almatsier, 2010)
1) Energi cukup, yaitu 25-45 kkal/kgBB. Pada fase akut energi diberikan 11001500 kkal/hari.
2) Protein cukup yaitu 0,8-1 g/kgBB. Apabila pasien berada dalam keadaan gizi
kurang, protein diberikan 1,2-1,5 g/kgBB. Apabila penyakit disertai
komplikasi gagal ginjal kronik, protein diberikan rendah yaitu 0,6 g/kgBB.
3) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Utamakan sumber
lemak tidak jenuh ganda, batasi sumber lemak jenuh yaitu < 10% dari
kebutuhan energi total. Kolesterol dibatasi < 300mg.
4) Karbohidrat cukup, yaitu 60-70% dari kebutuhan energi total.
5) Vitamin cukup, terutama vitamin A, ribovlavin, B6, asam folat, B 12, C, dan E.
6) Mineral cukup, terutama kalsium, magnesium, dan kalium.

Penggunaan

natrium dibatasi denagan memberikan garam dapur maksimal 1,5 sendok teh/
hari (setara dengan + 5 gram garam dapur atau 2 g natrium).
7) Serat cukup, untuk membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan
mencegah konstipasi.
8) Cairan cukup, yaitu 6-7 gelas/hari, kecuali pada keadaan edema dan asites,
cairan dibatasi, minuman hendaknya diberikan setelah selesai makan agar
porsi makan dapat dihabiskan. Untuk pasien dengan disfagia, cairan diberikan
secara hati-hati. Cairan dapat dikentalkan dengan gel atau guarcol .
9) Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien.
10) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.

Penilaian Fungsi Menelan


Pasien stroke harus di skrining seluruh resiko yang berpengaruh pada intake
nutrisi nya saat hari partamamasuk rumah sakit. Jika pasien datang dalam kondisi
stroke serta masih bisa makan dan menelan makanan namun beresiko tinggi
malnutrisi, harus mendapatkan suplementasi nutrisi yang diberikan per-oral (Nikolaas
AZ et al, 2014). Pasien stroke dengan disfagia harus di terapi dengan adekuat,
dikarenakan adanya kemungkinan malnutrisi yang pada penelitian cohort, terjadi pada
24% pasien stroke.Malnurisi bisa disebabkan karena penurunan ambilan makanan,
disabilitas dalam menelan, kondisi tidak sadar, disfungsi kogntif hingga kondisi
depresi (Wirth et al, 2013)..
Metode yang dilakukan untuk mendeteksi kemampuan menelan pasien adalah (Wirth
et al, 2013).
-

Tes Menelan Air (WST)


Berdasarkan guideline dari SIGN disarankan untuk melakukan WST dengan
50 ml airdan dilihat tanda tana aspirasinya. Jika pasien lulus tes WST maka
diindikasikan untuk diteruskan terapi nutrisi per oral.Penilaian fungsi menelan
ini paling tidak telah dilakukan dalam 24 jam pertama dan tidak lebih dari 72
jam (Foley et al, 2013).

Metode Pemberian Nutrisi


Sekitar 10-30% dari seluruh pasien stroke menggunakan metode pemberian
nutrisi dengan tabung selama fase inisial. Metode ini terutama sangat membantu
apabila digunakan pada pasien stroke dengan penurunan kesadaran, disfagia,
kelumpuhan karena sangat rawan terjadi malnutrisi. Pasien dengan penurunan
kesadaran dan memakai alat bantu pernapasan seperti ventilator dapat menerima
nutrisi via enteral, dan ketika sudah tidak memakai alat bantu pernapasan, pemberian
makan melalui tabung dapat dimulai. Pasien dengan stroke akut yang tidak mampu
untuk mendapatkan nutrisi dan cairan yang cukup secara oral seharusnya
menggunakan selang nasogastrik dalam 24 jam pertama. Jika pasien tidak mentolerir
terhadap penggunaan selang nasogastrik, pertimbangkan untuk menggunakan nasal
bridle tube atau gastrostomy. Pasien tipe ini juga semestinya mendapatkan penilaian
nutrisi dari tenaga kesehatan terlatih, termasuk mendapat monitoring dan saran nutrisi
secara individu.8Keluhan kesulitan menelan yang menetap lebih dari 7 hari,

membutuhkan pemberian nutrisi secara enteral melalui tabung (feeding tube).


Pemberian nutrisi ini dimulai dalam 3 hari pertama sampai dengan satu minggu
setelah pasien pertama mengeluhkan kesulitan menelan, jika pemberian nutrisi enteral
sudah melebihi 28 hari, maka pemberian nutrisi melalui tabung nasogastrik dapat
dipilih dan diterapkan hanya pada fase klinis yang stabil (setelah 14-28 hari). Hal ini
berbeda jika pasien memakai alat bantu pernapasan, maka pemberian nutrisi harus
dilakukan sejak awal dengan menggunakan percutaneousendoscopicgastrostomy
(PEG) (Wirth et al, 2013).
-

Tube feeding
Jikanutrisipadafaseakutpasienstroketidakadekuat,makanutrisienteral
dapat diberikan via nasogastric tube. Namun jika nasogastic tube ini trus
menerusdilepaskansecarasengajaolehpasiendannutrisimasihdiperlukan
untuklebihdari14harimakapenggantiannasogastrictubedenganPEGdapat
dipertimbangkan. Selain PEG, penggunaan nasal loop (bridle) dapar
dipertimbangkanagarfiksasinyalebihkuatdantidakcepatterlepas.

Sumber gambar : http://pen.sagepub.com/content/33/1/50/F4.expansion

Tahap Diet Stroke


Berdasarkan tahapnya diet stroke dibagi menjadi 2 fase, yaitu (Almatsier, 2010):
1. Fase akut (24- 48 jam)
Fase akut adalah keadaan tidak sadarkan diri atau kesadaran menurun. Pada
fase ini diberikan makanan parenteral(NPO/ nothing per oral) dan dilanjutkan
dengan makanan erenteral(naso gastric tube / NGT). Pemberian makanan
parenteral total perlu dimonitor dengan baik. Kelebihan cairan dapat
menimbulkan edema serebral. Kebutuhan energi pada NPO total adalah AMB
x 1 x 1,2; protein 1,5 g/kgBB; lemak maksimal 2,5 g/kgBB; dekstrosa
maksimal 7 g/kg BB.
2. Fase pemulihan
Fase pemulihan adalah fase dimana pasien telah sadar dan tidak mengalami
gangguan fungsi menelan (disfagia). Makanan diberikan diberikan per oral
secara bertahap dalam bentuk makanan cair, makanan saring, makanan lunak ,
makanan biasa.
Bila ada disfagia, makanan diberikan secara bertahap, sebagai gabungan
makanan NPO, per oral , dan NGT sebagai berikut:
a. NPO
b. bagian per oral (bentuk semi padat) dan bagian melalui NGT.
c. bagian per oral (bentuk semi padat) dan bagian melalui NGT.
d. Diet per oral (bentuk semi padat dan semi cair) dan air melalui NGT
e. Diet lengkap per oral
Tipe Diet Stroke
Diet stroke terdiri dari diet stroke I, IIa, IIb, dan IIc. Dalam diet stroke ada
beberapa makanan yang dianjurkan dan ada juga yang tidak dianjurkan (Tabel I).
Diet stroke I diberikan kepada pasien dalam fase akut atau bila ada ganggguan
fungsi menelan. Oleh karena itu diet stroke I berupa makanan yang lebih mudah
ditelan yaitu makanan diberikan dalam bentuk cair kental atau kombinasi cair
jernih dan cair kental yang diberikan peroral atau enteral melalui NGT (Naso
Gastic Tube) sesuai dengan keadaan penyakit. Berbeda halnya dengan diet stroke
II, diet stroke II diberikan kepada pasien pada fase pemulihan atau sebagai
makanan perpindahan dari diet stroke I. bentuk makanan diet stroke II dapat
berupa kombinasi cair jernih, cair kental, saring, lunak, dan biasa. Pemberian diet

pada pasien stroke disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Diet Stroke II dibagi
menjadi diet stroke IIa, IIb, dan Iic (Almatsier, 2010).
Tabel 1. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan yang Tidak Dianjurkan pada Diet
Stroke
Golongan Bahan Makanan
Sumber Karbohidrat

Dianjurkan
Beras, kentang, ubi,

Tidak Dianjurkan
Produk olahan yang dibuat

singkong, terigu, hunkwe,

dengan garam dapur,

tapioka, sagu, gula, madu,

soda/baking powder, kue-

serta produk olahan yang

kue yang terlalu manis

dibuat tanpa garam dapur,


soda/baking powder, seperti
makaroni, mie, bihun, roti,
Sumber Protein Hewani

biskuat, dan kue kering


Daging sapi dan ayam tidak

Daging sapi dan ayam

berlemak, ikan, telur, susu

berlemak, jerohan, otak,

skim, dan susu penuh dalam

hati, ikan banyak duri, susu

jumlah terbatas

penuh, keju, es krim, dan


produk olahan protein
hewani yang diawet seperti

Sumber Protein

daging asap dan dendeng


Semua kacang-kacangan dan Semua produk olahan

Nabati

produk olahan yang dibuat

kacang-kacangan yang

dengan garam dapur, dalam

diawet dengan garam

jumlah terbatas
Sayuran berserat sedang

natrium atau digoreng


Sayuran menimbulkan gas

dimasak, seperti bayam,

(sawi, kol, kembang kol,

kangkung, kacang panjang,

lobak), sayuran berserat

labu siam, tomat, taoge, dan

tinggi (daun singkong,

wortel

katuk, melinjo, dan sayuran

Buah segar, dibuat jus atau

mentah
Buah yang menimbulkan gas

disetup seperti pisang,

seperti nangka dan durian,

pepaya, jeruk, mangga,

buah yang diawet dengan

nenas, dan jambu biji (tanpa

natrium seperti buah kaleng

bahan pengawet)

dan asin

Sayuran

Buah-buahan

Sumber Lemak

Minuman

Minyak jagung dan minyak

Minyak kelapa sawit,

kedelai, margarin dan

margarin dan mentega biasa,

mentega tanpa garam yang

santan kental, krim, dan

digunakan untuk menumis

produk gorengan

atau setup, santan encer


Teh, kopi, cokelat dalam

Teh, kopi, cokelat dalam

jumlah terbatas, encer susu

jumlah terbatas, dan kental

skim dan sirup

minuman bersoda dan


alkohol

a. Diet Stroke I
Diet stroke I memiliki bahan makanan tersendiri (Tabel 2) dimana masingmasing bahan makanan pada diet stroke tipe I memiliki nilai gizi tersendiri
untuk diberikan pada pasien stroke (Tabel 3).

Tabel 2. Bahan Makanan pada Diet Stroke I


Bahan Makanan
Maizena
Telur ayam
Susu penuh bubuk
Susu skim bubuk
Buah
Minyak jagung
Gula pasir
Cairan

Berat (gram)
25
50
25
120
120
20
100
1500 ml

URT
5 sendok makan
1 butir
5 sendok makan
24 sendok makan
2 potong sedang papaya
2 sendok makan
10 sendok makan
6 gelas

Tabel 3. Nilai Gizi pada Bahan Makanan Diet Stroke I.


Kandungan Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Lemak Jenuh (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (RE)
Tiamin (mg)
Vitamin C (mg)
Kolesterol (mg)

Diet Stroke I
1361
56
34
8,4
211
1869
6,1
1573
0,6
166
213

b. Diet Stroke II
Diet stroke II dibagi dalam tiga tahap, yaitu diet stroke II A berupa makanan
cair dan bubur saring (1700 kkal), diet stroke II B berupa makanan lunak
(1900 kkal) dan diet stroke II C berupa makanan biasa (2100 kkal).
Tabel 4.Bahan Makanan untuk Makanan Biasa dalam Sehari pada Diet Stroke
I
Bahan
Makanan
Beras
Tepung Beras
Maizena
Telur Ayam
Ikan
Tempe
Sayuran
Pepaya
Minyak Jagung
Gula pasir
Gula merah
Susu skim bubuk

Diet Stroke II A
Berat
URT
(g)
125
20 sdm
20
4 sdm
50
1 btr
75
1 ptg bsr
50
2 ptg bsr
100
1 gls
300
3 ptg sdg
25
2 sdm
40
4 sdm
25
2 sdm
80
16

Diet Stroke II B
Berat
URT
(g)
200
4 gls tim
20
4 sdm
50
1 btr
100
2 ptg sdg
100
4 ptg sdg
150
1 gls
200
2 ptg sdg
30
3 sdm
50
5 sdm
40
8 sdm

Diet Stroke II C
Berat
URT
(g)
250 3 gls nasi
20
4 sdm
50
1 btr
100 2 ptg sdg
100 4 ptg sdg
200 2 gls
200 2 ptg
35
3 sdm
30
3 sdm
8 sdm
40

Tabel 5. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet Stroke II berdasarkan Jenis Dietnya
Kandungan Gizi
Diet Stroke II A
Diet Stroke II B
Diet Stroke II C
Energi (kkal)
1718
1917
2102
Protein (g)
69
73
78
Lemak (g)
41 5,8
52
59
Lemak Jenuh (g)
272
7,3
8
Karbohidrat (g)
1296
293
318
Kalsium (mg)
15,9
835
862
Besi (mg)
6705
19,6
20,6
Vitamin A (RE)
0,8
8940
11458
Tiamin (mg)
272
0,8
0,9
Vitamin C (mg)
258
213
232
Kolesterol (mg)
273
273

Penatalaksanaan Umum Nutrisi di Ruang Rawat


a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori sebesar 25-30 kal/kgBB/hari dengan
komposisi :

Karbohidrat 30-40 % dari kebutuhan kalori


Lemak 25-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%)
Protein 20-30% (pada saat stress kebutuhan protein 1,4 - 2,0 g/kgBB/hari,
pada gangguan fungsi ginjal < 0,8 gram/kgBB/hari)
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan lebih dari 6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu, yaitu nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan pemberian obat-obatan yang
diberikan. Contohnya hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada
pasien yang mendapat warfarin (Almatsier, 2010).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terapi nutrisi pada pasien stroke harus diawali dengan skrining terhadap
kemampuan pasien alam menelan, evaluasi kesadaran pasien untuk mencegah bahaya
pneumonia aspirasi, serta mengetahui resiko malnutrisi agar penanganan dengan
terapi nutrisi yang sehubungan dengan metode pemberian makanan nya apakah
melalui NGT atau per oral bisa dipertimbangkan. Selain metode pemberian yang
harus diperhatikan adalah intake karbohidrat, protein, lemak yang memadai, serta
mempertimbangkan kondisi pasien selain dari stroke, misalnya diabetes mellitus dan
hipertensi. Sehingga menu diet nya juga dapat menyesuaikan keadaan psien itu
sendiri.

Daftar Pustaka
Almatsier S, 2010. Penuntun Diet Edisi Terbaru hal. 164-173. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Foley N et al, 2013. Nutritional Interventions Following Stroke. Journal of Evidance
Based Review in Stroke Rehabilitation. Accessed on April 20th 2015.
Available at
http://www.ebrsr.com/sites/default/files/Chapter16_Nutrition_FINAL_16ed
.pdf
Hinkle, JL. Guanci, MM. 2007. Acute Ischemic Stroke Review. J Neurosci Nurs. 39
(5): 285-293, 310.Accessed on 20th April 2015. Available at
http://www.laveccs.org/biblioteca/file/aie.pdf
Machfoed M.H et al (ed) Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Pusat Penerbitan
dan Percetakan Unair, Hal. 173-187
Mahmudah R, 2014. Left Hemiparesis e.c Hemorrhagic Stroke. Medula 2014, 2 : 7079.
Nuartha, AABN. Samatra, DPGP. Kondra, W. 2011. Penyakit Serebrovaskular.
Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Saraf. Lab/UPF Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Denpasar Bali. Hlm: 31-43

Trent MW, John T, Sung CT, Christopher GS, & Sthepen MT. 2011. Pathophysiology,
treatment, animal and cellular models of human ischemic stroke. Molecular
Neurodegeneration 6:11. Accessed on April 20th 2015. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21266064
Wirth R, Smoliner C, Jager M et al, 2013. Guideline Clinical Nutrition in Patients
with stroke. Experimental and Transitional Stroke Medicine 5:14. Accessed
on 20th April 2015. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4176491/

Anda mungkin juga menyukai