Melisa Pongtiku *
102010291
D2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
*Alamat Korespondensi :
Melisa Pongtiku
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510
No Telp (021) 5694-2051 email: ichabuatallulolo@yahoo.com
Pendahuluan
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama matam ginjal,saraf, jantung, dan
pembuluh darah. DM merupakan kumpulan problema anatomi dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Populasi diabetes tipe 2 akan
meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku tradisional menjadi urban. Faktor
risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih
banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetic yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Anamnesis
Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk mengetahui riwayat
kondisi pasien, riwayat penyakit pasien dahulu, riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang
dialami pasien. Berdasarkan kasus di atas, anamnesis yang dilakukan secara auto-anamnesis
yaitu anamnesis dimana pasien yang menderita penyakit langsung menjawab pertanyaan
dokter. 1
Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis pasien diabetes adalah
gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat
diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain :
Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering
disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan
Pemeriksaan Fisik
Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya, perlu diberikan perhatian
khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan DM seperti BMI, pemeriksaan mata,
tekanan darah ortostatik, pemeriksaan kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah >
130/80 mHg sudah dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes.
Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya neuropati perifer,
calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR KPR, dan bentuk kaki yang
abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat foot). Dinilai juga kemampuan untuk
merasakan sentuhan menggunakan benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan
letak sakit/tusukan (pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya.
Penyakit periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga harus
diperiksa.2
Pemeriksaan Penunjang
Uji Diagnostik Sederhana dengan Kadar Glukosa Plasma
Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L) pada lebih dari satu
pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling
baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.3
Kadar glukosa plasma sewaktu diatas 200 mg/Dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.3
Uji Toleransi Glukosa Oral
Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi
klinik DM dan hiperglikemia. 3
Persiapan Uji
Guna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama bila pasien tengah
menjalani suatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah minimum 150-200 g karbohidrat per
hari perlu dimasukan dalam diet selama 3 hari sebelum menjalani uji. Pasien tidak boleh
memakan apapun sesudah tengah malam sebelum hari pengujian.
Prosedur Uji
Kadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g glukosa. Orang
dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan anak anak mendapat 1,75 g
glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar
glukosa diukur setiap jam selama 2 jam setelah pemberian glukosa. 3
Interpretasi
Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi
glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan
meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau
dengan kata lain glukosa plasma puasa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya
akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui
200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).3
Hasil hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat pengujian,
berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional yang berat.
Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin, asam,
nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.3
Kadar Insulin
Untuk mengukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau
plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum
diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20U/mL dalam keadaan
puasa, dan mencapai 50 130 U/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah
30U/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena
alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg/dL, hiperinsulinemia
dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II, akan
tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana
pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat
merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.3
Ketonuria
Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga badan keton"
utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam -hidroksibutirat, asam asetoasetat, dan
aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia.
Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang
hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru
mengarahkan bila asam -hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan. Kondisikondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-badan keton tampil
dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis alkoholik, demam, dan
kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat.3
Proteinuria
Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali
menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka
perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria
(individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin
kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan
kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus
kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain
seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.3
Mikroalbuminuria
Albumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram menggunakan
metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik celup yang batas deteksi
minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam konvensional menyebabkan
ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi
albumin disebabkan beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik
cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik
lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang
diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam
dicatat. Pengumpulan kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan
kemih ini serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin. Subjek
normal mengekskresikan kurang dari 15 g/menit dalam pengumpulan kemih semalam;
angka di antara 20 dan 200 g/menit atau lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal
yang mungkin merupakan prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik.3
Diagnosis kerja
Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan
berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi
glukosa. Defek metabolik dan genetic yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan
penyebab hiperglikemia yang umum pada pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang
penting dalam implikasi terapi karena sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki
gangguan metabolic secara spesifik. DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal
yang disebut sebagai impaired fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).4
MODY (Maturity Onset Diabetic of Young)
Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini
memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien
sering kali obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik
dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3,
MODY 4). Gejala MODY menyerupai DM tipe 2. Yang membedakan adalah MODY tidak
terkait obesitas. Hanya 1 kriteria mayor yang dimiliki MODY, yaitu monogenic, dimana
hanya perlu 1 copy gen untuk melihat kelainan, berbeda dengan DM tipe 2 yang bersifat
poligenik. Kelainan tersering terletak pada GCK, HNF1, HNF4 dan merupakan autosomal
dominan.4
Diagnosis Banding
Diabetes Melitus Tipe lain
Tipe khusus lain adalah :
a
Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat
b
c
d
Etiologi
Epidemiologi
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu
di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.
Di pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan
antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi
karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi
agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan
Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi
diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85%
sampai 9,7% di daerah rural.2
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah
urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu daerah
di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara
prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43%
di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi
Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di
daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.2
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar,
prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor
Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 lakilaki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta
sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi
sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis
masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2
dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastic. Ini
sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat
nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun
2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.2
Manifestasi klinik
Manifestasi klinik diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin, tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin
(polyuria) dan timbul rasa haus (polydipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.3
Pasien dengan diabetes tipe 1sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polydipsia , polyuria, turunnya berat badan, polfagia, lemah, somnolen yang terjadi
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolism dan umumnya oenderita peka
terhadap insulin. Sebaliknya penderita dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memeperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah
dilaboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat,
pasien tersebut mungkin menderita polydipsia, polyuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut
namun hanya relative. Sejumlah insulin tetap diskresi dan masih cukup untuk hambat
ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau
terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin terapi insulin untuk menormalkan kadar
glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap
insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi,
tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita
juga resisten terhdap insulin eksogen.3
Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.4
a. Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu
DM 2 merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang
berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi
genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 4
b. Resistensi insulin
Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi
sintase glikogen , disfungsi regulator metabolisis, reseptor doen-regulation, dan
abnormalitas transporter glukosa.4
Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap
hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM 2, produksi glukosa
hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan
keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.4
Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas
menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah
sekresi insulin dipengaruhi.4
Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif
terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.4
Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam
beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cadangan insulin
yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru
disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM 2, fase pertama pelepasan
insulin sangat terganggu.4
Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik
dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.4
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
profil lipid
a. kolesterol LDL < 100 mg/dl
b. kolesterol HDL > 40 mg/dl
c. Trigliserida <150 mg/dl
kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan
oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
dari total kebutuhan kalori per hari, 60 70% diantaranya berasal dari sumber
karbohidrat.
jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70%
dari total kebutuhan kalori per hari.
jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai
lebih dari total kalori per hari.
sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame,
acesulfam dan sukralosa
Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10 15% dari total kalori
per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan
protein sampai 40 gram per hari, maka diperlukan tambahkan pemberian suplementasi asam
amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8
1,0 mg/kg berat badan/hari.
pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg
berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram
jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dari protein hewani.
Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin
A, D, E, K. berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh
dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi
diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai
pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty
acids), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan
profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan dadar trigliserida,
kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung
asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.3
batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari
total kebutuhan kalori per hari
jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori per hari.
konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl,
maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari.
konsumsi ikan seminggu 2 3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang.
asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori per
hari.
< 18,5
BB normal
18, 5 22,9
BB lebih
23,0
Dengan risiko
23 24,9
Obes I
25 29,9
Latihan Jasmani
Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetis telah dilakukan sejak seabad yang lalu
oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih terus diteliti
oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan
fisik diabetes (type 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan
meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman baik secara
fisik, psikis maupun social dan tampak sehat. Kemajuan teknologi agak bersebrangan dengan
anjuran untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat.
Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang terencana dengan baik dan
teratur bagi diabetisi.5
Penyuluhan Diabetes
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi
terutama PJK. Diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan
dokter endokrinologis. Di luar negri tenaga tersebut sudah ada disebut diabetes educator
yang terdiri dari dokter, perawat. Ahli gizi atau pekerja social dan lain lain yang berminat.
Di Indonesia sejak tahun 1933 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai
saat ini masih berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata mendapat sambutan luar biasa
dari rumah sakit seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan nya para penyuluh diabetes itu
sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk
sentral informasi yang bekerja 24 jam sahari dan akan melayani pasien atau siapapun yang
ingin menanyakan seluk beluk tentang diabetes. Isi dari penyuluhan diabetes mengenai
pengenalan mengenai diabetes mellitus, perencanaan makan, latihan jasmani, pengenalan
tentang obat obatan yang dipakai serta pemantauan laboratorium baik urin maupun gula
darah.5
Medika Mentosa
Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal.
diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan
dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat
terjadi adalah asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5
mg/dL pada laki laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan denga hati hati pada orang lanjut usia.5
Penggunaan dalam klinik
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU,
repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Efektivitas metformin
menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena
kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan
memperbaiki profil lipid maka metofrmin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan
diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan
pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi
dengan SU atau obat anti diabetic lain.5
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak
berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki
konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan
dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan
sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.5
Penggunaan dalam klinik
Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai
kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis
4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi
glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan A1C sampai 1.5% dibandingkan dengan placebo.
Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan
sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis
tunggal.5
Golongan Sekretagagoe Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi insulin oleh
sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.5
Sulfonylurea
Sulfonylurea telah digunakan untukpengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila
konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea
sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan
sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat
golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis
dan mekanisme kerjanya.5
Penggunaan dalam klinik
Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari dosis rendah , untuk menghindari
kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat
tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu
sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.5
Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi
glukosa puasa < 200 mg/dL, SU sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi
secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL.
Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat
sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.5
Kombinasi sulfonylurea dengan insulin.
Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang
hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar
glukosa darah sesudah makan kureang lebih sama, tidak tergantung pada kadar glukosa darah
pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja atau insulin glargin pada
malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah
puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian
sulfonylurea seperti biasa.5
Kombinasi sulfonylurea denga insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan
dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat
diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.5
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid.
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip
dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid
kedua duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan
melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid
dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena
lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa
darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa
postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek
terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.5
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.5
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti
meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada
hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat
bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose
mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi
plasma kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.5
dapat
digunakan
sebagai
monoterapi
atau
sebagai
kombinasi
dengan
insulin,metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini
harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan
penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama
karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau sesudahnya
makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi
dengan acarbose dapat menurunkan rata rata gluokosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL
dan glukosa puasa rata rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi
bersama sulfonylurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak
terhadap A1C sebesar 0.3-0.5% dan rata rata glukosa postprandial sebesar20-30 mg/dL dari
keadaan sebelumnya.5
Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk factor factor
lain yaituberat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran
pengendalian DM yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe
2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).5
Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).
Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin.
Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan
memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan
sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia
lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek
samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.5
Komplikasi
Komplikasi Akut
Ketoasidosis Diabetik
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan
neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum.
Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per
kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun
mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit
cairan.7
Hipoglikemik Iatrogenik
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan
faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau
mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa
menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan
terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat
secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan
glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat
penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan
glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple
merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi:
a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar
glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara
cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes
(dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi
keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang
mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.7
Komplikasi Kronik
Retinopati Diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic nonproliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan
Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan
pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah
infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Polineuropati
sensori-motor simetris diatas atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN)
merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai degan berkurangnya
fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada
bagian diatal yang berkembang kearah proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam
praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Bentuk lain ND yang juga sering sitemukan ialah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji komponen
parasimpatis DAN dilakukan dengan tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava,
variasi denytu jantung (interval PR) selama napas dalam (denyut jantung maksimumminimum). Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan respons tekanan darah terhadap
berdiri (penurunan sistolik), respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan
diastolik).8
Penyakit Jantung Koroner
Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM tipe
2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada
diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang
dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada pasien
DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan
seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemia
dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan
fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan
risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun
terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot jantung secara
independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan
penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis interstitial,
pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat selular terjadi
gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan
peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan
kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-diastolik sehingga dapat
menimbulkan kardiomiopati restriktif.9
Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orangorang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang
bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah.
Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak
rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai
ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah
makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya
misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol. Caranya bisa lewat guru-guru
atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus
dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran
olah raga kepada kelompok resiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan
salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan
olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal
ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata
sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang memadai.3
Pencegahan sekunder
Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih
kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak
demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima
kenyataan bahwa penyakitnya tida bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah
kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari
sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid
juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar
glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non farmakologis dulu secara
maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidak
berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun,
penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan,
ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan
kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di
samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga
yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan ntuk itu
(diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga luas,
artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien
diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan resiko
tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada
tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining
dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini
komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk
menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta
pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat
mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya
bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat
melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.3
Pencegahan tersier.
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam
pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :
a. Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai
pencegahan sekunder
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit
organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau
jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan dokter
maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya.
Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien
untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang
jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk
keperluan itu yaitu penyuluhan diabetes (diabetes educator).3
Strategi pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan
efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan,
antara lain:3
a. Pendekatan populasi / masyarakat
Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud
adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup
berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk
mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat
luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan
ma yarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama).3
b.
Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk
menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur
> 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat
DM pada saat kehamilan, dislipidemia.3
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik jika disertai dengan penanganan yang baik dan sedini
mungkin. Pencegahan seperti penyuluhan oleh petugas kesehatan dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang dapat memperberat penyakit sampai terjadinya kematian.3
Kesimpulan
Laki-laki yang berusia 25 tahun dengan keluhan lemas, polofagia, polydipsia GDS 252 mg/dl
menderita Diabetes Mellitus.
Daftar Pustaka
1. Bates. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta. EGC; 2009.
2. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price SA,
Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.1261-70.
3. Suyono Slamet. Diabetes di Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III, 2009;
Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : h. 1855-1856
4. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara,
editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.
5. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk, editor.
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.Jakarta : FKUI; 2009.h. 1879-80.