Anda di halaman 1dari 13

TEKNOLOGI PENERBANGAN

SEBAGAI DAMPAK POSITIF IMPLEMENTASI


HAKEKAT MANUSIA UNTUK MENGUASAI ALAM SEMESTA

DOSEN : Kol (Tek) (Purn) Subardjo,S.E


Mata Kuliah : Ilmu Sosial Budaya Dasar

Nama Kelompok TP A :
Gusfatma Ayu Dijayanti (10050035)

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI ADISUCIPTO


YOGYAKARTA
2011

TEKNOLOGI PENERBANGAN
SEBAGAI DAMPAK POSITIF IMPLEMENTASI

HAKEKAT MANUSIA UNTUK MENGUASAI ALAM SEMESTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi atau Iptek, tentu sebagian besar
dapat menerima jika teknologi penerbangan dikatakan sebagai salah satu pengetahuan penting dalam
sejarah umat manusia. Sampai saat ini, teknologi penerbangan terus berkembang, baik yang ditujukan
untuk kepentingan komersil, militer, maupun politik dan sains. Sehingga tidak salah jika kita kemudian
menempatkan teknologi penerbangan sebagai salah satu teknologi yang patut diperhatikan
perkembangannya.
Penerbangan dalam hal ini khususnya yang menggunakan moda transportasi pesawat terbang, sudah
barang pasti merupakan sarana transportasi yang sangat penting pada masa kini. Penerbangan
menggunakan pesawat masih dianggap sebagai sarana transportasi yang tepat dan cepat untuk
bepergian dari suatu tempat ke tempat yang relatif jauh, apalagi jika tidak memungkinkan untuk
menggunakan jalur darat, terpisah oleh laut atau pegunungan misalnya.
Bayangkan seandainya hingga saat ini belum ada yang menemukan pesawat terbang. Butuh waktu
berhari-hari dan bahkan berbulan-bulan untuk melakukan perjalanan yang relatif jauh. Untuk bepergian
jauh mereka harus atau masih bergantung pada mobil dan kapal yang tentu memakan waktu lama dan
melelahkan. Dengan ditemukannya pesawat terbang, efisiensi dan efektivitas waktu dapat dicapai,
tanpa harus memakan waktu berbulan-bulan.
Mengingat begitu besarnya sumbangsih Pesawat Terbang sebagai teknologi penerbangan, dan memiliki
nilai penting bagi sejarah perkembangan umat manusia. Maka sangat disayangkan jika kita sebagai
mahasiswa tidak mengetahui dan memahami bagaimana penerbangan itu berkembang, bagaimana
sejarahnya, dan bagaimana implikasinya terhadap perkembangan suatu bangsa, dalam hal ini Bangsa
Indonesia.
Hal itulah yang lantas melatarbelakangi penulis untuk mengangkat tema tersebut dalam makalah ini.
Melalui makalah ini penulis bermaksud mengajak semua pihak untuk kembali menengok sejarah
penerbangan yang ada di dunia ini, dan bagaimana keadaannya sekarang serta implikasinya terhadap
dunia penerbangan di tanah air.
Perjalanan Industri penerbangan di tanah air pun tidak bisa dikatakan buruk, terutama bila kita telah
mempelajari sejarah kedirgantaraan yang sempat mengalami keemasan pada masanya, dan Indonesia
memiliki putra bangsa yang memiliki sumbangsih besar dalam dunia penerbangan tanah air, yaitu B.J.
Habibie.

1.2

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana Sejarah Penerbangan pada Masa Awal ?

2.

Bagaimana Kerangka Penerbangan Modern oleh Wright Bersaudara?

3.

Seperti apa Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Penerbangan?

4.

Bagaimana Teknologi Penerbangan dalam Kedirgantaraan Indonesia?

1.3

Tujuan
1. 1. Kita dapat mengetahui bagaimana sejarah penerbangan pada masa awal.
2. Kita dapat mengetahui bagaimana kerangka penerbangan modern oleh Wright bersaudara.
3. 3. Kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan dan pemanfaatan teknologi penerbangan
dalam berbagai aspek kehidupan.
4. Kita dapat mengetahui bagaimana teknologi penerbangan dalam kedirgantaraan Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Sejarah Penerbangan Pada Masa Awal

Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal budi sehingga selalu berfikir untuk kemajuannya.
Mereka agaknya tidak mau secara pasif menerima keadaan. Bahkan, ketika mereka melihat anatomi
dirinya yang tidak memungkinkan untuk terbang, manusia masih juga melakukan percobaan untuk
terbang seperti burung yang dilihatnya.
Terdorong oleh keinginan yang sangat besar untuk bisa terbang itulah, maka Ikarus, menurut hikayat
Yunani, terbanting ke laut sekitar 4000 tahun yang lalu. Pada saat itu ia berhasil terbang menggunakan
sayap tiruan yang direkatkan dengan lilin, namun lumer karena terik matahari sehingga ia terjatuh ke
laut. (Achmad Sapari, 1997:7)

2.1.1 Gagasan Manusia untuk bisa Terbang

Banyak manusia zaman dahulu yang bercita-cita untuk bisa terbang, tetapi gagal. Mereka mencoba
terbang dengan membuat sayap tiruan, kemudian meluncur dari atas tebing atau menara. Pada
umumnya mereka jatuh lurus ke bawah seperti batu, dengan konsekuensi luka-luka, atau bahkan
kematian.
Alasan utama dibalik kegagalan mereka pada umumnya adalah karena tidak memahami cara burung
terbang. Mereka menganggap, burung bisa terbang dengan cara menggepakkan sayap ke bawah dan ke
belakang, sedangkan kemampuan meninggalkan bumi di sebabkan tubuhnya yang ringan. Gagasan ini
didasarkan pada teori Aristoteles[1], yang terus dipakai sampai dengan abad ke-19. (Ron Taylor dkk,
1983:6)
Sementara itu, gagasan mengenai kontruksi mesin terbang sudah dikemukakan sejak abad ke-13, oleh
seorang biarawan Inggris, Roger Bacon, yang mengutarakan kemungkinan membuat mesin untuk
terbang dengan sayap tiruan yang bergerak memukul udara. Pada abad ke-15, Leonardo da Vinci,
seniman yang juga ilmuan berkebangsaan Italia merancang kontruksi sejumlah mesin terbang. Ia juga
merancang kontruksi mesin-mesin layang. Meskipun pada waktu itu mesin terbang hanyalah masih
sebatas teori atau gagasan, namun setidaknya hal ini menjadi gambaran bahwa pada waktu manusia
sudah mulai menggusahakan untuk bisa terbang seperti halnya burung.
Pada tahun 1709 Bartolomeu de Gusmao, seorang rohaniawan berkebangsaan Brazil, memperagakan
balon udara panas yang pertama, yang diterbangkan di Portugal. Balon kecilnya tersebut terbuat dari
kertas tebal, sedangkan udara panas berasal dari nyala api dalam mangkuk tembikar.
Penemuan Bartolomeu de Gusmao tersebut kemudian disempurnakan oleh Joseph Michel dan Jacques
Elienne Montgolfier, yang kemudian memperagakan balon pertama mereka di Prancis, tanggal 25 April
1783. Montgolfier bersaudara mendasarkan percobaannya pada teori bahwa benda akan terapung
apabila berat jenisnya lebih kecil daripada berat jenis zat cair. Untuk bisa naik ke udara, harus dibuat
benda yang volumenya besar dan beratnya sangat kecil agar berat jenisnya lebih kecil dari udara.
Penerbangan pertama dengan balon berawak yang tidak ditambatkan dilakukan pada tanggal 21
November 1783. Kemudian beberapa tahun kemudian kehadiran balon udara panas digantikan
perannya oleh balon gas. Sedangkan balon udara panas berkembang menjadi lebih modern yaitu
dengan membawa serta apinya sendiri dalam wujud nyala yang dikobarkan dari tabung gas. Dengan
demikian, jarak yang ditempuh lebih jauh daripada sebelumnya.
Pada tahun 1783, juga diciptakan balon gas hidrogen atau gas lampu oleh profesor Jacques Charles.
Setelah tahun 1852 balon gass mulai dilengkapi dengan mesin dan baling-baling. Dengan demikian
muncullah kapal-kapal udara pertama yang digerakkan oleh tenaga uap atau listrik. Munculnya mesin
dengan bahan bakar besin pada tahun 1888 menyebabkan terjadi perkembangan pesat di bidang
konstruksi kapal udara dari akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, termasuk Zeppelin[2], yang
berbahan bakar hidrogen yang diisikan dalam kantong-kantong alumunium yang kaku. (Achmad
Sapari, 1997:11)

2.1.2 Pesawat Terbang Masa Perintis

Orang yang paling dahulu mengetahui cara mengapung di udara tanpa sayap yang mengibas adalah Sir
George Cayley, seorang sarjana Inggris. Pada tahun 1804 ia membangun sebuah model peluncur dan
berhasil menerbangkannya. Itulah pesawat terbang pertama dengan sayap tetap. Pada tahun 1849
Cayley membangun peluncur sayap tiga yang berhasil terbang beberapa meter jauhnya dengan
membawa seorang anak. Pemikiran Sir George Cayley ini diilhami oleh cara burung camar laut
terbang. Burung camar laut melayang di udara tanpa menggepakkan sayapnya. Ia cukup membelokkan
ekornya dan memanfaatkan angin yang mengalir. Dari sinilah Cayley berfikir bagaimana caranya agar
bisa membuat mesin yang mampu mengangkat orang dengan cara yang sama dengan burung camar
laut. Buah pikiran Cayley ini yang kemudian menjadi dasar pembuatan konstruksi pesawat terbang
modern di kemudian hari. (Choirul Usman, 1992:25)
Orang yang pertama kali memungut ide Cayley adalah Otto Lilienthal, warga negara Jerman. Ia
membuat Glider[3] yang pertama. Glider tersebut dibuat dari rangka kayu yang disaput dengan
kain.Antara tahun 1891 dan 1896 dia sudah membuat sekitar 18 glider yang semuanya bersayap
lengkung seperti sayap burung. Meskipun demikian, ia tidak sepenuhnya berhasil menguasai gerak
pesawat-pesawatnya. Pada akhir tahun 1896 ia ambruk saat mencoba terbang dan meninggal dunia.
Sementara itu, pesawat bermesin pertama yang bisa tinggal landas adalah Eole. Pesawat yang mirip
kelelawar ciptaan Clement Ader tersebut digerakkan dengan mesin uap. Pada tahun 1890 pesawat itu
berhasil membubung sejauh 50 meter. Tetapi, sayangnya tidak dapat mengudara dalam waktu yang
lama. (Prahadjo dalam Choirul Usman, 1992:31)
Para perancang itu agaknya tidak mengenal istilah putus asa. Mereka terus memutar otak untuk
menghasilkan pesawat yang lebih modern dibanding pesawat sebelumnya. Konstruksi pesawat
layang yang kokoh pertama kali diperkenalkan oleh Octave Chanute. Yang membangun sebuah
pesawat layang gantung bersayap dua, dengan sayap berpenompang kokoh. Rancangan Chanute inilah
yang kemudian berpengaruh secara khusus terhadap Wilbur dan Orville Wright. Dan kemudian mereka
bertekad akan merancang pesawat udara secara sistematik di Amerika.
2.2

Kerangka Penerbangan Modern Oleh Wright Bersaudara

Burung besi bernama pesawat terbang memang bukan barang aneh lagi di zaman modern ini. Ternyata,
perjalanan sejarah pesawat terbang modern dari pertaman kali dibuat hingga tercipta pesawat terbang
masa kini dengan segala kecanggihannya telah cukup panjang.
Sejarah itu dimulai ketika seabad silam Orville Wright dan Wilbur Wright[4] berhasil menerbangkan
sebuah pesawat kecil di North Carolina, Amerika Serikat. Namun, penerbangan itu Cuma berlangsung
selama 12 menit. Walau hanya sebentar ini merupakan penerbangan pertama dengan pesawat terbang
bermotor. Selain itu, penerbangan perdana ini juga merupakan moment penting yang membuka jalan
menuju era penerbangan modern. Walau bentuknya masih sangat sederhana, pesawat ini merupakan
buah pemikiran mendalam dengan serangkaian uji coba yang dilakukan selama tiga tahun. (Michael H
Hart, 1982:87)
Pesawat dengan empat sayap ini juga merupakan buah dari kecintaan Orville dan saudaranya Wilbur
Wright pada segala hal yang terbang di udara. Salah satu benda terbang yang merka sukai adalah
layang-layang. Tak heran, saat masih anak-anak Wright bersaudara banyak menghabiskan waktunya
dengan bermain layang-layang. Ketika beranjak remaja, mereka mulai gemar mengamati burung.
Mereka melihat, burung menjaga keseimbangan dengan cara memutar-mutarkan ujung sayapnya.

Karena itu, Orville dan Wilbur sengaja mendesain sayap pesawat mereka agak bengkok. Dengan cara
ini, pesawat mereka bisa belok.
Pada tahun 1899, mereka membuat sebuah peluncur dengan kemudi tinggi di depan, untuk
mengendalikan gerak lambung serta sayap ekor yang kaku. Sistem pilinan sayap yang memungkinkan
membelok, merupakan keistimewaan terpenting pesawat itu.
Wright bersaudara membangun Wright Flyer I dengan sebuah mesin empat silinder yang mereka
rancang sendiri. Pada tahun 1902, desain pesawat mereka makin sempurna. Percobaan demi percobaan
pun dilakukan. Akhirnya, pada pagi hari 17 Desember 1903, pesawat mereka yang dilengkapi motor
sederhana dapat mengudara. Orville Wright berhasil terbang dengan pesawat itu sejauh 36,5 meter
setelah mengalami kegagalan dalam percobaan 3 hari sebelumnya. Pada penerbangan terakhir, Wilbur
berhasil menempuh jarak terbang sejauh 260 meter. Mereka kemudian membangun 3 pesawat terbang
lagi dan tahun 1905 berhasil terbang sejauh 39 kilometer. Pada tahun 1908 Wilbur membawa sebuah
pesawat Wright Flyer IV ke Eropa untuk diperagakan. (Achmad Sapari, 1997:19)
Penerbangan bermesin yang dilakukan di Eropa ternyata masih didominasi oleh kehebatan Wright
bersaudara. Pada tahun 1908 Wilbur menimbulkan kekaguman dengan prestasinya terbang dengan
Wright Flyer IV selama dua jam. Prestasi-prestasi yang diukir oleh Wright bersaudara membuat orangorang Eropa sadar akan pentingnya pengendalian pesawat.
Wright bersaudara mampu membuktikan ke masyarakat umum bahwa mereka mampu menerbangkan
pesawat buatan mereka. Wilbur Wright menerbangkan pesawatnya ke Perancis, dan membuat
demonstrasi akrobatik di udara. Dia juga membuat perusahaan untuk memasarkan hasil ciptaannya.
Sejak keberhasilan Wright bersaudara menerbangkan pesawat bermotornya, teknologi penerbangan
maju dengan cepat. (Badliatus M.A, 2009:67)

2.3

Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Penerbangan.

Perkembang pesawat terbang dari masa ke masa memang sangat menarik untuk dikaji. Pesawat terbang
rancangan Louis Bleriot asal Prancis misalnya, Louis melengkapi pesawatnya dengan beberapa
keistimewaan. Misalnya saja, ia melengkapi pesawatnya dengan tempat duduk pilot yang nyaman,
tongkat pengatur terbang, dan pedal-pedal. Ada pula alat pengatur naik, turun, dan belok. Pesawat
Bleriot inilah yang kemudian menjadi standar model pesawat terbang yang dibuat atau diproduksi
kemudian hari. Ron Taylor dkk, 1983:43)
Dalam kurun waktu 1909 sampai 1914, pesawat terbang umumya hanya dipakai untuk tujuan
olahraga atau pertandingan. Salah satu pertandingan yang terkenal pada masa itu adalah Gordon
Bennet Aviation Cup (1909) dan Schneider Trophy (1913). Pada tahun 1912 seorang perancang Inggris
bernama Alliot Roe membangun pesawat AVRO F, pesawat pertama dengan cockpit tertutup. Di Rusia,
Igor Sikorsky membangun pesawat terbang pertama bermesin empat.
Selain untuk kepentingan olahraga, salah satu fungsi pesawat pada masa itu adalah untuk keperluan
militer. Morane Saulner L, yang diproduksi oleh Prancis, adalah pesawat pertama yang dilengkapi
dengan senapan Mesin. Pesawat itu dibuat pada tahun 1915. Pada tahun itu juga Jerman memakai
Fokker III bersayap satu, yang dibuat oleh Anthony Fokker, dengan senapan mesin terarah ke depan.

Menjelang akhir Perang Dunia I, negara-negara besar di Eropa hampir seluruhnya memiliki pesawat
dengan fungsi militer. Salah satu pesawat yang terkenal pada masa itu adalah Sopwith Camel (Prancis),
Fokker D VII dan Fokker Dr.I. (Jerman). Sedangkan untuk melakukan pemboman, Jerman pada masa
itu masih mengandalkan Zeppelin sampai tahun 1917. Zeppelin yang terkenal yang digunakan untuk
keperluan militer khususnya dalam hal pemboman adalah Zeppelin (Staaken) R VI.
Pada awal peperangan, kebanyakan pesawat terbang memiliki kecepatan sampai 100 km per jam. Pada
akhir Perang Dunia I sebuah pesawat pemburu dapat terbang dua kali lebih cepat, yaitu 200 kilometer
per jam. Perkembangan besar dalam dunia penerbangan berikutnya adalah saat di produksi Junkers J
1. Yaitu pesawat terbang pertama yang seluruhnya terbuat dari logam, yang dibangun pada tahun 1915.
Pada tahun 1919 John Alcock dan Arthur Whitten Brown melakukan penerbangan nonstop yang
bersejarah, melintasi Atlantik dengan pesawat Vicker Vimy. Pada saat itu mesin pesawat sudah semakin
bertenaga dan sudah dimungkinkan untuk membangun pesawat terbang berpenumpang. Usai perang
Dunia I, saat dunia kembali stabil, dibuka dinas-dinas penerbangan penumpang di Jerman, Prancis, dan
Inggris. Dinas penerbangan pertama diadakan oleh sebuah perusahaan Inggris, yakni Aircraft
Transport and Travel, dengan menggunakan pesawat-pesawat bekas pembom yang sebelumnya
digunakan dalam perang, antara lain yang berjenis De Havillan D.H.4A. Hal inilah yang menandai era
penggunaan pesawat terbang dalam hal komersil.
Sementara itu, setelah perang dunia I berakhir dan berdasarkan isi perjanjian Versailles[5], maka
Jerman tidak diperbolehkan membangun pesawat terbang berukuran besar. Oleh karena itu, mereka
mengalihkan perhatian kepada pesawat terbang kecil dengan prestasi tinggi. (Darma Aji, 2007:51)
Jerman membangun Junkers F 13, pesawat terbang air yang sangat bermutu dengan kapasitas empat
penumpang. Yang kemudian dipergunakan oleh sekitar 30 perusahaan penerbangan di seluruh dunia.
Menjelang awal dasawarsa 30an, pesawat terbang sudah menjelajahi berbagai penjuru dunia dengan
mengangkut penumpang. Diantaranya, pesawat berpenumpangyang terkenal pada sekitar tahun 1935
antara lain adalah Short s.8 Calcutta dari Imperial Airways, serta Martin M-130 China Clipper dan
Sikorski S-42 milik perusahaan Pan American. Disamping sukses, pesawat terbang komersial yang
besar-besar, tercatat pula perkembangan pesawat berukuran kecil, termasuk pesawat tempur, latih,
angkutan sipil, pesawat terbang balap, dan pesawat milik pribadi.
Menjelang awal Perang Dunia II, tahun 1939 Angkatan Udara Jerman memiliki 1200 pesawat tempur,
termasuk pesawat Messer Schmith Bf 109 (Me 109), yang kemampuannya mengalahkan semua pesawat
tempur lain pada masa itu. (Darma Aji, 2007:56)
Loncatan maju paling besar terjadi dengan terciptanya mesin Jet turbin gas, yang dikembangkan
oleh Sir Frank Whittle antar tahun 1928 dan 1939. Sekarang ini hampir semua pesawat terbang
memakai mesin jet sebagai sarana penggerak. Sementara pesawat penumpang jet yang paling sukses
selama tahun-tahun belakangan ini adalah pesawat-pesawat Boeing[6]. Dimulai dengan seri Boeing
707 dari tahun 1958 dan berlanjut sampai pesawat raksasa bertubuh lebar Boeing 747 Jumbo dari tahun
1973.

2.4

Teknologi Penerbangan dalam Kedirgantaraan Indonesia

Bung Karno dalam pidato di Hari Penerbangan Nasional 9 April 1962 mengatakan : , tanah air kita
adalah tanah air kepulauan, tanah air yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang dipisahkan satu dari
yang lain oleh samudra-samudra dan lautan-lautan. tanah air kita ini adalah ditakdirkan oleh Allah
SWT terletak antara dua benua dan dua samudra. Maka bangsa yang hidup di atas tanah air yang
demikian itu hanyalah bisa menjadi satu bangsa yang kuat jikalau ia jaya bukan saja di lapangan
komunikasi darat, tetapi juga di lapangan komunikasi laut dan di dalam abad 20 ini dan seterusnya di
lapangan komunikasi udara.. (Chappy Hakim, 2010:24)
Mencermati pernyataan Bung Karno, maka tidak berlebihan bahwa pendirian industri pesawat terbang
telah diupayakan oleh bangsa ini, karena bangsa ini melihat bahwa pesawat terbang merupakan salah
satu sarana perhubungan yang penting artinya bagi pembangunan ekonomi dan pertahanan nasional,
khususnya, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit ditembus tanpa
bantuan sarana perhubungan yang memadai. Dari antara lain kondisi tersebut di atas, muncul pemikiran
bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan selayaknya memiliki industri bahari dan industri pesawat
terbang/dirgantara. Maka dirintislah kelahiran suatu industri pesawat terbang di Indonesia.
2.4.1 Penerbangan Pra Kemerdekaan
Jaman Pemerintah kolonial Belanda tidak mempunyai program perancangan pesawat udara, namun
telah melakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, serta evaluasi teknis
dan keselamatan untuk pesawat yang dioperasikan di kawasan tropis, Indonesia. Pada tahun 1914,
didirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya dengan tugas meneliti prestasi terbang pesawat udara untuk
daerah tropis. Pada tahun 1930 di Sukamiskin dibangun Bagian Pembuatan Pesawat Udara yang
memproduksi pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL, dengan modifikasi badan dibuat dari
tripleks lokal. Pabrik ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir (kini Lanud Husein
Sastranegara).
Pada periode itu di bengkel milik pribadi minat membuat pesawat terbang berkembang. Pada tahun
1937, delapan tahun sebelum kemerdekaan atas permintaan seorang pengusaha, serta hasil rancangan
LW. Walraven dan MV. Patist putera-putera Indonesia yang dipelopori Tossin membuat pesawat
terbang di salah satu bengkel di Jl. Pasirkaliki Bandung dengan nama PK.KKH.
Pesawat ini sempat menggegerkan dunia penerbangan waktu itu karena kemampuannya terbang ke
Belanda dan daratan Cina pergi pulang yang diterbang pilot berkebangsaan Perancis, A. Duval. Bahkan
sebelum itu, sekitar tahun 1922, manusia Indonesia sudah terlibat memodifikasi sebuah pesawat yang
dilakukan di sebuah rumah di daerah Cikapundung sekarang.
2.4.2 Penerbangan Pasca Kemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan, 1945, makin terbuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk
mewujudkan impiannya membuat pesawat terbang sesuai dengan rencana dan keinginan sendiri.
Kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas akan selalu memerlukan perhubungan
udara secara mutlak sudah mulai tumbuh sejak waktu itu, baik untuk kelancaran pemerintahan,
pembangunan ekonomi dan pertahanan keamanan.
Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai bagian untuk
memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dalam bentuk memodifikasi

pesawat yang ada untuk misi-misi tempur. Tokoh pada massa ini adalah Agustinus Adisutjipto, yang
merancang dan menguji terbangkan dan menerbangkan dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang yang dimodifikasi menjadi versi serang darat.
Penerbangan pertamanya di atas kota kecil Tasikmalaya pada Oktober 1945. (Eko Sulaksono, 1996:28)
Pada tahun 1946, di Yogyakarta dibentuk Biro Rencana dan Konstruksi pada TRI-Udara. Dengan
dipelopori Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan J. Sumarsono dibuka sebuah bengkel di
bekas gudang kapuk di Magetan dekat Madiun. Dari bahan-bahan sederhana dibuat beberapa pesawat
layang jenis Zogling, NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider). Pembuatan pesawat ini tidak terlepas dari
tangan-tangan Tossin, Akhmad, dkk. Pesawat-pesawat yang dibuat enam buah ini dimanfaatkan untuk
mengembangkan minat dirgantara serta dipergunakan untuk memperkenalkan dunia penerbangan
kepada calon penerbang yang saat itu akan diberangkatkan ke India guna mengikuti pendidikan dan
latihan.
Selain itu juga pada tahun 1948 berhasil dibuat pesawat terbang bermotor dengan mempergunakan
mesin motor Harley Davidson diberi tanda WEL-X hasil rancangan Wiweko Soepono dan kemudian
dikenal dengan register RI-X. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai club aeromodeling, yang
menghasilkan perintis teknologi dirgantara, yaitu Nurtanio Pringgoadisurjo. Kemudian kegiatan ini
terhenti karena pecahnya pemberontakan Madiun dan agresi Belanda.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia usaha di atas dilanjutkan kembali di Bandung di lapangan
terbang Andir kemudian dinamakan Husein Sastranegara. Tahun 1953 kegiatan ini diberi wadah
dengan nama Seksi Percobaan. Beranggotakan 15 personil, Seksi Percobaan langsung di bawah
pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.
Berdasarkan rancangannya pada 1 Agustus 1954 berhasil diterbangkan prototip Si Kumbang, sebuah
pesawat serba logam bertempat duduk tunggal yang dibuat sesuai dengan kondisi negara pada waktu
itu. Pesawat ini dibuat tiga buah. Pada 24 April 1957, Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi Sub Depot
Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No. 68.
Setahun kemudian, 1958 berhasil diterbangkan prototip pesawat latih dasar Belalang 89 yang ketika
diproduksi menjadi Belalang 90. Pesawat yang diproduksi sebanyak lima unit ini dipergunakan untuk
mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat. Di
tahun yang sama berhasil diterbangkan pesawat oleh raga Kunang 25. Filosofinya untuk
menanamkan semangat kedirgantaraan sehingga diharapkan dapat mendorong generasi baru yang
berminat terhadap pembuatan pesawat terbang. (Irna H.N. Hadi Soewito, 2008:35)

2.4.3 Usaha Pendirian Industri Pesawat Terbang


Sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan untuk memungkinkan berkembang lebih
pesat, dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk
Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961
ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi
penerbangan di Indonesia.
Mendukung tugas tersebut, pada tahun 1961 LAPIP mewakili pemerintah Indonesia dan CEKOP
mewakili pemerintah Polandia mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat
terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik , pelatihan karyawan serta produksi di
bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini
kemudian digunakan untuk dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club.
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tahun 1965 melalui SK Presiden RI Presiden Soekarno,
didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) yang intinya LAPIP
; serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada bulan Maret 1966, Nurtanio gugur ketika
menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi
LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR
memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service,
maintenance, repair & overhaul.
Pada tahun 1962, berdasar SK Presiden RI Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan
ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo
Diran dan Liem Keng Kie. Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar
negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha
mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok
mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan
di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954.
Dilanjutkan tahun 1954 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958
1962 ke Cekoslowakia dan Rusia.
Perjalanan ini bertaut dengan didirikannya Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang (LAPIP) pada
1960, pendirian bIdang Studi Teknik Penerbangan di ITB pada 1962, dibentuknya DEPANRI (Dewan
Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) pada 1963. Kemudian ditindaklanjuti dengan
diadakannya proyek KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang) pada
Maret 1965. Bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain merupakan proyek pesawat terbang
komersial.
Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh
putera Indonesia B.J. Habibie[7] di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia
dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ.
Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk
kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.
Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama
bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada
orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun
industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang

berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat
terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional
maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah. Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas
menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.
(Subekti. 1997:7-8)
Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya dengan nama Industri Pesawat Terbang
Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta timbul permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang
berakibat pula pada keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya industri pesawat terbang.
Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan
mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk
meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.
Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri
pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada
yaitu : aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat
terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI sebagai modal dasar
pendirian industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran
Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.
Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang
Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan
untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan, pada 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto
meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT.
Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau
IPTN. (Subekti. 1997:46)
Dari tahun 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia
di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek
lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu
melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang
ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif
singkat, 24 tahun.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan

Orang yang paling dahulu mengetahui cara mengapung di udara tanpa sayap yang mengibas adalah Sir
George Cayley, seorang sarjana Inggris. Pada tahun 1804 ia membangun sebuah model peluncur dan
berhasil menerbangkannya. Itulah pesawat terbang pertama dengan sayap tetap.
Wright bersaudara membangun Wright Flyer I dengan sebuah mesin empat silinder yang mereka
rancang sendiri. Pada tahun 1902, desain pesawat mereka makin sempurna. Percobaan demi percobaan
pun dilakukan. Akhirnya, pada pagi hari 17 Desember 1903, pesawat mereka yang dilengkapi motor
sederhana dapat mengudara.. Pada tahun 1908 Wilbur membawa sebuah pesawat Wright Flyer IV ke
Eropa untuk diperagakan dan membuat orang-orang eropa kagum. Prestasi-prestasi yang diukir oleh
Wright bersaudara membuat orang-orang Eropa sadar akan pentingnya pengendalian pesawat.
Loncatan maju paling besar terjadi dengan terciptanya mesin Jet turbin gas, yang dikembangkan oleh
Sir Frank Whittle antar tahun 1928 dan 1939. Sekarang ini hampir semua pesawat terbang memakai
mesin jet sebagai sarana penggerak. Sementara pesawat penumpang jet yang paling sukses selama
tahun-tahun belakangan ini adalah pesawat-pesawat Boeing. Dimulai dengan seri Boeing 707 dari
tahun 1958 dan berlanjut sampai pesawat raksasa bertubuh lebar Boeing 747 Jumbo dari tahun 1973.
Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh
putera Indonesia B.J. Habibie di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia
dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ.
Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk
kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.

DAFTAR RUJUKAN

Sapari, Achmad. 1997. Pesawat Terbang: Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: PT. Edumedia.
Usman, Choirul. 1992. Sejarah Pesawat Terbang. Jakarta: PT. Kapolaga Mas.
Taylor, Ron, dkk. 1983. Alam Pesawat. Jakarta: PT Gramedia.
Sulaksono, Eko. 1998. Etalase Unjuk Kerja dan Prestasi Kedirgantaraan. Yogyakarta: PT. Edumedia.
Hakim, Chappy. 2010. Pelangi Dirgantara. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Aji, Darma. 2007. Perang Udara di Eropa. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Soewito, Irna H.N Hadi. 2008. Awal Kedirgantaraan di Indonesia Perjuangan AURI 1945-1950.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hart, Michael H. 1982. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Terjemahan Mahbub
Djunaidi). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
M.A, Badliatus. 2009. 105 Tokoh Penemu dan Perintis Dunia. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Anda mungkin juga menyukai