PENDAHULUAN
Kode etik kedokteran adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara
tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
dokter dan tenaga medis. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah,
perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Agar dokter memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pasien, adanya kode etik kedokteran
akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga medis terhadap kode etik
kedokteran merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku
tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena
paksaan. Dengan demikian tenaga medis merasa bila dia melanggar kode etik kedokteran nya
sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dirinya sendiri.
PEMBAHASAN
Pengembangan kasus
Seorang perempuan berumur 16 tahun datang ke tempat praktek dokter bersama
pacarnya, ia berterus terang bahwa ia sudah berpacaran lama dan sudah melakukan
persetubuhan dengan pacarnya. Orang tua dari kedua pihak tidak mengetahui hal ini dan sang
perempuan takut jika nantinya menjadi hamil sehingga meminta dokter untuk memasangkan
IUD di rahimnya agar tidak hamil. Sang dokter menolak dengan sudah menjelaskan baik
buruk kepada pasangan tersebut baik dari segi medis, hukum maupun psikososial tetapi sang
pacar menolak dan mengancam dokter dengan pisau dan akan membunuh sang dokter jika
tidak memasangkan IUD pada rahim pacarnya. Sang dokter tidak ada pilihan lain selain
memasangkan IUD pada perempuan tersebut.
Prinsip Etika Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan
yaitu manusia penyembuh dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut
transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan secara
konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.
Sejak terwujudnya praktek kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya
beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan
bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah
dan moral yang tidak diragukan.
Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani dan Galenus dari Roma, merupakan beberapa
pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi awal terbinanya
suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-tokoh organisasi kedokteran
Internasional yang tampil kemudian, menyusun dasar-dasar disiplin kedokteran tersebut atas
suatu kode etik kedokteran internasional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di
Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang
mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila,
sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk
lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para dokter balk
yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun secara
fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan dan penelitian telah
menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang dirumuskan dalam pasal-pasal
sebagai berikut1 :
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada
dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT3
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
Kaidah Dasar Moral Dan Teori Etika Dalam Profesi Kedokteran2
Bioetika.
Bioetika (F. Abel) adalah studi interdisipliner tentang problem yang ditimbulkan oleh
perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran, pada skala mikro maupun makro,
termasuk dampaknya terhadap masyarakat luas serta sistem nilainya, kini dan masa
mendatang.
Bioetika merupakan pandangan lebih luas dari etika kedokteran karena begitu saling
mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan "genus",
sedangkan etika kedokteran merupakan "spesies".
minimal).
- Norma tunggal, isinya larangan.
Keadilan (Justice)
Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness)
yakni :
-
Menghindari membunuh
orang per orang. Melalui "jembatan" rasionalitas (kemasuk-akalan), suara hati dokter dapat
berubah menjadi tanggungjawab.
Unsur kesadaran moral dokter adalah sebagai berikut :
-
Dengan demikian, ketika suara hati dokter mempertimbangkan suatu pernyataan moral (atas
dasar kenyataan obyektif yang disuarakan dalam hati/internalisasi sebagai omongan "saya"
atau "orang pertama") tertentu dengan memutuskan secara benar (= bertindak etis) atau keliru
(= ada kemungkinan bertindak tidak etis, tergantung situasinya), disitu otomatis melekat
tanggung jawab dari dokter tersebut. Demikian pula ketika suara hati dokter tadi menilai
perilaku (professional conduct/misconduct) sejawat lainnya sebagai baik-buruk, jahatsuci, bertanggungjawab-biadab, pantas-layak ditegur, dll sebagai penilaian moral tertentu,
cocok atau tidak dengan nilai-nilai yang dianutnya (termasuk nilai umum profesi).
Pasal 37
1. Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik
kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
2. Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
3. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk I (satu) termpat praktik.
Pasal 38
1. Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36,
dokter atau dokter gigi harus:
1. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29, Pasal 31,danPasal32;
2. mempunyai tempat praktik; dan
3. memiliki rekomendasi dan organisasi profesi.
2. Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang;
1. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
masih berlaku; dan
2. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin
praktik.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedoktcran wajib
membuat rekam medis.
2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
3. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
1. Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
rekam medis merupakan milik pasien.
2. Rekarm medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
3. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi pcrmintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedoktcran mempunyai hak:
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
3. memperoleh informasi yang iengkap dan jujur dan pasien atau keluarganya;
dan
4. menerima imbahan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila Ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
1. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat(3);
Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat sampai 10 tahun: CuT
380A)
Pemasangan dan pencabutan oleh tenaga medis (dokter atau bidan terlatih)
Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada Infeksi Menular
Cara Kerja
AKDR bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun AKDR
membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi
sperma untuk fertilisasi
Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti)
Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau abortus (apabila tidak terjadi
infeksi)
Efek samping umum terjadi: perubahan siklus haid, haid lebih lama dan banyak,
perdarahan antar mensturasi, saat haid lebih sakit
Komplikasi lain: merasa sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah
pemasangan, perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang
memungkinkan penyebab anemia, perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila
pemasangan benar)
Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau yang sering berganti
pasangan
Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai AKDR,
PRP dapat memicu infertilitas
Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan AKDR.
Biasanya menghilang dalam 1 - 2 hari
Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri. Petugas terlatih yang dapat
melepas
Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila AKDR
dipasang segera setelah melahirkan)
Usia reproduktif
Keadaan nulipara
Perokok
Sedang hamil
Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus
septik
Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim yangdapat
mempengaruhi kavum uteri
Informed Consent5-8
Sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, perlu mengatur kembali persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri
Kesehatan.
UU No. 23 Tahun 1992; UU No. 29 Tahun 2004; PP No. 10 Tahun 1996; PP No. 32 Tahun
1996; PERMENKES No. 920 Tahun 1986; PERMENKES No. 159b Tahun 1988;
KEPMENKES No. 191 Tahun 2001; PERMENKES No. 1575 Tahun 2005; PERMENKES
No. 1295 Tahun 2007.
kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif
cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya.
3. Dalam keadaan adanya pengaruh daya paksa dari seseorang (KUHP pasal 48)
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
Tujuan Informed Consent:
a.
b.
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
Pengembangan kasus
Dalam kasus dokter harus menginformasikan aspek baik dan buruk pada pemasangan
IUD, legalitas sang perempuan, kemungkinan jalan lain selain pemasangan IUD contohnya
musyawarah pasangan tersebut kepada kedua orang tua nya kecuali jika terdapat daya paksa
seperti diancam akan dibunuh, sesuai dengan pasal 48 KUHP dokter / tenaga medis tidak
dipidana.
Dampak Hukum
Aspek Hukum Dalam Hal Pidana Kesusilaan7,8
Pasal 281
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan
dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan
Pasal 282
1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa
dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri,
bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat
untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.
Pasal 283 bis
Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 282 dan 283 dalam
menjalankan pencariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi pasti karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 284
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya;
c. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
d. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku
baginya.
2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti
dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.
5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Tentang Perlindungan Anak9
Dalam kasus sang perempuan masih berusia 16 tahun dan terdapat dampak hukum
perlindungan anak jika terbukti ternyata sang pacar memaksa perempuan tersebut untuk
dipasangi IUD :
Pasal 81 UU 23/2002
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 UU 23/2002
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Aspek Hukum Dalam Hal Adanya Daya Paksa8
Jika terdapat tindakan daya paksa dari pasien (contohnya diancam akan dibunuh)
maka dokter atau tenaga medis dapat melakukan tindakan medis dengan tidak dipidana.
Sesuai dengan KUHP pasal 48 :
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Diunduh dari : http://fkunhas.com/kode-etikkedokteran-indonesia-kodeki-20100926791.html. 17 Januari 2012.
2. Kaidah Dasar Moral Kedokteran Indonesia. Diunduh dari :
http://www.hukor.depkes.go.id/?art=57 .17 Januari 2012
3. Praktek Kedokteran. Diunduh dari : http://www.ilunifk83.com/t93-uu-ri-no-29-tahun2004-tentang-praktik-kedokteran .17 Januari 2012
4. Inra Uterine Device. Diunduh dari : http://www.pkmi-online.com/iud.htm 17 Januari
2012.
5. Informed Consent. Diunduh dari : http://www.hukor.depkes.go.id/?abstrak=8&set=0 17
Januari 2012.