Anda di halaman 1dari 11

Nama

: Kurnia Megawati

NPM

: 260110130122
Resistensi Virus Hepatitis B

A. Morfologi Virus Hepatitis B


Virus hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang bentuknya kompleks,
mempunyai 2 lapis partikel disebut partikel Dane. Partikel dane merupakan
lapisan permukaan VHB yang disebut HbsAg dan lapisan dalam pada intinya
didapatkan hepatitis B core antigen (HbcAg). Di dalam inti dari genome viral
terdapat DNA yang sirkuler dan double stranded. Virus hepatitis B ini tersusun
dari inti bagian dalam yang disintesis di dalam nukleus hepatosit dan mengandung
antigen inti HbcAg, yaitu HbeAg dan kapsul luar yang disintesis dalam sitoplasma
sel hepatosit mengandung HbsAg. Secara menyeluruh partikel tersebut berukuran
42 nm dan disebut partikel Dane, berstruktur sferis atau tubular (Wirawan, 2003).

Termasuk hepatitis B virus dari keluarga Orthohepadnavirus genus


Hepadnaviridae. Serum HBV menyebabkan infeksi hepatitis yang menyebabkan
peradangan akut atau kronis dari hati yang dalam sebagian kecil kasus dapat
berlanjut menjadi sirosi hati kronis atau kanker hati, terutama pada mereka yang
terinfeksi sebagai bayi, hal ini merupakan faktor utama dalam perkembangan
penyakit hati. Penyakit hepatitis B termasuk penyakit menular yang cukup
berbahaya di dunia (Wirawan, 2003).
Serum dari pasien dengan hepatitis B klinis biasanya berisi tiga struktur

berbeda yang proses hepatitis B antigen permukaan (HBsAg). Partikel DANE


(nama pengamat pertama) adalah yang paling umum, tetapi sendiri memiliki
sruktur atribut terhadap virus dan menjadi menular. Partikel ini merupakan ruang
yang kompleks, 42 nm diameter dengan inti padat elektron-28 nm diameter
dikelilingi oleh amplop atau membran. Negatif noda dapat menembus partikel
DANE, mengungkapkan lapisan 7-nm luar atau amplop. Partikel sesekali kurang
inti dan memiliki pusat tembus (Wirawan, 2003).
Struktur inti dapat diisolasi dengan mereaksikan partikel DANE dengan
natrium sulfat dodesil. Partikel berbentuk bola dengan diameter rata-rata sekitar
22 nm (kisaran, 16 nm sampai 22 nm) yang paling banyak. Permukaan mereka
tampaknya memiliki similat struktur subunit dengan partikel DANE, tapi tidak
ada simetri seragam. Bentuk filamentous, sekitar 22 nm diameter dan panjang
mulai dari 50 nm untuk parutan dari 230 nm, juga berlimpah dan memiliki
struktur permukaan yang sama. Ketika filamen yang dicampur dengan deterjen
nonionik, mereka dari bola yang morfologis dan antigen mirip dengan 22-nm
partikel, menunjukkan bahwa filament merupakan agregat dari partikel berbentuk
bola. Kemudahan dengan sebelumnya bisa amati adalah refleksi dari kelimpahan
menakjubkan mereka dalam serum pasien. Dalam satu sampel serum, misalnya, 3
x 1013 22-nm partikel per milimeter dihitung, dengan 1/15 sebagai filamen banyak
dan 1/1500 sebagai partikel DANE banyak. Sebuah serum mungkin menular bagi
manusia dalam pengenceran 10-7 (Wirawan, 2003).
B. Patogenesis Bakteri
Virus hepatitis B tidak langsung membunuh hepatosit. Respon imun inang
terhadap antigen virus dianggap sebagai penyebab kerusakan hati pada infeksi
HBV. Induksi antigen-spesifik respon T-limfosit diperkirakan terjadi ketika host T
limfosit muncul bersama dengan epitop virus oleh antigen-presenting sel di organ
limfoid. Antigen ini spesifik pada sel T matang, berkembang dan kemudian
bermigrasi ke hati (Asrina, 2015).

Pada infeksi HBV akut, sebagian DNA HBV dibersihkan dari hepatosit
melalui non-cytocidal efek sampingan inflamasi dari CD8 + T limfosit serta
dirangsang oleh CD4 + T limfosit, terutama interferon-gamma dan tumor necrosis
factor-alfa. Hal ini menyebabkan down-regulasi replikasi dan lisis virus.
Kemudian langsung memicu hepatosit yang terinfeksi oleh HBV-spesifik CD8 +
sitotoksik sel T. Sebaliknya, orang dengan infeksi HBV kronis terlihat lemah,
jarang, dan difokuskan secara sempit HBV-spesifik T-sel tanggapan, dan sebagian
besar sel-sel mononuklear di hati kronis terinfeksi HBV orang non-antigenspesifik. Karena kehadiran HBV di extrahepatic, serta adanya DNA sirkular
kovalen tertutup (cccDNA) dalam hepatosit, pemberantasan virus adalah tujuan
realistis berdasarkan pada obat yang tersedia saat ini. DNA melingkar kovalen
tertutup berfungsi sebagai template untuk transkripsi RNA pregenomic yang
merupakan langkah awal yang penting dalam replikasi HBV. Keberadaan
rombongan cccDNA dalam hepatosit dianggap sebagai penanda ketekunan virus.
Sayangnya, terapi saat ini belum efektif dalam memberantas cccDNA dan hanya
mampu menurunkan tingkat. Kegigihan bahkan tingkat rendah cccDNA dalam inti
hepatosit telah terbukti berkorelasi dengan peningkatan viral load setelah
penghentian terapi (Asrina, 2015).
Selain itu, integrasi HBV DNA ke inti hepatosit selama proses replikasi
bisa menjelaskan peningkatan risiko karsinoma hepatoseluler. Respon manusia
terhadap infeksi virus hepatitis dengan rentang dari infeksi tanpa gejala dan
hepatitis non-ikterik untuk melayani penyakit hati, degenerasi hati, dan kematian.
Penyakit ini sering melemahkan dan penyembuhannya pun berkepanjangan.
Penyakit akut mungkin secara klinis dibedakan, sehingga kedua infeksi sering
dibedakan terutama oleh rute infeksi, periode panjang inkubasi, dan identifikasi
laboratorium yang spesifik virus, Ags dan Abs. Masuknya Virus hepatitis B yang

utamayaitu melalui rute orangtua, namun dalam hal ini replikasi tidak diketahui.
HBcAg hadir dalam inti hepatosit ketika 2 minggu setelah infeksi eksperimental
pada simpanse, yang mengembangkan penyakit erat mirip dengan yang di dalam
diri manusia. Selama paruh kedua masa inkubasi, 5-8 minggu setelah infeksi,
darah menjadi menular, dan mengandung HBsAg terdeteksi dan polimerase DNA
virus (Asrina, 2015).
HBsAg juga telah diidentifikasi dalam empedu, urin, air mani, kotoran,
dan secretons nasofaring. itu mengejutkan bahwa HBsAg dan DNA polimerase
biasanya menurun dalam darah sebelum menghilang symtopms akut dan tidak
terdeteksi oleh fungsi waktu hati kembali normal (Asrina, 2015).

C. Pengobatan
Secara singkat tujuan pengobatan hepatitis B adalah mengeliminasi
virus dengan tiga indikasi, yakni kadar HBV-DNA, status HBeAg, dan
kadar ALT. Muatan virus atau viral load merupakan faktor resiko
perkembanganhepatitis B kronik (CHB) menjadi sirosis dan kanker hati
(HCC). Studi REVEAL (Risk Evaluation of Viral Load Elevation)
menunjukkan, semakin tinggi muatan virus, semakin tinggi resiko
terjadinya sirosis dan kanker hati (Lukman, 2008).
Pada hepatitis B akut, tubuh berusaha melakukan eliminasi virus
hepatitis B baik dengan mekanisme respon imun spesifik maupun dengan
mekanisme imun nonspesifik. Respon imun spesifik dilaksanakan melalui
aktivitas sel T sitolitik (CD8+) yang telah mengalami aktivasi dan dapat
menumbulkan lisis sel-sel yang terinfeksi. Disamping itu, dapat juga

terjadi eliminasi VHB intraseluler dengan mekanisme nonsitolitik


(Soemoharjo, 2008).
Eliminasi virus melalui respon imun spesifik juga terjadi dengan
cara aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+. Respon imun ini
akan menyebabkan produksi antibody, antara lain anti HBs, anti HBc, dan
anti HBe. Fungsi anti HBs adalah menetralkan partikel VHB bebas dan
mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian, anti HBs akan
mencegah penyebaran virus dari sel ke sel (Soemoharjo, 2008).
a. Hepatitis B akut
Tujuan utama penatalaksanaan hepatitis B akut adalah

untuk

menghilangkan keluhan dan gejala klinis yang ada, mempersingkat


lamanya sakit, dan mencegah komplikasi seperti hepatitis fulminan yang
dapat menyebabkan kematian atau mencegah berkembangnya penyakit
menjadi penyakit hati kronis. Kejadian hepatitis fulminan pada infeksi
virus hepatitis B akut sekitar 0,5-1% dan umumnya berakhir dengan
kematian (Asrina, 2015).
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat mencegah terjadinya
proses peradangan atau nekrosis (kematian) sel hati. Penatalaksanan pada
penderita hepatitis B akut umumnya dilakukan dengan cara berikut:
1) Tirah Baring
Hal ini dilakukan secukupnya sampai penderita merasa cukup kuat.
Bila penderita merasa lebih sehat walaupun mata masih kuning,
kegiatan dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan perjalanan
penyakit. Yang menentukan lamanya tirah baring selain banyaknya
keluhan, juga tingginya nilai transaminase serum, bilirubin, serta hasil
pemeriksaan jasmani mengenai besarnya hati dan nyeri tekan (Asrina,
2015).
2) Diet
Penderita harus mendapat cukup kalori dengan ukuran 30-35 kalori per
kilogram berat badan atau sekitar 150-175 % dari kebutuhan kalori
basal. Makanan yang kaya dengan hidrat arang kompleks sebaiknya
diberikan 300-400 gram per hari agar dapt melindungi protein tubuh.
Protein atau asam amino diberikan sebanyak 0,75 gram per kilogram
berat badan (Asrina, 2015).
3) Obat-obatan
a) Kortikosteroid

Beberapa literatur berpendapat penderita hepatitis akut yang klasik


sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid karena dapat menyebabkan
masa

prodromal

mengakibatkan

memanjang,

komplikasi

berat,

sering
dan

terjadi

kekambuhan,

mungkin

menyebabkan

penyakitnya menjadi kronis. Obat ini dapat mengurangi proses


peradangan hati, sehingga edema sel berkurang dan stasis (sumbatan)
aliran empedu menghilang sehingga terjadi penurunan bilirubin.
Pemakaian obat ini dibatasi pada kasus-kasus dengan ikterus yang
berat, dengan nilai bilirubin yang tinggi misalnya diatas 15 mg %
(Asrina, 2015).
b) Munomodulator
Obat-obat golongan ini dapat memodulasi sistem kekebalan tubuh
(Asrina, 2015).
c) Obat-obat Non Spesifik
Yaitu obat-obat yang kerjanya membantu pulihnya kelainan yang
timbul, baik klinis maupun laboratorium (supportif). Hasil pemberian
obat golongan ini dapat dirasakan dengan berkurangnya keluhan
maupun hasil labolatorium yang membaik. Obat-obat yang dimaksud
antara lain Methicol (produksi Otto), Litrison (Roche), Methioson
(Soho), Curcil (Asta Medica), Curcuma (Soho), Urdafalk (Darya
Varia), dan berbagai macam obat tradisional lainnya (Asrina, 2015).
d) Obat-obat Simptomatik
Adalah obat-obat yang membantu menghilangkan keluhan dan gejala
klinis. Misalnya bila pasien demam diberi parasetamol, bila ada rasa
penuh di perut diberi enzim pencernaan seperti enzyplex, dan
sebagainya (Asrina, 2015).
b. Hepatitis B kronis
Tujuan penatalaksanaan adalah penyembuhan total dari infeksi VHB
yang ditandai dengan hilangnya VHB dan penyembuhan radang hatinya.
Keadaan ini ditandai dengan menghilangnya HbsAg, DNA polymerase,
VHB-DNA, serta nilai SGOT dan SGPT yang menurun kedalam batas
normal. Kadang kala penatalaksanaan hanya bisa mengurangi infektifitas,
menghambat replikasi virus, mengurangi kematian sel hati akibat reaksi
radang, serta mencegah transformasi sel hati kearah keganasan. Obat-obat
yang digunakan untuk menyembuhkan hepatitis B kronis antara lain

adalah obat antivirus, imunomodulator dan biological response modifiers


(Asrina, 2015).
Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum virus sempat
berintegrasi ke dalam genom penderita. Jadi, pemberiannya perlu
dilakukan sedini mungkin sehingga kemungkinan terjadi sirosis dan
hepatoma depat dikurangi. Yang termasuk obat antivirus adalah interferon
tipe I (alfa dan beta), adenin arabinoside monophosphate (ARA-MP),
Ribavirin, dan Acyclovir (Asrina, 2015).
Cara kerja interferon yaitu merangsang mekanisme pertahanan
alami tubuh Anda yang memerangi virus hepatitis. Sebagai hasilnya
gejala-gejala Anda mungkin memburuk selama beberapa waktu untuk
selama pengobatan. Ini adalah indikasi bahwa pengobatannya bekerja dan
karenanya Anda tidak boleh berhenti minum obat
D. Resistensi
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya resistensi penyakit
hepatitis B, yaitu:
1. Mutasi pada gen rt
Mutasi pada gen rt (reverse transcriptase) polimerase virus hepatitis B
(VHB) yang terjadi pada pasien naif (yang belum diobati) berpotensi
mengakibatkan

resistensi

terhadap

pengobatan

antiviral

analog

nukleosida/nukleotida (Nuk). Penelitian ini bertujuan mengetahui proporsi


kejadian dan pola mutasi yang bersifat resisten terhadap antiviral pada
subyek pengidap hepatitis B kronis (HBK) naif (Alvani, Syam, dkk, 2013).
Mutasi yang bersifat resisten pada gen rt polimerase VHB dideteksi
dengan sequencing DNA menggunakan sistem ABI Prism 3130xl. Jumlah
muatan virus, status HBeAg dan genotipe VHB juga diperiksa (Alvani,
Syam, dkk, 2013).
Dari 55 subyek yang diperiksa, didapatkan sequence rt polimerase
pada 35 subyek (22 pria dan 13 perempuan, rerata usia 38,8 11,8 tahun)
yang didiagnosis mengidap HBK antara Januari 2007 dan November
2010. Median HBV DNA 9.95106 (276-1.0108) IU/mL, 62,9% subyek
dengan VHB genotipe B dan 59,4% subyek berstatus HBeAg positif.

Mutasi yang bersifat resisten terhadap Nuk pada titik primer tidak
didapatkan. Mutasi di titik sekunder gen rt polimerase rt238 yang
berhubungan dengan resistensi terhadap adefovir didapatkan pada 24
(71%) subyek; dengan rincian pola mutasi rtH238Q pada 18 (52,9%),
N238Q pada 3 (8,8%), N238H pada 1 (2,9%), dan N238T pada 2 (5,9%)
subyek. Mutasi rt238 secara bermakna terjadi lebih banyak pada VHB
genotipe B dibandingkan dengan pada genotipe C (p 0,022) (Alvani,
Syam, dkk, 2013).
Mutasi pada titik primer gen rt polimerase VHB yang bersifat
resisten terhadap Nuk tidak dideteksi pada pasien HBK naif. Mutasi pada
titik sekunder rt238 yang berhubungan dengan resistensi terhadap adefovir
terdeteksi cukup dominan. Temuan ini perlu diteliti lebih lanjut untuk
mengetahui lebih jelas pengaruhnya terhadap respons klinis dan virologis
pengobatan dengan Nuk (Alvani, Syam, dkk, 2013).
2. Pemakaian antivirus yang tidak tepat
Pemilihan antiviral yang tepat dapat memprediksi keberhasilan
pengobatan juga penting, karena dapat membantu tindak lanjut
pengobatan. Masih dari studi GLOBE, pasien yang tidak menunjukan
respon pada 6 bulan pertamalah yang cenderung mengalami resistensi
(Lukman, 2008).
Resistensi kemungkinan dapat terjadi karena pemakaian antivirus
nukleosida maupun nukleosida analog. Resistensi dapat dicegah dengan
melakukan monitoring kadar HBV DNA selama masa pengobatan secara
berkala. Berdasarkan setudi GLOBE, pasien yang diobati telbivudine, bisa
mencapai kadar HBV DNA negatif pada minggu ke-24, maka
kemungkinan terjadi resistensi pada tahun ke-2 hanya 4% untuk pasien
HBeAg positif dan 2% pada pasien HBeAg negatif. Memonitor kadar
HBV DNA pada minggu ke-24 dapat memprediksi timbulnya resistensi
sehingga resistensi bisa dicegah (Lukman, 2008).
Prof. Dr. Ali Sulaeman SpPD-KGEH dari Divisi Hepatologi
FKUI/RSCM memaparkan hasil penelitiannya selama satu tahun
penggunaan telbivudine pada pasien hepatitis B kronis di Klinik Hati Prof.
Ali Sulaeman. Ada 32 pasien yang berasal dari Klinik Hati Prof. Ali

Sulaeman yang dilibatkan dalam penelitian untuk menguji superioritas


telbivudine sebagai NA terakhir yang disetujui terhadap lamivudine. 10
pasien memiliki HBeAg positif, dan 22 pasien memiliki HBeAg negative
(Lukman, 2008).
Hasil terapi telbivudine pada pasien hepatitis B kronik yang belum
pernah diterapi dan HBeAg positif menunjukan kadar HBV DNA < 300
kopi/ml yang diukur dengan PCR mencapai 20% (1 dari 5 pasien) pada
minggu ke-12, 40% (2/4 pasien) di minggu ke-24, dan 67% (2/3 pasien) di
minggu ke-48. Pada pasien kategori ini namun memiliki HBeAg negatif,
kadar HBV DNA < 300 kopi/ml terjadi pada 73% (11/15 pasien) di
minggu ke 12, 90% (9/10 pasien) pada minggu ke-24, dan 100% (5/5
pasien) di minggu ke-48 (Lukman, 2008).
Terapi telbivudine pada pasien hepatitis B kronik yang pernah
diterapi menunjukkan : tidak ada yang mencapai kadar HBV DNA < 300
kopi/ml sejak minggu ke 12,24 dan 48 pada mereka yang memiliki status
HBeAg positif. Namun untuk pasien yang memiliki HBeAg negatif, kadar
HBV DNA < 300 kopi/ml terjadi pada 25% (1 dari 4 pasien) di minggu ke12, 75% (3/4 pasien) di minggu ke-24, dan 100% (4/4 pasien) pada
minggu ke-48 (Lukman, 2008).
Kesimpulannya, terapi telbivudine pada pasien dengan HBeAg
positif dan pasien yang belum pernah mendapatkan terapi sebelumnya
menunjukan penekanan HBV DNA yang kuat dan secara signifikan lebih
tinggi pada pasien dengan serokonversi HBeAg positif. Telbivudine juga
bisa ditolerir dengan baik (Lukman, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Alvani, Syam, dkk. 2013. Pola Mutasi Resistensi terhadap Analog Nukleosida
Virus Hepatitis B pada Pengidap Kronis yang Belum Mendapatkan Terapi.
Tersedia online di http://pphi-online.org/alpha/?p=579 (diakses pada 13
April 2015 pukul 5.51 WIB)
Asrina,

Legia.

2015.

Makalah

Mikro.

Tersedian

online

https://www.academia.edu/8609069/MAKALAH_MIKRO_new

di

(diakses

pada 3 April 2015 pukul 22.37 WIB).


Lukman, Budi. 2008. Hepatologi Pemilihan Antivirus Tepat pada Hepatitis B
Kronik.

Tersedia

online

di

http://www.budilukmanto.org/index.php/perawatan-hepatitis?start=12
(diakses pada 13 April 2015 pukul 00:11 WIB).
Soemoharjo, Soemognjo. 2008. Hepatitis Virus B. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.
Wirawan, Riadi. 2003. Biomedika Laboratorium Klinik Utama. Tersedia online di
http://www.biomedika.co.id/downlot.php?
file_health=521333BrochureHepatitisA.pdf (diakses pada 3 April 2015
pukul 20.07 WIB).

Anda mungkin juga menyukai