Anda di halaman 1dari 15

SEPSIS DAN SIRS

I.

Pendahuluan

Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik pasien-pasien bedah
dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea,
takikardi, demam, diaforesis dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah,
bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari keadaan tersebut. Pasienpasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu diagnosis sepsis atau septikemia. Istilah ini
secara tradisional memberikan pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif
yang tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit tersebut. Secara umum
dapat dikatakan bahwa proses infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik.
Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu
jenis mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifikhost (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat
mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.
Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua peristiwa ini. Dengan
demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi inflamasi, walaupun secara lokal (seperti
trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang
menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis sepsis, tanpa ditemukannya mikroba patogen sebagai
penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sepsis yang disebabkan infeksi mikroba dan
aseptik sepsis yang disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis yang serupa yaitu suatu
respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.
Kata sepsis pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua milenium yang lalu, untuk
menggambarkan proses penguraian jaringan dengan hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan
kematian. Sepsis merupakan lawan dari pepsis yang berarti proses penguraian jaringan yang
memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau fermentasi anggur untuk
menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata
sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba yang berat, sementara septikemia mempunyai arti
keberadaan atau invasi bakteri di dalam sirkulasi.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, banyak kemajuan besar telah dibuat dalam membangun
pengertian kita tentang respon sepsis, baik baik tentang asal mediator, efek maupun konsekuensinya.

II.

Epidemiologi

Dari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di Amerika
Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat 10.319.418 kasus
sepsis (merupakan 1.3% dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis yang dirawat setiap tahun
meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun 2000 (meningkat 13,7% per
tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada populasi pasien sepsis dari masingmasing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57,
4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien
wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.

Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab sepsis
yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah bakteri Gram
positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram positif merupakan
52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba 4,7%, anaerob 1% dan infeksi
jamur 4,6%.
Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8% pada
subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien sepsis yang
mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1% pada 11 tahun
pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada 33,6% pasien selama
subperiode terakhir (1995 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi angka mortalitas: kurang lebih
15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara 70% pasien dengan kegagalan 3 organ
atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan
ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis
(7%), kegagalan metabolik (7%) dan kegagalan neurologis (2%).

Tabel 1. Karakteristik pasien sepsis

III.

Definisi dan Terminologi

Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensiAmerican
Collage of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992, yang menghasilkan suatu
konsensus :
Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya invasi terhadap jaringan
normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).
Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus infeksi yang disertai dengan adanya
bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem sirkulasi.
SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat
dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejalagejala berikut :
demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)
takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO 2 <32 torr (< 4.3 kPa)
leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit < 4000/mm 3) atau adanya
bentuk leukosit yang immature > 10%.
Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi jaringan
(dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status
mental/kesadaran) atau hipotensi.
Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-tanda perfusi jaringan
yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status
mental/kesadaran).
Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau adanya
penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan fungsi organ dengan ditandai
keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.

MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik pada
keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostasis.

Gambar 1. Hubungan Sepsis, SIRS dan Infeksi

IV.

Patogenesis

Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang cedera atau
destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan
kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang
berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines
intraseluler dan mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :
aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis
respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel mast. Tipe sel efektor
yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan, iskemia,
kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals, histamin,
eicosanoid, faktor koagulasi.
Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan (up-regulatory
mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory mechanism) yang sangat komplek.
Walaupun pemicunya berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi atau
non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu saat ini mekanisme seperti itu disebut
sebagai common pathway of inflamatory respons.
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal respon inflamasi
tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi tersebut
merupakan refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang terjadi atau beratringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan menyebabkan respon
inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome). Namun apabila luka traumatik
tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi respon inflamasi sistemik atau Sistemic
Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada
organ jauh (remote organ) akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan
mengakibatkan terjadinya MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu
proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
(1) Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi sistemik.
(2) Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi sistemik
walaupun mikroorganisme terlokalisir.
(3) Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal sangat hebat
mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin
kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-, sitokin
antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs),
makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators), yaitu :
1. Mikroorganisme

2.

3.
4.
5.
-

Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari pertahanan fisik (kulit-membran
mukosa), pertahanan kimia, sistem fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral immunity (sistem
antibodi, komplemen) dan cellular immunity.
Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu adalah patogenitas
mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.
Endotoksin dan eksotoksin
Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari lapisan membran dalam
dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang mempunyai efek toksik
langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti pemicu lepasnya mediator endogen
dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama atau efektor utama yang dipicu endotoksin
adalah sel endotel dari pembuluh darah.
Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui aktivasi
bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui terjadinya reaksi reseptorantigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam sitokin.
Jaringan nekrotik
Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag
Memberikan lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman
Trauma jaringan lunak
Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator sekunder atau sinyal
pada sel efektor.
Ischaemic-reperfusion
Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan akan berkurang,
yang berakibat timbulnya perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler.
Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan oksigenisasi yang
baik pada sel/jaringan pasca iskemia.
Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan memicu
pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung jawab sebagai
elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima inisiator tersebut akan saling mempengaruhi dan
saling meningkatkan respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk berbagai elemen komponen inflamasi,
yaitu :
1.
Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).
Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator inflamasi. Cedera pada jaringan dan
pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade pembekuan(coagulation cascade) untuk
mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan menghasilkan produk yang dapat
merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII(juga dikenal sebagai Faktor Hageman) yang aktif
adalah suatu mediator penting untuk terjadinya perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek
langsungnya minimal, namun faktor ini sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang
lain.
2.
Platelet aktif.
Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses trombosis
dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon inflamasi. Larutan
platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan pada jaringan hewan
percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama tromboxan A 2 sebagai
vasokonstriktor yang poten.
3.
Sel mast
Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang dilepaskannya
histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel akan segera merelaksasi otot

polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada jaringan disekitar luka.
Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah dan
penurunan kecepatan aliran darah.
4.
Contact activating system.
Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh stimulus
yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein menjadi kalikrein.
Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin dari kininogen berat molekul
tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada endotel reseptor dan merangsang
pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah
dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan
histamin.
5.
Kaskade komplemen (complement cascade).
Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara alternative.
Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih penting
lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan penting dalam
fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik adalah aktivasi protein komplemen akan juga
mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel dan secara tidak langsung produksi bradikinin.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi
inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, peningkatan
aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan edema jaringan lunak. Yang
terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini
menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan chemoattracttant.
Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF (Multiple
Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi jaringan lunak yang
tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk terjadinya SIRS maupun sekuelenya.
Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut :
1.
Aktivasi reaksi inflamasi.
Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi
sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya SIRS. Pada
infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus
mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma, proses infeksi adalah
proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan besar pada suatu saat akan
melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik. Namun perlu digarisbawahi
bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut bukan merupakan syarat untuk
terjadinya reaksi sistemik.
Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebuttwohit hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum
terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan, trauma berat atau operasi besar
akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi, perdarahan
ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.
2.
Aktivasi inisiator
Aktivasi kaskade pembekuan (Coagulation Cascade) akan mengakibatkan DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami pemanjangan PT
(Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) sebagai akibat penggunaan

protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga terjadi aktivasi protein komplemen. Efek
bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase ketiga.
3.
Konsekuensi sistemik fase pertama
Mediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan
mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat menurunnya
tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada dukungan preload yang
cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia relative. Bila ada dukungan preload
yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index. Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan
permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat terjadinya edema sistemik.
4.
Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi(Proinflamatory
cytokine).
Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara sistemik.
Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan lunak
didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan akan memberikan
kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi oleh chemoattracttant dan
tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin proinflamasi yang disekresi ke cairan
ekstrasel.
5.
Penempelan netrofil.
Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel dengan
netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasi namun nampak lebih banyak terjadi pada
sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target MODS (yaitu paru, hati,
usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.
6.
Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.
Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai proses
fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan perilaku
fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini segera dikeluarkan
di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan self-digestion mulai terjadi.
7.
Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.
Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan
merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan
hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi platelet terjadi
pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom yang lain. Respon yang
dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh thromboxane A 2. Terbentuk juga trombus
lokal pada tempat trauma endotel di dalam mikrosirkulasi.
8.
Terhentinya mikrosirkulasi.
Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi adalah
penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun trombosis
total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma dan infeksi, trombosis
dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi suatu organ.
9.
Nekrosis fokal.
Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan akibat
nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari jumlah sel
endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus memproduksi netrofil
dengan akibat makin banyak jaringan fungsioanl yang mengalami nekrosis sehingga proses disfungsi
pada MODS terus berlangsung.

10.

Proses self-energizing dan self-recycling


Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya rangsang
atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh proses juga akan
menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini menghasilkan trauma pada jaringan
dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik. Dengan demikian lesi pada suatu end-organ
juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi inflamasi.
Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi dan dapat
digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin seperti TNF (Tumor nekrosis Faktor - ), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang terlihat pada pasien sepsis
dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6 biasanya digunakan sebagai
indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.
Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-reactive
Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam plasma meningkat
dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP disebut sebagai pertanda
yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit dan suhu tubuh.
Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar
plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga
dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli lain
melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan
CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6. Pertanda yang lain adalah
neopterin, elastase dan fosfolipase A2.

V.

Gejala klinis
Dalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien dengan respon septik (yaitu
SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi hemodinamik dan
metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap sepsis, namun data ini bias,
dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti menunjukkan bahwa SIRS adalah
suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap suatu rangsang dan kemampuan cadangan
fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan fisiologis umum yang terjadi.
Keempat tahap tersebut adalah :
1.
Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)
Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma atau
penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan COP
yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti keadaan normal.
Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang sesuai
dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal ini
merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau operasi
besar.
Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari reaksi
inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan penyakit.
2.
Tahap B (Fase MODS)
Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam dari
tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan
tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung (sebaiknya dengan

cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami hipotensi. Sementara itu selisih
antara kadar oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena
abnormalitas enzim metabolisme sel.
Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan terjadi
desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum
penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa lambung menunjukkan
cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas 1,0
mg/dL.
3.
Tahap C (Fase Dekompensasi)
Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan kompensasi jantung
tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload yang sangat
drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan afterload yang
sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan
preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok atau keadaan syok yang
berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan
hipotensi namun tetap teraba hangat.
4.
Tahap D (Fase Terminal)
Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan sirkulasi
menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan menyebabkan respon
vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, tahanan vaskuler
sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat
gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak adekuat dan
vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan
mengalami kematian akibat fase ini.

Tabel 2. Tahapan SIRS


Fase
Transien
MODS
Dekompensasi
Terminal

COP

SVR

Laktat
N

Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan
sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau
dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).

Tabel 3. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok


septik)
Hiperdinamik
Hipodinamik
Suhu
, Menggigil
/
Kulit
Kering, hangat
Dingin
Jantung
Takikardi
Takikardi
Klinis
Paru
Takipneu
Takipneu
Tekanan darah

Status mental
Berubah
Obtudansi
Produksi urin
Variabel
Oliguri
Lekosit

/ , geser ke kiri
Keasaman
Asidosis metabolik
Asidosis metabolik
Gula darah
Hiper/Hipoglikemia
Laktat
1,5 2,0 mM/L
> 2,0 mM/L
Laboratorium
Trombosit
Trombositopenia
VO2

(A-V) O2
Normal /

Tekanan baji
Normal /
Bervariasi
COP

Tidak adekuat
Fisiologi
SVR

Mikrovaskuler
Kerusakan lokal
Kerusakan lokal
Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis).
Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik, yang
membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO 2 dan tekanan
perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang diiringi dengan
penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk dan agonist. Hal ini akan mengakibatkan
hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai terjadi. Bila gangguan aliran darah
tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan mengakibatkan kerusakan jaringan.
Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien menjadi letargi.
Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan terjadi
penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok septik) dan keadaan
ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.
Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan
tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi organ

harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi. Dengan demikian
penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan organ dapat segera
dihentikan.

Tabel 4. Gejala awal MOF


ORGAN
EFEK
Tahanan vaskuler pulmoner
ARDS akut
Paru
Atelektasis
Emboli paru
Pneumonia
Hipoalbuminemia
Hati
Bilirubinemia
Asam amino
Tukak lambung
Gastritis hemoragik
Saluran cerna
Kolesistitis akut
Trombosis v.mesenterika
Kreatinin
Ginjal
Nitrogen
Osmolaritas urin
CO , gagal, atau
Kardiovaskuler
Tahanan vaskuler
Trombositopenia
Fibrinogen (dini), (lanjut)
Koagulasi
PT

VI.

TANDA KLINIK
Takipneu, hipoksia
Takipneu, hipokarbia
Alkalosis respiratorik
Takipneu
Takipneu, suhu tinggi
Gangguan koagulasi
Ikterus
Hepatomegali
Hematemesis/melena
Nyeri perut, syok
Nyeri perut, suhu
Nyeri perut, syok
Oligouria / anuria
Retensi cairan
Edema
Syok
Asidosis metabolik
Ekimosis
Perdarahan difus

Penatalaksanaan

Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan tahapan
klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta
mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk
mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk
mencapai tiga sasaran :
1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi
iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a.
Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat
tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar
75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b.
Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan tekanan
pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang

hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan
diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat
sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas,
endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5
g/dL.
c.
Inotropik
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila ekspansi cairan
tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal,
karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter
perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji
yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d.
Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda, stabil
dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar
hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.
e.
Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan
tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat
meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan
nitroprusid.
f.
Vasokonstriktor
Penambahan zat -agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90 mmHg atau
MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac
indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis
rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya digunakan dalam
waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari
vasodilator.
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
a.
Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :
1.
Meminimalkan trauma lebih lanjut
2.
Debridemen yang agresif
3.
Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4.
second-look procedure
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang menunjukkan
telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus
segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.
b.
Modifikasi respon stress hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam terjadinya
gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik
dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan
kardiomiopati. Penggunaan zat -antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan
kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.

c.

Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan


Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya
diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi nosokomial
(biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua),
pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui
asalnya seperti dari usus.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu dapat
diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik
gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas
dilaporkan.
Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon stress
dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa
studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian
nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat proses
penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
Organ
Komplikasi
Paru-paru
ARDS karena infeksi nosokomial
Pneumonia nosokomial
Barotrauma
Keracunan O2
Hipervolemia
Usus
Cedera karena infeksi / endotoksin
Malnutrisi
Keracunan obat
Kolitis pseudomembran
Hipovolemia
Hati
Cedera karena infeksi / endotoksin
Overfeeding
Keracunan obat
Ginjal
Cedera karena infeksi / endotoksin
Keracunan obat
Hipovolemia
Sistemik
Malnutrisi
Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat
Modalitas Terapi Baru
Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil
memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi,
kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan
rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya
memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan
perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal
IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.
Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu
memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena endotoksin.

Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun
penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada sel
target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atauantagonis IL-1. Obat ini
berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.
Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan PAF
asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai
saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl
arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan
hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.
Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator menggunakan
cara plasmapheresis (PE).
Konsep Baru Pengobatan Sepsis
Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi.
Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC
menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi pembentukan
thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan
degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi
sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih terdapat perdebatan
mengenai penggunaan APC terutama berhubungan dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini,
APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami
ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.
Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al, menunjukkan bahwa
pemberian terapi insulin intesif yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 110 mg/dL
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi konvensional yang
mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 200 mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian
akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien
tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang
terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga
mencegah apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2kinase-akt.
Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-directed therapy oleh Rivers et al
menunjukkan bahwa terapi cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan
kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien. Penelitian
ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah untuk
meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan,
inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6 jam pertama
penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien pada kelompok
penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah
dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.

Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya: metilprednisolon 30mg/
kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat
memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh Annane
menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan
ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal
ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation reseptor adrenergik.
Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid
meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan
insufisiensi adrenal relatif.

VII.
1.
2.

3.
4.
5.

6.
7.

Daftar Pustaka
Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ Failure Patophysiology,
Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.
Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Biologic Domino
Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE
(Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.
Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ Failure Patophysiology,
Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.
Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med 2003, 348; 138-50.
Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They Helped us.
In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds).
Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.
Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the United States from 1979
through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.
Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of Severe Sepsis and
Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77

Anda mungkin juga menyukai

  • Pemeriksaan Koh
    Pemeriksaan Koh
    Dokumen9 halaman
    Pemeriksaan Koh
    Risna Ariani
    100% (1)
  • JURNAL Glaukoma
    JURNAL Glaukoma
    Dokumen13 halaman
    JURNAL Glaukoma
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Asam
    Asam
    Dokumen1 halaman
    Asam
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA Fix1
    DAFTAR PUSTAKA Fix1
    Dokumen2 halaman
    DAFTAR PUSTAKA Fix1
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • TRANSLATE Eksim Numular
    TRANSLATE Eksim Numular
    Dokumen12 halaman
    TRANSLATE Eksim Numular
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • TRANSLATE Eksim Numular
    TRANSLATE Eksim Numular
    Dokumen12 halaman
    TRANSLATE Eksim Numular
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Intan
    Intan
    Dokumen1 halaman
    Intan
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen3 halaman
    Dapus
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Pseudoephedrine
    Pseudoephedrine
    Dokumen5 halaman
    Pseudoephedrine
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Cuka
    Cuka
    Dokumen1 halaman
    Cuka
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Patah
    Patah
    Dokumen1 halaman
    Patah
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen19 halaman
    Isi
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Rapi
    Rapi
    Dokumen1 halaman
    Rapi
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Intan
    Intan
    Dokumen1 halaman
    Intan
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Asam
    Asam
    Dokumen1 halaman
    Asam
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Rumah
    Rumah
    Dokumen1 halaman
    Rumah
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Benang
    Benang
    Dokumen1 halaman
    Benang
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Sepi
    Sepi
    Dokumen1 halaman
    Sepi
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Melati
    Melati
    Dokumen1 halaman
    Melati
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Pengertian Trismus
    Pengertian Trismus
    Dokumen3 halaman
    Pengertian Trismus
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Merah
    Merah
    Dokumen1 halaman
    Merah
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Jingga
    Jingga
    Dokumen1 halaman
    Jingga
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Dasi
    Dasi
    Dokumen1 halaman
    Dasi
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Kenang A
    Kenang A
    Dokumen1 halaman
    Kenang A
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Rubah
    Rubah
    Dokumen1 halaman
    Rubah
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Anggrek
    Anggrek
    Dokumen1 halaman
    Anggrek
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Bebek
    Bebek
    Dokumen1 halaman
    Bebek
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Bunga
    Bunga
    Dokumen1 halaman
    Bunga
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Akar
    Akar
    Dokumen1 halaman
    Akar
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat
  • Ameloblastoma Ialah Tumor
    Ameloblastoma Ialah Tumor
    Dokumen1 halaman
    Ameloblastoma Ialah Tumor
    Risna Ariani
    Belum ada peringkat