GANGGUAN CEMAS
didefinisikan
sebagai
suatu
perasaan
yang
difus,
tidak
Gangguan Cemas
terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas
juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal
tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Aspek yang penting
pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan seleksi
terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka
mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.
Teori psikoanalitik
Teori perilaku
Teori eksistensi
Teori Psikoanalitik
Rasa cemas dianggap sebagai sinyal terhadap hal-hal yang tidak
menguntungkan di alam bawah sadar. Sebagai respon terhadap sinyal tersebut,
ego seseorang membentuk suatu mekanisme pertahanan untuk mencegah perasaan
dan pikiran, yang tidak dapat diterima, untuk tidak muncul ke alam sadar. Tujuan
terapi pada gangguan cemas adalah bukan untuk menghilangkan rasa cemas itu,
melainkan untuk meningkatkan tingkat toleransi seseorang terhadap rasa cemas
itu, sehingga seseorang itu dapat mengidentifikasi masalah yang menimbulkan
rasa cemas itu.
Teori Perilaku
Berdasarkan teori perilaku, rasa cemas dianggap timbul sebagai respon
dari stimulus lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak perempuan yang
dibesarkan oleh ayah yang memperlakukannya semena-mena, akan segera merasa
cemas bila ia melihat ayahnya. Dan melalui proses generalisasi, ia akan menjadi
tidak percaya dengan pria-pria disekitarnya. Selain itu, diduga bila rasa cemas itu
dapat ditiru, seperti seorang anak yang meniru sifat orangtuanya yang cemas.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa
Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha
Periode 24 Maret 2014 26 April 2014
Gangguan Cemas
Teori Eksistensi
Teori eksistensi memberikan penjelasan mengenai gangguan cemas
menyeluruh, dimana sesungguhnya tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang
bersifat kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam
dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa
kekosongan eksistensi dan arti.
Riset genetik menunjukan terdapatnya komponen gen yang berkontribusi
pada kelainan gangguan cemas. Hereditas telah diakui sebagai faktor predisposisi
pembentukan kelainan gangguan cemas. Hampir separuh dari pasien dengan
gangguan cemas juga memiliki seseorang dalam keluarganya yang mengalami
gangguan serupa. Data dari kelahiran kembar juga mendukung hipotesis gen yang
berperan dalam kelainan gangguan cemas.
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari
timbulnya cemas yang patologis antara lain:
Neurotransmiter
sistem
kardiovaskuler
(palpitasi),
muskuloskeletal
(nyeri
kepala),
gastrointestinal (diare), dan respirasi (takipneu). Sistem saraf otonom pada pasien
dengan gangguan cemas, terutama pada pasien dengan gangguan serangan panik,
mempertunjukan peningkatan tonus simpatetik, yang beradaptasi lambat pada
stimuli repetitif dan berlebih pada stimuli yang sedang.
Neurotransmiter
Ditemukan tiga neurotransmiter yang berkaitan dengan rasa cemas, yakni
norepinephrine ( NE ), serotonin, dan -aminobutryic acid ( GABA ).
Gangguan Cemas
Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa
serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan
karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan
norepinephrine pada gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki
kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan
aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik terlokalisasi secara
primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus
pada korteks serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis.
Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut
menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak
menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan
gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor -adrenergik
( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor -2 adrenergik dapat mencetuskan
serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine,
agonis reseptor -2 menunjukan pengurangan gejala cemas.
Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian
peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan
peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens,
amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan
penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukan
kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki
reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral
brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.
GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obatobatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA
Gangguan Cemas
Gangguan Cemas
Korteks Serebri
Korteks
serebri
bagian
frontal
berhubungan
dengan
regio
Gangguan Cemas
Gangguan Cemas
2.1 FOBIA
Definisi Fobia
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap, dan berlebihan
terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari bahasa Yunani
yaitu Fobos yang berarti ketakutan.
Fobia merupakan suatu gangguan jiwa yang merupakan salah satu tipe dari
gangguan anxietas dan dibedakan dalam tiga jenis menurut jenis objek atau situasi
ketakutan yaitu agorafobia, fobia spesifik, dan fobia sosial.
Fobia spesifik adalah suatu rasa takut yang kuat dan persisten pada suatu
objek atau situasi. Fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan persisten dimana
dapat timbul rasa malu.
Epidemiologi Fobia
Fobia merupakan salah satu gangguan jiwa yang umum, dimana terdapat
kurang lebih 5 10 % dari seluruh populasi yang mengalaminya. Gangguan yang
ditimbulkan dari fobia, terutama apabila mereka tidak dihiraukan, dapat
menyebabkan munculnya gangguan cemas lainnya, depresi, dan gangguan yang
berhubungan dengan penggunaan obat terlarang.
Fobia spesifik lebih sering dijumpai dibandingkan dengan fobia sosial.
Diduga fobia spesifik merupakan gangguan yang paling sering dialami perempuan
dan kedua tersering pada pria. Prevalensi 6 bulan fobia spesifik berkisar antara 5
10 / 100 orang. Tingkat prevalensi fobia spesifik pada perempuan berkisar antara
13.6 16.1 % lebih tinggi dibandingkan pria, yakni 5.2 6.7 %, walaupun rasio
untuk fobia terhadap darah, suntikan, dan sakit berkisar antara 1 : 1. Puncak onset
10
Gangguan Cemas
Etiopatogenesis Fobia
Prinsip-prinsip umum pada fobia terdiri dari faktor perilaku dan faktor
psikoanalitik.
Faktor Perilaku
Pada tahun 1920, John B. Watson memiliki hipotesis mengenai fobia,
yakni fobia muncul dari rasa cemas dari stimuli yang menakutkan yang muncul
bersamaan dengan stimuli lain yang bersifat netral. Sebagai hasil dari kemunculan
stimuli yang bersamaan tersebut, stimuli netral tersebut menjadi menakutkan juga.
Contohnya pada seseorang yang fobia dengan anjing, dahulu ia pernah digigit
oleh anjing, dimana gigitan tersebut merupakan stimuli yang menakutkan,
sedangkan anjing tersebut merupakan stimuli yang netral, namun karena stimuli
11
Gangguan Cemas
tersebut muncul secara bersamaan, sehingga anjing tersebut juga menjadi stimuli
yang menakutkan.
Didapatkan juga teori lain, yakni teori klasik stimulus-respon. Rasa cemas
adalah suatu motor penggerak pada organisme yang menyebabkannya melakukan
perilaku tertentu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Perilaku yang
dilakukan dapat berupa penghindaran untuk mengurangi rasa cemas tersebut.
Teori ini dapat diaplikasikan pada fobia spesifik terhadap situasi tertentu atau
fobia sosial, dimana seseorang dapat menghindari elevator atau berbicara didepan
khayalak ramai.
Faktor Psikoanalitik
Formulasi Sigmund Freud mengenai phobic neurosis masih merupakan
penjelasan psikoanalisis untuk fobia spesifik dan fobia sosial. Hipotesa Freud
adalah, rasa cemas merupakan sinyal untuk menyadarkan ego, jikalau terdapat
dorongan terlarang di alam bawah sadar yang akan memuncak dan untuk
menyadarkan ego untuk melakukan mekanisme defensif terhadap daya insting.
Freud melihat jikalau fobia merupakan hasil konflik yang terpusat pada masalah
masa kanak-kanak yang tidak terselesaikan. Ketika tindakan represi untuk
mencegah cemas gagal, sistem ego seseorang akan mengaktifkan mekanisme
pertahanan yang berupa mempersalahkan ( displacement ), dimana masalah
yang tidak selesai dari masa kanak-kanak akan dialihkan kepada objek atau situasi
yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan rasa cemas. Objek atau situasi
tersebut menjadi simbol dari masalah yang dahulu dialaminya ( Symbolization ).
Mekanisme pertahanan ego terhadap rasa cemas terdiri dari tiga hal, yakni
represion, displacement, dan symbolization. Sehingga rasa cemas tersebut teratasi
dengan membentuk phobic neurosis.
Namun pada agoraphobia atau erythrophobia, rasa cemas diduga datang
dari rasa malu yang mempengaruhi superego. Perlu diperhatikan juga bahwa
12
Gangguan Cemas
13
Gangguan Cemas
perduli, dan terlalu protektif mengenai anak mereka. Kadang-kadang beberapa hal
kecil dapat menjadi indikator dari sifat seseorang, seperti seseorang yang berjalan
dengan dagu terangkat dan melakukan kontak mata umumnya memiliki sifat yang
dominan, bila dibandingkan dengan seseorang yang sering berjalan dengan kepala
tertunduk dan jarang melakukan kontak mata yang umumnya bersifat submisif.
Kesuksesan memberikan terapi pada pasien dengan fobia sosial telah
menimbulkan dua hipotesa neurokima yang spesifik terhadap dua jenis fobia
sosial. Secara spesifik, penggunaan obat antagonis reseptor -adrenergik
( propanolol ) untuk fobia pertunjukan. Seseorang dengan fobia pertunjukan
umumnya melepaskan lebih banyak norepinephrine atau epinephrine, secara
sentral maupun perifer, dibandingkan orang-orang non-fobik, atau orang-orang
tersebut lebih sensitif terhadap stimulasi kadar adrenergik yang normal.
Berdasarkan hasil observasi mengenai penggunaan obat monoamine oxidase
inhibitor (MAOI) yang lebih efektif dibandingkan obat-obatan tricylcic pada
terapi
fobia
sosial
menyeluruh,
diduga
jikalau
aktivitas
dopaminergik
berhubungan dengan patogenesis gangguan fobia sosial. Pada salah studi dengan
single photon emission computed tomography (SPECT) menunjukan penurunan
reuptake dopamine pada daerah striatal.
Faktor genetik diduga memiliki keterkaitan dengan fobia sosial. Anggota
keluarga tingkat pertama pada seseorang dengan gangguan fobia memiliki
kecenderungan untuk mengalami fobia sosial sebanyak tiga kali lebih sering
dibandingkan dengan yang tidak. Selain itu, pada kembar monozigotik juga
didapatkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan kembar dizigotik.
14
Gangguan Cemas
menyatakan bila serangan panik dapat terjadi pada pasien dengan fobia spesifik
atau fobia sosial, namun mereka sudah mengetahui kemungkinan terjadinya
serangan panik tersebut. Pajanan terhadap stimulan tertentu dapat mencetuskan
terjadinya serangan panik.
Seseorang yang memiliki fobia akan menghindari stimulus fobianya,
bahkan sampai pada taraf yang berlebihan. Contohnya seseorang yang fobia
terhadap pesawat akan memilih untuk melintasi negara dengan bus dibandingkan
naik pesawat. Seringkali, pasien dengan gangguan fobia juga memiliki masalah
dengan gangguan penggunaan zat-zat terlarang sebagai upaya pelarian mereka
dari rasa cemas tersebut. Secara keseluruhan, sepertiga dari seluruh pasien fobia
juga memiliki keadaan depresif yang berat.
Tanda dan gejala yang paling terlihat pada seseorang dengan fobia adalah
adanya pemikiran yang tidak logis dan rasa takut yang ego-distonik mengenai
suatu stimulus. Pasien umumnya dapat menceritakan bagaimana cara mereka
menghindari stimulus tersebut. Umumnya pasien dengan fobia juga memiliki
gejala depresi.
Pedoman Diagnosis Fobia
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV ( DSM-IVTR)
Fobia Spesifik
Berdasarkan revisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders ( DSM-IV-TR ), hasil revisi tersebut menggunakan isitilah fobia
spesifik untuk dicocokkan dengan hasil revisi kesepuluh dari International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems ( ICD-10 ).
15
Gangguan Cemas
Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau mengidap penyakit ; pada
anak-anak, ketakutan pada suara keras atau karakter bertopeng).
16
Gangguan Cemas
Fobia Sosial
Kriteria yang diberikan DSM-IV-TR untuk fobia sosial mengakui bila
fobia sosial dapat diikuti dengan serangan panik. DSM-IV-TR juga menyertakan
untuk fobia sosial yang bersifat menyeluruh yang berguna untuk menentukan
terapi, prognosis, dan respon terhadap terapi. DSM-IV-TR menyingkirkan
17
Gangguan Cemas
diagnosa fobia sosial bila gejala yang timbul merupakan akibat dari penghindaran
sosialisasi karena rasa malu dari kelainan mental atau non-mental.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Social Phobia
A. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau
memperlihatkan perilaku dimana orang bertemu dengan orang asing atau kemungkinan
diperiksa oleh orang lain. Ketakutan bahwa ia akan bertindak dengan cara (atau
menunjukkan gejala kecemasan) yang akan menghinakan atau memalukan.
Catatan : pada anak-anak, harus terbukti adanya kemampuan sesuai usianya untuk
melakukan hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dan kecemasan hanya
terjadi dalam lingkungan teman sebaya, bukan dalam interaksi dengan orang dewasa.
B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan kecemasan,
dapat berupa seragan panik yang berhubungan dengan situasi atai dipredisposisi oleh
situasi.
Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangism tantrumm
diam membeku, atau bersembunyi dari situasi sosial dengan orang asing.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan
D. Situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan
kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas
E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti secara
bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas
sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena
menderita fobia.
F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
G. Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat
(misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum dan tidak
lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain ( misalnya, Gangguan Panik Dengan atau
Tanpa Agorafobia, Gangguan Cemas Perpisahan, Gangguan Dismorfik Tubuh, Gangguan
Perkembangan Pervasif, atau Gangguan Kepribadian Skizoid).
H. Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental dengannya misalnya takut
adalah bukan gagap, gemetar pada penyakit Parkinson, atau memperlihatkan perilaku
makan abnormal pada Anoreksia Nervosa atau Bulimia Nervosa.
Sebutkan Jika :
Menyeluruh : jika ketakutan termasuk situasi yang paling sosial (juga pertimbangkan
18
Gangguan Cemas
Fobia Sosial
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti:
Gejala-gejala psikologis, perilaku /otonomik harus merupakan manifestasi
primer dari anxietas dan bukan sekundari gejala lain seperti waham /
pikiran obsesif
Anxietas harus hanya terbatas / menonjol pada situasi sosial tertentu saja
Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol
Fobia Khas (Terisolasi)
Semua kriteria yang dibawah ini untuk diagnosis :
a. Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas, dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau
pikiran obsesif.
b. Anxietas harus terbatas pada adanya objek situasi fobik tertentu.
c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
19
Gangguan Cemas
20
Gangguan Cemas
Penatalaksanaan Fobia
Terdapat beberapa macam bentuk terapi, yakni terapi perilaku, psikoterapi
dan berbagai modalitas terapi lainnya.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa
Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha
Periode 24 Maret 2014 26 April 2014
21
Gangguan Cemas
Terapi Perilaku
Terapi yang paling sering digunakan dan dipelajari adalah terapi perilaku.
Kunci kesuksesan bergantung pada :
22
Gangguan Cemas
Benzodiazepine
Venlafaxine
Buspirone
yang
sering
kali
diungkapkan,
bersamaan
dengan
berbagai
23
Gangguan Cemas
Neurotransmitter
yang
berkaitan
adalah
GABA,
serotonin,
24
Gangguan Cemas
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari
konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif
anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang
lebih matang lagi dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting.
Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas superego
merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya
sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).
Teori Kognitif Perilaku
Penderita berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,
disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada
lingkungannya, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang
sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.
kewaspadaan
secara
kognitif.
Kecemasan
bersifat
berlebihan
dan
25
Gangguan Cemas
Neurosis anxietas
Reaksi anxietas
Keadaan anxietas
dan
kekhawatiran
berlebihan
(harapan
yang
26
Gangguan Cemas
27
Gangguan Cemas
Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai
dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respon terapi,
Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat
mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata
adalah 2-6 minggu.
Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding
dengan gejala somatik. Tidak menyebabkan withdrawl. Kekurangannya adalah
efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita
yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang
baik dengan buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin
dengan buspiron kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu,
disaat efek terapi buspiron sudah mencapai maksimal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa
Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha
Periode 24 Maret 2014 26 April 2014
28
Gangguan Cemas
Psikoterapi
Terapi Kognitif Perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik, secara langsung.
Teknik utama yang digunakan adalah pada pendekatan behavioral adalah relaksasi
dan biofeedback.
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri pasien. Dari
pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah menjadi lebih matur; bila tidak
tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi
sosial dan pekerjaannya.
29
Gangguan Cemas
30
Gangguan Cemas
31
Gangguan Cemas
Faktor Biologik
Neurotransmitter
1. Sistem Serotonergik
Telah banyak pengujian obat yang mendukung hipotesis bahwa disregulasi
dari obat-obat serotonergik lebih efektif dari obat yang mempengaruhi
sistem neurotransmitter lain, tetapi patofisiologi jelas hubungan serotonin
dapat mempengaruhi gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas. Studi
klinis yang telah meneliti konsentrasi metabolisme serotonin pada cairan
serebrospinal dan afinitasnya dan jumlah platelet-binding sites dari
tritiated imipramine (Trofranil), yang berhubungan dengan daerah
perlekatan reuptake serotonin, dan telah dilaporkan temuan variabel pada
pasien gangguan obsesi kompulsif.
2. Sistem noradrenergik
Pada masa sekarang ini, sudah berkurang bukti-bukti nyata yang
menyatakan bahwa disfungsi pada sistem noradrenergik pada gangguan
obsesi kompulsif. Laporan anekdotal menunjukkan kemajuan pada gejala
obsesi kompulsif yang menggunakan clonidine oral, obat yang
menurunkan jumlah pelepasan norephineprin dari ujung saraf presinaptik.
Neuroimunnologi
Berdasarkan sejumlah kejadian nyata, terdapat hubungan positif antara
infeksi streptokokus dan gangguan obsesi kompulsif. Infeksi Streptokokus
hemoliticus grup-a dapat menyebabkan demam rematik, dan berkisar antara 1030% dari pasien tersebut berkembang menjadi Sydenhams chorea dan
menunjukkan gejala obsesi kompulsif.
Studi Pencitraan Otak
Neuroimaging pada pasien dengan gangguan obsesi kompulsif telah
menghasilkan data yang menunjukkan kelainan fungsi pada jalinan saraf antara
korteks orbitofrontal, kaudatus, dan thalamus. Contoh studi pencitraan otak
lainnya yaitu positron emission tomography (PET) telah menunjukkan aktivitas
yang meningkat (metabolisme dan aliran darah) pada lobus frontal, basal ganglia
32
Gangguan Cemas
(terutama pada kaudatus), dan cingulum pada pasien dengan gangguan obsesi
kompulsif. Keterlibatan pada area tersebut pada patologi pasien dengan gangguan
obsesi kompulsif. Tampak lebih berhubungan dengan jalur kortikostiatal daripada
jalur amigdala yang lebih fokus pada penelitian gangguan cemas. Tatalaksana
secara farmakologi dan kebiasaan dilaporkan dapat memperbaiki abnormalitas.
Data dari studi fungsi kerja otak sesuai dengan data dari studi gambaran otak
secara struktural. Studi computed tomographic (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI) menemukan bahwa bagian kaudatus bilateral lebih kecil pada
pasien dengan gangguan obsesi kompulsif. Kedua studi pencitraan otak tersebut
juga menunjukkan hasil yang mendukung observasi prosedur neurologis yang
melibatkan cingulum, kadang menunjukkan hasil efektif pada pengobatan
gangguan obsesi kompulsif. Pernah dilaporkan pada studi MRI, terdapat
peningkatan waktu relaksasi T1 pada korteks frontal, temuan tersebut sesuai
dengan lokasi abnormalitas pada studi PET.
Genetik
Terdapat studi yang mendukung hipotesis bahwa terdapat pengaruh
genetik pada gangguan obsesi kompulsif. Terdapat bukti tiga sampai lima kali
lebih besar kemungkinan mendapatkan gangguan obsesi kompulsif atau jenis
lainnya pada angka kejadian. Studi juga menunjukkan hubungan gangguan obsesi
kompulsif pada pasien kembar lebih tinggi pada kembar monozigot daripada
kembar dizigot. Studi lain juga menunjukkan peningkatan angka kejadian pada
gangguan yang menyerupai obsesi kompulsif, gangguan tik, gangguan bentuk
tubuh, hipokondriasis, gangguan makan, dan gangguan kebiasaan, seperti
menggigit kuku.
Data Biologis Lainnya
Studi elektrofisiologi, studi elektroensepalogram saat tidur, dan studi
neuroendokrin telah memberkan data yang mengindikasi beberapa kesamaan
antara gangguan depresif dan gangguan obsesi kompulsif. Insiden menunjukkan
peningkatan pada abnormalitas EEG nonspesifik yang terdapat pada pasien
33
Gangguan Cemas
34
Gangguan Cemas
serotonin
reuptake
inhibitor
(SSRIs)
dan
terapi
kebiasaan.
Bagaimanapun juga gejala dari gangguan obsesi kompulsif mungkin saja disertai
secara biologis, gangguan psikodinamis mungkin menyertai. Pasien dapat menjadi
sadar bahwa gejalanya dapat menetap.
Kontribusi lainnya untuk pengertian psikodinamis melibatkan dimensi
interpersonal. Studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling
mendukung pasien melalui partisipasi aktif dalam ritual atau modifikasi pada
rutinitas sehari-hari. Akomodasi studi pada keluarga yang berhubungan dengan
stress yang terjadi pada keluarga, penolakan kebiasaan yang dilakukan pasien, dan
keadaan keluarga yang miskin. Seringkali anggota keluarga terlibat dalam usaha
untuk mengurangi kecemasan atau mengontrol ekspresi kemarahan pasien. Pola
ini atau hubungannya disesuaikan dengan pola penatalaksanaan yang akan
dilakukan. Dengan melihat pada pola hubungan interpersonal dari perspektif
35
Gangguan Cemas
1. Kontaminasi; pola yang paling sering terjadi yang diikuti oleh perilaku
mencuci dan menghindari obyek yang dicurigai terkontaminasi
2. Sikap ragu-ragu yang patologik; obsesi tentang ragu-ragu yang ikuti
dengan perilaku mengecek/memeriksa. Tema obsesi tentang situasi
berbahaya atau kekerasan (seperti lupa mematikan kompor atau tidak
mengunci rumah).
3. Pikiran yang intrusif; pola yang jarang, pikiran yang intrusif tidak disertai
kompulsi, biasanya pikira berulang tentang seksual atau tindakan agresif.
36
Gangguan Cemas
Neurosis anankastik
Neurosis obsesional
Neurosis obsesif-kompulsif
37
Gangguan Cemas
38
Gangguan Cemas
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misal,
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan Jika :
Dengan tilikan buruk : jika, selama sebagian besar waktu episode terakhir,
orang tidak menyadari bahwa obsesi dan kompulsi adalah berlebihan atau
tidak beralasan.
39
Gangguan Cemas
biologik,
maka
pengobatan
yang
disarankan
adalah
pemberian
40
Gangguan Cemas
namun
diingatkan
dan
diawasi
untuk
menahan
perasaan
41
Gangguan Cemas
terapi ini dilakukan dengan bantuan MRI. Komplikasi dari terapi bedah tersebut
umumnya adalah kejang, yang dapat diterapi dengan fenitoin.
42