PRAKTIKUM FAAL
TAHAN NAPAS dan SESAK NAPAS
A. TAHAN NAPAS
Oke, seperti yang kalian tahu, pada percobaan ini, OP harus tahan napas, terus
itung waktunya sampe si OP udah ga kuat lagi. Waktu dimana OP ga kuat sok2an
nahan napas dan akhirnya bernapas lagi adalah BREAKING POINT.
Nah, dalam percobaan ini, si OP mendapat beberapa perlakuan untuk melihat
apakah perlakuan tsb berpengaruh ato tidak terhadap BREAKING POINT. Apa saja
perlakuan-perlakuan tersebut? Ada 9 perlakuan, bisa diliat penuntun praktikum
masing2. Apa?! Penuntun anda hilang? Ga masalah, bakal saya tulis ulang.
I. Landasan Teori
III. Percobaan
Untuk mencapai tujuan praktikum poin pertama, kita harus mengatur
kondisi/perlakuan kepada si OP, terus baru OP-nya tahan napas. Perlakuannya adalah
sebagai berikut:
1. Inspirasi biasa terus tahan napas.
2. Ekspirasi biasa terus tahan napas.
3. Inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas.
4. Ekspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas.
5. Napas cepat dan dalam 20 detik, terus inspirasi tunggal yang kuat terus tahan
napas.
6. Inspirasi tunggal yang kuat dari kantong O2 terus tahan napas.
7. Napas cepat dan dalam 20 detik, 3 pernapasan terakhir dari kantong O2,, terus
inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas.
8. Inspirasi tunggal yang kuat dari kantong CO2 10% terus tahan napas.
9. Lari di tempat 2 menit, terus inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas.
IV. Hasil Percobaan
Berikut ini adalah hasil dari kelompok saya. Oiya, ini hasilnya dalam satuan detik ya..
B. SESAK NAPAS
Halo halo halo!!! Selamat datang ke percobaan sesak napas. Percobaan sesak
napas ini intinya menjejalkan sesuatu ke lubang hidung OP, lalu hitung waktu sampe
si OP-nya ga kuat lagi bernapas normal (gara2 sesuatu yang nyangkut di hidung doi
itu). Apakah sesuatu yang saya maksud? Sesuatu itu adalah nose piece yang
tersedia dengan dalam berbagai ukuran diameter, ada yang 5 mm, 4 mm maupun 3
mm.
I. Landasan Teori
Dispnea
Menurut buku-buku dan slide kuliah, dispnea dalah sensasi subjektif yang
berhubungan dengan perasaan seolah kekurangan udara sehingga muncul
keinginan untuk memenuhi ventilasi yang adekuat. Apakah subjektif doang?
Tidak! Menurut dokter-dokter pengajar kita, dispnea juga bisa objektif, soalnya
kita bisa ngeliat otot2 pernapasan tambahan ikut bekerja saat sesak napas.
Dispnea itu berawal dari aktivasi korteks sensorik oleh kemoreseptor dan
mekanoreseptor, serta sinyal dari korteks motorik. Kemoreseptor dapat teraktivasi
pada keadaan hiperkapnia (peningkatan CO2 di arteri) dan hipoksia. Sedangkan
mekanoreseptor di paru dan dinding dada dapat teraktivasi saat terjadi
peningkatan kerja otot-otot pernapasan.
F = P/R
F = laju aliran udara (airflow rate)
P = perbedaan antara tekanan atmosfer dan intra-alveolus
tanda sesak napas. Lama-lama, para OP mulai ga kuat dan mencapai batas sesak
napas masing2. Namun, tiap OP memiliki toleransi yang bervariasi dan sensasi sesak
napas yang timbul juga beda-beda. Jadi hasil percobaannya sesuai sama teori ya:
makin kecil diameter lubang, makin besar resistensi, makanya makin terasa sesak saat
bernapas.
-----
Sumber:
1. Penuntun praktikum faal
2. Beberapa buku faal: Silverthorn, Sherwood, dan Martini
3. Jurnal dispnea yang waktu itu dikasih dokter yang ngasih kuliah dispnea
Wooaaahhhh, selesai juga akhirnya tentir bagian saya Oiya, kalo ada yang mau
nambahin atau koreksi, silakan langsung ke milis ya, biar yang lain bisa liat. Terima
kasih banyak atas perhatiannya. Semoga bermanfaat!
Special thanks to:
1. OP praktikum faal. Terima kasih bagi yang telah bersedia menahan napas
dan bagi yang telah bersedia hidungya dijejelin nose piece.
2. Kelompok 1.Terima kasih atas laporan faalnya yang sangat indah. (Biased)
Oleh : Zahra Suhardi
Volume residual (RV). Volume minimum udara yang tersisa di dalam paru
bahkan setelah ekspirasi maksimal. Nilai rata-rata: 1200 ml.
Kapasitas residual fungsional (FRC). Volume udara di dalam paru pada akhir
ekspirasi pasif normal (FRC=ERV+RV). Nilai rata-rata: 2200 ml.
Kapasitas vital (VC). Volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan dalam
satu kali napas setelah inspirasi maksimum. Nilai rata-rata: 4500 ml.
Kapasitas paru total (TLC). Volume udara maksimum yang dapat ditahan oleh
paru (TLC=VC+RV). Nilai rata-rata: 5700 ml.
Forced expiratory volume in one second (FEV1). Volume udara yang dapat
dikeluarkan selama detik pertama ekspirasi saat menentukan VC. Umumnya
bernilai sekitar 80% dari VC.
Tabel di atas menggambarkan nilai normal sistem pernapasan kita yang diukur
dengan spirometri.
CHART 1
Radius
5.00
4.50
4.00
3.50
3.00
FEV1 (ml)
3541
2303
1422
822
436
FEV1 as % of VC
Vital Capacity (ml)
4791
3143
1962
1150
621
FEV1 (%)
73.9
73.3
72.5
71.5
70.2
Dari tabel hasil dapat dilihat bahwa semakin kecil radius, aliran udara juga
akan semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh peningkatan resistensi saluran
napas. Semua volume menurun, kecuali volume residual. Hal ini dikarenakan,
semakin besar resistensi, jumlah udara yang dapat dikeluarkan dari paru-paru
juga semakin sedikit, sehingga udara yang tertinggal di paru lebih banyak.
Pada Chart 1, nilai FEV1 (%) juga menurun seiring dengan penurunan radius
saluran napas. Tingginya resistensi menyebabkan laju aliran udara berkurang
sehingga nilai FEV1 menurun melebihi penurunan kapasitas vital paru,
sehingga berakibat pada penurunan persentase FEV1.
bukaan, sehingga air tidak dapat masuk ataupun keluar sehingga tidak mungkin
adanya perbedaan tekanan.
Tekanan intrapleura yang lebih rendah memiliki dua efek: tekanan intra-alveolus yang
lebih tinggi mendesak jaringan paru ke arah luar, dan tekanan atmosfer mendesak
dinding dada ke arah dalam. Akibatnya paru dan dinding dada terdorong mendekat
satu sama lain, namun paru dan dinding dada tetap memiliki resistensi terhadap
desakan. Oleh karena itu cairan intrapleura berfungsi sebagai perekat (molekul cairan
intrapleural bersifat kohesif sehingga saling menarik). Perubahan minor pada volum
ruang intrapleura membuat tekanan intrapleura di sedikit lebih kecil daripada tekanan
alveolus dan tekanan atmosfer.
Gradien yang tercipta antara tekanan intraalveoli dan tekanan atmosfer akan memicu
aliran udara untuk masuk dan keluar ketika bernapas. Tekanan pada rongga pleura ini
akan selalu berfluktuasi saat pernapasan, tetapi tekanan tersebut selalu dijaga dibawah
4 mmHg daripada tekanan pada paru-paru. Hal ini terjadi karena dengan tekanan yang
lebih rendah, paru-paru dapat terus mengembang.
Hasil dan Diskusi
Surfaktan merupakan salah cairan yang disekresikan oleh pneumosit tipe II yang
bertugas untuk menurunkan teggangan permukaan cairan alveoli sehingga tidak
mudah collapse. Peningkatan jumlah molekul surfaktan menyebabkan aliran udara
meningkat sehingga udara yang masuk ke dalam paru juga semakin banyak (Lihat
peningkatan total flow pada baris pertama dan kedua karena penambahan surfaktan).
Pada percobaan tekanan, tidak adanya tekanan pada paru kiri (lihat pada baris ke-4
dan ke-5: mencapai nilai 0) membuat tidak adanya aliran udara yang masuk (Flow L
(Left) juga mencapai 0) karena paru-paru mengalami collapse, akibatnya aliran darah
turun. Hal ini terjadi karena pembukaan katup pleura pada percobaan ini
menyebabkan udara masuk ke dalam pleura, tekanan intrapleural menjadi sama
dengan tekanan atmosfer, lalu menekan paru-paru, akibatnya collapse. Tekanan
intrapleural normalnya selalu dijaga berada di bawah tekanan paru-paru agar dapat
menjaga ekspansi paru.
menurun sampai normal). Dalam keadaan normal, PCO2 memiliki nilai normal 40
mmHg pada tekanan arteri. Pada kondisi tekanan CO2 berlebihan disebut
hiperkapnia/hiperkarbia, kemoreseptor sentral tersimulasi dan memberikan respon
yang menyebabkan peningkatan level H+.
Saat seseorang melakukan hiperventilasi, terjadi penurunan PCO2 sehingga
ketika hiperventilasi dihentikan, akan terjadi periode apnea sebagai upaya
meningkatkan PCO2. Bersamaan dengan itu, PO2 darah turun. Rangsang hipoksia
terhadap badan karotid dan aortik menyebabkan napas berlanjut, tetapi lebih dangkal
dari napas normal. Jika keadaan hipoksia teratasi, apnea terjadi lagi sampai PCO2
kembali seperti semula. Jika PCO2 sudah normal kembali, ventilasi akan kembali ke
frekuensi dan volume normalnya.
Rebreathing
Udara pernapasan dari paru kembali dihirup dan dilepaskan berulang-ulang sampai
PCO2 alveoli meningkat dua kali lipat nilai normalnya (+ 80 mm Hg), terjadi
kompensasi dengan meningkatkan minute volume respiration. Akan tetapi, jika PCO2
terlalu tinggi, pusat pernapasan justru akan terdepresi dan terjadi gagal napas.
Breath Holding
Respirasi volunter dapat diinhibisi dalam beberapa waktu, sampai titik dimana napas
tidak dapat dihambat (breaking poin)t. Disebut breaking karena peningkatan PCO2 dan
berkurangnya PO2. Refleks atau faktor mekanik dapat mempengaruhi breaking point,
juga faktor psikologis (seseorang dapat menahan napas lebih lama ketika dia berkata
bahwa dia dapat menahan napas daripada tidak).
Pada rapid breathing atau hiperventilasi, tekanan CO2 menurun karena banyak
dikeluarkan oleh tubuh dan pernapasan pun berlangsung cepat, sehingga sebagai
kompensasinya, frekuensi pernapasan ditingkatkan untuk tetap memenuhi kebutuhan
oksigen. Akibatnya, aliran udara mengalami penurunan. Hal tersebut juga
menandakan bahwa volume ekspirasi CO2 lebih banyak dibandingkan CO2 yang
berdifusi dari kapiler pulmonal ke alveoli. Pada keadaan normal, CO2 yang berdifusi
ke alveoli dan yang dikeluarkan lewat ekspirasi kurang-lebih seimbang, menghasilkan
nilai PCO2 alveolar yang cenderung konstan pada sekitar 40 mm Hg.
Pada tahan napas atau breath holding, CO2 dalam tubuh mengalami
peningkatan karena CO2 yang dihasilkan tidak diekshalasi, namun tetap disimpan
dalam alveolar. Saat terjadi breaking point, inhibasi sentral untuk menahan napas
telah diambil alih secara refleks, sehingga terjadi kedalaman napas signifikan. Hal ini
sebagai kompensasi breath holding, dimana tubuh tidak memiliki ventilasi sehingga
usahanya untuk memenuhi kebutuhan O2 dan membuang CO2 lebih besar.
Pada rebreathing, tekanan CO2 meningkat karena CO2 yang baru saja
dikeluarkan dihirup lagi. Frekuensi pernapasan sama, atau cenderung lebih cepat dan
dalam, sebagai kompensasi tubuh untuk segera membuang CO2 yang banyak
terkumpul dan menukarnya dengan O2.
3. Pola Pernapasan
Emfisema
Kelainan paru pada penyakit emfisema terletak pada bagian distal dari bronkiolus
terminal yang disertai dengan pembesaran permanen dan destruksi dinding rongga
tersebut.
Asma
National Asthma Education and Prevention Program mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronis pada saluran pernapasan di mana elemen-elemen seluler
seperti sel mast, eosinofil, limfosit T, netrofil, dan sel epitel berperan, menimbulkan
berbagai efek sehingga timbul berbagai manifestasi klinis, seperti menyempitnya
saluran pernapasan, terbatasnya aliran udara, serta terganggunya mekanisme fungsi
paru-paru.
Peningkatan resistensi saluran napas yang persisten mengakibatkan terjadinya
berbagai kelainan fungsi paru, diantaranya penurunan FEV (Forced Expiratory
Volume) dan FR (Flow Rate), hiperinflasi paru dan toraks, perubahan pada
elastisitas, peningkatan work of breathing, perubahan pada fungsi otot respirasi,
perubahan pada konsentrasi gas arterial, serta distribusi abnormal ventilasi dan aliran
darah pulmonal dengan mismatched ratio.
Hasil dan Diskusi
Empisema
FVC pada pasien emfisema mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada
orang normal, FEV1 pada pasien emfisema mengalami penurunan yang sangat besar.
Hal ini dapat terjadi karena pada emfisema terjadi penyempitan bronkioli respiratorik.
Pada proses ekspirasi, bronkioli mengalami penyempitan karena gaya luar yang
menekan paru sehingga fase ekspirasi akan terasa lebih sulit.
Lalu, mengapa penurunan lebih besar pada FEV 1? Karena obstruksi sangat
berat sehingga ekspirasi yang dilakukan selama 1 detik sangatlah kecil (FEV 1
menurun lebih besar). Sedangkan FVC merupakan total udara yang diekspirasi
sehingga walaupun terjadi obstruksi, otot-otot pernapasan dapat membantu ekspirasi
hingga titik maksimum (tidak diukur dengan waktu). Selain itu, peningkatan RV juga
menunjukkan udara terperangkap di dalam paru-paru karena obstruksi.
Serangan Asma akut dan Setelah Inhalasi Obat
Pada keadaan asma juga hampir serupa, namun IRV pada pasien asma masih berada
dalam keadaan normal yaitu 2700 ml dimana normalnya sekitar 2100-3200 ml. Hal
ini menunjukkan kelainan yang tidak signifikan pada saat inspirasi, tetapi kelainan
pada ekspirasi (penurunan ERV karena obstruksi, peningkatan RV karena udara
terperangkap, penurunan FVC, FEV1 karena kesulitas ekspirasi akibat obstruksi yang
menigkatkan resistensi jalan nafas).
FVC yang menurun dapat disebabkan obstruksi lumen pada penderita asma yang
dapat diakibatkan oleh tonus muskular atau hipersekresi sel Goblet. FEV1 yang
berkurang drastis juga dapat disebabkan karena ketika inspirasi lumen masih akan
terbuka karena adanya tekanan negatif di rongga paru, tetapi ketika ekspirasi yang
bersifat pasif lumen akan tetap (dengan penyempitan) sehingga FEV1 lebih drastis
merendah. Rasio FEV1/FVC menjadi 40% (di bawah normal).
Setelah diberikan medikasi inhaler. FVC dan FEV1 meningkat hampir normal,
menunjukkan volume dan kapasitas paru membaik. Rasio FEV1/FVC menjadi
kembali normal. Respon fisiologis ini diakibatkan karena obat beta-2 agonis
menempati reseptor beta-2 yang dapat meningkatkan tonus muskular menjadi tidak
aktif dan lumen kembali melebar.
Breathing during exercise
Pada seseorang yang berolahraga menunjukkan peningkatan yang signifikan
pada volume tidalnya, karena seseorang yang berolahraga membutuhkan banyak
oksigen sehingga volume tidalnya meningkat, akibatnya IRV dan ERV menurun.
Pada latihan berat, kebutuhan oksigen meningkat tetapi produksi CO2 sangat
berlebihan sehingga volume tidal meningkat lebih drastis dibandingkan saat istirahat
maupun latihan sedang, sehingga peningkatan volume tidal yang lebih besar.
Sumber tentir:
Laporan praktikum kelompok 1, 8, 12, dan 13.
Oleh : Naela Himayati Afifah
Praktikum Fisiologi 02
B. ALKALOSIS RESPIRATORI
Kehilangan karbondioksida berlebihan dari paru pada keadaan produksi
normal mengakibatkan penurunan PCO2 (biasanya mencapai < 3 mmHg) dan
menimbulkan alkalosis respiratori. Proses
Proses ini bisa terjadi pada hiperventilasi
psikogenik, ventilasi yang berlebihan
pada
penderita
dengan
bantuan
ventilator,
dsb.
Pada
alkalosis
respiratori, terjadi peningkatan pH
darah dan penurunan PCO2 plasma.
Maka akan terjadi kompensasi yang
cepat pada perubahan
erubahan ini, yaitu ion
hidrogen akan dibebaskan ke darah oleh
buffer tubuh untuk menurunkan
bikarbonat plasma. Sekitar 99% ion
hidrogen dibebaskan oleh buffer
intraseluler, sedangkan sisanya 1% dari
buffer ekstraseluler. Hayoo, masih pada
inget tentang buffer?
ffer? Kalo lupa nih
disamping ada gambarnya
nya untuk
merecall ingatan kita.
Nah,
bagaimana
tubuh
merespons alkalosis respiratori ini..? ini
dia ada skemanya lagi:
C. ASIDOSIS METABOLIK
Asidosis metabolik ditimbulkan oleh perubahan keseimbangan antara produksi
dan ekskresi asam. Asidosis sistemik bisa disebabkan oleh peningkatan konsentrasi
ion hidrogen darah akibat akumulasi yang ditimbulkan oleh ketidakadekuatan
ekskresi ion hidrogen atau kehilangan bikarbonat berlebihan dari urin atau tinja.
Akibat asiodosis sistemik dan peningkatan PCO2, maka akan merangsang
pusat respirasi dan juga kemoreseptor perifer di arteri karotis dan aorta untuk
meningkatkan kecepatan respirasi, sehingga akan meningkatkan laju eksresi
karbondioksida. PCO2 plasma dan kadar asam karbonat turun, secara total maupun
parsial dan mengoreksi asidosis.
Asidosis juga akan merangsang ginjal untuk meningkatkan produksi ammonia
dan ekskresi ion hidrogen di urin. Di nefron distal, sekresi ion hidrogen disertai
pengembalian bikarbonat ke sirkulasi meningkatkan pembentukan bikarbonat dan
mengembalikan kadar bikarbonat plasma menjadi normal, yang berarti pH darah juga
kembali normal.
Singkat ceritaa,, ini diaa:
D. ALKALOSIS METABOLIK
Tiga mekanisme dasar yang dapat menyebabkan alkalosis yaitu:
Kehilangan berlebihan ion hidrogen seperti pada aspirasi lambung
berkepanjangan atau muntah terus menerus
Peningkatan penambahan bikarbonat ke cairan ekstraseluler, misalnya pada
sindrom alkali susu
Penurunan volume cairan ekstraseluler yang meningkatkan konsentrasi
bikarbonat di ruang cairan itu dan meningkatkan reabsorbsi bikarbonat di
tubulus proksimal
Nah, udah pada paham kan tentang keempat hal yang kita bahas di atas. Sebagai
penutup, ini ada ringkasannya:
Hiperventilasi I
Pada keadaan dimana peningkatan ventilasi terjadi secara involunter dan tidak
dapat dikendalikan secara volunter, maka peningkatan pH menjadi tidak
terhindarkan. Pada keadaan seperti ini peran mekanisme kompensasi pH melalui
ginjal menjadi sangat penting. Ginjal mengatur jumlah ion HCO3- atau H+ yang
akan diekskresikan melalui urin. Pada kasus ini eksresi HCO3- akan meningkat.
c.
Hiperventilasi II
Tabel 1.3 Perhitungan Hiperventilasi II
Rebreathing
Tabel 1.4 Perhitungan Rebreathing
no. Detik kepH
1
20 7,37
2
40 7,30
3
60 7,24
Gambar 1.5 Grafik ventilasi pada intervensi rebreathing
Pada rebreathing, terjadi inspirasi ulang dari udara yang sudah diekspirasikan.
Udara yang sudah diekspirasikan memiliki karakteristik meningkatnya PCO2 dan
terdapat sejumlah uap air. Efek dari mekanisme rebreathing adalah menrunnya pH
hingga dibawah 7,35, sekitar 7,24. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya PCO2
alveolar sehingga pertukaran gas CO2 tidak sebanyak sebelumnya dan hal ini
menyebabkan penumpukan CO2 di dalam tubuh dan pada akhirnya meningkatkan pH
darah. Peningkatan dari pH juga mempengaruhi frekuensi dan amplituda pernafasan,
ditandai dengan adanya peningkatan volume tidal.
Tabel 1.6 Hasil Asidosis dan Alkalosis Respiratori
Pada saat kecepatan metabolik menurun, akan terjadi hal yang berkebalikan
dengan pada saat kecepatan metabolik meningkat yaitu terjadi penurunan dari
produksi CO2. Dengan berkurangnya produksi CO2 dan pCO2, konsentrasi H+ di
dalam darah akan semakin berkurang. Dengan berkurangnya H+ maka akan terjadi
alkalosis metabolik. Pada table terlihat pada kecepatan metabolic 20 L/s dan 30 L/s,
terjadi perubahan pH menjadi 7,49 dan 7,46. Setelah terjadi alkalosis metabolic, maka
stimulasi kemoreseptor sentral dan perifer akan menurun sehingga ventilasi akan
berkurang sebagai kompensasinya. Sebagai kompensasi, CO2 dalam tubuh akan
meningkat dan pH akan berkurang untuk kembali ke kisaran normal.